Anda di halaman 1dari 38

FARMAKOTERAPI III

“Fisiologi Ibu Hamil yang Potensial Mempengaruhi Farmakokinetik,


Transfer Obat Lewat Plasenta”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 8

1. Fina Alfiani (1701011354)


2. Hayatun Nufus (1701011283)
3. Iqra Rahman (1701011450)
4. Mhd. Fajri Hanafiah (1701011527)
5. Nur Hafizah (1701011130)

Kelas : 5 C S1 Farmasi Reguler

Dosen : Nurussakinah, S.Farm., M.Si., Apt.

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN KESEHATAN
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya atas rahmat dan petunjuk-Nya kami dapat menyelesaikan karya tulis berupa
makalah yang berjudul “Fisiologi Ibu Hamil yang Potensial Mempengaruhi
Farmakokinetik, Transfer Obat Lewat Plasenta”. Karena berkat limpahan Rahmat
dan Karunia-nya, kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan baik dan tepat
pada waktunya.
Dalam penulisan makalah ini pastilah ada banyak kendala yang kami
temui namun kami berhasil menghadapinya dan menyelesaikan makalah ini tepat
waktu. Akhir kata jika ada sesuatu yang tidak berkenan di hati pembaca mohon
dimaklumi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan , oktober 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2. Rumusan masalah .............................................................................. 2
1.3. Tujuan ................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3
2.1. Proses kehamilan ............................................................................... 3
2.2. Proses Perkembangan Janin .............................................................. 4
2.3. Farmakoterapi Kehamilan ................................................................. 6
2.3.1. Antibiotik dan antiseptik ........................................................ 6
2.3.2. Penisilin .................................................................................. 7
2.3.3. Sefalosporin ........................................................................... 8
2.3.4. Tetrasiklin .............................................................................. 8
2.3.6. Kloramfenikol ........................................................................ 9
2.3.7. Sulfonamida ........................................................................... 9
2.3.8. Eritromisin ............................................................................. 9
2.3.9. Trimetoprim ........................................................................... 10
2.3.10. Nitrofurantoin ......................................................................... 10
2.3.11. Analgetik ................................................................................ 10
2.3.12. Analgetika-narkotika .............................................................. 10
2.3.13. Analgetika-antipiretik ............................................................ 11
2.3.14. Antiinflamasi non-steroid....................................................... 11
2.3.15. Antiemetik .............................................................................. 12
2.3.16. Antiepilepsi ............................................................................ 12
2.3.17. Antihipertensi ......................................................................... 13
2.4. Fisiologi Ibu Hamil Yang Potensial Mempengaruhi
Farmakokinetik, Transfer Obat Lewat Plasenta................................. 14
2.5. Pemberian informasi dan edukasi pada ibu hamil ............................. 20
2.6. Kategori golongan obat untuk ibu hamil ........................................... 20
2.7. Studi kasus dengan soap .................................................................... 21
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 33
3.1. Kesimpulan ........................................................................................ 33
3.2. Saran .................................................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 35

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kehamilan merupakan masa rentan terhadap efek samping obat,
khususnya bagi janin. Salah satu contoh yang dapat memberikan pengaruh sangat
buruk terhadap janin jika diberikan pada periode kehamilan adalah talidomid,
yang memberi efek kelainan kongenital berupa fokomelia atau tidak tumbuhnya
anggota gerak.Untuk itu, pemberian obat pada masa kehamilan memerlukan
pertimbangan yang benar-benar matang.
Pemakaian obat pada kehamilan merupakan salah satu masalah
pengobatan yang penting untuk diketahui dan dibahas. Hal ini mengingat bahwa
dalam pemberian obat pada ibu hamil harus dipikirkan efek obat terhadap ibu dan
tidak boleh melupakan pengaruh atau efek samping obat pada janin. Keberadaan
obat pada ibu hamil dapat ditinjau dari 3 kompartemen, yaitu kompartemen ibu,
kompartemen plasenta, dan kompartemen fetal.
Kebanyakan obat yang digunakan oleh ibu hamil dapat melintasi plasenta
dan menimbulkan efek farmakologis dan efek teratogenik pada embrio dan janin
yang sedang berkembang. Insidens kelainan kongenital secara keseluruhan
diperkirakan sekitar 3-5% kehamilan, sedangkan yang diakibatkan oleh obat
sekitar 1-3% dari kehamilan.
Penurunan angka kematian ibu hamil sangat besar terutama di Indonesia,
sehingga perlu ditingkatkannya kualitas kesehatan ibu dan anak. Hal ini akan
sangat mendukung pelaksanaan upaya strategis dari tiap sektor dan seluruh
lapisan masyarakat dalam mencegah kematian ibu. Pelayanan Farmasi merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dengan pelayanan lain di rumah sakit, oleh karena
itu diperlukan upaya untuk mengarahkan kesatuan pandang para farmasist menuju
terwujudnya peningkatan mutu pelayanan sesuai dengan pedoman yang
ditetapkan guna mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat terutama
kesehatan ibu hamil.

1
1.2. Rumusan masalah
a. Bagaimana proses kehamilan?
b. Bagaimana proses perkembangan janin?
c. Bagaimana farmakoterapi pada keahmilan?
d. Apa yang dimaksud dengan fisiologi ibu hamil yang potensial
mempengaruhi farmakokinetik, transfer obat lewat plasenta?
e. Bagaimana pemberian informasi dan edukasi pada ibu hamil?
f. Bagaimana menyelesaikan studi kasus yang berkaitan dengan penggunaan
obat pada wanita hamil.?

1.3. Tujuan
a. Mahasiswa dapat mengetahui proses kehamilan.
b. Mahasiswa dapat mengetahui proses perkembangan janin.
c. Mahasiswa dapat mengetahui farmakoterapi kehamilan.
d. Masiswa dapat mengetahui dan mengerti fisiologi ibu hamil yang
potensial mempengaruhi farmakokinetik, transfer obat lewat plasenta.
e. Mahasiswa dapat mengetahui pemberian informasi dan edukasi pada ibu
hamil.
f. Mahasiswa dapat mempelajari studi kasus yang berkaitan dengan
penggunaan obat pada wanita hamil.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Proses kehamilan


Kehamilan merupakan suatu proses yang alami dan normal. Selama hamil
seorang ibu mengalami perubahan-perubahan yang terjadi baik fisik maupun
psikologis. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan ibu hamil mengalami
ketidaknyamanan. Rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh ibu hamil biasanya
berbeda-beda pada setiap trimester kehamilan. Sebagian besar wanita juga
mengalami ketidaknyamanan minor pada saat hamil sampai beberapa tingkat
disepanjang kehamilan normal, diantaranya adalah mual, nyeri ulu hati, nyeri
sendi, nyeri punggung, dispnea, hidung tersumbat, varises vena, kram kaki.

Proses kehamilan di dahului oleh proses pembuahan satu sel telur yang
bersatu dengan sel spermatozoa dan hasilnya akan terbentuk zigot. Zigot mulai
membelah diri satu sel menjadi dua sel, dari dua sel menjadi empat sel dan
seterusnya. Pada hari ke empat zigot tersebut menjadi segumpal sel yang sudah
siap untuk menempel / nidasi pada lapisan dalam rongga rahim (endometrium).
Kehamilan dimulai sejak terjadinya proses nidasi ini. Pada hari ketujuh gumpalan
tersebut sudah tersusun menjadi lapisan sel yang mengelilingi suatu ruangan yang
berisi sekelompok sel di bagian dalamnya. Sebagian besar manusia, proses
kehamilan berlangsung sekitar 40 minggu (280 hari) dan tidak lebih dari 43
minggu (300 hari). Kehamilan yang berlangsung antara 20 – 38 minggu disebut
kehamilan preterm, sedangkan bila lebih dari 42 minggu disebut kehamilan
postterm. Menurut usianya, kehamilan ini dibagi menjadi 3 yaitu kehamilan
trimester pertama 0 – 12 minggu, kehamilan trimester kedua 12 – 27 minggu dan
kehamilan trimester ketiga 27 – 40 minggu.

