Anda di halaman 1dari 13

STRANGULASI

Paper ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti kepaniteraan


klinik senior di bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal dr. Pirngadi
Medan

DI SUSUN OLEH :
1. Theresia Simalango 2101002
2. Elmin Wiranti 2101003
3. Rizky Syaputra 7112700891040
4. Surani

PENGUJI :
Dr. Rahmadsyah , Sp.FM

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

DEPARTEMEN KEDOKTERAN FORENSIK dan MEDIKOLEGAL

RUMAH SAKIT UMUM Dr. PIRNGADI

MEDAN

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “undang
- undang yang mengatur dokter sebagai saksi ahli”. Penulisan paper ini
dilakukan dalam rangka memenuhi syarat penilaian Kepanitraan Klinik
Senior di bagian/KSM Ilmu Kedokteran forensik dan medikolegal.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari


berbagai pihak sejak masa perkuliahan klinik di bagian/ KSM Ilmu
Kedokteran forensik dan medikolegal sampai pada penyusunan paper ini,
sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan paper ini, oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Rahmadsyah, Sp.FM selaku
pembimbing selama mengikuti KKS di bagian/ KSM Kedokteran forensik
dan medikolegal yang telah membimbing penulis dengan tulus dan ikhlas
dengan segenap keilmuannya.
Penulis menyadari penyusunan paper ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun. Akhir kata, semoga Allah SWT berkenan membalas
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, September 2022

Penulis
LEMBAR VERIFIKASI

Dibacakan tanggal :

Nilai :

Dokter
pembimbing

dr. Rahmadsyah, Sp. FM


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. ii

DAFTAR ISI .................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................... 5

2.1 Definisi........................................................................................ 5

2.2 Jenis strangulasi.......................................................................... 5

2.3 Mekanisme strangulasi................................................................ 8

2.4 Penjeratan dengan tali................................................................ 22

2.5 Strangulasi manual (Pencekikan)............................................... 24

2.6 Pemeriksaan luar....................................................................... 25

2.7 Pemeriksaan dalam.................................................................... 26

2.8 Medikolegal................................................................................ 28

2.9 Perbedaan mati gantung dan penjeratan..................................... 28

BAB III KESIMPULAN …................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 26
BAB I

PENDAHULUAN

Strangulasi merupakan salah satu bentuk asfiksia anoksik dengan


karakteristik penutupan pembuluh darah dan aliran udara di leher akibat dari
tekanan dari luar leher. Terdapat tiga bentuk strangulasi yaitu gantung
(hanging), penjeratan (ligature strangulation), dan cekikan (manual
strangulation).

Pada jenazah kecurigaan strangulasi perlu diselidiki cara kematian


apakah merupakan kematian yang wajar, tidak wajar atau tidak dapat
ditentukan. Kecelakaan, bunuh diri, ataupun pembunuhan merupakan
permasalahan yang harus dijawab, dibuat terang oleh dokter dan penyidik.
Kejelasan tersebut memang diperlukan dan harus diusahakan karena baik
kecelakaan, bunuh diri atau pembunuhan membawa implikasi yang berbeda-
beda, baik ditinjau dari sudut penyidikan maupun dari sudut proses
peradilan pada umumnya.

Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan yang menangani


seorang korban yang diduga mengalami peristiwa pidana, seorang penyidik
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau dokter ahli lainnya. Seorang dokter
sebagaimana pasal 179 KUHAP wajib memberikan keterangan yang sebaik-
baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan di bidang keahliannya
demi keadilan. Untuk itu, sudah selayaknya seorang dokter perlu
mengetahui dengan seksama perihal ilmu forensik mengenai asfiksia
mekanik akibat strangulasi yang merupakan salah satu penyebab kematian
yang paling banyak ditemukan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Strangulasi (penjeratan) merupakan salah satu bentuk asfiksia anoksik


dengan karakteristik penutupan pembuluh darah dan aliran udara di leher
akibat dari tekanan dari luar leher. Terdapat tiga bentuk strangulasi yaitu
gantung (hanging), penjeratan (ligature strangulation), dan cekikan (manual
strangulation).
Menurut para ahli lainnya strangulasi (penjeratan) adalah kematian
yang terjadi akibat penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai,
stagen, kawat, kabel, kaus kaki nilon atau sejenisnya, yang
melingkari/mengikat leher makin lama makin kuat, sehingga saluran
pernafasan tertutup.

