Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH FARMAKOLOGI

FARMAKOLOGI OBAT MATA

Dosen Pengampu :

Apt. Tanti Juwita Saragih, S.Farm,. M. Farm.

Disusun Oleh :

Kelompok 2

1. Erwin Aji Saputra (201030700183)


2. Kholilah El Zahra (201030700176)
3. Liana Agustiani (201030700202)
4. Lutfiya Neha Saputri (201030700178)
5. Mas Robiyatul Adawiyah (201030700205)
6. Maulidia Lestari (201030700171)
7. Mia Rohmatudzakiyyah (201030700181)
8. Mutiara Ramadhan (201030700049)
Kelas : 03FKKP004

PROGRAM STUDI S1 FARMASI KLINIK DAN KOMUNITAS


STIKES WIDYA DHARMA HUSADA
TANGERANG SELATAN
2021

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan
salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta
sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama
Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam
yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Farmakologi pada Program
Studi S1 Farmasi Klinik Dan Komunitas di Sekolah tinggi kesehatan Widya Dharma
Husada dengan ini penulis mengangkat judul “Farmakologi Obat Mata”. Dalam
penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.
Dengan ini, kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima
kasih kepada pihak-pihak yang sudah membantu dalam pembuatan makalah ini dan
semoga Allah SWT. memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat
untuk semua pihak.

Aamiin.

Tangerang, 14 Desember 2021

Kelompok 2

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG..........................................................................................4
1.2. RUMUSAN MASALAH.....................................................................................5
1.3 TUJUAN ..............................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................6
2.1 Pengertian Mata....................................................................................................6
2.2 Sawar Anatomi Mata.............................................................................................
2.3 Metode Pemberian Obat Mata...............................................................................
2.4 Mekanisme Kerja Obat pada Mata........................................................................
2.5 Jalur Penyerapan Obat Mata…….........................................................................
2.6 Hambatan Pemberian Obat Mata..........................................................................
2.7 Klasifikasi Obat Mata…………………………………………………………..

BAB III PENUTUP..................................................................................................


3.1 Kesimpulan……………………………………………………………….
3.2 Saran............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sediaan obat mata (optalmika) adalah tetes mata (oculoguttae), salep mata (oculenta),
pencuci mata (colyria) dan beberapa bentuk pemakaian yang khusus (lamella,
penyemprot mata) serta bentuk depo yang dapat digunakan untuk mata utuh atau terluka.
Obat mata digunakan sebagai obat dengan efek lokal. Sediaan farmasi untuk obat mata
dapat berupa salep dan larutan, keduanya merupakan sediaan farmasi dengan sterilitas
yang harus terjamin. Larutan obat mata adalah larutan steril, bebas partikel asing dan
merupakan sediaan yang dikemas sedemikian rupa hingga sesuai digunakan pada mata.
Pembuatan larutan obat mata membutuhkan perhatian khusus dalam toksisitas bahan
obat, nilai isotonisitas, banyak dapar yang digunakan, ada tidaknya pengawet yang
sesuai, sterilisasi dan kemasan yang tepat (Nathan, 2010).
Salep adalah suatu sediaan topikal yang berbentuk setengah padat berupa massa
lunak yang digunakan untuk pemakaian luar. Salep mata adalah salep steril untuk
pengobatan mata yang mengandung basis salep yang cocok, dimana pembuatan sediaan
salep mata dilakukan dengan menambahkan bahan obat sebagai larutan steril atau sebagai
serbuk steril yang termikronisasi dalam dasar salep steril yang hasil akhirnya dimasukkan
secara aseptis dalam tube steril salep yang disterilkan dengan cara yang cocok (Ditjen
POM, 1979). Bentuk sediaan salep mata merupakan sediaan steril sehingga untuk
mencegah kontaminasi, ujung wadah obat tidak boleh terkena permukaan lain dan ditutup
rapat setelah digunakan. Sediaan ini tidak dianjurkan untuk bergantian dengan orang lain
meskipun dalam satu rumah.
Tetes mata merupakan sediaan steril yang dapat berupa larutan ataupun suspensi,
digunakan untuk mata, dengan cara meneteskan pada obat pada selaput lendir mata
disekitar kelopak mata dan bola mata (Ditjen POM, 1979). Obat yang telah terbuka dan
dipakai tidak boleh disimpan lebih dari 30 hari untuk digunakan lagi, karena obat
mungkin sudah terkontaminasi kuman. Penggunaan obat tetes mata tidak boleh digunakan
lebih dari 1 orang (BPOM RI, 2005).
Bahan obat yang digunakan pada mata adalah farmaka pelebar pupil (midriatika),
seperti atropine, skopolamin, fenilefrin, dan epefrin, sedangan bahan dengan kerja

