HANGING
Disusun oleh:
Ali Rafi Rafsanjani
121810008
Pembimbing :
AKBP dr. Ratna Relawati Sp.KF.,M.Si.Med
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga saya bisa menyelesaikan tugas
laporan kasus ini dengan judul “Hanging “. Tugas laporan kasus ini diajukan
untuk memenuhi tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal di Rumah Sakit Umum Daerah Waled Kabupaten Cirebon.
Dalam penulisan laporan kasus ini penulis banyak menemukan kesulitan.
Namun berkat dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya laporan
kasus ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada AKBP dr. Ratna Relawati Sp.KF.,M.Si.Med selaku pembimbing.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini, oleh
karena itu, penulis mengharapkan berbagai kritik dan saran yang bersifat
membangun dalam tema dan judul yang diangkat dalam laporan kasus ini. Akhir
kata semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pihak-
pihak yang membutuhkan umumnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan..........................................................................................1
BAB II Tinjuan Pustaka....................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................15
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………. iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………..…………… vi
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
kasus. Berdasarkan usia, pelaku gantung diri banyak dilakukan oleh usia 19-
45 tahun.7
Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai
pada bunuh diri, yaitu sekitar 90% dari kasus, walaupun demikian
pemeriksaan yang teliti tetap harus dilakukan untuk mencegah kemungkinan
lain (pembunuhan atau kecelakaan).4 Dengan demikian, sangatlah perlu untuk
mengetahui lebih mendalam mengenai penggantungan (hanging) mengingat
kasus ini merupakan penyebab kematian akibat asfiksia yang paling sering
ditemukan. Selain itu, dalam aspek medikolegal, sebagai dokter yang
memeriksa perlu memastikan apakah kasus penggantungan tersebut
merupakan tindakan bunuh diri, pembunuhan, atau kecelakaan. Oleh karena
itulah, pemahaman yang lebih mendalam mengenai segala sesuatu yang
berkenaan dengan penggantungan sangat diperlukan agar seorang dokter dapat
menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya dalam membuat terang suatu
perkara pidana, khususnya penggantungan.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 2.1 Typical Hanging
2) Atypical hanging
Atypical hanging adalah peristiwa gantung yang terjadi bila titik gantung
terletak di samping, sehingga leher dalam posisi sangat miring (fleksi
lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri karotis dan arteri
vertebralis.(7)
4
Gambar 2.2 Atypical Hanging
B. Menurut Posisi Tubuh
1) Incomplete hanging
Istilah yang digunakan jika berat tubuh tidak sepenuhnya menjadi
kekuatan daya jerat tali, misal pada korban yang tergantung dalam posisi
berlutut. Pada kasus tersebut, berat tubuh tidak seluruhnya menjadi gaya
berat sehingga disebut penggantungan parsial, akibatnya lebam mayat
terjadi pada tungkai atas bagian bawah dan jari-jari tangan sampai
pergelangan tangan. Namun, hal ini bergantung pada posisi korban.
5
jari tangan sampai pergelangan tangan, dan bagian lain seperti genitalia
eksterna. (4,8)
6
pada trakea, sumbatan dapat disebabkan elevasi dan pergeseran lidah dan
atap rongga mulut ke posterior, yaitu bila jerat terletak di atas laring.
C. Iskemia otak
Terjadi akibat penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri yang
mendarahi otak.
D. Reflek vagal
Perangsangan sinus karotikus menyebabkan henti jantung. Inhibisi
vagal sering diikuti fibrilasi ventrikel. Secara eksperimental pada binatang
yang dimanipulasi sehingga berada dalam keadaan obstruktif asfiksia,
setelah beberapa menit akan diikuti penurunan detak jantung, kemudian
setelah beberapa saat terjadi takikardi sampai mengakibatkan kematian.
E. Apopleksia (kongesti pada otak)
Tekanan pada pembuluh vena menyebabkan kongesti pembuluh darah
otak dan mengakibatkan kegagalan sirkulasi.
F. Kompresi pada arteri karotis
Karena letaknya sebagian tertutup oleh muskulus sternokleido-
mastoideus , arteri karotis mudah terhambat oleh kompresi langsung pada
bagian depan leher. Jika terjadi oklusi bilateral maka dapat segera
menimbulkan gangguan kesadaran karena suplai darah arteri ke otak oleh
sirkulasi vertebral tidak mampu mempertahankan fungsi korteks yang
tergantung oleh pasokan dari arteri serebri anterior dan media yang
merupakan cabang arteri karotis. Penekanan arteri karotis selama kurang
lebih 10 detik dapat menyebabkan hilang kesadaran. Apabila tekanan
dilepas, kesadaran akan kembali dalam 10-12 detik. Jika sirkulasi karotis
tersumbat secara total selama lebih dari 4 menit maka dapat terjadi
kerusakan otak irreversibel.
Arteri vertebralis lebih tahan terhadap tekanan langsung, tetapi dapat
tersumbat apabila leher difleksikan atau dirotasikan berlebihan, seperti
kasus atypical hanging. Pada kasus incomplete hanging, vena jugularis
juga tertutup, tetapi kepala tetap mendapat suplai dari arteri vertebralis,
sehingga wajah tampak sembab dan timbul petekie. Demikian pula pada
7
kasus gantung yang menggunakan jerat lebar dan lunak. Sedangkan pada
kasus dimana terjadi hambatan total arteri leher, muka akan tampak pucat
dan tidak terdapat petekie. Hal ini dapat ditemukan pada kasus complete
hanging, typical hanging, atau bila penggantungan dilakukan dengan
menggunakan jerat yang kecil dan keras. (6,7,10,11)
2.5. Cara Kematian Korban Gantung
A. Kecelakaan
Kecelakaan (accidental hanging) dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
1) Mati tergantung sewaktu bermain. Umumnya terjadi pada anak-anak
dan tidak membutuhkan penyidikan yang sulit karena biasanya kasus
sangat jelas, contoh tersangkut pada cabang batang pohon.
2) Mati tergantung sewaktu bekerja, contoh pekerja bangunan yang jatuh
dari ketinggian dan tersangkut tali.
3) Auto-erotic hanging merupakan kasus penyimpangan seksual yang
menggunakan cara gantung untuk mendapatkan kepuasan, namun
korban terlambat mengendurkan tali atau sukar melepaskan diri.
Diperlukan pemeriksaan yang teliti dalam mempelajari dan
menguraikan tali-tali yang dipakai yang seringkali diikatkan pada
banyak tempat (ikatan pada daerah genitalia, lengan, tungkai, leher, dan
mulut) untuk mendapatkan orgasme.
B. Bunuh diri
Merupakan bentuk yang paling sering dari peristiwa gantung. Sekitar
90 % dari seluruh kasus. Gantung diri dapat dilakukan dalam
posisi complete hanging, duduk, berlutut, atau berbaring. Alat yang
digunakan dapat berupa tambang, kabel listrik, sabuk, atau bahkan
sobekan pakaian seperti yang sering terjadi di penjara. Pada saat korban
menggantung dirinya, jerat biasanya tersangkut di atas laring dan di bawah
dagu.
Pada kematian akibat bunuh diri, korban umumnya menempatkan
jerat di leher dengan berdiri pada bangku atau benda lain untuk pijakan
guna meraih tali penjerat. Jerat akan menjadi kuat ketika korban
8
melangkah keluar dari pijakan sehingga tubuhnya tergantung bebas dari
lantai. Korban juga dapat melaksanakan niatnya dengan tergantung pada
posisi setengah berlutut dari posisi berdiri, jadi hanya sebagian dari berat
tubuh yang memperkuat simpul penjerat. Cara lain adalah posisi duduk,
menyandarkan badan dalam posisi terlungkup atau terlentang dengan tali
yang menahan kepala dari lantai.
C. Homicidal hanging
Pembunuhan dengan metode menggantung korban relatif jarang
dijumpai, cara ini dapat dilakukan bila korbannya anak-anak atau orang
dewasa yang dalam kondisi lemah, baik karena sakit, di bawah pengaruh
obat bius, alkohol, atau korban sedang tidur.
