Bagian yang Dinilai Skor Nilai
Ada Makalah 60
Kesesuaian dengan LO 0 – 10
Tata Cara Penulisan 0 – 10
Pembahasan Materi 0 – 10
Cover dan Penjilidan 0 – 10
TOT AL
Dinilai Oleh :
Tutor
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Maka dari itu,
saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan dari dosen-dosen sebagai
penyempurna makalah ini.
Lembar Penilaian
Kata Pengantar...........................................................................................................iii
Daftar Isi.....................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
.1 Latar Belakang
Fungsi penghidu atau indra penciuman merupakan salah satu indra yang dimiliki oleh
manusia yang berfungsi sebagai penciuman suatu bau. Gangguan pada fungsi penghidu dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari. Dimana seseorang tidak dapat membau atau mengalami
gangguan dalam membau suatu bau yang diterima setiap harinya. Beberapa pengaruh yang
dapat ditimbulkan yaitu pada selera makan, psikis, dan kualitas hidup seseorang. Angka
kejadian dari gangguan fungsi penghidu dinilai sangat sedikit, karena kurangnya penderita
yang melaporkan tentang gangguan penghidu ini dan kurangnya data yang diperoleh. Salah
satu data yang didapatkan dari penelitian yang dilakukan tentang gangguan fungsi penghidu
pada tahun 1994 pada populasi penduduk Amerika Serikat yaitu ada 2.7 juta penduduk yang
2
mempunyai masalah gangguan penghidu. Gangguan pada fungsi penghidu ini sering
dihiraukan oleh masyarakat, jika gangguan ini terus diabaikan maka dapat mengakibatkan
hilangnya sensori syaraf penghidu.
.2 Rumusan Masalah
definisi dan klasifikasi epistaksis
etiologi epistaksis
tatalaksana epistaksi
.3 Tujuan Masalah
Dengan adanya pembelajaran ini diharapkan agar Mahasiswa/I Fakultas kedokteran
dapat mengetahui dan memahami mengenai:
definisi dan klasifikasi epistaksis
etiologi epistaksis
tatalaksana epistaksi
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan
biasanya dapat berhenti sendiri (Nuty & Endang, 1998). Perdarahan juga dapat
berasal dari bagian depan konkha inferior (Abelson, 1998).
2) Epistaksis Posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan
pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit
kardiovaskular (Nuty & Endang, 1998).Pembukaan secara pasif terjadi jika tekanan
didalam kavum timpani lebih tinggi dari pada tekanan atmosfir. Tuba Eustachius
bekerja paling efisien bila dalam posisi tegak. Efisiensi tuba Eustachius akan menurun
seiring dengan semakin rebahnya tubuh. Menurut Ingelstedt dkk (1967), yang dikutip
dari bluestone.1 Volume udara yang melewati tuba Eustachius akan berkurang 1/3
bila tubuh kita membentuk sudut 200 terhadap bidang horizontal dan berkurang 2/3
bila kita berbaring.
Etiologic epistaksis
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang-kadang jelas
disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau
kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh
darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik
seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir.
Bedasarkan anatomi, pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut
pleksus Kiesselbach (Little's area). Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah
cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama
pada anak.
Tatalaksana epistaksis
Tatalaksana epistaksis
Penatalaksanaan epistaksis dimulai dari tindakan pengamanan jalan napas serta resusitasi
untuk mencapai stabilitas hemodinamik. Pembersihan jalan napas harus segera dilakukan
apabila terdapat obstruksi jalan napas akibat darah yang mengalir ke faring. Darah dapat
dibersihkan secara perlahan menggunakan alat penghisap.
Pada pasien dengan perdarahan hebat dengan tanda-tanda syok hipovolemik, segera lakukan
pemasangan akses vena perifer untuk memulai resusitasi cairan. Pemeriksaan darah lengkap,
golongan darah, dan crossmatch perlu dilakukan sebagai antisipasi kebutuhan transfusi darah.
Pasien dengan obstruksi jalan napas dan hemodinamik tidak stabil harus dirujuk ke unit
gawat darurat setelah mendapat tata laksana awal.
Bila tidak terdapat gangguan pada jalan napas dan hemodinamik stabil, penatalaksanaan
epistaksis berfokus untuk menghentikan perdarahan. Terdapat berbagai cara untuk
mengontrol perdarahan, tergantung pada tingkat keparahan dan lokasi sumber perdarahan.
Kontrol perdarahan dilakukan secara bertahap, mulai dari metode konservatif dengan
medikamentosa atau tindakan noninvasif hingga tindakan pembedahan. Adapun beberapa
tatalaksana untuk epistaksis yaitu:
1. Kompresi hidung
2. Kauterisasi
3. Nasal Packing
4. Pembedahan
5. Embolisasi
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
pistaksis atau sering disebut mimisan adalah perdarahan dari hidung dapat berasal dari
bagian anterior rongga hidung atau dari bagian posterior rongga hidung. Dapat terjadi akibat
sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan suatu penyakit melainkan
gejala suatu kelainan. Perdarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau
penyakit umum. Kebanyakan ringan dan sering berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan
medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang
berakibat fatal bila tidak segera ditangani (Endang & Retno, 2008).
3.2 Saran
Kami sarankan para pembaca tidak langsung menerima begitu saja makalah yang telah
saya buat ini dan membaca dari sumber lain juga.
DAFTAR PUSTAKA
Bluestone CD. Anatomy and physiology of the Eustachian tube system. In : Bailey
BJ, editor. Head & Neck Surgery Otolaryngology. 6 th edition. Philadelphia, JB
Lippincot Company; 1993. p. 1253-62.
Bluestone CD. Physiology of the middle ear and Eustachian tube. In Paparella, editor.
Otolaryngology – Head & Neck. 3th edition. Philadelphia, WB Saunders Company;
1991.p.163-83.
K. Jusri Ronaldi, Sri Harmadji. (2008). Anatomi Dan Fisiologi Tuba Eustachius.
Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Jurnal
UNAIR. Dicari Rabu, 05 Oktober 2022. http://journal.unair.ac.id/download-
fullpapers-thtkl13565a752e2full.pdf