Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN LENGKAP

PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

“DISOLUSI”

OLEH:

KELOMPOK I

STIFA B 2020

ASISTEN: Apt. Michrun Nisa, S.Farm., M.Sc

LABORATORIUM FARMASETIKA
PROGRAM STUDI STRATA SATU FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR
MAKASSAR
2021
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Farmasi merupakan ilmu yang mempelajari cara membuat, mencampur,


meracik, mengformulasi, mengidentifikasi, mengkombinasi, menganalisis,
serta menstandarkan obat dan pengobatan juga sifat-sifat obat beserta
pendistribusian dan penggunaannya secara aman. Sifat-sifat obat yang perlu
diperhatikan salah satunya adalah sefat fisika obat. Sifat fisika obat ini dikaji
dalam bidang farmasi yang dikenal sebagai ilmu farmasi fisika.

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat
penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari
kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke
dalam tubuh. Obat yang telah memenuhi persyaratan baik dari waktu hancur,
keregasan, keseragaman bobot, dan penetapan kadar, belum dapat
menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek terapi. Karena itu uji disolusi
harus dilakukan pada setiap produksi tablet atau kapsul.

Efektivitas sediaan dalam melepas zat aktifnya ke dalam sistem


absorpsi sangat bergantung pada kecepatan disolusi. Sediaan tablet
termasuk dalam persyaratan uji disolusi yaitu untuk mengetahui seberapa
banyak persentase zat aktif dalam obat yang terlarut dan terabsorbsi ke
dalam peredaran darah untuk memberikan efek terapi. Disolusi
menggambarkan efek obat terhadap tubuh, jika disolusi memenuhi syarat
maka diharapkan obat akan memberikan khasiat pada tubuh.
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan

I.2.1 Maksud Percobaan

Adapun maksud dari percobaan ini yaitu mengetahui dan memahami


cara menentukan konstanta laju disolusi dari sediaan oral.

I.2.2 Tujuan Percobaan

Adapun tujuan dari percobaan ini yaitu menentukan konstanta


kecepatan disolusi suatu sediaan padat pada pelarut yang sesuai serta
mampu menggunakan alat uji disolusi

I.3 Prinsip Percobaan

Adapun prinsip percobaan percobaan ini adalah kesecapat disolusi


merupakan suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat yang dapat
terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu, dimana hubungan yang
menggambarkan proses disolusi zat padat yang dikembangkan oleh Noyes
dan Whitney dalam bentuk persamaan, yang dapat diketahui bahwa
kecepatan disolusi bergantung pada koefisien difusi, luas permukaan zat
padat yang kontak dengan pelarut, kelarutan zat padat, tebal lapisan difusi,
dan konsentrasi zat dalam larutan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Teori Umum

Disolusi didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam


pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah
proses zat padat melarut. Secara prinsip, proses ini dikendalikan oleh afinitas
antara zat padat dan pelarut (Ansel, 1989). Laju disolusi dan keterbatasannya
berbeda beda untuk masing-masing bentuk sediaan. Setiap proses
pelepasan obat dan penyerapannya ke dalam aliran darah harus
mempertimbangkan disolusi bahan padat. Proses disolusi diawali dengan
tahap pembasahan (wetting) bahan secara hidrofilik atau hidrofobik, yang
dilanjutkan oleh tahap diagregasi obat. Proses ini juga disebut sebagai
proses disintegrasi. Obat kemudian larut ke dalam media disolusi, baik itu
secara in vitro atau in vivo (Sopyan, 2012).

Disolusi merupakan proses yang berhubungan dengan waktu atau


kinetik yang menggambarkan tahap akhir dari proses pelepasan obat, yang
pada akhirnya dibutuhkan sebelum obat dipermeasi dan memberikan efek
farmakologis. Monografi disolusi dapat dilihat pada buku farmakope. Tujuan
sebagian besar monografi disolusi dalam farmakope adalah untuk
menetapkan prosedur evaluasi konsistensi disolusi suatu produk tertentu dari
bets-bets yang berbeda mengimplikasikan bahwa produk tersebut memiliki
kinerja yang sama dalam tubuh manusia. Metode utama dalam uji disolusi
adalah metode keranjang dan dayung dengan medium yang telah ditentukan
serta dengan rata-rata suhu tubuh manusia yaitu 37°C (Sinko, dkk., 2012).

Dalam uji disolusi zat yang sukar larut dalam air dibutuhkan
penambahan surfaktan ke dalam media disolusi (Shah, dkk., 2013).
Berdasarkan USP pengujian disolusi digunakan dalam dapar pH 7,0 yang
mengandung 0,5% SDS (Sodium Dodesil Sulfat) dalam 0,01 M natrium fosfat
(Pharmacopeia, 2013). Namun, sakarin dan aspartam dapat membentuk
garam Na-Sakarin dan Na-aspartam dengan senyawa alkali seperti natrium
dalam SDS dan Na-fosfat sehingga ikatan simvastatin dengan surfaktan
menurun dan memberikan kerancuan terhadap hasil uji laju disolusi
(Meléndez dan Hamilton, 1998). Selain itu aspartam dan sakarin stabil pada
pH asam (Rowe, dkk., 2009) maka uji disolusi dilakukan pada pH 4,5 dengan
menggunakan dapar fosfat.