2.2 Jenis Strangulasi


Terdapat beberapa tipe, yaitu:
 Strangulasi sejati (menggunakan tali).
 Strangulasi manual (menggunakan tangan).
 Strangulasi mugging (leher ditekan dengan menggunakan kaki,
lutut, siku, atau benda keras lainnya.
 Bansdola (menggunakan 2 buah bambu, satu bambu diletakkan di
bagian anterior dan yang lain di bagian posterior leher).
2.3 Mekanisme Strangulasi
Kematian sering terjadi karena kombinasi beberapa sebab, berikut:
1. Asfiksia
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya
gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah
berkurang atau hipoksia disertai dengan peningkatan karbon dioksida.
Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen dan
terjadi kematian. Asfiksia yang terjadi pada penjeratan berbeda
dengan asfiksia pada penggantungan. Pada penjeratan, ikatan yang
terjadi sewaktu penjeratan berlangsung merupakan faktor yang
terpenting terhalangnya jalan nafas. Dengan demikian faktor yang
terpenting ada pada alat penjerat, berbeda dengan penggantungan
dimana berat badan korban merupakan faktor yang dominan.
2. venous congestion, aliran arteri masih masuk ke otak, sementara aliran
vena tertutup.
3. Iskemi otak, darah arteri tidak mengalir lagi ke otak.

4. Refleks vagal (vagal refleks), dimana tekanan pada sinus karotis dapat
menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti berdenyut.
Kelainan yang ditemukan terbatas pada alat penjerat dengan luka lecet
tekan akibat alat penjerat (jejas kerat). Refleks ini disebut juga refleks
inhibisi vagal terhadap kerja jantung. Merupakan penyebab kematian segera
(immediate death). Pada keadaan ini biasanya diikuti oleh fibrilasi ventrikel,
dengan hasil berkurangnya detak jantung kemudian beberapa saat terjadi
takikardia sampai terjadi kematian.
2.4 Penjeratan Dengan Tali
Sama dengan mati gantung, bahan apa saja dapat dipakai untuk
maksud ini. Biasanya penjeratan dilakukan dalam pembunuhan, apalagi
korban perkosaan. Walaupun sama-sama ada bekas jeratan dileher seperti
hanging, tetapi strangulasi mempunyai ciri khusus pula. Karena dokter tidak
datang ke TKP, maka pemeriksaan pada mayat harus hati-hati, karena yang
didapati dokter di meja autopsi hanya bekas jeratan di leher. Bentuk, jenis
tali, dan simpul sering tidak disertakan pada mayat (telah dilepas), bila
masih ada, tali diputuskan di luar simpul supaya bisa direkonstruksi
kembali.
Pada penjeratan dengan tali dapat ditemukan:
a. Luka lecet berbentuk bulan sabit yang disebabkan oleh kuku (baik
kuku si penjerat atau kuku korban sewaktu berusaha melepaskan
jeratan).
b. Patah tulang lidah tidak lazim kecuali dibarengi atau didahului
oleh pencekikan atau alat penjerat mempunyai bagian keras
menonjol dan tonjolan tersebut tepat menekan tulang lidah.
c. Bila mekanisme kematiannya asfiksia, maka baik pada
pemeriksaan luar atau pemeriksaan dalam akan ditemukan
kelainan yang sesuai kelainan karena mati lemas.
d. Bila kematiannya refleks vagal, maka kelainan yang ditemukan
terbatas pada alat penjerat dengan luka lecet tekan akibat alat
penjerat (jejas jerat).
2.5 Strangulasi Manual (Pencekikan)
Pencekikan adalah penekanan leher dengan tangan, yang
menyebabkan dinding saluran napas tertekan dan terjadi penyempitan
saluran napas sehingga udara pernapasan tidak dapat lewat. Pencekikan
dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
a. Menggunakan 1 tangan dan pelaku berdiri didepan korban.
b. Menggunakan 2 tangan dan pelaku berdiri didepan atau
dibelakang korban.
c. Menggunakan 1 lengan dan pelaku berdiri didepan atau
dibelakang korban.
Apabila pelaku berdiri dibelakang korban dan menarik korban ke arah
pelaku maka ini disebut mugging.
Pada pencekikan dapat ditemukan:
a. Ciri khas adalah adanya luka lecet berbentuk bulan sabit yang
disebabkan oleh tekanan kuku pencekik, dimana dari distribusi
luka tersebut dapat diketahui apakah korban dicekik dengan
tangan kanan, tangan kiri dan keduanya.
b. Patahnya tulang lidah yang disertai dengan resapan darah pada
jaringan ikat dan otot disekitarnya dapat merupakan petunjuk
yang hampir pasti bahwa korban mati dicekik. Selain patah tulang
lidah yaitu pada bagian cornunya, tulang rawan thyroid dapat juga
patah pada korban yang mengalami pencekikan.
c. Sembabnya katup pangkal tenggorok dan jaringan longgar
disekitarnya yang disertai dengan bintik-bintik perdarahan
dijumpai.
d. Jika mekanisme kematiannya asfiksia, maka pada korban akan
didapatkantanda-tanda asfiksia yang jelas.
e. Jika kematiannya karena inhibisi vagal, kelainan hanya terbatas
pada daerah leher tanpa disertai tanda-tanda asfiksia.

