Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

HANGING

Disusun oleh:
Ali Rafi Rafsanjani
121810008

Pembimbing :
AKBP dr. Ratna Relawati Sp.KF.,M.Si.Med

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI


KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN
MEDIKOLEGAL
RSUD WALED KABUPATEN CIREBON
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga saya bisa menyelesaikan tugas
laporan kasus ini dengan judul “Hanging “. Tugas laporan kasus ini diajukan
untuk memenuhi tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal di Rumah Sakit Umum Daerah Waled Kabupaten Cirebon.
Dalam penulisan laporan kasus ini penulis banyak menemukan kesulitan.
Namun berkat dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya laporan
kasus ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada AKBP dr. Ratna Relawati Sp.KF.,M.Si.Med selaku pembimbing.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini, oleh
karena itu, penulis mengharapkan berbagai kritik dan saran yang bersifat
membangun dalam tema dan judul yang diangkat dalam laporan kasus ini. Akhir
kata semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pihak-
pihak yang membutuhkan umumnya.

Cirebon, Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan..........................................................................................1
BAB II Tinjuan Pustaka....................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................15

ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………. iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………..…………… vi

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Definisi Gantung Diri (Hanging) …………………………………………. 3
2.2. Epidemiologi Kasus Gantung Diri.............................................................. 3
2.3. Jenis-Jenis Gantung ……….………………………………………………. 4
2.4. Mekanisme Kematian Pada Gantung Diri ………………………………… 6
2.5. Cara Kematian Korban Gantung..………………………………………… 8
2.6. Pemeriksaan Pada Korban Gantung …….……………………………..…. 10
2.7. Perbedaan Gantung dan Jerat ……………..…………………………….... 13
2.8. Perbedaan Gantung Antemortem dan Postmortem ……………………….. 14
2.9. Perbedaan Gantung diri dan Pembunuhan .................................................... 15
2.10. Temuan pada Pemeriksaan TKP Korban Gantung ………………………. 16
2.11. Pemeriksaan Autopsi dari Korban .............................................................. 17
2.12. Aspek Medikolegal Pada Pengantungan …………………………………. 18

BAB III. KESIMPULAN


Kesimpulan …………………………………………………………………… 20

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Perbedaan Penggantungan dan Penjeratan….……………………………..13


2.2 Perbedaan Gantung Antemortem dan Postmortem………………………..14
2.3. Perbedaan Gantung diri dan Pembunuhan...................................................15

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Typical Hanging …………………………............................................... 4

2.2 Atypical Hanging………………………………………………..………… 5

2.3 Incomplete Hanging……………………………………………………… 5

2.4 Complete Hanging ……………………………………………………….. 6

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penggantungan (hanging) adalah penyebab kematian akibat asfiksia
yang paling sering ditemukan. Bagaimanapun, penggantungan juga
merupakan penyebab kematian yang paling sering menimbulkan persoalan
karena rawan terjadi salah interpretasi, baik oleh ahli forensik, polisi, dan
dokter non-forensik.1-2 Selain itu, penggantungan merupakan metode bunuh
diri yang sering ditemukan di banyak negara. Di Inggris, terdapat lebih dari
2000 kasus bunuh diri dengan penggantungan dilaporkan setiap tahun.
Penggantungan baik akibat bunuh diri atau pembunuhan lebih sering
ditemukan di perkotaan. Di Amerika Serikat, pada tahun 2001, dilaporkan
terdapat 279 kematian yang disebabkan penggantungan yang tidak disengaja
dan strangulasi, dan 131 kematian akibat penggantungan, strangulasi dan mati
lemas.1-2
Penggantungan akibat bunuh diri lebih sering ditemukan pada laki-laki
(2:1), namun kematian yang disebabkan oleh kekerasan strangulasi lebih
dominan ditemukan pada wanita.1 Di Istanbul, turki, 537 dari semua kasus
gantung diri adalah laki-laki (70,56%) dan wanita (29,44%).1,3 Jika dilihat dari
faktor umur, insidens penggantungan paling sering ditemukan pada dewasa
muda. Di India misalnya, kematian akibat penggantungan paling sering
ditemukan pada kelompok umur 21-25 tahun,4 sedangkan Davidson dan
Marshall (1986) melaporkan bahwa insidens penggantungan yang paling
tinggi adalah pada kelompok umur 20-39 tahun.1
Di Indonesia, data statistik mengenai frekuensi dan distribusi variasi
kasus-kasus gantung diri masih sangat langka. Sehingga penelitian tentang
gantung diri di Indonesia juga masih sangat terbatas jumlahnya. Hariadi dalam
penelitiannya tentang karakteristik gantung diri berdasarkan jenis kelamin dan
umur, di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta menunjukkan bahwa kejadian bunuh
diri banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan, yaitu sebanyak 37

