Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH BIOFARMASETIKA

BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN MELALUI REKTUM

OLEH

KELOMPOK 4:

FIRDAH :D1B120288
MUH. ARFANDY GUNAWAN :D1B120243
RIZWANSYAH :D1B120259
SISKA DEWI LARASANTI POPULE :D1B120182
SUCITRA :D1B120303
WIDYA LESTARI :D1B120242
WINADIA NUR ISLAMIYAH :D1B120283
YANTI PUSPITASARI :D1B120200
ZAHRA THAIRAH SUARDI :D1B120258
ZULFANINGSIH HS :D1B120265

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


UNIVERSITAS MEGAREZKY MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat yang di berikan Allah SWT atas
segala limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “Biofarmasi Sediaan Yang Diberikan Melalui Rektum”
diselesaikan dengan tepat waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari
kesempurnaan, maka penulis menerima kritik dan saran yang membangun guna
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembacanya dan dapat memenuhi harapan kita semua.

Makassar, 28 Mei 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
SAMPUL........................................................................................................................i
KATA PENGANTAR…………………………………………………….... ..............ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………....................iii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………..……………... ................1
A. LatarBelakang……………………………………………….................................. 1
B. RumusanMasalah……………………………………………..................................1
C. TujuanPenelitian…………………………………………………...........................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................3
A. Teori Pelepasan, Pelarutan, Difusi Dan Perlintasan Membran / Absorpsi 3
B. Absorpsi 7

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Absorpsi Obat 8

D. Membran Biologis Dan Mekanisme Absorpsi 10


E. Faktor Kimia Fisika dan Teknologi Yang Mempengaruhi Pelepasan 12

BAB III PENUTUP.....................................................................................................17


DAFTAR PUSTAKA

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rektum merupakan salah satu organ terakhir dari usus besar pada manusia
dan beberapa jenis mamalia lainnya yang berakhir di anus. Organ ini berfungsi
sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Mengembangnya dinding rektum
karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang
menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi (Rizky, 2009).
Obat rektal adalah obat yang ditujukan untuk pengobatan local atau keadaan-
keadaan yang dibutuhkan sepertiPenderita dalam keadaan muntah atau terdapat
gangguan saluran cerna, bila terdapat kemungkinan zat aktif rusak oleh getah
lambung yang asam atau oleh enzim usus, Bila zat aktif mengalami kerusakan
pada perlintasan pertama melalui hati, dan penderita menolak karena resiko
iritasi lambung (Marcory, Trie., 2015).
Absorpsi obat setelah pemberian rektal dapat bervariasi tergantung pada
penempatan suppositoria atau larutan obat didalam rektum. sebagian dari obat
dapat di absorpsi melalui vena hemoroid bawah, dimana obat langsung masuk ke
dalam sirkulasi sistemik, beberapa obat dapat di absorpsi melalui vena hemoroid
superior, yang masuk kedalam vena masenterika e embuluh hati di metabolisme
sebelum darah ke portal hati, dan absorpsi sistemik (Rizky, 2009).
Pemberian obat baik bentuk padat maupun cair pada terapi pengobatan
maupun perawatan di rektum akan mengalami suatu proses farmakodinamika
(absorbsi, distribusi, metabolisme, serta ekskresi) yang berupa serangkain system
dari pemberian hingga penyerapan molekul zat aktif pada reseptor. (Rizky, 2009)

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori pelepasan, pelarutan, difusi, dan pelintasan
membran/absorpsi?

1
2. Bagaimana proses membran biologis?
3. Bagaimana mekanisme dari absorpsi?
4. Apa saja faktor fisika-kimia dan teknologi yang mempengaruhi pelepasan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui teori pelepasan, pelarutan, difusi, dan pelintasan
membran/absorpsi
2. Untuk mengetahui Bagaimana proses membran biologi
3. Untuk mengetahui mekanisme dari absorpsi
4. Untuk mengetahui faktor fisika-kimia dan teknologi yang mempengaruhi
pelepasan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Pelepasan, Pelarutan, Difusi Dan Perlintasan Membran / Absorpsi.

