FARMAKOLOGI-TOKSIKOLOGI
PERCOBAAN I
Disusun oleh :
A. Tujuan
B. Pendahuluan
Proses absorbsi sangat penting dan menentukan efek obat. Pada umumnya obat yang
tidak diabsorbsi tidak menimbulkan efek, kecuali antasida dan obat yang bekerja lokal.
Proses absorbsi terjadi di berbagai tempat pemberian obat, umpamanya melalui alat
cerna, otot rangka, paru-paru dan kulit. Menurut (Anonim, 1995) absorbsi dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain:
Kelarutan obat (Sifat fisika & kimia obat)
Kemampuan difusi melalui / melintasi sel membran
Konsentrasi obat
Sirkulasi pada letak absorbsi
Luas permukaan kontak obat (absorbsing surface)
Bentuk obat (tablet, kapsul / cairan)
Route pemakaian obat (cara pemberian)
Phenobarbital (barbiturat yang berefek panjang, antiepilepticum).
1. Farmakokinetika
BM : 232
Ketersediaan biologik : 100%
Volume distribusi : 0,51/kg
Ikatan protein plasma : 50%
Waktu paruh plasma : dewasa 4 hari (bertambah pada umur tua), anak-anak 3 hari.
Eliminasi : 25% dieliminasi oleh ginjal dalam keadaan tak diubah,
sisanya
dikonjugasi dengan asam glucuronat di dalam hati
2. Dosis
3. Interaksi obat
Penguatan efek oleh obat-obatan yang menekan sistem saraf pusat yang lain dan
alkohol.
Induksi enzim mikrosomal dengan pemecahan hormon-hormon steroid yang
dipercepat (misalnya kontrasepsi oral), juga cholestrol, garam empedu, vit D dan
K dan beberapa obat-obatan (misalnya antidepressive, antiepileticum,
tuberculostatica, chloramfenicol, carticosteroid, digitoxin, doxycyclin,
griseofulvin, metronidazol, metoprolol, neurolepticum, phenytoin, propanolol, dan
sebagaiannya).
Hydroxilasi phenobarbital diperlambat pada pemberian yang bersamaan dengan
asam valproinat dan cimetidin.
Inkompatibilitas dengan beberapa cairan infus (Widodo, 1993).
Waktu yang diperlukan mulai dari obat diberikan sampai menimbulkan efek dibagi
menjadi 3, yaitu:
1. Onset adalah waktu yang diperluakn mulai dari obat diberikan sampai dengan obat
menimbulkan efek.
2. T 1/2 eliminasi adalah waktu yang diperlukan obat untuk mencapai efek terapi paling
maksimal sebelum obat mengalami ekskresi setengahnya.
3. Durasi adalah waktu yang diperlukan mulai dari obat menimbulkan efek sampai
dengan obat tersebut tidak berefek lagi (Tan Hoa Tjay, 2007).
Menurut buku Catatan Kulia Farmakologi I (1992), ada empat cara pemberian obat
secara suntikan:
1. Intravena
Pemberian secara iv adalah yang paling tepat dan paling pasti. Suntikan iv
memberikan kadar obat yang sangat tinggi yang pertama-tama akan mencapai paru-
paru dan kemudian ke sirkulasi sistemik.
2. Subkutan
Sc hanya bias dilakukan untuk obat-obat yang tidak menyebabkan iritasi terhadap
jaringan karena akan menyebabkan rasa sakit hebat, nekrosis, dan pengelupasan kulit.
3. Intramuscular
Obat-obat yang larut dalam air akan diabsorbsi cepat setelah penyuntikan i.m,
tergantung dari banyaknya aliran darah ke tempat suntikan.
4. Intraperitonial
Rongga peritonium mempunyai permukaan absorbs yang sangat luas sehingga obat
dapat masuk ke sirkulasi sistemik secara cepat. Cara ini banyak dilakukan di
laboratorium tetapi jarang dipakai di klinik karena adanya bahaya infeksi dan
pengleketan peritonium.