4
penyempit pupil (miotika), seperti pilokarpinm fisotigmin, neostigmine dan paraixon.
Untuk melawan proses infeksi digunakan antimikroba disamping garam perak untuk
,mengobati rasa nyeri digunakan anastetika lokal. Mata merupakan organ paling peka dari
manusia (Puspitasari, 2009). Oleh karena itu, penggunaan untuk obat tetes mata ini
memerlukan perhatian yang khusus agar dapat digunakan dengan tepat dan mengurangi
kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Penggunaan yang benar disini
meliputi penggunaan yang bersih dan steril, serta penggunaan yang sesuai dengan
indikasi dan target penggunaan (PIONAS, 2018a).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari makalah ini, yaitu :
1. Apakah yang dimaksud dengan obat mata?
2. Bagaimanakah fisiologi dan patofisiologi dari mata?
3. Bagaimanakah farmakologi (ADME) obat mata?
4. Bagaimakah mekanisme kerja obat gangguan mata?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini, yaitu :
1. Dapat mengetahui pengertian obat mata,
2. Dapat memahami fisiologi dan patofisioogi mata,
3. Dapat memahami farmakologi (ADME) obat mata, dan
4. Dapat mengetahui mekanisme kerja obat gangguan mata.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Mata

Mata (khususnya mata manusia) adalah organ sensorik utama yang memberi reaksi pada
cahaya dan mengirimkan informasi visual ke otak yang fungsi utamanaya adalah sebagai
indra penglihatan. Berbeda dengan pandangan umum, mata (manusia) tidak berbentuk bola
yang sempurna, namun terdiri dari dua bagian utama yang menyatu. Bagian depan mata yang
transparan dan berbentuk cembung disebut kornea. Kornea terhubung langsung ke bagian
mata yang lebih besar, yaitu skelera, bagian mata yang berwarna putih. Kedua bagian ini
disambungkan oleh lingkaran jaringan yang disebut limbus. Mata manusia adalah organ yang
sangat sensitif, namun dilindungi oleh kelopak dan bulu mata.

Mata merupakan organ yang kompleks secara anatomi dan fisiologi. Penyakit lokal dan
sistemik dapat mempengaruhi anatomi mata. Mata merupakan suatu organ sensori spesial
yang secara relatif terpisah dari sistem sistemik oleh suatu pembatas yang diciptakan oleh
sawar antara darah dengan retina, darah dengan akuos humor dan darah dengan vitreus.
Sebagai konsekuensinya, mata memiliki sifat farmakodinamik dan farmakokinetik yang tidak
sama dengan organ lainnya.

Jadi Farmakokinetik obat ke dalam mata adalah tantangan besar bagi ahli farmakologis
dan ilmuwan saat ini. Berbagai strategi dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan dan
absorpsi obat ke dalam mata. Metode pemberian obat pada mata dibagi menjadi topikal,
lokal, dan sistemik

Mekanisme kerja obat pada mata terjadi melalui interaksi obat dan reseptor. Obat
memberikan efek terapeutik melalui fase farmakokinetik yang terdiri dari absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi. Absorpsi dan distribusi obat intraokular berkurang disebabkan
oleh sawar anatomi mata. Klasifikasi obat mata dapat dibagi menjadi golongan air mata
buatan, golongan antibiotik, golongan midriatik dan siklopegik, golongan antiglaukoma, dan
golongan kortikosteroid

2.2 Sawar Anatomi Mata

6
Sawar anatomi mata dimulai dari permukaan air mata, kornea, konjungtiva, koroid, cairan
vitreus, dan sawar darah retina. Air mata memiliki tiga lapisan. Lapisan terluar adalah lapisan
lipid yang berfungsi sebagai sawar tidak larut air dan mencegah penguapan. Lapisan kedua
adalah lapisan akuos yang berfungsi mengatur aliran osmotik. Lapisan paling dalam adalah
lapisan musin yang menjaga stabilitas lapisan air mata agar melekat erat pada kornea dan
konjungtiva.

Gambar: Sawar Anatomi Mata

Kornea sebagai sawar berlapis mencegah substansi eksogen, termasuk obat topikal
menyerap lebih ke dalam jaringan okular. Lapisan kornea terdiri dari epitelium, membran
Bowman, stroma, membran Descemet, dan endotel. Epitel dan stroma kornea berfungsi
sebagai tempat akumulasi obat lipofilik dan hidrofilik. Endotel kornea membentuk sawar
selular antara stroma dan cairan akuos.
Permukaan konjungtiva berfungsi sebagai area utama absorpsi obat pada permukaan
okular dan dikeluarkan kembali melalui air mata. Partikel obat suspensi membuat zat aktif
obat terlarut di sakus konjungtiva. Konjungtiva dan sklera bertanggung jawab terhadap
seperlima dari seluruh absorpsi obat ke dalam iris dan korpus siliaris. Sklera melapisi 80%
dari keseluruhan permukaan mata tersusun atas lapisan fibrosa yang kuat. Sklera lebih
permeabel terhadap substansi dengan berat molekul rendah dan larut air seperti antibiotik.
Koroid adalah jaringan vaskular yang terletak di bawah sklera. Koroid memiliki
banyak vaskularisasi yang menuju lapisan retina sensoris dan lapisan fotoreseptor. Koroid
melekat longgar ke sklera dengan ruang suprakoroid. Ruangan suprakoroid penting dalam
perjalanan obat agar substansi obat dapat memasuki intraokular. Cairan vitreus tersusun atas