Adanya proses pelepasan obat yang dipengaruhi oleh kadar jenuh zat aktif dan

aktivitas, maka zat aktif akan berada dalam keadaan terdispersi dan akan

mempengaruhi koefisien partisi sehingga zat aktif akan dibebaskan dan siap untuk

diabsorpsi tanpa sisa dan meninggalkan tempatnya (Voigt, 1971).

Pelepasan obat didefinisikan sebagai proses melarutnya suatu zat kimia atau

senyawa obat dan sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu. Sedangkan

kecepatan pelepasan adalah kecepatan melarutnya suatu zat kimia atau senyawa

obat ke dalam medium tertentu dari suatu padatan (Martin dkk, 1993). Kecepatan

pelepasan obat merupakan nilai yang menunjukan jumlah obat yang terlepas tiap

satuan waktu. Nilai ini dapat dijadikan sebagai salah satu parameter yang dapat

menyatakan keberhasilan kinetika pelepasan obat (Shargel dan Yu, 1988).

Menurut Noyes dan Whitney, langkah pelarutan meliputi proses pelarutan

obat pada permukaan partikel padat, yang membentuk kelarutan jenuh

disekeliling partikel dengan obat yang terlarut dikenal sebagai stagnan layer

berdifusi ke pelarut dari daerah konsentrasi tinggi ke daerah konsentrasi obat yang

rendah (Shargel dan Yu, 1988). Keseluruhan laju pelarutan obat dapat

digambarkan dengan persamaan Noyes-Whitney, adalah : dC/dt = k (Cs-C) (1)

Dengan dC/dt = kecepatan pelepasan bahan obat, k = tetapan kecepatan

3
pelepasan, Cs = kelarutan bahan obat jenuh, C = kadar bahan obat yang terlarut

dalam medium.

Laju pelepasan obat dipengaruhi oleh difusi molekul-molekul zat terlarut

melewati lapisan difusi dalam bahan dari larutan tersebut. Persamaan diatas

mengemukakan bahwa laju pelepasan dari suatu obat bisa ditingkatkan dengan

memperbesar luas permukaan dengan meningkatkan kelarutan obat dalam lapisan

dan faktor-faktor yang diwujudkan dalam konstante laju pelepasan obat k,

termasuk intensitas pengadukan pelarut dan koefisien difusi dari obat yang

melarut. Berdasarkan hukum Fick 1 tentang difusi, Bruner & Nernst

menghubungkan kecepatan pelarutan dengan koefisien difusi. dM/dt = DS/h (Cs-

C)(2) atau dC/dt =Ds/vh (Cs-C) (3)

Di mana massa dan zat terlarut yang dilarutkan pada waktu t, dM/dt adalah

laju pelepasan dari massa tersebut (massa/waktu). D, adalah koefisien difusi dan

zat terlarut dalarn larutan, S adalah luas permukaan zat padat yang menyentuh

larutan. h adalah ketebalan lapisan difusi, Cs adalah kelarutan dari zat padat yakni

konsentrasi larutan jenuh dari senyawa tersebut pada temperatur percobaan, C

adalah konsentrasi zat terlarut pada waktu t, sedangkan dC/dt adalah laju

pelepasan dan v adalah volume larutan (Martin dkk, 1993).

