Anda di halaman 1dari 47

i

REFERAT

Epistaksis

Pembimbing:

dr. Ismi Cahyadi, Sp. THT-KL

Disusun oleh:
Zakiatun Nupus
120810059

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT THT-KL


RSUD WALED CIREBON
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

CIREBON

2021
ii

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

Epistaksis

disusun oleh

Zakiatun Nupus
120810059

Telah disetujui

Cirebon, Oktober 2021

Pembimbing

dr. Ismi Cahyadi, Sp. THT-KL


iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkah
dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Tujuan utama pembuatan
referat ini adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai “Epistaksis” serta
untuk melengkapi syarat dalam menempuh program pendidikan profesi dokter di
bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Saya mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing dr. Ismi Cahyadi, Sp.
THT-KL selaku konsulen Ilmu THT-KL yang telah memberikan bimbingan
dalam proses penyelesaian referat ini juga untuk dukungannya baik dalam
mencari referensi yang lebih baik.Selain itu penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada teman-teman yang berada dalam satu kelompok kepaniteraan yang
sama atas dukungan dan bantuan selama menjalani kepaniteraan ini.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Referat ini masih jauh
dari kata sempurna, oleh karenanya kritik dan saran sangat penulis harapkan demi
perbaikan referat yang akan datang.

Cirebon, Oktober 2021

Penulis
iv

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................1
1.2. Tujuan..........................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1. Anatomi Hidung...........................................................................................3
2.1.1.Anatomi Hidung Luar........................................................................3
2.1.2.Anatomi Hidung Dalam.....................................................................4
2.1.3.Vaskularisasi Rongga Hidung............................................................6
2.1.4.Inervasi Hidung..................................................................................8
2.2. Fisiologi Hidung...........................................................................................9
2.3. Epistaksis......................................................................................................9
2.3.1.Definisi...............................................................................................9
2.3.2.Etiologi...............................................................................................9
2.3.3.Patofisiologi.....................................................................................18
2.3.4.Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik...................................................20
2.3.5.Pemeriksaan Fisik............................................................................21
2.3.6.Penatalaksanaan...............................................................................24
2.3.7.Komplikasi.......................................................................................34
2.3.8.Pencegahan.......................................................................................34
2.3.9.Prognosis..........................................................................................35
BAB III PENUTUP..............................................................................................36
Kesimpulan........................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................38
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Epistaksis berasal dari bahasa Yunani yang berarti perdarahan hidung.
Epistaksis merupakan masalah klinis yang sering dihadapi dan merupakan
keadaan yang ringan tanpa masalah berarti, namun dapat pula merupakan
suatu keadaan gawat darurat serta berakibat fatal bila tidak segera ditangani .
(1)

Insiden epistaksis sekitar 108 per 100.000 penduduk per tahun. Di Inggris
didapatkan 10,2 per 100.000 pasien epistaksis dengan rata-rata masa rawatan
2,9 hari dalam 3 bulan dan di Amerika Serikat tercatat 17 per 100.000
penduduk ( 6%).1 Insiden tertinggi epistaksis dijumpai pada usia dibawah 10
tahun dan usia diatas 40 tahun. Epistaksis bagian anterior umumnya dijumpai
pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang
tua dengan perdarahan yang akut yang berat.Biasanya prevalensi kejadian
epistaksis pada anak <2 tahun yang datang ke instalasi gawat darurat terjadi
perdarahan hidung dan mulut karena trauma atau penyakit yang serius sangat
jarang. Pada anak usia 6-10 tahun, angka kejadian epistaksis meningkat
sampai 56% dan lebih sering terjadi pada anak laki-laki. (1,2)
Penyebab dari epistaksis terbagi ke dalam kelompok: faktor lokal dan
sistemik. Faktor lokal termasuk yang berikut: trauma, reaksi peradangan
lokal, benda asing, kelainan anatomi pasca bedah, tumor intranasal, inhalansia
kimia, sedangkan penyebab sistemik dari epistaksis termasuk yang berikut:
gangguan vaskular, khususnya telangiektasia haemorrhagic herediter
(HHT);kelainan darah, infeksi sistemik, kelainan hormonal dan obat-obatan
yang mempengaruhi mekanisme pembekuan darah. (1)
pistaksis yang timbul dari daerah septum anterior (epistaksis anterior)
lebih umum terjadi anak-anak dan dewasa muda dan perdarahan berasal dari
anastomosis pembuluh darah arteriol di septum nasi (Pleksus Kiesselbach).
Sekitar 5% episode epistaksis muncul dari bagian posterior dan superior dari
2

rongga hidung, dan sebagian besar episode epistaksis posterior timbul dari
arteri septum. Epistaksis posterior lebih sering terjadi pada pasien yang lebih
tua dibandingkan pada anak-anak. Faktor penyebab epistaksis posterior
adalah hipertensi, asam asetilsalisilat atau penggunaan obat anti-inflamasi
nonsteroid, episode epistaksis sebelumnya, konsumsi alkohol, dan
penggunaan antikoagulan. Namun, mayoritas terbanyak pada ini kasus adalah
idiopatik. (3)

1.2. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memahami mengenai anatomi
hidung, etiologi epistaksis, diagnosis serta penatalaksaan dengan tujuan untuk
meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang epistaksis.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung


2.1.1. Anatomi Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung bagian luar dan hidung bagian dalam.
Struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah
tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago
yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus
hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1) Pangkal hidung (bridge)
2) Batang hidung (dorsum nasi)
3) Puncak hidung (hip)
4) Ala nasi
5) Kolumela
6) Lubang hidung (nares anterior). (3)

HIP

Gambar 1. Anatomi Hidung Luar (3)


4

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari :
1) Tulang hidung (os nasal)
2) Prosesus frontalis os maksila dan
3) Prosesus nasalis os frontal
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga
sebagai kartilago ala mayor
3) tepi anterior kartilago septum. (4)

Gambar 2. Anatomi ostium dan condrium hidung luar(4)

2.1.2. Anatomi Hidung Dalam


Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior,
5

Dinding-dinding, dasar, dan atap

A. Dinding medial

Dinding medial tiap cavitas nasi adalah septum nasi yang


tipis dan dilapisi mucosa, yang berorientasi verticalis di dalam
bidang sagittalis median dan memisahkan cavitas nasi dextra dan
sinistra satu sama lain. (4)

Septum nasi terdiri dari: cartilago septi nasi di anterior; di


posterior, terutama vomer dan lamina perpendicularis tulang
ethmoidale sedikit kontribusi oleh tulang nasale di mana tulang
tersebut bertemu pada garis tengah, dan spina nasalis tulang
frontale; dan kontribusi dari crista nasalis tulang maxillaris dan
tulang palatinum, rostrum sphenoidale, dan crista incisiva
maxilla.(4)

Gambar 3. Dinding medial cavun nasi

B. Dasar
Dasar tiap cavitas nasi halus, cekung, dan lebih lebar
daripada atapnya. Dasarnya terdiri dari:
1. jaringan lunak nasus externus, dan
6

2. permukaan atas processus palatinus maxilla, dan lamina


horizontalis tulang palatinum, yang bersama-sama
membentuk palatum durum.

