Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH MODUL 3

SKENARIO 4
“BIOMEDIK 2”

DISUSUN OLEH
NAMA : Nurul Najib
NPM : 71210811089
KELOMPOK SGD : 10
TUTOR : dr. Lucia Aktalina, M.Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
Lembar Penilaian Makalah

No Bagian yang Dinilai Skor Nilai

1 Ada Makalah 60

2 Kesesuaian dengan LO 0 – 10
3 Tata Cara Penulisan 0 – 10
4 Pembahasan Materi 0 – 10
5 Cover dan Penjilidan 0 – 10

Total

NB : LO = Learning Objective MEDAN, 30 Desember 2022


Dinilai Oleh :
Tutor

dr. Lucia Aktalina, M.Biomed


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum.Wr.Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah modul 3 biomedik 2 ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
kegiatan Small Grup Discussion yang dipandu langsung oleh dr. Lucia Aktalina, M.Biomed.
Pada modul biomedik 2, skenario 4.

Makalah ini telah saya susun dengan semaksimal mungkin dan juga mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Atas
dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, akhirnya makalah ini
dapat diselesaikan.

Saya menyadari bahwa sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan kekurangan
baik dari segi susunan kalimat, tata bahasanya maupun pembahasannya. Dan hanya kepada
Tuhanlah kita harus memohon petunjuk karena Dialah yang mencukupi akal dan pikiran serta
daya dan upaya untuk membentuk sebuah makalah ini. Akhirnya penulis hanya berharap banyak
agar makalah ini bisa bermanfaat untuk seluruh Pembaca atau kalangan Umum lainnya.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

MEDAN, 30 Desember 2022

NURUL NAJIB

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. i

DAFTAR ISI................................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 1


1.2 Skenario ........................................................................................................................ 1
1.3 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
1.4 Tujuan Masalah ............................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................. 3

2.1 Perbedaan Obat Sistemik dan Obat Local .................................................................... 3


2.2 Teknik Pemberian Obat Sistemik dan Obat Local ....................................................... 3
2.3 Proses Farmakokinetika ............................................................................................... 6
2.4 Pemberian Obat Secara Intravaskular dan Ekstravaskular ........................................... 9

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 12

3.1 Kesimpulan................................................................................................................... 12
3.2 Saran ............................................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fase farmakokinetik berkaitan dengan masuknya zat aktif ke dalam tubuh pemasukan
in vivo tersebut secara keseluruhan merupakan fenomena fisikokimiayang terpadu di
dalam organ penerima obat. Fase farmakokinetik ini merupakansalah satu unsur penting
yang menentukan profil keberadaan zat aktif pada tingkat biofase dan selanjutnya
menentukan aktivitas terapeutik obat.
Aktivitas serta toksisitas suatu obat tergantung pada lama keberadaan
dan perubahan zat aktif didalam tubuh. Intensitas efek farmakologik atau efek toksik suatu
obat seringkali dikaitkan dengan konsentrasi obat pada reseptor, yang biasanya terdapat
dalamsel-sel jaringan. Oleh karena sebagian besar sel-sel jaringan diperfusi oleh
cairan jaringan atau plasma, maka pemeriksaan kadar obat dalam plasma merupakan suatu
metode yang sesuai untuk pemantauan pengobatan.
Pemantauan konsentrasi obat dalam darah atau plasma meyakinkan bahwadosis yang
telah diperhitungkan benar-benar telah melepaskan obat dalam plasma dalam kadar yang
diperlukan untuk efek terapetik. Dengan demikian pemantauan konsentrasi obat dalam
plasma memungkinkan untuk penyesuaian dosis obat secara individual dan juga untuk
mengoptimasi terapi.
Tanpa data farmakokinetik, kadar obat dalam plasma hampir tidak berguna untuk
penyesuaian dosis. Dari data tersebut dapat diperkirakan model farmakokinetik yang
kemudian diuji kebenarannya, dan selanjutnya diperoleh parameter-parameter
farmakokinetiknya.

1.2 Skenario
Seorang wanita berumur 27 tahun menebus obat di apotek dengan memberikan resep
dari dokter. Setelah menunggu beberapa saat, apoteker membawa beberapa obat yang
diresepkan dalam berbagai bentuk. Ada obat berbentuk tablet, sirup dan salep kulit.
Apoteker tersebut menyampaikan cara menggunakan obatnya sesuai petunjuk yang tertulis.

1
1.3 Rumusan Masalah
• Apa saja bentuk sediaan obat ?
• Dari berbagai bentuk sediaan obat yang ada, apakah masing- masing obat memiliki
manfaat yang berbeda ?
• Mengapa ada obat yang berbentuk tablet dan sirup ?
• Bagaimana cara menggunakan ekstravaskular dan intravaskular ?

1.4 Tujuan Masalah


Mahasiswa/i mampu memahami dan menjelaskan:
 Perbedaan obat sistemik dan obat local.
 Teknik pemberian obat sistemik dan obat local.
 Proses kerja obat secara absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
 Cara pemberian obat secara intravaskular dan ekstravaskular.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perbedaan Obat Sistemik dan Obat Local


Obat merupakan suatu zat yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi atau
psikologi organisme saat dikonsumsi. Obat adalah zat buatan manusia yang memiliki
komposisi tertentu berdasarkan penyakit atau keluhan yang dimiliki. Satu obat dengan
obat yang lainnya tentunya berbeda antara komposisi dengan dosisnya. Hal ini
tergantung besarnya penyakit serta penyakit bawaan yang diderita. Penggunaan
obat dapat memberikan efek pada tubuh kita. Adapun macam-macam efek tersebut,
adalah:
 Efek Sistemik. Merupakan efek yang memberikan pengaruh obat yang diberikan
melalui sistem fisiologis tubuh. Contoh: Obat sakit perut, obat flu, obat penurun
panas, dll.
 Efek Lokal. Merupakan efek ynag memberikan pengaruh obat pada tubuh yang
bersifat lokal atau sebagian, Contoh: Obat tetes mata, obat tetes telinga, obat oles
kulit, dll.

2.2 Teknik Pemberian Obat Sistemik dan Local


Di samping faktor formulasi, cara pemberian obat turut menentukan cepat atau
lambatnya dan lengkap atau tidaknya resorpsi obat oleh tubuh. Tergantung dari efek
yang diinginkan, yaitu efek sistemis (di seluruh tubuh) atau efek lokal (setempat),
keadaan pasien dan sifat-sifat fisika-kimia obat.
a. Efek sistemik
1. Oral
Pemberiannya melalui mulut, mudah dan aman pemakaiannya, lazim dan
praktis tidak semua obat dapat diberikan per-oral, misalnya : Obat yang bersifat
merangsang (emetin, aminofilin) atau yang diuraikan oleh getah lambung
(benzilpenisilin, insulin dan oksitoksin), dapat terjadi inaktifasi oleh hati
sebelum diedarkan ke tempat kerjanya, dapat juga untuk mencapai efek lokal
misalnya : obat cacing, obat diagnostik untuk pemotretan lambung – usus, baik

3
sekali untuk mengobati infeksi usus, bentuk sediaan oral : Tablet, Kapsul, Obat
hisap, Sirup dan Tetesan.
2. Oromukosa
Pemberian melalui mukosa di rongga mulut, ada dua macam cara yaitu :
a) Sub lingual
Obat ditaruh dibawah lidah, Tidak melalui hati sehingga tidak
diinaktif, dari selaput di bawah lidah langsung ke dalam aliran darah,
sehingga efek yang dicapai lebih cepat misalnya : Pada pasien serangan
Jantung dan Asma, keberatannya kurang praktis untuk digunakan terus
menerus dan dapat merangsang selaput lendir mulut, hanya untuk obat
yang bersifat lipofil, bentuknya tablet kecil atau spray, contoh : Isosorbid
Tablet.
b) Bucal
Obat diletakkan diantara pipi dan gusi, obat langsung masuk ke
dalam aliran darah, Misalnya obat untuk mempercepat kelahiran bila
tidak ada kontraksi uterus, contoh : Sandopart Tablet.
3. Injeksi
Pemberian obat secara parenteral atau di bawah atau menembus kulit /
selaput lendir. Suntikan atau injeksi digunakan untuk memberikan efek dengan
cepat.
Macam – macam jenis suntikan :
 Subkutan / hypodermal (s.c) : Penyuntikan di bawah kulit.
 Intra muscular (i.m) : Penyuntikan dilakukan kedalam otot.
 Intra vena (i.v) : Penyuntikan dilakukan di dalam pembuluh darah.
 Intra arteri (i.a) : Penyuntikan ke dalam pembuluh nadi (dilakukan untuk
membanjiri suatu organ misalnya pada penderita kanker hati).
 Intra cutan (i.c) : Penyuntikan dilakukan di dalam kulit.
 Intra lumbal : Penyuntikan dilakukan ke dalam ruas tulang belakang
(sumsum tulang belakang).
 Intra peritoneal : Penyuntikan ke dalam ruang selaput (rongga) perut.
 Intra cardial : Penyuntikan ke dalam jantung.

4
 Intra pleural : Penyuntikan ke dalam rongga pleura.
 Intra articuler : Penyuntikan ke dalam celah – celah sendi.
4. Implantasi
Obat dalam bentuk pellet steril dimasukkan di bawah kulit dengan alat
khusus (trocar), digunakan untuk efek yang lama.
5. Rektal
Pemberian obat melalui rektal atau dubur. Cara ini memiliki efek
sistemik lebih cepat dan lebih besar dibandingkan peroral dan baik sekali
digunakan untuk obat yang mudah dirusak asam lambung.
6. Transdermal
Cara pemakaian melalui permukaan kulit berupa plester, obat menyerap
secara perlahan dan kontinyu masuk ke dalam sistim peredaran darah,
langsung ke jantung.
b. Efek local
1. Kulit (percutan)
Obat diberikan dengan jalan mengoleskan pada permukaan kulit, bentuk
obat salep, cream dan lotio.
2. Inhalasi
Obat disemprotkan untuk disedot melalui hidung atau mulut dan
penyerapan dapat terjadi pada selaput mulut, ternggorokkan dan pernafasan.
3. Mukosa Mata dan telinga
Obat ini diberikan melalui selaput / mukosa mata atau telinga, bentuknya
obat tetes atau salep, obat diresorpsi ke dalam darah dan menimbulkan efek.
4. Intra vagina
Obat diberikan melalui selaput lendir mukosa vagina, biasanya berupa
obat antifungi dan pencegah kehamilan.
5. Intra nasal
Obat ini diberikan melalui selaput lendir hidung untuk menciutkan
selaput mukosa hidung yang membengkak, contohnya Otrivin.

5
2.3 Proses Farmakokinetika
Farmakokinetik adalah pengkajian kuantitatif mengenai proses penyerapan,
distribusi, metabolisme, dan eksresi obat dan metabolitnya. Secara singkat
farmakokinetik menjelaskan apa yang dilakukan tubuh terhadap suatu obat.
Farmakokinetik menentukan konsentrasi obat dalam plasma dankonsentrasiobat
pada tempat kerjanya. Variabilitas farmakokinetik merupakan salah satu
penyebabperbedaan respon obat antar pasien.Hal tersebut bisa disebabkan oleh
perbedaan metabolisme secara genetik, interaksi dengan obat lain, atau adanya penyakit
pada hati, ginjal, dan organ metabolisme lainnya.
Prinsip dasar farmakokinetik adalah penyerapan, metabolisme, distribusi, dan
eliminasi. Proses ini adalah proses dasaruntuk semua obat. Proses ini bisa dijelaskan
secara fisiologis atau secara matematika, dimana semuanya memiliki tujuan tertentu.
Penjelasan secara fisiologis dapat memperkirakan bagaimana perubahan pada fungsi
organ akan mempengaruhi disposisi obat. Sedangkan penjelasan secara matematika
dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi obat dalam darah atau jaringan.
1. Absorbsi
Secara umum, farmakokinetik dikatakan sebagai “absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi”. Karena kebanyakan obat-obat anestesi siberikan
secara intravena dan inhalasi farmakokinetik anestesi didiskusikan di tempat lain,
urutan ini telah diubah pada buku ini dan menempatkan absorpsi pada bagian
terakhir dari daftar. Absorpsi tidak terlalu relevan untuk kebanyakan obat-obat
anestesi.
2. Distribusi
Setelah masuk ke dalam tubuh, obat akan bercampur dengan jaringan tubuh
dan langsung mengalami dilusi dari konsentrasi saat injeksi menjadi konsentrasi
yang lebih cairsaat di dalam plasma dan jaringan. Distribusi awal ini (dalam 1
menit) setelah injeksi bolus diperkirakan terjadi di dalam kompartemen sentral.
Kompartemen sentralsecara fisik terdiri dari bagian tubuh yang mendilusikan obat
dalam menit pertama setelah injeksi: volume darahvena lengan, volume pembuluh
darah besar, jantung, paru, aorta bagian atas, dan bagian tubuh lain yang
menyerap obat padafirst passagehingga ke paru.

6
Sebagian besar dari volume ini berada dalam jumlah tetap, tetapi obat yang
larut dalam lemak akan banyak diserappadafirst passagehingga paru. Hal ini akan
mengurangi konsentrasinya dalam arteri dan meningkatkan ukuran kompartemen
sentral. Sebagai contoh, first-pass pulmonary uptake dari dosis awal lidocaine,
propanolol, meperidine, fentanyl, sufentanil, dan alfentanil melebihi 65% dari
dosis.
Tubuh adalah ruang kompleks, dan pencampuran adalah proses yang terus
berlangsung. Sesuai definisi, kompartemen sentral adalah pencampuran dengan
sebagian kecil dari volume darah dan jaringan paru. Beberapa menit kemudian,
obat akan bercampur sepenuhnya dengan seluruh volume darah. Namun, akan
memerlukan waktu beberapa jam hingga hari hingga obat bercampur sepenuhnya
dengan jaringan tubuh karena beberapa jaringan memiliki perfusi yang sangat
rendah.
Dalam proses pencampuran, suatu molekul tertarik ke molekul lain, dengan
beberapa lokasi ikatan spesifik. Obat yang polar akan tertarik oleh air, dimana
molekul air yang polar akan mencapai bentuk rendah energi dengan berasosiasi
dengan bagian molekul yang bermuatan. Obat yang tidak polar memiliki afinitas
yang tinggi terhadap lemak, dimana ikatan van der Waals memberikan beberapa
lokasi ikatan yang lemah. Banyak obat anestesi yang larut dalam lemak dan
kurang larut dalam air.
Solubilitas yang tinggi dalam lemak berarti molekul akan memiliki volume
distribusi yang besar karena akan cenderung dibawa oleh lemak, dan konsentrasi
dalam plasma akan berkurang. Sebagai contohyakni propofol yang sulit
dipisahkan dari lemak. Kapasitas lemak tubuh untuk mengikat propofol sangat
besar dan dalam beberapa studi disebutkan volume distribusi propofol sebanyak
5.000 L. Namun tentu saja tidak ada yang memiliki total volume 5.000 L. Penting
untuk diketahui bahwa 5.000 L tersebut adalah jumlah plasma imajiner yang
diperlukan untuk melarutkan dosis awal propofol. Karena propofol bersifat larut
lemak, propofol dalam jumlah besar larut dalam jaringan lemak tubuh dan
konsentrasi yang terukur dalam darah akan rendah.

7
Setelah injeksi bolus, obat akan masuk terutama ke dalam jaringan yang
menerima aliran darah arteri dalam jumlah besar: otak, jantung, ginjal, dan hati.
Jaringan ini sering disebut the vessel rich group. Aliran darah yang cepat
memastikan konsentrasi pada jaringan ini meningkat dengan cepat untuk
menyeimbangkan dengan darah arteri. Namun, untuk obat yang larut dalam
lemak, kapasitas lemak untuk mengikat obat melebihi kapasitas jaringan yang
memiliki perfusi tinggi. Awalnya, kompartemen lemakhampir tidak terlihat
karena suplai darah ke lemak cukup terbatas. Namun seiring waktu, lemak secara
perlahan menyerap obat, dan akan menyitanya dari jaringan dengan perfusi tinggi.
Redistribusi obat dari jaringan dengan perfusi tinggi ke lemak merupakan
bagian substansial yang berperan dalam efek obat berlebih setelah bolus pada obat
anestesia intravena atau opioid yang larut lemak (e.g., fentanyl). Otot merupakan
perantara dalam proses ini, dimana otot memiliki aliran darah yang menengah,
antara jaringan perfusi tinggi dengan lemak.
3. Metabolisme
Metabolisme mengubah obat larut lemak yang aktif secara farmakologis
menjadi larut air dan tidak aktif secara farmakologis. Namun hal ini tidak selalu
terjadi. Sebagai contoh, diazepam dan propanolol bisa dimetabolisme menjadi
senyawa aktif. Morphine-6-glucoronide, yang merupakan metabolit morfin,
merupakan opioid yang lebih poten dibandingkan morfin itu sendiri. Dalam
beberapa contoh, senyawa induk inaktif (prodrug) dimetabolisme menjadi obat
aktif. Hal ini terjadi pada kodein, yang merupakan opioid lemah. Kodein
dimetabolisme menjadi morfin, yang kemudian berperan dalam efek analgesik
dari kodein.
Empat jalur dasar metabolisme adalah (a) oksidasi, (b) reduksi, (c)
hidrolisis, (d) konjugasi. Secara tradisional, metabolisme dibagi menjadi reaksi
fase I dan fase II. Reaksi fase I meliputi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang
meningkatkan polaritas obat dan menyiapkannya untuk reaksi fase II. Reaksi fase
II adalah konjugasi yang mengikatkan obat atau metabolitnya secara kovalen
dengan molekul polar (karbohidrat atau asam amino), yang menyebabkan
konjugat tersebut lebih laruh air untuk nantinya diekskresi. Enzim hepatik

8
mikrosomal berperan dalam hampir sebagian besar metabolisme obat. Lokasi
metabolisme obat lain adalah plasma (Hofmann elimination, hidrolisis ester),
paru, ginjal, dan saluran gastrointestinal, serta plasenta (esterase jaringan).
Enzim hepatik mikrosomal, yang berperan dalam sebagian besar
metabolisme obat, terletak di dalam smoothendoplasmic reticulum dari hati.
Enzim ini juga terdapat dalam ginjal, saluran penernaan, dan korteks adrenal.
Mikrosom adalah struktur seperti vesikel yang terbentuk dari potongan
endoplasmik retikulum saat sel terhomogenasi. Dan enzim mikrosomal adalah
enzim yang terkonsentrasi pada struktur tersebut.
4. Ekskresi
Banyak produk dari hasil pemecahan enzimatik yang biasa disebut
metabolit, biasanya merupakan senyawa yang kurang aktif dari molekul asli
obatnya. Untuk alasan ini, para ilmuwan menyebut hati sebagai organ
“detoksifikasi”.
Kadang-kadang metabolit obat yang dihasilkan dapat memiliki kegiatan
kimia mereka sendiri, bahkan memiliki kekuatan serupa dari obat aslinya. Ketika
meresepkan obat-obatan tertentu, dokter harus memperhitungkan efek samping
ini.
Setelah enzim hati menyelesaikan pekerjaannya dalam membuat metabolit
obat, selanjutnya akan mengalami tahap akhir waktu dalam tubuh, yakni ekskresi
dimana akan keluar melalui urine atau feses, terkadang melalui keringat.

2.4 Pemberian Obat Secara Intravaskular dan Ekstravaskular


Berdasarkan cara pemberiannya, obat dapat dikelompokkan menjadi dua golongan
yaitu obat yang diberikan secara intravaskular (intravena) dan ekstravaskular yaitu
dimasukkan ke dalam tubuh tidak secara langsung ke dalam pembuluh darah.
1. Pemberian Intravaskular
Pemberian intravaskular artinya obat langsung dimasukkan ke dalam
pembuluh darah vena atau arteri. Dalam hal ini tidak ada proses absorpsi obat,
maka semua obat (dosis yang diberikan) yang ada dalam sediaan masuk ke dalam
tubuh.