Gambar 1. gambar manual strangulasi


2.6 Pemeriksaan Luar
Bekas jeratan di leher berwarna merah kecoklatan, bersambung
(continous) dibawah atau setentang cartilago thyroid, lecet disekitar jeratan
karena perlawanan korban karena, kadang-kadang ada vesikel halus. Ini
menunjukkan korban masih hidup waaktu dijerat. Warna bekas jeratan
terlihat kemerahan karena tali segera dilepas atau longgar setelah korban di
jerat. Bila tetap terjerat dalam waktu lama, bisa dijimpai warna bekas jeratan
kecoklatan seperti kertas perkamen. Kematian biasanya berlangsung lebih
lama dari hanging, karena korban memberikan perlawanan dengan
menengangkan leher, sehingga proses kematian berlangsung lama.

Itu sebabnya tanda-tanda asfiksia pada penjeratan lebih jelas terlihat.


Muka terlihat bengkak dan membiru, mata melotot, begitu juga lidah
menjulur. Bintik perdarahan pada kening, temporal, kelopak dan bola mata
lebih jelas. Bisa didapati keluar feses dan urine. Karena strangulasi
umumnya karena pembunuhan maka sering didapati tanda-tanda
perlawanan. Bila terdapat kejang mayat (cadaveric spasme), maka
perhatikan apakah ada benda yang digenggam seperti rambut, kancing atau
robekan baju pelaku, hal ini penting untuk mengetahui siapa pelaku
kejahatan.

Gambar 2. Gambar tanda-tanda pemeriksaan luar pada Strangulasi

2.7 Pemeriksaan Dalam


Paling penting pemeriksaan daerah leher dimana terdapat lebam di
setentang dan sekitar penjeratan. Dijumpai fraktur tulang krikoid dan tulang
rawan trakea lainnya. Mukosa laring dan trakea menebal dan berwarna
merah, kadang- kadang disertai perdarahan kecil. Paru-paru congested
dengan tandatanda perbendungan, tradieu’s spot, begitu juga tanda
perbendungan pada organ lain.
2.8 Medikolegal
Umumnya karena pembunuhan. Dapat juga terjadi karena bunuh diri
dengan melilitkan tali beberapa kali sampai si korban kehilangan kesadaran
dan akhirnya mati karena si korban tidak bisa lagi melepaskan ikatan. Atau
pakai kawat wajah yang tetap terbentuk seperti waktu dililitkan atau setelah
di lilit dengan tali beberapa kali kemudian diperketat dengan mengunci
dengan sepotong kayu.
Kecelakaan sering pula terjadi karena leher terbelit oleh dasi yang
terjerat oleh mesin yang berputar. Bayi terbelit leher oleh tali pusat waktu
dilahirkan bukanlah hal yang jarang. Demikian juga usaha mencapai
kepuasan seks dengan membuat partial asfiksia.
2.9 Perbedaan Mati Gantung Diri dan Penjeratan

Observasi Mati Gantung Diri Penjeratan


Motif Bunuh diri Pembunuhan
Tanda asfiksia Kurang jelas Jelas
Tanda jeratan di leher Miring, tidak kontinu Horizontal dan
kontinu
Letak jeratan Antara dagu dan leher Dibawah tiroid
Bekas tali Keras, kering, coklat Lunak kemerahan
tua seperti kulit
disamak
Lecet setentang tali Jarang dijumpai Umumnya ada
Tanda perlawanan Tidak ada Sering ada
Fraktur laring dan Jarang Sering
trakea
Frantur os. Hyoid Sering Jarang
Dislokasi vertebra Ada pada juridical Jarang
hanging
Perdarahan pada Sangat jarang Ada, bersama buih
saluran pernapasan dari mulut dan hidung
Air ludah Mengalir dari salah satu Tidak ada
sisi sudut mulut
BAB III

KESIMPULAN

Strangulasi adalah terhalangnya udara masuk ke saluran pernafasan


akibat tenaga dari luar. Pada kasus strangulasi ini tidak ada faktor berat
badan dari korban seperti pada kasus hanging. Mekanisme kematiannya
lebih sering terjadi karena asfiksia dan refleks vagal . Pada kasus strangulasi
yang mekanisme kematiannya disebabkan oleh asfiksia maka ditemukan
tanda- tanda asfiksia, tetapi jika mekanisme kematiannya adalah karena
refleks vagal, maka tidak didapati tanda- tanda asfiksia. Aspek
medikolegalnya biasanya karena pembunuhan, atau bisa juga karena
kecelakaan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dahlan, Sofwan. Ilmu Kedokteran Forensik. Pedoman Bagi Dokter dan

Penegak Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

2007. Hal. 107-8.

2. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik.

1997. Hal. 55.

3. Idries AM. Penerapan ilmu kedokteran forensik dalam proses

penyidikan. 2007. Hal. 50-3.

4. Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 179.

1981.

5. Amir Amri, Rangkaian Ilmu kedokteran Forensik, Bagian Ilmu


Kedokteran dan Medikolegal FK- USU, Edisi II, Medan, 2000.
6. Idris Abdul Mun’im, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binarupa
Aksara, 1997.
7. Singh Surjit, Ilmu Kedokteran Forensik, Universitas Methodist
Indonesia, Medan, 2008.
8. Budiyanto Arif, et al, Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997.

Anda mungkin juga menyukai