Anda di halaman 1dari 16

Gangguan Stres Pasca Trauma

Paper ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti


kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Kesehatan Jiwa
atau Psikiatri RSUD dr. Pirngadi Medan.

DI SUSUN OLEH :

Theresia Septamaria Simalango


NPM : 2101002

PEMBIMBING
dr. Mawar Gloria Tarigan, Sp.KJ

SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN
2021

1
LEMBAR VERIFIKASI

Dibacakan tanggal :

Nilai :

Dokter pembimbing

dr. Mawar Gloria Tarigan, Sp.KJ

1
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di bagian SMF Psikiatri Rumah Sakit
Umum dr. Pirngadi Medan dengan judul “Gangguan Stres Pasca Trauma”
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar – besarnya
kepada dr. Mawar Gloria Tarigan, Sp.KJ, yang telah memberikan bimbingan dan
arahannya selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di bagian SMF Psikiatri Rumah
Sakit Umum dr. Pirngadi Medan dalam membantu menyusun makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan baik
dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan menambah pengetahuan
serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan ilmu kedokteran dalam praktek di
masyarakat.

Medan, April 2021

Penulis

1
DAFTAR ISI

LEMBAR VERIFIKASI..........................................................................................................i

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................3

1.1 Latar Belakang.........................................................................................................3


1.2 Tujuan.......................................................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................5

2.1 Definisi.....................................................................................................................5
2.2 Epidemiologi............................................................................................................5
2.3 Etiologi Gangguan Stres Pasca Trauma...................................................................5
2.4 Mekanisme Terjadinya Gangguan Stres Pasca Trauma...........................................6
2.5 Gambaran Klinis dan Diagnosis...............................................................................6
2.5.1 Gambaran Klinis.............................................................................................6
2.5.2 Diagnosis.........................................................................................................7
2.6 Diagnosis Banding...................................................................................................7
2.7 Penatalaksanaan........................................................................................................9
2.7.1 Farmakologi....................................................................................................9
2.7.2 Terapi Psikososial...........................................................................................9
2.8 Prognosis…………................................................................................................11

BAB III PENUTUP................................................................................................................13

3.1 Kesimpulan.............................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................14

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan stress pasca trauma (post traumatic stress disorder atau PTSD) merupakan
sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari
pengalaman yang amat pedih itu setelah stres fisik maupun emosi yang melampaui batas
ketahanan orang biasa (Kaplan, 1998). PTSD sangat penting untuk diketahui, selain karena
banyaknya kejadian bencana yang menimpa kita, PTSD juga dapat menyerang siapapun yang
telah mengalami kejadian traumatic dengan tidak memandang usia dan jenis kelamin.1
Gangguan psikologis setelah mengalami peristiwa traumatic atau stress berat, seperti
peristiwa perang telah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu. Pada tahun 1980, American
Psychiatric Association mulai memperkenalkan gangguan jiwa yang disebut sebagai
Gangguan Stres Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/ PTSD) dengan kriteria
diagnosis yang tercantum dalam DSM III dan juga oleh World Health Organization (WHO)
yang memasukkan diagnosis ini kedalam International Classification of Diseases (ICD) X.
Penelitian-penelitiaan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kasus gangguan stress pasca
trauma merupakan salah satu kasus psikiatri yang cukup sering di jumpai. Kasus ini dijumpai
pada sekitar 10,3% untuk pria dan 18,3% untuk wanita.2 Pada penelitian Rahmadian Ahmad
Ali dkk juga menunjukkan bahwa prevalensi gangguan stress pasca trauma lebih banyak pada
usia remaja dan pada kelompok perempuan remaja sebesar 25,4%.3
1.2 Tujuan
Paper ini ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk mengikuti kepanitraan klinik
senior di Departemen Psikiatri. Paper ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis
dan pembaca mengenai ganggaun stres pasca trauma sehingga dapat lebih mengetahui
tentang gangguan ini serta mendiagnosisnya.
Pemahaman yang lebih baik tentang gangguan mental ini diharapkan dapat
memudahkan dalam diagnosis sehingga jika diketahui lebih dini, pasien dapat memiliki
prognosis yang lebih baik, sehingga mencegah terjadi kesalahan pengobatan dan mencegah
gangguan ini terjadi berlarut-larut.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gangguan stres pasca trauma (PTSD) merupakan respons terhadap stresor yang
bersifat bencana mengerikan yang mampu diterima manusia secara umum. Peristiwa
traumatik itu dapat berupa kecelakaan hebat, perang, korban penyiksaan, aksi terorisme,
pemerkosaan, menyaksikan kematian yang mengerikan, berbagai peristiwa seperti kebakaran,
gunung meletus, banjir, tanah longsor, dan tsunami.4
2.2 Epidemiologi
Dari hasil laporan world health organization (WHO) tahun 2005 jumlah penduduk
dunia yang menderita PTSD mencapai 3.230.000 orang atau setara dengan 0,2% dari seluruh
masyarakat dunia. Dengan persebaran 28,5% atau 921.000 jiwa terdapat di Pasifik Barat,
27,4% atau 885.000 jiwa di Asia Tenggara, 14,2% atau 460.000 jiwa di Eropa, 12,6% atau
407.000 jiwa di Amerika, 9,3% atau 299.000 jiwa di Afrika dan 8,0% atau 258.000 jiwa
terdapat di Mediterania Timur. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2005 didapatkan bahwa sebanyak 140 per 1000
penduduk pada usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan jiwa dan 23% daintaranya
mengalami PTSD.5
2.3 Etiologi
Terjadinya gangguan stres pasca trauma didahului oleh adanya suatu stresor berat
yang melampaui kapasitas hidup seseorang, serta menimbulkan penderitaan bagi setiap
orang. Adapun juga yang menjadi faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami
gangguan stres pasca trauma yaitu:
a. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang bersangkutan
maupun keluarganya2
b. Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual
c. Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir2
d. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial2
e. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya problem
berupa kesulitan untuk menyesuaikan diri2
f. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna
g. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya baik
tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh individu yang

