Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM PENGANTAR KIMIA MEDISINAL

SEMESTER GANJIL 2015 - 2016

Penentuan Koefisien Partisi Minyak/Asam Salisilat


Hari / Jam Praktikum : Senin, pukul 10:00 13:00
Tanggal Praktikum

: 12 September 2016

Kelompok

: 5 (Lima)

Asisten

: 1. Aulia Alfiana
2. Giovani Wijonarko

LUPITA CHURRY AINI


260110160107

LABORATORIUM KIMIA MEDISINAL


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016

Penentuan Koefisien Partisi Minyak/Asam Salisilat

I.

Tujuan
Untuk menentukan koefisien partisi asam salisilat dengan metode
pengocokan.

II.

Prinsip
1. Koefisien Partisi
Perbandingan konsentrasi dari suatu zat terlarut yang dilarutkan di dalam
dua pelarut yang tidak saling bercampur dengan perbandingan tersebut
adalah tetap atau konstan. (Cairns, 2004)
2. Titrasi Asam-Basa
Titrasi berdasarkan penetralan asam-basa, larutan asam ditentukan
dengan menggunakan larutan basa yang telah diketahui kadarnya dan
sebaliknya kadar larutan basa ditentukan dengan menggunakan larutan
asam yang telah diketahui kadarnya. (Seager, 2011)
3. Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan
pelarut cair. (Ditjen POM, 2000)
4. Like Dissolve Like
Merupakan sifar kecenderungan senyawa pelarut yang hanya melarutkan
senyawa dengan sifat kepolaran yang sama. Senyawa polar akan larut
dalam seyawa polar dan tidak larut dalam senyawa non polar, demikian
juga sebaliknya. (Gillespie & Popelier, 2001)

III.

Reaksi

NaOH
Asam Salisilat

Natrium Hidroksida

Natrium Salisiat

Air

(Farmakope Edisi IV, 1995)

2
Asam Salisilat

2
Etil Eter

Etil Salisilat

Air

(Farmakope Edisi IV, 1995)

IV.

Teori Dasar
Koefisien partisi adalah distribusi kesetimbangan dari analit
antara fasa sampel dan fasa gas, dan kesetimbangan dari perbandingan kadar
zat dalam dua fase. Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat
lipofilik atau hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran
lemak dan interaksi dengan makromolekul pada reseptor kadang-kadang
berhubungan baik dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat (Martin,
1990)
Koefisien partisi menggambarkan pendistribusi obat ke
dalam pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organic dengan air. Koefisien
partisi semakin besar dan difusi trans menjadi lebih mudah disebabkan
molekul semakin larut dalam lemak. Organisasi yang terdiri fase lemak dan
air. Sehingga, bila koefisien partisi tinggi ataupun rendah, maka hal ini akan
menjadi hambatan pada proses difusi zat aktif. Penentuan koefisien secara
eksperimen dilakukan dengan cara distribusi senyawa dalam jumlah tertentu

