REFERAT
Epistaksis
Pembimbing:
Disusun oleh:
Zakiatun Nupus
120810059
CIREBON
2021
ii
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Epistaksis
disusun oleh
Zakiatun Nupus
120810059
Telah disetujui
Pembimbing
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkah
dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Tujuan utama pembuatan
referat ini adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai “Epistaksis” serta
untuk melengkapi syarat dalam menempuh program pendidikan profesi dokter di
bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Saya mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing dr. Ismi Cahyadi, Sp.
THT-KL selaku konsulen Ilmu THT-KL yang telah memberikan bimbingan
dalam proses penyelesaian referat ini juga untuk dukungannya baik dalam
mencari referensi yang lebih baik.Selain itu penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada teman-teman yang berada dalam satu kelompok kepaniteraan yang
sama atas dukungan dan bantuan selama menjalani kepaniteraan ini.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Referat ini masih jauh
dari kata sempurna, oleh karenanya kritik dan saran sangat penulis harapkan demi
perbaikan referat yang akan datang.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................1
1.2. Tujuan..........................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1. Anatomi Hidung...........................................................................................3
2.1.1.Anatomi Hidung Luar........................................................................3
2.1.2.Anatomi Hidung Dalam.....................................................................4
2.1.3.Vaskularisasi Rongga Hidung............................................................6
2.1.4.Inervasi Hidung..................................................................................8
2.2. Fisiologi Hidung...........................................................................................9
2.3. Epistaksis......................................................................................................9
2.3.1.Definisi...............................................................................................9
2.3.2.Etiologi...............................................................................................9
2.3.3.Patofisiologi.....................................................................................18
2.3.4.Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik...................................................20
2.3.5.Pemeriksaan Fisik............................................................................21
2.3.6.Penatalaksanaan...............................................................................24
2.3.7.Komplikasi.......................................................................................34
2.3.8.Pencegahan.......................................................................................34
2.3.9.Prognosis..........................................................................................35
BAB III PENUTUP..............................................................................................36
Kesimpulan........................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................38
1
BAB I
PENDAHULUAN
Insiden epistaksis sekitar 108 per 100.000 penduduk per tahun. Di Inggris
didapatkan 10,2 per 100.000 pasien epistaksis dengan rata-rata masa rawatan
2,9 hari dalam 3 bulan dan di Amerika Serikat tercatat 17 per 100.000
penduduk ( 6%).1 Insiden tertinggi epistaksis dijumpai pada usia dibawah 10
tahun dan usia diatas 40 tahun. Epistaksis bagian anterior umumnya dijumpai
pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang
tua dengan perdarahan yang akut yang berat.Biasanya prevalensi kejadian
epistaksis pada anak <2 tahun yang datang ke instalasi gawat darurat terjadi
perdarahan hidung dan mulut karena trauma atau penyakit yang serius sangat
jarang. Pada anak usia 6-10 tahun, angka kejadian epistaksis meningkat
sampai 56% dan lebih sering terjadi pada anak laki-laki. (1,2)
Penyebab dari epistaksis terbagi ke dalam kelompok: faktor lokal dan
sistemik. Faktor lokal termasuk yang berikut: trauma, reaksi peradangan
lokal, benda asing, kelainan anatomi pasca bedah, tumor intranasal, inhalansia
kimia, sedangkan penyebab sistemik dari epistaksis termasuk yang berikut:
gangguan vaskular, khususnya telangiektasia haemorrhagic herediter
(HHT);kelainan darah, infeksi sistemik, kelainan hormonal dan obat-obatan
yang mempengaruhi mekanisme pembekuan darah. (1)
pistaksis yang timbul dari daerah septum anterior (epistaksis anterior)
lebih umum terjadi anak-anak dan dewasa muda dan perdarahan berasal dari
anastomosis pembuluh darah arteriol di septum nasi (Pleksus Kiesselbach).
Sekitar 5% episode epistaksis muncul dari bagian posterior dan superior dari
2
rongga hidung, dan sebagian besar episode epistaksis posterior timbul dari
arteri septum. Epistaksis posterior lebih sering terjadi pada pasien yang lebih
tua dibandingkan pada anak-anak. Faktor penyebab epistaksis posterior
adalah hipertensi, asam asetilsalisilat atau penggunaan obat anti-inflamasi
nonsteroid, episode epistaksis sebelumnya, konsumsi alkohol, dan
penggunaan antikoagulan. Namun, mayoritas terbanyak pada ini kasus adalah
idiopatik. (3)
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memahami mengenai anatomi
hidung, etiologi epistaksis, diagnosis serta penatalaksaan dengan tujuan untuk
meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang epistaksis.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
HIP
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari :
1) Tulang hidung (os nasal)
2) Prosesus frontalis os maksila dan
3) Prosesus nasalis os frontal
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga
sebagai kartilago ala mayor
3) tepi anterior kartilago septum. (4)
A. Dinding medial
B. Dasar
Dasar tiap cavitas nasi halus, cekung, dan lebih lebar
daripada atapnya. Dasarnya terdiri dari:
1. jaringan lunak nasus externus, dan
6
Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari konka media
terdapat plexus Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri
sfenopalatina, nasalis posterior dan faringeal asendens. (5)
Epistaksis anterior sering mengenai daerah plexus Kiesselbach.
Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama
pada anak. (1,5)
2.3. Epistaksis
2.3.1. Definisi
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu
kelainan yang hampir 90% dapat berhenti sendiri. Epistaksis merupakan
perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung. Epistaksis dapat
terjadi pada segala umur, dengan puncaknya terjadi pada anak-anak dan
orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada pelanan kesehatan primer
dan kecil kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit atau ke spesialis
THT. Walaupun kebanyakan kasus yang terjadi ringan dan bersifat self-
limiting, ada beberapa kasus yang berat dan mengakibatkan morbiditas
dan mortalitas yang serius. Penting sekali mencari asal perdarahan dan
menghentikannya, di samping perlu juga menemukan dan mengobati
penyebab yang mendasarinya. (1,8)
2.3.2. Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam
selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari
pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach
terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan
mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis
dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan
sistemik. (8)
13
14
1) Lokal
a) Trauma
Gambar 6. Epistaksis(11)
b) Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal
seperti rhinitis atau sinusitis. (12)
c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit
dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang
bernoda darah, Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan
epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang
abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang baru
16
Gambar cascade koagulasi Gambar. cascade koagulasi
normal hemophilia
VWD dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses
pembekuan darah.
1. Pada tahap ke 3, seseorang dapat berkemungkinan tidak
memiliki cukup Faktor Von Willebrand (VWF) di dalam
darahnya atau faktor tersebut tidak berfungsi secara normal.
Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk
menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh darah yang
mengalami kerusakan. Trombosit tidak dapat melapisi dinding
pembuluh darah.
2. Pada tahap ke 4, VWF membawa Faktor VIII. Faktor VIII
adalah salah satu protein yang dibutuhkan untuk membentuk
jaringan yang kuat. Tanpa adanya faktor VIII dalam dalam
jumlah yang normal maka proses pembekuan darah akan
memakan waktu yang lebih lama. Akibatnya VWF tidak dapat
bertindak sebagai perekat untuk menyangga trombosit di sekitar
daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan. (7)
e) Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi
mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat
musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal
selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif
yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh
darah gampang pecah. (6,8)
f) Deviasi septum
19
2) Sistemik
a) Kelainan darah
b) Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada
aterosklerosis, sirosis hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan
epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering
kambuh dan prognosisnya tidak baik. (12,13)
1. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih
dari 140 mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg.
Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena
kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit
hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus
21
2. Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika
terjadi keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak
bisa mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan rupture
dari pembuluh darah. (14)
3. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein
yang berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk
fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K.
Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein dan vitamin
yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga
mudah terjadinya perdarahan. Sehingga epistaksis bisa terjadi
pada penderita sirosis hepatis. (11)
4. Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan
mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang
tinggi dapat menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah
mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah
lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga
menyebabkan basal membran semakin menebal dan lemah.
Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah
sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat
terjadi pada pasien diabetes mellitus. (11)
c) Infeksi akut
Demam berdarah
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks
antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem
koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua
22
d) Gangguan hormonal
e) Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal
sehingga menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah.
Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain
itu hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intravascular yang
dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat
terjadi epistaksis. (14)
2.3.3. Patofisiologi
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-
kadang sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber
perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior. (9)
erosi mukosa, dan epistaksis. Sekresi yang tertahan, benda asing yang
membusuk. Perubahan ini selanjutnya berdampak pada benda asing
karena di sekitarnya edema, granulasi, dan pelepasan. Hal ini terutama
terlihat pada benda asing nabati yang tidak hanya menyerap air dari
jaringan dan membengkak tetapi juga menimbulkan reaksi inflamasi yang
sangat cepat. Kadang-kadang reaksi inflamasi cukup untuk menghasilkan
toksemia. Benda asing dapat bertindak sebagai nukleus untuk konkresi
jika dibenturkan dengan kuat atau terkubur dalam jaringan granulasi
dengan menerima lapisan kalsium, magnesium fosfat, dan karbonat dan
dengan demikian menjadi rhinolith. Kadang-kadang proses ini dapat
terjadi di sekitar area yang diinspirasikan mukopus, atau bahkan bekuan
darah, biasanya terbentuk di dekat dasar hidung dan bersifat radio-
opaque. Tombol baterai dapat menyebabkan kerusakan parah pada
septum hidung, baterai terdiri dari berbagai jenis logam berat: merkuri,
seng, perak, nikel, kadmium, dan litium. Pembebasan zat ini
menyebabkan berbagai jenis lesi tergantung pada lokalisasi, dengan
reaksi jaringan lokal yang intens dan nekrosis likuifaksi. Akibatnya dapat
menyebabkan perforasi septum, sinekia, penyempitan, dan stenosis
rongga hidung. Belatung dan cacing sekrup di hidung memicu berbagai
tingkat reaksi inflamasi dari infeksi lokal ringan hingga kerusakan
maksimum tulang hidung (kartilago dan tulang) dengan pembentukan
luka bernanah yang dalam dan berbau busuk. (10)
anestesi umum. Pada pasien dengan parasit dan larva pada hidung,
diagnosis relatif mudah karena organisme divisualisasikan secara
langsung. Beberapa lesi unilateral yang ditemukan pada anak-anak dan
orang dewasa dapat menyebabkan obstruksi pada sisi yang terkena.
Gambaran lesi tersebut mencakup tumor jinak dan ganas pada rongga
hidung, sinusitis unilateral, atresia choanal unilateral, polip hidung
unilateral, hematoma septum, dan infeksi seperti sifilis dan difteri.
Sementara beberapa benda asing tetap berada di rongga hidung tanpa
menyebabkan kerusakan. Hal ini biasanya terlihat pada benda asing
organik karena cenderung menyerap air dari jaringan sekitarnya dan
membengkak. Benda asing ini cenderung berubah menjadi benda keras
karena penumpukan mineral di atasnya dengan demikian menyebabkan
lebih banyak kerusakan. Pada baterai, kerusakan jaringan terjadi karena
kebocoran langsung menyebabkan kerusakan korosif. Cairan jaringan
menghasilkan arus antara anoda baterai dan katoda yang mengakibatkan
korosi. Magnet yang dipasangkan juga menghasilkan arus dengan hasil
yang serupa. yang dapat berakhir dengan perforasi septum dalam waktu 4
jam.(3)
Pada pemeriksaan fisik, epistaksis seringkali sulit dibedakan dengan
hemoptysis atau hematemesis untuk pemeriksaan yang adekuat pasien
harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan
pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau
mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan
dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik
cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan
semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan
faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan,
dimasukkan Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu
kepala, spekulum hidung dan alat penghisap (bila ada) dan pinset
bayonet, kapas, kain kasa. (11)
Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan
larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2%
yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk
menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah
27
Gambar 13. Gambaran sagital MR pada solitary fibrous tumor dengan masa
tumor dan epistaksis dan Gambaran angiogram angiofibroma
juvenil dengan obstruksi hidung dan epistaksis
e. Endoskopi
Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan
penyakit lainnya.
f. Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu
tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.