9
2. Pemberian Ekstravaskular
Pemberian secara ekstravaskular meliputi rute per oral, sublingual, buccal,
intramuscular, subcutan, transdermal, dan rectal. Sebelum memasuki sirkulasi
sistemik, obat harus terlebih dahulu diabsorpsi oleh tubuh. Pada pemberian
ekstravaskular, biasanya obat yang masuk ke dalam tubuh tidak mencapai 100%.
Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya bentuk sediaan, ionisasi obat,
pKa obat, pH cairan tubuh, luas permukaan zat berkhasiat terlarut yang berkontak
dengan dinding organ tubuh seperti dinding saluran pencernaan, koefisien partisi,
dan waktu pengosongan lambung.
Secara skematis, peristiwa yang dialami oleh obat di dalam tubuh setelah
diberikan secara intravena dan per oral. Dari skema tersebut dapat dilihat bahwa obat
yang diberikan secara intravena langsung memasuki sirkulasi sistemik dan tidak
mengalami peristiwa absorbsi. Jadi, seluruh obat yang diberikan masuk ke dalam
sirkulasi sistemik. Berbeda dengan pemberian obat secara intravaskular, obat yang
diberikan per oral, terlebih dahulu mengalami peristiwa absorpsi ke dalam sirkulasi
sistemik. Di dalam darah, baik obat yang diberikan secara intravena maupun per oral
akan berikatan secara reversible dengan protein plasma dalam bentuk senyawa
kompleks yang mengadakan kesetimbangan (equilibrium) dengan obat bebas. Obat-obat
yang bersifat asam berikatan dengan albumin, sedangkan obat-obat yang bersifat basa
berikatan dengan alpha acid glycoprotein (AAG).
Obat bebas di dalam darah akan didistribusikan ke dalam jaringan tubuh termasuk
yang mengandung reseptor dan organ pengmetabolisme yang selanjutnya metabolit
yang dihasilkan akan dieksresikan. Obat dengan reseptor membentuk senyawa
kompleks sehingga menyebabkan respons farmakologi. Berdasarkan teori penempatan
(occupational theory), besarnya respons yang dihasilkan sebanding dengan konsentrasi
obat yang berikatan dengan reseptor. Dengan demikian konsentrasi obat pada reseptor
perlu dimonitor agar efek terapi yang diinginkan tercapai. Namun pendekatan ini tidak
mungkin dilaksanakan karena tidak praktis. Contohnya adalah reseptor digoxin terdapat
di dalam myocardium.
Sampel obat tidak mungkin dapat diambil dari jaringan ini. Konsentrasi obat di
dalam plasma, urin, saliva, dan cairan lainnya dapat diukur. Perubahan konsentrasi obat