Nares membuka ke anterior ke dalam dasar cavitas nasi, dan


apertura superior canalis incisivus di profundus dari mucosa tepat di lateral
dari septum nasi di dekat palatum durum bagian depan.(4)

Gambar 4. Dasar Cavum nasal (4)


C. Atap
Atap cavitas nasi sempit dan tertinggi di dalam daerah
centralis di mana atapnya dibentuk oleh lamina cribrosa tulang
ethmoidale. Anterior dari lamina cribrosa, atap miring ke inferior
menuju nares dan dibentuk oleh(4):
1. spina nasalis tulang frontale dan tulang nasale, dan
2. processus lateralis cartilago septi nasi dan cartilago
alaris major nasus externus.
Di posterior, atap tiap cavitas nasi miring ke inferior
menuju choanae dan dibentuk oleh(4):
1. permukaan anterior tulang sphenoidale,
7

2. ala vomeris dan processus sphenoidalis tulang


palatinum yang berdekatan, dan processus vaginalis
lamina medialis processus pterygoidei.

Mendasari mucosa, atap cavitas nasi berlubang-


lubang di superior oleh celah-celah dalam lamina cribrosa,
dan anterior dari celah-celah tersebut oleh suatu foramen
pemisah untuk nervus ethmoidalis anterior dan vasa
ethmoidalis anterior. (4)

Celah di antara sinus sphenoidalis dan recessus


sphenoeth-moidalis berada di dalam kemiringan posterior
atap cavitas nasi. (4)

Konka Inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os


maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan
suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. (5)

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga


sempit yang disebut meatus. Ada 3 meatus yaitu meatus inferior, medius,
dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan
dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak
diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
medius terdapat muara dari sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid
anterior. Meatus superior terletak diantara konka superior dan konka
media. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid.(5)
8

Gambar 3. Anatomi kartilago dan ostium kavum nasi (5)


Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh
os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat
sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribiformis merupakan lempeng
tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius.
Pada bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid. (5)

Gambar 4. Anatomi Hidung Dalam (5)

2.1.3. Vaskularisasi Rongga Hidung


Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis
eksterna dan karotis interna. Arteri optalmika, yang merupakan cabang
9

dari arteri karotis interna, bercabang dua menjadi arteri ethmoidalis


anterior dan posterior. Cabang anterior lebih besar dibanding cabang
posterior dan pada bagian medial akan melintasi atap rongga hidung,
untuk mendarahi bagian superior dari septum nasi dan dinding lateral
hidung. Arteri karotis eksterna bercabang menjadi arteri fasialis dan
arteri maksilaris interna. Arteri fasialis memperdarahi bagian anterior
hidung melalui arteri labialis superior. (5)
Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi
arteri sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor.
Arteri sfenopalatina memasuki rongga hidung pada bagian posterior
konka media, memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral
hidung. (5)
Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina,
palatina mayor, ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari
arteri fasialis), membentuk plexus Kiesselbach atau Little’s area. (5)

Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari konka media
terdapat plexus Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri
sfenopalatina, nasalis posterior dan faringeal asendens. (5)
Epistaksis anterior sering mengenai daerah plexus Kiesselbach.
Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama
pada anak. (1,5)

Epistaksis anterior lebih mudah terlihat sumber perdarahannya


sehingga mudah diatasi dibandingkan epistaksis posterior. Batas yang
membagi antara epistaksis anterior dan epistaksis posterior adalah ostium
sinus maksilaris. (1,5)
10

Gambar 4. Vaskularisasi Hidung (5)

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan


berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi
hingga ke intrakranial. (5)

2.1.4. Inervasi Hidung


Pada persarafan yang terlibat langsung adalah saraf kranial pertama
yaitun.olfaktorius yang turun melalui lamina kribosa dan permukaan
bawah bulbusolfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu.
Divisi oftalmikus dan maksilaris dari n.trigeminus berfungsi untuk
impuls sensorik lainnya, n.fasialis untuk gerakan otot-otot pernafasan
pada hidung luar, dan sistem saraf otonom. (6)

Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga


memberikan persarafan vasomotor untuk mukosa hidung, menerima sera
but-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus
superfisialis mayor danserabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion ini terletak di belakang dan sedikit di
ujung posterior konka media. (7)
11

Gambar 5. Persyarafan Hidung (5)


12

2.2. Fisiologi Hidung


Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional,
maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi
respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya
mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung
stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara,
membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui
konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan
beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks
nasal. (6)

2.3. Epistaksis
2.3.1. Definisi
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu
kelainan yang hampir 90% dapat berhenti sendiri. Epistaksis merupakan
perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung. Epistaksis dapat
terjadi pada segala umur, dengan puncaknya terjadi pada anak-anak dan
orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada pelanan kesehatan primer
dan kecil kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit atau ke spesialis
THT. Walaupun kebanyakan kasus yang terjadi ringan dan bersifat self-
limiting, ada beberapa kasus yang berat dan mengakibatkan morbiditas
dan mortalitas yang serius. Penting sekali mencari asal perdarahan dan
menghentikannya, di samping perlu juga menemukan dan mengobati
penyebab yang mendasarinya. (1,8)

2.3.2. Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam
selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari
pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach
terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan
mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis
dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan
sistemik. (8)
13
14

1) Lokal

a) Trauma

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya


mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus
terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti
kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering
mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di
mukosa bagian septum anterior. Selain itu epistaksis juga bisa
terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan. (9)

Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang


tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada
mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami
pembengkakan. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami
deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang
cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang
keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma
digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana
mukosa septum dan kemudian perdarahan. (9)

Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma


local, misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang
menyebakan trauma pada mukosa hidung. (9) Beberapa benda asing
tersangkut di hidung seperti makanan, mainan kecil, manik-manik,
serangga, cacing atau potongan tulang dan tulang rawan yang
patah, kepala sikat gigi, kail ikan, gagang pintu, kait dan mata
logam, pegas payung, koin (3)

Benda asing yang hidup contohnya adalah Myiasis, umum


terjadi di iklim tropis yang hangat contohnya di Amerika Serikat,
India. Myiasis pada hidung terkait dengan kebersihan penduduk
yang buruk. Yang paling umum terjadi adalah belatung lalat.
Cacing sekrup, juga dikenal sebagai cacing sekrup Texas (larva
Cochliomya macellaria dan Cochliomyia homnivorax). Larva
tumbuh subur di jaringan mati. Larva dewasa berukuran panjang
15

dua pertiga inci dan diameter seperdelapan inci dan memiliki


penampilan yang khas seperti sekrup karena sekitar 12 cincin duri
yang mengelilingi tubuh. Larva masuk ke dalam liang jaringan
hidup dan pada tahap perkembangan larva inilah ia merusak lapisan
mukosa hidung. Larva lalat lain seperti aestrous, hypoderma, dan
dermatobia juga menyerang rongga hidung. Wohlfahrtia magnifica
juga bisa menempati hidung. Keadaan ini lebih sering terjadi pada
pasien yang menderita sifilis hidung. Ascaris lumbricoides adalah
spesies nematoda atau roundworm dan akan menemukan tempat
tinggal di hidung ketika dimuntahkan atau dibatukkan. (10)

Gambar 6. Epistaksis(11)
b) Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal
seperti rhinitis atau sinusitis. (12)

Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak


mukosa. Inflamasi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah setempat sehingga memudahkan terjadinya
perdarahan di hidung. (11,12)

c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit
dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang
bernoda darah, Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan
epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang
abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang baru
16

(neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga memudahkan


terjadinya perdarahan. (9,13)

Gambar 7. Epistaksis pada neoplasma (9)


d) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah
perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic
telangiectasia/Osler's disease). Juga sering terjadi pada Von
Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary
adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran
kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudah kan terjadinya
perdarahan. (12)

Gambar 8. Osler’s Disease (13)


Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan
akan menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada dinding
pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti
17

saat terpotong. Atau dapat rusak di bagian dalam tubuh sehingga


terjadi memar atau perdarahan dalam. (9,13)

Jika pembuluh darah terluka, ada empat tahap untuk membentuk


bekuan darah yang normal. (9)

Gambar-9a. Pembekuan darah Gambar-9b. Pembekuan darah


normal(6) tidak normal(6)

Tahap 1 Pembuluh darah terluka dan mulai mengalami perdarahan.


Tahap 2 Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat aliran
darah ke daerah yang luka.
Tahap 3 Trombosit melekat dan menyebar pada dinding pembuluh
darah yang rusak. Ini disebut adesi trombosit. Trombosit yang
menyebar melepaskan zat yang mengaktifkan trombosit lain
didekatnya sehingga akan menggumpal membentuk sumbat
trombosit pada tempat yang terluka. Ini disebut agregasi
trombosit.
Tahap 4 Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi permukaan
tempat terjadinya bekuan darah. Protein pembekuan darah
yang beredar dalam darah diaktifkan pada permukaan
trombosit membentuk jaringan bekuan fibrin.
Protein ini (Faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X, XI, XII dan XIII dan
Faktor Von Willebrand) bekerja seperti kartu domino, dalam reaksi
berantai. Ini disebut cascade. (7,9)
18

   
Gambar cascade koagulasi Gambar. cascade koagulasi
normal hemophilia
VWD dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses
pembekuan darah.
1. Pada tahap ke 3, seseorang dapat berkemungkinan tidak
memiliki cukup Faktor Von Willebrand (VWF) di dalam
darahnya atau faktor tersebut tidak berfungsi secara normal.
Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk
menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh darah yang
mengalami kerusakan. Trombosit tidak dapat melapisi dinding
pembuluh darah.
2. Pada tahap ke 4, VWF membawa Faktor VIII. Faktor VIII
adalah salah satu protein yang dibutuhkan untuk membentuk
jaringan yang kuat. Tanpa adanya faktor VIII dalam dalam
jumlah yang normal maka proses pembekuan darah akan
memakan waktu yang lebih lama. Akibatnya VWF tidak dapat
bertindak sebagai perekat untuk menyangga trombosit di sekitar
daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan. (7)

e) Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi
mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat
musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal
selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif
yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh
darah gampang pecah. (6,8)

f) Deviasi septum
19

Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan


posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial
tubuh. Selain itu dapat menyebabkan turbulensi udara yang dapat
menyebabkan terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami
ruptur bahkan oleh trauma yang sangat ringan seperti mengosok-
gosok hidung. (12)

2) Sistemik
a) Kelainan darah

Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis


adalah trombositopenia, hemofilia dan leukemia.

Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak


berinti dan dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk
pembekuan darah bila terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh
darah yang rusak akan melepaskan serotonin dan tromboksan A₂
(prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos dinding pembuluh
darah berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi darah yang
hilang. Kemudian trombosit membengkak, menjadi lengket, dan
menempel pada serabut kolagen dinding pembuluh darah yang
rusak dan membentuk plug trombosit. Trombosit juga akan
melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain, sehingga
mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat plug.
Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang
dari 150.000/ µl. Trombositopenia akan memperlama waktu
koagulasi dan memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam
pembuluh darah kecil di seluruh tubuh sehingga dapat terjadi
epistaksis pada keadaan trombositopenia. (14)

Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang


diturunkan secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur
intrinsik mekanisme hemostasis herediter, dimana terjadi defisiensi
atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX
(hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak dapat
membeku dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan
20

darah berjalan amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya


epistaksis. (14)

Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel


darah putih yang diproduksi oleh .sumsum tulang (bone marrow).
Sumsum tulang atau bone marrow ini dalam tubuh manusia
memproduksi tiga tipe sel darah diantaranya sel darah putih
(berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah
merah (berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit
(bagian kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah).
Pada Leukemia terjadi peningkatan pembentukan sel leukosit
sehingga menyebabkan penekanan atau gangguan pembentukan sel-
sel darah yang lain di sumsum tulang termasuk trombosit. Sehingga
terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan perdarahan
(14)
mudah terjadi. Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin
dan fenilbutazon dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang.
Aspirin mempunyai efek antiplatelet yaitu dengan menginhibisi
produksi tromboksan, yang pada keadaan normal akan mengikat
molekul-molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada
dinding pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan
peoses pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat terjadi
perdarahan. Oleh karena itu,aspirin dapat menyebabkan epistaksis.

b) Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada
aterosklerosis, sirosis hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan
epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering
kambuh dan prognosisnya tidak baik. (12,13)

1. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih
dari 140 mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg.
Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena
kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit
hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus
21

menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah


yang tipis. (9)

2. Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika
terjadi keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak
bisa mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan rupture
dari pembuluh darah. (14)
3. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein
yang berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk
fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K.
Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein dan vitamin
yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga
mudah terjadinya perdarahan. Sehingga epistaksis bisa terjadi
pada penderita sirosis hepatis. (11)
4. Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan
mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang
tinggi dapat menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah
mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah
lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga
menyebabkan basal membran semakin menebal dan lemah.
Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah
sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat
terjadi pada pasien diabetes mellitus. (11)

c) Infeksi akut
Demam berdarah
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks
antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem
koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua
22

faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi


trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP
(adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain.
Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES
(reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia.
Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID =
koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan
FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan
faktor pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada
kasus demam berdarah. (14)

d) Gangguan hormonal

Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron


yang tinggi di pembuluh darah yang menuju ke semua membran
mukosa di tubuh termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa
bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis. (14)

e) Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal
sehingga menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah.
Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain
itu hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intravascular yang
dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat
terjadi epistaksis. (14)

2.3.3. Patofisiologi
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-
kadang sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber
perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior. (9)

Beberapa benda asing tidak bergerak dan mungkin tetap berada di


hidung selama bertahun-tahun tanpa perubahan mukosa. Namun,
sebagian besar benda mati memicu penyumbatan dan pembengkakan
mukosa hidung, dengan kemungkinan nekrosis menyebabkan ulserasi,
23

erosi mukosa, dan epistaksis. Sekresi yang tertahan, benda asing yang
membusuk. Perubahan ini selanjutnya berdampak pada benda asing
karena di sekitarnya edema, granulasi, dan pelepasan. Hal ini terutama
terlihat pada benda asing nabati yang tidak hanya menyerap air dari
jaringan dan membengkak tetapi juga menimbulkan reaksi inflamasi yang
sangat cepat. Kadang-kadang reaksi inflamasi cukup untuk menghasilkan
toksemia. Benda asing dapat bertindak sebagai nukleus untuk konkresi
jika dibenturkan dengan kuat atau terkubur dalam jaringan granulasi
dengan menerima lapisan kalsium, magnesium fosfat, dan karbonat dan
dengan demikian menjadi rhinolith. Kadang-kadang proses ini dapat
terjadi di sekitar area yang diinspirasikan mukopus, atau bahkan bekuan
darah, biasanya terbentuk di dekat dasar hidung dan bersifat radio-
opaque. Tombol baterai dapat menyebabkan kerusakan parah pada
septum hidung, baterai terdiri dari berbagai jenis logam berat: merkuri,
seng, perak, nikel, kadmium, dan litium. Pembebasan zat ini
menyebabkan berbagai jenis lesi tergantung pada lokalisasi, dengan
reaksi jaringan lokal yang intens dan nekrosis likuifaksi. Akibatnya dapat
menyebabkan perforasi septum, sinekia, penyempitan, dan stenosis
rongga hidung. Belatung dan cacing sekrup di hidung memicu berbagai
tingkat reaksi inflamasi dari infeksi lokal ringan hingga kerusakan
maksimum tulang hidung (kartilago dan tulang) dengan pembentukan
luka bernanah yang dalam dan berbau busuk. (10)

Pada epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach,


merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat
juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti
sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana. (8)
24

Gambar 10. Epistaksis anterior(8)


Pada epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri
ethmoid posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang
berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi
dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular. (8,9)

Gambar 11. Epistaksis posterior (8)


2.3.4. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis

Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan


dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat
awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak
mengeluarkan darah. (9) Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik
mengenai beratnya perdarahan, frekuensi, lamanya perdarahan, dan
(8,9)
riwayat perdarahan hidung sebelumnya. Kebanyakan kasus
epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek
hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat
(11)
pengeringan mukosa hidung berlebihan. Perlu ditanyakan juga
mengenai kelainan pada kepala dan leher yang berkaitan dengan gejala-
gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu, ditanyakan juga megenai
25

kondisi kesehatan pasien secara umum yang berkaitan dengan perdarahan


misalnya riwayat darah tinggi, arteriosclerosis, koagulopati, riwayat
perdarahan yang memanjang setelah dilakukan operasi kecil, riwayat
penggunaan obat-obatan seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin,
heparin, ticlodipin, serta kebiasaan merokok dan minum-minuman keras.
(11,12)

Pada kasus benda asing di hidung didapatkan nasal discharge


mukopurulen unilateral dengan bau busuk adalah temuan yang paling
konsisten pada pasien dengan benda asing di hidung. Kadang-kadang bisa
berlumuran darah. Benda asing hidung umumnya tidak menimbulkan rasa
sakit, bahkan beberapa benda asing terdapat di rongga hidung selama
bertahun-tahun tanpa timbul gejala. Nyeri dan sakit kepala dialami di sisi
yang terlibat dengan epistaksis intermiten dan bersin dapat timbul tetapi
jarang terjadi. Pada pasien dengan benda asing hidung yang hidup,
gejalanya cenderung bilateral yaitu hidung tersumbat, sakit kepala, dan
bersin dengan sekret serosanguin. Dapat terjadi pula peningkatan suhu
tubuh.(3)

