Anda di halaman 1dari 10

PERTEMUAN 5

TARGET KERJA OBAT

I. Tujuan Pembelajaran
Tujuan dari pembelajaran ini adalah agar mahasiswa mampu menjelaskan tentang target
kerja obat, reseptor, transpoter, dan barier obat dalam tubuh.

II. Uraian Materi


A. Reseptor Sebagai Target Kerja Obat
Efek terapeutik dan toksik obat dihasilkan dari interaksinya dengan molekul pada pasien.
Sebagian besar obat bekerja dengan cara berasosiasi dengan makromolekul tertentu dengan cara
yang mengubah aktivitas biokimia atau biofisik makromolekul tersebut. Ide ini, berusia lebih dari
satu abad, diwujudkan dalam istilah reseptor: komponen sel atau organisme yang berinteraksi
dengan obat dan memulai rantai peristiwa yang mengarah ke efek obat yang diamati.
Reseptor telah menjadi fokus utama penyelidikan efek obat dan mekanisme kerjanya
(farmakodinamik). Konsep reseptor, diperluas ke endokrinologi, imunologi, dan biologi
molekuler, telah terbukti penting untuk menjelaskan banyak aspek regulasi biologis. Banyak
reseptor obat telah diisolasi dan dikarakterisasi secara rinci, sehingga membuka jalan menuju
pemahaman yang tepat tentang dasar molekuler kerja obat.
Konsep reseptor memiliki konsekuensi praktis yang penting untuk pengembangan obat dan
untuk sampai pada keputusan terapeutik dalam praktik klinis. Konsekuensi ini membentuk dasar
untuk memahami tindakan dan penggunaan klinis obat yang dijelaskan di hampir setiap bab buku
ini. Konsep reseptor dapat diringkas secara singkat sebagai berikut:
1. Reseptor sangat menentukan hubungan kuantitatif antara dosis atau konsentrasi obat
dan efek farmakologis. Afinitas reseptor untuk mengikat obat menentukan konsentrasi obat
yang dibutuhkan untuk membentuk sejumlah besar kompleks reseptor obat, dan jumlah total
reseptor dapat membatasi efek maksimal yang dapat dihasilkan obat.
2. Reseptor bertanggung jawab atas selektivitas kerja obat. Ukuran molekul, bentuk, dan
muatan listrik suatu obat menentukan apakah—dan dengan afinitas apa—obat itu akan
berikatan dengan reseptor tertentu di antara susunan luas tempat pengikatan yang berbeda
secara kimiawi yang tersedia dalam sel, jaringan, atau pasien. Dengan demikian, perubahan
struktur kimia suatu obat dapat secara dramatis meningkatkan atau menurunkan afinitas obat
baru untuk kelas reseptor yang berbeda, dengan hasil perubahan efek terapeutik dan toksik.
3. Reseptor memediasi aksi agonis dan antagonis farmakologis. Beberapa obat dan banyak
ligan alami, seperti hormon dan neurotransmiter, mengatur fungsi makromolekul reseptor
sebagai agonis; ini berarti bahwa mereka mengaktifkan reseptor untuk memberi sinyal
sebagai akibat langsung dari pengikatannya. Beberapa agonis mengaktifkan satu jenis
reseptor untuk menghasilkan semua fungsi biologisnya, sedangkan yang lain secara selektif
mempromosikan satu fungsi reseptor lebih dari yang lain.
Obat lain bertindak sebagai antagonis farmakologis; yaitu, mereka mengikat reseptor tetapi
tidak mengaktifkan pembangkitan sinyal; akibatnya, mereka mengganggu kemampuan
agonis untuk mengaktifkan reseptor. Efek dari apa yang disebut antagonis "murni" pada sel
atau pasien bergantung sepenuhnya pada pencegahan pengikatan molekul agonis dan
menghalangi tindakan biologisnya. Antagonis lain, selain mencegah pengikatan agonis,
menekan aktivitas pensinyalan basal ("konstitutif") reseptor. Beberapa obat yang paling
berguna dalam pengobatan klinis adalah antagonis farmakologis.