ke dalam sistem kesetimbangan termodinamika dua pelarut yang berbeda


kepolaran yaitu h-optanol dan air. (Ansel, 1989)
Koefisien partisi tiap zat adalah tetap sesuai dengan sifat
alamiah zat itu sendiri. Psa adalah rasio konsentrasi zat dalam sediment dan
air. Tingkat partisi antara media air dan biota tergantung pada sifat-sifat zat
yaitu hidrofilik (suka air), lipofilik (suka lemak) dan organofilik (suka zat
organik). Partisi zat dalam udara dan tanah tidak dapat langsung udara dan
tanah tetapi melalui intermedia air tanah. Zat-zat udara masuk ke dalam pori
tanah berisi air tanah. Zat itu kemudian terlarut dalam air tanah, yang dapat
siap berpartisi dengan partikel tanah. Sebaliknya, zat-zat dalam partikel tanah
dapat berpartisi dengan air tanah untuk selanjutnya dengan udara.
(Mangkoedihardjo, 2005).
Pengetahuan tentang partisi sangat penting untuk ahli
farmasi, karena prinsip ini melibatkan beberapa bidang ilmu farmasetik.
Termasuk di sini pengawetan minyak-air, kerja obat pada tempat yang tidak
spesifik, absorpsi dan distribusi obat ke seluruh tubuh (Alfred Martin, 1990).
Menurut Arrhenius, asam adalah senyawa yang apabila
dilarutkan dalam air akan meningkatkan konsentrasi hidrogen nya.
Sedangkan basa adalah senyawa yang apabila dilarutkan akan meningkatkan
konsentrasi ion hodroksida nya. Konsentrasi ion hidrogen dilambangkan
dengan (H+), sedangkan ion hidroksida biasa dilambangkan dengan (OH-)
(Oxtoby, 1986).
Menurut Bronsted-Lowry, asam adalah suatu zat yang
dapat memberikan ion hidrogen sedangkan basa adalah suatu zat yang dapat
menerima ion hidroksida. Salah satu kelebihan dari teori Bronsted-Lowry
tentang asam-basa ini adalah ia tidak terbatas hanya pada larutan air namun
juga dengan senyawa lainnya. Contoh nya adalah larutan ammonia sebagai
pelarut. Sedangkan menurut Lewis, asam adalah akseptor elektron.
Sedangkan basa Lewis adalah jenis basa pendonor elektron (Oxtoby, 1986).
Asam salisilat berhasiat fungisid terhadap banyak macam
fungsi pada konsentrasi 3%-6% dalam salep. Juga dapat melarutkan lapisan

tanduk kulit pada 5%-10%. Asam salisilat juga dapat dikombinasi dengan
asam benzoat dan belerang yang keduanya merupakan fungistatis dan
bakteriostatis (Rahardja, 2007)
Membicarakan mengenai koefisien partisi, akan berkaitan
juga mengenai sifat-sifat senyawa yang dibedakan menjadi dua berdasarkan
sifat kepolarannya; yakni polar dengan non polar. Senyawa polar akan
mempunyai dua kutub yang berbeda sehingga sering disebut sebagai dipol, di
mana kutub pertama akan bermuatan parsial positif dan kutub lain akan
bermuatan parsial negatif. Senyawa nonpolar tidak memiliki dua kutub
seperti senyawa polar, tetapi ada waktunya senyawa nonpolar tiba-tiba
membentuk dua kutub namun sangat tidak stabil yang kemudian disebut
sebagai dipol sesaat (House, 2008).
Pengetahuan akan hal ini penting untuk memprediksi
kelarutan dari suatu senyawa. Teori dasar kelarutan adalah teori Like Dissolve
Like, yang berbunyi senyawa polar hanya akan larut dalam senyawa polar.
Senyawa nonpolar akan larut dalam senyawa nonpolar. Sedangkan senyawa
polar tidak akan larut dalam senyawa nonpolar (Gillespie & Popelier, 2001).
Asam salisilat mengandung tidak kurang dari 99,5% dan
tidak lebih dari 101,0% C7H6O3. Penampakannya tidak berwarna serta ringan,
atau serbuk berwarna putih. Rasanya agak manis dan tajam. Zat ini hampir
tidak berbau. Kelarutan dari asam salisilat yaitu sukar larut dalam air dan
dalam benzene; mudah larut dalam etanol, dan eter; larut dalam air mendidih;
agak sukar larut dalam kloroform. (Farmakope Edisi IV, 1995).
Ketika suatu senyawa (atau zat terlarut) ditambahakan ke
dalam pelarut yang saling tidak bercampur, zat terlarut tersebut
mendistribusikan dirinya sendiri diantara kedua pelarut berdasarkan
afinitasnya pada masing-masing fase. Senyawa polar (misanya gula, asam
amino, atau obat-obat terion) akan cenderung meyukai fase berair atau fase
polar, sedangkan senyawa-senyawa nonpolar (misalnya obat-obat yang tidak
terion), kan menyukai fase organik atu nonpolar. Senyawa yang ditambahkan
akan mendistrisikan dirinya sendiri diantara kedua pelarut yang tidak