Pada proses pelepasan ini ada beberapa cara untuk mengungkapkan kecepatan

pelarutan suatu zat yaitu:

4
a. Kecepatan pelarutan (Shargel dan Yu, 1988) Noyes dan Whitney

merumuskan kecepatan pelarutan sebagai jumlah zat yang terlarut

menunjukan jumlah obat yang terlarut.

dc/dt = k.S (Cs-C) (4)

keterangan:

dc/dt = jumlah zat aktif yang terlarut tiap satuan waktu

k = konstanta kecepatan pelarutan

S = luas permukaan pelarutan

Cs = kadar zat pada keadaan jenuh

C = kadar zat dalam medium pada saat t (waktu)

b. Metode Khan Dissolution Efficiency (DE) yaitu sebagai perbandingan

luas daerah di bawah kurva kecepatan pelarutan dan daerah pada kurva

yang sama yang menggambarkan 100% obat terlarut ke dalam medium.

Metode tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :

5
Secara in vitro kecepatan pelarutan obat ditentukan oleh beberapa faktor,

antara lain :

1). Sifat Fisik Kimia Obat Sifat fisik dan kimia partikel-partikel obat

mempunyai pengaruh besar pada kinetika pelarutan. Luas permukaan

efektif obat dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel.

Pelarutan terjadi pada permukaan solut, maka makin besar luas permukaan

makin cepat laju pelarutan (Shargel dan Yu, 1988).

2). Faktor Formulasi Berbagai bahan tambahan dalam produk obat dapat

mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mengubah media tempat

obat melarut atau bereaksi dengan obat itu sendiri. Bahan tambahan dalam

suatu formulasi dapat berinteraksi secara langsung dengan obat

membentuk suatu kompleks yang larut atau tidak larut dalam air (Shargel

dan Yu, 1988).

3). Faktor Uji Pelarutan In vitro Uji pelarutan in vitro mengukur laju dan

jumlah pelarutan obat dalam suatu media dengan adanya satu atau lebih

tambahan yang terkandung dalam obat. Faktor-faktor yang mempengaruhi

uji pelarutan yaitu :

a). Pengadukan Pengadukan digunakan untuk membantu homogenitas

cairan dalam media disolusi. Dalam uji pelarutan obat, kecepatan

pengadukan mengakibatkan pelarutan obat semakin cepat (Shargel dan

Yu, 1988).

6
b). Suhu Semakin tinggi suhu maka akan semakin banyak zat aktif yang

dilepaskan dari bentuk sediaan, maka media pelarutan harus dikendalikan

dan variasi suhu harus dihindari. Umumnya suhu yang digunakan adalah

370C sesuai dengan suhu tubuh manusia (Shargel dan Yu, 1988).

c). Media Pelarutan Sifat media pelarutan akan mempunyai uji kelarutan

maupun jumlah obat dalam bentuk sediaan harus dipertimbangkan. Media

pelarutan hendaknya tidak jenuh dengan obat sehingga biasanya

digunakan volume media yang lebih besar dari pada jumlah pelarut yang

diperlukan untuk melarutkan obat secara sempurna.

d). Alat Disolusi yang Digunakan Macam dan tipe alat yang digunakan,

ukuran dan bentuk wadah dapat mempengaruhi laju dan tingkat pelarutan.

Wadah mempunyai rentang ukuran mililiter hingga liter. Bentuk wadah

dengan alas bulat atau datar. Pelarutan obat yang tidak larut air perlu

digunakan wadah yang berkapasitas sangat besar (Shargel dan Yu, 1988).

B. Absorpsi

Absorpsi adalah proses yang lebih cepat dari pada proses difusi obat dari basis

ke cairan rektum. Waktu absorpsi yang menunjukan waktu yang diperlukan bagi

sejumlah obat untuk diabsorpsi (Shargel dan Yu, 1988). Langkah-langkah yang

diabsorpsi rektal meliputi tiga tahap yaitu :

1. Pelelehan bentuk sediaan karena temperatur badan,

2. Difusi zat aktif dari basis yang meleleh. Dalam hal ini viskositas dan koefisien

partisi sangat berpengaruh,

7
3. Penetrasi zat aktif yang larut lewat sel epitel mukosa membran. Hal ini sangat

tergantung dari sifat fisika kimia zat aktif (Murrukmihadi, 1986).