E. Perhitungan
Sediaan Phenobarbital Na
BM Phenobarbital = 232,24
BM Phenobarbital Na = 254,22
254,22
Dosis Phenobarbital = x 80 mg/kgBB = 87,57 mg/kgBB
232,24
Etiket Injeksi Phenobarbital 100 mg/ml (Pengenceran 10x) 10mg/ml
Perhitungan Dosis Peroral
30,17 g
Dosis mencit terbesar = x 87,57 mg/kgBB = 2,64 mg/kgBB
1000 g
2 , 64 mg
C stok = x 119,7 mg = 19,23/ml = 192,3/10 ml
0,5 x 1 ml
Rentang penimbangan 5% (0,1827 g – 0,20192 g)
Penimbangan :
Berat kertas + zat = 0,6889 g
Berat kertas + sisa = 0,5053 g
Berat zat = 0,1836 g
183,6 mg
C stok sebenarnya = x 30 mg = 46,0150 mg/10ml = 4,6015 mg/ml
119,7 mg
Peroral
Mencit 1 30,17 g 2,41mg
x 80mg/kgBB = 2,41 mg/kgBB Vp = = 0,53
1000 g 4,6015 mg/ml
ml
Mencit 2 20,10 g 1,61mg
x 80mg/kgBB = 1,61 mg/kgBB Vp = = 0,35
1000 g 4,6015 mg/ml
ml
Mencit 3 30,0 g 2,40 mg
x 80mg/kgBB = 2,40 mg/kgBB Vp = = 0,52
1000 g 4,6015 mg/ml
ml
Subkutan
Mencit 1 32 g 2,80 mg
x 87,57 mg/kgBB = 2,80 Vp = = 0,28 ml
1000 g 10 mg/ml
mg/kgBB
Mencit 2 24 g 2,10 mg
x 87,57 mg/kgBB = 2,10 Vp = = 0,21 ml
1000 g 10 mg/ml
mg/kgBB
Mencit 3 25 g 2,18 mg
x 87,57 mg/kgBB = 2,18 Vp = = 0,22 ml
1000 g 10 mg/ml
mg/kgBB
Intramuskular
Mencit 1 31,7 g 2,77 mg
x 87,57 mg/kgBB = 2,77 Vp = = 0,28 ml
1000 g 10 mg/ml
mg/kgBB
Mencit 2 28,5 g 2,49 mg
x 87,57 mg/kgBB = 2,49 Vp = = 0,25 ml
1000 g 10 mg/ml
mg/kgBB
Mencit 3 28,5 g 2,49 mg
x 87,57 mg/kgBB = 2,49 Vp = = 0,25 ml
1000 g 10 mg/ml
mg/kgBB
Intraperitonial
Mencit 1 30,7 g 2,69 mg
x 87,57 mg/kgBB = 2,69 Vp = = 0,27 ml
1000 g 10 mg/ml
mg/kgBB
Mencit 2 22,8 g 1,99 mg
x 87,57 mg/kgBB = 1,99 Vp = = 0,20 ml
1000 g 10 mg/ml
mg/kgBB
Mencit 3 30,2 g 2,64 mg
x 87,57 mg/kgBB = 2,64 Vp = = 0,26 ml
1000 g 10 mg/ml
mg/kgBB
Intravena
Mencit 1 19 g 1,66 mg
x 87,57 mg/kgBB = 1,66 Vp = = 0,17 ml
1000 g 10 mg/ml
mg/kgBB
Mencit 2 24,6 g 2,15 mg
x 87,57 mg/kgBB = 2,15 Vp = = 0,21 ml
1000 g 10 mg/ml
mg/kgBB
Mencit 3 32 g 2,80 mg
x 87,57 mg/kgBB = 2,80 Vp = = 0,28 ml
1000 g 10 mg/ml
mg/kgBB
F. Data Pengamatan
Waktu
Onset Durasi
Reflek balik
Cara (menit) (menit)
No badan
pemberian Pemberian
Kembal
Hilang i
1 09:22 11:19 11:49 113 30
2 Oral 09:27 11:21 11:49 114 28
3 09:35 11:28 12:01 113 33
1 08:41 09:24 10:29 43 65
2 Subkutan 09:01 09:23 10:52 22 89
3 10:38 10:45 11:40 7 55
1 09:05 09:35 12:20 30 165
2 Intramuscular 09:21 10:01 10:44 40 43
3 09:30 10:04 11:43 34 99
1 08:36 09:25 10:07 49 42
Intraperitonial
2 08:42 10:30 10:43 108 13
3 08:49 09:26 11:00 37 94
1 09:06 09:15 12:33 9 198
2 Intravena 09:10 09:23 11:55 13 152
3 09:16 11:30 12:24 134 54
Hasil SPSS
Keterangan:
1. Uji Shapiro Wilk (jika> 0,05 maka BERDISTRIBUSI NORMAL)
Nilai sig. dari semua data BERDISTRIBUSI NORMAL kecuali pada onset PO
(0,000)
Keterangan: jika> 0,05maka
HOMOGEN
Keterangan: jikanilai sig. < 0,05maka Ho (Hipotesis) ditolak yang berarti ADA
PERBEDAAN SIGNIFIKAN
1. Onset dan durasi yaitu 0,096 dan 0,126 (TIDAK ADA PERBEDAAN)