bercampur bersarkan hukum partisi, yang menyatakan bahwa senyawa


tertentu pada susu tertentu, akan akan memisahkan dirinya sendiri diantara
dua pelarut yang saling tidak bercampur pada perbandingan konsentrasi yang
tetap". Perbandingan yang tetap ini dikenal dengan koefisien partsi yang
secara matematis, dimana p adalah koefisen partisi; [organik] adalah
konsentrasi senyawa dalam fase organik atau fase minyak; dan [air] adalah
konsentrasi dalam fase air (Cairns, 2004).
=

()
()
(Cairns, 2004)

Larutan indikator yang sering digunakan adalah indikator


fenoftalein (pp), metil merah (mm), metil jingga (mo), dan bromtimol blue
(BTB). Larutan indikator dipergunakan dalam laboratorium untuk titrasi
larutan. Penggunaan indikator pada titrasi harus dengan ketelitian
pengamatan yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan perubahan warna akan
terjadi hanya dengan beberapa ml saja (Fungsi, 2015).
Ektraksi

pelarut

adalah

suatu

metode

pemisahan

berdasarkan transfer suatu zat terlarut dari suatu pelarut kedalam pelarut lain
yang tidak saling bercampur. Menurut Nerst, zat terlarut akan terdistribusi
pada kedua solven sehingga perbandingan konsentrasi pada kedua solven
tersebut tetap untuk tekanan dan suhu yang tetap (Shevla, 1985).
Ekstraksi pelarut terutama digunakan, bila pemisahan
campuran dengan cara destilasi tidak mungkin dilakukan (misalnya
karena pembentukan aseotrop atau karena kepekaannya terhadap panas) atau
tidak ekonomis. Seperti ekstraksi padat-cair, ekstraksi cair-cair selalu terdiri
atas sedikitnya dua tahap, yaltu pencampuran secara intensif bahan ekstraksi
dengan pelarut, dan pemisahan kedua fasa cair itu sesempurna mungkin
(Shevla, 1985).

V.

Alat dan Bahan


5.1. Alat
5.1.1. Batang pengaduk
5.1.2. Beaker gelas
5.1.3. Buret
5.1.4. Corong pemisah
5.1.5. Gelas ukur
5.1.6. Kertas perkamen
5.1.7. Labu erlenmeyer
5.1.8. Labu ukur
5.1.9. Pipet ukur
5.1.10. Spatula
5.1.11. Statif
5.1.12. Timbangan analitis
5.2. Bahan
5.2.1. Aquades
5.2.2. Asam salisilat
5.2.3. Etanol
5.2.4. Indikator fenoftalein
5.2.5. Kloroform
5.2.6. Natrium hidroksida (NaOH)

5.3. Gambar Alat

VI.

Prosedur
6.1. Pembuatan Larutan NaOH 0,1 Normal
Sebanyak 0,4 gram NaOH ditimbang menggunakan
timbangan analitis. NaOH dilarutkan dengan aquades ke dalam beaker
gelas.
6.2. Pembuatan Larutan Asam Salisilat 0,1 Normal
13,8