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Absorpsi Obat

Absorpsi obat dari supositoria rektal dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

faktor fisiologis, dan faktor fisika kimia dari obat dan bahan dasarnya.

1) Faktor Fisiologis Sejumlah obat tidak dapat diberikan secara oral, karena

obat-obat tersebut dipengaruhi oleh getah pencernaan atau aktivitas

terapetisnya diubah oleh hati sesudah diabsorpsi (Coben dan Lieberman,

1994).

a. Kandungan Kolon Efek sistemik dari supositoria yang mengandung oba t,

absorpsi yang lebih besar lebih banyak terjadi pada rektum yang kosong

dari pada rektum yang digelembungkan oleh feses. Obat lebih mungkin

berhubungan dengan permukaan rektum dan kolon yang mengabsorpsi

dimana tidak ada feses. Oleh karena itu bila diinginkan suatu enema untuk

mengosongkan dapat digunakan dan dimungkinkan pemberiannya

sebelum penggunaan supositoria dengan obat yang diabsorpsi (Ansel,

1989).

b. Jalur Sirkulasi Obat yang diabsorpsi melalui rektum, tidak melalui

sirkulasi portal sewaktu perjalanan pertamanya dalam sirkulasi yang

lazim, dengan cara demikian obat dimungkinkan untuk dihancurkan dalam

hati untuk memperoleh efek sistemik. Pembuluh hemoroid bagian bawah

yang mengelilingi kolon menerima obat yang diabsorpsi lalu mulai

8
mengedarkannya ke seluruh tubuh tanpa melalui hati. Sirkulasi melalui

getah bening juga membantu pengedaran obat yang digunakan melalui

rektum (Ansel, 1989).

c. pH dan tidak adanya kemampuan mendapar dari cairan rektum. Cairan

rektum netral pada pH 7-8 dan kemampuan mendapar tidak ada, maka

bentuk obat yang digunakan lazimnya secara kimia tidak berubah oleh

lingkungan rektum (Ansel, 1989).

2) Faktor Fisika Kimia dari Obat dan Basis Supositoria

Faktor fisika-kimia dari basis melengkapi kemampuannya melebur,

melunak atau melarut pada suhu tubuh, kemampuannya melepaskan bahan

obat dan sifat hidrofilik atau hidrofobiknya.

a. Kelarutan lemak air Suatu obat lipofilik yang terdapat dalam suatu basis

supositoria berlemak dengan konsentrasi rendah memiliki kecenderungan

yang kurang untuk melepaskan diri ke dalam cairan disekelilingnya

dibandingkan bila ada bahan hidrofilik pada basis berlemak, dalam batas-

batas mendekati titik jenuh. Semakin banyak obat terkandung dalam basis,

semakin banyak pula obat yang mungkin dilepas untuk diabsorpsi yang

potensial. Tetapi jika konsentrasi obat pada lumen usus halus berada di

atas jumlah tertentu yang berbeda dengan obat tersebut, maka kadar yang

diabsorpsi tidak diubah oleh penambahan konsentrasi obat (Ansel, 1989).

9
b. Ukuran partikel Obat dalam supositoria yang tidak larut, maka ukuran

partikelnya akan mempengaruhi jumlah obat yang dilepas dan melarut

untuk absorpsi. Semakin kecil ukuran partikel, semakin mudah melarut

dan lebih besar kemungkinannya untuk dapat lebih cepat diabsorpsi

(Ansel, 1989).

c. Sifat basis Basis harus mampu mencair, melunak atau melarut supaya

melepaskan kandungan obatnya untuk diabsorpsi. Apabila terjadi interaksi

antar basis dengan obat ketika dilepas, maka absorpsi obat akan terganggu

bahkan dicegahnya. Apabila basis mengiritasi membran mukosa rektum,

maka ia akan mulai respons kolon untuk segera buang air besar,

mengurangi kemungkinan penglepasan atau absorpsi dari obat dengan

cermat. Interaksi secara kimia atau fisika antar bahan obat dengan basis

supositoria akan dapat mempengaruhi stabilitas dan bioavaibilitas dari

obat (Ansel, 1989).