Keterangan: tanda bintang pada table (*) berarti ADA PERBEDAAN SIGNIFIKAN
yang bersifat hidrofilik. Absorbsi terbesar berada di usus halus, dimana di dalam usus
dalus terdapat banyak mikrofili yang bersifat lipofilik. Pada percobaan kali ini obat yang
digunakan adalah phenobarbital, dimana obat tersebut bersifat lipofilik, sehingga mudah
terabsorbsi.
Jika dilihat dari kemampuan obat lipofilik menembus membran, urutan absorbsi obat
dengan cara penyuntikan dari yang tercepat hingga terlambat adalah intravena,
intraperitonial, intramuscular, subkutan, dan per oral. Namun dari hasil percobaan
didapatkan data dari yang tercepat hingga terlambat adalah subkutan, intramuscular,
intravena, intraperitonial, dan per oral. Sehingga dari hasil percobaan tidak sesuai dengan
hasil pada teori.
Cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi dimana hubungannya
dengan kecepatan dan kelengkapan absorbs obat. Kecepatan absorbsi obat di sini
berpengaruh terhadap onsetnya sedangkan kelengkapan absorbsi obat berpengaruh
terhadap durasinya misalnya lengkap atau tidaknya obat yang berikatan dengan reseptor
dan apakah ada factor penghambatnya. Cara peberian obat yang ideal adalah obat dengan
onset cepat dan durasi Panjang (Ansel, 1986).
Onset yaitu waktu yang diperlukan mulai dari obat untuk mulai bekerja sampai
dengan obat menimbulkan efek. Pada onset tersebut obat mulai terabsorbsi pada tempat
absorbsiya masing-masing sesuai pemberiannya dan menimbulkan efek dari obat yang
diberikan. Sedangkan durasi adalah waktu yang diperlukan mulai dari obat menimbulkan
efek sampai dengan obat tersebut tidak berefek lagi. Pada durasi tersebut, obat masuk ke
dalam fase distribusi dimana obat tersebut sudah terabsorbsi dan menyebar ke peredaran
darah kemudian obat tersebut akan menimbulkan efek sampai obat dimetabolisme
(diubah menjadi metabolit yang dapat dapat dibuang dari tubuh) sehingga obat tidak
menimbulkan efek lagi.
Berdasarkan cara pemberiannya, urutan cara pemberian yang memiliki onset paling
cepat adalah :
1. Intravena (IV)
Merupakan cara pemberian yang paling cepat dan paling pasti. Suatu suntikan tunggal
intravena akan memberikan kadar obat yang sangat tinggi yang pertama-tama akan
mencapai paru-paru dan kemudian ke sirkulasi sistemik.
2. Intraperitoneal (IP)
Diberikan melalui perut yang didalamnya terdapat rongga peritoneum yang
mempunyai permukaan absorbsi yang sangat luas sehingga obat dapat masuk sirkulasi
sistemik secara cepat.
3. Intramuscular (IM)
Obat yang larut dalam air akan diabsorbsi dengan cepat setelah penyuntikan IM,
tergantung dari banyaknya aliran darah ke tempat suntikan. Absorbsi yang sangat lambat
dapat terjadi bila obat suntik terdapat dalam bentuk larutan minyak.
4. Subkutan (SC)
Disuntikkan dibawah kulit dan perlu menembus dinding kapiler untuk memasuki
aliran darah. Hanya bisa dilakukan untuk obat-obat yang tidak menimbulkan iritasi
terhadap jaringan.