3
2.2. Proses Perkembangan Janin
a. Pembelahan
Pembelahan terjadi secara holobastik tidak teratur. Dimana bidang dan waktu
tahap-tahap pembelahan tidak sama dan tidak serentak pada berbagai daerah zigot.
Awalnya zigot membelah menjadi 2 sel, kemudian terjadi tingkat 3 sel dan
seterusnya, hingga terbentuk balstometer yang terdiri dari 50 – 70 sel berupa
gumpalan massif yang disebut morula
b. Blastulasi
Setelah sel morula mengalami pembelahan terus menerus makan terbentuk
rongga ditengah, embrio yang memiliki rongga disebut blastula, rongganya
disebut blastocel, .Pembelahan hingga terbentuk blastula berlangsung selama 5
hari di dalam oviduk. Selanjutnya blastula akan mengalir ke dalam uterus. Mula
mula blastosis akan terapung dalam lumen uterus. Setelah 6-7 hari fertilisaisi,
embrio akan mengadakan pertautan dengan uterus agar dapat berkembang ke
tahap selanjutnya , peristiwa ini disebut implantasi atau nidasi
c. Gastrulasi
Gastrulasi berlangsung pada hari ke 15. Pada tahap ini terjadi perpindahan sel,
perubahan bentuk sel, dan pengorganisasian embrio dalam suatu system sumbu.
Gastrulasi menghasilkan 3 lapisan lembaga yakni lapisan endoderm, mesoderm an
ektoderm, disamping pembelahan dan perbanyakan sel, terjadi pula gerakan sel
untuk mengatur dan menyususn sesuai susunan tubuh individu.
d. Tubulasi
Adalah pertumbuhan yang mengiringi pembentukan gastrula atau
pembubungan.Lapisekoderm,mesoderm,endoderm menyususn diri membentuk
bumbung berongga.Pada bumbung bagian depan tubuh (ektoderm) membentuk
otak. Pada bumbung endoderm terjadi diferesnsiasi awal saluran atas bagian
depan tengah belakang. Pada bumbung endoderm terjadi diferensiasi awal untuk
menumbuhkan otot rangka, dermis kulit dan alat urogenitalia.

4
e. Oragnogenenesis
Adalah embrio dalam bentruk primitive berubah menjadi bentuk yang lebih
definitive dan memiliki bentuk dan rupa yang spesifik dalam suatu spesies.
Dimulai pada akhir minggu ketiga dan berakhir pada minggu ke 8.
Perkembangan Janin dalam skala mingguan
1) Enam Minggu pertama
Sel sel blastosis akan berkembang menjadi embrio. Panjangnya sekitar
4mm dan berat kurang dari 1 gram. Cikal bakal organ penting seperti
jantung, otak, pencernaan akan terbentuk
2) Minggu Kesembilan
Ukuran janin 9 cm dan beratnya 3 gram badan mulai lurus dan kepala
sudah mulai tampak walupun tertekuk. Pada tahap ini gigi gigi dan lidah
mulai tumbuh. Jantung sudah berkembang sempurna dan sudah memiliki 4
ruang. Jantung sudah ebrdetak sekitar 180x per menit . Otak berukuran 4x
lebih besar disbanding sebelumnya.
3) Minggu Kedua belas
Janin sudah terlihat seperti manusia berukuran mungil, ukuranya 6cm dan
beratnya 15 gram semua jaringan tulang sudah tumbuh, namun proses
osifikasi (pengerasan tulang ) berlangsung secara bertahap. Organ wajah
sudah lengkap. Detak jantung sekitar 160x per menit.
4) Minggu ke enambelas
Ukuran janin sekitar 12 cm dan beratnya 130 gram.janin pada usia ini
sudah sangat aktif, sehingga bisa mengepalkan tangan , menelan cairan dan
mengeluarkan zat buangan. Mata mulai peka terhadap cahaya walaupun
masih tertutup. Janin didalam kandungan belum bisa bernafas, tapi ia
mendapat oksigen dari darah dalam plasenta. Janin juga dilindungi oleh
cairan ketuban. Fungsinya untuk melindungi bayi dari benturan dan
menjaga suhu agar stabil.
5) Minggu keduapuluh
Panjang janin sekitar 16 cm beratnya sekitar 340 gram. Petumbuhan
melambat tetapi paru-prau system poencernaan dan system kekebalan

5
berkembang dengan baik. Mata sudah bisa bergerak ke kiri kanan
walaupun masih tertutup. Janin juga sudah dapat mendengar. Pada minggu
ini gerakan janin akan lebih aktif dan terkoordinasi
6) Minggu Ke duapuluh empat
Berat janin 630 gram. Matanya sudah terbuka. Jari jari sudah terbentuk
secara sempurna
7) Minggu keduapuluh Sembilan
Panjang janin 26cm beratnya 1.1 kg. Paru paru sudah dilengkapi dengan
alveoli
8) Minggu ketigapuluh lima
Panjang janin mencapai 32 cm dengan berat badan 2.5kg. ukurannya
semakin proporsional. Lengan dan tungkainya sudah sempurna
9) Minggu ke empat puluh
Berat janin 3.5kg dangan panjang 36cm. Pada minggu ini janin sudah siap
untuk dilahirkan, paru-paru sudah sempurna. Jantung berdetak 110-150 kali
permenit . Plasenta sudah berhenti tumbuh

2.3. Farmakoterapi Kehamilan


2.3.1. Antibiotik dan antiseptik
Infeksi pada saat kehamilan tidak jarang terjadi, mengingat secara alamiah
risiko terjadinya infeksi pada periode ini lebih besar, seperti misalnya infeksi
saluran kencjng karena dilatasi ureter dan stasis yang biasanya muncul pada awal
kehamilan dan menetap sampai beberapa saat setelah melahirkan. Dalam
menghadapi kehamilan dengan infeksi,
pertimbangan pengobatan yang harus diambil tidak saja dari segi ibu,
tetapi juga segi janin, mengingat hampir semua antibiotika dapat melintasi
plasenta dengan segala konsekuensinya. Berikut akan dibahas antibiotika yang
dianjurkan maupun yang harus dihindari selama kehamilan, agar di samping
tujuan terapetik dapat tercapaisemaksimal mungkin, efek samping pada ibu dan
janin dapat ditekan seminimal mungkin.

6
2.3.2. Penisilin
Obat-obat yang termasuk dalam golongan penisilin dapat dengan mudah
menembus plasenta dan mencapai kadar terapetik baik pada janin maupun cairan
amnion. Penisilin relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan, meskipun
perlu pertimbangan yang seksama dan atas indikasi yang ketat mengingat
kemungkinan efek samping yang dapat terjadi pada ibu.
- Ampilisin:
Segi keamanan baik bagi ibu maupun janin relatif cukup terjamin. Kadar
ampisilin dalam sirkulasi darah janin meningkat secara lambat setelah
pemberiannya pada ibu dan bahkan sering melebihi kadarnya dalam sirkulasi ibu.
Pada awal kehamilan, kadar ampisilin dalam cairan amnion relatif rendah karena
belum sempurnanya ginjal janin, di samping meningkatnya kecepatan aliran darah
antara ibu dan janin pada masa tersebut. Tetapi pada periode akhir kehamilan di
mana ginjal dan alat ekskresi yangi lain pada janin telah matur, kadarnya dalam
sirkulasi janin justru lebih tinggi dibanding ibu. Farmakokinetika ampisilin
berubah menyolok selama kehamilan. Dengan meningkatnya volume plasma dan
cairan tubuh, maka meningkat pula volume distribusi obat. Oleh sebab itu kadar
ampisilin pada wanita hamil kira-kira hanya 50% dibanding saat tidak hamil.
Dengan demikian penambahan dosis ampisilin perlu dilakukan selama masa
kehamilan.
- Amoksisilin :
Pada dasarnya, absorpsi amoksisilin setelah pemberian per oral jauh lebih
baik dibanding ampisilin. Amoksisilin diabsorpsi secara cepat dan sempurna baik
setelah pemberian oral maupun parenteral. Seperti halnya dengan ampisilin
penambahan dosis amoksisilin pada kehamilan perlu dilakukan mengingat
kadarnya dalam darah ibu maupun janin relatif rendah dibanding saat tidak hamil.
Dalam sirkulasi janin, kadarnya hanya sekitar seperempat sampai sepertiga kadar
di sirkulasi ibu.