D. Membran Biologis Dan Mekanisme Absorpsi


1. Membran Biologis
Memberan biologis terdiri dari lipid, protein dan glikoprotein. Lipid
membran sebagian besar terdiri dari fospolipida , glikopida (karbohidrat) dan
steroid ( kolesterol ). Membran berbentuk lipid bilayer sebagai penghalang
untuk difusi molekul hidrofilik. Berdasarkan orientasi pada lipida membran,
protein dapat berupa protein membran perifer ( yang terikat pda permukaan
bilayer ), proein membran integral (yang merupakan bagian dari struktur
intrinsik dan memiliki hidrofobik-hidrofobik dominan atau glikoprotein yang
mengandung ikatan kovalen CHO yang mungkin sangat kompleks ), reseptor

10
pada permukaan sel dan glikoporin adalah contoh dari glikoprotein yang ada
pada membran sel. (Sumitto s. sutiman dkk,2017)
Semua membran biologis (meliputi memmbran plasma dan membran
internal sel eukariota) mempunyai struktur yang sama yaitu tersusun atas
molekul lipid dan potein yang berinteraksi secara nonkovalen. Molekul lipid
terusun sebagai lapisan ganda kantinue (contontinous double layer) dengan
tebal 4-5 nm sehingga disebut sebagai lipid bilayer (Sumitto s. sutiman
dkk,2017)
Lipid ilayer ini merupakana struktur dasar membaran dan berfungsi
sebagai barier impermeabel untuk molekul-molekul yang larut dalam air
(hidrofilik). Molekul protein terdapat diantara lipid bilayer dan berperan
dalam berbagai fungsi membran antara lain sebagai transpor molekul, sebagai
struktur yang berhubungan dengan sitosekleton dan matriks ekstraseluler atau
sebagai respon untuk menerima dan mengirim sinyal kimia dari lingkungan.
(Sumitto s. sutiman dkk,2017)
Semua membran bersifat dinamis dan fluid (cair) yang memungkinkan
molekul lipid dan protein bergerak dengan cepat di sepanjang membran.
Membran sel juga merupakan struktur yng asimtris karena komponen lipid
dan proteinnya berbeda di kedua sisi membran yang menggambarkan fungsi
yang berbeda. Molekul lipid sebagai membran biologis yang tersusun atas 2
lpisan pertama kali ditujukan pada tahun 1925 dengan memakai sel darah
merah yang hanya mempunyai membran plasma.(Sumitto s. sutiman
dkk,2017)
Semua membran sel terususn sebagai lapisan ganda molekul lipid karena
sifat khusus dari molekul lipid itu sendiri yang menyebabkan molekul lipid
mampu melakukan self-assemble untuk membentuk bilayer di luarsistem sel.
Molekul lipid tak terllarut dengan air tetapi terlarut dengan pelarut organik.
(Sumitto s. sutiman dkk,2017)