1
bersangkutan sebagai suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan
bagi dirinya.
Tipe kejadian yang cenderung akan meningkatkan angka kejadian gangguan stres
pasca trauma dapat dikategorikan menjadi:
a. Mereka yang mengalami tindak kekerasan interpersonal
b. Mereka yang mengalami kecelakaan atau bencana alam yang mengancam nyawa, baik
berupa kejadian yang alamiah atau kejadian yang dibuat oleh manusia.
c. Trauma berulang dan bersifat kronik.2
2.4 Mekanisme Terjadinya Gangguan Stres Pasca Trauma
Mekanisme terjadinya gangguan stres pasca trauma dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu:
a. Aspek biologi dari gangguan stres pasca trauma
Gejala-gejala gangguan stres pasca trauma timbul sebagai akibat dari respon
biologi dan juga psikologik seorang individu, kondisi ini terjadi oleh karena aktivasi
dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut. Dalam
hal ini, Amigdala merupakan bagian otak yang akan mengaktivasi beberapa
neurotransmiter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang mengalami
traumatik yang mengancam nyawa sebagai respon tubuh untuk menghadapi peristiwa
tersebut, amigdala dengan segera akan bereaksi dengan memberikan stimulus berupa
tanda darurat kepada: sistem saraf simpatis (katekolamin), sistem saraf parasimpatis,
Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (aksis HPA).2,6
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah mengalami
peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah.
Kondisi ini disebut sebagai reaksi fight or flight reaction. Reaksi sistem saraf
parasimpatis berupa membatasi reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan
tubuh, namun respons ini bekerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan respon
yang diberikan oleh saraf simpatis. Aksis HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa
neuropeptida otak pada waktu orang berhadapan dengan peristiwa traumatik.
Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico-Releasing Factor (CRF) dan beberapa
neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang
mensekresi pengeluaran adenocorticotropic hormone (ACTH) yang akhirnya
menstimulasi pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal.2,6

1
Pada penelitian Pitman (1989) menghipotesiskan bahwa pada individu yang
cederung untuk mengalami gangguan stres pasca trauma, mengalami gangguan dalam
regulasi neuropeptida dan juga katekolamin di otak pada waktu menghadapi peristiwa
traumatik. Katekolamin yang meningkat ini akan membuat individu tetap berada
dalam kondisi siaga terus-menerus. Jika hormon kortisol gagal menghentikan proses
ini, maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan
terjadinya konsolidasi berlebihan dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang
dialami.2,6
b. Aspek psikodinamik dari gangguan stres pasca trauma
Pada psikodinamik ini menjelaskan bahwa gangguan stres pasca trauma terjadi
oleh karena reaktivasi dari konflik-konflik psikologis yang belum terselesaikan
dimasa lampau. Sistem ego akan kembali teraktivasi dan berusaha untuk mengatasi
masalah dan meredakan kecemasan yang terjadi.2,6
Hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikodinamik dari gangguan stres pasca
trauma adalah:
1. Arti subjek dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari
peristiwa traumatik yang dialami oleh seseorang.
2. Kejadian traumatik yang dialami mungkin mereaktivasi konflik-konflik
psikologis akibat peristiwa traumatik di masa kanak.
3. Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi
sistem afeksi nya.
4. Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam
bentuk somatisasi atau aleksitimia.
5. Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu dengan
gangguan stres pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi,
disosiasidan rasa bersalah.
6. Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari
berbagai peran seperti penyelamat yang omnipoten atau korban yang
omnipoten.2,6
2.5 Gambaran Klinis dan Diagnosis
2.5.1 Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari gangguan gangguan stres pasca trauma sebagai berikut:

1
a. Adanya ingatan-ingatan kembali akan peristiwa-peristiwa traumatik yang pernah
dialami serta mendesak untuk timbul ke alam sadar dan disertai adanya mimpi-mimpi
buruk.
b. Adaya gejala-gejala yang timbul seperti:
1. Adanya gejala-gejala depresi (kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya
energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah, konsentrasi dan
perhatian berkurang, nafsu makan berkurang,dll)
2. Ide-ide bunuh diri
3. Penarikan diri dari lingkungan sosialnya
4. Kesulitan tidur
5. Penyalahgunaan alkohol/zat adiktif lainnya
6. Adanya berbagai keluhan fisik seperti nyeri kronik, irritable bowel symptoms)
Diagnosis gangguan stres pasca trauma tidak akan pernah dibuat jika dokter tidak
pernah menanyakan apakah individu pernah atau tidak pernah mengalami peristiwa traumatik
tertentu, seperti apakah pernah mengalami kekerasan baik fisik, emosional, atau seksual, atau
apakah pernah mengalami kecelakaan berat atau mengalami bencana alam atau kekerasan
militer atau peperangan.2,6
2.5.2 Diagnosis
Kriteria diagnosis dari gangguan stres pasca trauma berdasarkan DSM IV adalah
sebagai berikut: 2,6
a. Individu pernah terpapar dengan peristiwa traumatik berupa:
1. Individu mengalami, menjadi saksi mata atau berhadapan langsung dengan satu
kejadian atau beberapa kejadian yang mengerikan atau mengancam kehidupan
atau kecelakaan yang serius, atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri
atau orang lain.
2. Respons dari individu yang terlibat dalam peristiwa yang sangat mengerikan,
keputusasaan atau ketakutan yang luar biasa.
b. Pengalaman peristiwa traumatik selalu timbul berulang dalam salah satu bentuk
dibawah ini:
1. Adanya bayangan, pikiran atau persepsi yang berkaitan dengan peristiwa
traumatik yang timbul secara berulang dan menyebabkan penderitaan bagi
individu yang bersangkutan.