7
2.3.3. Sefalosporin
Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika diberikan
pada trimester pertama kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi janin
meningkat selama beberapa jam pertama setelah pemberian dosis pada ibu, tetapi
tidak terakumulasi setelah pemberian berulang atau melalui infus. Sejauh ini
belum ada bukti bahwa pengaruh buruk sefalosporin seperti misalnya anemia
hemolitik dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang mendapat
sefalosporin pada trimester terakhir kehamilan.
2.3.4. Tetrasiklin
Seperti halnya penisilin dan antibiotika lainnya, tetrasiklin dapat dengan
mudah melintasi plasenta dan mancapai kadar terapetik pada sirkulasi janin. Jika
diberikan pada trimester pertama kehamilan, tetrasiklin menyebabkan terjadinya
deposisi tulang in utero, yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan
pertumbuhan tulang, terutama pada bayi prematur. Meskipun hal ini bersifat tidak
menetap (reversibel) dan dapat pulih kembali setelah proses remodelling, namun
sebaiknya tidak diberikan pada periode tersebut. Jika diberikan pada trimester
kedua hingga ketiga kehamilan, tetrasiklin akan mengakibatkan terjadinya
perubahan warna gigi (menjadi kekuningan) yang bersifat menetap disertai
hipoplasia enamel. Mengingat kemungkinan risikonya lebih besar dibanding
manfaat yang diharapkan maka pemakaian tetrasiklin pada wanita hamil sejauh
mungkin harus dihindari.
2.3.5. Aminoglikosida
Aminoglikosida dimasukkan dalam kategori obat D, yang penggunaannya
oleh wanita hamil diketaui meningkatkan angka kejadian malformasi dan
kerusakan janin yang bersifat ireversibel. Pemberian aminoglikosida pada wanita
hamil sangat tidak dianjurkan. Selain itu aminoglikosida juga mempunyai efek
samping nefrotoksik dan ototoksik pada ibu, dan juga dapat menimbulkan
kerusakan ginjal tingkat seluler pada janin, terutama jika diberikan pada periode
organogeneis. Kerusakan saraf kranial VIII juga banyak terjadi pada bayi-bayi
yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat aminoglikosida pada kehamilan.

8
2.3.6. Kloramfenikol
Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil, terutama pada trimester II
dan III, di mana hepar belum matur, dapat menyebabkan angka terjadinya
sindroma Grey pada bayi, ditandai dengan kulit sianotik (sehingga bayi tampak
keabuabuan), hipotermia, muntah, abdomen protuberant, dan menunjukkan reaksi
menolak menyusu, di samping pernafasan yang cepat & tidak teratur, serta letargi.
Kloramfenikol dimasukkan dalam kategori C, yaitu obat yang karena efek
farmakologiknya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada janin tanpa disertai
malformasi anatomik. Pengaruh ini dapat bersifat reversibel. Pemberian
kloramfenikol selama kehamilan sejauh mungkin dihindari, terutama pada
minggu-minggu terakhir menjelang kelahiran dan selama menyusui.
2.3.7. Sulfonamida
Obat-obat yang tergolong sulfonamida dapat melintasi plasenta dan masuk
dalam sirkulasi janin, dalam kadar yang lebih rendah atau sama dengan kadarnya
dalam sirkulasi ibu. Pemakaian sulfonamida pada wanita hamil harus dihindari,
terutama pada akhir masa kehamilan. Hal ini karena sulfonamida mampu
mendesak bilirubin dari tempat ikatannya dengan protein, sehingga
mengakibatkan terjadinya kern-ikterus pada bayi yang baru dilahirkan. Keadaan
ini mungkin akan menetap sampai 7 hari setelah bayi lahir.
2.3.8. Eritromisin
Pemakaian eritromisin pada wanita hamil relatif aman karena meskipun
dapat terdifusi secara luas ke hampir semua jaringan (kecuali otak dan cairan
serebrospinal), tetapi kadar pada janin hanya mencapai 1-2% dibanding kadarnya
dalam serum ibu. Di samping itu, sejauh ini belum terdapat bukti bahwa
eritromisin dapat menyebabkan kelainan pada janin. Kemanfaatan eritromisin
untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia pada wanita hamil serta
pencegahan penularan ke janin cukup baik, meskipun bukan menjadi obat pilihan
pertama. Namun ditilik dari segi keamanan dan manfaatnya, pemakaian
eritromisin untuk infeksi tersebut lebih dianjurkan dibanding antibiotika lain,
misalnya tetrasiklin.

9
2.3.9. Trimetoprim
Karena volume distribusi yang luas, trimetoprim mampu menembus
jaringan fetal hingga mencapai kadar yang lebih tinggi dibanding
sulfametoksazol, meskipun kadarnya tidak lebih tinggi dari ibu. Pada uji hewan,
trimetoprim terbukti bersifat teratogen jika diberikan pada dosis besar. Meskipun
belum terdapat bukti bahwa trimetoprim juga bersifat teratogen pada janin, tetapi
pemakaiannya pada wanita hamil perlu dihindari. Jika terpaksa harus memberikan
kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol pada kehamilan, diperlukan pemberian
suplementasi asam folet.
2.3.10. Nitrofurantoin
Nitrofurantoin sering digunakan sebagai antiseptik pada saluran kencing.
Jika diberikan pada awal kehamilan, kadar nitrofurantoin pada jaringan fetal lebih
tinggi dibanding ibu, tetapi kadarnya dalam plasma sangat rendah. Dengan makin
bertambahnya umur kehamilan, kadar nitrofurantoin dalam plasma janin juga
meningkat. Sejauh ini belum terbukti bahwa nitrofurantoin dapat meningkatkan
kejadian malformasi janin. Namun perhatian harus diberikan terutama pada
kehamilan cukup bulan, di mana pemberian nitrofurantoin pada periode ini
kemungkinan akan menyebabkan anemia hemolitik pada janin.
2.3.11. Analgetik
Keluhan nyeri selama masa kehamilan umum dijumpai. Hal ini berkaitan
dengan masalah fisiologis dari si ibu, karena adanya tarikan otot-otot dan sendi
karena kehamilan, maupun sebab-sebab yang lain. Untuk nyeri yang tidak
berkaitan dengan proses radang, pemberian obat pengurang nyeri biasanya
dilakukan dalam jangka waktu relatif pendek. Untuk nyeri yang berkaitan dengan
proses radang, umumnya diperlukan pengobatan dalam jangka waktu tertentu.
Penilaian yang seksama terhadap penyebab nyeri perlu dilakukan agar dapat
ditentukan pilihan jenis obat yang paling tepat.
2.3.12. Analgetika-narkotika
Semua analgetika-narkotika dapat melintasi plasenta dan dari berbagai
penelitian pada gewan uji, secara konsisten obat ini menunjukkan adanya
akumulasi pada jaringan otak janin. Terdapat bukti meningkatkan kejadian

10
permaturitas, retardasi pertumbuhan intrauteri, fetal distress dan kematian
perinatal pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang sering mengkonsumsi
analgetika-narkotik. Keadaan withdrawl pada bayi-bayi yang baru lahir tersebut
biasanya manifes dalam bentuk tremor, iritabilitas, kejang, muntah, diare dan
takhipnoe. Metadon: Jika diberikan pada kehamilan memberi gejala withdrawal
yang munculnya lebih lambat dan sifatnya lebih lama dibanding heroin. Beratnya
withdrawal karena metadon nampaknya berkaitan dengan meningkatnya dosis
pemeliharaan pada ibu sampai di atas 20 mg/hari, Petidin Dianggap paling aman
untuk pemakaian selam proses persalinan. Tetapi kenyataannya bayi-bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang mendapat petidin selama proses kelahiran menunjukkan
skala neuropsikologik yang lebih rendah disbanding bayi-bayi yang ibunya tidak
mendapat obat ini, atau yang mendapat anestesi lokal. Dengan alasan ini maka
pemakaian petidin pada persalinan hanya dibenarkan apabila anestesi epidural
memang tidak memungkinkan.
2.3.13. Analgetika-antipiretik
Parasetamol, Merupakan analgetika-antipiretik yang relatif paling aman
jika diberikan selama kehamilan. Meskipun kemungkinan terjadinya efek samping
hepatotoksisitas tetap ada, tetapi umumnya terjadi pada dosis yang jauh lebih
besar dari yang dianjurkan.
Antalgin:, Dikenal secara luas sebagai pengurang rasa nyeri derajat ringan. Salah
satu efek samping yang dikhawatirkan pada penggunaan antalgin ini adalah
terjadinya agranulositosis. Meskipun angka kejadiannya relatif sangat jarang,
tetapi pemakaian selama kehamilan sebaiknya dihindari.
2.3.14. Antiinflamasi non-steroid
Dengan dasar mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis
prostaglandin, efek samping obat-obat antiinflamasi non-steroid kemungkinan
lebih sering terjadi pada trimester akhir kehamilan. Dengan terhambatnya sintesis
prostaglandin, pada janin akan terjadi penutupan duktus arteriosus Botalli yang
terlalu dini, sehingga bayi yang dilahirkan akan menderita hipertensi pulmonal.
Efek samping yang lain adalah berupa tertunda dan memanjangnya proses
persalinan jika obat ini diberikan pada trimester terakhir. Sejauh ini tidak terdapat