7
jaringan penyambung viskoelastis yang mengandung glikosaminoglikan, asam hialuronat,
dan kolagen. Beberapa molekul dapat berdifusi melewati segmen posterior dan vitreus.
Vitreus berfungsi sebagai reservoir utama obat dan depot sementara zat metabolit.
Sawar darah okular tersusun atas sawar darah akuous dan sawar darah retina. Kedua
sawar fungsional tersebut mencegah pergerakan elemen darah ke ruangan intraokular. Sawar
darah okular dibentuk oleh epitel korpus siliar tidak berpigmen, epitel iris posterior, endotel
pembuluh darah iris, dan endotel kanalis Schlemm yang berfungsi melindungi mata dari
material toksik dan mempertahankan homeostatis. Sawar darah retina tersusun atas sawar
eksternal yaitu epitel pigmen retina dan sawar internal yaitu membran endotel pembuluh
darah retina.

Gambar: Sawar darah-bola mata, sawar darah-akuos, sawar darah-retina

2.3 Metode Pemberian Obat Mata

Pemberian terapi pada mata dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun dengan adanya
hambatan statis dan dinamis, pemberian secara sistemik merupakan suatu hal yang sulit
dilakukan. Jalur penyerapan obat pada mata sangat tergantung oleh sifat kelarutan obat
tersebut terhadap air atau lemak. Pemberian obat secara topikal atau lokal menjadi pilihan
utama untuk menangani penyakit pada segmen anterior bola mata.

Metode pemberian obat pada mata dibagi menjadi topikal, lokal, dan sistemik. Metode
pemberian obat topikal berupa larutan, suspensi, salep, dan gel. Pemberian obat mata secara
lokal dapat melalui suntikan periokular dan intraokular. Suntikan periokular terdiri dari

8
suntikan subkonjungtiva, subtenon, dan retrobulbar. Suntikan intraokular melalui
intrakameral di bilik mata depan dan melalui intravitreal di rongga vitreus. Obat mata
sistemik diberikan melalui rute oral dan intravena.

A. Topikal

Sediaan larutan dan suspensi lebih sering digunakan dibandingkan salep dan gel karena
lebih mudah diteteskan dan kurang mengganggu penglihatan. Obat tetes mata sebagian besar
akan dibuang dari permukaan okular setelah penetesan. Dosis obat yang menuju cairan akuos
hanya 1-7% dari dosis obat yang diberikan. Kekurangan dari sediaan larutan adalah durasi
kerja yang singkat, risiko kontaminasi, dan risiko cedera akibat ujung alat penetes obat.
Sediaan larutan digunakan pada air mata buatan, antibiotik, dan midriatik.

Suspensi adalah sediaan cair steril yang mengandung partikel tidak larut yang mengalami
dispersi dalam cairan pembawa. Sediaan suspensi menggunakan partikel mikron untuk
menghindari iritasi dan abrasi kornea. Partikel zat aktif ini memperpanjang waktu kontak
obat. Penggunaan sediaan suspensi harus digoncang terlebih dahulu untuk membuat partikel
obat tersebar. Sediaan suspensi dipakai untuk obat sulit larut air seperti prednisolon asetat
0,25%.

Ada dua cara penetesan obat tetes mata. Cara pertama obat mata diteteskan di konjungtiva
bulbar superior dengan posisi kepala pasien ke bawah dan kelopak mata atas ditarik.

Cara kedua obat mata diteteskan dengan posisi kepala pasien menghadap ke atas sehingga
aksis optikal searah sumbu vertikal, kelopak mata bawah ditarik dan kelopak mata atas
ditahan. Pasien diminta melihat ke atas untuk menghindari kornea terkena tetesan obat mata.
Larutan dan suspensi mata diteteskan dengan jarak minimal 2 cm dari ujung penetes obat
mata untuk menghindari kontaminasi.

Pasien sebaiknya menutup kelopak mata setelah obat diteteskan kemudian menekan
punktum dan kanalikuli lakrimal dengan menggunakan jari telunjuk untuk mengurangi
drainase nasolacrimal.

Salep tersusun dari percampuran senyawa semisolid dengan senyawa hidrokarbon solid.
Salep mata diperlukan untuk memperpanjang waktu kontak obat yang berguna dalam

9
pengobatan trauma okular seperti abrasi kornea. Salep dioleskan di sakus konjungtiva inferior
kemudian menyebar ke margin palpebral, bulu mata, dan kulit palpebral.

