Anda di halaman 1dari 27

Referat Bencana dapat Memicu Gangguan Jiwa

Puteri Nabella

11 2017 160

Dosen pembimbing : dr Evalina, Sp.KJ

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jalan Arjuna Utara No 6, Jakarta Barat, tlp 56942061

1
Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya
sehingga referat yang berjudul “Bencana dapat Memicu Gangguan Jiwa” ini dapat diselesaikan
dengan baik.

Referat ini merupakan salah satu pemenuhan syarat kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana.

Terima kasih penyusun ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam
penyusunan referat ini, khususnya kepada dr.Evalina, SpKJ sebagai pembimbing yang telah
memberikan saran, bimbingan, serta dukungan dalam penyusunan referat ini. Penyusun juga
mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dokter muda dan semua pihak yang banyak
membantu dalam penyusunan referat ini.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan untuk perbaikan demi
kesempurnaan referat ini. Semoga karya ini bisa bermanfaat untuk para pembaca.

Sekian dan terima kasih.

Jakarta, 31 Januari 2019

Penyusun

2
Abstrak
Bencana adalah kejadian yang sangat ditakui oleh semua manusia di manapun, dengan
terjadinya bencana semua orang dalam wilayah bencana akan mengalami kehancuran,
kehilangan dan kesengsaraan. Bukan hanya kehilangan harta benda, melainkan juga kehilangan
nyawa dan sanak saudara yang terpisah dalam upaya menyelamatkan diri ataupun karena
terbawa oleh situasi bencana yang menghancur leburkan dan memporak porandakan tempat
tinggal.
Salah satu faktor penyebab yang menjadi stresor seseorang mengalami gangguan jiwa
adalah pengalaman traumatik. Pengalaman traumatik tersebut sulit dilupakan dan memiliki efek
psikologis dalam waktu yang panjang. Apabila seseorang tidak mampu beradaptasi dalam
menanggulangi stresor, maka akan timbul keluhan-keluhan dalam aspek kejiwaan, berupa
gangguan jiwa ringan hingga berat.

Kata kunci : bencana, gangguan kesehatan mental

Abstract
Disaster is an event that every human being can recognize everywhere, with the disaster
of all people in the disaster area going through destruction, loss and misery. Not only the loss of
property, but also the loss of life and relatives are separated in an effort to save themselves or
because carried away by a disaster situation that destroyed the melting and destructive dwelling.
One factor causes as stressor of mental health disorder was traumatic experiences that
experiences never forgotten and psychological long lasting effect. Whenever anyone could not
be adaptation to fight the stressor, there will suffer light and state symptom in mental disorder as
a manifestation.

Keywords: disaster, mental health disorders

3
Daftar Isi

Kata Pengantar ....................................................................................................................... 2

Abstrak .................................................................................................................................. 3

Daftar isi................................................................................................................................. 4

BAB I : Pendahuluan

a. Latar belakang ...................................................................................................... 5


b. Epidemiologi ........................................................................................................ 6

BAB II : Pembahasan

a. Definisi ................................................................................................................. 7
b. Etiologi ................................................................................................................. 7
c. Dampak Bencana Pada Aspek Psikologis.............................................................9
d. Gambaran klinis PTSD.…...…...……................................................................. 13
e. Diagnosis PTSD……........................................................................................... 14
f. Diagnosis banding PTSD .....................................................................................18
g. Faktor risiko………………………………….................................................... 20
h. Perjalanan penyakit……………………………………………………………..20
i. Penatalaksanaan…………………………………………………………………21
j. Prognosis...............................................................................................................25

BAB III : Penutup

Kesimpulan .............................................................................................................................26
Daftar pustaka .........................................................................................................................27

4
BAB 1
PENDAHULUAN

a. Latar belakang

Bencana yang terjadi silih berganti di berbagai wilayah di Indonesia, tidak juga menyadarkan
kita pentingnya melakukan persiapan menghadapi bencana. Setelah bencana tsunami di Aceh,
kita dikejutkan dengan adanya bencana gempa bumi yang melanda wilayah Jogjakarta dan Jawa
Tengah. Intervensi kesehatan mental pada saat terjadinya bencana maupun sesudah terjadi
bencana telah banyak dibicarakan dalam literatur medis maupun media. Telah diketahui
permasalahan kesehatan mental yang terjadi setelah bencana (gangguan mood dan cemas,
problem terkait trauma) semakin meningkat dengan adanya paparan pada trauma dan rasa
kehilangan. Peningkatan masalah kesehatan mental juga terjadi akibat runtuhnya pelayanan
kesehatan mental pada masa darurat bagi penderita yang sudah mengalami masalah kesehatan
mental sebelumnya. Di seluruh Indonesia jumlah profesional kesehatan mental tidak tersebar
merata, sebagai gambaran, jumlah psikiater di Indonesia ada kurang lebih 500 orang, 75% dari
jumlah tersebut bekerja dan tinggal di Pulau Jawa, dan sebagian besar (80%) berdiam di ibukota
Jakarta.
Perbandingan ini untuk penduduk Indonesia adalah 1 psikiater untuk kurang lebih 400 ribu
orang, dengan penyebaran yang tidak merata. Untuk tenaga yang lain seperti perawat psikiatri,
psikolog dan pekerja sosial perbandingannya juga tidak jauh berbeda. Badan kesehatan dunia
(WHO) telah merekomendasikan penanganan masalah-masalah kesehatan mental bagi negara
dengan jumlah tenaga dan fasilitas kesehatan mental yang minim, yaitu dengan membuat sistem
kesehatan mental komunitas, memperbanyak training dan promosi kesehatan mental. Namun
demikian, di Indonesia stigma pada orang dengan sakit mental begitu melekat, belum lagi
kesehatan mental tidak pernah menjadi prioritas. Hal ini terbukti dengan minimnya perhatian dan
budget yang diberikan untuk kesehatan mental oleh pemerintah. Program-program kesehatan di
puskesmas tidak pernah menyentuh masalah kesehatan mental, atau pun kalau ada sangat jarang.
Kesehatan mental dianggap tidak memiliki nilai mortalitas, sehingga tidak pernah dianggap
penting, namun jika kita melihat hari-hari produktif yang hilang selama setahun (DALYs, day
adjusted lost per year) yang dialami oleh penderita gangguan mental sebesar 12,3% lebih besar

