Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
kehendak-Nya kami bisa menyelesaikan laporan praktikum Farmasi Fisika dengan
judul “Kelarutan dan Koefisien Distribusi”. Kami menyadari bahwa dalam
penyelesaian laporan ini tercapai berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu,
kami berterima kasih kepada asisten-asisten Farmasi Fisika yang telah
membimbing pada saat praktikum sampai pembuatan laporan ini. Sehingga laporan
praktikum Farmasi Fisika ini dapat terselesaikan.
Tujuan pembuatan laporan praktikum ini untuk menunjang pengetahuan
kepada pembaca mengenai kelarutan dan koefisien distribusi. Juga digunakan
sebagai pelengkap pelajaran dalam laboratorium Farmasi Fisika. Penulisan laporan
ini terdorong oleh kebutuhan mahasiswa farmasi yang masih kurang jelas dan masih
belum mengetahui tentang kelarutan dan koefisien distribusi.
Kami menyadari dalam penulisan laporan ini terdapat kekurangan. Untuk
itu kami memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kekurangan dalam
penulisan laporan praktikum ini.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Gorontalo, Oktober 2017

Sri Susanti

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
I.1 Latar Belakang ...................................................................... 1
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan .............................................. 2
I.3 Prinsip Percobaan ................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 3
II.1 Kelarutan................................................................................ 3
II.2 Koefisien Distribusi ................................................................ 8
II.3 Uraian Bahan.......................................................................... 10
BAB III METODE PRAKTIKUM............................................................... 14
III.1 Wakktu dan tempat Pelaksanaan Praktikum ............................ 14
III.2 Alat dan Bahan ....................................................................... 14
III.3 Cara Kerja .............................................................................. 16
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 19
IV.1 Tabel Hasil Pengamatan ........................................................ 19
IV.3 Pembahasan............................................................................ 21
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 25
V.1 Kesimpulan .............................................................................. 25
V.2 Saran ....................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

ii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Farmasi adalah ilmu yang mempelajari cara membuat, mencampur,
meracik formulasi obat, identifikasi, kombinasi, analisis dan standarisasi/
pembakuan obat serta pengobatan termasuk pula sifat-sifat obat dan
distribusinya serta penggunaan yang aman (Syamsuni, 2006).
Farmasi termasuk ilmu terapan yang terdiri dari prinsip dan metode
yang telah dipetik dari disiplin ilmu lain seperti fisika, kimia, biologi dan
farmakologi. Ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat obat adalah farmasi
fisika. Menurut Martin (1993), farmasi fisika adalah ilmu di bidang farmasi
yang menerapkan ilmu fisika dalam sediaan farmasi. Dalam farmasi fisika
dipelajari sifat fisika dan berbagai zat yang digunakan untuk membuat
sediaan obat. Sehingga akan menghasilkan sediaan yang sesuai, aman dan
stabil yang nantinya akan didistribusikan kepada pasien yang
membutuhkan. Dalam farmasi fisik dipelajari sifat fisik dari berbagai zat
yang digunakan untuk membuat sediaan obat dan juga meliputi evaluasi
akhir sediaan obat tersebut. Kelarutan dalam suatu zat sangat penting dalam
formulasi sediaan obat.
Menurut Martin (1990), kelarutan dapat didefinisikan dalam besaran
kualitatif sebagai kosentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada
temperature tertentu, dan secara kualitatif dapat didefinisikan sebagai
interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk disperse
molekuler homogen.
Dalam bidang farmasi mempelajari kelarutan dalam suatu zat sangat
membantu dalam memilih pelarut yang baik untuk obat atau kombinasi
obat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul pada
waktu pembuatan larutan farmasetis, dapat bertindak sebagai uji kemurnian.
Selain itu mempelajari distribusi obat penting untuk ahli farmasi karena
melibatkan beberapa biang ilmu farmasetik. Menurut Kasmiyatun (2010),
koefisien distribusi atau koefisien partisi obat adalah suatu perbandingan