1
2. Adanya mimpi-mimpi buruk berulang yang menimbulkan penderitaan bagi
individu.
3. Berperilaku atau berperasaan seolah-olah peristiwa traumatik yang dialami itu
terjadi kembali (termasuk ilusi, halusinasi, dan episode disosiatif yang bersifat
flashback).
4. Adanya distress psikologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbol-simbol
yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya
secara internal maupun eksternal.
5. Adanya reaksi fisiologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbol-simbol yang
berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara
internal maupun eksternal.
c. Adanya perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus-stimulus yang
berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialami dan disertai dengan respons emosi
yang membeku secara keseluruhan (tidak dijumpai sebelum trauma terjadi), yang
ditunjukkan oleh 3 atau lebih gejala yaitu:
1. Adanya usaha untuk menghindari pikiran-pikiran, perasaan, atau pembicaraan
yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialaminya.
2. Adanya usaha untuk menghindari aktivitas, tempat-tempat atau orang-orang yang
membangkitkan ingatan-ingatan tentang peristiwa traumatik yang dialaminya.
3. Kesulitan untuk mengingat kembali aspek-aspek penting yang berkaitan dengan
peristiwa traumatik yang dialami.
4. Penurunan yang jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas-aktivitas.
5. Merasa asing atau merasa terpisah dari lingkungan atau orang-orang disekitarnya.
6. Adanya ekspresi afektif yang terbatas, misalnya tidak mampu lagi merasakan
perasaan dicintai.
7. Kehilangan motivasi untuk membina masa depannya
8. Adanya gejala yang menetap dari peningkatan kewaspadaan yang ditandai ileh 2
atau lebih dari gejala kesulitan untuk tidur atau jatuh tertidur, iritabilitas atau
mudah mengalami ledakan kemarahan, kesulitan berkonsentrasi, dan respon yang
kacau dan tidak terkendali.
d. Durasi dari gejala-gejala dalam kriteria 2,3, dan 4 berlangsung lebih dari satu bulan.
e. Gejala-gejala diatas jelas menimbulkan penderitaan atau hendaya dalam fungsi sosial,
pekerjaan atau fungsi-fungsi penting lainnya.

1
Spesifikasi:
a. Akut : jika durasi gejala-gejala kurang dari tiga bulan
b. Kronik : jika durasi gejala-gejala berlangsung tiga bulan atau lebih
c. Dengan awitan lambat : jika awitan dari gejala-gejala terjadi paling lama enam
bulan setelah mengalami peristiwa traumatik.
Kriteria diagosis dari gangguan stres pasca trauma berdasarkan PPDGJ III (F.43.1)
sebagai berikut: 2,6,7
a. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu enam
bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa
minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui enak bulan) kemungkinan
diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan
onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinis adalah khas dan
tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.
b. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-
mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashback).
c. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
d. Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya
saja bebrapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0
(perubahan kepribadian yan berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).
2.6 Diagnosis Banding
a. Psikosis akut
b. Reaksi stres akut
c. Gangguan penyesuaian
d. Gangguan depresi mayor8
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Farmakologi
Tergantung dari gejala yang menonjol saat itu, apakah sindrom cemas, depresif atau
disertai gejala psikotik2,8,9
a. Bila cemas, berikan benzodiazepine, misalnya
1. Lorazepam 1-2 x (0,5- 1mg)
2. Klobazam 2 x (5-10mg)

1
b. Bila depresif:
1. SSRI (Selective Seretonin Reuptake Inhibitor):
 Sertralin, dosis awal 1 x 12,5 – 25mg/ hari, dapat dinaikkan 1 x 50mg.
 Fluoxetine, dosis awal 1 x 5 – 10mg/ hari, dapat dinaikkan menjadi 1 x
20 – 40mg/ hari.
 Fluvoksamin, dosis awal 1 x 25mg, dapat dinaikkan menjadi 1 x 50 –
100mg/ hari.
 Escitalopram, dosis awal 1 x 5 – 10 mg/ hari, dapat dinaikkan menjadi
1x20mg/hari.
2. Antidepresan Derivat trisiklik:
 Amitriptilin 2 x (10-25 mg)
 Imipramin 1-2 x (10 – 25 mg)
3. Bila ada gejala psikotik, berikan antipsikotik, contohnya:
 Haloperidol, dosis 2 x 1 -5mg atau
 Risperidon, dosis 2 x 1 – 2mg atau
 Quetiapin, dosis 50-100mg
2.7.2 Terapi Psikososial
Tujuan terapi menurunkan atau menghilangkan reaksi kecemasan pasien terhadap
trauma yang berkaitan dengan stimulus, terdiri dari: 2,6,8,9
a. Edukasi tentang reaksi umum terhadap trauma
b. Latihan relaksasi
c. Terapi kognitif perilaku
d. Eye Movement Desensitation Reprocessing (EMDR)
e. Prolonged Exposure (PE)
2.8 Prognosis
Prognosis gangguan stres pasca trauma berbeda-beda tergantung pada pasien.
Prognosis yang baik ditentukan dengan:
a. Onset gejala yang cepat
b. Durasi gejala yang singkat
c. Fungsi premorbid yang baik
d. Dukungan sosial yang kuat
e. Tidak adanya gangguan psikotik
f. Kondisi medis
1
g. Dan penggunaan zat berbahaya lainnya seperti narkoba ataupun zat adiktif.
Prognosis yang buruk pada umumnya dialami oleh pasien yang berusia sangat muda
dan lanjut usia. Sedangkan pasien pada usia pertengahan, dapat ditoleransi lebih baik.9

1
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Gangguan stres pasca trauma (PTSD) merupakan respons terhadap stresor yang
bersifat bencana mengerikan yang mampu diterima manusia secara umum. Diagnosis PTSD
dapat ditegakkan melalui kriteria-kriteria yang tercantum pada DSM IV maupun PPDGJ III.
Penatalaksanaan gangguan stres pasca trauma (PTSD) dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
terapi dengan obat-obatan (farmakoterapi) dan terapi psikososial (psikoterapi).
Prognosis pada penyakit PTSD berbeda-beda tergantung pada pasien. Prognosis yang
baik ditentukan dengan onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat, fungsi pramorbid
yang baik, dukungan sosial yang kuat, tidak adanya gangguan psikiatri, kondisi medis, dan
penggunaan zat berbahaya lainnya. Prognosis yang buruk pada umumnya dialami oleh pasien
yang berusia sangat muda dan lanjut usia. Sedangkan pasien pada usia pertengahan, dapat
ditoleransi lebih baik.

1
DAFTAR PUSTAKA

1. Wardhani YF, Lestari W. Gangguan Stres Pasca Trauma pada Korban Pelecehan
Seksual dan Perkosaan. Pus Penelit dan Pengemb Sistim dan Kebijak Kesehat
[Internet]. 2010;20:293–302. Available from:
http://journal.unair.ac.id/MKP@gangguan-stres-pasca-trauma-pada-korban-pelecehan-
seksual-dan-perkosaan-article-2160-media-15-category-8.html
2. Wiguna T. Gangguan Stres Pasca Trauma. In: Elvira SD, Hadisukanto G, editors.
Buku Ajar Psikiatri. Kedua. Jakarta: Badan penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesi; 2015. p. 277–86.
3. Rahmadian AA, Furqon, L.N SY, Rusmana N. Prevalensi PTSD dan Karakteristik
Gejala Stres Pascatrauma Pada Anak dan Remaja Korban Bencana Alam. J Ilmu
Pendidik dan Pengajaran [Internet]. 2016;3:1–17. Available from:
http://ejournal.sps.upi.edu/index.php/edusentris/article/view/184/152
4. Karlina D. Laporan Kasus: Stres Pasca Trauma. Majalah Kedokteran Universitas
Kristen Indonesia. 2019;74–7.
5. HMKU. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Fak Kedokt UNUD [Internet]. 2017;
Available from: http://hmku.fkunud.com/ptsd/#:~:text=Prognosis pada penyakit PTSD
berbeda,dan penggunaan zat berbahaya lainnya.%0A%0A
6. Wiguna T. Gangguan Stres Pasca Trauma. In: Elviwa SD, Hadisukanto G, editors.
Buku Ajar Psikiatri. Ketiga. Jakarta: Badan penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesi; 2017. p. 308–17.
7. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasan dari PPDGJ-III
dan DSM-5. Jaya BIKJFUA, editor. jakarta; 2017. 79 p.
8. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Kemenkes PPDGJ [Internet].
Jakarta; 2015. Available from:
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.02_.02-MENKES-
73-2015_ttg_Pedoman_Nasional_Pelayanan_Kedokteran_Jiwa_.pdf
9. Sadock BJ, Sadock VA. Gangguan Stres Pasca Trauma dan Gangguan Stres Akut. In:
Muttaqin H, Sihombing retna NE, editors. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis. 2nd ed. Jakarta : EGC: Arrangement with Lippincott Williams & Wilkins Inc.,
USA; 2010. p. 252–9.

1
1

Anda mungkin juga menyukai