5
dari penyakit jantung iskemik dan TBC. Hal ini menunjukkan betapa kesehatan mental
membutuhkan perhatian khusus.2

b. Epidemiologi

Prevalensi seumur hidup PTSD diperkirakan sekitar 8 persen populasi umum walaupun
tambahan 5 hingga 15 persen dapat megalami bentuk subklinis gangguan ini. Di antara
kelompok risiko tinggi yang anggotanya mengalami peristiwa traumatik, angka prevalensi
seumur hidupnya berkisar 5 hingga 75 persen. Walaupun PTSD dapat timbul pada usia
berapapun, gangguan ini paling prevalen pada dewasa muda karena mereka cenderung lebih
terpajan dengan situasi penginduksi. Anak juga dapat mengalami gangguan ini. Laki-laki dan
perempuan memiliki perbedaan tipe trauma yang memajankan mereka dan kecenderungan untuk
mengalami PTSD. Prevalensi seumur hidup secara bermakna pada perempuan lebih tinggi.
Gangguan ini lebih cenderung terjadi pada orang lajang, bercerai, janda, menarik diri secara
sosial, atau tingkat sosioekonomi rendah. Meskipun demikian, faktor risiko paling penting dari
gangguan ini adalah keparahan, durasi, dan kedekatan pajanan seseorang dengan trauma
sebenarnya.3

6
BAB II
Pembahasan

A. Definisi
National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan gangguan stress pasca
trauma (PTSD) sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami
peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa
bencana alam yang menimpa manusia, kekerasan, kecelakaan ataupun perang.
Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR), PTSD
didefinisikan sebagai suatu kejadian atau beberapa kejadian trauma yang dialami atau disaksikan
secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, atau cedera serius, atau
ancaman terhadap integritas fisik atas diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan
ketakutan yang ekstrem, horor, atau rasa tidak berdaya.
Menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) gangguan stress pasca trauma
merupakan reaksi dari individu terhadap kejadian yang luar biasa akibat dari pengalaman
seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan luar biasa, jauh dari pengalaman
yang normal bagi seseorang.6
B. Etiologi

Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam perkembangan gangguan
stres pasca trauma. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita mengaktifkan
respon fight or flight. Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah, denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai
hilang maka tubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini menyebabkan
pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk
menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan kita masih akan merasakan efek stress dari
adrenalin. Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon
stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini
mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam
kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan
fisik. Stresor dapat berasal dari bencana alam, bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia,
ataupun akibat kecelakaan. Stresor akibat bencana alam antara lain: menjadi korban yang

7
selamat dari tsunami, gempa bumi, badai. Kejadian trauma akibat ulah manusia antara lain:
menjadi korban banjir, penculikan, perkosaan, kekerasan fisik, melihat pembunuhan, perang, dan
kejahatan kriminal lainnya di mana ia tinggal. Kejadian trauma juga dapat terjadi akibat
kecelakaan baik, yang menyebabkan cidera fisik maupun yang tidak. Pada pasien yang
menerima hasil diagnosis penyakit yang mematikan baik terhadap dirinya ataupun orang
terdekatnya dapat menjadi stresor. Akan tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan
stres pasca trauma setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stresor diperlukan, namun stresor
tidaklah cukup untuk menyebabkan gangguan. Terdapat beberapa faktor yang harus
dipertimbangkan antara lain:

1. Faktor biologis
Pada anak yang sebelumnya memiliki gangguan cemas memiliki risiko lebih tinggi
berkembang menjadi PTSD setelah mengalami trauma. Hal ini berhubungan dengan faktor
predisposisi genetik di mana, seseorang yang memiliki riwayat gangguan depresi dan
gangguan cemas di keluarganya menjadi faktor predisposisi PTSD setelah anak tersebut
terpapar dengan kejadian traumatik.
Pada anak yang mengalami PTSD ditemukan beberapa abnormalitas psikobiologikal
antara lain: perubahan kompleks dalam fungsi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal, terjadinya
peningkatan ekskresi metabolit adrenergik dan dopaminergik, volume intrakranial dan area
korpus kolusum yang lebih kecil, defisit memori, dan IQ yang rendah.9
2. Faktor psikologi
Classical dan operant conditioning dapat diimplikasikan pada perkembangan terjadinya
PTSD. Stresor yang ekstrim secara tipikal menimbulkan emosi yang negatif (sedih, marah,
takut) sebagai bagian dari gejala hiperarousal akibat aktivasi dari sistem saraf simpatis
(fight or flight response). Classical conditioning terjadi pada saat seseorang yang
mengalami peristiwa trauma kembali ke tempat terjadinya trauma maka akan timbul reaksi
psikologi yang tidak disadari dan merupakan respon refleks yang spesifik. Misalnya, pada
anak yang mengalami kecelakaan mobil yang serius akan timbul respon berupa ketakutan,
berkeringat, takkardi setiap kali dia melewati tempat kejadian tersebut. Operant
conditioning terjadi sebagai hasil dari pengalaman kejadian trauma yang dialaminya
sehingga didapatkan tingkah laku yang tidak disukai dan tidak akan diulangi. Misalnya,

8
pada anak yang mengalami kecelakaan mobil maka ia akan berusaha untuk menghindari
berada di dalam mobil.9
Modelling merupakan mekanisme psikologikal lainnya yang turut berperan dalam
perkembangan gejala PTSD. Respon emosional orang tua terhadap pengalaman traumatik
anak merupakan prediksi terhadap keparahan gejala PTSD anak.
3. Faktor sosial
Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan meningkatkan risiko
perkembangan PTSD setelah anak mengalami kejadian traumatik.
Penyebab gangguan bervariasi, tetapi perdefinisi, stresor harus sedemikian berat sehingga
cenderung menimbulkan trauma psikologis pada kebanyakan orang normal, walaupun tidak
berarti bawa semua orang harus mengalami gangguan akibat trauma ini. Faktor psikologis,
fisik, genetik dan sosial ikut berpengaruh pada gangguan ini.