2.3.5. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan rongga hidung pada kasus benda asing didapatkan
kerusakan luas pada sekitar mukosa membran, tulang, dan kartilago dan
mukosa yang rapuh serta mudah berdarah. Gerakan yang konstan dan
massa cacing yang berbeda dapat diamati, cacing ini melekat kuat dan
sulit diekstraksi. Karena infeksi sekunder dan kerusakan tulang,
komplikasi tidak jarang terjadi. Setiap pasien yang datang dengan sekret
hidung unilateral harus curiga adanya benda asing dari hidung dan pada
anak-anak hal ini harus dipertimbangkan sampai adanya bukti penyebab
lain. Pemeriksaan fisik hidung dapat dilakukan pemeriksaan rinoskopi
anterior dan penggunaan nasofaringoskop fibreoptik atau rigid endoskopi
0 derajat sering terlihat benda asing. Namun terkadang tertutupi karena
adanya edema atau granulasi mukosa, dalam kasus seperti itu hidung
harus disemprot dengan agen vasokonstriktor untuk mengecilkan mukosa
sebelum pemeriksaan ulang. Seringkali benda asing menjadi jelas dengan
manuver ini. Pada pasien anak-anak perlu dilakukan pemeriksaan dengan
26

anestesi umum. Pada pasien dengan parasit dan larva pada hidung,
diagnosis relatif mudah karena organisme divisualisasikan secara
langsung. Beberapa lesi unilateral yang ditemukan pada anak-anak dan
orang dewasa dapat menyebabkan obstruksi pada sisi yang terkena.
Gambaran lesi tersebut mencakup tumor jinak dan ganas pada rongga
hidung, sinusitis unilateral, atresia choanal unilateral, polip hidung
unilateral, hematoma septum, dan infeksi seperti sifilis dan difteri.
Sementara beberapa benda asing tetap berada di rongga hidung tanpa
menyebabkan kerusakan. Hal ini biasanya terlihat pada benda asing
organik karena cenderung menyerap air dari jaringan sekitarnya dan
membengkak. Benda asing ini cenderung berubah menjadi benda keras
karena penumpukan mineral di atasnya dengan demikian menyebabkan
lebih banyak kerusakan. Pada baterai, kerusakan jaringan terjadi karena
kebocoran langsung menyebabkan kerusakan korosif. Cairan jaringan
menghasilkan arus antara anoda baterai dan katoda yang mengakibatkan
korosi. Magnet yang dipasangkan juga menghasilkan arus dengan hasil
yang serupa. yang dapat berakhir dengan perforasi septum dalam waktu 4
jam.(3)
Pada pemeriksaan fisik, epistaksis seringkali sulit dibedakan dengan
hemoptysis atau hematemesis untuk pemeriksaan yang adekuat pasien
harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan
pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau
mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan
dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik
cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan
semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan
faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan,
dimasukkan Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu
kepala, spekulum hidung dan alat penghisap (bila ada) dan pinset
bayonet, kapas, kain kasa. (11)
Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan
larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2%
yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk
menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah
27

sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai


15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. (12,13)
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari
hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda
dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya
adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
a. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan Rinoskopi Anterior dilakukan dengan cara : Pasien duduk
menghadap pemeriksa. Spekulum hidung dipegang dengan tangan kiri, arah
horizontal, dengan jari telunjuk ditempelkan pada dorsum nasi. Tangan
kanan untuk mengatur posisi kepala. Spekulum dimasukkan ke dalam rongga
hidung dalam posisi tertutup, dan dikeluarkan dalam posisi sedikit terbuka.
Saat pemeriksaan diperhatikan keadaan :
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke
posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral
hidung dan konkhainferior harus diperiksa dengan cermat. (12)

Gambar 12. Rhinoskopi Anterior(11)


b. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada
pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk
menyingkirkan neoplasma.
c. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi,
karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering
berulang.
28

d. Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI


Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma
atau infeksi.

Gambar 13. Gambaran sagital MR pada solitary fibrous tumor dengan masa
tumor dan epistaksis dan Gambaran angiogram angiofibroma
juvenil dengan obstruksi hidung dan epistaksis

e. Endoskopi
Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan
penyakit lainnya.
f. Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu
tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.

2.3.6. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah menghentikan perdarahan, memastikan
hemodinamik baik, dan mencegah komplikasi. Dilaporkan penanganan
epistaksis berupa non–bedah (80-90%). Setiap pasien epistaksis di bagian
gawat darurat harus diperiksa menyeluruh, patensi saluran pernapasan,
pernapasan, dan sirkulasi, tanda - tanda vital harus stabil. Perbaiki
keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali
bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok. (13,14)
Pada kasus sebagian besar benda asing mati jika divisualisasikan
dengan baik, dapat dilepas dengan mudah melalui nares anterior dengan
penggunaan forsep menangkup, hemostat, kateter tuba eustachius
metalik, dan suction. Ini dapat dilakukan tanpa anestesi atau setelah
29

penyemprotan dengan larutan anestesi yang bekerja secara topikal seperti


4% lignokain (lidokain). Pengangkatan benda asing berbentuk bulat
mungkin merupakan tugas yang berat karena kesulitan dalam
menggenggam benda asing berbentuk ini. Pengait melengkung paling
cocok untuk benda ini. Pengait pertama kali dilewatkan di belakang
benda, ujungnya diputar untuk beristirahat tepat di belakangnya, dan
kemudian benda asing tersebut secara bertahap ditarik ke depan dan
keluar melalui hidung. Endoskopi hidung dapat membantu dalam
visualisasi benda asing saat ada di rongga hidung posterior. Selain itu,
beberapa metode suction telah dapat membantu dalam menghilangkan
benda asing bulat. Benda plastik dan bahan nabati mungkin sulit untuk
dikeluarkan karena kecenderungan mereka untuk terpecah menjadi
potongan-potongan kecil. Benda asing bisa masuk mencapai nasofaring
dapat menyebabkan gangguan pernafasan. Jika pasien bisa bekerja sama
atau koperatif, pasien bisa diinstruksikan untuk mengambil napas dalam-
dalam melalui mulut lalu buang napas dengan melalui hidung. Dokter
harus menutup lubang hidung yang tidak terdapat benda asing selama ini
prosedur. Metode tambahan yang lain dapat menggunakan kateter Foley
atau Fogarty kateter bilier untuk menghilangkan benda asing. Setelah
dipastikan bahwa balon utuh, kateter dimasukkan ke hidung di belakang
benda asing. Balon kemudian digelembungkan dengan 0,5 mililiter air.
Kateter ditarik kembali melalui hidung, menarik benda asing. Dalam
kasus yang jarang terjadi, satu-satunya metode yang berhasil
menghilangkan benda asing adalah dengan mendorong objek ke posterior
ke dalam faring. Dalam kasus ini, anestesi umum diperlukan dan intubasi
endotrakeal dilakukan untuk melindungi jalan napas. Selain itu,
epistaksis, yang sering menyertai pengangkatan benda asing, harus
ditangani dengan tepat. Dalam kasus cacing sekrup, larva, dan belatung,
larutan lemah kloroform 25% atau minyak terpentin ditanamkan ke dalam
rongga hidung untuk membunuh larva. Ini mungkin harus diulangi dua
atau tiga kali seminggu selama sekitar 6 minggu sampai semua larva
mati. Setelah setiap perawatan, pengangkatan dapat dilakukan dengan
mengeluarkan udara melalui hidung jika pasien dalam keadaan sadar dan
dengan suction, irigasi, forsep, atau kuretase jika pasien tertidur. Pada
30