10
di dalam plasma merupakan gambaran perubahan konsentrasi obat pada reseptor dan
jaringan lainnya. Peninggian konsentrasi obat di dalam plasma mengakibatkan
peninggian konsentrasi obat di jaringan lainnya. Dengan perkataan lain, konsentrasi
obat yang berikatan dengan reseptor ini sebanding dengan konsentrasi obat bebas yang
ada di dalam plasma. Jadi, pengaturan respons dapat dilakukan dengan mengatur
konsentrasi obat di dalam plasma.
Respons yang dihasilkan suatu saat akan menurun akibat penurunan jumlah obat
di dalam tubuh karena peristiwa metabolisme dan eksresi. Dengan demikian konsep
dasar pengaturan respons farmakologi ialah menjaga agar konsentrasi obat selalu berada
dalam rentang terapi.
Rentang terapi adalah batasan konsentrasi obat di dalam serum yang dibutuhkan
untuk menghasilkan efek pengobatan tanpa efek toksik yang signifikan. Sungguhpun
rentang terapi merupakan konsentrasi efektif untuk kebanyakan pasien, namun
konsentrasi terapi dapat bervariasi dari pasien yang satu ke pasien lainnya (individual
variability). Kadang-kadang pasien tertentu membutuhkan kadar obat sedikit lebih
rendah atau lebih tinggi dari rentang terapi untuk menghasilkan efek pengobatan yang
optimal (optimal efficacy).
Efek terapi optimal dapat diperoleh dengan mempertahankan agar konsentrasi
obat tetap berada dalam rentang terapi dengan mengatur besarnya dosis dan interval
pemberian (kecepatan masuknya obat ke dalam tubuh) yang berdasarkan kepada
besarnya eliminasi obat. Karena struktur kimia berbagai kelompok obat Obat dalam
Jaringan Obat dalam Cairan Tubuh Obat per oral Respon Farmakologi (pengobatan)
[Obat][Protein] Obat Bebas (di dalam darah) Obat pada Reseptor Komplek Obat
Reseptor Eksresi Organ pengmetabolisme: metabolit Metabolisme Absorpsi Obat
Intravena 6 berbeda satu sama lainnya, maka akan menghasilkan parameter
farmakokinetika yang berbeda-beda pula sehingga dosis dan interval pemberian akan
berbeda.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Obat local , yaitu obat yang bekerja pada jaringan setempat, seperti pemakaian
topical. obat sistemik , yaitu obat yang didistribusi keseluruh tubuh , seperti tablet
analgesic dan tablet lainnya yang digunakan secara oral.
Tahap pertama adalah penyerapan. Obat-obatan bisa masuk ke dalam tubuh dalam
berbagai cara, dan mereka diserap ketika mereka melakukan perjalanan dari berbagai
rute pemberian/administrasi ke dalam sirkulasi tubuh.
Beberapa cara yang paling umums seperti melalui mulut/oral (menelan tablet
aspirin), intramuskular (mendapatkan vaksinasi flu dalam otot lengan), subkutan (suntik
insulin tepat di bawah kulit), intravena (menerima kemoterapi melalui pembuluh darah),
atau transdermal (memakai patch kulit).
Setelah obat diserap, tahap berikutnya adalah distribusi. Pada umumnya aliran
darah akan membawa obat-obatan ke seluruh tubuh. Selama langkah ini, efek samping
dapat terjadi ketika obat memiliki efek dalam organ selain organ target. Untuk pereda
nyeri, organ sasaran mungkin otot sakit di kaki; iritasi lambung bisa menjadi efek
samping. Banyak faktor yang mempengaruhi distribusi, seperti kehadiran molekul
protein dan lemak dalam darah yang dapat menempatkan molekul obat terikat untuk
membawa ketempat yang dituju.
Setelah obat telah didistribusikan ke seluruh tubuh dan telah melakukan tugasnya,
obat akan pecah, atau dimetabolisme. Penguraian dari molekul obat biasanya
melibatkan dua langkah yang terjadi sebagian besar di pabrik pengolahan kimia tubuh,
yakni hati.
Hati adalah organ penting yang bekerja terus menerus. Semua yang memasuki
aliran darah baik itu melalui jalur oral, injeksi, inhalasi, kulit atau yang diproduksi oleh
tubuh secara alami akan dimetabolisme di hati.
Banyak produk dari hasil pemecahan enzimatik yang biasa disebut metabolit,
biasanya merupakan senyawa yang kurang aktif dari molekul asli obatnya. Untuk alasan
ini, para ilmuwan menyebut hati sebagai organ “detoksifikasi”.

12
3.2 Saran
Demikian makalah ini saya paparkan, semoga bermanfaat dan berguna bagi kita
semua. Saya sebagai penulis mohon saran dan kritikannya guna untuk
menyempunakan tugas makalah ini, karena saya menyadari bahwa tugas saya kurang
dari kesempurnaan.

13
DAFTAR PUSTAKA
1. Burton, M. E., Shaw, L. M., Schentag, J. J., & Evans, W. E. (2006). Applied
pharmacokinetics and pharmacodynamics: principles of therapeutic drug monitoring:
Lippincott Williams & Wilkins.
2. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2012.
3. Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Katzung, G. Bertram; Farmakologi Dasar dan Klinik; Edisi keenam; EGC; Jakarta;1998.
5. Mangoni, A. A., & Jackson, S. H. (2004). Age‐related changes in pharmacokinetics and
pharmacodynamics: basic principles and practical applications. British journal of clinical
pharmacology, 57(1), 6-14.
6. Shafer S, Flood P, Schwinn D. Basic principles of pharmacology. In: Miller RD, Eriksson
LI, Fleisher LA, et al, eds. Miller’s Anesthe- sia. Vol 1. 7th ed. Philadelphia, PA:
Churchill Livingstone; 2010: 479–514.
7. Sulistia Gan Gunawan; Farmakologi dan Terapi, edisi 5, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2012

14

Anda mungkin juga menyukai