Jenis stresor :

1. Bencana alam; banjir, gempa bumi

2. Bencana kecelakaan oleh karena manusia (accidental made-man disasters)

 Kecelakaan industri
 Kecelakaan mobil
 Kebakaran

3. Bencana oleh karena manusia yang disengaja (deliberate manmadedisasters)

 Kamp konsentrasi tahanan/tawanan


 Penganiayaan
 Pemboman
C. Dampak Bencana Pada Aspek Psikologis

Secara khusus dampak bencana pada aspek psikis ini adalah terhadap emosi dan kognitif
korban. Pada aspek emosi terjadi gejala-gejala sebagai berikut: syok, rasa takit, sedih, marah,
dendam, rasa bersalah, malu, rasa tidak berdaya, kehilangan e,osi seerti perasaan cinta,
keintiman, kegembiraan atau perhatian pada kehidupan sehari-hari. Pada aspek kognititf, korban
bencana ini juga mengalami perubahan seperti: pikiran kacau, slaah persepsi, menurunnya

9
kemampuan untuk mengambil keputusan, daya konsentrasi, dan daya ingat berkurang,
mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan, dan terkadang menyalahkan dirinya sendiri.

Berdasarkan hasil penelitian empiris, dampak psikologis dari bencana dapat diketahui
berdasarkan tiga faktor yaitu faktor pra bencana, faktor bencana dan faktor pasca bencana.4

1. Faktor pra bencana. Dampak psikologis pada faktor pra bencana ini dpat ditinjau dari
beberapa hal dibaah ini:
a. Jenis kelamin. Perempuan mempunyai faktor resiko lebih tinggi terkena dampak
psikologis dibanding laki-laki dengan perbandingan ≥2:1.
b. Usia dan pengalaman hidup. Kecenderungan kelopok usia rentan stres masing-masing
negara berbeda karena perbedaan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan latar belakang
sejarah negara yang bersangkutan. Adanya pengalaman berhasil dalam menghadapi
bencana masa lalu dapat meringankan rasa cemas pada saat timbulnya bencana, dan
meningkatkan kemampuan menghadapi bencana, apalgi bila pengalaman ini
ditambah dengan pengetahuan dan pelatihan tentang bencana.
c. Faktor budaya, ras karakter etnis. Dampak yang ditimbulkan bencana ini lebih besar
di negara berkembang dibandingkan dengan di negara maju. Pada kelompok usia
muda tidak ada gejala khas untuk etnis tertentu baik pada etnis mayoritas maupun
etnis minoritas, sedangkan pada kelompok usia dewasa, etnis minoritas cenderung
mengalami dampak psikologis dibandingkan mayoritas.
d. Sosial ekonomi. Dampak bencana pada individu berbeda menurut latar belakang
pendidikan, proses pembentukan kepribadian, penghasilan dan profesi. Individu
dengan kedudukan sosial ekonomi yang rendah akan mengalami stress pasca trauma
lebih berat. Bencana yang terjadi akan mempengaruhi kedudukan sosial ekonomi
seseorang atau keluarga.
e. Keluarga. Pengalaman bencana akan mempengaruhi stabilitas keluarga seperti tingkat
stres dalam perkawinan, posisi sebagai orang tua terutama orang tua perempuan.
Gejala psikis pada orang tua ini akan berdampak pada anak sehingga perhatian pada
orang tua dalam keluarga akan berdampak positif pada anak.
f. Tingkat kekuatan mental dan kepribadian. Hampir semua hasil penelitian
menyimpulkan bahwa kondisi kesehatan mental prabencana dapat dijadikan dasar

10
untuk memprediksi dampak patologis pasca bencana. Individu dengan masalah
kesehatan jiwa akan mengalami stres yang lebih berat dibandingkan dengan individu
dengan kondisi patologis yang stabil.
2. Faktor bencana. Pada faktor ini, dampak psikologis dapat ditinjau dari beberapa hal
berikut:2
a. Tingkat keterpaparan. Keterpaparan seorang akan masalah yang dihadapi merupakan
variabel penting untuk memprediksi dampak psikologis korban.
b. Ditinggal mati oleh sanak keluarga atau sahabat
c. Diri sendiri atau keluarga terluka
d. Merasakan ancaman keselamatan jiwa atau mengalami ketakutan yang luar biasa
e. Mengalami situasi panik pada saat bencana
f. Pengalaman berpisah dengan keluarga, terutama pada korban usia muda
g. Kehilangan harta benda dalam jumlah besar
h. Pindah tempat tinggal akibat bencana
i. Bencana yang menimpa seluruh komunitas. Hal ini mengakibatkan rasa kehilangan
pada individu dan memperkuat perasaan negatif dan memperlemah perasaan positif.

Semakin banyak faktor diatas, maka akan semakin berat gangguan jiwa yang dialai
korban bencana. Apalagi pada saat-saat seperti merka cenderung menolak intervensi
tenaga spesialis, sehingga menghambat perbaikan kualitas hidup pasca bencana.4

3. Faktor pasca bencana. Dampak psikologis pasca bencana dapat diakibatkan oleh kegiatan
tertentu dalam siklus kehidupan dan stres kronik pasca bencana yang terkait dengan
kondisi psikiatrik korban bencana. Hal ini perlu adanya pemantauan dalam jangka
panjang oleh tenaga spesialis. Hal lain yang penting di perhatikan pasca bencana adalah
menginventariskan semua sumber daya yang ada secara terinci, konkrit dan diumumkan.4

Macam-macam stresor traumatik :

a) Menyaksikan peristiwa yang berakibat luka fisik atau kematian yang menakutkan seperti
korban tergulung ombak, tertimpa tanah longsor, terlindas kendaraan, penganiayaan,
terkena granat atau bom, kepala terpancung, tertembak, pembunuhan masal atau tindakan
brutal di luar batas kemanusiaan