1
2

kelarutan suatu zat (sampel) di dalam dua pelarut yang berbeda dan tidak
saling bercampur, serta merupakan suatu harga tetap pada suhu tertentu.
Mengingat pentingnya pengetahuan tentang kelarutan dan koefisien
distribusi dalam bidang farmasi, maka dilakukan percobaan penentuan
kelarutan dari asam salisilat pada suhu kamar dan suhu 55°C dan koefisien
distribusi dari asam borat dalam pelarut air dan paraffin cair yang tidak
saling bercampur yang dititrasi menggunakan larutan baku NaOH 0,1 N
dengan bantuan indikator fenolftalein.
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
I.2.1 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara penentuan kelarutan dan koefisien
distribusi zat padat dalam pelarut pada berbagai suhu dan pelarut yang tidak
saling bercampur.
I.2.2 Tujuan Percobaan
Menentukan perbandingan kelarutan dari asam salisilat pada suhu
kamar dan suhu 55°C dan koefisien distribusi dari asam brat dalam pelarut
air dan paraffin cair yang tidak saling bercampur.
I.3 Prinsip Percobaan
Penentuan kelarutan dari asam salisilat dan pada suhu kamar dan
55C dengan cara melarutkan, menyaring, mengeringkan dan menimbang
residu zat yang tidak larut dan penentuan koefisien distribusi asam borat
dalam pelarut air dan paraffin cair berdasarkan perbandingan kelarutan
suatu zat dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur yang dititrasi
dengan larutan baku NaOH 0,1 N yang ditandai dengan perubahan warna
dari tidak berwarna menjadi merah muda dengan bantuan indikator
fenolftalein.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Kelarutan
Kelarutan suatu zat dalam suatu pelarut tertentu dan pada suhu tetap.
Senyawa mempunyai beberapa bentuk-bentuk Kristal yang berbeda.
Perbedaan ini dapat diperlihatkan dalam bentuk kelarutannya ini dapat
digunakan sebagai suatu cara untuk menetapkan apakah suatu senyawa
membentuk Kristal berbeda atau tidak (Martin, 1999).
Kelarutan dapat didefinisikan dalam besaran kualitatif sebagai
kosentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperature tertentu, dan
secara kualitatif dapat didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau
lebih zat untuk membentuk disperse molekuler homogen (Martin, 1990).
Kelarutan diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam larutan
jenuhnya pada suhu tertentu. Larutan dalam campuran homogen bahan yang
berlainan dapat dibedakan antara larutan dari gas, cairan dan bahan padat
didalam cairan. Disamping itu terdapat larutan didalam kondisi padat
(misalnya gelas, bentuk Kristal campur) (Voight, 1995).
Larutan jenuh adalah suatu larutan dimana zat terlarut berada dalam
kesetimbangan fase padat (zat terlarut). Larutan tidak jenuh atau hampir
jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam kosentrasi
di bawah kosentrasi yang dibutuhkan untuk penjenuhan sempurna pada
suhu tertentu, dan larutan lewat jenuh adalah suatu larutan yang
mengandung zat terlarut dalam kosentrasi lebih banyak daripada yang
seharusnya ada pada temperatur tertentu, terdapat juga zat terlarut yang
tidak larut (Martin, 1990).
Kelarutan obat dapat dinyatakan dalam beberapa cara. Menurut U.S
Pharmacopeia dan National Formulary definisi kelarutan obat adalah
jumlah mL pelarut di mana akan larut 1 gram zat terlarut, sebagai contoh
kelarutan asam borat menurut Farmakope Indonesia Edisi Ketiga 1 gram
asam borat larut dalam 20 bagian air, dalam 3 bagian air mendidih, dalam
16 bagian etanol (95%) dan dalam 5 bagian gliserol. Kelarutan secara

3
4

kuantitatif juga dinyatakan dalam molalita, molaritas, dan presentasi (Ansel,


1989).
Jika kelaruatan suatu zat tidak diketahui dengan pasti, kelarutannya
dapat ditunjukkan dengan istilah berikut (Dirjen POM, 1979):
Istilah Kelarutan Jumlah bagian pelarut diperlukan
untuk melarutkan 1 bagian zat.
Sangat mudah larut Kurang dari 1
Mudah larut 1 sampai 10
Larut 10 sampai 30
Agak sukar larut 30 sampai 100
Sukar larut 100 sampa 1.000
Sangat sukar larut 1.000 sampai 10.000
Praktis tidak larut Lebih dari 10.000

II.1.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelarutan


Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan sebagai berikut
(Sardjoko, 1987; Sinila, 2016):
1. Sifat dari solute dan solvent
Substansi polar cenderung lebih miscible atau soluble dengan
substansi polar lainnya. Substansi nonpolar cenderung untuk miscible
dengan substansi nonpolar lainnya, dan tidak miscible dengan substansi
polar lainnya Sifat pelarut
2. pH
Suatu zat asam lemah atau basa lemah akan sukar terlarut, karena
tidak mudah terionisasi. Semakin kecil pKanya maka suatu zat semakin
sukar larut, sedangkan semakin besar pKa maka suatu zat akan akan
mudah larut.
Suatu larutan digolongkan asam kuat jika memiliki daya hantar
listrik kuat (larutan elektrolit kuat) dan nilai pH rendah (konsentrasi
molar ion H+ tinggi). Sebaliknya, jika daya hantar listrik lemah dan nilai
pH sedang (sekitar 3–6), larutan tersebut tergolong asam lemah.
Demikian juga larutan basa dapat digolongkan sebagai basa kuat jika
5