11
bukti bahwa antiiflamasi non-steroid mempunyai efek teratogenik pada janin
dalam bentuk malformasi anatomik. Namun demikian, pemberian obat-obat
tersebut selama kehamilan hendaknya atas indikasi yang ketat disertai beberapa
pertimbangan pemilihan jenis obat. Pertimbangan ini misalnya dengan memilih
obat yangmempunyai waktu paruh paling singkat, dengan risiko efek samping
yang paling ringan.
2.3.15. Antiemetik
Meskipun pada uji hewan terdapat bukti bahwa obat-obat antiemetik
(meklozin dan siklizin) dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas janin, tetapi
hal ini belum terbukti pada manusia. Terdapat hubungan yang bermakna antara
pemakaian prometazin selama trimester pertama kehamilan dengan terjadinya
dislokasi panggul kongenital pada
janin. Pemakaian antiemetik selama kehamilan sebaiknya dihindari jika intervensi
non-farmakologik lainnya masih dapat dilakukan.
2.3.16. Antiepilepsi
Fenitoin (difenilhidantoin) dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi
janin setelah pemberian dosis terapetik secara intravenosa. Dosis tertinggi pada
janin ditemukan dalam hepar, jantung, dan glandula adrenal. Pada wanita hamil
yang mendapat pengobatan fenitoin jangka panjang, kadar fenitoin dalam sirkulasi
janin sama dengan kadarnya dalam sirkulasi janin sama dengan kadarnya dalam
sirkulasi ibu. Waktu paruh fenitoin pada bayi baru lahir sekitar 60-70 jam dan
obat masih didapat dalam plasma bayi, hingga hari ke lima setelah kelahiran.
Pemberian fenitoin selamakehamilan dalam jangka panjang ternyata berkaitan erat
dengan meningkatnya angka kejadian kelainan kongenital pada bayi yang
dilahirkan. Kelainan ini berupa malformasi kraniofasial disertai penyakit jantung
kongenital, celah fasial, mikrosefalus dan beberapa kelainan pada kranium dan
tulang-tulang lainnya. Oleh karena itu pemakaian fenitoin selama kehamilan
sangat tidak dianjurkan. Obat-obat antiepilepsi lain seterti karbamazepin dan
fenobarbiton ternyata juga menyebabkan terjadinya malformasi kongenital
(meskipun lebih ringan ) pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mengkonsumsi
obat-obat tersebut

12
selama masa kehamilannya. Pemakaian asam valproat selama kehamilan mungkin
meningkatkan derajat defek tuba neuralis. Dari beberapa penelitian dilaporkan
bahwa 1-2 % spina bifida pada bayi baru lahir terjadi karena ibu mengkonsumsi
asam valproat
selama masa kehamilannya.
2.3.17. Antihipertensi
Dalam praktek sehari-hari tidak jarang kita menjumpai seorang wanita
yang dalam masa kehamilannya menderita hipertensi. Dalam hal ini yang harus
diperhatikan adalah apakah wanita tersebut memang penderita hipertensi atau
hipertensi yang dialami hanya terjadi selama masa kehamilan. Meskipun
pendekatan terapi antar keduanya berbeda, tetapi tujuan terapinya adalah sama
yaitu mencegah terjadinya hipertensi yang lebih berat agar kehamilannya dapat
dipertahankan hingga cukup bulan, serta menghindari kemungkinan terjadinya
kematian maternal karena eklamsia atau hemoragi serebral terutama saat
melahirkan. Sejauh mungkin juga diusahakan agar tidak terjadi komplikasi atau
kelainan pada bayi yang dilahirkan, baik karena hipertensinya maupun komplikasi
yang menyertainya. Berikut akan dibahas pemakaian obat-obat antihipertensi
selama masa kehamilan.
– Golongan penyekat adrenoseptor beta
Obat-obat golongan ini seperti misalnya oksprenolol dan atenolol dapat
melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin dengan memberi efek blokade
beta pada janin. Oksprenolol dan atenolol relatif aman dan tidak terbukti
meningkatkan kejadian kejadian malformasi janin, meskipun terdapat beberapa
kasus bayi dengan bradikardi temporer setelah pemberian atenolol pada ibu
selama kehamilannya.
- Vasodilator
Pada kehamilan, diazoksid, dan hidralazin umumnya digunakan untuk
mencegah kelahiran prematur akibat eklampsia, dimana efeknya tidak saja berupa
relaksasi otot vaskuler tetapi juga berpengaruh terhadap otot uterus. Jika
digunakan selama masa kehamilan aterm dapat mengakibatkan lambatnya

13
persalinan. Pada pemakaian jangka panjang, diazoksid dapat menyebabkan
terjadinya alopesia dan gangguan toleransi glukosa pada bayi baru lahir.
- Golongan simpatolitik sentral:
Metildopa relatif aman selama masa kehamilan. Obat ini mampu melintasi
barier plasenta dengan kadar yang hampir sama dengan kadar maternal.
Pemberian metildopa hanya efektif untuk hipertensi yang lebih berat. Klonidin
juga relatif aman untuk ibu dan janin, tetapi pada dosis besar sering memberi efek
samping seperti sedasi dan mulut kering. Secara lebih tegas, obat-obat
antihipertensi yang tidak dianjurkan selama kehamilan meliputi:
1. Pemakaian obat-obat golongan antagonis kalsium seperti verapamil,
nifedipin, dan diltiazem selama kehamilan ternyata menunjukkan
kecenderungan terjadinya hipoksia fetal jika terjadi hipotensi pada
maternal.
2. Diuretika sangat tidak dianjurkan selama masa kehamilan karena di
samping mengurangi volume plasma juga mengakibatkan berkurangnya
perfusi utero-plasenta.
3. Obat-obat seperti reserpin sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil
karena dapat menyebabkan hilangnya termoregulasi pada neonatal jika
dikonsumsi selama trimester III.
4. Obat-obat penyekat neuroadrenergik seperti debrisokuin dan guanetidin
sebaiknya juga tidak diberikan selama kehamilan karena menyebabkan
hipotensi postural dan menurunkan perfusi uteroplasental.
5. Pemakaian obat Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor seperti
kaptopril dan enalapril sangat tidak dianjurkan selama kehamilan karena
meningkatkan kejadian mortalitas janin.

2.4. Fisiologi Ibu Hamil Yang Potensial Mempengaruhi Farmakokinetik,


Transfer Obat Lewat Plasenta
Farmakokinetika adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja
obat. Empat proses yang termasuk di dalamnya adalah : absorpsi, distribusi,
metabolisme ( biotransformasi ) dan ekskresi ( eliminasi ). Pada masa kehamilan,

14
perubahan fisiologis akan terjadi secara dinamis, hal ini dikarenakan terbentuknya
unit fetal-plasental-maternal. Karena perubahan fisiologis inilah maka
farmakokinetika obat baik absorpsi, distribusi, metabolisme maupun ekskresi pun
ikut berubah. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut antara lain perubahan
fungsi saluran cerna, fungsi saluran nafas, dan peningkatan laju filtrasi glomerulus
pada ginjal.
Suatu penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan obat dapat melewati sawar
plasenta dengan mudah, sehingga janin yang dikandung pun ikut menerima obat,
serta dapat mengalami perubahan-perubahan seperti :
1. Kehamilan bisa mengubah absorpsi obat yang diberikan peroral
2. Kehamilan bisa mengubah distribusi obat yang disebabkan karena
peningkatan distribusi volume (intravaskuler, interstisial dan di dalam tubuh
janin) serta peningkatan cardiac output.
3. Kehamilan mengubah interaksi obat-reseptor karena timbul dan tumbuhnya
reseptor obat yang baru di plasenta dan janin .
4. Kehamilan dapat mengubah ekskresi obat melalui peningkatan aliran darah
ginjal dan
filtrasi glomerulus.
OBAT —> DARAH (PLASMA) —> TEMPAT KERJA —> EFEK
Jika suatu obat digunakan sebagai profilaksis, misalnya pada pencegahan
kekambuhan epilepsi, atau pemakaian obat yang responsnya sukar diukur
(misalnya, efek antiirtflamasi), kadar obat dalam darah merupakan parameter yang
dapat digunakan secara efektif untuk memantau terapi.
Setiap individu mempunyai gambaran farmakokinetik obat yang berbeda-
beda. Dosis yang sama dari suatu obat bila diberikan pada sekelompok orang
dapat menunjukkan gambaran kadar dalam darah yang berbeda-beda dengan
intensitas respons yang berlainan pula. Kenyataan hubungan konsentrasi obat
dalam darah dengan respons yang dihasilkan tidak banyak bervariasi dibanding
dengan hubungan dosis dengan respons. Dengan menganggap bahwa respons
terhadap obat bergantung pada kadar obat dalam darah, kita mengenal 3 macam
kadar obat, yaitu kadar efektif minimum, pada kadar di bawahnya tidak jelas