gram

asam

salisilat

ditimbang menggunakan

timbangan analitis. Asam salisilat dilarutkan dengan 25 ml pelarut


etanol dan 75 ml aquades/H2O didalam beaker gelas. Larutan terbentuk
fase air dan fase kristal.
6.3. Larutan Asam Salisilat 0,1 Normal Dalam Pelarut Etanol dan
Aquades/H2O
15,0 ml larutan asam salisilat dalam fase air (1 gram per 100
ml) dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer. 20 ml aquades/H2O
ditambahkan ke dalam labu Erlenmeyer. Larutan diteteskan indikator
fenoftalein (indikator pp sebanyak 0,1 gram dalam 100 ml etanol)
sebanyak 2 tetes. Larutan dititrasi dengan larutan standar natrium
hidroksida/NaOH (sekitar 0,1 mol/L). Perubahan warna diamati sampai
larutan berwarna merah muda.
6.4. Larutan Asam Salisilat 0,1 Normal Dalam Kloroform/CCl4
15,0 ml asam salisilat dalam fase air (1 gram per 100 ml)
dimasukkan ke dalam corong pemisah. Larutan tersebut ditambahkan
10 ml kloroform. Larutan dikocok hingga larut dan terbentuk dua
lapisan dalam corong pemisah. Lapisan air bawah dipisahkan dari
corong pemisah ke dalam labu Erlenmeyer dengan volume 10 ml.
Lapisan air bawah yang telah dipisahkan ke dalam labu Erlenmeyer,
ditambahkan 20 ml aquades. Larutan diteteskan indikator pp sebanyak
2 tetes. Larutan dititrasi dengan NaOH. Perubahan warna diamati
sampai larutan berwarna merah muda.

VII. Data Pengamatan


No.
1.

Perlakuan
Pembuatan Larutan NaOH
- Natrium hidroksida
ditimbang sebanyak 0,4
gram menggunakan
timbangan analitis.
- NaOH dilarutkan dalam
100 ml aquades

Hasil
- Terambil NaOH
sebanyak 0,4 gram
- Dihasilkan larutan
NaOH 0,1 M

Gambar Pengamatan

2.

Pembuatan Larutan Asam


Salisilat
- Asam salisilat ditimbang
sebanyak 1,38 gram
menggunakan timbangan
analitis.
- Asam salisilat dilarutkan
dengan 25 ml pelarut
etanol
- Asam salisilat dilarutkan
dengan 75 ml
aquades/H2O

- Asam salisilat larut


dalam pelarut etanol
- Dihasilkan larutan 0,1
Normal asam salisilat
- Terbentuk fase air dan
fase Kristal

3.

Asam Salisilat Dalam

- Dihasilkan larutan

Aquades/H2O

menjadi berwarna

- Asam salisilat fase air

merah muda

diambil sebanyak 15,0 ml


dari larutan menggunakan
pipet tetes
- Fase air tersebut
dimasukkan ke dalam labu
Erlenmeyer
- Aquades ditambahkan ke
dalamlabu Erlenmeyer
sebanyak 20 ml
- Indikator pp ditambahkan
ke dalam larutan sebanyak
2 tetes
- Larutan tersebut dititrasi
dengan NaOH sampai
berwarna merah muda

4.

Asam Salisilat Dalam

- Larutan dalam corong

Kloroform

pemisah terbentuk dua

- Asam salisilat fase air

lapisan

sebanyak 15,0 ml diambil

- Setelah dititrasi,

dari larutan menggunakan

larutan berubah warna

pipet tetes

menjadi merah muda.

- Fase air tersebut


dimasukkan ke dalam
corong pemisah
- Kloroform ditambahkan ke
dalam corong pemisah
sebanyak 10 ml
- Larutan dikocok hingga
melarut
- Lapisan air bawah
dipisahkan ke dalam labu
Erlenmeyer
- Fase lapis bawah yang
telah dipisah ke dalam
labu Erlenmeyer,
ditambahkan aquades
sebanyak 20 ml
- Larutan ditambahkan
indikator pp sebanyak 2
tetes
- Larutan tersebut dititrasi
dengan NaOH sampai
berwarna merah muda.