Dalam suatu penemuan atau pengembangan bahan obat, pengujian


laju disolusi intrinsik dapat digunakan untuk mendeteksi kemurnian kimia
suatu bahan, ekuivalensi bahan aktif, sifat-sifat yang berubah, hingga bentuk
kristalin dari suatu obat. Uji laju disolusi intrinsik juga dapat diaplikasikan
pada skrining obat pada fase padatnya (Tseng, dkk., 2014). Sehingga
metode ini dapat diaplikasikan pada tahap lanjut pengembangan kokristal
simvastatin untuk skrining koformer dan pengaruhnya terhadap pH.
Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk
sediaan utuh/pecahan/partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri.
Kecepatan disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya
didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per unit waktu di bawah
kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan komposisi media yang
dibakukan. Hukum yang mendasarinya telah ditentukan oleh Noyes dan
Whitney sejak tahun 1897 dan diformulasikan secara matematik (formula 1)
sebagai berikut:

dc DAK (Cs−C)
=
dt h

Di mana:

dc
: Laju pelarut obat (perubahan konsentrasi per satuan waktu)
dt

D : Tetapan difusi

A : Luas permukaan partikel

Cs : Kadar obat dalam stagnant layer

C : Konsentrasi obat dalam bagian terbesar pelarut

K : Koefisien partisi minyak/air

H : Tabel stagnant layer (Ansel, 1989).

Dari persamaan di atas dinyatakan bahwa tetapnya luas permukaan


dan konstantanya suhu, menyebabkan kecepatan pelarutan tergantung dari
gradien konsentrasi antara konsentrasi jenuh dengan konsentrasi pada
waktu. Laju larut dapat berhubungan langsung dengan efikasi dari tablet dan
perbedaan bioavabilitas dari berbagai formula. Bila suatu tablet atau sediaan
obat lainnya dimasukkan ke dalam beaker yang berisi air atau dimasukkan ke
dalam larutan cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk
padatnya (Amir dan Kumar, 2007; Lachman, dk., 2008).
Faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan Pelarutan Suatu Zat (Lachman,
2008):

1. Temperatur
Naiknya temperature umumnya memperbesar kelarutan zat yang
endotermis, serta memperbesar harga koefisien difusi zat.
2. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan pelarutan
suatu zat sesuai naiknya temperatur juga akan menurunkan viskositas
sehingga memperbesar kecepatan pelarutan.
3. pH
Pelarut pH sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat
asam lemah atau basa lemah.
4. Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi. Bila
pengadukan cepat maka tebal lapisan difusi berkurang sehingga
menaikkan kecepatan pelarutan suatu zat.
5. Ukuran Partikel
Bila partikel zat terlalu kecil maka luas permukaan efektif besar sehingga
menaikkan kecepatan pelarutan suatu zat.
6. Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi oleh adanya polimorfisme. Karena
bentuk kristal yang berbeda akan mempunyai kelarutan yang berbeda.
Faktor-Faktor Lain selain factor diatas dapat juga berpngaruh terhadap
disolusi :
1. Sifat fisikokimia obat
Sifat sisika dan kimia partikel-partikel obat padat mempunyai pengaruh
yang besar pada kimetika pelarutan. Luas permukaan efektif obat dapat
diperoleh dengan memperkecil ukuran partikel, karena pelarutan terjadi
pada permukaan partikel, maka semakin luas permukaan makin laju
pelarutan.
2. Formulasi Obat
Berbagai bahan tambahan atau eksipien dalam produk obat juga dapat
mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mengubah sifat kelarutan
atau bereaksi dengan obat itu sendiri. Sebagai contoh, bahan- bahan
tambahan seperti bahan penyuspensi menaikkan viskositas pembawa
obat dan oleh karena itu menurunkan laju pelarutan obat dari suspensi.
Contoh lain adalah bahan pelincir tablet seperti magnesium stearat yang
dapat menolak air dan bila digunakan dalam jumlah besar akan
menurunkan pelarutan. Sebagai tambahan, bahan tambahan dalam
suatu formulasi dapat berinteraksi secara langsung dengan obat
membentuk suatu kompleks yang larut atau tidak larut dalam air.
3. Aspek kondisi percobaan
Kondisi percobaan juga mempengaruhi kecepatan melarut, seperti
pelarut yang digunakan, laju pengadukan, pH dan suhu medium
percobaan. Uji disolusi dan penetapan kadar merupakan dua aspek yang
penting dalam rangka menjamin kualitas dari suatu obat. Dari uji disolusi
ini maka dapat didapatkan beberapa informasi obat yang meliputi
bioavaibilitas obat, variabel kontrol proses pengaruh dari obat dan
melihat perubahan pengaruh formulasi dari suatu obat (Raini, dkk.,
2010). Disolusi dari kokristal juga dapat dipengaruhi beberapa faktor
seperti kelarutan koformer dalam air, interaksi antar molekul dalam kisi
kokristal, kristal habit dan juga pH dari medium disolusi yang digunakan.
4. Habit Kristal (crystal habit)
Kristal habit dari kokristal juga memiliki pengaruh pada disolusinya dalam
medium disolusi. Obat dapat terkokristalisasi dengan molekul koformer
dalam berbagai ukuran dan bentuk tergantung pada kondisi kristalisasi
yang berbeda beda. Peristiwa kristalisasi dapat mengubah sifat kristal
seperti habit, polimorfisme dan ukuran. Istilah "crystal habit" digunakan
untuk menjelaskan tentang bentuk umum dari suatu kristal. Modifikasi
dari kristal habit pada suatu obat selama proses kristalisasi dapat
mengubah sifat disolusinya karena adanya perubahan pada bagaimana
kristal terekspos ke medium disolusi. Penelitian yang berkaitan dengan
modifikasi kristal habit dan pemahaman tentang efek kokristal habit
terhadap sifat disolusinya saat ini masih terbatas (Sathisaran & Dalvi,
2018).
II.2 Uraian Bahan
PARACETAMOL (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : Acetaminophen
Sinonim : Paracetamol
Rumus molekul : C8H9NO2
Berat molekul : 151,16
Pemerian : Berupa hablur atau serbuk hablur putih, rasa pahit,
berbau, serbuk kristal dengan sedikit rasa pahit.
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95
%)P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan
dalam 9 bagian propilenglikol P; larut dalam larutan alkalihidroksida.
penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
kegunaan : Analgetikum, Antipiretikum
HCl (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : Asam Klorida
Nama Lain : Acidum Hydrochloridum
Berat Molekul : 36,46
Rumus Molekul : HCl
Pemerian : Cairan tidak berwarna; berasap; bau merangsang; Jika
diencerkan dengan 2 bagian volume air, asap hilang. Bobot jenis
lebih kurang 1,18.
Kelarutan : Bercampur dengan air dan dengan etanol, dengan
menimbulkan panas.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
Kegunaan: Zat pereaksi.