15
adanya efek obat; kadar toksik, pada kadar ini, efek-efek toksik (efek samping
yang tidak diinginkan) mulai timbul; dan kadar obat yang terletak di antara kadar
efektif minimum dan kadar toksik yang dikenal sebagai jendela terapeutik.
Selama kehamilan terjadi perubahan-perubahan fisiologi yang
mempengaruhi farmakokinetika obat. Perubahan tersebut meliputi peningkatan
cairan tubuh misalnya penambahan volume darah sampai 50% dan curah jantung
sampai dengan 30%. Pada akhir semester pertama aliran darah ginjal meningkat
50% dan pada akhir kehamilan aliran darah ke rahim mencapai puncaknya hingga
600-700 ml/menit. Peningkatan cairan tubuh tersebut terdistribusi 60 % di
plasenta, janin dan cairan amniotik, 40% di jaringan si ibu. Perubahan volume
cairan tubuh tersebut diatas menyebabkan penurunan kadar puncak obat-obat di
serum, terutama obat-obat yang terdistribusi di air seperti aminoglikosida dan
obat dengan volume distribusi yang rendah. Peningkatan cairan tubuh juga
menyebabkan pengenceran albumin serum (hipoalbuminemia) yang menyebabkan
penurunan ikatan obat-albumin. Steroid dan hormon yang dilepas plasenta serta
obat-obat lain yang ikatan protein plasmanya tinggi akan menjadi lebih banyak
dalam bentuk tidak terikat. Tetapi hal ini tidak bermakna secara klinik karena
bertambahnya kadar obat dalam bentuk bebas juga akan menyebabkan
bertambahnya kecepatan metabolisme obat tersebut.Gerakan saluran cerna
menurun pada kehamilan tetapi tidak menimbulkan efek yang bermakna pada
absorpsi obat. Aliran darah ke hepar relatif tidak berubah. Walau demikian
kenaikan kadar estrogen dan progesteron akan dapat secara kompetitif
menginduksi metabolisme obat lain, misalnya fenitoin atau menginhibisi
metabolisme obat lain misalnya teofilin.Peningkatan aliran darah ke ginjal dapat
mempengaruhi bersihan (clearance) ginjal obat yang eliminasi nya terutama lewat
ginjal, contohnya penicilin. Perpindahan obat lewat plasenta. Perpindahan obat
lewat plasenta umumnya berlangsung secara difusi sederhana sehingga
konsentrasi obat di darah ibu serta aliran darah plasenta akan sangat menentukan
perpindahan obat lewat plasenta.

16
Seperti juga pada membran biologis lain perpindahan obat lewat plasenta
dipengaruhi oleh hal-hal dibawah ini :
 Kelarutan dalam lemak
Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan mudah melewati
plasenta masuk ke sirkulasi janin. Contohnya , thiopental, obat yang
umum digunakan pada dapat menyebabkan apnea (henti nafas) pada bayi
yang baru dilahirkan.
 Derajat ionisasi
Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati plasenta. Sebaliknya
obat yang terionisasi akan sulit melewati membran Contohnya suksinil
kholin dan tubokurarin yang juga digunakan pada seksio sesarea, adalah
obat-obat yang derajat ionisasinya tinggi, akan sulit melewati plasenta
sehingga kadarnya di di janin rendah. Contoh lain yang memperlihatkan
pengaruh kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi adalah salisilat, zat
ini hampir semua terion pada pH tubuh akan melewati akan tetapi dapat
cepat melewati plasenta. Hal ini disebabkan oleh tingginya kelarutan
dalam lemak dari sebagian kecil salisilat yang tidak terion. Permeabilitas
membran plasenta terhadap senyawa polar tersebut tidak absolut. Bila
perbedaan konsentrasi ibu-janin tinggi, senyawa polar tetap akan melewati
plasenta dalam jumlah besar.
 Ukuran molekul
Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton akan mudah
melewati pori membran bergantung pada kelarutan dalam lemak dan
derajat ionisasi. Obat-obat dengan berat molekul 500-1000 Dalton akan
lebih sulit melewati plasenta dan obat-obat dengan berat molekul >1000
Dalton akan sangat sulit menembus plasenta. Sebagai contoh adalah
heparin, mempunyai berat molekul yang sangat besar ditambah lagi adalah
molekul polar, tidak dapt menembus plasenta sehingga merupakan obat
antikoagulan pilihan yang aman pada kehamilan.

17
 Ikatan protein.
Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas) yang dapat
melewati membran. Derajat keterikatan obat dengan protein, terutama
albumin, akan mempengaruhi kecepatan melewati plasenta. Akan tetapi
bila obat sangat larut dalam lemak maka ikatan protein tidak terlalu
mempengaruhi, misalnya beberapa anastesi gas. Obat-obat yang
kelarutannya dalam lemak tinggi kecepatan melewati plasenta lebih
tergantung pada aliran darah plasenta. Bila obat sangat tidak larut di lemak
dan terionisasi maka perpindahaan nya lewat plasenta lambat dan
dihambat oleh besarnya ikatan dengan protein. Perbedaan ikatan protein di
ibu dan di janin juga penting, misalnya sulfonamid, barbiturat dan fenitoin,
ikatan protein lebih tinggi di ibu dari ikatan protein di janin. Sebagai
contoh adalah kokain yang merupakan basa lemah, kelarutan dalam lemak
tinggi, berat molekul rendah (305 Dalton) dan ikatan protein plasma
rendah (8-10%) sehingga kokain cepat terdistribusi dari darah ibu ke janin.
Metabolisme obat di plasenta dan di janin. Dua mekanisme yang ikut
melindungi janin dari obat disirkulasi ibu adalah.
1. Plasenta yang berperan sebagai penghalang semipermiabel juga sebagai
tempat metabolisme beberapa obat yang melewatinya. Semua jalur utama
metabolisme obat ada di plasenta dan juga terdapat beberapa reaksi oksidasi
aromatik yang berbeda misalnya oksidasi etanol dan fenobarbital. Sebaliknya ,
kapasitas metabolisme plasenta ini akan menyebabkan terbentuknya atau
meningkatkan jumlah metabolit yang toksik, misalnya etanol dan benzopiren.
Dari hasil penelitian prednisolon, deksametason, azidotimidin yang struktur
molekulnya analog dengan zat-zat endogen di tubuh mengalami metabolisme
yang bermakna di plasenta.
2. Obat-obat yang melewati plasenta akan memasuki sirkulasi janin lewat vena
umbilikal. Sekitar 40-60% darah yang masuk tersebut akan masuk hati janin,
sisanya akan langsung masuk ke sirkulasi umum janin. Obat yang masuk ke
hati janin, mungkin sebagian akan dimetabolisme sebelum masuk ke sirkulasi
umum janin, walaupun dapat dikatakan metabolisme obat di janin tidak

18
berpengaruh banyak pada metabolisme obat maternal. Obat-obat yang bersifat
teratogenik adalah asam lemah, misalnya talidomid, asam valproat,
isotretinoin, warfarin. Hal ini diduga karena asam lemah akan mengubah pH
sel embrio. Dan dari hasil penelitian pada hewan menunjukkan bahwa pH
cairan sel embrio lebih tinggi dari pH plasma ibu, sehingga obat yang bersifat
asam akan tinggi kadarnya di sel embrio.
1. Mekanisme Transfer Obat melalui Plasenta
Dengan mengingat peran plasenta dalam memfiltrasi atau seleksi obat baik
secara pasif maupun aktif serta banyak sedikitnya kadar obat yang masuk ke
janin, maka perlu dipikirkan kadar obat yang akan berefek atau memberi risiko
pada pertumbuhan organ janin.2Perbandingan konsentrasi obat dalam plasma ibu
dan janin dapat memberi gambaran pemaparan janin terhadap obat-obatan yang
diberikan kepada ibunya.7Oleh karena itu keseimbangan obat dalam plasma
sangat penting untuk diketahui.2
Waddell dan Marlowe (1981) menetapkan bahwa terdapat 3 tipe transfer
obat-obatan melalui plasenta sebagai berikut:2,7,8,11
1) Tipe I
Obat-obatan yang segera mencapai keseimbangan dalam kompartemen
ibu dan janin atau terjadi transfer lengkap dari obat tersebut. Yang
dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah tercapainya konsentrasi
terapetik yang sama secara simultan pada kompartemen ibu dan
janin.2,7,8,11
2) Tipe II
Obat-obatan yang mempunyai konsentrasi dalam plasma janin lebih
tinggi daripada konsentrasi dalam plasma ibu (terjadi transfer yang
berlebihan). Hal ini terjadi karena transfer pengeluaran obat dari janin
berlangsung lebih lambat.2,7,8,11
3) Tipe III
Obat-obatan yang mempunyai konsentrasi dalam plasma janin lebih
rendah daripada konsentrasi dalam plasma ibu (terjadi transfer yang
tidak lengkap).2,7,8,11

19
Kebanyakan obat yang digunakan oleh ibu hamil dapat melintasi plasenta
dan menimbulkan efek farmakologis dan efek teratogenik pada embrio dan janin
yang sedang berkembang.12 Faktor-faktor penting yang mempengaruhi transfer
obat ke plasenta dan efek obat terhadap janin meliputi :12,13
1. Sifat fisikokimiawi dari obat
2. Kecepatan obat untuk melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin
3. Lamanya pemaparan terhadap obat
4. Bagaimana obat didistribusikan ke jaringan-jaringan yang berbeda pada
janin
5. Periode perkembangan janin saat obat diberikan dan
6. Efek obat jika diberikan dalam bentuk kombinasi.