VIII. Perhitungan
a. Mengambil 0,1 M asam salisilat
M=

massa
1000

Mr
vol (ml)

massa 1000

138
100
13,8
massa =
10
0,1 =

massa = 1,38 gram asam salisilat

b. Mengambil 0,1 M NaOH


M=

massa
1000

Mr
vol (ml)

0,1 =

massa 1000

40
100

massa = 0,4 gram NaOH

c. Titrasi dengan larutan asam salisilat NaOH 0,1 M


Volume NaOH = 17,3 ml
Serbuk NaOH

= 4 gram

Volume air

= 1000 ml

Titrasi I

Mas.salisilat as.salisilat = MNaOH NaOH


0,1 15 = MNaOH 17,3
MNaOH =

1,5
= 0,087
17,3

d. Titrasi dengan larutan asam oksalat + kloroform dengan NaOH 0,1 M


Volume asam oksalat = 15 ml
Titrasi II

Mas.oksalat as.oksalat = MNaOH NaOH


0,1 15 = MNaOH 16,5

MNaOH =

1,5
= 0,09
16,5

Rataan volume NaOH =

17,3+16,5
2

Rataan molaritas/kadar NaOH =

= 16,9 ml

0,087+0,09
2

Percobaan I
Volume NaOH = 7 ml
M NaOH = 0,0885 M
Volume asam salisilat = 35 ml
Ma a = MNaOH NaOH
Ma 35 = 0,0885 7
Ma =

0,6195
= 0,0177
35

Percobaan II
Volume NaOH = 5 ml
M NaOH = 0,0885 M
Volume fase air = 30 ml
Mfa fa = MNaOH NaOH
Ma 30 = 0,0885 5
Mfa = 0,01475
Molaritas fase organik = 0,0177-0,01475
= 2,95 x 10-3
P=

[organic]
[air]

2,95103
0,01475

= 0,2

log Po/w = log 0,2


= log 2.10-1 = 1 log 2
= 0,7

= 0,0885 M

IX.

Pembahasan
Koefisien partisi merupakan pembanding antar dua pelarut
yang tidak dapat bercampur; pelarut organik berbanding dengan pelarut air.
Koefisien partisi dapat dijadikan sebagai penentu sifat kepolaran dari pelarut
kimia. Selain itu, koefisien partisi dapat dijadikan sebagai alat tolak ukur
pembuatan obat; dimana obat yang standar memiliki koefisien partisi tidak
lebih dari 5, karena jika koefisien partisi sebuah obat lebih dari 5 maka obat
tersebut tidak dapat menembus membrane dan tidak dapat berfungsi sebagai
alat pengobatan sebagaimana mestinya.
Dalam beberapa tahun terakhir, koefisien partisi banyak
dipelajari dan merupakan parameter fisikokimia penting yang biasanya
digunakan sistem

(log Po/w) untuk perhitungan hidrofobitas atau

lipofisitas. Log Po/w merupakan sifat fisikokimia yang paling informatif dan
berguna dalam bidang kimia medisinal. Log P o/w telah secara luas digunakan
dalam penjelasan mengenai interaksi obat reseptor dan obat membrane
biologis, dan merupakan parameter penting dalam hubungan kuantitatif
struktur aktivitas (QSAR) yang dapat digunakan untuk pengembangan
farmasi, lingkungan, biokimia, maupun pendesainan obat.
Data pengamatan koefisien partisi dapat diperoleh dengan
metode klasik, yaitu dengan melarutkan zat dalam dua fase larutan yang tidak
bercampur dengan cara pengocokan, kemudian konsentrasi zat dalam salah
satu fase larutan dianalisis.
Asam salisilat sendiri merupakan senyawa yang berbentuk
serbuk putih, sangat ringan, dan hampir tidak berbau. Rasanya agak manis
dan tajam. Asam salisilat mudah larut dalam etanol dan etil eter, tetapi sukar
melarut dalam air/H2O dan pelarut kloroform.
Tujuan pada praktikum ini adalah untuk menentukan
koefisien partisi asam salisilat dengan metode pengocokan. Prinsip yang
dilakukan adalah perhitungan data untuk koefisien partisi dan asidimetri
antara larutan standard NaOH dengan asam salisilat.