Selain tanda asfiksia, ditemukan juga luka-luka pada tubuh korban
seperti abrasi jari tangan, kulit siku atau pundak sebagai tanda-tanda
perlawanan. Agar pembunuhan dapat berlangsung, pelaku harus lebih kuat
dari korban. Alat penjerat biasanya sudah dipersiapkan oleh pelaku atau
bisa juga benda yang ada di sekitarnya. Dalam melaksanakan niatnya,
seringkali leher korban mendapat trauma dan tidak jarang tampak luka
lecet tekan berbentuk bulan sabit yang berasal dari tangan pelaku; memar
hebat dapat ditemukan pada jaringan otot dan organ di dalam leher atau
tulang lidah; kartilago tiroid dapat patah karena tekanan yang hebat dari
alat penjerat.
Semakin jauh jarak antara kaki korban dengan lantai, semakin kuat
dugaan pembunuhan; semakin dekat jarak antara simpul dengan tiang
tumpuan untuk menggantung, semakin kuat dugaan bahwa kasus yang
dihadapi adalah pembunuhan. Pembunuhan dengan laso merupakan
contoh yang baik untuk kasus “homicidal hanging”, yaitu setelah laso
menjerat leher korban, kemudian ditarik ke atas.(6)
2.6. Pemeriksaan Pada Korban Gantung
A. Pemeriksaan luar.
Kepala:
1) Muka sianotik (vena terjepit) atau muka pucat (vena dan arteri terjepit)
9
2) Tanda penjeratan pada leher. Hal ini sangat penting diperhatikan oleh
dokter, dan keadaannya bergantung kepada beberapa kondisi :
Tanda penjeratannya jelas dan dalam jika tali yang digunakan kecil
dibandingkan jika menggunakan tali yang besar. Bila alat penjerat
mempunyai permukaan yang luas, yang berarti tekanan yang
ditimbulkan tidak terlalu besar tetapi cukup menekan pembuluh
balik, maka muka korban tampak sembab, mata menonjol, wajah
berwarna merah kebiruan dan lidah atau air liur dapat keluar
tergantung dari letak alat penjerat. Jika permukaan alat penjerat
kecil, yang berarti tekanan yang ditimbulkan besar dan dapat
menekan baik pembuluh balik maupun pembuluh nadi; maka korban
tampak pucat dan tidak ada penonjolan dari mata.
Alur jerat: bentuk penjeratannya berjalan miring (oblik atau
berbentuk V) pada bagian depan leher, dimulai pada leher bagian
atas di antara kartilago tiroid dengan dagu, lalu berjalan miring
sejajar dengan garis rahang bawah menuju belakang telinga. Tanda
ini semakin tidak jelas pada bagian belakang.
Tanda penjeratan atau jejas jerat yang sebenarnya luka lecet akibat
tekanan alat jerat yang berwarna merah kecoklatan atau coklat gelap
dan kulit tampak kering, keras dan berkilat. Pada perabaan, kulit
terasa seperti perabaan kertas perkamen, disebut
tanda parchmentisasi, dan sering ditemukan adanya vesikel pada tepi
jejas jerat tersebut dan tidak jarang jejas jerat membentuk cetakan
sesuai bentuk permukaan dari alat jerat.
Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit dibagian
bawah telinga, tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telinga.
Pinggiran berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasi
disekitarnya.
Jumlah tanda penjeratan. Kadang-kadang pada leher terlihat 2 buah atau
lebih bekas penjeratan. Hal ini menunjukkan bahwa tali dijeratkan ke leher
sebanyak 2 kali.
10
3) Tanda-tanda asfiksia.
Mata menonjol keluar; oleh karena pecahnya oleh bendungan kepala,
dimana vena-vena terhambat sedang arteri tidak.
Perdarahan berupa peteki tampak pada wajah dan subkonjungtiva;
pecahnya vena oleh bendungan dan meningkatnya permeabilitas
pembuluh darah akibat asfiksia.
Lidah menjulur; tergantung dari letak jerat. Bila tepat di kartilago
tiroid lidah akan terjulur sedang jika di atasnya lidah tidak akan
terjulur.
4) Air liur mengalir dari sudut bibir di bagian yang berlawanan dengan
simpul tali. Keadaan ini menunjukkan tanda pasti penggantungan ante-
mortem.
5) Kedalaman dari bekas penjeratan menunjukkan lamanya tubuh
tergantung.
6) Jika korban lama tergantung, ukuran leher menjadi semakin panjang.
Anggota gerak :
7) Lebam mayat dan bintik-bintik perdarahan terutama pada bagian akral
dari ekstremitas, sangat tergantung dari lamanya korban dalam posisi
tergantung.