5. Per Oral (PO)
Dari rongga mulut melalui kerongkongan untuk masuk ke lambung lalu harus dapat
masuk ke dalam usus baru kemudian memasuki aliran darah. Prosesnya panjang sehingga
onset lama terbentuk (Ansel, 1986).
Dari hasil percobaan yang dilakukan, didapatkan hasil berdasarkan onset dari yang
tercepat hingga terlambat adalah subkutan, intramuscular, intravena, intraperitonial, dan
per oral. Sehingga dari hasil percobaan tidak sesuai dengan hasil pada teori.
Cara pemberian juga mempengaruhi durasi obat. Urutan cara pemberian yang
menghasilkan durasi paling cepat :
1. Peroral, karena melalui saluran cerna yang memiliki rute cukup panjang dan banyak
factor penghambat maka konsentrasi obat yang terabsorbsi semakin sedikit dan efek
obat lebih cepat.
2. Intraperitonial (IP), disini obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek
yang dihasilkan lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di
metabolisme serempak sehingga durasinya agak cepat.
3. Intramuscular (IM), terdapat lapisan lemak yang cukup banyak sehingga obat akan
konstan dan lebih tahan lama.
4. Subkutan, terdapat lapisan lemak yang paling banyak sehingga durasi lebih lama
dibanding intra muscular.
5. Intravena(IV) (Ansel, 1986).
Dari hasil percobaan yang dilakukan, didapatkan hasil berdasarkan durasi dari yang
terpanjang hingga terpendek adalah intravena, intramuscular, subkutan, intraperitonial,
dan per oral. Sehingga dari hasil percobaan tidak sesuai dengan hasil pada teori.
Dari hasil spss Uji Shapiro Wilk (jika> 0,05 maka berdistribusi normal). Nilai sig.
dari semua data berdistribusi normal kecuali pada onset PO (0,000). Pada uji
homogenitas jika > 0,05 maka homogen. Onset: nilai sig. 0,003 (tidak homogen). Durasi:
nilai sig. 0,105 (homogen). Pada uji anova satu jalan, jika nilai sig. < 0,05 maka Ho
(Hipotesis) ditolak yang berarti ada perbedaan signifikan. Onset dan durasi yaitu 0,096
dan 0,126 (tidak ada perbedaan).
Dari percobaan yang telah dilakukan, terdapat banyak hasil yang tidak sesuai dengan
teori. Hal ini bias disebabkan oleh banyak factor. Faktor yang sangan berpengaruh adalah
cara penyuntikan. Cara penyuntikan yang salah dapat menyebabkan obat tertahan pada
jaringan yang salah sehingga absorbsi dan distribusi obat menjadi berbeda dari yang
seharusnya. Perlakuan hewan uji oleh praktikan yang berbeda-beda juga berpengaruh
terhadap kondisi mencit. Serta kondisi dari mencit itu sendiri. Setiap mencit memiliki
proses ADME yang berbedaa-beda, sehingga dapat mempengaruhi hasil pula.
H. Kesimpulan
1. Dari hasil percobaan didapatkan hasil berdasarkan onset dari yang tercepat hingga
terlambat adalah subkutan, intramuscular, intravena, intraperitonial, dan per oral.
Sehingga dari hasil percobaan tidak sesuai dengan hasil pada teori.
2. Dari hasil percobaan didapatkan hasil berdasarkan durasi dari yang terpanjang hingga
terpendek adalah intravena, intramuscular, subkutan, intraperitonial, dan per oral.
Sehingga dari hasil percobaan tidak sesuai dengan hasil pada teori.
I. Daftar Pustaka
Anief, Moh. 1986. Perjalanan dan Nasib Obat dalam Badan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Departemen Kesehatan RI. 2014. Farmakope Indonesia edisi V. Jakarta: Depkes RI.
Staf Pengajar Bagian Farmakologi,. 1992. Catatan Kuliah Farmakologi I. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Nuryati. 2017. Bahan Ajar Rekam Medis dan Informasi Kesehatan (RMIK)
Farmakologi. Jakarta: Pusat Pendidikan Sumber Daya Kesehatan Badab
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Manusia Kesehatan.
Syarif, Amir. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta ; Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.