11
2. Mekanisme Absorpsi
Abrorpsi adalah proses senyawa obat dipindahkam dari tempatabsorpsinya
ke dalam sirkulasi sistemik. Proses ini tergantung pada karakteristik tempat
absorpsi. Aliran darah di tempat absorpsi, sifat fisika-kimia obat, dan
karakteristik produk ( bentuk sediaan). Berbagai bentuk sdiaan obat dengan
cara pemberianya, menentukan tempat absorpsi obat. Terdapat tujih macam
mekanisme adrorpsi obat, tetapi pada uumnya dikelompokkan lagi menjadi 2,
yaitu mekanisme difusi pasif dan trnsport aktif/transport dengan fasilitas.
(Aslam mohamed,dkk.2003)
Mekanisme absorpsi obat melalui difusi pasif dipengaruhi oleh Pka obat,
PH tempat absorpsi dan fraksi obat yang tidak terionkan,. Hal-hal yang dapat
mempercepat atau memperlambat perpindahakn obat dari tempat absorpsi ke
dalam sirkulasi sistemik juga akan mempengaruhi laju asorpsi obat. Misalnya
kecepatan pengosongan lambung apabila tempat absorpsinya pada saluran
cerna. Peningkatan aliran darah yang disebabkan oleh pemijatan atau panas
( meningkatkan laju absorpsi) (Aslam mohamed,dkk.2003).
Contoh lain yang dapat mempengaruhi laju absorpsi sebagai kibat dari
faltor ionisasi adalah aspirin, aspirin bersifat asam dalam lambung dngan PH
rendah, berada dalam bentuk yang tidak terionkam sehingga absorpsi aspirin
cepat. (asiam. Mohamed,2003).
Pada awalnya proses yang teradi adalah disintegrasi, disolusi sehingga
obat berada dalam keadaan terlarut ( pada bentuk sediaan tablet). Dalam
saluran cerna kemungkinn obat mengalami peruraian karen ph lmbung, enzim,
flora pada saluran cerna dan komponen lainnya. Selanjutnya prose
penembusan obat kedinding saluran cerna (adsorpsi) menuji sirkulasi sitemik,
pada tahap ini penembusan ini kemungkinan obat mengalami metabolisme.
(asiam. Mohamed,2003)

12
E. Faktor Kimia Fisika dan Teknologi Yang Mempengaruhi Pelepasan
Basis sediaan rektal / suppositoria mempunyai pengaruh yang besar terhadap
pelepasan bahan obat. Sediaan dengan basis oleum cacao yang meleleh pada suhu
tubuh dengan cepat akan sukar melepaskan obat larut lemak dengan cepat. Itu
disebabkan karena sifat oleum cacao yang tidak tercampurkan dengan adanya air.
Untuk kerja obat secara sistemik menggunakan basis oleum cacao sebaiknya obat
dicampurkan dalam bentuk terionisasi (garamnya) untuk memaksimalkan
bioavailabilitas. Walaupun obat tak terionisasi lebih cepat berpartisi keluar pada
basis larut dalam air seperti gliserin terggelatinasi dan polietilenglikol, basis itu
sendiri cenderung melarut perlahan sehingga memperlambat pelepasan obat.
Absorpsi obat melalui rektal dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu Faktor
fisiologi dan Faktor fisika dan kimia.
Untuk Faktor fisika dan kimia yaitu (Murtini, G., & Ellisa, Y. 2018):
1. Faktor fisika dan kimia dari obat dan basis suppositoria.
Faktor fisika dan kimia dari obat yang dapat mempengaruhi absorpsi meliputi
dua hal berikut ini : (Murtini, G., & Ellisa, Y. 2018)
a. sifat seperti kelarutan obat relatif dalam lemak dan dalam air
b. ukuran partikel obat terdispersi.
Faktor fisika dan kimia dari basis yang dapat mempengaruhi absorpsi
meliputi tiga hal berikut ini : (Murtini, G., & Ellisa, Y. 2018)
1) kemampuan meleleh, melunak, atau melarut pada suhu tubuh
2) kemampuan melepaskan bahan obat, dan
3) karakteristik hidrofilik dan hidrofobik
a. Kelarutan lemak-air
Dalam hal ini harus diperhatikan koefisien partisi lemak-air karena
merupakan pertimbangan yang penting dalam pemilihan basis sediaan
rektal dan dalam mengantisipasi pelepasan obat dari basis. Suatu obat
lipofilik dalam basis sediaan rektal berlemak kurang melepaskan obat
ke dalam cairan sekelilingnya, dibandingkan bila bahan obat hidrofilik