memiliki daya hantar listrik kuat dan pH sangat tinggi. Jika daya hantar
listrik lemah dan nilai pH sedang (sekitar 8–11), larutan tersebut
tergolong sebagai basa lemah (Sinila, 2016).
Persamaannya (Sinila, 2016):
So
pHp = pKw - pKa + log
S - So
3. Suhu
Kenaikan temperatur akan meningkatkan kelarutan zat yang
proses melarutnya melalui penyerapan panas/kalor (reaksi endotermik)
dan akan menurunkan kelarutan zat yang proses melarutnya dengan
pengeluaran panas/ kalor (reaksi eksotermik).
4. Solution aditif
Additivies baik dapat meningkatkan atau mengurangi kelarutan
zat terlarut dalam pelarut tertentu.
5. Cosolvensi (Zat Penambah Kelarutan)
Cosolvensi adalah peristiwa kenaikan kelarutan suatu zat karena
adanya penambahan pelarut lain atau modifikasi pelarut. Misalnya
luminal tidak larut dalam air, tetapi larut dalam campuran air dan
gliserin atau solutio petit.
6. Kelarutan
Zat yang mudah larut memerlukan sedikit pelarut, sedangkan zat
yang sukar larut memerlukan banyak pelarut. Kelarutan zat anorganik
yang digunakan dalam farmasi umumnya adalah:
a. Dapat larut dalam air
Semua garam klorida larut, kecuali AgCl, PbCl 2, Hg2Cl2.
Semua garam nitrat larut kecuali nitrat base. Semua garam sulfat
larut kecuali BaSO4, PbSO4, CaSO4.
b. Tidak larut dalam air
Semua garam karbonat tidak larut kecuali K2CO3, Na2CO3.
Semua oksida dan hidroksida tidak larut kecuali KOH, NaOH,
6

BaO, Ba(OH)2. semua garam phosfat tidak larut kecuali K3PO4,


Na3PO3.
7. Temperatur
Zat padat umumnya bertambah larut bila suhunya dinaikkan, zat
padat tersebut dikatakan bersifat endoterm karena pada proses
kelarutannya membutuhkan panas.
Beberapa zat yang lain justru kenaikan temperatur menyebabkan
tidak larut, zat tersebut dikatakan bersifat eksoterm, karena pada proses
kelarutannya menghasilkan panas. Misalnya zat KOH dan K2SO4
8. Salting Out
Salting Out adalah peristiwa adanya zat terlarut tertentu yang
mempunyai kelarutan lebih besar dibanding zat utama, akan
menyebabkan penurunan kelarutan zat utama atau terbentuknya
endapan karena ada reaksi kimia.
9. Salting In
Salting In adalah adanya zat terlarut tertentu yang menyebabkan
kelarutan zat utama dalam solvent menjadi lebih besar.
10. Pembentukkan Kompleks
Pembentukan kompleks adalah peristiwa terjadinya interaksi
antara senyawa tak larut dengan zat yang larut dengan membentuk
garam kompleks.
Untuk memproduksi suatu respon biologis, molekul obat pertama-
tama harus menyeberangi suatu membran biologis beraksi sebagai suatu
pembatas lemak untuk kebanyakan obat-obat dan mengizinkan absorbsi zat-
zat yang larut dalam lemak dengan difusi pasif sedangkan zat-zat yang tidak
larut dalam lemak dapat mendifusi menyeberangi pembatasan hanya dengan
kesulitan yang besar, jika tidak sama sekali. Hubungan antara konstanta
disolusi, kelarutan dalam lemak, dan pH pada tempat absorbsi serta
karakteristik absorbsi dari berbagai obat merupakan dasar dari teori pH-
partisi. Penentuan derajat disosiasi atau harga pKa dari zat obat merupakan
suatu karakteristik fisika-kimia yang relatif penting terhadap evaluasi dari
7

efek-efek yang mungkin pada absorbsi dari berbagai tempat pemberian


(Ansel, 1989).
II.1.2 Cara-Cara Meningkatkan Kelarutan
Cara-cara yang dapat meningkatkan kelarutan, antara lain:
1. Pembentukkan Kompleks
Gaya antar molekul yang terlibat dalam pembentukkan kompleks
adalah gaya van der waals dari dispersi, alipolar dan tipe dipolar
diinduksi. Ikatan hidrogen memberikan gaya yang bermakna dalam
beberapa kompleks molekular dan kovalen koordinat yang penting
untuk beberapa kompleks logam. Salah satu faktor yang penting dalam
pembentukkan kompleks molekular adalah persyaratan ruang. Jika
pendekatan asosiasi yang dekat dari molekul donor dan molekul
akseptor dihalangi oleh faktor ruang, kompleks akan atau mungkin
berbentuk ikatan hidrogen dan pengaruh lain harus dipertimbangkan
(Martin dkk, 1993).
2. Penambahan Kosolven
Kosolven seperti etanol, propilen glikol, polietilen glikol, dan
glikofural telah rutin digunakan sebagai zat untuk meningkatkan
kelarutan obat dalam larutan pembawa berair. Pada beberapa kasus,
penggunaan kosolven yang tepat dapat meningkatkan kelarutan obat
beberapa kali lipat, namun bisa juga peningkatan kelarutannya sangat
kecil, bahkan dalam beberapa kasus penggunaan kosolven dapat
menurunkan kelarutan solut dalam larutan berair.
Efek peningkatan kelarutan terutama disebabkan oleh polaritas obat
terhadap solven (air) dan kosolven. Pemilihan sistem kosolven yang
tepat dapat menjamin kelarutan semua komponen dalam formulasi dan
meminimalkan resiko pengendapan karena pendinginan atau
pengenceran oleh cairan darah. Akibatnya, hal ini akan mengurangi
iritasi jaringan pada tempat administrasi obat (Yalkowsky, 1981).
8

3. Penambahan Surfaktan
Sifat dari surfaktan adalah menambah kelarutan senyawa organik
dalam sistem berair. Sifat ini tampak hanya pada cairan dan diatas
konsentrasi miselleritis, dan menunjukkan bahwa misel adalah
bersangkutan dalam dengan fenomena ini. Berbagai bahan tambahan
dalam produk obat juga dapat mempengaruhi kinetika kelarutan obat itu
sendiri (Lachman dkk, 1989).
II.2 Koefisien Distribusi
Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik
atau hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak
dan interaksi dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang
berhubungan baik dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat (Martin,
1990).
Koefisien partisi (P) menggambarkan rasio pendistribusian obat
kedalam pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul
semakin larut lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi
trans membran terjadi lebih mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa
organisme terdiri dari fase lemak dan air, sehingga bila koefisien partisi
sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal tersebut merupakan hambatan
pada proses difusi zat aktif (Ansel, 1989).
Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik
atau hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak
dan interaksi dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang
berhubungan baik dengan koefisien partisi oktanol 5 air dari obat (Martin,
1999).
Hukum distribusi atau partisi dapat dirumuskan : bila suatu zat
terlarut terdistribusi antara dua pelarut yang tidak dapat campur, maka pada
suatu temperatur yang konstan untuk setiap spesi molekul terdapat angka
banding distribusi yang konstan antara kedua pelarut itu, dan angka banding
distribusi ini tidak tergantung pada spesi molekul lain apapun yang mungkin
9

ada. Harga angka banding berubah dengan sifat dasar pelarut, sifat dasar
zat terlarut, dan temperatur (Svehla,1990).
Perbandingan distribusi, koefisien distribusi, atau koefisien partisi
dikenal dengan tetapan kesetimbangan K atau persamaan yang dikenal
dengan hukum distribusi, jelas hanya dapat dipakai dalam larutan encer
dimana koefisien keaktifan dapat diabaikan (Martin, 1990):
C1
=K
C2

II.2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Koefisien Distribusi


Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi distribusi zat dalam
larutan, yaitu menurut Cammarata (1995):
1. Temperatur, kecepatan berbagai reaksi bertambah kira-kira 2 atau 3 tiap
kenaikan suhu 10oC.
2. Kekuatan Ion, semakin kecil konsentrasi suatu larutan maka laju
distribusi makin kecil.
3. Konstanta Dielektrik, efek konstanta dielektrik terhadap konstanta laju
reaksi ionik diekstrapolarkan sampai pengenceran tak terbatas, yang
pengaruh kekuatan ionnya 0. Untuk reaktan ion yang kekuatannya
bermuatan berlawanan maka laju distribusi reaktan tersebut adalah
positif dan untuk reaktan yang muatannya sama maka laju distribusinya
negatif.
4. Katalisis, katalisis dapat menurunkan laju – laju distribusi (Katalis
negatif). Katalis dapat juga menurunkan energi aktivitas denganss
mengubah mekanisme reaksi sehingga kecepatan bertambah.
5. Katalis Asam Basa Spesifik, laju distribusi dapat dipercepat dengan
penambahan asam atau basa. Jika laju peruraian ini terdapat bagian yang
mengandung konsentrasi ion hidrogen atau hidroksi.
6. Cahaya Energi, cahaya seperti panas dapat memberikan keaktifan yang
diperlukan untuk terjadi reaksi. Radisi dengan frekuensi yang sesuai
dengan energi yang cukup akan diabsorbsi untuk mengaktifkan molekul
– molekul.
10

Faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena distribusi adalah


pengaruh sifat kelarutan bahan obat terhadap distribusi menunjukkan antara
lain bahwa senyawa yang larut baik dalam bentuk lamak terkonsentrasi
dalam jaringan yang mengandung banyak lemak sedangkan sebaliknya zat
hidrofil hampir tidak diambil oleh jaringan lemak karena itu ditentukan
terutama dalam ekstrasel (Ernest, 1999).
II.3 Uraian Bahan
1. Air Suling (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : Aqua destillata
Nama lain : Aquadest
Rumus molekul : H2O
Berat molekul : 18,02 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau dan


tidak mempunyai rasa
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2. Alkohol (Dirjen POM, 1979; Rowe, 2009)
Nama resmi : Aethanolum
Nama lain : Etanol, alcohol
Rumus molekul : C2 H6 O
Berat molekul : 46,07 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan


mudah bergerak, bau khas, rasa panas. Mudah
terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak
berasap
11

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform


dan dalam eter
Khasiat : Sebagai antibakteri, sebagai pelarut
Kegunaan : Sebagai zat pelarut dan tambahan, juga dapat
membunuh kuman serta dapat mematikan dan
menghambat pertumbuhan jamur
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya, di tempat sejuk, jauh dari nyala api.
3. Asam Borat (Dirjen POM, 1979 ; British, 2009)
Nama Resmi : Acidum Boricum
Nama Lain : Asam Borat
Rumus Molekul : H3BO3
Berat Molekul : 61,83 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Hablur, serbuk hablur putih atau sisik mengkilap


tidak berwarna; kasat; tidak berbau; rasa agak asam
dan pahit kemudian manis
Kelarutan : Larut dalam 20 bagian air, dalam 3 bagian air
mendidih, dalam 16 bagian etanol (95%) dan dalam
5 bagian gliserol
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai sampel
Khasiat : Antiseptikum ekstern (Anti bakteri)
4. Asam Salisilat (Dirjen POM, 1995 ; Sweetman, 2009 ; British, 2009)
Nama resmi : Acidum salicylicum
Nama lain : Asam salisilat
Rumus molekul : C7H6O3
12

Berat molekul : 138,12 g/mol


Rumus struktur :

Pemerian : Hablur putih, biasanya berbentuk jarum halus atau


serbuk hablur halus putih, rasa agak manis, tajam
Kelarutan : Sukar larut dalam air dan dalam benzena, mudah
larut dalam etanol dan dalam eter, larut dalam air
mendidih, agak sukar larut dalam kloroform
Khasiat : Anti Fungi (Anti Jamur)
Kegunaan : Sebagai sampel
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
5. Fenolftalein (Dirjen POM, 1995; Sweetman, 2009)
Nama resmi : Phenolftalein
Nama lain : Fenolftalein
Rumus molekul : C20H14O4
Berat molekul : 318,33 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Serbuk hablur putih, putih atau kekuningan, larut


dalam etanol, agak sukar larut dalam eter.
Kelarutan : Sukar larut dalam air, larut dalam etanol (95%)
Khasiat : Sebagai obat untuk konstipasi
Kegunaan : Sebagai larutan indikator.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
6. Natrium Hidroksida (Dirjen POM, 1995;Rowe, 2009)
Nama resmi : Natrii hydroxydum
Nama lain : Natrium hidroksida
13

Rumus molekul : NaOH


Berat molekul : 40,00 g/mol
Rumus struktur :
O
Na H

Pemerian : Bentuk batang, butiran, masa hablur atau keping,


kering, rapuh dan mudah meleleh basah, sangat
alkalis dan korosif. Segera menyerap CO2.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan etanol (95%).
Khasiat : Sebagai agen alkali, larutan penyangga
Kegunaan : Sebagai larutan baku.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
7. Paraffinum Liquidum (Dirjen POM, 1979; Dianne, dkk, 2013)
Nama Resmi : Parrafinum
Nama Lain : Parafin cair
Rumus Molekul : C4H10
Berat Molekul : 184 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan kental, transparan, tidak ber fluorosensi,


tidak berwarna, hampir tidak berbau, dan hampir
tidak mempunyai rasa
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan bahan etanol 95%
P, larut dalam kloroform P dan dalam eter P
Kegunaan : Sebagai Pelarut
Khasiat : Laksativum (memperlancar buang air besar)
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari
cahaya.
BAB III
METODE PRAKTIKUM
III.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum
Praktikum kelarutan dan koefisien distribusi dilaksanakan pada tanggal
19 Oktober 2017 pukul 07.00-10.00 WITA. Praktikum dilaksanakan di
Laboratorium Teknologi Farmasi, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan
Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo.
III.2 Alat dan Bahan
III.2.1 Alat