8) Posisi tangan biasanya dalam keadaan tergenggam.
Dubur dan kelamin :
9) Keluarnya mani, darah (sisa haid), urin dan feses akibat kontraksi otot
polos pada saat stadium konvulsi pada puncak asfiksia. Hai ini bukan
merupakan tanda khas dari penggantungan dan keadaan ini tidak selalu
menyertai penggantungan.
b. Pemeriksaan dalam.
Kepala :
Tanda bendungan pembuluh darah otak
Leher :
1) Jaringan yang berada dibawah jeratan berwarna putih, berkilat dan
perabaan seperti perkamen karena kekurangan darah, terutama jika mayat
11
tergantung cukup lama. Pada jaringan dibawahnya mungkin tidak terdapat
cedera lainnya.
2) Platisma atau otot lain disekitarnya mungkin memar atau ruptur pada
beberapa keadaan. Kerusakan otot ini lebih banyak terjadi pada kasus
penggantungan yang disertai dengan tindak kekerasan.
3) Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi
ataupun ruptur. Resapan darah hanya terjadi didalam dinding pembuluh
darah.
4) Fraktur tulang hyoid jarang terjadi. Fraktur ini biasanya terdapat pada
penggantungan yang korbannya dijatuhkan dengan tali penggantung yang
panjang dimana tulang hyoid mengalami benturan dengan tulang vertebra.
Adanya efusi darah disekitar fraktur menunjukkan bahwa
penggantungannya ante-mortem.
5) Fraktur kartilago tiroid jarang terjadi. Pada korban diatas 40 tahun, patah
tulang ini darap terjadi bukan karena tekanan alat penjerat tetapi karena
terjadinya traksi pada penggantungan.
6) Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas. Fraktur ini sering
terjadi pada korban hukuman gantung
Dada dan perut :
1) Perdarahan pada pleura, pericard atau peritoneum
2) Organ-organ dapat mengalami kongesti atau bendungan
2.7. Perbedaan Gantung Dan Jerat
Tabel 2.1 Perbedaan penggantungan dengan penjeratan : (12)
12
4. Tulang hyoid Sering patah Jarang patah
13
5. Lidah Terjulur/ tidak terjulur Tidak, kecuali cekik
sama sekali
14
2.10. Temuan Pada Pemeriksaan TKP Korban Gantung
Pemeriksaan langsung di TKP membantu menentukan cara kematian.
Pada kasus gantung diri, dimana korban ditemukan biasanya tenang, dalam
ruang tersembunyi atau tempat yang sudah digunakan. Posisi korban yang
tergantung lebih mendekati lantai, pakaian korban rapi, sering ditemukan
surat peninggalan pada saku yang berisi alasan mengapa korban melakukan
tindakan tersebut.
Pada leher, tidak jarang diberi alas sapu tangan atau kain sebelum alat
penjerat dikalungkan ke leher. Seringkali korban mengikat tangannya ke
belakang agar tidak berubah pikiran. Jumlah lilitan bisa saja hanya satu kali;
semakin banyak lilitan, dugaan bunuh diri semakin besar. Simpul alat
penjerat biasanya simpul hidup dan letak simpul dapat di mana
saja. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara untuk memperkirakan cara
kematian memberikan gambaran:
A. Kasus pembunuhan
1) Alat penjerat
Simpul biasanya simpul mati
Jumlah lilitan hanya satu
Arah jeratan mendatar
Jarak titik tumpu ke simpul dekat
2) Korban
Jejas jerat berjalan mendatar
15
Terdapat luka perlawanan
Terdapat luka-luka lain, sering di daerah leher
Jarak dari lantai: jauh
3) TKP
Lokasi bervariasi
Kondisi tidak teratur
Pakaian tidak teratur, robek
Alat dari si pembunuh
Tidak ditemukan surat peninggalan
Ruangan tidak teratur, terkunci dari luar
B. Kasus bunuh diri
1) Alat penjerat
Simpul biasanya simpul hidup
Jumlah lilitan satu atau lebih
Arah jeratan serong ke atas
Jarak titik tumpu ke simpul: jauh
2) Korban
Jejas jerat berjalan meninggi ke arah simpul
Tidak terdapat luka perlawanan
Biasanya tidak ada luka, mungkin terdapat luka percobaan lain
Jarak dari lantai dekat, dapat tidak tergantung
4) TKP
Lokasi tersembunyi
Kondisi teratur
Pakaian rapi dan baik
Alat berasal dari yang ada di TKP
Ditemukan surat peninggalan
Ruangan terkunci dari dalam (7,10)
2.11. Pemeriksaan Autopsi dari Korban
Ada beberapa hal yang dapat kita jumpai pada pemeriksaan luar dan
dalam autopsi. Ada 5 bagian tubuh korban yang kita perhatikan saat
melakukan pemeriksaan luar autopsi, yaitu:
1) Kepala
2) Leher
3) Anggota gerak (lengan dan tungkai)
4) Dubur
5) Alat kelamin.