13
pada basis berlemak. Basis larut air misalnya polietilenglikol yang
melarut pada cairan rektum, melepaskan obat baik yang larut dalam air
maupun yang larut dalam lemak. Semakin banyak obat dalam basis
semakin banyak pula obat yang dilepaskan untuk di absorpsi, tetapi
bila pada lumen usus halus kadar yang diabsorpsi tidak berubah oleh
penambahan kadar obat. (Murtini, G., & Ellisa, Y. 2018)
b. Ukuran partikel
Bagi obat yang tidak terlarut dalam sediaan rektal, ukuran partikel
obat akan mempengaruhi kecepatan disolusi dan ketersediaannya
untuk diabsorpsi. Semakin kecil ukuran partikel, semakin luas
permukaan area, semakin mudah melarut, dan lebih mudah untuk
dapat lebih cepat diabsorpsi. (Murtini, G., & Ellisa, Y. 2018)
c. Sifat basis
Basis untuk sediaan rektal harus dapat meleleh, melunak atau
melarut untuk melepaskan obat agar dapat terabsorpsi. Bila terjadi
interaksi antar basis dengan obat ketika dilepas, maka absorpsi obat
akan terganggu atau malah dicegahnya. Begitupula bila basis
mengiritasi membran mukosa rektum, maka rektum akan merespon
kolon untuk segera buang air besar, sehingga akan mengurangi
pelepasan dan absorpsi dari obat. Basis suppositoria yang digunakan
memberikan pengaruh pada pelepasan zat aktif yang terdapat di
dalamnya. Oleum cacao cepat mencair pada suhu tubuh, tidak
bercampur dengan cairan, maka tidak dapat secara langsung
melepaskan obat yang larut dalam lemak. Untuk bahan obat berefek
sistemik lebih baik menggunakan obat dalam bentuk terionisasi agar
bioavailabilitas tercapai maksimum. Bahan obat tidak terionisasi lebih
cepat terpisah dari basis yang bercampur dengan air seperti gliserin-
gelatin dan propilenglikol, basisnya cenderung melarut secara perlahan-

14
lahan dan dengan demikian akan menghambat pelepasan obat. (Murtini,
G., & Ellisa, Y. 2018)
2. Basis Sediaan Rektal / Suppositoria
Basis suppositoria memegang peranan penting dalam pelepasan bahan
obat yang dikandung sehingga mempengaruhi ketersediaan hayati obat.
Persyaratan utama basis suppositoria adalah harus tetap padat pada suhu
kamar tetapi melunak, meleleh, atau melarut pada suhu tubuh, sehingga obat
tersedia untuk segera setelah dimasukkan pada rektal. Beberapa basis tertentu
menghasilkan pelepasan obat yang lebih efisien dibandingkan yang lainnya.
Hal ini dapat dipelajari pada contoh di bawah ini:
a. Oleum cacao (Theobroma oil) atau lemak coklat meleleh dengan cepat
pada suhu tubuh, tetapi karena basis tidak bercampur dengan cairan tubuh,
obat larut lemak cenderung bertahan dalam oleum cacao dan kecil
kecendrungannya untuk masuk ke dalam cairan tubuh. Sebaliknya, obat
yang larut air dalam basis lemak coklat biasanya menghasilkan pelepasan
yang baik
b. Obat yang larut lemak lebih mudah terlepas dari basis gelatin tergliserinasi
atau polietilenglikol, karena keduanya larut perlahan dalam cairan tubuh.
c. Pada pemulihan iritasi atau imflamasi misal pada pengobatan gangguan
rektal, oleum cacao merupakan basis yang sangat baik karena memiliki
sifat pelembut atau melunakkan dan daya kerjanya menyebar. (Murtini,
G., & Ellisa, Y. 2018)
3. Klasifikasi basis sediaan rektal / suppositoria
Basis suppositoria yang umum digunakan adalah lemak coklat, gelatin
tergliserinasi, minyak nabati terhidrogenasi, campuran polietilen glikol
berbagai bobot molekul, dan ester asam lemak polietilen glikol. Bahan dasar
yang digunakan harus dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu tubuh.
Bahan dasar yang sering digunakan adalah lemak coklat (Oleum cacao),