Dalam praktikum penentuan koefisien partisi asam salisilat


ini, digunakan pelarut NaOH (1 gram dalam 100 ml air) dengan didasarkan
bahwa pelarut NaOH merupakan pelarut standar pada penentuan koefisien
partisi.
Langkah awal yang dilakukan pada praktikum yaitu
pembakuan NaOH 0,1 M seperti yang sudah dijabarkan di pembahasan dan
perhitungan, NaOH diambil sebanyak 0,4 gram menggunakan timbangan
analitis. Penimbangan NaOH diperlukan gelas arloji karena NaOH
merupakan senyawa yang higroskopis; yaitu kemampuan suatu zat untuk
menyerap molekul air dari lingkungannya baik melalui absorbsi atau
adsorpsi. Sebelum penimbangan NaOH, gelas arloji ditimbang terlebih
dahulu untuk mengetahui berat kosongnya. Setelah itu, timbang NaOH
sampai menunjukkan berat bersih dari NaOH tersebut (berat seluruh (yang
tertera pada indeks timbangan) = berat kosong gelas arloji + berat NaOH).
Setelah

dilakukan

pembakuan/penimbangan,

NaOH

dilarutkan dengan aquades 100 ml didalam beaker gelas. Aduk menggunakan


batak pengaduk hingga NaOH tersebut melarut sepenuhnya dalam aquades.
Maka, dihasilkan larutan NaOH sebesar 0,1 normal.
Pembuatan

larutan

asam

salisilat

diawali

dengan

penimbangan serbuk putih asam salisilat dengan timbangan analitis.


Dilakukan penimbangan berat kosong dari kertas perkamen, lalu asam
salisilat ditimbang sebanyak 1,38 gram sesuai dengan perhitungan di atas.
Kemudian, asam salisilat dimasukkan kedalam labu ukur
100 ml. Etanol sebanyak 25 ml ditambahkan ke dalam labu ukur sebagai
pelarut dari asam salisilat. Labu ukur tersebut dikocok sampai asam salisilat
dengan etanol tercampur dan akan terlihat larutan berwarna pucat. Setalah itu,
aquades sebanyak 75 ml ditambahkan kedalam labu ukur tersebut lalu labu
ukur dikocok kembali. Akibatnya, larutan akan terbentuk menjadi dua fase
(seperti pada gambar pengamatan) antara fase air dan fase kristal.
Terbentuknya dua fase yang berbeda dalam larutan tersebut dikarenakan

larutan campuran asam salisilat dengan etanol sukar larut dalam


aquades/H2O.
Setelah itu, fase air dalam larutan tersebut diambil sebanyak
15 ml menggunakan pipet ukur/pipet tetes. Fase air tersebut dimasukkan ke
dalam labu Erlenmeyer untuk dilakukan titrasi dengan NaOH standard 0,1 M.
Larutan dalam labu Erlenmeyer ditambahkan aquades sebanyak 20 ml.
Indikator fenolftalein (indikator pp) ditambahkan kedalam labu Erlenmeyer
sebagai indikasi penentu titrasi. Ditambahkan NaOH kedalam buret sebanyak
50 ml. Dilakukan titrasi sampai mencapai 17,3 ml. Akan terlihat larutan
menjadi berwarna merah muda (seperti pada gambar pengamatan). Indikasi
keberhasilan dalam melakukan titrasi menggunakan indikator pp adalah
larutan tersebut tepat berwarna merah muda.
Langkah selanjutnya dalam pengamatan ini adalah
pencampuran larutan asam salisilat dengan etil eter. Namun, pada
pengamatan kali ini digunakan kloroform (CCl 4) dikarenakan kelarutan dari
kloroform hampir menyerupai kelarutan dari etil eter.
Larutan asam salisilat diambil menggunakan pipet ukur
sebanyak 15 ml. Larutan yang telah diambil diletakkan kedalam corong
pemisah untuk dicampurkan dengan kloroform. Kloroform dicampurkan
kedalam corong pemisah sebanyak 10 ml. Corong tersebut dikocok sehingga
larutan asam salisilat bercampur rata dengan kloroform.
Setelah dilakukan proses pengocokkan tersebut, didalam
corong pemisah terbentuk dua fase larutan berwarna bening pada bagian lapis
atas dan berwarna pucat pada bagian lapis bawah (sesuai dengan gambar
pengamatan di atas). Terjadinya dua fase tersebut dikarenakan larutan
campura yang terkandung asam salisilat, tidak dapat bercampur atau sukar
melarut dalam aquades/air, sehingga terbentuk yang dinamakan lapis atas dan
lapis bawah air dan dikenal dengan istilah Like Dissolve Like. Pisahkan fase
pada lapis bawah larutan tersebut dengan membuka keran pada corong
pemisah dan diteteskan pada labu Erlenmeyer.