Ascaris lumbricoides, ekstraksi manual atau forsep digunakan, sehingga


menghindari cacing ini mati sebelum dikeluarkan. Cacing gelang yang
berada di hidung merupakan manifestasi infeksi di usus yang harus
diterapi agar mencegah penyumbatan hidung lebih lanjut. Levamisol atau
mebendazol oral dapat digunakan untuk ini. Setelah berhasil mengangkat
benda asing, pemeriksaan rongga hidung harus dilakukan untuk
mengevaluasi apakah terdapat benda asing lain. Perhatian khusus harus
diberikan pada pemeriksaan telinga dan sinus di sisi yang terkena, karena
otitis media akut atau sinusitis biasanya terlihat jika benda asing telah ada
dalam waktu yang lama. Selain itu, epistaksis, yang sering menyertai
pengangkatan benda asing, harus ditangani dengan tepat. (15)
Berikut penanganan epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,
memastikan hemodinamik baik, dan mencegah komplikasi
1. Menghentikan perdarahan
a. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan,
perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan
kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah
septum selama beberapa menit (metode Trotter). (16,17)

‘;

Gambar 14. Metode Trotter(16)


b. Posisi pasien duduk dengan fleksi kepala ke depan, tekanan
darah dikontrol. Dilakukan pemeriksaan hidung untuk
menentukan lokasi perdarahan, dengan pemeriksaan
rhinoskopi anterior menggunakan spekulum hidung, lampu
kepala dengan cahaya yang baik, hidung diperiksa. Kavum
nasi dibersihkan, darah dan bekuan darah dihisap dengan
penghisap dengan ujung penghisap yang khusus, sehingga
31

visualisai rongga hidung maksimal. Untuk rhinoskopi


posterior dengan spatel lidah diletakkan di tengah lidah,
dengan kaca diletakkan di ruangan antara palatum mole
dengan dinding faring belakang untuk memeriksa koana,
konka superior bagian belakang, Endoskop hidung memakai
endoskop kaku 1,7 mm 30 derajat sumber cahaya yang baik,
kamera, monitor untuk mengevaluasi kasus, dan mendeteksi
sisi yang sakit, berat ringannya pedarahan sehingga dapat
dilakukan penatalaksaan epistaksis dengan tepat. (16,17)
c. Selanjutnya, kompresi hidung dan menutup lubang hidung
yang bermasalah dengan kasa atau kapas yang telah direndam
pada dekongestan topikal terlebih dahulu. Penekanan
langsung sebaiknya dilakukan terus-menerus setidaknya 5
menit atau sampai 20 menit. Miringkan kepala ke depan agar
mencegah darah mengalir ke bagian posterior faring, hal ini
untuk mencegah rasa mual dan obstruksi jalan nafas. (16,17)
d. Pedoman lain menjelaskan diberikan tampon kapas yang telah
dibasahi dengan adrenalin 1:10.000 dan lidokain atau
pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga
hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa
sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan
selama 3 – 5 menit. Dengan cara ini dapat ditentukan apakah
sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau
posterior(16,17)
32

Gambar 15. Tampon Anterior (16)

e. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat


dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras
argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan
elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal
terlebih dahulu. (17)
f. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus
berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior
dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang
dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai
tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita
dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai
dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang
dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat
dipertahankan selama 1-2 hari. (16)

Gambar16. kauterisasi sumber perdarahan(16)

g. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon


posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan
ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah
33

benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang
lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior)

Gambar 17. Diagram penangan epistaksis(16)


34

Epistaksis yang tidak hilang dengan penekanan dan pemberian topical


vasokonstriktor membutuhkan tindakan kauterisasi. Setelah
mempersiapkan hidung untuk di anastesi dan pemberian dekongestan,
kauterisasi kimia (chemical cautery) dengan mengunakan silver nitrate
dapat dikerjakan menggunakan larutan perak nitrat 20 – 30% atau dengan
asam triklorasetat 10%. Hanya satu sisi septum yang dikauterisasi pada
satu waktu agar menurunkan resiko perforasi septum iatrogenik.
Kauterisasi kimia dapat dilakukan pada epistaksis dengan perdarahan
ringan aktif atau setelah perdarahan aktif yang telah berhenti dan sumber
perdarahan telah teridentifikasi. Apabila harus dilakukan kauterisasi
bilateral, penanganannya harus di lakukan terpisah 4-6 minggu agar
terjadi penyembuhan mukosa terlebih dahulu. Epistaksis berat yang tidak
berespon dengan kauterisasi kimia memerluka kauterisasi elektrikal. (13,14)
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan
menggunakan tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi
lidokain 4% topikal dengan epinefrin 1:100.000 atau kombinasi lidokain
4% topikal dan penilefrin 0,5 %. Tampon ini dimasukkan dalam rongga
hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek
anestesi lokal dan vasokonstriksi. (17)
Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan
tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat
terjadinya nekrosis superfisial. Apabila perdarahan masih berlanjut
walaupun setelah dilakukan tindakan diatas, diperlukan pemasangan
anterior nasal pack / tampon hidung anterior. Produk packing tradisional
mengandung materi yang non-degradasi seperti kasa yang dilapisi jeli
petroleum, spons yang terbuat dari hydroxylated polyvinyl acetate yang
akan mengembang apabila basah (Merocel, Medtronic), dan inflatable
pack dilapisi hydrocolloid yang masih kontak dengan mukosa setelah
bagian tengah pack yang telah mengempis dan dibuang (Rapid Rhino,
ArthroCare). Tampon-tampon ini dipakai selama 1-3 hari sebelum
dilepas. (18)
35

Gambar 18. Anterior Nasal Packing / Tampon Hidung Anterior(17)


Pemansangan anterior nasal packing atau tampon hidung anterior
harus dilakukan dengan hati-hati dan dengan teknik khusus. Forceps
bayonet dan spekulum nasal digunakan untuk melipat lembaran kasa
sedalam mungkin pada kavum nasi. Setiap lipatan harus di tekan sebelum
lembaran baru tambahkan diatasnya. Setalah cavun nasi tersisi dengan
kasa, ujung kasa dapat ditempelkan diatas lubang hidung dan di ganti
berkala. (17)
Selain mengunakan kasa untuk anterior nasal packing, dapat juga di
gunakan spons (Merocel atau Doyle Sponge). Tampon dimasukan dengan
hati-hati pada dasar cavum nasi karena akan mengembang apabila terkena
darah atau cairan lain. Pemberian jel lubrikan pada ujung tampon
mempermudah pemasangan. Setelah tampon terpasang, tetesi tampon
dengan sedikit cairan vasokonstriktor untuk mempercepat perhentian
perdarahan. Tetesi saline kedalam lubang hidung agar tampon dapat
mengembang sempurna. Tampon dapat dilepas setelah 3-5 hari terpasang
dengan memastikan telah terjadi formasi pembekuan darah yang adekuat.
Komplikasi dari pemasangan nasal packing ini adalah hematoma
septum dan abses dari trauma packing, sinusitis, singkop neurogenic
selama pemasangan, dan nekrosis jaringan karena penekanan dari tampon
itu sendiri. Karena adanya kemungkinan terjadi sindrom syok toksik pada
pemasangan tampon yang lama, pemberian salep antibiotik topikal pada
tampon diperlukan. (17)
Epistaksis posterior jarang terjadi dibandingkan epistaksis anterior dan
biasanya ditangani oleh dokter spesialis. Posterior nasal packing atau
36

tampon posterior dilakukan dengan memasukkan kateter melalui salah


satu lubang hidung atau keduanya ke nasofaring dan keluar melalui
mulut. Tampon kasa di kaitkan diujung kateter lalu ditempatkan di
nasofaring posterior, lalu kateter ditarik dari hidung sehingga tampon
kasa dapat berada di belakang koana dan menutupi aliran rogga hidung
posterior serta memberikan efek penekanan pada sumber perdarahan.
Prosedur ini memerlukan keterampilan khusus dan biasanya dilakukan
oleh dokter spesialis. Semua pasien dengan tampon posterior ini harus
dilakukan monitoring di rumah sakit. (17,18)

Gambar 19. Posterior nasal packing atau tampon hidung


posterior(18)
Beragam sistem balon efektif dalam menangani perdarah posterior dan
menimbulkan komplikasi yang lebih sedikit di bandingkan dengan
prosedur packing. Konsepnya tetap sama, dengan memasukkan udara
atau cairan kedalam balon, balon akan mengembang dan memberikan
penekanan pada dinding lateral hidung dan septum. Tipe terbaru dari
balon nasal adalah double balloon, gabungan dari balon dan Merocel
yang mempunyai kemampuan untuk tetap berada di tempatnya setelah
balon mengempis dan dilepas. Beberapa balon nasal dapat memberikan
37

jalur pernafasan melalui lubang yang ada di tengahnya. Sama seperti


anterior nasal packing, nekrosis jaringan dapat terjadi pada pemasangan
posterior nasal packing yang salah maupun pada pemasangan balon yang
dikembangkan berlebihan. (18,19)

Gambar 20. Double Balloon terpasang Gambar 21. Perbandingan Double


Balloon sebelum dan sesudah di
kembangkan

Ketika tindakan konservatif gagal untuk menghentikan perdarahan,


embolisasi atau ligasi pembuluh darah diperlukan. Ahli radiologi
intervensi dapat melakukan embolisasi pada cabang distal dari arteri
maxillaris interna dan arteri sphenopalatina untuk epistaksis posterior.
Resiko terjadinya komplikasi mayor seperti stroke, paralisis wajah,
kebutaan, atau neuropati berhubungan dengan administrasi material
kontras adalah sebesar 4%. Komplikasi minor seperti hematoma terjadi
10% dari kasus. Sedangkan angka kesuksesan dari kebanyakkan kasus
adalah 80-90%.(16,17)
Berdasarkan beberapa laporan kasus dan ulasan literatur, tingkat
kesuksesan ligasi arteri sphenopalatina adalah sama atau lebih tinggi
dibandingkan tindakan embolisasi. Ligasi dapat dilakukan 30-60 menit
dengan mengunakan teknik endoskopik modern. Ligasi endoskopik arteri
sphenopalatina dapat mencegah terjadiya resiko-resiko diatas tetapi
membutuhkan anastesi umum. (17)
Epistaksis anterior yang gagal pada kausterisasi ataupun packing
jarang terjadi, tetapi intervensi bedah terkadang dibutuhkan. Embolisasi
pada arteri etmoidalis anterior dan posterior jarang dilakukan karena
38

adanya resiko kanulasi dari arteri karotis interna yangmana meningkatkan


resiko terjadinya stroke, atau pada arteri ophtalmika yangmana
meningkatkan resiko terjadinya kebutaan. Kebanyakan otolaringologis
melakukan ligasi eksternal dari arteri ethmoidalis anterior dan posterior
melalui insisi kecil di medial alis mata dan melakukan kauter bipolar atau
mengklem pembuluh darah sebelum pembuluh darah tersebut keluar dari
foramen etmoidalis anterior dan posterior. Dengan begitu resiko stroke
dan kebutaan dapat di minimalisir. (18)
Ketika epistaksis telah terkontrol, perawatan rutin mukosa hidung
penting untuk diperhatikan agar menghindari rekurensi. Pemberian gel
topical, lotion, dan salep dapat melembabkan mukosa dan mempercepat
penyembuhan.

2.3.7. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau
sebagai akibat dari penanganan yang kita lakukan. Akibat dari epistaksis
yang hebab dapat terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah yang
mendadak dapat menimbulkan iskemi cerebri, insufisiensi koroner dan
infarkmiocard, hal-hal inilah yang menyebabkan kematian. Bila terjadi
hal seperti ini maka penatalaksaan terhadap syok harus segera dilakukan.
(17,18)

Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena


ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena
darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan
septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis
media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila
benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik. (17,18)

2.3.8. Pencegahan

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya


epistaksis antara lain:
a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya
dapat dibeli, pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari.
Untuk membuat tetes larutan ini dapat mencampur 1 sendok teh garam
39

ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan


sampai hangat kuku.
b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud.
Jangan masukkan cotton bud melebihi 0,5 – 0,6 cm ke dalam hidung.
d. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
e. Bersin melalui mulut.
f. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
g. Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan
perdarahan seperti aspirin atau ibuprofen.
h. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat
alergi biasa.
i. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering
dan menyebabkan iritasi. (17,18)

2.3.9. Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri.
Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya
perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.
40

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang dapt berlangsung ringan
sampai seius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Pada
umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan
bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach
atau dari arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat
berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Pendarahan ini
dapat berhenti sendiri atau sampai harus segera diberi pertolongan. Pada kasus
yang berat, pertolongan harus dilakukan di rumah sakit dengan orang yang
yang berkompetensi pada bidang ini. Penentuan asal pendarahan pada kasus
epistaksis sangat penting karena berkaitan dengan cara penatalaksanaannya.
Untuk menghentikan pendarahan ini dapat dilakukan tampon anterior,
kauterisasi dan tampon posterior. Epistaksis dapat terjadi salah satunya karena
benda asing. Beberapa benda asing tersangkut di hidung seperti makanan,
mainan kecil, manik-manik, serangga, cacing atau potongan tulang dan tulang
rawan yang patah, kepala sikat gigi, kail ikan, gagang pintu, kait dan mata
logam, pegas payung, koin. Adapun benda asing yang hidup seperti Myiasis,
Larva, ataupun cacing

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memeriksa pasien dengan


epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan
tekanan darah, foto rontgen sinus atau dengan CT-Scan atau MRI, endoskopi,
skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat penyakit pasien. Tindakan-
tindakan yang dilakukan pada epistaksis adalah:
a. Memencet hidung
b. Pemasangan tampon anterior dan posterior
c. Kauterisasi
41

d. Ligasi (pengikatan pembuluh darah)


e. Embolisasi
Komplikasi pada pemasangan tampon anterior adalah sinusitis, air mata
berdarah dan sptikemia. Sedangakan komplikasi pada pemasangan tampon
posterior adalah otitis media, haemotympanum, laserasi palatum molle dan
sudut bibir. Apabila terjadi perdarahan aktif pada saat perdarahan pada saat
pemasangan tampon posterior maka dilakukan ligasi arteri.

Epsitaksis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan benda


keras ke dalam hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras,
bersin melalui mulut, menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan
perdarahan, dan terutam berhenti merokok.
42

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto, Damayanti dan Endang Mangunkusumo. Hidung dalam Buku Ajar


Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Edisi Ketujuh, Efiaty A,
Nurbaiti I (ed). Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2012: 96-100.
2. Hilger, Peter A, MD, George L Adams, Lawrence L Boies, MD. Hidung:
Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Buku Ajar Penyakit THT BOEIS edisi
6, Harjanto efendi, R.A Kuswidayati (ed). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 1994;173-85.
3. Reza K, Tabassum R, Islam S, Siddiqui A, Basunia M, Lodi R, Paul M, Islam
A. Large Foreign Body in Nose in Adult for a Long Time: A Rare Case. Delta
Medical College Journal 7.1 (2019): 49-52.
4. Soetjipto, Damayanti dan Retno S Wardani. Epistaksis dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Edisi Ketujuh, Efiaty A, Nurbaiti I
(ed). Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2012: 131-5.
5. S.Snell R. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC; 2015.
6. Guyton AC. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed. Jakarta: EGC; 2012.
7. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. 6th ed. Jakarta: EGC;
2014.
8. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online]
2009 feb 19 [cited 2013 September 03] Available from:
http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
9. Gilyoma, Japhet M dan Phillipo L Chalya. Etiological profile and treatment
outcome of epistaxis at a tertiary care hospital in Northwestern Tanzania: a
prospective review of 104 cases. Tanzania: BMC Ear, Nose and Throat. 2011;
10. Kalan A, Tariq M. Foreign bodies in the nasal cavities: a comprehensive
review of the aetiology, diagnostic pointers, and therapeutic measures. ENT
Departement, Hospital NHS Trust London. Postgrad Med J 2000;76:484–487
43

11. Viewhug, Tate L, dan Jhon B Roberson. Epistaxis : Diagnosis and Treatment.
USA: American Association of Oral and Maxillofacial Surgeons. 2006;511-8.
12. Shin, Edward J,MD dan Andrew H Murr,MD. Managing Epistaksis. USA:
Otolaryngology-Head & Neck Surgery, University of California San
Fransisco, California. 2000;1-5.
13. Bertrand, B, ET AL. Guidelines to The Management of Epistaxis. Brussels:
ENT and HNS Departement, Catholic University of Louvain. 2005; 27-43.
14. Elsie K, Vincent I, Nolan J. Epistaksis,Vaskular Anatomy, Origins and
Endovaskular Treatment, 1999. In : http://www.ajonline.org/cgi/contents.html
15. Patil, Pavan M.; Anand, Rajeev. Nasal Foreign Bodies: A Review Of
Management Strategies And A Clinical Scenario Presentation.
Craniomaxillofacial Trauma & Reconstruction, 2011, 4.1: 53-58
16. Nguyen Q. Epistaxis, 2005. In : http://www.emedicine.com/ent/NASAL_
AND_ SINUS_ DISEASES.html
17. Nuty WN, Endang M. Epistaksis. In: Soepardi EA, Iskandar N (eds). Buku
ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. 5th Ed. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2001.pp.125-29.
18. Kucik, Corry J dan Timothy Clenney. Management of Epistaxis. USA:
American Family Physician. 2005;305-11. [serial online] January 15, 2005.
[cited 2013 September 03] Available from:
http://www.aafp.org/afp/2005/0115/p305.pdf

Anda mungkin juga menyukai