Pemberian salep dapat mengakibatkan ketidaknyamanan karena setelah diaplikasikan akan


menimbulkan efek buram dan lengket. Beberapa sediaan salep mata antara lain kloramfenikol
1% dan gentamisin 0,3%.

Sediaan gel tersusun atas polimer mucoadhesive yang menyebabkan zat aktif terdistribusi
secara perlahan. Sediaan gel memperpanjang waktu kontak, mempertahankan dosis dalam
rentang terapeutik, dan menurunkan frekuensi pemberian obat. Sediaan gel membutuhkan
surfaktan untuk mempertahankan kejernihan sehingga meningkatkan risiko iritasi dan harga
yang lebih mahal. Timolol 0,5% dan Pilokarpin 4% tersedia dalam bentuk gel.

B. Lokal

Pemberian obat secara periokular dapat dipertimbangkan apabila pasien membutuhkan


konsentrasi obat yang lebih tinggi dan tidak responsif terhadap pemberian obat topikal.
Suntikan subkonjungtiva dilakukan di bawah konjungtiva bulbar untuk mencapai konsentrasi
obat yang tinggi di segmen anterior.

Keuntungan pemberian suntikan subkonjungtiva adalah meningkatkan konsentrasi obat,


mengurangi kuantitas pemberian, dan mengurangi efek samping sistemik. Suntikan
subkonjungtiva sangat nyeri sehingga hanya dilakukan pada kasus inflamasi okular yang
berat di segmen anterior. Antibiotik dan steroid dapat diberikan secara subkonjungtiva.
Suntikan subtenon dilakukan di episklera atau kantus medial menggunakan jarum Gauge 25
melalui kuadran superotemporal.

Obat disuntikkan ke dalam subtenon sebelumnya dilakukan aspirasi untuk memastikan


obat tidak menembus intravaskular. Suntikan subtenon anterior kortikosteroid dilakukan
dalam pengobatan uveitis berat. Suntikan subtenon anterior tidak lebih baik daripada rute
subkonjungtiva, dengan risiko perforasi yang lebih besar.

Pemberian obat dengan rute intraokular menyebabkan konsentrasi efektif obat langsung
menuju jaringan target. Pemberian obat melalui rute intrakameral langsung menuju bilik mata
depan tanpa melewati sawar kornea. Obat yang disuntikankan secara intrakameral tidak

10
mengalami distribusi ke segmen posterior. Suntikan lidokain 1% intrakameral digunakan
dalam anestesi bedah katarak.

Suntikan intravitreal merupakan cara pemberian obat yang langsung menuju rongga
vitreus sehingga dapat mencapai lapisan neurosensoris retina dengan konsentrasi yang tinggi.
Suntikan dilakukan dengan jarum Gauge 30 melalui pars plana. Suntikan intravitreal
antibiotik seperti vankomisin digunakan pada endoftalmitis.

C. Sistemik

Obat yang diberikan secara sistemik akan tersebar ke seluruh tubuh dan dapat
meningkatkan risiko kerusakan di berbagai jaringan. Seluruh organ harus terpapar
konsentrasi obat yang lebih tinggi untuk mencapai konsentrasi terapeutik di dalam mata.
Potensi masalah dapat terjadi pada obat yang memiliki indeks terapeutik sempit. Pemberian
obat secara sistemik telah menjadi rute pilihan untuk segmen posterior.

Pemberian obat tertentu paling efektif secara peroral. Zat aktif yang terlarut dalam saluran
pencernaan mengalami absorpsi di usus halus kemudian memasuki pembuluh darah untuk
mengalami distribusi. Inhibitor karbonik anhidrase dan agen hiperosmotik menggunakan rute
obat peroral. Semua bentuk sediaan obat mengalami tahap absorpsi kecuali obat yang
langsung disuntikkan ke pembuluh darah sehingga memberikan efek lebih cepat. Manitol
harus diberikan melalui intravena karena tidak mengalami absorpsi di saluran cerna.

2.4 Mekanisme Kerja Obat pada Mata

Mekanisme kerja obat terjadi ketika obat berinteraksi pada sel reseptor. Interaksi antara
obat dan sel reseptor disebabkan sifat kimia yang sama. Obat dan reseptor akan berikatan
seperti gembok dan kunci. Efek terapeutik muncul saat obat dan reseptor saling berikatan.
Obat harus melewati fase farmakokinetik yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan
eliminasi untuk memberikan efek terapeutik.
Absorpsi obat mata topikal dapat terjadi di ekstraokular dan intraokular. Absorpsi
ekstraokular melalui kornea dan nonkornea. Absorpsi intraokular terjadi pada obat yang
diberikan melalui suntikan lokal. Jalur absorpsi obat topikal yang utama adalah melalui dilusi
dan difusi dari lapisan air mata kemudian berpenetrasi ke kornea dan diteruskan ke cairan
akuos. Absorpsi nonkornea berasal dari konjungtiva dan sklera menuju uvea anterior.