Fase lapis bawah air yang telah dipisahkan kedalam labu


Erlenmeyer tersebut, ditambahkan 20 ml aquades/H2O. Kemudian, kedalam
labu Erlenmeyer tersebut ditambahkan indikator fenoftalein sebanyak dua
tetes. NaOH dimasukkan kedalam buret hingga mencapai indeks 50 ml pada
buret. Dilakukan titrasi dengan NaOH hingga larutan menjadi berwarna tepat
merah muda.
Dari data pengamatan yang sudah dijelaskan di atas, kita
dapat mengetahui molaritas atau kadar fase organik 2,95x10-3 M, dimana kita
dapat mengetahui pH dari fase organik tersebut yaitu 2,53.
Dari data tersebut kita dapat melakukan perhitungan untuk
koefisien partisi. Didapatkan hasil perhitungan yaitu sebagai berikut ;

P = 0,2

Log Po/w = log 0,2


= log 2x10-1 = 1 log 2
= 1 0,3 = 0,7
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa koefisien partisi

berbanding terbalik dengan pH. Semakin besar nilai koefisien partisinya


semakin kecil nilai pH-nya. Begitupun sebaliknya. Semakin kecil nilai
koefisien partisinya semakin besar nilai pH-nya.

X.

Kesimpulan

Larutan NaOH merupakan larutan standard yang digunakan dalam


pengamatan koefisien partisi, yaitu dengan kadar 0,1 normal.

Asam salisilat tidak dapat bercampur atau melarut didalam air maupun
kloroform.

Koefisien partisi yang dihasilkan adalah 0,7 dan pH fase organic adalah 2,53

Koefisien partisi berbanding terbalik dengan pH

Daftar Pustaka

Alfred Martin, d. (1990). Farmasi Fisik : Dasar-Dasar Farmasi Fisik Dalam Ilmu
Farmasetik. Jakarta: UI-Press.
Ansel, H. C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Jakarta:
UI-Press.
Cairns, D. (2004). Intisari Kimia Farmasi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Ditjen POM. (2000). Parameter Standard Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Farmakope Edisi IV. (1995). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Fungsi. (2015, Juni). Macam-Macam Indikator Larutan Asam Basa. Retrieved
from http://fungsi.web.id
Gillespie, R. J., & Popelier, P. (2001). Chemical Bonding and Molecular
Geometry. New York: Oxford University Press.
House, J. (2008). Inorganic Chemistry. USA: Academic Press.
Mangkoedihardjo, S. (2005). Sebuah kajian dengan pendekatan energi, ekosistem,
danekologi. Perencanaan Tata Ruang Fitostruktur Wilayah Pesisir
Sebagai Penyangga Perencanaan Tata Ruang Wilayah Daratan, 145.
Martin, A. (1990). Farmasi Fisik, Dasar-Dasar Kimia Fisik Dalam Ilmu
Farmasetika. Jakarta: UI-Press.
Oxtoby, d. (1986). Prinsip-Prinsip Kimia Modern Edisi Keempat Jilid I. Jakarta:
Erlangga.
Rahardja, d. T. (2007). Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan, dan Efek
Sampingnya. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Shevla, G. (1985). Vogel Analisis Anorgami Kualitatif Makro dan Semimikro.
Jakarta: PT. Kalman Media Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai