Anda di halaman 1dari 26

GANGGUAN PEMUSATAN

PERHATIAN DAN HIPERAKTIVITAS


(ADHD)
Paper ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti
kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
atau Psikiatri RSU dr. Pirngadi Medan.

DI SUSUN OLEH :
Ira Nofika Deby
7117081321
PEMBIMBING
dr. Mawar Gloria Tarigan, Sp.KJ

SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN
2022

1
LEMBAR VERIFIKASI

Dibacakan tanggal :

Nilai :

Dokter pembimbing

(dr. Mawar Gloria Tarigan, Sp.KJ)

i
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di bagian SMF
Psikiatri Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan dengan judul“Gangguan
Pemusatan Perhatian dan hiperaktivitas (ADHD)”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar –


besarnya kepada dr. Mawar Gloria Tarigan, Sp.KJ, yang telah memberikan
bimbingan dan arahannya selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di bagian
SMF Psikiatri Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan dalam membantu
menyusun makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini memiliki banyak


kekurangan baik dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Harapan penulis semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan menambah
pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan ilmu
kedokteran dalam praktek di masyarakat.

Medan, Desember 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................... i

KATA PENGANTAR...................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1

1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1

1.2 Tujuan......................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3

2.1 Definisi........................................................................................................ 3

2.2 Epidemiologi............................................................................................... 3

2.3 Etiologi........................................................................................................ 3

2.4 Gambaran Klinis......................................................................................... 6

2.5 Diagnosis..................................................................................................... 7

2.6 Tatalaksana............................................................................................... 10

2.7 Diagnosis Banding.................................................................................... 15

2.8 Prognosis................................................................................................... 18

BAB III PENUTUP....................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH), yang dalam
bahasa inggris disebut attention deficit hyperactivity disorder (ADHD),
merupakan suatu kondisi medis yang terjadi secara persisten yang ditandai oleh
hiperaktivitas, ketidakmampuan memusatkan perhatian dan impulsivitas. sebagian
anak dapat menunjukkan gejala hiperaktif, yang lainnya menunjukkan gejala
kesulitan memusatkan perhatian, dan ada pula yang menunjukkan impulsivitas,
atau ketiga gejala tersebut terdapat secara bersamaan. Anak dengan ADHD jenis
predominan ketidakmampuan memusatkan perhatian, seringkali tampak sebagai
anak yang suka melamun, pasif dan sulit untuk beraktivitas dengan teman-
temannya.1
Anak yang mengalami GPPH pada umumnya tetap akan mengalami efeknya
sampai mereka remaja karena gejala GPPH umumnya menetap. Kejadian GPPH
pada anak (65-80%) akan menetap sampai anak tersebut memasuki usia remaja .
Sekitar 50% anak dengan gangguan tingkah laku akan mengalami gangguan
kepribadian antisosial di masa dewasanya.2
Prevalensi gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) pada
anak pra sekolah berkisar 3-10% . Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder edisi ke-4 melaporkan prevalensi GPPH sebesar 2-7% diantara anak usia
pra sekolah . American Psychiatric Association memperkirakan 3-7 dari 100 anak
sekolah menderita GPPH (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Penelitian lain
menyebutkan prevalensi GPPH pada anak di seluruh dunia berkisar 4- 7% .2
Prevalensi GPPH di Indonesia masih sedikit. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan di Semarang pada tahun 2016 – 2019 pada anak usia 4 – 5 tahun
didapatkan angka prevalensi sebesar 15,5%. Sebanyak 111 subyek yang diteliti,
didapatkan prevalensi GPPH 51 (45,9%) yang terdiri dari 43 (38,7%) laki-laki dan
8 (7,2%) perempuan. Jumlah GPPH tipe kombinasi 39 (76,5%), GPPH tipe

1
kurangnya perhatian 7 (13,7%), dan GPPH tipe impulsivitas-hiperaktivitas sebesar
5 (9,8%).2

1.2. Tujuan
Paper ini ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk mengikuti kepanitraan
klinik senior di Departemen Psikiatri. Paper ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan penulis dan pembaca mengenai gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktivitas sehingga dapat lebih mengetahui tentang gangguan ini serta
mendiagnosisnya. Pemahaman yang lebih baik tentang gangguan mental ini
diharapkan dapat memudahkan dalam diagnosis sehingga jika diketahui lebih dini,
pasien dapat memiliki prognosis yang lebih baik, sehingga mencegah terjadi
kesalahan pengobatan dan mencegah gangguan ini terjadi berlarut-larut.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.
2.1 Definisi
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) merupakan
suatu kondisi medis, yang ditandai oleh hiperaktivitas, ketidakmampuan
memusatkan perhatian dan impulsivitas, yang terdapat secara persisten (menetap).
Sebagian anak dapat menunjukkan gejala hiperaktif, yang lainnya menunjukkan
gejala kesulitan memusatkan perhatian, dan ada pula yang menunjukkan
impulsivitas, atau ketiga gejala tersebut terdapat secara bersamaan. Anak dengan
GPPH jenis predominan ketidakmampuan memusatkan perhatian, seringkali
tampak sebagai anak yang suka melamun, pasif dan sulit untuk ikut beraktivitas
dengan teman-temannya.1
GPPH adalah gangguan jiwa pada anak yang paling sering dijumpai di
klinik maupun masyarakat. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di
bidang kedokteran jiwa, sudah ditemukan cara mengatasi anak dengan GPPH,
baik secara organobiologis, maupun psikoedukatif ataupun sosiokultural.3
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM),
definisi GPPH telah mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan perubahan
konsep tentang penyakit tersebut. Sesuai dengan DSM IV, terdapat tiga gejala
utama yaitu inattentiveness atau tidak mampu memusatkan perhatian,
hiperaktivitas dan impulsivitas.3
2.2 Epidemiologi
Prevalensi GPPH tipe kombinasi lebih tinggi dibandingkan dengan
prevalensi gangguan pemusatan perhatian saja atau hiperaktif saja (Lahey, 1990).
Pada umumnya berbagai ahli mengemukakan prevalensi GPPH pada anak sekolah
berkisar 3%-10% (Pineda D., et al., 1999). Di Amerika Serikat para ahli
mempunyai kesepakatan bahwa prevalensi GPPH adalah 3%-5% pada populasi
anak (American Psychiatric Association, 1994). Berbagai penelitian terdahulu