2.5. Pemberian informasi dan edukasi pada ibu hamil


1. Gunakan hanya jika memang ada indikasi mutlak
2. Jika mungkin, hindari terapi pada trimester I
3. Pilih obat yang aman (obat lama yang telah terbukti keamanannya)
4. Gunakan dosis efektif terendah
5. Terapi obat yang terdiri dari zat tunggal
6. Hiidari pemakaian obat bebas

2.6. Kategori golongan obat untuk ibu hamil


Kategori A
Obat yang terkategori A merupakan obat-obat yang cukup aman
dikonsumsi ibu hamil.
Studi menunjukkan bahwa obat kategori ini tidak menyebabkan risiko
kehamilan atau malformasi pada trimester pertama.
Contoh obat atau zat: levothyroxine, asam folat, liothyronine.
Kategori B
Kategori ini meliputi obat-obat yang masih jarang dikonsumsi ibu hamil
namun juga tidak menunjukkan adanya efek malformasi bagi janin.
Studi reproduksi hewan telah gagal menunjukkan risiko pada janin.

20
Contoh obat: metformin, hydrochlorothiazide, cyclobenzaprine, amoxicillin,
pantoprazole.
Kategori C
Obat kategori ini bisa berdampak buruk pada janin namun biasanya dampaknya
bisa membaik kembali.
Studi reproduksi hewan telah menunjukkan efek buruk pada janin, tetapi karena
manfaat potensial mungkin beberapa ibu hamil memerlukan penggunaan obat ini.
Contoh obat: tramadol, gabapentin, amlodipine, trazodone.
Kategori D
Obat-obat golongan ini terbukti bisa menyebabkan malformasi dan berbahaya
bagi janin.
Risiko bahayanya bersifat menetap atau tidak bisa membaik dengan sendirinya.
Ada bukti positif risiko janin manusia berdasarkan data reaksi yang merugikan
dari pengalaman investigasi atau studi pada manusia.
Contoh obat: lisinopril, alprazolam, losartan, clonazepam, lorazepam
Kategori X
Studi pada hewan atau manusia telah menunjukkan kelainan janin dan dilarang
untuk dikonsumsi selama kehamilan.
Obat ini memiliki efek negatif yang nyata dibandingkan manfaatnya pada ibu
hamil.
Contoh obat: atorvastatin, simvastatin, warfarin, methotrexate, finasteride.
Selain lima kategori di atas, Moms pun perlu perhatikan bahwa ibu hamil tidak
bisa sembarangan mengonsumsi obat tanpa resep dokter.

2.7. Studi kasus dengan soap


STUDI KASUS 1
 Seorang ibu sedang hamil 2 bulan, mengalami Infeksi Saluran Kemih dan
diberi Tetrasiklin 
500 mg 3x sehari.
 Ibu tersebut juga mengalami demam dan muntah-muntah, diberi Parasetamol
500 mg 3x1, dan Metoklopramid 10 mg 3x sehari.

21
METODE SOAP
1. Subjektive
- Pasien : Ibu hamil 2 bulan
- Daftar Problem Pasien :
 Infeksi Saluran Kemih
 Demam dan muntah

2. Objective
ISK : Tetrasikin = 500mg  3 x sehari
Demam dan muntah – muntah : Paracetamol = 500 mg  3 x
sehari
Metoklopramid = 10 mg  3 x sehari
3. Assasement
 adanya ADR (adverse drug reaction )
- tidak dianjurkan menggunakan obat tetrasiklin ( termasuk
kategori D)
- adanya problem disebabkan karena obat
- pengobatan diperlukan untuk terapi
- semua pengobatan dibutuhkan
- tidak ada duplikasi obat
- semua terapi obat tepat kecuali tetrasiklin
- bentuk sediaan dan cara pemberian benar
- adanya efek samping penggunaan obat yang harus dihindari
(tetrasiklin)
4. Plan
 Penggantian tetrasiklin dengan antibiotik lain dengan kontraindikasi
yang tidak berbahaya untuk ibu hamil.
 Tetrasiklin diganti dengan cefadroxil.
Tetrasiklin : Obat Golongan D
- katagori D : Ada bukti mengenai resiko terhadap janin manusia, tetapi
besarnya manfaat yang diperoleh mungkin lebih besar dari

22
resikonya(misalnya jika obat diperlukan untuk mengatasi situasi yang
terancam jiwa atau untuk penyakit serius yang tidak efektif atau tidak
mungkin di atasi dengan obat yang lebih aman).
- Mengganggu pertumbuhan tulang mewarnai gigi menjadi kuning
kecoklatan, hypoplasia dan kerusakan pada email.
- Cefadroxil merupakan obat untuk gangguan saluran kemih dan saluran
nafas.
Cefadroxil : Obat Golongan B
- katogori B : studi terhadap sistem reproduksi binatang percobaan tidak
memperlihatkan adanya resiko pada janin, tetapi tidak ada studi
terkontrol pada wanita hamil, atau studi terhadap sistem reproduksi
binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping (selain
penurunan fertilitas) yang tidak dilaporkan terjadi pada studi
terkontrol pada wanita hamil trimester pertama (dan tidak ada bukti
mengenai resiko pada trimester selanjutmnya).
 INFEKSI SALURAN KEMIH ( ISK )
1. Pengertian
 Infeksi Saluran Kemih (ISK) atau Urinarius Tractus Infection (UTI)
adalah suatu keadaan adanya infasi mikroorganisme pada saluran
kemih(Agus Tessy, 2001).
 Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu keadaan adanya infeksi
bakteri pada saluran kemih(Enggram, Barbara, 1998). Infeksi saluran
kemih dapat mengenai baik laki-laki maupun perempuan dari semua
umur baik pada anak-anak, remaja, dewasa maupun umur lanjut. Akan
tetapi dari dua jenis kelamin tersebut ternyata wanita lebih sering
terkena dari pada pria dengan angka populasi umur kurang lebih 5-
15%.
 Infeksi saluran kemih pada bagian tertentu dari saluran perkemihan
yang disebabkan oleh bakteri terutama scherichia coli : rtesiko dan
beratnya meningkat dengan kondiisi seperti refluks vesikouretral,

23
obstruksi saluran perkemihan, statis perkemihan, pemakaian
instrumen uretral baru, septikemia. (Susan Martin Tucker, dkk, 1998).
 Infeksi traktus urinarius pada pria merupakan akibat dari menyebarnya
infeksi yang berasal dari uretra seperti juga pada wanita.
 Namun demikian, panjang uretra dan jauhnya jarak antara uretra dari
rektum pada pria dan adanya bakterisidal dalam cairan prostatik
melindungi pria dari infeksi traktus urinarius. Akibatnya UTI pada
pria jarang terjadi, namun ketika gangguan ini terjadi kali ini
menunjukkan adanya abnormalitas fungsi dan struktur dari traktus
urinarius.
2. Patofisiologi dan Penyebab Infeksi Saluran Kemih
Infeksi Saluran Kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme
patogenik dalam traktus urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui :
kontak langsung dari tempat infeksi terdekat, hematogen,
limfogen. Ada dua jalur utama terjadinya ISK, asending dan hematogen.
Secara ascending yaitu:
1) masuknya mikroorganisme dalm kandung kemih, antara lain:
factor anatomi dimana pada wanita memiliki uretra yang lebih
pendek daripada laki-laki sehingga insiden terjadinya ISK lebih
tinggi, factor tekanan urine saat miksi, kontaminasi fekal,
pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemeriksaan
sistoskopik, pemakaian kateter), adanya dekubitus yang
terinfeksi.
2) Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal
Secara hematogen yaitu: sering terjadi pada pasien yang system
imunnya rendah sehingga mempermudah penyebaran infeksi secara
hematogen Ada beberapa hal yang mempengaruhi struktur dan fungsi
ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen, yaitu: adanya
bendungan total urine yang mengakibatkan distensi kandung kemih,
bendungan intrarenal akibat jaringan parut, dan lain-lain.