15
polietilenglikol atau lemak tengkawang (Oleum Shoreae) dan Gelatin.
(Murtini, G., & Ellisa, Y. 2018)
Bahan dasar suppositoria terdiri dari, yaitu : (Murtini, G., & Ellisa, Y.
2018)
a. Basis berlemak yang meleleh pada suhu tubuh, misalnya: Oleum Cacao
b. Basis yang larut dalam air atau yang bercampur dengan air, misalnya:
Gliserin Gelatin, Polietilenglikol
c. Basis campuran, misalnya : polioksil 40 stearat (campuran ester
monostearat dan distearat dari polioksietilendiol dan glikol bebas).
Syarat-syarat bahan dasar supposioria yang ideal adalah: (Murtini, G., &
Ellisa, Y. 2018)
a. Baik secara fisiologis dan kimia, tidak mengiritasi
b. Mempunyai viskositas yang cukup saat dilelehkan
c. Harus meleleh pada suhu badan dalam jangka waktu singkat
d. Tidak mengganggu absorpsi/pelepasan zat aktif
e. Bercampur dengan bermacam obat
f. Stabil pada penyimpanan, tidak menunjukkan perubahan warna, bau, dan
pemisahan obat.

16
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa :

1. Pelepasan obat didefinisikan sebagai proses melarutnya suatu zat kimia atau
senyawa obat dan sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu
2. langkah pelarutan meliputi proses pelarutan obat pada permukaan partikel
padat, yang membentuk kelarutan jenuh disekeliling partikel dengan obat
yang terlarut dikenal sebagai stagnan layer berdifusi ke pelarut dari daerah
konsentrasi tinggi ke daerah konsentrasi obat yang rendah
3. Absorpsi adalah proses yang lebih cepat dari pada proses difusi obat dari basis
ke cairan rektum.
4. Basis sediaan rektal / suppositoria mempunyai pengaruh yang besar terhadap
pelepasan bahan obat.

B. Saran

Demikianlah makalah ini penulis buat dengan masih terdapat kekurangan.


Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk
tercapainya suatu kesempurnaan sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan makalah.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Diterjemahkan oleh Farida
Ibrahim, Edisi IV, 244-271, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Aslam Mohamed,Dkk.2003.Farmasi Klinik. Pt Gramedia,Jakarta
Marcory, Trie, 2015. Biofarmasi sediaan yang diberikan secara rektum. Penerbit
Erlangga: Jakarta.
Martin, A., Swarbick, J., dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik 2. Edisi III. Jakarta:
UI Press. Pp. 940-1010, 1162, 1163, 1170.
Murrukmihadi, M., 1986, Supositoria Natrium Salisilat dengan Basis Larut Air,
Tesis, Fakultas Farmasi Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Murtini, G., & Ellisa, Y. 2018. Teknologi Sediaan Solid. Departemen Kesehatan RI :
Jakarta 
Rizky, 2009. Biofarmasi obat yang di berikan melalui rektal. Penerbit EGC : Jakarta.
Shargel, L., dan Yu, A. B. C., 1988, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan
diterjemahkan oleh Siti Sjamsiah, Edisi Kedua, Hal 85-99, Airlangga University
Press, Surabaya.
Sumitro S Sutima,Dkk. 2017. Biologi Sel. Penerbit Ub Press, Malang
Voigt, R., 1971, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Diterjemahkan Oleh Soewandhi,
S.N., Edisi V, 173, 179, 202-208, 577-578, 607-608, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

18

Anda mungkin juga menyukai