Reseptor merupakan target kebanyakan suatu senyawa atau obat. Reseptor sendiri
merupakan makromolekul berupa lipoprotein, glikoprotein, lipid, protein atau asam nukleat, secara
spesifik berinteraksi dengan suatu senyawa sehingga menimbulkan serangkaian peristiwa
biokimia (transduksi sinyal) yang pada akhirnya menimbullkan efek. Senyawa yang dimaksud
adalah agonis, contohnya adalah histamin, adrenalin, dan salbutamol. Aktivasi reseptor oleh suatu
agonis atau hormon atau disebut dengan ligan, akan disertai dengan respon biokimia atau fisiologi
oleh mekanisme transduksi yang sering melibatkan molekul-molekul yang dinamakan pembawa
pesan kedua (second messengers) contohnya inositol 1,4,5-trifosfat (IP3), diasilgliserol (DAG),
protein kinase C (PKC), dan cyclic guanosine monophosphate (cGMP). Ligan adalah ion atau
molekul (gugus fungsi) yang mengikat atom pusat untuk membentuk kompleks koordinasi. Fungsi
dari reseptor adalah sebagai berikut:
1. Merangsang perubahan permeabilitas membran sel
2. Pembentukan second messenger
3. Mempengaruhi transkripsi gen atau DNA
Dari fungsi tersebut, reseptor terlibat di dalam komunikasi antarsel.
B. Teori Ikatan Obat-Reseptor
Dalam kurun waktu yang lama sejumlah teori telah diusulkan untuk mengetahui kemampuan
suatu obat untuk berikatan dengan reseptor dan menimbulkan suatu respon biologis. Disini akan
ditunjukkan beberapa teori yang dianggap lebih penting:
1. Teori Occupancy (Teori Pendudukan)
Teori Occupancy oleh Gaddum dan Clark menyatakan bahwa intensitas efek farmakologis
secara langsung proportional dengan jumlah reseptor yang diduduki obat. Respon biologis hilang
ketika komplek obat-reseptor mengalami disosiasi. Bagaimanapun juga tidak semua agonis
menghasilkan suatu respon maksimal. Oleh karena itu, teori ini tidak menguraikan agonis partial.
Ariens dan Stephenson memodifikasi teori Occupancy untuk menjelaskan agonis parsial
(istilah yang dibuat oleh Stephenson). Konsep asli Langley mengenai reseptor menyatakan bahwa
interaksi obat-reseptor terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama terjadi kompleksasi obat dengan
reseptor yang disebut dengan afinitas. Kedua terjadi inisiasi efek biologis yang oleh Ariens disebut
dengan aktivitas intrinsik dan oleh Stephenson disebut dengan efikasi. Afinitas merupakan suatu
ukuran kapasitas obat untuk berikatan dengan dengan reseptor dan ini tergantung pada komplemen
obat dan reseptor. Aktivitas intrinsik (α) merupakan ukuran kemampuan komplek obat-reseptor
untuk menimbulkan respon. Aktivitas intrinsik dari suatu obat dianggap konstan. Jika suatu obat
mempunyai nilai α sama dengan 1,0 maka obat tersebut merupakan suatu agonis, jika α kurang
dari 1,0 maka obat tersebut merupakan parsial agonis.
Secara umum antagonis berikatan dengan kuat pada suatu reseptor (afinitas besar) tetapi
sama sekali tidak menimbulkan efek (tidak mempunyai efikasi). Agonis yang poten
mungkin mempunyai afinitas terhadap reseptor yang lebih kecil dibanding agonis partial atau
antagonis. Teori Occupancy yang termodifikasi digunakan untuk menjelaskan adanya agonis
parsial atau antagonis, tetapi tidak bisa menjelaskan mengapa dua obat bisa menduduki reseptor
yang sama dan mempunyai aksi yang berbeda dimana yang satu sebagai agonis dan yang lain
sebagai antagonis.
2. Teori Kecepatan (Rate Theory)
Teori Kecepatan yang dikemukakan oleh Paton didasarkan pada pemikiran bahwa suatu obat
yang efektif hanya pada saat obat bertemu atau bertumbukkan dengan reseptor. Paton
mengemukakan bahwa aktivasi reseptor sebanding dengan jumlah pertemuan atau tumbukan obat
dengan reseptor tiap satuan waktu. Oleh karena itu, Rate theory menyatakan bahwa aktivitas
farmakologis merupakan suatu fungsi dari kecepatan pembentukan dan peruraian obat dengan
reseptor dan bukan jumlah dari reseptor yang diduduki. Setiap pembentukan komplek obat-
reseptor akan menghasilkan suatu kuantum stimulus.
Untuk agonis kecepatan pembentukkan dan penguraian akan berlangsung dengan cepat, di