11
Gambar distribusi obat melalui rute periocular

Obat mata topikal mengalami distribusi ke segmen anterior mata dengan prinsip multi
kompartemen. Prinsip ini membagi kornea menjadi tiga jaringan berbeda, yaitu epitel yang
larut lemak, stroma yang larut air, dan endotel yang larut lemak.
Distribusi obat yang diberikan melalui suntikan periokular mencapai segmen posterior
mata melalui sklera, pembuluh darah koroid, dan konjungtiva seperti yang ditunjukkan pada
gambar. Obat-obat yang diaplikasikan secara intravitreus akan mengalami distribusi ke
kompartemen anterior dan posterior mata. Distribusi ke kompartemen anterior melalui
membran hialoid anterior menuju bilik mata belakang yang selanjutnya akan mengikuti jalur
drainase akuos, sedangkan distribusi ke posterior langsung menuju ke retina.
Obat mata yang diberikan secara topikal dan lokal tidak mengalami metabolisme di hati.
Proses metabolisme di intraokular terjadi paling aktif di endotel kornea dan epitel tidak
berpigmen badan siliar. Eliminasi obat mata topikal maupun lokal melewati beberapa jalur
yaitu melalui drainase air mata, pembuluh darah di stroma konjungtiva, drainase cairan
akuos, serta pembuluh darah iris, dan badan siliar. Proses eliminasi di segmen posterior mata
terutama terjadi pada obat yang diberikan melalui jalur intravitreus. Obat yang berasal dari
rongga vitreus diteruskan ke anterior untuk menuju ke bilik mata depan dan ke posterior
untuk dieliminasi oleh retina, koroid, dan sclera.

2.5 Jalur Penyerapan Obat Mata

Permukaan konjungtiva berfungsi sebagai salah satu area utama absorpsi obat pada
permukaan mata. Konjungtiva dan sklera bertanggung jawab terhadap 20% dari seluruh
absorpsi obat ke dalam iris dan badan siliar. Sklera melapisi 80% dari keseluruhan

12
permukaan mata. Sklera lebih permeabel terhadap substansi dengan berat molekul rendah dan
larut air.
Obat yang diserap melalui jalur ini harus melewati epitel konjungtiva terlebih dahulu.
Stroma konjungtiva yang merupakan lapisan kaya akan pembuluh darah akan menyerap
sebagian besar obat yang diteteskan ke dalam sirkulasi sistemik. Obat yang diteteskan di
forniks inferior konjungtiva juga akan segera mengalir ke duktus nasolakrimal kemudian ke
rongga hidung. Salah satu cara untuk meningkatkan waktu tinggal obat di forniks adalah
dengan cara menekan kantus medial agar duktus nasolakrimal tertutup, atau dengan
mengganti sediaan tetes mata menjadi salep mata yang lebih padat dan tidak mudah terlarut.
Hal yang paling utama dalam pemilihan jalur pemberian obat pada mata adalah target
jaringan yang dituju. Pemberian obat secara topikal dan subkonjungtiva digunakan untuk
segmen anterior bola mata. Pemberian obat secara sistemik dan intravitreal digunakan untuk
mencapai segmen posterior.

2.6 Hambatan Pemberian Obat Mata

Eliminasi obat pada permukaan bola mata terjadi sesaat setelah pemberian obat secara
topikal, air mata akan mengencerkan obat dan mengalirkan obat tersebut ke duktus
nasolakrimal. Lapisan kornea yang memiliki sifat berbeda juga memberikan hambatan bagi
pemberian obat pada mata. Sembilan puluh persen dari obat yang diberikan secara topikal
akan dieliminasi secara sistemik di konjungtiva atau mukosa nasolakrimal dan hanya sekitar
sepuluh persen akan mencapai jaringan yang dituju.

Lapisan air mata terdiri dari tiga lapisan. Lapisan terluar adalah lapisan lemak yang
dihasilkan oleh kelenjar meibom di kelopak mata. Lapisan akuos di bagian tengah dihasilkan
oleh kelenjar air mata. Lapisan musin di bagian terdalam dihasilkan oleh sel goblet
konjungtiva. Air mata terdistribusi di permukaan bola mata dan akan bermuara ke pungtum
lakrima kemudian akan mengalir ke rongga hidung melewati duktus nasolacrimal.

13
Gambar: Lapisan film air mata

Kornea merupakan lapisan bola mata yang sangat mempengaruhi penyerapan bola
mata. Kornea mempunyai 5 lapisan dengan berbagai sifat yang berbeda. Lapisan pertama
adalah epitel kornea yang bersifat lipofilik dan mampu menahan hampir 90% obat hidrofilik.
Stroma merupakan lapisan kornea yang paling tebal dan bersifat hidrofilik. Kedua lapisan
tersebut dan tiga lapisan lainnya yaitu membran bowman, membran descemet, dan endotel
membentuk suatu struktur yang sangat sulit untuk ditembus benda asing, termasuk obat-
obatan.
Sistem sawar darah-bola mata merupakan hambatan fisik antara pembuluh darah dan
bagian mata yang berfungsi untuk mempertahankan kejernihan dan fungsi dari bagian dalam
bola mata. Terdapat dua sawar utama, yaitu sawar darah-akuos dan sawar darah-retina.
Badan siliar dan iris merupakan dua komponen utama dari sawar darah-akuos. Epitel
tidak berpigmen dari badan siliar memproduksi humor akuos. Humor akuos mempunyai
komposisi yang berbeda dari plasma yang terdapat di badan siliar dan plasma darah. Sawar
untuk difusi molekul dibentuk oleh tautan kuat yang membentuk epitel tidak berpigmen dari
badan siliar. Tautan kuat antara endotel vaskular iris memiliki protein yang serupa dengan
tautan kuat yang membentuk epitel badan siliar, sehingga dapat dikatakan bahwa sawar
badan siliar merupakan sawar epitelial, dan sawar pada iris merupakan sawar endotelial.

14
Gambar: Lapisan Kornea

Sawar darah-retina berfungsi untuk melindungi jaringan retina dari berbagai molekul.
Sawar darah-retina terdiri dari dua lapisan. Lapisan sawar darah-retina dalam dibentuk oleh
tautan kuat antara sel endotel pembuluh darah retina. Lapisan sawar-retina luar dibentuk oleh
tautan kuat epitel pigmen retina.

2.7 Klasifikasi Obat Mata

Pemberian terapi harus memperhatikan aspek fisiologi, biokimia, dan mikrobiologi


penyakit. Pemahaman yang baik terhadap ilmu kedokteran dasar akan mempermudah dalam
mengetahui efek samping dan toksisitas obat. Beberapa golongan obat mata antara lain
golongan air mata buatan, antibiotik, midriatik dan siklopegik, antiglaukoma, dan
kortikosteroid.

A. Golongan Air Mata Buatan

Sediaan topikal yang diserap di permukaan okular adalah sediaan air mata buatan.
Tetes mata buatan terdiri dari bahan aktif yang berguna untuk membasahi permukaan
mata, pengawet, agen viskositas, dan elektrolit.

15
Air mata buatan berfungsi untuk mengurangi osmolaritas permukaan mata dan
membersihkan zat yang mengiritasi lapisan air mata. Agen viskositas mempertahankan
kelembapan epitel kornea dengan memperpanjang retensi air mata buatan di permukaan
okular. Beberapa agen viskositas antara lain sodium hialuronat dan karboksimetil selulosa.

Demulcent adalah pelumas yang terkandung dalam air mata buatan untuk melindungi
dan menghaluskan permukaan okular sehingga mengurangi efek abrasi dari kelopak mata.
Polivinil alkohol, dekstran, dan poliol cair adalah beberapa demulcent yang digunakan
dalam air mata buatan. Pengawet pada produk tetes air mata buatan ditambahkan dengan
tujuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba dengan cara penetrasi molekul sodium ke
dalam membran sel bakteri yang akan mengganggu kerja sel mengakibatkan kematian sel
bakteri. Beberapa contoh pengawet tetes mata buatan yaitu benzalkonium klorida,
setrimonium klorida, klorobutanol, dan polikuaternium. Penambahan kalium pada air mata
buatan dapat meningkatkan densitas sel goblet konjungtiva sedangkan tetes mata yang
mengandung bikarbonat mempercepat pemulihan sel-sel epitel pada kornea dan
melindungi lapisan musin air mata.

B. Golongan Antibiotik

Antibiotik bekerja dengan mempengaruhi sintesis dinding sel bakteri, menghambat


sintesis protein bakteri, mempengaruhi metabolisme asam folat bakteri, dan
mempengaruhi sintesis DNA bakteri. Golongan antibiotik yang mempengaruhi sintesis
dinding sel bakteri adalah penisilin, sefalosporin, basitrasin, dan vankomisin. Golongan
antibiotik yang menghambat sintesis protein bakteri adalah aminoglikosida, tetrasiklin,
makrolid, dan kloramfenikol. Golongan antibiotik yang mempengaruhi metabolisme asam
folat pada bakteri adalah sulfonamid, pirimetamin, dan trimethoprim. Golongan antibiotik
yang menghambat sintesis DNA bakteri adalah fluorokuinolon seperti siprofloksasin,
ofloksasin, levofloksasin, dan moksifloksasin.

Beberapa golongan antibiotik golongan aminoglikosida antara lain gentamisin,


dibekasin, dan neomisin. Gentamisin efektif terhadap bakteri gram negatif. Gentamisin
topikal pada mata digunakan untuk terapi infeksi mata eksternal dan adneksa seperti
blefaritis, konjungtivitis, dan keratokonjungtivitis. Semua golongan kuinolon efektif pada
konjungtivitis akut. Ofloksasin merupakan antibiotik golongan kuinolon yang memiliki
penetrasi yang baik ke jaringan ocular dibandingkan siprofloksasin karena ofloksasin lebih

16
bersifat lipofilik. Ofloksasin dan siproflokasin efektif terhadap bakteri aerob gram positif
dan negatif.

C. Golongan Midriatik dan Siklopegik

Midriatik dan sikloplegik adalah golongan obat yang melebarkan pupil. Semua
sikloplegik bersifat midriatik namun tidak semua midriatik bersifat sikloplegik. Obat yang
menstimulasi sistem saraf otonom divisi adrenergik disebut simpatomimetik atau agonis
adrenergik yang mempengaruhi ukuran pupil, memperlebar fisura palpebral dan diameter
pembuluh darah, meningkatkan aliran akuos dan meningkatkan akomodasi. Penggunaan
obat simpatomimetik untuk dilatasi pupil disebut sebagai midriatik. Fenilefrin adalah
midriatik yang menstimulasi kontraksi otot dilator iris dan otot polos arteriol konjungtiva
menyebabkan dilatasi pupil.

Preparat sikloplegik merupakan agen antikolinergik yang menghambat respon dari otot
sfingter iris dan otot akomodasi. Preparat siklopegik bersifat parasimpatolitik. Beberapa
sediaan siklopegik antara lain atropin sulfat, skopolamin, homatropin, siklopentolat, dan
tropikamida. Siklopentolat lebih popular daripada homatropin dan skopolamin karena
onset kerja yang lebih pendek.

D. Golongan Antiglaukoma

Golongan antiglaukoma menurunkan tekanan intraokular dengan menurunkan


produksi akuos dan meningkatkan aliran keluar akuos. Golongan antiglaukoma yang
menurunkan produksi akuos adalah inhibitor karbonik anhidrase dan penghambat β
nonselektif. Inhibitor karbonik anhidrase menurunkan produksi akuos dengan mencegah
aktivitas epitel siliar Na+K+ATPase. Penghambat β nonselektif mengurangi produksi akuos
dengan menghambat produksi siklik adenosin monofosfat di epitel siliar.

Prostaglandin analog dan agonis kolinergik menurunkan tekanan intraokular dengan


cara meningkatkan aliran keluar akuos. Prostaglandin analog memiliki efek meningkatkan
aliran keluar akuos dari bilik mata depan melalui aliran uveoskleral dan mengurangi
resistensi aliran keluar akuos.

17
Latanoprost adalah bentuk tidak aktif prostaglandin F2α. Latanoprost menembus
kornea kemudian mengalami hidrolisasi oleh enzim esterase yang terdapat di dalam
jaringan kornea untuk menjadi bentuk aktif.

Pilokarpin dan karbakol adalah agen agonis kolinergik yang meningkatkan aliran
keluar akuos. Stimulasi langsung pilokarpin terhadap otot longitudinal korpus siliaris
mengakibatkan sudut bilik mata depan melebar. Agonis adrenergik α2 menurunkan
tekanan intraokular dengan meningkatkan aliran keluar akuos dan menurunkan produksi
akuos.

Agen hiperosmotik meningkatkan osmolalitas darah yang menyebabkan perbedaan


tekanan osmotik darah dan cairan vitreus sehingga menarik air dari cairan rongga vitreus,
meningkatkan aliran keluar akuos, kemudian menurunkan tekanan intraokular. Agen
hiperosmotik digunakan dalam serangan akut glaukoma. Gliserol dan manitol adalah agen
hiperosmotik yang sering dipakai. Gliserol diberikan secara oral dalam larutan 50%
sedangkan manitol diberikan melalui parenteral secara perlahan selama 30-60 menit.

E. Golongan Kortikosteroid

Kortikosteroid menekan inflamasi okular dengan cara menghambat migrasi netrofil


menuju ruang ekstraselular, menghambat akses makrofag, mengubah aktivitas limfosit,
dan menurunkan jumlah limfosit B dan T. Kortikosteroid dapat digunakan secara topikal,
lokal, dan sistemik. Kortikosteroid topikal menghambat proliferasi fibroblastik dan
vaskularisasi. Penggunaan kortikosteroid pada kelainan mata sangat luas namun beberapa
efek samping mungkin ditimbulkan pada setiap metode pemberian.

Prednisolon merupakan analog sintetis dari kortisol yang terbukti efektif sebagai agen
antiinflamasi pada inflamasi eksternal dan intraokular. Prednisolon tersedia dalam
suspensi asetat atau fosfat. Prednisolon asetat 1% adalah antiinflamasi paling efektif dalam
terapi inflamasi segmen anterior okular dibanding dengan steroid topikal okular lainnya.
Fluorometolon merupakan agen antiinflamasi yang efektif dalam inflamasi okular
eksternal dengan potensi rendah meningkatkan tekanan intraokular. Fluorometolon bekerja
dengan cara menghambat respon inflamasi, mengurangi sintesis prostaglandin, dan
menghambat regenerasi epitel Fluorometolon tersedia dalam derivat alkohol dan asetat.
Fluorometolon alkohol mengalami penetrasi dan metabolisme yang cepat di dalam cairan
akuos.