3
menunjukkan prevalensi gangguan ini berkisar dari 1% sampai 29,2% (Wang et
al., 1992). Di Jakarta, prevalensi GPPH diantara anak Sekolah Dasar 26,2%
(Saputro D, 2004), proporsi terbesar adalah jenis gangguan tidak mampu
memusatkan perhatian yaitu sebesar 15,9 %.3
Berdasarkan sebagian besar riset medis di Amerika Serikat dan di Negara
lainnya, GPPH merupakan suatu gangguan yang kronik dan sudah ditemukan
terapi yang efektif untuk mengurangi masalah, namun belum ada terapi yang
dapat mengobati secara tuntas.3
2.3 Etiologi
Sampai sekarang ini belum ditemukan penyebab utama GPPH, berbagai
faktor berperan terhadap terbentuknya gangguan tersebut.3
Pada umumnya yang memegang peranan utama adalah faktor bawaan,
khususnya genetik, namun masalah saat hamil, melahirkan, menderita sakit parah
pada usia dini serta racun yang ada di sekeliling kita memperbesar risiko
terjadinya gangguan ini. Kesemua faktor ini berinteraksi satu sama lain yang
dapat memperberat GPPH (bio-psiko-sosial).3
Faktor psikososial berpengaruh terhadap perjalanan penyakit dan prognosis
dari gangguan tersebut. Kondisi psikososial yang buruk berpengaruh besar
terhadap interaksi anak dengan orangtua, sehingga masalah psikososial yang
timbul akibat gangguan ini akan semakin kompleks.3
1. Faktor genetik
GPPH terkait dengan genetik karena sering terdapat dalam keluarga.
Penelitian menunjukkan bahwa 25% keluarga dekat dari anak yang
menderita GPPH, juga menderita GPPH. Penelitian pada anak kembarpun
menunjukkan adanya kaitan genetik yang kuat. Sampai saat ini belum dapat
dibuktikan adanya kromosom abnormal sebagai penyebab gangguan ini.
Walaupun GPPH sangat terkait dengan faktor bawaan, namun kemungkinan
besar gangguan ini disebabkan oleh faktor heterogen.3,14
2. Faktor Neurologik (kerusakan dalam otak)
Pengetahuan tentang struktur otak, telah membantu para peneliti untuk
memahami GPPH. Rutter berpendapat bahwa GPPH disebabkan oleh

4
gangguan pada fungsi otak, karena didapatkan defisit aktivasi yang
disebabkan adanya patologi di area prefrontal dan/atau sagital frontal pada
otak dengan predominasi pada korteks otak. Adanya kerusakan otak
merupakan risiko tinggi terjadinya gangguan jiwa, termasuk GPPH.
Kerusakan otak pada janin dan neonatal paling sering disebabkan oleh
kondisi hipoksia.3,14
Pada tahun 2002 National Institute of Mental Health di Amerika melakukan
penelitian terhadap 152 anak laki-laki dan perempuan yang menderita
GPPH dibandingkan dengan 139 anak normal dengan umur yang sama.
Dilakukan pemindaian (scanning) pada otak kedua kelompok, minimal
sebanyak 2 kali. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa anak yang
menderita GPPH mempunyai otak yang lebih kecil 3 – 7% pada beberapa
bagian bila dibandingkan dengan otak anak normal.3,14
3. Faktor Neurotransmiter
Neurotransmiter yang diperkirakan berkaitan dengan terjadinya GPPH
antara lain nor-epinefrin dan dopamin.3,14
4. Faktor Psikososial
Faktor psikososial bukan merupakan penyebab namun dapat berpengaruh
pada perjalanan penyakit dan prognosis gangguan ini.3,14
5. Faktor Lingkungan
Berbagai toksin dari lingkungan yang dianggap sebagai penyebab GPPH
antara lain:3,14
 Rokok dan alkohol
Penelitian menunjukkan adanya kemungkinan hubungan antara
merokok dan minum alkohol selama kehamilan dan risiko terjadinya
GPPH. Oleh karena itu sebaiknya selama kehamilan jangan merokok
atau minum alkohol
 Konsentrasi timbal (Pb) yang tinggi dalam tubuh anak prasekolah juga
merupakan risiko tinggi terhadap terjadinya GPPH. Timbal biasanya
banyak terdapat pada cat, asap knalpot, bensin dll.
6. Trauma Otak