1
kasus. Berdasarkan usia, pelaku gantung diri banyak dilakukan oleh usia 19-
45 tahun.7
Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai
pada bunuh diri, yaitu sekitar 90% dari kasus, walaupun demikian
pemeriksaan yang teliti tetap harus dilakukan untuk mencegah kemungkinan
lain (pembunuhan atau kecelakaan).4 Dengan demikian, sangatlah perlu untuk
mengetahui lebih mendalam mengenai penggantungan (hanging) mengingat
kasus ini merupakan penyebab kematian akibat asfiksia yang paling sering
ditemukan. Selain itu, dalam aspek medikolegal, sebagai dokter yang
memeriksa perlu memastikan apakah kasus penggantungan tersebut
merupakan tindakan bunuh diri, pembunuhan, atau kecelakaan. Oleh karena
itulah, pemahaman yang lebih mendalam mengenai segala sesuatu yang
berkenaan dengan penggantungan sangat diperlukan agar seorang dokter dapat
menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya dalam membuat terang suatu
perkara pidana, khususnya penggantungan.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Gantung Diri (Hanging)


Terdapat beberapa definisi tentang penggantungan (hanging). Salah satunya,
yakni ; Penggantungan (hanging) adalah keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan,
daya jerat ikatan tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala. Ada pula
yang mendefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari leher oleh
alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruhnya atau sebagian. Dengan
demikian berarti alat penjerat sifatnya pasif,sedangkan berat badan sifatnya aktif
sehingga terjadi konstriksi pada leher. Kasus gantung hampir sama dengan
penjeratan. Perbedaannya terdapat pada asal tenaga yang dibutuhkan untuk
memperkecil lingkararan jerat. Kematian karena penggantungan pada umunya bunuh
diri. 1
2.2. Epidemiologi Kasus Gantung Diri
Pada tahun 2003, WHO mengungkapkan bahwa satu juta orang bunuh diri
setiap tahunnya. Bunuh diri merupakan satu dari tiga penyebab utama kematian pada
usia 15 - 34 tahun, selain karena kecelakaan. Menurut WHO, pada tahun 2005
sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan bunuh diri dan diperkirakan 150 orang
di Indonesia melakukan bunuh diri setiap hari. (2,3,4)
Angka bunuh diri di Jakarta sepanjang tahun 1995 - 2004 mencapai 5,8 per
100.000 penduduk. Mayoritas dilakukan oleh kaum pria. Dari 1.119 korban bunuh
diri, 41% di antaranya gantung diri, 23% dengan minum racun dan 356 orang
sisanya karena overdosis obat terlarang. Gantung diri merupakan cara kematian yang
paling sering dijumpai pada penggantungan, yaitu sekitar 90 % dari seluruh kasus.
2.3. Jenis-jenis Gantung
A. Menurut Letak Simpul
1) Typical hanging
Typical hanging adalah peristiwa gantung yang terjadi bila titik gantung
terletak di atas daerah oksiput dan terjadi penekanan paling besar pada
arteri karotis dan vena jugularis.

3
Gambar 2.1 Typical Hanging
2) Atypical hanging
Atypical hanging adalah peristiwa gantung yang terjadi bila titik gantung
terletak di samping, sehingga leher dalam posisi sangat miring (fleksi
lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri karotis dan arteri
vertebralis.(7)

4
Gambar 2.2 Atypical Hanging
B. Menurut Posisi Tubuh

1) Incomplete hanging
Istilah yang digunakan jika berat tubuh tidak sepenuhnya menjadi
kekuatan daya jerat tali, misal pada korban yang tergantung dalam posisi
berlutut. Pada kasus tersebut, berat tubuh tidak seluruhnya menjadi gaya
berat sehingga disebut penggantungan parsial, akibatnya lebam mayat
terjadi pada tungkai atas bagian bawah dan jari-jari tangan sampai
pergelangan tangan. Namun, hal ini bergantung pada posisi korban.

Gambar 2.3 Incomplete Hanging


2) Complete hanging
Istilah yang digunakan jika
berat tubuh sepenuhnya menjadi
kekuatan daya jerat tali, misal pada korban dalam posisi seluruh tubuh
menggantung di atas. Pada kasus tersebut, berat tubuh seluruhnya menjadi
gaya berat sehingga disebut penggantungan total, akibatnya lebam mayat
akan terjadi mulai dari jari-jari kaki sampai 1/3 tungkai bagian bawah, jari-

5
jari tangan sampai pergelangan tangan, dan bagian lain seperti genitalia
eksterna. (4,8)

Gambar 2.4 Complete Hanging


2.4. Mekanisme Kematian Pada Gantung Diri
A. Kerusakan batang otak dan medula spinalis
Terjadi akibat dislokasi atau fraktur vertebra ruas leher, misal pada
judicial hanging (hukum gantung). Terhukum dijatuhkan dari ketinggian
dua meter secara mendadak dengan menghilangkan tempat berpijaknya
sehingga mengakibatkan terpisahnya C2-C3 atau C3-C4 yang juga terjadi
akibat terdorong oleh simpul besar yang terletak pada sisi leher. Medula
spinalis bagian atas akan tertarik atau teregang atau terputar dan menekan
medula oblongata. Kadang-kadang medula oblongata pada batas pons
terputar sehingga menyebabkan hilang kesadaran, tetapi denyut jantung
dan pernapasan masih berlangsung sampai 10-15 menit. Saat otopsi sering
ditemukan luka pada faring dan biasanya tidak ada pembendungan,
sedangkan arteri karotis terputar sebagian atau seluruhnya.
B. Asfiksia
Penyebab kematian yang paling sering, mengakibatkan proses
anoksik anoksia sampai terjadi iskemi karena terjadi sumbatan jalan napas
yang disebabkan oleh jerat tali yang menutupi jalan napas. Selain tekanan

6
pada trakea, sumbatan dapat disebabkan elevasi dan pergeseran lidah dan
atap rongga mulut ke posterior, yaitu bila jerat terletak di atas laring.
C. Iskemia otak
Terjadi akibat penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri yang
mendarahi otak.
D. Reflek vagal
Perangsangan sinus karotikus menyebabkan henti jantung. Inhibisi
vagal sering diikuti fibrilasi ventrikel. Secara eksperimental pada binatang
yang dimanipulasi sehingga berada dalam keadaan obstruktif asfiksia,
setelah beberapa menit akan diikuti penurunan detak jantung, kemudian
setelah beberapa saat terjadi takikardi sampai mengakibatkan kematian.
E. Apopleksia (kongesti pada otak)
Tekanan pada pembuluh vena menyebabkan kongesti pembuluh darah
otak dan mengakibatkan kegagalan sirkulasi.
F. Kompresi pada arteri karotis
Karena letaknya sebagian tertutup oleh muskulus sternokleido-
mastoideus , arteri karotis mudah terhambat oleh kompresi langsung pada
bagian depan leher. Jika terjadi oklusi bilateral maka dapat segera
menimbulkan gangguan kesadaran karena suplai darah arteri ke otak oleh
sirkulasi vertebral tidak mampu mempertahankan fungsi korteks yang
tergantung oleh pasokan dari arteri serebri anterior dan media yang
merupakan cabang arteri karotis. Penekanan arteri karotis selama kurang
lebih 10 detik dapat menyebabkan hilang kesadaran. Apabila tekanan
dilepas, kesadaran akan kembali dalam 10-12 detik. Jika sirkulasi karotis
tersumbat secara total selama lebih dari 4 menit maka dapat terjadi
kerusakan otak irreversibel.
Arteri vertebralis lebih tahan terhadap tekanan langsung, tetapi dapat
tersumbat apabila leher difleksikan atau dirotasikan berlebihan,  seperti
kasus atypical hanging. Pada kasus incomplete hanging, vena jugularis
juga tertutup, tetapi kepala tetap mendapat suplai dari arteri vertebralis,
sehingga wajah tampak sembab dan timbul petekie. Demikian pula pada

7
kasus gantung yang menggunakan jerat lebar dan lunak. Sedangkan pada
kasus dimana terjadi hambatan total arteri leher, muka akan tampak pucat
dan tidak terdapat petekie. Hal ini dapat ditemukan pada kasus complete
hanging, typical hanging, atau bila penggantungan dilakukan dengan
menggunakan jerat yang kecil dan keras. (6,7,10,11)
2.5. Cara Kematian Korban Gantung
A. Kecelakaan
Kecelakaan (accidental hanging) dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
1) Mati tergantung sewaktu bermain. Umumnya terjadi pada anak-anak
dan tidak membutuhkan penyidikan yang sulit karena biasanya kasus
sangat jelas, contoh tersangkut pada cabang batang pohon.
2) Mati tergantung sewaktu bekerja, contoh pekerja bangunan yang jatuh
dari ketinggian dan tersangkut tali.
3) Auto-erotic hanging merupakan kasus penyimpangan seksual yang
menggunakan cara gantung untuk mendapatkan kepuasan, namun
korban terlambat mengendurkan tali atau sukar melepaskan diri.
Diperlukan pemeriksaan yang teliti dalam mempelajari dan
menguraikan tali-tali yang dipakai yang seringkali diikatkan pada
banyak tempat (ikatan pada daerah genitalia, lengan, tungkai, leher, dan
mulut) untuk mendapatkan orgasme.
B. Bunuh diri
Merupakan bentuk yang paling sering dari peristiwa gantung. Sekitar
90 % dari seluruh kasus. Gantung diri dapat dilakukan dalam
posisi complete hanging, duduk, berlutut, atau berbaring. Alat yang
digunakan dapat berupa tambang, kabel listrik, sabuk, atau bahkan
sobekan pakaian seperti yang sering terjadi di penjara. Pada saat korban
menggantung dirinya, jerat biasanya tersangkut di atas laring dan di bawah
dagu.
Pada kematian akibat bunuh diri, korban umumnya menempatkan
jerat di leher dengan berdiri pada bangku atau benda lain untuk pijakan
guna meraih tali penjerat. Jerat akan menjadi kuat ketika korban

8
melangkah keluar dari pijakan sehingga tubuhnya tergantung bebas dari
lantai. Korban juga dapat melaksanakan niatnya dengan tergantung pada
posisi setengah berlutut dari posisi berdiri, jadi hanya sebagian dari berat
tubuh yang memperkuat simpul penjerat. Cara lain adalah posisi duduk,
menyandarkan badan dalam posisi terlungkup atau terlentang dengan tali
yang menahan kepala dari lantai.
C. Homicidal hanging
Pembunuhan dengan metode menggantung korban relatif jarang
dijumpai, cara ini dapat dilakukan bila korbannya anak-anak atau orang
dewasa yang dalam kondisi lemah, baik karena sakit, di bawah pengaruh
obat bius, alkohol, atau korban sedang tidur.
Selain tanda asfiksia, ditemukan juga luka-luka pada tubuh korban
seperti abrasi jari tangan, kulit siku atau pundak sebagai tanda-tanda
perlawanan. Agar pembunuhan dapat berlangsung, pelaku harus lebih kuat
dari korban. Alat penjerat biasanya sudah dipersiapkan oleh pelaku atau
bisa juga benda yang ada di sekitarnya. Dalam melaksanakan niatnya,
seringkali leher korban mendapat trauma dan tidak jarang tampak luka
lecet tekan berbentuk bulan sabit yang berasal dari tangan pelaku; memar
hebat dapat ditemukan pada jaringan otot dan organ di dalam leher atau
tulang lidah; kartilago tiroid dapat patah karena tekanan yang hebat dari
alat penjerat.
Semakin jauh jarak antara kaki korban dengan lantai, semakin kuat
dugaan pembunuhan; semakin dekat jarak antara simpul dengan tiang
tumpuan untuk menggantung, semakin kuat dugaan bahwa kasus yang
dihadapi adalah pembunuhan. Pembunuhan dengan laso merupakan
contoh yang baik untuk kasus “homicidal hanging”, yaitu setelah laso
menjerat leher korban, kemudian ditarik ke atas.(6)
2.6. Pemeriksaan Pada Korban Gantung
A. Pemeriksaan luar.
Kepala:
1) Muka sianotik (vena terjepit) atau muka pucat (vena dan arteri terjepit)

9
2) Tanda penjeratan pada leher. Hal ini sangat penting diperhatikan oleh
dokter, dan keadaannya bergantung kepada beberapa kondisi :
 Tanda penjeratannya jelas dan dalam jika tali yang digunakan kecil
dibandingkan jika menggunakan tali yang besar. Bila alat penjerat
mempunyai permukaan yang luas, yang berarti tekanan yang
ditimbulkan tidak terlalu besar tetapi cukup menekan pembuluh
balik, maka muka korban tampak sembab, mata menonjol, wajah
berwarna merah kebiruan dan lidah atau air liur dapat keluar
tergantung dari letak alat penjerat. Jika permukaan alat penjerat
kecil, yang berarti tekanan yang ditimbulkan besar dan dapat
menekan baik pembuluh balik maupun pembuluh nadi; maka korban
tampak pucat dan tidak ada penonjolan dari mata.
 Alur jerat: bentuk penjeratannya berjalan miring (oblik atau
berbentuk V) pada bagian depan leher, dimulai pada leher bagian
atas di antara kartilago tiroid dengan dagu, lalu berjalan miring
sejajar dengan garis rahang bawah menuju belakang telinga. Tanda
ini semakin tidak jelas pada bagian belakang.
 Tanda penjeratan atau jejas jerat yang sebenarnya luka lecet akibat
tekanan alat jerat yang berwarna merah kecoklatan atau coklat gelap
dan kulit tampak kering, keras dan berkilat. Pada perabaan, kulit
terasa seperti perabaan kertas perkamen, disebut
tanda parchmentisasi, dan sering ditemukan adanya vesikel pada tepi
jejas jerat tersebut dan tidak jarang jejas jerat membentuk cetakan
sesuai bentuk permukaan dari alat jerat.
 Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit dibagian
bawah telinga, tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telinga.
 Pinggiran berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasi
disekitarnya.
 Jumlah tanda penjeratan. Kadang-kadang pada leher terlihat 2 buah atau
lebih bekas penjeratan. Hal ini menunjukkan bahwa tali dijeratkan ke leher
sebanyak 2 kali.

10
3) Tanda-tanda asfiksia.
 Mata menonjol keluar; oleh karena pecahnya oleh bendungan kepala,
dimana vena-vena terhambat sedang arteri tidak.
 Perdarahan berupa peteki tampak pada wajah dan subkonjungtiva;
pecahnya vena oleh bendungan dan meningkatnya permeabilitas
pembuluh darah akibat asfiksia.
 Lidah menjulur; tergantung dari letak jerat. Bila tepat di kartilago
tiroid lidah akan terjulur sedang jika di atasnya lidah tidak akan
terjulur.
4) Air liur mengalir dari sudut bibir di bagian yang berlawanan dengan
simpul tali. Keadaan ini menunjukkan tanda pasti penggantungan ante-
mortem.
5) Kedalaman dari bekas penjeratan menunjukkan lamanya tubuh
tergantung.
6) Jika korban lama tergantung, ukuran leher menjadi semakin panjang.
Anggota gerak :
7) Lebam mayat dan bintik-bintik perdarahan terutama pada bagian akral
dari ekstremitas, sangat tergantung dari lamanya korban dalam posisi
tergantung.
8) Posisi tangan biasanya dalam keadaan tergenggam.
Dubur dan kelamin :
9) Keluarnya mani, darah (sisa haid), urin dan feses akibat kontraksi otot
polos pada saat stadium konvulsi pada puncak asfiksia. Hai ini bukan
merupakan tanda khas dari penggantungan dan keadaan ini tidak selalu
menyertai penggantungan.
b.  Pemeriksaan dalam.
Kepala :
Tanda bendungan pembuluh darah otak
Leher :
1) Jaringan yang berada dibawah jeratan berwarna putih, berkilat dan
perabaan seperti perkamen karena kekurangan darah, terutama jika mayat

11
tergantung cukup lama. Pada jaringan dibawahnya mungkin tidak terdapat
cedera lainnya.
2) Platisma atau otot lain disekitarnya mungkin memar atau ruptur pada
beberapa keadaan. Kerusakan otot ini lebih banyak terjadi pada kasus
penggantungan yang disertai dengan tindak kekerasan.
3) Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi
ataupun ruptur. Resapan darah hanya terjadi didalam dinding pembuluh
darah.
4) Fraktur tulang hyoid jarang terjadi. Fraktur ini biasanya terdapat pada
penggantungan yang korbannya dijatuhkan dengan tali penggantung yang
panjang dimana tulang hyoid mengalami benturan dengan tulang vertebra.
Adanya efusi darah disekitar fraktur menunjukkan bahwa
penggantungannya ante-mortem.
5) Fraktur kartilago tiroid jarang terjadi. Pada korban diatas 40 tahun, patah
tulang ini darap terjadi bukan karena tekanan alat penjerat tetapi karena
terjadinya traksi pada penggantungan.
6) Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas. Fraktur ini sering
terjadi pada korban hukuman gantung
Dada dan perut :
1) Perdarahan pada pleura, pericard atau peritoneum
2) Organ-organ dapat mengalami kongesti atau bendungan
2.7. Perbedaan Gantung Dan Jerat
Tabel 2.1 Perbedaan penggantungan dengan penjeratan : (12)

No Kategori Gantung Jerat

1. Letak jejas Miring, Melintang,


lingkaran tidak utuh, lingkaran utuh, letak di
letak di atas kartilago tiroid bawah/ di kartilago tiroid

2. Pinggiran jejas Batas tegas Batas tidak tegas, memar

3. Memar otot leher Sedikit Banyak

12
4. Tulang hyoid Sering patah Jarang patah

5. Arteri karotis Rusak, bila dijatuhkan dari Sering rusak


ketinggian

6. Kartilago tiroid Jarang patah Sering patah

7. Perdarahan Hidung, mulut, telinga Sering

8. Wajah Pucat, jarang ada bintik Kongesti, ada bintik


perdarahan perdarahan

9. Tanda asfiksia Tidak jelas Jelas

10. Air liur Menetes dari mulut Tidak ada

11. Paru-paru Sering ada bula emfisema Jarang

12. Inkontinensia urin Jarang Sering


danfaeces

13. Cairan sperma Sering ada di glans penis Jarang

14. Jaringan bawah jejas Kecoklatan, keras, Lunak, kemerahan


mengkilat

2.8. Perbedaan Gantung Antemortem dan Postmortem 

Tabel 2.2 Perbedaan Gantung Antemortem dan Postmortem : (1,12)


No Kategori Ante mortem Post mortem

1. Jejas Miring, lingkaran terputus Agak sirkuler, lingkaran


utuh

2. Simpul tali Tunggal, di samping Lebih dari 1, di depan

3. Wajah Bengkak Tidak ada, kecuali cekik


dan sufokasi

4. Mata Kongesti Tidak ada, kecuali cekik


dan sufokasi

13
5. Lidah Terjulur/ tidak terjulur Tidak, kecuali cekik
sama sekali

6. Sianosis Jelas Tergantung sebab

7. Ekimosis di sisi jerat Jelas Tidak jelas

8. Liur Menetes, arah vertikal Tidak ada

9. Penis Ereksi dengan keluar cairan Tidak ada


sperma

10. Faeces Sering keluar Tidak ada

2.9. Perbedaan Gantung diri dan Pembunuhan


Tabel 2.3 Perbedaan Gantung Diri dan Pembunuhan

14
2.10. Temuan Pada Pemeriksaan TKP Korban Gantung
Pemeriksaan langsung di TKP membantu menentukan cara kematian.
Pada kasus gantung diri, dimana korban ditemukan biasanya tenang, dalam
ruang tersembunyi atau tempat yang sudah digunakan. Posisi korban yang
tergantung lebih mendekati lantai, pakaian korban rapi, sering ditemukan
surat peninggalan pada saku yang berisi alasan mengapa korban melakukan
tindakan tersebut.
Pada leher, tidak jarang diberi alas sapu tangan atau kain sebelum alat
penjerat dikalungkan ke leher. Seringkali korban mengikat tangannya ke
belakang agar tidak berubah pikiran. Jumlah lilitan bisa saja hanya satu kali;
semakin banyak lilitan, dugaan bunuh diri semakin besar. Simpul alat
penjerat biasanya simpul hidup dan letak simpul dapat di mana
saja. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara untuk memperkirakan cara
kematian memberikan gambaran:
A. Kasus pembunuhan
1) Alat penjerat
 Simpul biasanya simpul mati
 Jumlah lilitan hanya satu
 Arah jeratan mendatar
 Jarak titik tumpu ke simpul dekat
2) Korban
 Jejas jerat berjalan mendatar

15
 Terdapat luka perlawanan
 Terdapat luka-luka lain, sering di daerah leher
 Jarak dari lantai: jauh
3) TKP
 Lokasi bervariasi
 Kondisi tidak teratur
 Pakaian tidak teratur, robek
 Alat dari si pembunuh
 Tidak ditemukan surat peninggalan
 Ruangan tidak teratur, terkunci dari luar
B. Kasus bunuh diri
1) Alat penjerat
 Simpul biasanya simpul hidup
 Jumlah lilitan satu atau lebih
 Arah jeratan serong ke atas
 Jarak titik tumpu ke simpul: jauh
2) Korban
 Jejas jerat berjalan meninggi ke arah simpul
 Tidak terdapat luka perlawanan
 Biasanya tidak ada luka, mungkin terdapat luka percobaan lain
 Jarak dari lantai dekat, dapat tidak tergantung
4) TKP
 Lokasi tersembunyi
 Kondisi teratur
 Pakaian rapi dan baik
 Alat berasal dari yang ada di TKP
 Ditemukan surat peninggalan
 Ruangan terkunci dari dalam (7,10)
2.11. Pemeriksaan Autopsi dari Korban
Ada beberapa hal yang dapat kita jumpai pada pemeriksaan luar dan
dalam autopsi. Ada 5 bagian tubuh korban yang kita perhatikan saat
melakukan pemeriksaan luar autopsi, yaitu:
1) Kepala
2) Leher
3) Anggota gerak (lengan dan tungkai)
4) Dubur
5) Alat kelamin.
Ada 4 bagian kepala korban yang kita perhatikan saat melakukan

16
pemeriksaan luar autopsi, yaitu:
1) Muka
2) Mata
3) Konjungtiva
4) Lidah
Lokasi luka pada leher korban penggantungan (hanging) dapat
berada di depan,samping dan belakang leher. Luka yang berada di
depan leher kita ukur dari dagu atau manubrium sterni korban. Luka yang
berada di samping leher kita ukur dari garis batas rambut korban. Luka yang
berada di belakang leher kita ukur dari daun telinga atau bahu korban.
Jenis luka korban penggantungan (hanging) terdiri atas luka lecet,
luka tekan dan luka memar. Penting juga kita mendeskripsikan
mengenai warna, lebar, perabaan dan keadaan sekitar luka. Anggota
gerak korban penggantungan (hanging) dapat kita temukan adanya lebam
mayat pada ujung bawah lengan dan tungkai. Penting juga kita ketahui ada
tidaknya luka lecet pada anggota gerak tersebut.
2.12. Aspek Medikolegal Pada Pengantungan
Prosedur mediko-legal adalah tata-cara atau prosedur penatalaksanaan
dan berbagai aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan
hukum. Secara garis besar prosedur mediko-legal mengacu kepada
peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia, dan pada beberapa
bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika kedokteran. Ruang
lingkup medikolegal dapat disimpulkan sebagai yang berikut :
a. Pengadaan visum et repertum,
b. Tentang pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka.
c. Pemberian keterangan ahli pada masa sebelum persidangan dan
pemberian keterangan ahli di dalam persidangan,
d. Kaitan visum et repertum dengan rahasia kedokteran,
e. Tentang penerbitan Surat Keterangan Kematian dan Surat Keterangan
Medik ,
f. Tentang kompetensi pasien untuk menghadapi pemeriksaan penyidik,

17
Setelah pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU No. 73
Tahun 1958 yang isinya menyatakan berlakunya UU No. 1 Tahun 1945
untuk seluruh Indonesia, maka suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah
ada, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 KUHP.6
Penggantungan lebih sering terjadi pada kasus bunuh diri. Tetapi tidak
menolak kemungkinan korban penggantungan mati akibat penganiayaan. Di
sini lah dapat dilihat fungsinya dari satu perundangan yang ditetapkan pada
buku kedua KUHP Bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa.
Pada kasus penggantungan, dokter forensik dipanggil untuk membuat
pemeriksaan lengkap sesuai dengan Pasal 133 KUHAP yang menyatakan
dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Pada pasal 133 KUHAP (ayat 2 dan 3) menyatakan permintaan keterangan
ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang
dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat; dan mayat yang
dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit
harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat
tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi
cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pernyataan ini menjadi dasar pembuatan visum et repertum (laporan
bertulis) pada kasus tindak pidana.12
Salah satu pemeriksaan yang dilakukan pada korban mati akibat
penggantungan adalah otopsi. Hal ini dapat membantu dokter forensic untuk
mengetahui mekanisme kematian sehingga dapat membantu penyidik
mengetahui cara kematian korban. Sesuai dengan Pasal KUHP 222 yang
menyatakan barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi
atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana

18
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.12
Pada persidangan kasus pidana, dokter forensic akan dipanggil
sebagai saksi ahli. Sesaui dengan Pasal 179 ayat 1 KUHAP yang
menyatakan setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli
demi keadilan.12

19
BAB III
KESIMPULAN

Penggantungan adalah keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan,


daya jerat ikatan tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala.
Dengan demikian berarti alat penjerat sifatnya pasif, sedangkan berat
badan sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher. Biasanya
multifaktorial: kepribadian, faktor sosial dan penyakit psikiatrik
memainkan peranan yang berbeda- beda. Penyakit fisik merupakan faktor
penting, terutama pada usia lebih tua. Gantung diri merupakan cara
kematian yang paling sering dijumpai pada penggantungan, yaitu sekitar
90% dari seluruh kasus, walaupun demikian pemeriksaan yang teliti tetap
harus dilakukan untuk mencegah kemungkinan lain. Dalam kasus hanging,
harus dapat dibedakan penyebab hanging dengan melihat ciri khasnya,
apakah hanging tersebut terjadi pada antemortem atau postmortem,ataupun
akibat pembunuhan atau bunuh diri.
Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai
pada penggantungan, yaitu sekitar 90% dari seluruh kasus, walaupun
demikian pemeriksaan yang teliti tetap harus dilakukan untuk mencegah
kemungkinan lain dan kemungkinan tersebut harus bisa menjawab
beberapa pertanyaan seperti sebagai berikut :
1) Apakah kematian disebabkan oleh penggantungan ?
2) Apakah penggantungan tersebut merupakan bunuh diri, pembunuhan atau
kecelakaan?
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa faktor di bawah ini
sebagai bahan pertimbangan cara terjadinya penggantungan, bukti-bukti
tidak langsung di sekitar tempat kejadian, tanda berupa jejas penjeratan,
tanda-tanda kekerasan atau perlawanan.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Mun’im, A.I dan Tjiptomartono, A.L. Penerapan Ilmu kedokteran forensik


dalam proses penyidikan. Sagung Seto. Jakarta. 2008
2. Budiyanto, A., et al, 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
3. Idris, Mun’im Abdul, 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Penerbit
Binarupa Aksara. Jakarta.
4 . I d r i e s ,   A b d u l .   1 9 9 7 .  Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. J a k a r t a :
B i n a R u p a Aksara.
5. Dahlan, Sofwan. 2004.  Ilmu Kedokteran Forensik : Pedoman Bagi
Dokter dan Penegak Hukum . Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
6. Idries AM. Penggantungan. In: Idries AM, editor. Pedoman ilmu kedokteran
forensik. Edisi 1. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. p202-207.
7. Chadha PV. Kematian Akibat Asfiksia. Dalam Ilmu Forensik dan
Toksikologi. Edisi kelima. Penerbit:Widya Medika
8. Ernoehazy W. Hanging injuries and Strangulation. Online. 2011. Available
from URL: http://emedicine.medscape.com/article/826704- overview#showall
9. Ashari I. Penggantungan. Online. 2009. Available from URL:
http://www.irwanashari.com/2009/12/penggantungan.html
10. Hariadi MB. Karakteristik Gantung Diri yang diperiksa di Instalasi
Kedokteran Forensik RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 1 November
2006 31 November 2009 (abstrak).
11. Fikasari D. Gantung Diri (Hanging). Online. 2008. Available from URL:
http://sibermedik.files.wordpress.com/2008/11/gantung_diri.pdf
12. Fikasari D. Gantung Diri (Hanging). Online. 2008. Available from URL:
http://sibermedik.files.wordpress.com/2008/11/ gantung_diri_ makalah .pdf

Anda mungkin juga menyukai