18
BAB III

PENUTUP

3.3 Kesimpulan

Jumlah dan kecepatan substansii yang diabsorpsi setelah penetesan obat dipengaruhi
oleh durasi obat pada cul-de-sac dan air mata, eliminasi obat oleh system drainasi ductus
nasolakromal, ikatan substansi obat dengan protein pada air mata dan kemampuan obat
untuk difusi melalui konjungtiva dan kornea. Kemampuan obat untuk berpenetrasi ke
dalam mata berbanding lurus dengan konsentrasinya di dalam air mata. Factor lain yang
mempengaruhi diantaranya integritas lapisan epitel, kecepatan mata mengedip, dilusi oleh
air mata, drainase ductus nasolacrimal. Distribusi obat di mata bergantung kepada
kemampuan substansi obat untuk berikatan dengan jaringan, jika afinitas berikatannya
tinggi maka eliminasi obat dari mata akan diperlambat. Distribusi obat pada jaringan
memiliki pola gradien konsesntrasi yang paling tinggi di kornea, lalu konjungtiva, humor
akueous, iris-korpus siliaris, lensa, vitreus, koroid dan retina. Obat tetes mata tidak melalui
metabolism di hepar. Badan siliar merupakan sumber utama dari enzim yang akan
memetabolisme obat untuk mata yang bertanggung jawab terhadap dua fase utama reaksi
metabolism untuk memulai proses detoksifikasi dan eliminasi obat dari dalam mata.

Lokalisasi dari enzim-enzim ini dalam satu jaringan merupakan hal penting karena
produk hasil oksidasi dan reduksi dari reaksi fase 1 sistem sitokrom P-450 bersifat reaktif
dan lebih toksik dibandingkan bentuk awal dari obat itu. Proses konjugasi dalam reaksi
fase II dilaksanakan dengan bantuan enzim detofsifikasi. Sirkulasi uveal (iris, badan siliar,
dan koroid) yang merupakan 88% dari total pembuluh darah yang ada di mata, dapat
dengan cepat mengeliminasi hasil konjugasi tersebut. Metabolism obat dari bentuk aktif
menjadi inaktif atau metabolit dapat terjadi di prekornea, kornea dan humor akuos. Granul
melanin dari epitel korpus siliar yang berpigmen akan menyerap dan menyimpan
komponen polisiklik untuk selanjutnya dimetabolisme dan dieliminasi.

3.4 Saran

19
Dengan melihat berbagai konsep tentang farmakologi obat tetes mata dalam makalah ini,
penulis berharap agar pembaca benar-benar memahami hal tersebut dan dapat
mengaplikasikannya ke kehidupan nyata untuk kemajuan ilmu dan teknologi

DAFTAR PUSTAKA

Albert DM, Miller JW, Azar DT. Albert & Jakobiec's Principles & Practice of

Ophthalmology: Ocular pharmacokinetics. Edisi ke-3. Elsevier. 2008. hal. 207- 15

American Academy of Ophthalmology. Pharmacology principles. Basic clinical science

course: fundamentals and principles of opthalmology. Philadelphia USA: American

Academy of Ophthalmology; 2016-2017. hlm. 293-304

An Nisa N. Laila, et al. 2019. Tingkat Pengetahuan Masyarakat Di Daerah Joyoboyo

Tentang Penyakit Mata Dan Sediaan Obat Mata. Jurnal Farmasi Komunitas. Vol. 6,

No. 1, Hal : 9-13

Awwad S, et al. Principles of pharmacology in the eye. Br J Pharmacol. 2017; 174(18).

hal. 2965-92

Bartlett JD. Ophtalmic drug delivery. Dalam: Richard G Fiscella, Holdeman NR,

Prokopich CL, editor. Clinical ocular pharmacology. Edisi ke 5. Missouri:

Butterworth-Heinemann Elsevier; 2008.

Duvall B,Kershner R. Corticostreroids.Opthalmic medications and pharmacology.Edisi ke

2. NJ:Slack Incorporated.2006.hlmn 53-61

Joel GS, et al. Topical delivery of ocular therapeutics: carrier systems and physical

methods. Journal of Pharmacy and Pharmacology. 2013; 66 (4).

Morrison PWJ, Khutoryanskiy VV. Advances in ophtalmic drug delivery. Therapeutic

Delivery. 2014;5(12).

Patel A, Cholkar K, Agrahari V, Mitra AK. Ocular drug delivery systems: An overview.

World J Pharmacol. 2015;2(2):47-64.

20
21

Anda mungkin juga menyukai