5
Beberapa anak yang mengalami kecelakaan dan trauma otak mungkin
menunjukkan beberapa gejala yang sama dengan perilaku penderita GPPH,
namun hanya sedikit penderita GPPH yang mempunyai riwayat trauma
otak.3,14
7. Gula dan Zat Tambahan Pada Makanan (Aditif)
Pada Tahun 1982 The National Institute of Health America menyatakan
bahwa pembatasan diet hanya menolong 5% dari anak penderita GPPH,
umumnya hanya pada anak yang alergi terhadap gula/zat tambahan.3,14
2.4 Gambaran Klinis
ADHD adalah gangguan perilaku yang timbul pada anak dengan pola gejala
restless atau tidak bisa diam, inattentive atau tidak dapat memusatkan perhatian
dan perilaku impulsif. secara umum pola gejala tersebut pada awalnya dikenal
sebagai hiperaktivitas pada anak. menurut Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder (DSM), definisi ADHD telah mengalami beberapa kali
perubahan sesuai dengan perubahan konsep tentang penyakit tersebut. Sesuai
dengan DSM IV, terdapat tiga gejala utama yaitu inattentiveness atau tidak
mampu memusatkan perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas.4,5
1. Tidak mampu memusatkan perhatian (Inattentiveness)
Sesuai dengan definisi, penderita ADHD menunjukkan kesulitan
memusatkan perhatian dibandingkan dengan anak normal dengan
umur dan yenis kelamin yang sama. Orangtua atau guru yang sering
mengemukakan masalah konsentrasi atau pemusatan perhatian dengan
istilah, seperti melamun, tidak dapat berkonsentrasi, kurang
konsentrasi, sering kehilangan barang-barang, perhatian mudah
beralih, belum dapat menyelesaikan tugas sendiri, kalau belajar harus
selalu ditunggu, sering bengong, mudah beralih darisatu kegiatan ke
kegiatan yang lain, lambat dalam menyelesaikan tugas.6,7
Masalah utama yag terjadi pada kondisi ini adalah terjadinya
penurunan persistensi upaya atau berkurangnya respons terhadap
tugas secara terus menerus akibat pengaruh dari dalam diri anak itu

6
sendiri, bukan karena pengaruh rangsangan atau sangat sedikit
pengaruh dari luar.6,7
2. Hiperaktivitas
Gangguan ini memiliki karakteristik utama yaitu aktivitas yang sangat
berlebihan atau tidak sesuai dengan tingkat perkembangannya, baik
aktivitas motorik maupun vokal. hiperaktivitas paling sering dijumpai
sebagai kegelisahan, tidak bisa diam atau restless, tangan dan kaki
selalu bergerak atau fidgety, tubuh secara menyeluruh bergerak tidak
sesuai situasi. Gerakan-gerakan tersebut seringkali tanpa tujuan, tidak
sesuai dengan tugas yang sedang dikerjakan atau situasi yang ada.
Orangtua atau guru sering mengungkapkan anak dengan hiperaktivitas
sebagai tidak dapat duduk diam, tidak bisa diam, nge-gratak, lasak,
banyak bicara, berlari-lari.
Gejala ini sangat berfluktuasi yang menunjukkan adanya kegagalan
mengatur tingkat aktivitas sesuai dengan situasi atau tuntutan tugas.
gejala hiperaktivitas bukan merupakan gejala yang terpisah dari
impulsivitas. Barkley berpendapat bahwa dalam koseptualisasi
gangguan ini dan penetapan gejala klinis, psikopatologi hiperaktif-
impulsif di antara tiga karakteristik utama gangguan ini lebih penting
daripada tidak mampu memusatkan perhatian, sehingga ia
berpendapat bahwa poor self regulation dan inhibition of behavior
merupakan dua hal yang berbeda pada gangguan ini.6,7
3. Perilaku impulsif (Impulsiviness)
Anak yang menderita ADHD pada umumnya tidak mampu
menghambat tingkah lakunya pada waktu memberikan respons
terhadap tuntutan situasional dibandingkan dengan anak normal pada
umur dan jenis kelamin sama. Kondisi ini sering disebut sebagai
impulsivitas. Seperti halnya dengan gejala tidak mampu memusatkan
perhatian, gejala ini juga merupakan kondisi multi dimensional.
Gejala impulsivitas dapat berupa tingkah laku kurang terkendali, tidak

7
mampu menunda respons, tidak mampu menunda pemuasan, atau
menghambat prepotent respons atau respon yang sangat mendesak.
Gambaran klinis anak yang menderita gangguan ini sering dilaporkan
terlalu cepat memberikan respons, terlalu cepat memberikan jawaban
sebelum pertanyaan selesai ditanyakan. sebagai akibatnya ia sering
melakukan kesalahan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Anak ini
juga tidak mampu mempertimbangkan akibat buruk atau akibat yang
merugikan dari keadaan di sekitarnya atau perilakunya, sehingga ia
terlalu sering mengambil risiko yang tidak perlu. Orangtua atau guru
sering mengungkapkan gejala impulsivitas sebagai sering usil, sering
mengganggu anak lain, sering menyelak dalam pembicaraan orang
lain, sering tidak sabar, cepat bodan, sering tidak dapat menunggu
giliran, sering gusar bila keinginannya tidak terpenuhi.4,5
2.5 Diagnosis
Untuk menemukan kriteria diagnosisnya, penting untuk  mengetahui gejala
di bawah ini :8
1. Onsetnya sebelum usia 7 tahun (ADHD) atau 6 tahun (HKD)
2. Sudah jelas nampak minimal selama 6 bulan
3. Harus pervasif (ada pada lebih dari 1 setting, misal rumah, sekolah,
lingkungan sosial)
4. Menyebabkan gangguan fungsional yang signifikan
5. Tidak ada penyebab gangguan mental lainnya (misal: gangguan
perkembangan pervasif, skizofrenia, gangguan psikotik lainnya, lainnya,
depresi atau anxietas)
6. Morbiditas penyerta meliputi kegagalan akademis, perilaku antisosial,
delinquency/ kenakalan, dan peningkatan resiko kecelakaan lalu lintas
pada remaja. Sebagai tambahan, dapat pula timbul pengaruh yang
dramatis di kehidupan keluarga.
Kriteria diagnosis ADHD and HKD telah diubah dengan masing-masing
revisinya di DSM-IV-TR dan ICD10. Mungkin akan ada revisi kriteria
selanjutnya untuk menunjukkan permasalahan yang menonjol seperti subtipe

8
gangguan, usia, onset dan aplikabilitas kriteria melewati  batas kehidupan.
kehidupan. Kriteria Kriteria DSM IV dan ICD-10 saat ini sama, dengan
perbedaan secara primer pada derajat beratnya gejala dan pervasiveness.
1. DSM membagi kriteria menjadi 2 : inatentif dan hiperaktif impulsif.
Enam dari 9 gejala di tiap seksi harus terdapat ‘tipe kombinasi’ dari
diagnosis ADHD. Jika gejala tidak mencukupi untuk diagnosis
kombinasi, maka tersedia diagnosis untuk predominan (ADHDI) dan
hiperaktif (ADHD-H). Gejalanya juga harus : kronis (selama 6 bulan),
maladaptif, gangguan secara fungsional pada 2 atau lebih konteks,
inkonsisten dengan tingkat perkembangan dan berbeda dengan gangguan
mental lainnya. Jadi DSM disini mengidentifikasi 3 subtipe ADHD: tipe
predominan inatentif (gejala khas inatensi namun tidak 
hiperaktivitas/impulsivitas); tipe predominan hiperaktif impulsif  (gejala
khas hiperaktivitas /impulsivitas) namun tidak inatensi); dan tipe
kombinasi (yang tanda gejalanya inatensi dan
hiperaktivitas/impulsivitas).
2. ICD menggunakan nomenklatur yang berbeda; Gejala-gejala yang sama
dideskripsikan sebagai bagian dari kelompok gangguan hiperkinetik
masa kanak, dan harus ada inatensi, hiperaktivitas dan impulsivitas; jadi
hanya mengkualifikasikan ADHD ‘tipe kombinasi’.
Kriteria diagnosis ICD bersifat lebih terbatas : gejalanya harus
ditemukan semua pada lebih dari 1 konteks. Lebih jauh lagi, ada kriteria
eksklusi yang sangat terbatas : sedangkan gangguan psikiatrik penyerta
yang ada diperbolehkan berdasarkan DSM-IV-TR, diagnosis gangguan
V-TR, diagnosis gangguan hiperkinetik tidak dibuat jika tidak dibuat jika
kriteria untuk gangguan tertentu lainnya, guan tertentu lainnya, meliputi
keadaaan anietas ditemukan-kecuali jika gangguan hiperkinetik  ini
merupakan tambahan dari gangguan lainnya.
Maka dari itu gangguan hiperkinetik (ICD-10) menggambarkan
suatu kelompok yang membentuk subkelompok berat dari subtipe ADHD
kombinasi milik DSM-IV-TR. Gangguan hiperkinetik lebih jauh lagi

9
dibagi menjadi gangguan hiperkinetik dengan atau tanpa gangguan
konduksi (gangguan tingkah laku).

2.6 Tatalaksanaan
Terdapat beberapa upaya yang dapat dipilih dalam menangani kasus GPPH,
baik secara farmakologis maupun non-farmakologis. Salah satu tatalaksana non-
farmakologis yang cenderung mudah untuk dilaksanakan ialah terapi bermain. Hal
tersebut dikarenakan, bermain merupakan salah satu penyokong tumbuh kembang
dari anak-anak. Melalui bermain, anak-anak dapat bebas mengeksplorasi
lingkungan sekitar serta mengutarakan ide dan perasaannya. Terapi bermain dapat
membantu mengendalikan aktivitas berlebih, meningkatkan daya konsentrasi,
serta melatih mengendalikan sifat agresifnya.9
2.6.1 Terapi non Farmakologi12
1. Intervensi Psikososial
a. Intervensi psikososial berdasarkan klinis
i. Intervensi psikososial keluarga Intervensi psikososial tipe
bahavioral yang didasarkan pada keluarga direkomendasikan
untuk terapi behavioral komorbid.
ii. Terapi individual Intervensi psikososial individual tidak
direkomendasikan rutin.
b. Intervensi psikososial berdasarkan sekolah
Anak dengan ADHD/gangguan hiperkinetik membutuhkan  program
program intervensi intervensi sekolah sekolah individual individual
meliputi meliputi intervensi intervensi  behavioral dan akademik.
2. Intervensi diet
Ada sedikit bukti mengenai keuntungan pemberian suplemen mineral
(besi, magnesium, seng) pada ADHD/gangguan hiperkinetik. Beberapa
bukti menyebutkan kadar seng yang rendah pada rambut dan urin
berkaitan dengan respon yang buruk terhadap methylphenidate,
meskipun belum terdapat studi yang menyebutkan  bahwa suplementasi
suplementasi seng dapat memperbaiki memperbaiki respon terhadap

10
terhadap obat. Suplementasi asam lemak esensial mungkin bermanfaat,
khususnya  pada individu individu yang kadar asam lemak tak jenuhnya
jenuhnya rendah. rendah. Namun  belum ada bukti yang cukup untuk
mendukung mendukung pemakaian pemakaian rutin suplementasi
mineral untuk manajemen ADHD.
Permasalahan mengenai gula halus dan zat makanan tambahan  buatan
buatan memiliki memiliki efek samping samping pada perilaku perilaku
anak, masih menjadi menjadi konflik. Dalam bukti sekarang ini, tidaklah
mungkin merekomendasikan restriksi atau eliminasi makanan pada anak 
dengan ADHD.
Hal-hal yang bisa diperhatikan dari diet untu anak  ADHD/gangguan
hiperkinetik, antara lain :
 Bahan makanan aditif
 Suplementasi asam lemak omega-3 dan omega-6
 Suplementasi besi, seng, magnesium
 Antioksidan
2.6.2 Terapi Farmakologi13,15
Terdapat 3 obat lisensi untuk terapi ADHD/ gangguan hiperkinetik  di
Amerika Serikat : methylphenidate hydrochloride, dexamfetamine sulphate dan
atomoxetine. Methylphenidate dan atomoxetine digunakan untuk usia 6 tahun atau
lebih, sedangkan dexamphetamine untuk usia 3 tahun atau lebih. Medikasi tidak
direkomendasikan untuk usia pre sekolah.
Inisiasi terapi farmakologis anak ADHD harus di bawah kendali dokter
spesialis, baik psikiatrik anak dan remaja maupun pediatrik, yang telah menjalani
pelatihan penggunaan dan monitoring medikasi  psikotropik.
Harus dilakukan penilaian fisik dasar terlebih dahulu sebelum terapi
farmakologis dimulai, minimal meliputi : nadi, tekanan darah, berat dan tinggi
badan dengan grafik centile yang sesuai dalam ukuran  parameter.  parameter.
EKG sebaiknya sebaiknya dipertimbangkan dipertimbangkan pada kasus-kasus
kasus-kasus tertentu. tertentu. Klinisi harus menginformasikan keuntungan

11
potensial dan efek samping medikasi. Keuntungan lanjutan dan kebutuhan untuk
medikasi dinilai minimal 1 tahun sekali.
1. Psikostimulan
Studi-studi metanalisis dengan kualitas yang tinggi (durasi minimal
2 minggu) menggunakan psikostimulan (methylphenidate dan
dexamphetamine) atau psikostimulant (atomoxetine), menyimpulkan
bahwa keduanya  bahwa keduanya efektif untuk efektif untuk terapi
ADHD, terapi ADHD, meskipun psikostimulan meskipun psikostimulan
memiliki pengaruh yang lebih besar. Psikostimulan yang biasa digunakan
di USA adalah methylphenidate (MPH) dan dexamphetamine (DEX).
Methylphenidate tersedia dalam bentuk  immediate atau modified release
untuk memfasilitasi medikasi sepanjang hari. DEH digunakan untuk anak
usia 2 tahun atau lebih, sedangkan MPH untuk usia 6 tahun atau lebih.
DEX efektif untuk  mengatasi gejala inti ADHD/ gangguan hiperkinetik.
Psikostimulan merupakan terapi lini pertama untuk mengatasi gejala inti
ADHD atau gangguan hiperkinetik.
Efek samping yang paling sering muncul : insomnia, nafsu makan
berkurang,  berkurang, nyeri perut, sakit kepala dan pening. pening.
Sebagian Sebagian besar efek  samping psikostimulan jangka pendek
sering berkaitan dengan dosis dan bersifat subyektif. Efek samping akan
berkurang dalam waktu 1-2 minggu dari awal terapi dan akan hilang jika
terapi dihentikan atau dosisnya diturunkan dan biasanya nampak pada
anak usia pre-sekolah.
Saat pertama kali memberikan dan menitrasi psikostimulan,
kontak  reguler antara keluarga dan klinisi sangatlah penting karena
berkaitan dengan pertanyaan dan penilaian yang diperlukan.
Pemberian resep psikostimulan dimulai dengan dosis sekecil
mungkin dan titrasi dengan jadwal 2-3 kali mungkin dan titrasi dengan
jadwal 2-3 kali sehari, sehari, tingkatkan dosis dengan tingkatkan dosis
dengan interval per minggu sampai didapatkan respon yang memuaskan
atau efek samping yang mengganggu. Perlu diingat bahwa efek samping

12
psikostimulan  psikostimulan berkaitan berkaitan dengan dosis, maka
tentukan tentukan dosis efektif  efektif  terendah yang menghasilkan efek
terapeutik maksimum dan efek samping minimum. Rekomendasi dosis
terutama dosis harian maksimum yang disarankan, belum ditentukan oleh
penelitian. Secara tradisional  pendekatan  pendekatan pada jadwal obat
yang teliti telah dianjurkan dianjurkan dengan regimen regimen yang
ditentukan secara empiris. Respon terhadap MPH dan DEX  bervariasi
bervariasi dan tidak dapat diprediksi diprediksi dengan dasar suatu dosis
atau berat  badan.  badan. Keduanya Keduanya merupakan merupakan
obat polar yang diekskresikan diekskresikan dengan cepat dan tidak
terakumulasi di lemak tubuh.
Pemberian berdasarkan sifat respon psikostimulan yang bervariasi
memberikan keuntungan bagi beberapa anak yang memerlukan dosis
lebih tinggi. Jadwal dosis berdasark dosis berdasarkan berat dapat
membatasi titrasi berat dapat membatasi titrasi dosis yang dosis yang  pas
utuk anak yang membutuhkan membutuhkan dosis yang lebih tinggi
untuk  mengontrol gejala mereka. Sebalikny ntrol gejala mereka.
Sebaliknya, metode a, metode titrasi dosis tipe titrasi dosis tipe pil (fixed   
pill-type  pill-type dose titration titration methods methods) dapa t
memaparkan an arkan anak yan g kecil g kecil ke dosis yang tinggi, dan
potensial menghasilkan efek samping yang tidak  diinginkan.
Jika terdapat gangguan hiperkinetik/ADHD persisten sampai pada
usia dewasa atau pada kasus-kasus dimana gejala inti cepat timbul
kembali  bila psikostimulan dihentikan, maka diperlukan terapi jangka
panjang. Jika tidak ada perbedaan berarti pada perilaku anak saat ia
menjalani/ tidak  menjalani pengobatan, maka terapi bisa dihentikan untk
periode yang lama. Jika tak lama. Jika tak ada perbedaan yang besar pada
anak ada perbedaan yang besar pada anak yang menja yang menjalani
terapi lani terapi dan kesukaran perilaku tetap berlanjut, maka perlu
untuk mengevaluasi kembali dosisnya, mengganti dengan medikasi lain,
atau lain, atau mengevaluasi ulang strategi psikologis dan behavioralnya.

13
Psikostimulan tak perlu dihentikan pada onset pubertas karena
keefektifannya baik pada remaja dan dewasa.
2. Atomoxetine
Peresepan atomoxetine untuk individu dibawah 70 kg didasarkan
pada berat badannya. Atomoxetine badannya. Atomoxetine dimulai
dimulai dengan dosis awal rendah 0,5 mg/kg/hari minimal 7 hari sebelum
ditingkatkan ke dosis maintanance 1,2 mg/kg/hari.
Pengaruh atomoxetine bisa tidak nampak selama 4 minggu atau
lebih. Saat terapi dimulai, keefektifannya akan timbul selama periode 24
jam atau lebih dengan kemungkinan kemungkinan efek yang lebih besar
pada 12 jam atau lebih dari waktu setelah minum obat. Kombinasi awal
jangka pendek  medikasi psikostimulan mungkin perlu selama fase
transisi.
Atomoxetine direkomendasikan untuk asikan untuk terapi gejala
terapi gejala inti ADHD/ inti ADHD/ gangguan hiperk an hiperkinetik
pada anak tik pada anak yang tidak cocok, intoleransi atau inefektif
dengan medikasi psikostimulan. Pada pemberian atomoxetin, klinisi
harus mereview minimal selama 6 bulan, meliputi penilaian keefektifan,
efek tifan, efek samping dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan, nadi,
tekanan darah menggunakan grafik persentil. Monitoring tambahan
diperlukan pada penderita yang memiliki resiko kardiovaskuler,
hepatobilier, kejang dan resiko bunuh diri besar.
3. Antidepresan trisiklik (TCAs)
Merupakan obat yang paling banyak ditemukan dan medikasi
nonstimulan yang banyak dipe yak dipelajari untuk terap uk terapi
ADHD/ gangg D/ gangguan hiperkinetik. TCAs meliputi : imipramine,
desipramine, amitriptyline, nortriptyline and clomipramine.
TCAs dipetimbangkan untuk terapi gejala behavioral ADHD/
gangguan hiperkinetik. Kelompok obat ini lebih berpengaruh pada gejala
behavioralnya daripada terhadapa gejala kognitifnya. TCAs memiliki

14
batas keamana yang lebih sempit daripada psikostimulan, disertai dengan
rentang efek samping potensial yang lebih lebar.
Antidepresan trisiklik tidak boleh digunakan rutin untuk terapi
ADHD/ gangguan hiperkinetik pada anak dan hanya digunakan pada
anak  yang tidak respon terhadap medikasi yang tidak respon terhadap
medikasi yang dianjurkan yang dianjurkan.
Efek samping yang Efek samping yang biasanya muncul meliputi
anoreksia, mulut kering ( dengan rasa logam dan asam), pening, ngantuk,
letargi dan insomnia, disertai dengan gejala antikolinergik lainnya.
Iritabilitas, mania, mudah lupa, dan bingung merupakan tanda-tanda
toksisitas sistem saraf   pusat.  pusat. TCAs khususnya khususnya
desipramine, desipramine, memiliki memiliki potensi potensi
kardiotoksik. kardiotoksik. Belum ada konsensus maupun penelitian yang
menentukan rekomendasi terapi TCAs dan regimen dosis optimumnya.
Dosis harian total rata-rata  berdasarkan tr  berdasarkan trial klinis ial
klinis 2,2 mg.kg/hari, 2,2 mg.kg/hari, dengan rentang dengan rentang
0,7-6,3 mg/kg.hari 0,7-6,3 mg/kg.hari untuk imipramine, desipramine,
amitriptilin dan klormipramin, sedang 0,4-4,5 mg/kg/ hari untuk
nortriptilin
Rencana terapi didasarkan pada kondisi masing-masing individu,
namun sebaiknya tetap dilakukan pengukuran berikut :
 Vital sign, pemeriksaan kardiovaskuler, dan EKG (nb. EKG belum
berarti  bebas dari efek kardiotoksik). kardiotoksik). Monitoring
Monitoring EKG sebaiknya sebaiknya dilakukan dilakukan sebelum
dan sesudah terapi. Dan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat
penyakit jantung personal dan keluarga.
 Mulai dengan dosis terbagi yang rendah dari imipramine atau
amitriptiline (10-25 mg/hari) atau nortriptiline (5-10 mg/hari) dan
peringatkan akan efek samping yang mungkin timbul
 Titrasi dosis sedikit demi sedikit dengan interval beberapa hari sambil
dimonitor efek sampingnya sampai target kira-kira 1-2 mg/kg/hari

15
untuk  imipramin dan amitriptilin serta 0,5-1 mg/kg/ hari untuk
nortriptilin.
 Jika tingkat dosis telah ditentukan, nilai ulang dan tanyakan mengenai
efek  nyakan mengenai efek  samping dan perilakunya secara klinis.
 Disarankan mengecek EKG dan serum level jika menggunakan dosis
di luar batas.
Reaksi withdrawal TCAs yang cepat perlu dihindari untuk  mencegah
influenza like symptoms karena cholinergic rebound. Hal ini meliputi malaise,
menggigil, gejala coryzal, meliputi malaise, menggigil, gejala coryzal, sakit
kepala, muntah dan nyeri kepala, muntah dan nyeri otot. Social withdrawal,
hiperaktivitas, depresi, agitasi, dan insomnia juga dapat terjadi. Pasien dengan
compliance yang rendah dapat mengalami  periodic  periodic self-induced self-
induced acute withdrawal  withdrawal  yang dapat disalahartikan sebagai efek
samping obat, dosis yang tidah adekuat, gangguan psikiatrik yang memburuk.
Dan hal ini membuat manajemen menjadi sukar.
2.7 Diagnosa Banding
Kriteria Diagnostik berdasarkan PPDGJ III10,11

berdasarkan PPDGJ III, gangguan hiperkinetik dimasukkan dalam satu


kelompok besar yang disebut sebagai gangguan perilaku dan emosional dengan
onset biasanya pada masa kanak dan remaja. Gangguan ini terdiri atas beberapa
jenis, yaitu:

 Gangguan aktivitas dan perhatian


 Gangguan tingkah laku hiperkinetik
 Gangguan hiperkinetik lainnya
 Gangguan hiperkinetik YTT
Pedoman diagnosis gangguan hiperkinetik berdasarkan PPDGJ III
 Ciri-ciri utama ialah berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan.
Kedua ciri ini menjadi syarat mutlak untuk diagnosis dan haruslah nyata
ada pada lebih dari satu situasi (misalnya di rumah, di kelas, di klinik).

16
 Berkurangnya perhatian tampak jelas dari terlalu dini dihentikannya
tugas dan ditinggalkannya suatu kegiatan sebelum tuntas selesai. Anak-
anak ini seringkali beralih dari satu kegiatan ke kegiatan lain, rupanya
kehilangan minatnya terhadap tugas yang satu, karena perhatiannya
tertarik kepada kegiatan lainnya (sekalipun kajian laboratorium  pada
umumnya tidak menunjukkan adanya derajat gangguan sensorik atau
perseptual yang tidak biasa). berkurangnya dalam ketekunan dan
perhatian ini seharusnya hanya didiagnosis bila sifatnya berlebihan bagi
anak dengan usia atau IQ yang sama.
 Hiperaktivitas dinyatakan dalam kegelisahan yang berlebihan, khususnya
dalam situasi yang menuntut keadaan relatif tenang. Hal ini, tergantung
dari situasinya, mencakup anak  itu berlari-lari atau melompat-lompat
sekeliling ruangan, ataupun bangun dari duduk/kursi dalam situasi yang
menghendaki anak tetap duduk, terlalu banyak bicara dan ribut, atau
kegugupan/kegelisahan dan berputar-putar (berbelit-belit). Tolak ukur
untuk   penilaiannya adalah bahwa suatu aktivitas aktivitas disebut
disebut berlebihan berlebihan dalam konteks konteks apa yang
diharapkan pada suatu situasi dan dibandingkan dengan anak-anak lain
yang sama umur  dan IQ nya. Ciri khas perilaku ini paling nyata di dalam
situasi yang terstruktur dan diatur  yang menuntut suatu tingkat sikap
pengendalian diri yang tinggi.
 Gangguan belajar serta kekakuan motorik sangat sering terjadi dan
haruslah dicatat secara terpisah (di bawah F80-F89, gangguan
perkembangan psikologis) bila ada: namun demikian tidak boleh
dijadikan bagian dari diagnosis aktual mengenai gangguan hiperkinetik
yang sesungguhnya.
 F 90.0, gangguan aktivitas dan perhatian. kriteria umum mengenai
gangguan hiperkinetik  (F 90) telah terpenuhi, tetapi kriteria untuk
gangguan tingkah laku (F 91) tidak terpenuhi. Termasuk: gangguan
defisit perhatian rmasuk: gangguan defisit perhatian dan hiperkinetik.

17
 F90.1, gangguan tingkah laku hiperkinetik. Memenuhi kriteria
menyeluruh mengenai gangguan hiperkinetik (F90) dan juga kriteria
menyeluruh mengenai gangguan tingkah laku (F91).
2.8 Prognosis
Gejala hiperaktif akan berkurang pada masa adolescence, sedangkan gejala
impulsive dan emosi yang labil akan menetap. Anak  dengan ADHD pada waktu
dewasa sering masih mempunyai gejala agresif  dan menjadi pencandu minuman
keras/alkoholisme). Prognosis lebih baik bila didapatkan fungsi intelektual yang
tinggi, dukungan yang kuat dari keluarga, temen teman yang baik, diterima di
kelompoknya dan diasuh oleh gurunya serta tidak mempunyai satu atau lebih
komorbid gangguan psikiatri.