mana penguraian lebih cepat dibanding dengan pembentukkan dan agonis sering membentuk suatu
komplek yang stabil.
Kecepatan pembentukkan suatu antagonis dengan reseptor akan berlangsung dengan cepat,
tetapi penguraian berlangsung dengan lambat. Agonis parsial mempunyai kecepatan menengah
(intermediate) dalam penguraian kompleks obat-reseptor. Pada kesetimbangan, teori Occupancy
dan teori Kecepatan merupakan suatu persamaan matematika. Seperti pada teori Occupancy, Rate
theory tidak menguraikan mengapa senyawa-senyawa dengan tipe berbeda menunjukkan ciri khas
atau efek yang berbeda.
3. Induced-fit Theory
Pada awalnya, Koshland mengemukakan teori Induced-Fit untuk aksi substrat dengan
enzim. Akan tetapi, teori ini dapat digunakan dengan baik pada interaksi obat dengan reseptor.
Berdasarkan teori ini, reseptor (enzim) tidak perlu berada pada konformasi yang tepat (yang
diperlukan) untuk berikatan dengan obat (substrat). Ketika suatu obat (substrat) mendekati reseptor
(enzim) akan menginduksi perubahan konformasi yang mengarah pada sisi ikatan yang penting
(katalitik).
Perubahan konformasi reseptor merupakan awal dari respon biologis. Reseptor (enzim)
bersifat elastis dan bisa kembali kebentuk konformasi asal obat (susbtrat) telah dilepaskan.
Perubahan konformasi tidak hanya diperlukan pada reseptor, obat (substrat) juga bisa mengalami
deformasi sekalipun ini dihasilkan dalam strain suatu obat (substrat).
Berdasarkan teori Induced-Fit, suatu agonis akan menginduksi perubahan dan menimbulkan
suatu respon, tetapi suatu antagonis akan berikatan tanpa perubahan konformasi. Teori ini juga
bisa disesuaikan dengan Rate Theory. Suatu agonis akan menginduksi perubahan konformasi pada
reseptor dan akan mengakibatkan suatu konformasi di mana agonis terikat kurang kuat dan terurai
lebih mudah.
Jika kompleks obat-reseptor tidak mengakibatkan perubahan konformasi pada reseptor,
maka kompleks obatreseptor akan stabil dan akan menghasilkan suatu antagonis. Suatu agonis
parsial bisa mengakibatkan perubahan parsial. Dua teori yang disusun dari teori Induced-Fit adalah
teori gangguan makromolekul (macromoleculer perturbation) dan teori aktivasi-agregasi.
4. Teori Gangguan Makromolekul (Macromolecular Perturbation Theory)
Dengan memertimbangkan fleksibilitas konformasi reseptor, Belleau mengemukakan bahwa
dalam interaksi obat dengan reseptor terdapat dua tipe umum dari macromolecular perturbation
bisa terjadi, yaitu: specific conformational perturbation yang memungkinkan ikatan molekul
tertentu yang menghasilkan suatu respon biologis (agonis) dan nonspecific conformational
perturbation yang mengakomodasi tipe lain dari molekul yang tidak menimbulkan suatu respon
(antagonis).
Jika suatu obat berperan dalam kedua macromolecular perturbation akan menghasilkan
campuran dua kompleks tersebut (agonis parsial). Teori ini menawarkan suatu dasar fisikokmia
untuk pemahaman fenomena molekuler yang melibatkan reseptor.
5. Teori Aktivasi-Agregasi
Perluasan dari teori Macromolecular Perturbation (yang didasarkan pada teori Induced-Fit)
menghasilkan suatu teori aktivasi-agregasi yang dikemukakan oleh Changeux dan Karlin.
Berdasarkan pada teori ini meskipun dalam keadaan tidak ada obat, suatu reseptor berada dalam
keseimbangan dinamik antara bentuk aktif (Ro) yang berperan untuk menimbulkan efek respon
biologis dan bentuk tidak aktif (To).
Agonis mengubah kesetimbangan ke dalam bentuk aktif, antagonis berikatan pada bentuk
inaktif, dan partial agonis berikatan dengan kedua konformasi tersebut. Dalam model ini, agonis
binding site pada konformasi Ro bisa berbeda dengan antagonis binding site pada konformasi To.
Jika ada dua binding site dan konformasi yang berbeda, maka dapat dijelaskan perbedaan struktur
dalam suatu kelompok senyawa dan bisa menjelaskan mengapa suatu agonis dapat menimbulkan
suatu respon biologis, tetapi suatu antagonis tidak dapat menimbulkan suatu respon biologis. Teori
ini bisa menjelaskan kemampuan suatu agonis parsial untuk mempunyai kedua sifat agonis dan
antagonis.

C. Jenis Reseptor Obat


Tipe-tipe senyawa yang berikatan dengan reseptor dapat dikategorikan menjadi agonis,
antagonis, partial agonis. Konsep agonis, antagonis dan partial agonis sudah dijelaskan lengkap
pada Pertemuan 4. Suatu agonis merupakan suatu senyawa (obat) dimana bila berikatan dengan
suatu reseptor dapat menimbulkan efek. Antagonis merupakan suatu senyawa (obat) dimana bila
berikatan dengan reseptor tidak dapat menimbulkan efek. Ada dua tipe antagonis yaitu antagonis
kompetitif dan antagonis nonkompetitif. Antagonis kompetitif merupakan tipe antagonis yang
paling banyak ditemui, senyawa tipe ini dapat berikatan pada sisi reseptor yang sama dengan
agonis atau senyawa ini mengganggu secara langsung ikatan agonis dengan reseptor. Antagonis
non kompetitif merupakan senyawa yang berikatan dengan reseptor tetapi pada sisi yang berbeda
dengan agonis. Partial agonis merupakan suatu senyawa (obat) bila berikatan dengan reseptor
dapat menimbulkan respon tetapi respon yang dihasilkan tidak maksimal. Suatu partial agonis
mempunyai sifat sebagai suatu agonis dan antagonis.
Berdasarkan lokasi reseptor pada sel, reseptor dibedakan menjadi:
1. Reseptor Permukaan Sel
Reseptor permukaan sel (reseptor membran, reseptor transmembran) adalah reseptor
yang tertanam dalam membran plasma sel. Reseptor bertindak dalam pensinyalan sel
dengan menerima (mengikat) molekul ekstraseluler pada sisi ikatan reseptor. Reseptor
transmembran adalah protein membran integral khusus yang memungkinkan komunikasi
antara sel dan ruang ekstraseluler. Molekul ekstraseluler dapat berupa hormon,
neurotransmiter, sitokin, faktor pertumbuhan, molekul adhesi sel, atau nutrisi; mereka
bereaksi dengan reseptor untuk menginduksi perubahan metabolisme dan aktivitas sel.
Terdapat tiga jenis reseptor permukaan sel yaitu:
a. Reseptor kanal ion
b. Reseptor transmembran (GPCR reseptor)
c. Reseptor dengan aktivasi kinase
2. Reseptor Nukleus (Nuclear Receptors)
Di bidang biologi molekuler, reseptor nukleus adalah kelas protein yang ditemukan
di dalam sel (di dalam nukleus atau inti sel) yang bertanggung jawab untuk merasakan
hormon steroid dan tiroid dan molekul tertentu lainnya. Sebagai tanggapan, reseptor ini
bekerja dengan protein lain untuk mengatur ekspresi gen tertentu, sehingga mengendalikan
perkembangan, homeostasis, dan metabolisme organisme.
Reseptor nukleus memiliki kemampuan untuk secara langsung mengikat DNA dan
mengatur ekspresi gen yang berdekatan, maka reseptor ini diklasifikasikan sebagai faktor
transkripsi. Regulasi ekspresi gen oleh reseptor nukleus umumnya hanya terjadi ketika
ligan (molekul yang mempengaruhi perilaku reseptor) hadir. Lebih khusus lagi, pengikatan
ligan ke reseptor nukleus menghasilkan perubahan konformasi pada reseptor, yang, pada
gilirannya, mengaktifkan reseptor, menghasilkan regulasi ekspresi gen naik atau turun.
Sifat unik dari reseptor nukleus yang membedakannya dari kelas reseptor lainnya
adalah kemampuannya untuk berinteraksi langsung dengan dan mengontrol ekspresi DNA
genom. Akibatnya, reseptor nukleus memainkan peran kunci dalam perkembangan
embrionik dan homeostasis dewasa.

Sementara, Jenis reseptor erdasarkan perbedaan struktur molekul dari reseptor dan proses
transduksi sinyal yang dihasilkan, reseptor dapat diklasifikasikan menjadi 4 yaitu sebagai
berikut:
1. Reseptor Kanal Ion (Ligan-gated ion channels)
Reseptor kanal ion atau ligan-gated ion channels (LICs, LGIC), juga sering disebut sebagai
reseptor ionotropik, adalah sekelompok protein saluran ion transmembran yang dapat terbuka
untuk memungkinkan ion (seperti Na+, K+, Ca2+, dan/atau Cl−) melewati membran dalam
menanggapi pengikatan utusan kimia (yaitu ligan), seperti neurotransmitter. Reseptor kanal
ion merupakan suatu reseptor membran yang langsung terhubung oleh suatu kanal ion.
Reseptor ini merupakan reseptor suatu senyawa atau neurotransmitter dengan aksi cepat.
Reseptor kanal ion ini selektif terhadap ion tertentu. Yang termasuk ke dalam reseptor kanal
ion adalah reseptor asetilkolin nikotini, reseptor GABAA dan reseptor glutamat. Contoh
reseptor kanal ion adalah reseptor asetilkolin nikotini, reseptor GABAA dan reseptor glutamat.
Sebagai contoh, ketika neuron prasinaptik tereksitasi, maka melepaskan neurotransmitter
dari vesikel ke celah sinaptik. Neurotransmitter kemudian berikatan dengan reseptor yang
terletak di neuron postsinaptik. Jika reseptor ini merupakan reseptor kanal ion, sehingga jika
reseptor berikatan dengan ligan maka akan terjadi perubahan konformasi reseptor yaitu saluran
ion yang terdapat pada reseptor akan terbuka sehingga ion-ion spesifik akan dapat melintasi
membran sel dan masuk ke dalam sel. Selanjutnya, proses tersebut akan menghasilkan efek
depolarisasi untuk respon reseptor rangsang, atau hiperpolarisasi untuk respon penghambatan.
Gambar 5.1 Mekaniske kerja reseptor kanal ion

2. Reseptor terhubung protein G (G-protein-coupled receptors/GPCR)


Reseptor GPCR ini merupakan suatu reseptor yang terhubung dengan protein G, yang
berfungsi untuk mengaktivasi efektornya yaitu adenilat siklase, fosfolipase C, atau kanal ion.
Proses signaling pada reseptor ini melibatkan peran senyawa pembawa pesan kedua (second
messenger). Reseptor ini merupakan satu rantai polipeptida tunggal dengan melewati 7 kali
dari membran sel atau disebut dengan reseptor 7 transmembran. Contoh reseptor tipe ini
adalah reeseptor asetilkolin muskarinik, reseptor adrenergik, reseptor dopaminergik, reseptor
serotonin, dan reseptor purin.

Gambar 5.2 Struktur 7 transmembran dari reseptor GPCR


Reseptor GPCR ini terikat dengan protein G yang akan menghubungkan reseptor dengan
enzim atau kanal ion yang menjadi target. Reseptor ini mengaktivasi rangkaian peristiwa yang
mengubah konsentrasi satu atau lebih suatu molekul signaling intraseluler atau second
mesengger sehingga akan menimbulkan respon seluler. Protein G adalah heterotrimeric
guanine nucleotide binding protein, dimana protein yang berbentuk heterodimer dan memiliki
tempat ikatan dengan nukleotida guanin.
3. Reseptor dengan aktivitas kinase
Reseptor ini merupakan reseptor membran yang mempunyai domain protein kinase
intraseluler (biasanya tirosin kinase) dalam struktur reseptor. Reseptor tipe ini setelah
teraktivasi akan membangkitkan jalur kinase (kinase cascade). Contoh reseptor tipe ini adalah
reseptor insulin, reseptor leptin, beberapa reseptor sitokin dan faktor pertumbuhan (EGF dan
VEGF).

Gambar 5.3 Reseptor tirosin kinase


4. Reseptor intraseluler
Reseptor intraseluler adalah reseptor pengatur transkripsi gen. Pada reseptor ini, agonis
berinteraksi dengan reseptornya kemudian merangsang transkripsi gen secara selektif, dan
menghasilkan protein tertentu dan produksi respon seluler. Contoh reseptor ini adalah reseptor
hormon steroid, hormon tiroid, asam retinoat, dan vitamin D.

III. Tugas
-

IV. Referensi
Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis Of Therapeutics - 12th Ed., 2012.
Lullmann H., L. Hein, K. Mohr, D. Bieger, 2005, Colour Atlas of Pharmacology, 3th Ed., Thieme
Stutgard.
Begg E.J. 2003, Instant Clinical Pharmacology, Blackwell Publishing
Walls C.T., 2005, Levin's Pharmacology Drug Actions and Reactions, 7th Ed., Taylor & Francis.
Stockley, I.H., 1999, Drug Interaction, fifth edition, Pharmaceutical Press, London
Walker, R. and Edwards, C., 2003, Clinical Pharmacy and Therapeutics, Third edition, Churchill
Livingstone, London

Anda mungkin juga menyukai