2.3.6. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah menghentikan perdarahan, memastikan
hemodinamik baik, dan mencegah komplikasi. Dilaporkan penanganan
epistaksis berupa non–bedah (80-90%). Setiap pasien epistaksis di bagian
gawat darurat harus diperiksa menyeluruh, patensi saluran pernapasan,
pernapasan, dan sirkulasi, tanda - tanda vital harus stabil. Perbaiki
keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali
bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok. (13,14)
Pada kasus sebagian besar benda asing mati jika divisualisasikan
dengan baik, dapat dilepas dengan mudah melalui nares anterior dengan
penggunaan forsep menangkup, hemostat, kateter tuba eustachius
metalik, dan suction. Ini dapat dilakukan tanpa anestesi atau setelah
29
‘;
benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang
lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior)
2.3.7. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau
sebagai akibat dari penanganan yang kita lakukan. Akibat dari epistaksis
yang hebab dapat terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah yang
mendadak dapat menimbulkan iskemi cerebri, insufisiensi koroner dan
infarkmiocard, hal-hal inilah yang menyebabkan kematian. Bila terjadi
hal seperti ini maka penatalaksaan terhadap syok harus segera dilakukan.
(17,18)
2.3.8. Pencegahan
2.3.9. Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri.
Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya
perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.
40
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang dapt berlangsung ringan
sampai seius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Pada
umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan
bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach
atau dari arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat
berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Pendarahan ini
dapat berhenti sendiri atau sampai harus segera diberi pertolongan. Pada kasus
yang berat, pertolongan harus dilakukan di rumah sakit dengan orang yang
yang berkompetensi pada bidang ini. Penentuan asal pendarahan pada kasus
epistaksis sangat penting karena berkaitan dengan cara penatalaksanaannya.
Untuk menghentikan pendarahan ini dapat dilakukan tampon anterior,
kauterisasi dan tampon posterior. Epistaksis dapat terjadi salah satunya karena
benda asing. Beberapa benda asing tersangkut di hidung seperti makanan,
mainan kecil, manik-manik, serangga, cacing atau potongan tulang dan tulang
rawan yang patah, kepala sikat gigi, kail ikan, gagang pintu, kait dan mata
logam, pegas payung, koin. Adapun benda asing yang hidup seperti Myiasis,
Larva, ataupun cacing
DAFTAR PUSTAKA
11. Viewhug, Tate L, dan Jhon B Roberson. Epistaxis : Diagnosis and Treatment.
USA: American Association of Oral and Maxillofacial Surgeons. 2006;511-8.
12. Shin, Edward J,MD dan Andrew H Murr,MD. Managing Epistaksis. USA:
Otolaryngology-Head & Neck Surgery, University of California San
Fransisco, California. 2000;1-5.
13. Bertrand, B, ET AL. Guidelines to The Management of Epistaxis. Brussels:
ENT and HNS Departement, Catholic University of Louvain. 2005; 27-43.
14. Elsie K, Vincent I, Nolan J. Epistaksis,Vaskular Anatomy, Origins and
Endovaskular Treatment, 1999. In : http://www.ajonline.org/cgi/contents.html
15. Patil, Pavan M.; Anand, Rajeev. Nasal Foreign Bodies: A Review Of
Management Strategies And A Clinical Scenario Presentation.
Craniomaxillofacial Trauma & Reconstruction, 2011, 4.1: 53-58
16. Nguyen Q. Epistaxis, 2005. In : http://www.emedicine.com/ent/NASAL_
AND_ SINUS_ DISEASES.html
17. Nuty WN, Endang M. Epistaksis. In: Soepardi EA, Iskandar N (eds). Buku
ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. 5th Ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2001.pp.125-29.
18. Kucik, Corry J dan Timothy Clenney. Management of Epistaxis. USA:
American Family Physician. 2005;305-11. [serial online] January 15, 2005.
[cited 2013 September 03] Available from:
http://www.aafp.org/afp/2005/0115/p305.pdf