18
BAB III
PENUTUP

3
3.1 Kesimpulan
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) merupakan
suatu kondisi medis, yang ditandai oleh hiperaktivitas, ketidakmampuan
memusatkan perhatian dan impulsivitas, yang terdapat secara persisten (menetap).
Sebagian anak dapat menunjukkan gejala hiperaktif, yang lainnya menunjukkan
gejala kesulitan memusatkan perhatian, dan ada pula yang menunjukkan
impulsivitas, atau ketiga gejala tersebut terdapat secara bersamaan. Anak dengan
GPPH jenis predominan ketidakmampuan memusatkan perhatian, seringkali
tampak sebagai anak yang suka melamun, pasif dan sulit untuk ikut beraktivitas
dengan teman-temannya.
Di Amerika Serikat para ahli mempunyai kesepakatan bahwa prevalensi
GPPH adalah 3%-5% pada populasi anak (American Psychiatric Association,
1994). Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan prevalensi gangguan ini
berkisar dari 1% sampai 29,2% (Wang et al., 1992). Di Jakarta, prevalensi GPPH
diantara anak Sekolah Dasar 26,2% (Saputro D, 2004), proporsi terbesar adalah
jenis gangguan tidak mampu memusatkan perhatian yaitu sebesar 15,9 %.
Berdasarkan sebagian besar riset medis di Amerika Serikat dan di Negara
lainnya, GPPH merupakan suatu gangguan yang kronik dan sudah ditemukan
terapi yang efektif untuk mengurangi masalah, namun belum ada terapi yang
dapat mengobati secara tuntas.
Penyebab pasti dan patologi ADHD masih belum terungkap secara  jelas.
jelas. Seperti Seperti halnya gangguan gangguan autism, autism, ADHD
merupakan merupakan statu kelainan kelainan yang bersifat multi faktorial.
Banyak faktor yang dianggap sebagai  penyebab  penyebab gangguan gangguan
ini, diantaranya diantaranya adalah faktor genetik,perkembangan genetik,
perkembangan otak saat kehamilan, perkembangan otak saat perinatal, tingkat

19
kecerdasan(IQ), lingkungan fisik, sosial danpola pengasuhan anak oleh orang tua,
guru dan orang-orang yang berpengaruh di sekitarnya. Melihat  penyebab
penyebab ADHD yang belum pasti terungkap terungkap dan ada beberapa
beberapa teori  penyebabnya,  penyebabnya, maka tentunya tentunya terdapat
terdapat banyak terapi atau terapi atau cara dalam penanganannya sesuai dengan
landasan dalam penanganannya sesuai dengan landasan teori pe teori
penyebabnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Marlina. Gangguan Pemusatan Perlutian dan Hiperoktiuitns pada Anak


/Marlina editor, tim editor UNP Press Penerbit UNP Press Padang, 2008 1
(satu) iilid; (85 Jis) 1&1 hal. 1-16. Available from:
http://repository.unp.ac.id/12720/1/Buku%20Gangguan%20Pemusatan
%20Perhatian%20dan%20Hiperaktivitas-ilovepdf-compressed%20ok.pdf
2. Tristanti Ika, Indanah, Prasetyo Teguh Imam. KEJADIAN GANGGUAN
PEMUSATAN PERHATIAN DAN HIPERAKTIVITAS (GPPH) PADA
ANAK PRA SEKOLAH DI RSUD DR LOEKMONOHADI KUDUS.
Indonesia Jurnal Kebidanan. 4. 2020. Available from:
file:///C:/Users/Win10/Downloads/1001-3480-1-SM.pdf
3. Kementerian Kesehatan. Berita Negara Republik Indonesia. Pedoman
Deteksi Dini Gangguan Pemutasian Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH)
pada anak serta penanganannya. 2011. Available from:
file:///C:/Users/Win10/Downloads/2011-Permenkes-Nomor
330_MENKES_PER_II_2011(peraturanpedia.id).pdf
4. Kaplan, M.D., Halord I, Sadock, M.D.,Benjamin J., Grebb, M.D. Jack A.
2010. Sinopsis Psikiatri, Jilid 2. Terjemahan Dr. Widjaja Kusuma.
tangerang: Binarupa Aksara.
5. Ramchandani P, Joughin C, Zwi M: Attention deficit hyperactivity disorder
in children. Clin Evid 2018 Jun; 262-71
6. Barkley RA. Attention Deficit Hyperactivity Disorder: A Handbook for
Diagnosis and Treatment. 2nd ed. New York, NY: Guilford Press; 2020.
7. Reiff MI, Banez GA, Culbert TP. Children who have attentional disorders:
diagnosis and evaluation. Pediatr and evaluation. Pediatr Rev. 1993;14:455–
465.
8. Andajani Sri Joeda. Model pembelajaran anak dengan gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktif. UNESA University Press. 2019. Surabaya.

21
9. Ningrum Rati Mei, Wibowo Satrio, Madjri Asmika, Ulfah Mega. Literature
Review: Hubungan Terapi Bermain dengan Daya Konsentrasi pada Anak
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH). Journal of
Issues in Midwifery. 6. 2022. Hal 1-9. Available from:
file:///C:/Users/Win10/Downloads/1.+Rati+Mei+Ningrum.pdf
10. Puri B. K, Laking P. J, Treasaden I. H. 2011. Buku Ajar Psikiatri, edisi 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
11. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasan dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Jaya BIKJFUA, editor. jakarta; 2017.
12. Konofal E, Lecendreux M, Deron J, dreux M, Deron J, Marchand M,
Cortese S, Zaim M, et Zaim M, et al. Effects al. Effects of iron
supplementation on attention deficit hyperactivity disorder in children.
Pediatr Neurol 2008;38(1):20-6.
13. Hayati, D. L., & Apsari, N. C. (2019). Pelayanan Khusus Bagi Anak
Dengan Attentions Deficit Hyperactivity Disorder (Adhd) Dalam
Meningkatkan Kebutuhan Pengendalian Diri Dan Belajar Di Sekolah
Inklusif. Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, 6(1),
108- 122.
14. Awiria, A., & Dariyanto, D. (2020). Analisis faktor-faktor penyebab Anak
menjadi Attention Deficit Hyperactive Disorder di SDN Teluk Pucung 01
Kota Bekasi. Wacana Akademika: Majalah Ilmiah Kependidikan, 4(2), 141-
147.
15. Yulianasari, H., & Susanti, N. (2019). Penatalaksanaan Fisioterapi pada
Kondisi Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dengan Metode
Neuro Senso Motor Reflex Development dan Play Therapy di YPAC
Surakarta. Pena Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 33(1), 44- 52.

22

Anda mungkin juga menyukai