BAB III
METODE KERJA

III.1 Alat Dan Bahan Percobaan


III.2.1 Alat Percobaan
Adapun alat yang digunakan pada percobaan ini diantaranya yaitu Alat
Uji Disolusi Tipe 1 dan Tipe 2, Gelas Beaker, dan Pipet Volume
III.2.2 Bahan Percobaan
Adapun bahan yang digunakan pada percobaan ini diantaranya yaitu
Aquadest, HCL 0,1 N dan Tablet Paracetamol.
III.3 Cara Kerja
1. Bak mantel yaitu tempat labu disolusi dimasukkan, diisi dengan air suling.
2. Suhu diatur pada suhu 37℃ ± 0,5℃ (jalankan alat sesuai prosedur tetap)
3. Labu disolusi diisi dengan medium disolusi yang telah dihangatkan
hingga suhu 37℃sebanyak 900 ml
4. Alat disolusi dijalankan pada kecepatan 100 rpm atau sesuai prosedur
5. Catat waktu pada saat basket yang berisi tablet dimasukkan kedalam
labu disolusi.
6. Pada menit ke 5, 10 dan 15 diambil media disolusi sebanyak 10 ml
dengan pipet volume. Setiap selesai pengambilan sampel, segera
gantikan dengan 10 ml air suling.
7. Ukur kadar obat dalam cuplikan dengan metode yang sesuai
8. Tabelkan hasil yang diperoleh dan buatlah kurva hubungan antara
konsentrasi yang diperoleh dengan waktu pengambilan sampel.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsentrasi (ppm) Absorbansi

12 0,2

17 0,28

24 0,41

36 0,57

48 0,76
Kurva Baku
0.8
0.7 f(x) = 0.02 x + 0.02
0.6 R² = 1
Adsorbansi

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
10 15 20 25 30 35 40 45 50
Konsentrasi

Linear ()

Menit Ke Absorbansi

15 0,42

30 0,531

45 0,73

60 0,882

y = 0,0154x + 0,022
 Menit 15
0,42 = 0,0154x + 0,022
0,42−0,022
 x=
0,0154
0 , 398
 x=
0,0154
 x=25,84
 Menit 30
0,531 = 0,0154x + 0,022
0 , 531−0,022
 x=
0,0154
0 , 509
 x=
0,0154
 x=33,05
 Menit 45
0,73 = 0,0154x + 0,022
0 , 73−0,022
 x=
0,0154
0 , 708
 x=
0,0154
 x=45,97

 Menit 60
0,882 = 0,0154x + 0,022
0 , 88 2−0,022
 x=
0,0154
0 , 86
 x=
0,0154
 x=5 5,84

Anda mungkin juga menyukai