24
Pada usia lanjut terjadinya ISK ini sering disebabkan karena adanya:
1) Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat
pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap atau kurang
efektif.
2) Mobilitas menurun
3) Nutrisi yang sering kurang baik
4) System imunnitas yng menurun
5) Adanya hambatan pada saluran urin
6) Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.
3. Tanda dan Gejala Infeksi Saluran Kemih
a. Gejala – gejala dari infeksi saluran kemihsecara umum sering
meliputi:
1) Gejala yang terlihat, sering timbulnya dorongan untuk berkemih
2) Rasa terbakar dan perih pada saat berkemih
3) Seringnya berkemih, namun urinnya dalam jumlah sedikit
(oliguria)
4) Adanya sel darah merah pada urin (hematuria)
5) Urin berwarna gelap dan keruh, serta adanya bau yang menyengat
dari urin
6) Ketidaknyamanan pada daerah pelvis renalis
7) Rasa sakit pada daerah di atas pubis
8) Perasaan tertekan pada perut bagian bawah
9) Demam
10) Pada wanita yang lebih tua juga menunjukkan gejala yang serupa,
yaiu kelelahan, hilangnya kekuatan, demam
11) Sering berkemih pada malam hari
Jika infeksi dibiarkan saja, infeksi akan meluas dari kandung
kemih hingga ginjal. Gejala – gejala dari adanya infeksi pada
ginjal berkaitan dengan gejala pada cystitis, yaitu demam,
kedinginan, rasa nyeri pada punggung, mual, dan muntah. Cystitis
dan infeksi ginjal termasuk dalam infeksi saluran kemih.

25
Tidak setiap orang dengan infeksi saluran kemih dapat dilihat
tanda – tanda dan gejalanya, namun umumnya terlihat beberapa
gejala, meliputi:
1) Desakan yang kuat untuk berkemih
2) Rasa terbakar pada saat berkemih
3) Frekuensi berkemih yang sering dengan jumlah urin yang
sedikit (oliguria)
4) Adanya darah pada urin (hematuria)
b. Gejala – gejala dari infeksi saluran kemih secara spesifik sering
meliputi :
1) Pyelonephritis akut.
Pada tipe ini, infeksi pada ginjal mungkin terjadi setelah
meluasnya infeksi yang terjadi pada kandung kemih. Infeksi pada
ginjal dapat menyebabkan rasa salit pada punggung atas dan
panggul, demam tinggi, gemetar akibat kedinginan, serta mual
atau muntah.
2) Cystitis.
Inflamasi atau infeksi pada kandung kemih dapat dapat
menyebabkan rasa tertekan pada pelvis, ketidaknyamanan pada
perut bagian bawah, rasa sakit pada saat urinasi, dan bau yang
mnyengat dari urin.
3) Uretritis.
Inflamasi atau infeksi pada uretra menimbulkan rasa terbakar
pada saat urinasi. Pada pria, uretritis dapat menyebabkan
gangguan pada penis.
Tanda dan gejala infeksi saluran kemih berdasarkan rentang usia, meliputi
:
a. Gejala pada bayi dan anak kecil yang sering terjadi, meliputi:
1) Kecendrungan terjadi demam tinggi yang tidak diketahui
sebabnya, khususnya jika dikaitkan dengan tanda – tanda bayi
yang lapar dan sakit, misalnya: letih dan lesu.

26
2) Rasa sakit dan bau urin yang tidak enak. ( orang tua umumnya
tidak dapat mengidentifikasikan infeksi saluran kemih hanya
dengan mencium urin bayinya. Oleh karena itu pemeriksaan
medis diperlukan).
3) Urin yang keruh. (jika urinnya jernih, hal ini hanya mirip dengan
penyakit, walaupun tidak dapat dibuktikan kebenarannya bahwa
bayi tersebut bebas dari Infeksi saluran kemih).
4) rasa sakit pada bagian abdomen dan punggung.
5) muntah dan sakit pada daerah abdomen (pada bayi)
6) jaundice (kulit yang kuning dan mata yang putih) pada bayi,
khususnya bayi yang berusia setlah delapan hari.
b. Gejala infeksi saluran kemih pada anak – anak, meliputi:
1) Diarrhea
2) Menangis tanpa henti yang tidak dapat dihentikan dengan usaha
tertentu (misalnya: pemberian makan, dan menggendong)
3) Kehilangan nafsu makan
4) Demam
5) Mual dan muntah
6) Pada anak – anak, mengompol juga menandakan gejala adanya
infeksi saluran kemih.
7) Lemah
8) Adanya rasa sakit pada saat berkemih.
c. Untuk anak-anak yang lebih dewasa, gejala yang ditunjukkan berupa:
1) rasa sakit pada panggul dan punggung bagian bawah (dengan
infeksi pada ginjal)
2) seringnya berkemih
3) ketidakmampuan memprodukasi urin dalam jumlah yang normal,
dengan kata lain, urin berjumlah sedikit (oliguria)
4) tidak dapat mengontrol pengeluaran kandung kemih dan isi perut
5) rasa sakit pada perut dan daerah pelvis
6) rasa sakit pada saat berkemih (dysuria)

27
7) urin berwarna keruh dan memilki bau menyengat
d. Gejala infeksi saluran kemih pada orang dewasa, meliputi:
1) Gejala yang mengindikasikan infeksi saluran kemihringan
(misalnya: cystitis, uretritis) meliputi :
- rasa sakit pada punggung
- adanya darah pada urin (hematuria)
- adanya protein pada urin (proteinuria)
- urin yang keruh
- ketidakmampuan berkemih meskipun tidak atau adanya urin
yang keluar
- demam
- dorongan untuk berkemih pada malam hari (nokturia)
- tidak nafsu makan
- lemah dan lesu (malaise)
- rasa sakit pada saat berkemih (dysuria)
- rasa sakit di atas bagian daerah pubis (pada wanita)
- rasa tidak nyaman pada daerah rectum (pada pria)
2) Gejala yang mengindikasikan infeksi saluran kemih lebih berat
(misalnya: pyelonephritis) meliputi:
- Kedinginan
- demam tinggi dan gemetar
- mual
- muntah (emesis)
- rasa sakit di bawah rusuk
- rasa sakit pada daerah sekitar abdome

28
 PROFIL PENGOBATAN

Indikasi / Efek
Obat Golongan Dosis
Kontraindikasi Samping
Tetrasiklin D 500 In : infeksi saluran Urtikaria,
Antibiotik mg kemih dan alat kelamin mual, muntah
3 x KI : Hepatitis, hamil, dan diare.
sehari gangguan ginjal
Cefadroxile B 0,5 – 1 In : infeksi gram positif Diare, mual,
Antibiotik g dan gram negatif muntah,
sefalosporin 2 x KI : hipersensitifitas gangguan
generasi I sehari terhadap sefalosprorin darah
porfiria
Paracetamol Derivat 500 In : menurunkan Keracunan
para amino mg demam, meringankan hati, anemia
fenol 3 x sakit kepala dan sakit hemolitik,
sehari gigi reaksi
KI : Hipersensitifitas hematologi.
dan gangguan fungsi
hati
Metoklopramid Derivat 10 mg In : GI, mabuk Mengantuk,
aminoklor 3 x perjalanan, dan mual lemah,
benzamida sehari KI : Hipersensitifitas, lelahgeliah,
Antiemetika penderita epilepsi konstipasi,
kuat diare dan
urtikaria

 MONITORING
Tujuan dilakukannya monitoring ini adalah untuk memaksimalkan
efek terapi dan meminimalkan DRPs. Kehamilan pada trimester 1 masih
termasuk dalam keadaan rentan, oleh karenanya obat bebas maupun
peresepan obat yang diberikan harus benar-benar diperhatikan.
Sehingga perlu diterapkan suatu tujuan pemantauan terapi yaitu
dengan menentukan monitoring yang spesifik terhadap pasien dan
monitoring yang spesifik terhadap obat, selain itu juga terhadap efek
samping obat yang diberikan. Untuk kasus yang dialami Ny. X yang
perlu dimonitoring antara lain :

29
NO PARAMETER TUJUAN MONITORING
1. Mual muntah Mengetahui apakah masih mengalami
gejala mual dan muntah setelah
pemberian obat Metoklopramid 10mg
2. Pemeriksaan urin Untuk melihat adanya infeksi pada
saluran kemih yang diakibatkan oleh
bakteri
3. Pemeriksaan suhu Mengetahui suhu tubuh pada pasien
tubuh, nadi, leukosit, masih tinggi tau tidak setelah pemberian
LED parasetamol 500mg dan pemberian
antibiotik
4. USG Memantau perkembangan janin dalam
kandungan.

 PEMBAHASAN
Pada kasus ini akan dibahas tentang penatalaksanaan penyakit
infeksi saluran kemih. Infeksi saluran kemih adalah suatu istilah umum yang
dipakai untuk mengatakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran
kemih.Infeksi kandung kemih selama kehamilan terjadi tanpa didahului
bakteriurea tersamar. Biasanya sistisis ditandai oleh nyeri pada saat
berkemih terutama pada saat akhir berkemih (disuria), meningkatnya
frekuensi berkemih (polaksiuria) dan kadang – kadang disertai nyeri pada
bagian atas simfisis,perasaan ingin berkemih yang tidak dapat ditahan , air
kemih yang kadang – kadang terasa panas suhu badan mungkin normal atau
meningkat dan nyeri didaerah suprasimfisis.
Pada kasus yang diberikan adalah pasien mengeluhkan demam dan
muntah –muntah, Tatalaksana terapinya adalah dengan tetrasiklin 500mg
diberikan 3x sehari untuk pengobatan ISK dan Parasetamol 500 mg 3x
sehari serta metoklopramid 3x sehari untuk pengobatan demam dan muntah
–muntah.
Penyelesaian kasus INI dilakukan dengan metode
SOAP (Subjective, Objective, Assesment dan Planning). Berdasarkan
keluhan dan gejala diagnosa menderita infeksi saluran kemih bagian ATAS.
Diagnosa infeksi saluran kemih bagian ATAS ini ditegakkan berdasarkan

30
gejala Pada ISK bagian atas dapat ditemukan gejala sakit kepala, malaise,
mual, muntah, demam, menggigil, rasa tidak enak, atau nyeri di pinggang.
Tujuan terapi pada penatalaksanaan terapi ini Tujuan pengobatan
ISK adalah mencegah dan menghilangkan gejala, mencegah dan mengobati
bakteriemia, mencegah dan mengurangi risiko kerusakan jaringan ginjal
yang mungkin timbul dengan pemberian obat-obatan yang sensitif, murah,
aman dengan efek samping yang minimal.
Sasaran terapi pada infeksi saluran kemih bagian atas adalah
eradikasi penyebab infeksi, menghilangkan gejala mual dan muntah.
Strategi terapi yang dilakukan meliputi terapi non farmakologi dan terapi
farmakologi. Terapi non farmakologi yang harus dilakukan pasien untuk
mempercepat proses penyembuhan penyakit antara lain adalah minum air
putih dalam jumlah yang banyak agar urine yang keluar juga meningkat
(merangsang diuresis), buang air kecil sesuai kebutuhan untuk membilas
mikroorganisme yang mungkin naik ke uretra, menjaga dengan baik
kebersihan sekitar organ intim dan saluran kencing agar bakteri tidak mudah
berkembang biak, karena wanita memiliki faktor resiko yang besar
menderita ISK bagian bawah. Hal ini dikarenakan wanita uretranya lebih
pendek (2-3 cm) daripada pria, sehingga kandung kemih mudah dicapai oleh
bakteri dari dubur melalui perineum, khususnya basil Escherichia coli.
Sedangkan untuk terapi farmakologinya adalah tetrasiklin 500mg
diberikan 3x sehari untuk pengobatan ISK dan Parasetamol 500 mg 3x
sehari serta metoklopramid 3x sehari untuk pengobatan demam dan muntah
–muntah. Dalam pengobatan ISK tersebut seharusnya pasien tidak
dianjurkan diberi obat tetrasiklin karena tetrasiklin adalah golongan obat D
,dimana terdapat resikao terhadap janin manusia, tetapi besar manfaatnya.
Dilihat dari pernyataan tersebut maka pasien dianjurkan untuk mengganti
obat antibiotik yaitu cefadroksil dengan pemakain 2x sehari. Ibu tersebut
juga mengalami keluhan mual muntah , hal tersebut dapat dikarenakan efek
samping dari penggunaan obat Tetrasiklinselain itu ISK bagian atas juga
dapat mengakibatkan penderita mengalami gejala demam muntah. Untuk

31
gejala ini diberi terapi Parasetamol 500 mg 3x sehari serta metoklopramid
3x sehari, Parasetamol diberikan untuk menurunkan demam sedangkan
metoklopramid untuk mengatasi muntah.
Monitoring yang dilakukan untuk mengetahui keberhasilan terapi
adalah monitoring terhadap penggunaan antibiotik, dimana Indikasi yang
paling penting dalam pengobatan dan pemilihan antibiotik yang tepat adalah
mengetahui jenis bakteri apa yang menyebabkan ISK.(8) Biasanya
yang paling sering menyebabkan ISK adalah bakteri gram
negatif Escherichia coli. Seperti antibiotik cefadroksil yang dapat
diindikasikan untuk infeksi gram negatif. Selain itu diperlukan pemeriksaan
penunjang pada ISK untuk mengetahui adanya batu atau kelainan anatomis
yang merupakan faktor predisposisi ISK sehingga mampu menganalisa
penggunaan obat serta memilih obat yang tepat.

32
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa obat-obat yang tidak boleh diberikan pada ibu
hamil adalah
a. Antibiotik :Tetrasiklin, Aminoglikosida, Kloramfenikol, Sulfonamida,
Trimetoprim dan Nitrofurantoin.
b. Analgetik : anarkotik (metadon, petidin)
c. Antihipertensi : antagonis kalsium (verapamil, nifedipin, diltiazem), diuretik,
reserpin, ACE inhibitor. Obat yang aman digunakan untuk ibu hamil dengan
berkategori A B dan C serta obat yang tidak baik dikonsumsi untuk ibu hamil
dengan kategori D dan X.
Kehamilan berkaitan dengan berbagai macam perubahan fisiologis yang
mempengaruhi perlakuan tubuh terhadap cara pemberian obat-obatan yang terkait
dengan pengaruh ADME nya terhadap faktor farmakokinetik pada tubuh ibu
hamil.. Tetapi pada kebanyakan obat hasil akhir dari perubahan-perubahan ini
tidak menimbulkan perubahan kadar obat bebas dalam darah, yang berarti tidak
terjadi perubahan efek obat.
Pada obat-obatan yang mengalami peningkatan ekskresi, dosis perlu
ditingkatkan, sedangkan pada obat-obatan yang terikat pada protein plasma,
kondisi hipoalbuminemia yang terjadi berakibat konsentrasi obat bebas menjadi
lebih tinggi. Maka pengaturan dosis pada obat-obatan tersebut harus mengacu
pada pengukuran kadar obat bebas, serta harus diperhatikan penggunaan obat
selama masa kehamilan.
Protein plasma janin mempunyai afinitas yang lebih rendah dibandingkan
protein plasma ibu terhadap obat-obatan. Tetapi ada pula obat-obatan yang lebih
banyak terikat pada protein pengikat janin seperti salisilat. Obat-obat yang tidak
terikat (bebas) adalah yang mampu melewati sawar plasenta.
Jalur utama transfer obat melalui plasenta adalah dengan difusi sederhana. Obat
yang bersifat lipofilik dan tidak terionisasi pada pH fisiologis akan lebih mudah

33
berdifusi melalui plasenta. Kecepatan tercapainya keseimbangan obat antara ibu
dan janin mempunyai arti yang penting pada keadaan konsentrasi obat pada janin
harus dicapai secepat mungkin, seperti pada kasus-kasus aritmia atau infeksi janin
intrauterin, karena obat diberikan melalui ibunya.

3.2. Saran
Ibu hamil disarankan agar tidak terlalu bergantung pada obat ketika
mengalami keluhan dan lebih baik mengkonsumsi yang alami.

34
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008, Obat-obatan di dalam Kehamilan, http://www.klikdokter.com,
diakses tanggal 15 Maret 2009
Anonim, 2009, Antibiotika, http://obgyn-unsri.org, diakses tanggal 15 Maret 2009
Nindya, S., 2001, Perubahan Farmakokinetika Obat pada Wanita Hamil dan
Implikasinya secara Klinik, Cermin Dunia Kedokteran No. 133,
http://ojs.lib.unair.ac.id, diakses tanggal 15 Maret 2008
Dirjen, Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006,. Pedoman Pelayanan
Farmasi untuk Ibu Hamil DAN Menyusui. Jakarta : Departemen
Kesehatan R I

Suryawati, S et al (1990), Pemakaian Obat pada Kehamilan.Laboratorium


Farmakologi Klinik FK-UGM, Yogyakarta

35

Anda mungkin juga menyukai