11
b) Pengalaman berada dalam situasi terancam kematian atau keselamatan jiwanya, misalnya
huru-hara kerusuhan, bencana, tsunami, air bah atau gunung meletus, peperangan,
berbagai tindak kekerasan, usaha pembunuhan, penganiayaan fisik dan mental-
emosional, penyanderaan, penculikan, perampokan atau pun kecelakaan.
c) Mengalami tindak kekerasan dalam keluarga
d) Mengalami secara aktual atau terancam mengalami perkosaan, pelecehan seksual yang
mengancam integritas fisik dan harga diri seseorang
e) Dipaksa atau terpaksa melakukan tindak kekerasan
f) Kematian mendadak atau berpisah dari anggota keluarga atau orang yang dikasihi
g) Berhasil selamat dari tindak kekerasan, bencana alam atau kecelakaan hebat
h) Terpaksa pindah atau terusir dari kampung halaman
i) Mendadak berada dalam keadaan terasing, tercabut dari lingkungan fisik, budaya,
kerabat, teman sebaya yang dikenal
j) Terputus hubungan dengan dunia luar,dilarang melakukan berbagai adat atau kebiasaan
k) Kehilangan harta benda, sumber penghidupan, privasi (hak pribadi)
l) Berada dalam kondisi serba kekurangan pangan, tempat tinggal, kesehatan.4
Berbagai faktor yang mempengaruhi berkembangnya suatu gangguan stres pasca trauma
adalah:10

a) Tingkat keparahan stres/trauma


b) Kerentanan pasien
Anak dan usila umumnya lebih rentan dari pada para dewasa muda. Hal ini karena
anak belum memiliki mekanisme pertahanan yang memadai, sedangkan para usia lanjut
umumnya sudah terlalu kaku dengan mekanisme pertahanan mereka.

c) Kondisi/fisik pasien :
Berbagai faktor yang mempengaruhi keparahan stresor berinteraksi dengan faktor
pribadi individu untuk menimbulkan gangguan stres pasca trauma pada orang tertentu.
Faktor pribadi ini merupakan predisposisi untuk berkembangnya gejala psikiatrik sebagai
respons terhadap trauma.

12
Faktor ini mencakup :

1. Usia pada saat terjadinya trauma

2. Ciri keperibadian yang mendasari,seperti obsesef-kompulsif; astenik

3. Gangguan psikiatrik sebelumnya

4. Predisposisi genetik

5. Dukungan sosial

Faktor lainnya yang ikut berpengaruh dalam terjadinya stres pasca trauma adalah:

1. Faktor organobiologis
Pasien dengan gangguan stres pasca trauma pramorbidnya mempunyai
kecenderungan bereaksi otonomik secara berlebihan terhadap stres.

2. Faktor Psikodinamik
Trauma mengaktifkan kembali konflik yang tidak terselesaikan pada masa anak,
termasuk trauma emosional pada masa ana yang tidak disadari.

Pengenalan reaksi individu terhadap kejadian hebat dan luar biasa ini amat bervariasi
antar individu, tampak tidak berpengaruh sama sekali, mengalami reaksi ringan, menampilkan
reaksi dalam waktu singkat, ataupun menunjukkan reaksi hebat dan menetap dalam waktu yang
cukup lama dan disebut gangguan stres pasca trauma.5

D. Gambaran Klinis

Gambaran klinis utama PTSD adalah mengalami kembali suatu peristiwa yang
menyakitkan, suatu pola menghindari dan mematikan emosi, serta keadaan terus terjaga yang
cukup konstan. Gangguan ini dapat tidak timbul sampai berbulan-bulan atau bahkan bertahun-
tahun setelah peristiwa tersebut. Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah,
penolakan, dan cemoohan. Pasien juga menggambarkan disosiatif dan timbul serangan panik,
ilusi, dan halusinasi. Uji kognitif dapat menunjukkan bahwa pasien memiliki hendaya memori
dan perhatian. Gejala terkait dapat mencakup agresi, kekerasan, depresi dan gangguan terkait
zat.1

13
Gejala utama PTSD adalah mengalami kembali secara involunter peristiwa traumatik
dalam bentuk mimpi atau “bayangan” yang intrusif, yang menerobos masuk ke dalam kesadaran
secara tiba-tiba (kilas balik atau flash back). Hal ini sering dipicu oleh hal-hal yang
mengingatkan penderita akan peristiwa traumatik yang pernah dialami. Kelompok gejala lainnya
adalah tanda-tanda meningkatnya keterjagaan berupa anxietas yang hebat, iritabilitas, insomnia,
dan konsentrasi yang buruk. Anxietas akan bertambah parah pada saat terjadi kilas balik. Gejala-
gejala disosiatif merupakan kelompok gejala lainnya yang terdiri dari kesulitan mengingat
kembali bagian-bagian penting dari peristiwa itu (detachment), ketidakmampuan untuk
merasakan perasaan (emotional numbness), dan kadang-kadang terjadi depersonalisasi dan
derealisasi. Perilaku menghindar merupakan bagian dari gejala PTSD. Pasien menghindari hal-
hal yang dapat mengingatkan dia akan peristiwa traumatik tersebut. Gejala-gejala depresi kerap
kali didapatkan dan sering merasa bersalah. Perilaku maladaptif sering terjadi berupa rasa marah
yang persisten, penggunaan alkohol atau obat-obat berlebihan dan perbuatan mencederai diri
yang sebagian berakhir dengan bunuh diri.1

E. Diagnosis

Kriteria diagnosis DSM-IV TR untuk PTSD merinci bahwa gejala mengalami,


menghindari, dan terus terjaga selama lebih dari 1 bulan. Untuk pasien yang gejalanya ada, tetapi
kurang dari 1 bulan, diagnosis yang sesuai adalah gangguan stres akut. Kriteria diagnostik DSM-
IV TR PTSD memungkinkan klinisi untuk merinci apakah gangguan tersebut akut (jika gejala
kurang dari 3 bulan) atau kronis (jika gejala telah ada selama 3 bulan atau lebih). DSM-IV TR
juga memungkinkan klinisi merinci bahwa gangguan tersebut adalah dengan awitan yang
tertunda jika awitan gejala 6 bulan atau lebih setelah peristiwa yang memberikan stres. Menurut
DSM-IV, kriteria diagnosis bagi penderita gangguan stress pasca trauma :6

A. Kejadian traumatik
1. Satu atau banyak peristiwa yang membuat seseorang mengalami, menyaksikan,
atau dihadapkan dengan suatu kejadian yang berupa ancaman kematian, cedera
yang serius atau ancaman terhadap integritas fisik dirinya sendiri atau orang lain.
2. Tanggapan individu terhadap pengalaman tersebut dengan ketakutan atau
ketidakberdayaan yang sangat kuat.
B. Mengalami kembali satu atau lebih gejala di bawah ini:

14
1. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya dan
bersifat mengganggu (bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi)
2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminnya (yang
mencemaskan)
3. Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang
dialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi, haluinasinya)
4. Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yang mengingatkan
terhadap kejadian trauma (kenangan akan peristiwa trauma)
C. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan mematikan
perasaan/ tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum trauma masih berespon). Gejala
ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini:
1. Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang
berhubungan dengan kejadian trauma
2. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat
membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya
3. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yang
dialaminya
4. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting
berkurang
5. Merasa terasing dari orang di sekitarnya
6. Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapat merasakan cinta)
7. Perasaan bahwa masa depannya suram
D. Gejala hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau lebih gejala di
bawah ini:7
1. Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempeertahankannya
2. Sulit berkonsentrasi
3. Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya
4. Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan)
5. Reaksi kaget yang berlebihan
E. Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan
F. Gangguan/ gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan fungsional dalam

15
berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya. Selain itu, secara
spesifikasi diagnosis PTSD dapat diidentifikasi sebagai: (1) akut, bila gejala
berlangsung satu sampai tiga bulan (2) kronis, bila gejala berlangsung lebih dari tiga
buan (3) Awal gejala / onset yang tertunda bila gejala dimula sedikitnya enam bulan
setelah kejadian traumatik/stressor.

Selanjutnya, menurut International Classification of Diseases 10 (ICD-10) kriteria


diagnosis PTSD sebagai berikut:8

A. Pasien harus pernah terpapar pada suatu peristiwa atau situasi yang menimbulkan
stress (sebentar/lama) yang sifatnya malapetaka atau sangat mengancam sehingga
mungkin akan menyebabkan stres pada hampir semua orang
B. Terus menerus mengingat atau menghayati lagi penyebab stress dalam bentuk kilas
balik yang mengganggu, kenangan yang jelas sekali atau mimpi yang berulang, atau
mengalami keemasan ketika menghadapi keadaan yang mirip atau berkaitan dengan
penyebab stres
C. Pasien harus memperlihatkan suatu penghindaran nyata dari keadaan yang mirip atau
berhubugan dengan penyebab stress yang tidak ada sebelumnya
D. Salah satu dari hal berikut harus terjadi:
a. Tidak mampu mengingat sebagian atau seluruhnya dari beberapa aspek
penting selama masa terpapar pada penyebab stres
b. Gejala yang terus menerus dari adanya peningkatan kepekaaan psikologis dan
sensasi (tidak ada sebelum terpapar dengan penyebab stres), ditunjukkan oleh
dua dari berikut ini: (1) sulit untuk memulai tidur dan mempertahankannya,
(2) mudah marah atau amarah yang meledak-ledak, (3) sulit berkonsentrasi,
(4) kewaspadaan yang sangat tinggi, dan (5) reaksi kaget yag berlebihan

E. Kriteria B, C, dan D semuanya terjadi dalam kurun waktu enam bulan setelah
peristiwa traumatik terjadi
Pedoman diagnostik gangguan stress pasca trauma menurut PPDGJ III

(F 43.1) yaitu :

 Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu enam bulan

16
setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu
sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui enam bulan). Kemungkinan diagnosis
masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset
gangguan melebihi waktu enam bulan, asal manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak
didapat alternatif kategori ganngguan lainnya.
 Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-
mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashback)
 Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis tetapi tidak khas
 Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar biasa, misalnya
saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0 (perubahan
kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).
Kriteria diagnosis PTSD dibuat untuk orang dewasa dan tidak sepenuhnya semua kriteria
di atas dapat dipergunakan bagi anak-anak. Anak-anak memilki keterbatasan dalam kemampuan
verbalnya dan memiliki cara yang berbeda dalam bereaksi terhadap stress. Hal ini menunjukkan
bahwa anak-anak mungkin tidak memenuhi kriteria DSM-IV-TR secara penuh meskipun secara
jelas anak tersebut memilki gangguan psikiatri yang analog dengan PTSD pada dewasa.
Biasanaya anak seringkali tidak memilki tiga tanda dari numbing (mematikan perasaannya) dan
withdrawl (menarik diri) seperti pada orang dewasa karena kemampuan verbal untuk
mengekspresikan perasaannya masih kurang. Anak-anak mungkin mungkin mengalami
perubahan anatara hiperarousal dan numbing/ withdrawl.9

Scheeringa et al (1995) merekomendasikan perubahan kriteria PTSD bagi young


children. Perubahan kriteria ini tidak mengharuskan anak dapat melaporkan ketakutannya
sebagai respon terhadap trauma. Kriteria diagnosis yang digunakan bagi young child yaitu:12

a) Anak tersebut setidaknya harus mengalami kembali salah satu tipe pengulangan ingatan
kejadian traumatik di bawah ini:
 Menunjukkan perilaku yang mencontoh trauma yang terjadi seperti, bermain tembak-
tembakan atau mengulang adegan kekerasan sendiri atau bersama teman. Perilaku ini
diulang-ulang tanpa variasi yang berarti
 Teringat kembali akan peristiwa trauma ( bisa secara tiba-tiba)

17
 Mengalami mimpi buruk/ mengerikan tanpa dapat mendeskripsikan isi mimpi
tersebut
 Mengalami stres saat terpapar dengan kejadian yang mengingatkan akan trauma yang
dialami
b) Perubahan kriteria ini juga hanya memerlukan satu dari gejala mati rasa secara emosional
dan perilaku menghindar di bawah ini (dewasa perlu tiga):
 Menarik diri dari pergaulan sosial
 Jarang mau bermain
 Mengalami kemunduran perkembangan terutama perkembangan bahasa dan toilet
training
 Rentang afek yang terbatas (perasaan dan pikiran jadi datar, tumpul)
c) Memerlukan satu dari gejala hiperarousal di bawah ini:
 Sulit memulai tidur (tidak berhubungan dengan takut mimpi buruk ataupun
kegelapan)
 Terbangun waktu tidur malam hari (bukan karena mimpi buruk)
 Penurunan konsentrasi
 Respon terkejut yang berlebihan
 Sangat sensitif dan memiliki reaksi intens terhadap rangsangan yang
mengingatkannya pada peristiwa traumatik
d) Ditandai oleh salah satu dari gejala ketakutan dan sikap bermusuhan di bawah ini:
 Takut gelap
 Takut pergi ke toilet sendirian
 Takut terhadap suatu hal baru yang tidak secara jelas berkaitan dengan trauma
 Takut terpisah dan takut ditinggal sendirian

F. Diagnosis Banding

Gangguan Strees akut (F43.0)

 Harus ada kaitan waktu kejadian yang jelas antara terjadinya pengalaman stressor luar
biasa (Fisik atau Mental) dengan onset dari gejala, biasanya setelah beberpa menit ata
segera setelah kejadian.
18
 Selain itu ditemukan gejala - gejala:

a. Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-ubah; selain gejala


permulaan berupa keadaan “terpaku” (daze) semua hal berikut dapat terlihat:
depresi, ansietas, kemarahan, kecewa, over aktif, dan penarikan diri.

Akan tetapi tidak satupun dari gejala tersebut yang mendominasi gambaran
klinisnya untuk waktu yang lama

b. Pada kasus yang dapat dialihkan dari lingkup stressornya, gejala-gejala dapat
menghilang dengan cepat ( dalam beberapa jam) ; dalam hal dimana strees
menjadi berkelanjutan atau tidak dapat di alihkan gejala-gejala biasanya baru
mereda setelah 24 sampai 48 jam dan biasanya hampir menghilang setelah 3 hari.
 Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan kambuhan mendadak dari
gejala-gejala pada individu yang sudah menunjkan gangguan psikiatrik lainya.
 Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan diri memegang peranan
dalam trjadinya atau beratnya suatu reaksi stress akut

Gangguan penyesuain (F43.2).8

Diagnosis tergantung pada evaluasi terhadap hubungan antara:


 Bentuk, isi, dan beratnya gejala ;
a. Riwayat sebelumnya dan corak kepribadian; dan
b. Kejadian, situasi yang “stressfull”, atau krisis kehidupan
 Adanya faktor ketiga diatas ( C ) harus jelas dan bukti yang kuat bahwa gangguan
tersebut tidak akan terjadi seandainya tidak mengalami hal tersebut
 Manifestasi dari gangguan berfariasi, dan mencakup afek depresif, ansietas, campuran
ansietas-depresif, gangguan tingkah laku, disertai adanya disabilitas dalam kegiatan
rutin sehari-hari. Tidak ada satupun dari gejala tersebut yang spesifik mendukung
diagnosis.

19
 Onset biasanya terjadi dalam satu bulan setelah terjadinya kejadian yang “stressfull”,
dan gejala-gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan, kecuali dalam hal reaksi
depresif berkepanjangan(F43.21)
G. Faktor Risiko

Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko seseorang mengalami
gangguan stres pasca trauma, antara lain:6
a) Seberapa berat dan dekatnya trauma yang dialaminya. Semakin berat trauma yang dialami
dan semakin dekat ia berada saat kejadian semakin meningkatkan risiko PTSD.
b) Durasi trauma yang dialamiya. Semakin lama/kronik seseorang mengalami kejadian trauma
semakin berisiko berkembang menjadi PTSD ( misalnya: kekerasan pada anak di rumah).
c) Banyaknya trauma yang dialami. Trauma yang multipel lebih berisiko menjadi PTSD.
d) Pelaku kejadian trauma. Semakin dekat hubungan antara pelaku dan korban (misalnya:
kekerasan anak yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri) semakin berisiko menjadi PTSD.
e) Kejadian trauma yang sangat interpersonal seperti, perkosaan.
f) Jenis kelamin: anak dan remaja perempuan lebih berisiko dibandingkan laki-laki.
g) Kondisi sosialekonomi yang rendah (kaum minoritas) berisiko lebih tinggi akibat dari
tingginya angka kekerasan di daerah tempat ia tinggal.
h) Usia : PTSD dapat terjadi pada semua golongan usia tetapi anak-anak dan usia tua (>60
tahun) merupakan kelompok usia yang lebih rentan mengalami PTSD. Anak-anak memiliki
kebutuhan dan kerentanan khusus jika dibandingkan dengan orang dewasa, teruama karena
masih ketergantungan dengan orang lain, kemampuan fisik dan intelektual yang sedang
berkembang, serta kurangnya pengalaman hidup dalam memecahkan berbagai persoalan
sehingga dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak.
i) Seseorang yang memiliki gangguan psikiatri lainnya seperti: depresi, fobia sosial, gangguan
kecemasan.

H.Perjalanan Penyakit

PTSD biasanya timbul beberapa waktu setelah trauma. Penundaan dapat selama 1
minggu atau hingga 30 tahun. Gejala dapat fluktuasi dari waktu ke waktu dan menjadi paling
intens selama periode stres. Jika tidak diobati, sekitar 30% pasien akan pulih sempurna.. 40%

20
akan terus mengalami gejala ringan, sekitar 10% tetap tidak berubah atau bertambah buruk.
Setelah satu tahun, sekitar 50% pasien akan pulih. Prognosis yang baik diperkirakan dengan
adanya awitan gejala cepat, durasi gejala singkat (kurang dari 6 bulan), fungsi pramorbid baik,
dukungan sosial baik, dan tidak adanya gangguan psikiatri, medis atau gangguan terkait zat lain
atau faktor risiko lain. Umumnya orang yang sangat muda dan sangat tua lebih memilki kesulitan
dengan peristiwa traumatic daripada orang usia pertengahan.11

I.Penatalaksanaan

Sebelum menjalani terapi atau program-program apapun, ada baik nya dilakukan evaluasi
psikologis pada anak terlebih dahulu. Tindakan ini untuk memahami kepribadian anak, trauma
yang dialami, dan dampak dari trauma tersebut pada dirinya. Evaluasi juga dapat membantu
terapis untuk memahami berbagai risiko tambahan dan menemukan kekuatan dari klien. Jika
terapi diisyaratkan sebagai proses yang harus dijalani oleh anak, maka perlu konsultasi dengan
terapis yang benar-benar berpengalaman dengan kasus anak-anak (bukan dewasa). Hal ini harus
sangat diperhatikan karena proses evaluasi dapat dialami sebagai proses yang sangat berat dan
dapat menimbulkan trauma sekunder. Setelah dilakukan evaluasi ada dua macam terapi
pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan menggunakan psikoterapi
dan farmakoterapi. Hasil pengobatan akan lebih efektif jika kedua terapi ini dikombinasikan
sehingga tercapai penanganan yang holistik dan komprehensif.

a. Psikoterapi
Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Menurut penelitian Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan pendekatan
yang paling efektif dalam mengobati anak dengan PTSD. Dalam Cognitive Behavioral
Therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang
mengganggu emosi dan menganggu kegiatan-kegiatan penderita PTSD misalnya, pada
seorang anak korban kejahatan mungkin akan menyalahkan diri sendiri karena
ketidakhati-hatiannya. Prinsip-prinsip behavioral therapy digunakan untuk modifikasi
perilaku dan proses re-learning. Tujuan terapi ini adalah mengidentifikasi pikiran-
pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional
untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik
untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.

21
Psikoterapi psikodinamik dapat berguna dalam terapi pada banyak PTSD. Di
sejumlah kasus, rekonstruksi peristiwa traumatic dengan abreaksi dan katarsis terkait
dapat bersifat teraupetik, tetapi psikoterapi harus diindividualisasi karena mengalami
kembali trauma dapat terlalu berat untuk sejumlah pasien. Intervensi psikoterapeutik
PTSD mencakup terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnosis. Di samping teknik terapi
individual terapi kelompok dan terapi keluarga sering dilaporkan efektif pada kasus
PTSD. Keuntungan terapi kelompok mencakup saling berbagi pengalaman traumatik
dan dukungan antar anggota.1
b. Farmakoterapi
Farmakoterapi merupakan terapi dengan menggunakan obat-obatan. Terapi ini
diperlukan untuk menstabilkan zat-zat di otak yang menyebabkan kecemasan,
kekhawatiran, dan depresi atau dengan kata lain merupakan terapi simptomatik pada
PTSD. Terapi obat ini bukanlah lini pertama dalam penanganan PTSD tetapi dapat
dijadikan sebagai pendukung (adjuvan) psikoterapi agar tercapai hasil yang optimal
dalam menangani kasus PTSD.1

a. Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs)


SSRIs merupakan obat lini pertama dalam mengatasi gejala cemas, depresi, perilaku
menghindar, dan pikiran yang intrusif (mengganggu). Obat ini meningkatkan jumah
serotonin dengan cara menginhibisi reuptake serotonin diotak. Obat golongan SSRIs yang
disetujui oleh FDA dalam mengatasi gejala depresi pada anak PTSD yakni, Fluoxetine
(Prozac). Obat ini digunakan untuk anak usia lebih dari 8 tahun dengan dosis awal 10 mg/
hari selama satu minggu kemudian dapat ditingkatkan sampai 20 mg/hari dan diberikan
secara peroral.1

b. Beta adrenergic blocking agents


Obat yang digunakan golongan ini yakni, Propanolol (Inderal). Obat i ni dapat mengatasi
gejala hiperarousal. Dosis untuk anak-anak: 2,5 mg/kg BB/hari

c. Mood stabilizers
Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala arousal yang meninggi dan gejala
impulsif.

22
Dosis Carbamazepine (Tegretol):

6-12 tahun: 100mg/hari peroral untuk initial lalu dapat dinaikkan hingga 100mg/hari,
untuk dosis maintenance; 20-30 mg/kg/hari

>12 tahun: samapai kadar di plasma 8-12mcg/ml

Dosis valporic acid (Depakene, depakote): 10-15 mg/kg/hari untuk dosis initial dan
kemudian dapat ditingkatkan 5-10mg/kg/hari

Berdasarkan kondisi stres pasca trauma, penyedian pelayanan dilakukan secara berjenjang,
yaitu untuk penanganan tingkat awal sampai rujukan tertinggi.

Tingkat pelayanan tersebut sebagai berikut.

1. Pelayanan tingkat masyarakat


Dilakukan oleh relawan yang tergabung dalam lembaga/organisasi masyarakat luas atau
keagamaan maupun kader atau petugas pemerintah di tingkat desa atau
kecamatan,berupa:
a. Penyuluhan (KIE)
b. Bimbingan
c. Membentuk “kelompok tolong diri”
d. Rujukan
2. Pelayanan tingkat Puskesmas/RSU Kelas C dan D
a. Konseling, dilakukan terhadap penderita yang berpotensi untuk mengalami gangguan
stres pasca trauma. Dilakukan secara individu oleh seorang konselor yang sudah
terlatih terhadap penderita.
b. Rujukan, pada kasus yang tak dapat ditangani dengan konseling awal dan
membutuhkan konseling lebih lanjut/psikoterapi atau penanganan lebih lanjut
3. Pelayanan tingkat spesialistik
Penderita yang tak dapat ditangani di tingkat Puskesmas akan dirujuk ke RSJ atau Bagian
Psikiater RSU Kelas A dan B. Di tingkat ini penderita akan dilayani secara lebih
spesialistik oleh seorang tenaga terampil (psikiater atau psikolog) sesuai dengan
kebutuhan penderita. Penderita mungkin membutuhkan medikasi sementara untuk

23
membantu mengatasi masalahnya yang mendesak sehingga dapat dilakukan
konseling/psikiterapi yang lebih mendalam.
Penatalaksanaan pasien dengan gangguan kecemasan adalah kombinasi farmakoterapi
(psikofarmaka) dengan psikoterapi. Pertimbangannya adalah bahwa psikoterapi
mempunyai keunggulan tidak adiktif tetapi kerugiannya lambat dalam efek terapetiknya.
Sebaliknya anxiolitik mempunyai keunggulan efek terapetik cepat dalam menurunkan
tanda dan gejala kecemasan tetapi mempunyai kerugian resiko adiksi. Dalam terapi
kombinasi diberikan obat anxiolitik terlebih dahulu sampai 2 minggu, kemudian
dilakukan psikoterapi yang dimulai pada awal minggu kedua di samping obat anxiolitik
masih tetap diberikan tetapi secara bertahap diturunkan dosisnya (tapering off sampai
minggu ke empat pengobatan). Ada juga yang membedakan kasus baru dan lama. Kasus
baru diberikan sampai 2 bulan bebas gejala kemudian dilakukan tapering off untuk
penghentian pengobatan; kasus lama diberikan sampai 6 bulan bebas gejala kemudian
dilakukan tapering off untuk penghentian pengobatan. Psikoterapi yang sering digunakan
untuk gangguan kecemasan adalah psikoterapi berorientasi insight, terapi perilaku, terapi
kognitif atau psikoterapi provokasi kecemasan jangka pendek.10
Obat-obatan yang sering digunakan untuk anxiolitik (mengurangi atau menghilangkan
gejala gangguan kecemasan) adalah:
1. Golongan benzodiazepin
(Chlordiazepoxide, Diazepam, Lorazepam, Bromazepam, Clobazam, Alprazolam)
2. Golongan non-benzodiazepin
(Buspirone, Sulpiride, Hydroxyzine),
3. Golongan antidepresan: trisiklik
(Amitriptyline, Imipramine)
4. Golongan monoamin inhibitor [MAOI]
(Moclobemide)
5. Golongan specific serotonin reuptake inhibitor [SSRI]
(Sertraline, Paroxetine, Fluvoxamine, Fluoxetine)10

24
J. Prognosis

Gangguan stres pascatraumatik biasanya berkembang pada suatu waktu setelah trauma,
dapat sependek satu minggu atau selama 30 tahun. Gejala dapat berfluktuasi dengan
berjalannya waktu dan mungkin paling kuat selama periode stres. Kira-kira 30% pasien
piulih secara lengkap, 40% terus menderita gejala ringan, 20% terus menderita gejala
sedang, dan 10% tetap tidak berubah atau menjadi buruk.

Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat
(kurang dari enam bulan), fungsi pramorbid yang baik, dukungan sosial yang kuat dan
tidak adanya gangguan psikiatrik, atau berhubungan dengan zat lainnya.

25
BAB III
KESIMPULAN

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau
lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman kematian,
kematian, cedera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya hingga
berdampak mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat
berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan
gangguan kepribadian. Tanda dan gejala penderita PTSD secara umum dapat dibagi menjadi tiga
yakni: mengalami kembali kejadian trauma, menghindari stimulus, dan gejala hiperarousal. Pada
anak dan remaja gejala dan tanda ini dapat dibagi lagi menurut kelompok umur.

26
Daftar pustaka

1. Alam, Romadhon. 2002. Gambaran Klinik dan Psikofarmaka pada Penderita Gangguan
Kecemasan. Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 200. Diunduh dalam
URL:http//www.kalbe.co.id/files/.../09_GambaranKlinikdanPsikofarmaka.pdf. pada
tanggal 29 Januari 2019
2. Kaminer D, Seedat S. World Psychiatric Association Post-traumatic stress disorder in
children World Psychiatry. 2005 June; 4(2): 121–125.
3. Kaplan dan Saddock. 2002. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis.
Jakarta: Binarupa Aksara.
4. Kaplan & Saddock. 2010.Buku Ajar Psikiatri Klinis edisi 2. Jakarta: EGC.
5. Kathleen KT. Clinical Management of Posttraumatic Stress Disorder. 2003. Diunduh
dalam
http://www.granitescientific.com/granitescientific%20home%20page_files/ClinicalTreat
mentofPTSD.pdf. pada tanggal 29 Januari 2019
6. Maramis, Willy F. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University
Press.
7. Paige SR. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). 2005. Diunduh dalam
http://www.emedicinehealth.com/posttraumatic_stress_disorder_ptsd/article_em.htm
pada tanggal 29 Januari 2019
8. Roxanne. 2007. Posttraumatic Stress Disorder. Diunduh dalam
http://www.medicinenet.com/posttraumatic_stress_disorder/article.htm. pada tanggal 29
Januari 2019
9. Roy HL. Posttraumatic Stress Disorder in Children. 2008. Diunduh dalam
http://emedicine.medscape.com/article/918844-overview pada tanggal 29 Januari 2019
10. Saddock BJ, Saddock VA. Behavior Therapy. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psikiatry
Behavoioral Science/Clinical Psychiatry. 10th ed. Lippincott Williams & Wilkins
Publishers. Philadelphia : 2007. 50(2): 1275-1277.
11. Saddock BJ, Saddock VA. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry.
8th ed. LippincottWilliams & Wilkins. Philadelphia: 2005. 46(2) :3287-3291.
12. Volkman MK. Children and Traumatic Incident Reduction: Creative and Cognitive
Approaches. 1th ed. Loving Healing Press: USA. 2007. 15:169-174.

27

Anda mungkin juga menyukai