Batang Pengaduk Buret Cawan Porselen

Corong Corong Pisah Erlenmeyer

Gelas Beker Gelas Ukur Lap Halus

14
15

Neraca Analitik Oven Penangas Air

Pipet Tetes Sendok Tanduk Spatula

Statif dan Klem Termometer

III.2.2 Bahan

Alkohol 70% Aluminium Foil Asam Borat


16

Asam Salisilat Aquadest Indikator


Fenolftalein

Kertas Perkamen Kertas Saring Larutan NaOH


0,1 N

Paraffin Cair Tisu

III.3 Cara Kerja


III.3.1 Pembuatan Larutan Baku NaOH 0,1 N
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%.
3. Dilakukan perhitungan bobot NaOH yang akan dilarutkan.
4. Dilarutkan NaOH sebanyak 1 gr ke dalam air sebanyak 250 ml.
5. Diaduk hingga homogen.
II.3.2 Penentuan Kelarutan
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%.
17

3. Ditimbang kertas saring kosong.


4. Ditimbang asam salisilat masing-masing 2 gr.
5. Diukur aquadest masing-masing sebanyak 50 ml.
6. Dipanaskan aquadest sebanyak 50 ml menggunakan penangas air.
7. Diukur suhu air yang telah dipanaskan hingga 55C.
8. Dituangkan aquadest yang bersuhu 55C dan suhu kamar kedalam gelas
beker yang berbeda.
9. Dilarutkan secara bersamaan masing-masing 2 gr asam salisilat pada
masing-masing aquadest.
10. Diaduk menggunakan batang pengaduk.
11. Disaring residu menggunakan kertas saring yang telah dijenuhkan.
12. Dimasukkan kertas saring yang berisi residu ke dalam oven bersuhu
100C sampai mengering.
13. Ditimbang residu yang telah kering.
14. Dicatat hasilnya dan dihitung kelarutannya.
III.3.3 Penentuan Koefisien Distribusi
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%.
3. Ditimbang asam borat sebanyak 100 mg.
4. Dilarutkan kedalam 100 ml air dan diaduk hingga homogen.
5. Dipipet 25 ml dari larutan stok dan dimasukkan kedalam erlenmeyer.
6. Ditambahakan 3 tetes larutan indikator fenolftalein
7. Dititrasi menggunakan larutan baku NaOH 0,1 N sampai mencapai titik
keseimbangan.
8. Dicatat volume titrasi
9. Dari larutan stok, dipipet 25 ml dan dimasukkan kedalam corong pisah.
10. Ditambahkan 25 ml larutan paraffin cair kedalam corong pisah.
11. Dikocok hingga larut.
12. Didiamkan selama beberapa saat hingga membentuk dua lapisan yang
jelas. Diambil lapisan air dan dibuang lapisan minyak.
13. Ditambahakan 3 tetes larutan indikator fenolftalein
18

14. Dititrasi menggunakan larutan baku NaOH 0,1 N sampai mencapai titik
keseimbangan.
15. Dicatat volume titrasi dan dihitung koefisien distribusinya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Pengamatan
IV.1.1 Kelarutan
Kertas Saring Kertas Saring +
Sampel Suhu
Kosong Residu
Asam 550C 0,879 g 2,5633 g
Salisilat Suhu Kamar 0,879 g 2,5931 g
a) Residu = Kertas saring + residu - kertas saring kosong
1) Suhu 450C = 2,5633 g - 0,879 g
= 1,6843 g
2) Suhu Kamar = 2,5931 g - 0,879 g
= 1,7141 g
b) Zat terlarut = Berat sampel - residu
1) Suhu 450C = 2 g - 1,6843 g
= 0,3157 g
2) Suhu Kamar = 2 g – 1,7141 g
= 0,2859 g
Zat terlarut
c) Konsentrasi Kelarutan =
Volume Pelarut
0,3157 g
1) Suhu 450C =
50 ml
= 0,006316 g/ml
0,2859 g
2) Suhu Kamar =
50 ml
= 0,005718 g/ml

19
20

IV.1.2 Koefisien Distribusi


Sampel Volume Titrasi
Tanpa Minyak Dengan Minyak
Asam borat
8 ml 7 ml
a) % Kadar
Ntitran x Vtitran x BE
1. Tanpa Minyak = x 100%
Berat Sampel
0,1 N x 8 ml x 61,83/3
= x 100%
0,1 g
116,488
= x 100%
0,1
= 16488%
Ntitran x Vtitran x BE
2. Dengan Minyak = x 100%
Berat Sampel
0,1 N x 27 ml x 61,83/3
= x 100%
0,1 g
14,427
= x 100%
0,1
= 14427%
b) Koefisien Fase Minyak = Kadar tanpa minyak - kadar dengan
minyak
= 16488% - 144277%
= 2061%
C2
c) Koefisien Distribusi =
C1
2061%
=
16488%
= 0,125% = <1
Jadi, asam borat lebih terdistribusi ke dalam fase cair.
21

IV.2 Pembahasan
IV.2.1 Penentuan Kelarutan Asam Salisilat
Menurut Martin (1990), kelarutan dapat didefinisikan dalam besaran
kualitatif sebagai kosentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada
temperature tertentu, dan secara kualitatif dapat didefinisikan sebagai
interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk dispersi
molekuler homogen. Kelarutan suatu senyawa bergantung pada sifat fisika
dan kimia zat terlarut dan pelarut, pada faktor pelarut, tekanan, pH larutan
dan untuk jumlah yang lebih kecil, bergantung pada hal terbaginya zat
terlarut. Pada praktikum ini akan menetukan kelarutan dari asam salisilat
pada suhu yang berbeda yaitu suhu kamar dan suhu 55C.
Langkah awal yang dilakukan yaitu menyiapkan semua bahan yang
diperlukan, setelah itu dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%. Tujuan
dari pembersihan alat ini untuk membunuh mikroorganisme yang ada pada
alat karena menurut Dirjen POM (1979), alkohol berfungsi sebagai
antiseptik (membunuh atau mematikan mikrorganisme pada jaringan hidup
dan desinfektan (mematikan mikroorganisme pada benda mati).
Kemudian, ditimbang kertas saring kosong dan ditimbang asam
salisilat masing-masing 2 gr. Selanjutnya, diukur aquades masing-masing
sebanyak 50 ml menggunakan gelas ukur. Dipanaskan aquadest sebanyak
50 ml menggunakan penangas air lalu diukur menggunakan termometer
hungga suhu 55°C. Lalu dituangkan aquadest yang bersuhu kamar dan
bersuhu 55C kedalam gelas beker yang berbeda. Setelah itu dimasukkan
asam salisilat ke dalam masing-masing gelas dalam waktu yang bersamaan,
lalu diaduk kedua gelas tersebut menggunakan batang pengaduk dengan
kecepatan pengadukan yang konstan atau sama. Pengadukan dilakukan
harus secara konstan agar suhu pada larutan tersebut tidak berubah atau
tetap. Menurut Atkins (1994), tujuan dilakukan pengadukan sebagai
penentuan suatu zat terlarut, semakin banyak jumlah pengadukan, maka zat
terlarut menadi mudah larut.
22

Selanjutnya, dijenuhkan kedua kertas saring yang akan digunakan


untuk menyaring larutan asam salisilat dengan cara ditetesi air pada
permukaan kertas, agar pori-pori pada kertas saring terbuka. Menurut
Effendi (2003), penjenuhan kertas saring dilakukan untuk mempercepat
lewatnya air pada kertas saring. Setelah itu, disaring residu dari kedua
larutan asam salisilat menggunakan kertas saring yang telah dijenuhkan.
Lalu kertas saring yang berisi residu dimasukkan ke dalam oven pada suhu
100°C sampai mengering. Menurut Hasibuan (2005), tujuan pengeringan
adalah untuk penghidratan atau penghilangan sebagian atau keseluruhan uap
air dari suatu bahan.
Setelah residu kering, kemudian ditimbang masing-masing residu dan
dihitung kelarutannya. Dari penimbangan tersebut, didapatkan hasil
penibangan residu kering pada suhu 55C memiliki berat 1,6843 gr dan pada
suhu kamar memiliki berat 1,7141 gr. Setelah dihitung maka didapatkan
nilai dari kelarutan pada suhu 55C yaitu 0,006316 gr/ml dan nilai kelarutan
pada suhu kamar yaitu 0,005718 gr/ml.
Dari hasil tersebut didapatkan suatu kesimpulan bahwa suhu
mempengaruhi suatu proses kelarutan asam salisilat dalam pelarutnya yaitu
air, dimana kelarutan asam salisilat pada suhu 55ºC lebih tinggi dari pada
suhu kamar. Hal ini membuktikan bahwa menurut Sardjoko (1987), suhu
adalah salah satu faktor yang mempengaruhi proses kelarutan suatu zat.
Menurut Dirjen POM (1995), asam salisilat sukar larut didalam air.
IV.2.2 Penentuan Koefisien Distribusi Asam Borat
Koefisien distribusi atau koefisien partisi obat adalah suatu
perbandingan kelarutan suatu zat di dalam dua pelarut yang berbeda dan
tidak saling bercampur, serta merupakan suatu harga tetap pada suhu
tertentu (Kasmiyatun, 2010).
Pada praktikum kali ini akan menentukan koefisien distribusi dari
asam borat dalam pelarut air dan paraffin cair yang tidak saling bercampur
yang dititrasi menggunakan larutan baku NaOH 0,1 N dengan
menggunakan indikator fenolftalein.
23

Langkah awal yang dilakukan yaitu, menyiapkan semua bahan yang


diperlukan, setelah itu dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%. Tujuan
dari pembersihan alat ini untuk membunuh mikroorganisme yang ada pada
alat karena menurut Dirjen POM (1979), alkohol berfungsi sebagai
antiseptik (membunuh atau mematikan mikrorganisme pada jaringan hidup
dan desinfektan (mematikan mikroorganisme pada benda mati). Kemudian,
ditimbang asam borat sebanyak 100 mg. Kemudian diukur aquadest
sebanyak 100 ml. Setelah itu dimasukkan asam borat ke dalam aquadest
dan diaduk larutan hingga homogen.
Selanjutnya dipipet 25 ml dari asam dari larutan stok dan
dimasukkan ke dalam gelas beker. Kemudian ditambahkan tiga tetes
indikator fenoltalein. Menurut Khopkar (1990), tujuan penggunaan
indikator fenolftalein adalah untuk mengetahui apakah larutan yang diuji
bersifat asam ataupun basa dan titik akhir titrasi karena jika menggunakan
indikator lain trayek pHnya sangat jauh dari ekivalen. Lalu dititrasi dengan
larutan NaOH 0,1 N. Menurut Padmaningrum (2006), tujuan memakai
metode titrasi karena titrasi merupakan suatu proses analisis dimana suatu
volume larutan standar ditambahkan ke dalam larutan dengan tujuan
mengetahui komponen yang tidak dikenal. Titrasi dihentikan setelah terjadi
perubahan warna larutan dari bening menjadi merah muda. Setelah itu,
dicatat volume titrasinya dan dihitung % kadarnya.
Langkah selanjutnya, dipipet 25 ml dari larutan stok dan dimasukan
ke dalam corong pisah dan di tambahkan 25 ml paraffin cair. Setelah itu
dikocok hingga larut. Menurut Harjadi (1993), Fungsi dari pengocokan
adalah untuk melihat berapa banyak asam borat yang terdistribusi ke dalam
paraffin cair. Kemudian didiamkan selama beberapa saat hingga
membentuk dua lapisan yang jelas, yaitu lapisan minyak dan lapisan air. Hal
ini dikarenakan berat molekul dari air lebih besar dari berat molekul
minyak, dimana menurut Dirjen POM (1979), berat molekul dari air yaitu
18,02 sedangkan berat molekul dari paraffin cair yaitu 0,904.
24

Setelah itu, lapisan air diambil, sedangkan lapisan minyak dibuang.


Menurut Golib (2007), apabila lapisan minyak yang dititrasi maka akan
terjadi reaksi saponifikasi (penyabunan). Kemudian ditambahkan 3 tetes
indikator fenolftalein dan dititrasi dengan NaOH 0,1 N. Titrasi dihentikan
setelah terjadi perubahan warna larutan dari bening menjadi merah muda.
Setelah itu, dicatat volume titrasinya dan dihitung % kadarnya.
Berdasarkan dari hasil perhitungan, didapatkan % kadar asam borat
tanpa minyak yaitu 16488 % dan % kadar asam borat dengan minyak yaitu
14427 %. Jadi, dapat disimpulkan bahwa asam borat cenderung terdistribusi
ke dalam fase air. Hal ini sesuai dengan literatur pada Dirjen POM (1979),
dimana asam borat larut dalam 20 bagian air dan kelarutan asam borat dalam
minyak adalah larut dalam 5 bagian gliserol.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang dilakukan dapat kesimpulan bahwa nilai
kelarutan asam salisilat pada suhu kamar yaitu 0,005718 gr/ml dan nilai
kelarutan asam salisilat pada suhu 55ºC yaitu 0,006316 gr/ml. Hal ini
membuktikan bahwa suhu adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
proses kelarutan suatu zat.
Pada penentuan koefisien distribusi asam borat, dari hasil perhitungan
didapat % kadar asam borat tanpa minyak yaitu 16488 % dan % kadar asam
borat dengan minyak yaitu 14427 %. Jadi, asam salisilat cenderung
terdistribusi ke dalam fase air. Hal ini sesuai dengan teori dimana asam borat
larut dalam 20 bagian air.
V.2 Saran
V.2.1 Asisten
Diharapkan asisten senantiasa mendampingi praktikan agar tidak
terjadi kesalahan pada praktikum berlangsung dan mengajari apabila
praktikan tidak mengerti.
V.2.2 Laboratorium
Perlu adanya penambahan sarana dan prasarana laboratorium agar
lebih lengkap sehingga jalannya praktikum dapat efisien, baik dalam waktu
maupun hasilnya. Diharapkan laboratorium juga melengkapi ketersediaan
alat dan bahan agar praktikum dapat berjalan mulus.
V.2.3 Jurusan
Sebaiknya jurusan menyediakan anggaran demi kebutuhan
laboratorium serta menyediakan anggaran demi kebutuhan laboratorium
agar praktikum berjalan lebih maksimal.

25

Anda mungkin juga menyukai