Ada 4 bagian kepala korban yang kita perhatikan saat melakukan
16
pemeriksaan luar autopsi, yaitu:
1) Muka
2) Mata
3) Konjungtiva
4) Lidah
Lokasi luka pada leher korban penggantungan (hanging) dapat
berada di depan,samping dan belakang leher. Luka yang berada di
depan leher kita ukur dari dagu atau manubrium sterni korban. Luka yang
berada di samping leher kita ukur dari garis batas rambut korban. Luka yang
berada di belakang leher kita ukur dari daun telinga atau bahu korban.
Jenis luka korban penggantungan (hanging) terdiri atas luka lecet,
luka tekan dan luka memar. Penting juga kita mendeskripsikan
mengenai warna, lebar, perabaan dan keadaan sekitar luka. Anggota
gerak korban penggantungan (hanging) dapat kita temukan adanya lebam
mayat pada ujung bawah lengan dan tungkai. Penting juga kita ketahui ada
tidaknya luka lecet pada anggota gerak tersebut.
2.12. Aspek Medikolegal Pada Pengantungan
Prosedur mediko-legal adalah tata-cara atau prosedur penatalaksanaan
dan berbagai aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan
hukum. Secara garis besar prosedur mediko-legal mengacu kepada
peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia, dan pada beberapa
bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika kedokteran. Ruang
lingkup medikolegal dapat disimpulkan sebagai yang berikut :
a. Pengadaan visum et repertum,
b. Tentang pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka.
c. Pemberian keterangan ahli pada masa sebelum persidangan dan
pemberian keterangan ahli di dalam persidangan,
d. Kaitan visum et repertum dengan rahasia kedokteran,
e. Tentang penerbitan Surat Keterangan Kematian dan Surat Keterangan
Medik ,
f. Tentang kompetensi pasien untuk menghadapi pemeriksaan penyidik,
17
Setelah pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU No. 73
Tahun 1958 yang isinya menyatakan berlakunya UU No. 1 Tahun 1945
untuk seluruh Indonesia, maka suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah
ada, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 KUHP.6
Penggantungan lebih sering terjadi pada kasus bunuh diri. Tetapi tidak
menolak kemungkinan korban penggantungan mati akibat penganiayaan. Di
sini lah dapat dilihat fungsinya dari satu perundangan yang ditetapkan pada
buku kedua KUHP Bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa.
Pada kasus penggantungan, dokter forensik dipanggil untuk membuat
pemeriksaan lengkap sesuai dengan Pasal 133 KUHAP yang menyatakan
dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Pada pasal 133 KUHAP (ayat 2 dan 3) menyatakan permintaan keterangan
ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang
dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat; dan mayat yang
dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit
harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat
tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi
cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pernyataan ini menjadi dasar pembuatan visum et repertum (laporan
bertulis) pada kasus tindak pidana.12
Salah satu pemeriksaan yang dilakukan pada korban mati akibat
penggantungan adalah otopsi. Hal ini dapat membantu dokter forensic untuk
mengetahui mekanisme kematian sehingga dapat membantu penyidik
mengetahui cara kematian korban. Sesuai dengan Pasal KUHP 222 yang
menyatakan barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi
atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana
18
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.12
Pada persidangan kasus pidana, dokter forensic akan dipanggil
sebagai saksi ahli. Sesaui dengan Pasal 179 ayat 1 KUHAP yang
menyatakan setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli
demi keadilan.12
19
BAB III
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA