Anda di halaman 1dari 30

Referat

PSIKOEDUKASI PADA PASIEN


GANGGUAN CEMAS

Disusun oleh :

Dzakiyah, S.Ked. 04054822022133


Khairunnisa Elvia Putri, S.Ked. 04084821921151
Shafira Ramadani Nasution, S.Ked. 04054822022184

Pembimbing :

dr. Bintang Arroyantri P, Sp.KJ

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RS ERNALDI BAHAR PALEMBANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Psikoedukasi pada Pasien Gangguan Cemas” untuk memenuhi tugas referat
sebagai bagian dari sistem pembelajaran dan penilaian kepaniteraan klinik senior
di Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa RS Ernaldi Bahar.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr.
Bintang Arroyantri, Sp.KJ, selaku pembimbing yang telah banyak memberikan
bimbingan, motivasi, masukan, kemudahan dan perbaikan sehingga makalah ini
dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat
ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan
pelajaran bagi kita semua.

Palembang, April 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .................................. ............................................. 1
1.1 Latar belakang ............................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3


2.1 Psikoedukasi…............................................................................... 3
A. Definisi Psikoedukasi................................................................ 3
B. Tujuan Psikoedukasi.................................................................. 4
C. Komponen Dasar Psikoedukasi..................................................4
D. Klasifikasi Psikoedukasi….........................................................5
E. Mekanisme Psikoedukasi............................................................. 7
2.2 Gangguan Cemas............................................................................ 8
A. Klasifikasi ..................................................................................8
B. Epidemiologi ..............................................................................9
C. Patofisiolgi ................................................................................9
D. Diagnosis ................................................................................. 11
E. Tatalaksana Umum ……………………………………………16
2.3 Contoh Psikoedukasi pada Gangguan Cemas……………………19

BAB III KESIMPULAN .................................................................................. 25


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Setiap waktu dalam hidupnya manusia dapat dihadapkan pada
berbagai situasi yang dapat memicu munculnya kecemasan. Misalnya ujian
mendadak, presentasi tugas, terlambat masuk kantor, deadline pekerjaan,
dan sebagainya. Pada dasarnya kecemasan adalah reaksi yang wajar yang
dapat dialami oleh seseorang, sebagai respon terhadap situasi yang dianggap
mengancam atau membahayakan. Namun jika rasa cemas tersebut
berlebihan dan serta tidak sesuai dengan proporsi ancamannya, maka dapat
mengarah ke gangguan yang akan menghambat fungsi seseorang dalam
kehidupannya.
Gangguan kecemasan adalah sekelompok kondisi yang memberi
gambaran penting tentang kecemasan yang berlebihan, disertai respons
perilaku, emosional, dan fisiologis. Individu yang mengalami gangguan
kecemasan dapat memperlihatkan perilaku yang tidak lazim seperti panik
tanpa alasan, takut yang tidak beralasan terhadap objek atau kondisi
kehidupan, melakukan tindakan berulang-ulang tanpa dapat dikendalikan,
mengalami kembali peristiwa yang traumatik, atau rasa khawatir yang tidak
dapat dijelaskan atau berlebihan.1
Rasio wanita dan laki-laki adalah 2:1. National Comorbidity Study
melaporkan bahwa satu diantara empat orang, memenuhi kriteria untuk
sedikitnya satu gangguan cemas, dan angka prevalensi sebesar 17,7%
dalam satu tahun. Perkiraan yang diterima untuk prevalensi gangguan
cemas umum dalam satu tahun adalah dari 3-8%. Gangguan cemas
menyeluruh kemungkinan merupakan gangguan yang paling sering
ditemukan dengan gangguan mental penyerta, biasanya gangguan cemas
atau gangguan mood lainnya. Kemungkinan 50% dengan gangguan cemas
menyeluruh memiliki gangguan mental lainnya.1
Selain tatalaksana farmakoterapi, beberapa tatalasana non-farmako di
nilai efektif dalam membantu proses penyembuhan ganggguan kejiwaan,

1
salah satunya adalah gangguan cemas. Ada banyak bentuk intervensi yang
dapat digunakan dalam dunia psikologi, baik itu intervensi individual,
kelompok, bahkan komunitas. Tiap intervensi memiliki pendekatannya
masing-masing apakah psikoanalisa, psikodinamika, cognitive-behavior,
humanistik, dan sebagainya. Salah satu intervensi yang dapat digunakan
dalam berbagai situasi dan dapat diterapkan secara individual ataupun
kelompok adalah psikoedukasi. Psikoedukasi sebenarnya sudah cukup
populer dalam dunia psikologi selama 30 tahun terakhir di Amerika dan
seluruh dunia.2 Namun, untuk Indonesia sendiri bentuk intervensi ini belum
banyak diterapkan. Makalah ini ditulis untuk mengangkat apa itu
psikoedukasi dan bagaimana penerapan psikoedukasi, khususnya dalam
praktek tatalaksana pasien gangguan cemas.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Psikoedukasi
A. Definisi
Psikoedukasi adalah suatu intervensi yang dapat dilakukan pada
individu, keluarga, dan kelompok yang fokus pada mendidik
partisipannya mengenai tantangan signifikan dalam hidup, membantu
partisipan mengembangkan sumber-sumber dukungan dan dukungan
sosial dalam menghadapi tantangan tersebut, dan mengembangkan
keterampilan coping untuk menghadapi tantangan tersebut.2
Definisi lain menyatakan bahwa psikoedukasi adalah suatu bentuk
pendidikan ataupun pelatihan terhadap seseorang dengan gangguan
psikiatri yang bertujuan untuk proses treatment dan rehabilitasi. Sasaran
dari psikoedukasi adalah untuk mengembangkan dan meningkatkan
penerimaan pasien terhadap penyakit ataupun gangguan yang ia alami,
meningkatkan pertisipasi pasien dalam terapi, dan pengembangan coping
mechanism ketika pasien menghadapi masalah yang berkaitan dengan
penyakit tersebut.3
Berdasarkan definisi-definisi di atas, psikoedukasi dapat
diterapkan tidak hanya kepada individu tetapi juga dapat diterapkan pada
keluarga, dan kelompok. Psikoedukasi dapat digunakan sebagai bagian
dari proses treatment dan sebagai bagian dari rehabilitasi bagi pasien
yang mengalami penyakit ataupun gangguan tertentu. Psikoedukasi
banyak diberikan kepada pasien dengan gangguan psikiatri termasuk
anggota keluarga dan orang yang berkepentingan untuk merawat pasien
tersebut. Walaupun demikian, psikoedukasi tidak hanya dapat diterapkan
pada ranah psikiatri, tetapi dapat juga diterapkan pada ranah lainnya.2
Anderson et al. menggunakan istilah ini untuk pertama kalinya
pada 1980 untuk perawatan keluarga pasien dengan skizofrenia. Mereka
menyebutkan empat elemen penting dari psikoedukasi (Tabel 1). Mereka
menyarankan bahwa keluarga pasien juga harus dimasukkan dalam sesi.4

3
Tabel 1. Elemen Penting Psikoedukasi4

Essential elements of psychoeducation

1. Briefing the patients about their illness


2. Problem-solving training
3. Communication training
4. Self-assertiveness training

Barker, dalam Kamus Pekerjaan Sosial, mendefinisikan


psikoedukasi sebagai "proses mengajar klien dengan penyakit mental dan
anggota keluarga mereka tentang sifat penyakit, termasuk etiologi,
perkembangan, konsekuensi, prognosis, pengobatan, dan alternatifnya."4

B. Tujuan Psikoedukasi
Tujuan dari psikoedukasi adalah :4
 Untuk memastikan pengetahuan dasar pasien dan kerabat
mereka tentang penyakit tersebut
 Untuk memberikan wawasan tentang penyakit
 Untuk mempromosikan pencegahan terjadinya kekambuhan
 Terlibat dalam manajemen krisis dan pencegahan bunuh diri.

C. Komponen Dasar Psikoedukasi


Pendidikan sosial biasanya mencakup komponen dasar informasi
tertentu, yang harus diberikan kepada pasien dan anggota keluarga mereka
mengenai gangguan mental tertentu. Modul dapat dimodifikasi sesuai dengan
kebutuhan pasien, anggota keluarga, dokter, atau bervariasi sesuai dengan
gangguan tertentu. Dengan demikian, jumlah dan waktu sesi dapat bervariasi
seiring dengan perubahan pada keseluruhan konten. Namun demikian,
diinginkan untuk mencakup komponen-komponen penting, seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 2.4

Tabel 2. Komponen Dasar dari Psikoedukasi4


Komponen penting dari sesi psikoedukasi
1. Faktor etiologi

4
2. Tanda dan gejala umum
3. Kesadaran tentang tanda-tanda awal kekambuhan / kekambuhan
4. Cara mengatasi situasi
5. Berbagai pilihan perawatan tersedia
6. Kapan dan bagaimana mencari perawatan
7. Perlu kepatuhan terhadap pengobatan sesuai dengan bimbingan tim
perawatan
8. Kursus dan hasil jangka panjang
9. Dos dan jangan bagi anggota keluarga saat berurusan dengan pasien
10. Membersihkan mitos dan kesalah-pahaman tentang penyakit dan
menghilangkan stigma

D. Klasifikasi Psikoedukasi
Psikoedukasi aktif melibatkan keterlibatan aktif terapis dengan
pasien/keluarga selama proses berlangsung, yang mengarah pada interaksi dan
klarifikasi. Dalam psikoedukasi pasif, materi diberikan kepada pasien/anggota
keluarga dalam bentuk pamflet, materi audio/video yang harus mereka baca
dan berasimilasi sendiri. Di sebuah klinik yang sibuk dengan waktu yang
tersedia terbatas, seorang klinisi dapat melakukan psikoedukasi pasif dengan
membagikan selebaran atau materi edukatif tentang penyakit yang ditulis
dalam bahasa yang sederhana, dimana pasien dan wali dapat dengan mudah
memahami dan berasimilasi.4
 Psikoedukasi Grup
Ini biasanya terdiri dari pasien yang memiliki jenis penyakit yang
serupa. Dengan demikian, kelompok dapat terdiri dari pasien
dengan gangguan bipolar, skizofrenia, penyalahgunaan zat, dll.
Tidak diinginkan untuk membentuk kelompok dengan anggota
yang memiliki berbagai jenis penyakit. Kelompok biasanya
memiliki 4-12 anggota, dengan jumlah optimal adalah 8. Jumlah
sesi biasanya bervariasi dari 5 hingga 24, dengan jumlah sesi
optimal yang ditentukan oleh penelitian dan praktik. Seringkali,
ketersediaan sumber daya dalam hal waktu dan tenaga yang
tersedia dapat menyebabkan modifikasi dalam jumlah sesi,
5
meskipun area luas yang akan dicakup untuk setiap gangguan
tetap sama. Sesi biasanya berlangsung 40-60 menit dan sebagian
besar diadakan setiap minggu. Waktu dan frekuensi sesi yang
optimal membantu dalam asimilasi informasi yang lebih baik,
yang telah dibagikan dan dibahas. Mungkin bermanfaat untuk
menyerahkan materi cetak setelah setiap sesi, yang menyoroti
dalam bahasa sederhana fitur-fitur penting dari topik yang
dibahas dalam sesi khusus itu.4
 Psikoedukasi Keluarga
Psikoedukasi keluarga dapat dilakukan dalam lingkungan
keluarga tunggal atau dalam sebuah kelompok dengan lebih dari
satu keluarga memiliki jenis penyakit yang serupa pada pasien
mereka (kelompok multi-keluarga). Model-model psikoedukasi
berbasis keluarga dapat sangat berguna dalam konteks India
karena sebagian besar pasien India tinggal bersama keluarga
mereka tidak seperti rekan-rekan Barat mereka. Model
psikoedukasi berbasis keluarga telah terbukti efektif dalam
skizofrenia dan gangguan bipolar. Psikoedukasi keluarga menjadi
sangat penting dalam menangani penyakit mental yang parah
ketika dalam fase simptomatik, pasien kurang wawasan dan
mungkin enggan minum obat. Juga membantu untuk membuat
mereka menyadari tanda-tanda awal kekambuhan sehingga
mereka dapat mengidentifikasi dan mencari bantuan yang sesuai.
Jumlah dan frekuensi sesi bervariasi, meskipun jumlah rata-rata
antara 6 dan 12 sesi diadakan setiap minggu. Sesi tindak lanjut
dapat dilakukan dengan interval bulanan setelah keluarnya
pasien.4

6
E. Mekanisme Psikoedukasi
Salah satu terapi tersebut menggunakan psikoedukasi, intervensi psiko-
pendidikan harus menjadi bagian dari terapi standar untuk pasien dengan
kesehatan mental. Psikoedukasi akan memberikan informasi kepada para
peserta, menggunakan selebaran atau buku yang dilengkapi dengan diskusi
verbal. Penting untuk memahami tentang sikap terhadap gangguan cemas dan
faktor-faktor yang mungkin menyebabkan pembentukan sikap-sikap ini .5
Model Psikoedukasi 5
 Information Model
Fokusnya adalah memberikan pengetahuan keluarga tentang penyakit
kejiwaan dan manajemen mereka.
 Skill Training Model
Model pelatihan keterampilan berfokus pada pengembangan keterampilan
tertentu sehingga anggota keluarga dapat mengelola penyakit dengan lebih
efektif.
 Supportive Model
Model suportif terutama melibatkan mengambil bantuan kelompok
pendukung untuk melibatkan anggota keluarga pasien dalam berbagi
perasaan mereka.
 Comprehensive Model
Model komprehensif menggunakan kombinasi dari tiga model
sebelumnya.

Psikoedukasi telah menjadi langkah penting dalam pengelolaan


kecemasan dan gangguan depresi. Setelah menegakkan diagnosis
kecemasan dan gangguan depresi dan melakukan penilaian yang
diperlukan, para profesional kesehatan mental harus memberikan
informasi rinci kepada pasien mengenai gejala, penyebab, berbagai pilihan
pengobatan, efek samping dari obat, kebutuhan untuk kepatuhan, dan
keseluruhan program dan hasil dari kekacauan. Selain obat-obatan, peran
tindakan nonfarmakologis seperti penjadwalan aktivitas dan latihan fisik
secara teratur ditekankan. Psikoedukasi pasif sangat populer pada pasien

7
dengan gangguan kecemasan. Ini dengan menggunakan berbagai sumber
daya seperti buku, pamflet, atau video yang menjelaskan dengan jelas
berbagai aspek gangguan kecemasan. Tidak seperti psikoedukasi aktif, di
sini terapis tidak berinteraksi secara aktif dengan pasien sambil
memberikan pendidikan tentang penyakit tersebut.4

2.2. Gangguan Cemas


Setiap waktu dalam hidupnya manusia dapat dihadapkan pada berbagai
situasi yang dapat memicu munculnya kecemasan. Misalnya ujian mendadak,
presentasi tugas, terlambat masuk kantor, deadline pekerjaan, dan sebagainya.
Pada dasarnya kecemasan adalah reaksi yang wajar yang dapat dialami oleh
seseorang, sebagai respon terhadap situasi yang dianggap mengancam atau
membahayakan. Namun jika rasa cemas tersebut berlebihan dan serta tidak
sesuai dengan proporsi ancamannya, maka dapat mengarah ke gangguan yang
akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.
Gangguan kecemasan adalah sekelompok kondisi yang memberi gambaran
penting tentang kecemasan yang berlebihan, disertai respons perilaku,
emosional, dan fisiologis. Individu yang mengalami gangguan kecemasan
dapat memperlihatkan perilaku yang tidak lazim seperti panik tanpa alasan,
takut yang tidak beralasan terhadap objek atau kondisi kehidupan, melakukan
tindakan berulang-ulang tanpa dapat dikendalikan, mengalami kembali
peristiwa yang traumatik, atau rasa khawatir yang tidak dapat dijelaskan atau
berlebihan.1

A. Klasifikasi Gangguan Cemas6


DSM-5
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(DSM-5) dari American Psychiatric Association (APA). Dari beberapa
gangguan kecemasan kategori DSM-IV menjadi tiga kategori terpisah
dalam DSM-V. Tiga kategori ini adalah6:
1. Anxiety Disorders (separation anxiety disorder, selective mutism,
specific phobia, social phobia, panic disorder, agoraphobia, and
generalized anxiety disorder).

8
2. Obsessive-Compulsive Disorders (obsessive-compulsive disorder,
body dysmorphic disorder, hoarding disorder, trichotillomania, and
excoriation disorder).
3. Trauma and Stressor-Related Disorders (reactive attachment
disorder, disinhibited social engagement disorder, PTSD, acute stress
disorder, and adjustment disorder).

B. Epidemiologi1
Rasio wanita dan laki-laki adalah 2:1. National Comorbidity Study
melaporkan bahwa satu diantara empat orang, memenuhi kriteria untuk
sedikitnya satu gangguan cemas, dan angka prevalensi sebesar 17,7%
dalam satu tahun. Perkiraan yang diterima untuk prevalensi gangguan
cemas umum dalam satu tahun adalah dari 3-8%. Gangguan cemas
menyeluruh kemungkinan merupakan gangguan yang paling sering
ditemukan dengan gangguan mental penyerta, biasanya gangguan cemas
atau gangguan mood lainnya. Kemungkinan 50% dengan gangguan cemas
menyeluruh memiliki gangguan mental lainnya.1

C. Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari terjadinya gangguan cemas adalah
adanya perubahan rangsangan neurotransmitter. Beberapa model
neurotransmitter yang dapat mempengaruhi munculnya gangguan cemas
pada individu, antara lain:
1. Model Noradrenergik7
Model ini menunjukkan bahwa sistem saraf otonom pada penderita
gangguan anxietas, hipersensitif dan bereaksi berlebihan terhadap
berbagai rangsangan. Glukokortikoid mengaktifkan locus caeruleus,
yang berperan dalam mengatur anxietas, yaitu dengan mengaktivasi
pelepasan norepinefrin (NE) dan merangsang sistem saraf simpatik dan
parasimpatik.7
2. Model Serotonin8

9
Jalur serotonergik yang timbul dari nukleus raphé di batang otak
mempersarafi berbagai macam struktur yang dianggap terlibat dalam
gangguan anxietas, termasuk korteks frontal, amigdala, hipotalamus,
dan hipokampus (Mathew, et al., 2008). Selain itu, mekanisme
serotonergik diyakini mendasari aktivitas biologis berbagai obat yang
digunakan untuk mengobati mood disorder, termasuk gejala anxietas.
Patologi seluler yang dapat berkontribusi pada pengembangan
gangguan anxietas termasuk regulasi abnormal pelepasan 5- HT,
reuptake atau respons abnormal terhadap signal 5-HT. Reseptor 5-
HT1A diduga memainkan peran yang sangat penting terhadap
anxietas. Aktivasi reseptor 5-HT1A meningkatkan aliran kalium dan
menghambat aktivitas adenilat siklase8.
Reseptor HT1A juga terlibat dalam panic disorder. Polimorfisme
spesifik dalam gen yang mengkodekan reseptor 5- HT1A telah terbukti
memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan agoraphobia dan
panik (Lopez, et al., 2010). Peran 5-HT dan subtipe reseptornya dalam
memediasi gejala kecemasan, panik, dan obsesi adalah kompleks. 5-
HT dilepaskan dari terminal saraf berikatan dengan subtipe reseptor 5-
HT2C postsinaptik, yang memediasi kecemasan. 5- HT1A adalah auto-
reseptor pada neuron pra-sinaptik yang apabila dirangsang dapat
menghambat pelepasan 5-HT dari neuron presinaptik ke sinaps.8
3. Model GABA
Gamma-amino butyric acid (GABA) adalah neurotransmiter
inhibitor penting dalam sistem saraf pusat dan mengatur banyak
rangsangan di daerah otak.7 Terdapat 2 subtipe reseptor GABA yaitu
GABAA dan GABAB. Benzodiazepin berikatan dengan kompleks
reseptor benzodiazepine yang terletak di neuron post-sinaptik.
Pengikatan semacam itu dapat meningkatkan efek GABA untuk
membuka kanal ion klorida, menyebabkan masuknya ion klorida ke
dalam sel yang menghasilkan stabilisasi membran saraf.8
GABA juga dapat mempengaruhi tingkat kecemasan dengan
memediasi pelepasan neurotransmitter lain seperti cholecystokinin dan

10
menekan aktivitas saraf pada sistem serotonergik dan noradrenergik.
Neurotransmitter lain yang diduga terlibat dalam gangguan anxietas
termasuk dopamine, glutamine dan neurokinin.7
Meskipun kemungkinan patofisiologi yang berbeda mendasari
berbagai gangguan anxietas, secara luas diyakini bahwa GABA
merupakan salah satu sistem yang terlibat secara integral pada
gangguan anxietas. Studi neuroimaging melaporkan bahwa terjadi
penurunan kadar GABA dan pengikatan reseptor GABAA-
benzodiazepine pada pasien dengan gangguan anxietas. Reseptor
GABA-benzodiazepine didistribusikan secara luas di otak dan sumsum
tulang belakang. Terutama terkonsentrasi di bagian otak yang dianggap
terlibat dalam terjadinya anxietas, termasuk medial PFC, amigdala, dan
hipokampus, serta hasil dari beberapa penelitian telah menunjukkan
kelainan pada sistem tersebut pada pasien dengan gangguan anxietas.8

D. Diagnosis
PPDGJ III menunjukkan pedoman diagnostik dari gangguan cemas
sebagai berikut:9
1. Gangguan anxietas fobik (F40)9
1) Anxietas dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang jelas (dari
luar individu itu sendiri) yang sebenarnya pada saat kejadian itu
tidak membahayakan kondisi lain (dari individu itu sendiri) seperti
perasaan takut akan adanya penyakit (nosofobia) dan ketakutan
akan perubahan bentuk badan (dismorfobia) yang tidak realistik
dimasukkan dalam klasifikasi F45.2 (gangguan hipokondrik)
2) Sebagai akibatnya, objek atau situasi tersebut dihindari atau
dihadapi dengan rasa terancam.
3) Secara subjektif, fisiologik dan tampilan perilaku, anxietas fobik
tidak berbda dari anxietas lainnya dan dapat dalam bentuk yang
ringan sampai yang berat (serangan panik)
4) Anxiatas fobik sering kali berbarengan (coexist) dengan depresi.
Suatu episode depresi sering kali memperburuk keadaan anxietas

11
fobik yang sudah ada sebelumnya. Beberapa episode depresi dapat
disertai anxietas fobik yang temporer, sebaliknya afek depresi
sering kali menyertai berbagai fobia, khususnya agoraphobia.
Pembuatan diagnosis tergantung dari mana yang jelas-jelas timbul
lebih dahulu dan mana yang lebh dominan pada saat pemeriksaan.

2. Gangguan anxietas lainnya (F41)9


1) Manifestasi anxietas rnerupakan gejala utama dan tidak terbatas
(not restricted) pada situasi lingkungan tertentu saja.
2) Dapat disertai gejala-gejala depresif dan obsesif, bahkan juga
beberapa unsur dari anxietas fobik, asal saja jelas bersifat sekunder
atau ringan.
a. Gangguan panic (F41.1)
- Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis gangguan
utama bila tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik
(F40,-)
- Untuk diagnosis pasti harus ditemukan adanya beberapa kali
serangan anxietas berat (severe attacks of autonomic anxiety)
dalam masa sekitar satu bulan:
1. Pada keadaan-keadaan di mana sebenarnya secara
objektif tidak ada bahaya
2. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang
dapat diduga sebelumnya (unpredictable situations)
3. Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala
anxietas pada periode di antara serangan-serangan panik
(tetapi umumnya dapat terjadi juga “anxietas
antisipatorik,” yaitu anxietas yang terjadi setelah
membayangkan sesuatu yang tidak diharapkan akan
terjadi.

b. Gangguan Cemas Menyeluruh (F41.2)9

12
- Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer
yang berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu
sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya
menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya
free floating atau mengambang).
- Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur
berikut:
1. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di
ujung tanduk, sulit konsentrasi, dsb).
2. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran,
tidak dapat santai).
3. Over-aktivitas otonomi (kepala terasa ringan, berkeringat,
jantung berdebar-debar, sesak napas, keluhan lambung,
pusing kepala, mulut kering, dsb).
4. Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan
berlebihan untuk ditenangkan (reassurance) serta
keluhan-keluhan somatik berulang yang menonjol.
5. Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk
beberapa hari), khususnya depresi, tidak membatalkan
diagnosis utama gangguan anxietas menyeluruh, selama
haltersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode
depresi (F32), gankap dari episodedepresi (F32),
gangguan anxietas fobik (F40), gangguan panik (F41.0),
gangguan obsesif-kompulsif (F42).

3. Gangguan Obsesif Kompulsif (F42)9


1) Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau
tindakan kompulsif atau kedua-duanya, harus ada hampir setiap
hari selama sedikitnya dua minggu berturut-turut.

13
2) Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau
mengganggu aktivitas penderita.
3) Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut :
a. harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri
b. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil
dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh
penderita.
c. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas bukan hal
yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega
dari ketegangan atau anxietas, tidak dianggap seb, tidak
dianggap sebagai kesenangan seperti diatas)
d. Gagasan, bayangan pikiran atau impuls tersebGagasan,
bayangan pikiran atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly
repetitive).
e. Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran (obsesif)
dengan depresi. Penderita gangguan obsesif kompulsif juga
menunjukkan gejala depresi dan sebaliknya penderita gangguan
depresi berulang (F33.-) dapat menunjukkan pikiranunjukkan
pikiran-pikiran obsesif selama spisodee deepresifmya. Dalam
berbagai situasi dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut
meningkat atau menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi
secara parallel dengan perubahan gejala obsesif, Bila terjadi
episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis
diutamakan dari gejalagejala yang timbul lebih dahulu.
Diagnosis gangguan obsesif kompulsif ditegakkan hanya bila
tidak ada gangguan dpresif pada saat gejala obsesif kompulsif
tersebut timbul. Bila dari keduanya tidak ada yang menonjol,
maka lebih baik menganggap depresi sebagai diagnosis primer.
Pada gangguan menahun, maka priotas diberikan pada gejala
yang paling bertahan saat gejala lain menghilang.

14
f. Gejala obsesif “sekunder” yang terjadi pada gangguan
skiofrenia, sindroma tourrette atau gangguan mental organic
harus dianggap sebagai bagian dari keadaan tersebut.

4. Reaksi terhadap stress berat dan penyesuaian (F43)9


a. Reaksi stress akut (43.1)
- Harus ada kaitan waktu yang jelas antara terjadinya pengalaman
stres yang luar biasa (fisik atau mental) dengan onset dari gejala,
biasanya beberapa menit atau segera setelah kejadian
- Selain itu ditemukan gejala-gejala:
1) Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-
ubah, selain gejala permulaan berupa keadaan “terpaku”
(daze). Semua hal berikut dapat terlihat depresi, ansietas,
kemarahan, kecewa, overaktif dan penarikan diri. Akan
tetapi tidak satupun dari gejala tersebut yang mendominasi
gambaran klinisnya untuk waktu yang lama
2) Pada kasus yang dapat dialhkan dari lingkup stressornya,
gejala-gejala dapat menghilang dengan cepat (dalam
beberapa jam)dalam hal dimana stres menjadi berkelanjutan
atau tidak dapat dialihkan gejala –gejala biasanya baru
mereda setelah 24-48 jam dan biasanya hapir menghilang
setelah 3 hari.
- Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan kambuhan
mendadak dari gejala-gejala pada individu yang sudah
menunjukkan gangguan psikiatrik lainnya.
- Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan diri
memegang peranan dalam terjadinya atau beratnya suatu reaksi
stres akut.

b. Stress pasca trauma (F43.2)9


- Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam
kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatis berat (masa laten

15
berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan , jarang
melampaui 6 bulan),
- Kemungkinan diagnosa masih dapat ditegakkan apabila
tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan
melebihi 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan
tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya
- Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didaoatkan
bayang-bayang atau mimpi –mimpi dari kejadian traumatik
secara berulang-ulang kembali (flashback).
- Gangguan otonom, gangguan afek dan kelainan tingkah laku
semuanya dapat mewarnai diagnosis, tetapi tidak khasSuatu
“sequele” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar
biasa misalnya saja beberapa puluh tahun setelah bencana,
diklasifikasikan dalam katagori (F 62.0) perubahan kepribadian
yang berlangsung setelah kejadian katastrofa.

E. Tatalaksana Umum
Gangguan anxietas seringkali diikuti dengan gangguan psikiatri
atau kondisi fisik lain. Selain itu, pasien gangguan anxietas sebagian besar
merupakan pasien rawat jalan, jarang yang memerlukan perawatan rawat
inap di rumah sakit. Oleh sebab itu, terkadang perawatannya sulit
terkontrol.10
Setelah mendapatkan diagnosis, dapat dilakukan perawatan primer
segera kepada penderita gangguan anxietas, seperti memberikan edukasi
mengenai gejala yang terjadi, strategi pengurangan stres, modifikasi gaya
hidup (mengurangi konsumsi alkohol dan kafein, menghindari nikotin dan
penggunaan narkoba, latihan rutin), konseling yang mendukung, serta
memantau dan mengatasi tanda-tanda awal kekambuhan.10
Pilihan treatment untuk gangguan anxietas terdiri dari terapi
psikologis dan farmakologis. Semua pasien harus menerima edukasi dari
dokter mencakup informasi mengenai gangguan, pilihan pengobatan, dan
prognosis umum. Selain itu, pasien juga harus diberitahu mengenai

16
efektivitas obat, efek samping umum ataupun efek samping yang tidak
umum tapi serius, durasi pengobatan, biaya, serta kemungkinan yang akan
terjadi apabila pengobatan dihentikan.10

1. Farmakologis
Berdasarkan beberapa guideline mengenai rekomendasi
pengobatan untuk gangguan anxietas, pengobatan yang biasa digunakan
diantaranya antidepresan (SSRIs, SNRIs, TCAs, dan MAOIs),
benzodiazepine, β-blockers, serta ada beberapa yang menggunakan
antihistamin dan atipikal antipsikotik. SSRIs direkomendasikan sebagai
first-line terapi untuk sebagian besar gangguan anxietas.10

Tabel 1. Rekomendasi Pengobatan7

a. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)


SSRI biasanya diindikasikan untuk pengobatan depresi, dianggap
sebagai terapi lini pertama untuk gangguan anxietas. Kelompok obat
ini diantaranya fluoxetine, sertraline, citalopram, escitalopram,
fluvoxamine, paroxetine dan vilazodone. Mekanisme penting dari
kelompok obat-obatan tersebut yaitu menghambat transporter serotonin

17
dan menyebabkan desensitisasi reseptor serotonin postsinaptik,
sehingga menormalkan aktivitas jalur serotonergic.11

b. Serotonin-Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRIs)


SNRI yang menghambat transporter serotonin dan norepinefrin,
termasuk venlafaxine, desvenlafaxine, dan duloxetine. SNRI biasanya
digunakan apabila terjadi kegagalan atau respon yang tidak adekuat
terhadap SSRI.11
c. Benzodiazepines
Meskipun benzodiazepin banyak digunakan pada zaman dahulu
untuk mengobati kondisi anxietas, tetapi tidak lagi dianggap sebagai
terapi lini pertama karena menimbulkan efek samping yang merugikan,
jika digunakan dalam waktu yang lama dan dosis yang tinggi. Oleh
karena itu, penggunaan benzodiazepin hanya terbatas untuk
pengobatan jangka pendek anxietas akut.11
d. Tricyclic Antidepressants
Semua tricyclic antidepressants (TCAs) berfungsi sebagai inhibitor
reuptake norepinefrin, dan beberapa sebagai penghambat reuptake
serotonin. Meskipun beberapa golongan dari obat ini efikasinya
sebanding dengan SSRI atau SNRI untuk mengobati anxietas, TCA
menimbulkan lebih banyak efek samping dan berpotensi mematikan
jika overdosis. Untuk alasan ini, TCA jarang digunakan dalam
pengobatan gangguan anxietas. Kecuali clomipramine yang mungkin
lebih berkhasiat daripada SSRI atau SNRI pada pasien dengan OCD.11

2. Psikoterapi
Semua pasien dengan gangguan kecemasan membutuhkan
dukungan motivasi dan perhatian terhadap masalah emosi yang
berhubungan dengan gangguan cemas. Psikoedukasi termasuk dalam
pemberian informasi mengenai gangguan, gejala yang mungkin di
alami, pilihan pengobatan, dan prognosis umum. Selain itu, pasien juga
harus diberitahu mengenai efektivitas obat, efek samping umum
ataupun efek samping yang tidak umum tapi serius, durasi pengobatan,

18
biaya, serta kemungkinan yang akan terjadi apabila pengobatan
dihentikan. Beberapa pasien mendapatkan tatalaksana psikologis
umum, yang biasanya tidak memerlukan rawat inap. 12

2.3 Contoh Psikooedukasi pada Gangguan Cemas Menyeluruh

Beberapa penelitian menjelaskan terdapat beberapa sesi dalam melakukan


tahapan psikoedukasi. Pada pembahasan kali ini akan dicontohkan psikoedukasi
dengan empat sesi, yaitu sesi pengkajian masalah, sesi edukasi, sesi membangun
harapan dan sesi evaluasi.11

Sesi 1. Identifikasi Masalah11


Pada sesi pertama ini terapis melakukan pengkajian atau mengumpulkan
informasi tentang data pasien agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah,
kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien, baik fisik, mental, sosial dan
lingkungan. Tahap ini berisi mengenai wawancara mengenai keadaan yang
dialami pasien. Pasien dipersilahkan bercerita mengenai pengalaman serta
gangguan yang terjadi selama adanya gangguan cemas, hal ini diharapkan pasien
dapat merasa dihargai, didengarkan, dan dimengerti. Terapis dalam tahap ini
berisi pengkajian masalah, mendengarkan dan memahami masalah yang dan
perasaan yang dialami pasiennya.

Sesi 2. Edukasi11
Pada tahap ini terapis memberikan informasi terkait dengan pengertian,
penyebab, tanda dan gejala, pilihan terapi, perawatan, prognosis serta masalah
masalah psikologis yang biasanya terjadi pada pasien dengan gangguan cemas.
Pada tahap ini berbagai informasi tentang gangguan cemas dipaparkan oleh
terapis agar pasien tahu apa yang sedang pasien alami.

Sesi 3. Membangun harapan11


Pada sesi ini terapis mempersilahkan pasien untuk mengidentifikasi
sumber dukungan, mendorong untuk terus menerapkan tindakan yang tepat, serta
membangun harapan dan keyakinan yang realistis agar pasien mampu

19
menghadapi kesulitanya. Sesi ini bertujuan untuk membangun keyakinan positif
agar pasien meyakini dengan latihan dan terapi yang diberikan akan memberikan
dampak yang positif dalam mengatasi penyakit yang dideritanya. Tahap ini
diharapkan dapat mengurangi rasa khawatir, ketakutan dan persepsi negatif
terhadap keluhannya.

Sesi 4. Evaluasi11
Sesi ini terapis memberikan kesimpulan terkait dorongan dan dukungan
yang dimiliki pasien serta manfaat yang akan didapatkan pasien apabila
melakukan tindakan yang tepat. Setelah itu terapis menanyakan perasaan yang
dirasakan pasien, bagaimana persepsi pasien setelah mendapatkan terapi.

Contoh kasus:
Ny. S, perempuan, 46 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga,
pendidikan terakhir SD, tinggal di Plaju, Palembang, datang ke poliklinik, tanggal
1 April 2020. Pasien terlihat sesuai umurnya, memakai baju berwarna coklat,
penampilan terkesan agak lusuh, perawakan pendek dengan berat badan cukup,
kulit coklat, mengenakan hijab, kuku pendek namun kurang bersih.

Pasien datang ke poliklinik diantar oleh anaknya dengan keluhan sering


merasa cemas. Perasaan cemas ini dirasakan sejak 1 tahun yang lalu, pasien
mengeluh sering merasa cemas secara mendadak, yang diikuti rasa pusing, telapak
tangan berkeringat, dan jantung berdebar-debar. Pasien juga mengaku jika
serangan cemas itu ada, maka akan menggangu kemampuannya untuk
berkonsentrasi dalam mengerjakan sesuatu, dan kadang pasien juga sulit untuk
tidur.

Sesi 1: Identifikasi masalah

Dokter : “Selamat pagi ibu, perkenalkan saya dokter P yang berjaga di Poli pada
pagi hari ini. Benar dengan Ibu S?”

20
Ny. S : “Selamat pagi, dok. Iya dok, saya ibu S”

Wali : “Saya anaknya Dok.”

Dokter : “Ada yang bisa saya bantu ibu, mbak?”

Ny.S : “Begini dok, jadi saya ini sering sekali merasa cemas, kadang tanpa
alasan yang pasti. Selain itu, saya juga sering merasa degdegan gitu dok,
keringat dingin dan sampai telapak tangan saya basah. Kok bisa gitu ya
dok?”

Dokter : “Sejak kapan keluhan ini ibu rasakan?”

Ny. S : “Sebenarnya sudah lama dok, hampir 2 tahun-an, kadang keluhannya ga


terasa kalo saya lagi ga ada yang dipikirin sih dok. Tapi saya ga tau juga
kenapa kadang saya sering merasa takut, cemas gitu. Kadang ga ada
penyebabnya gitu dok”

Dokter : “Menurut ibu apa ada hal-hal yang awalnya menyebabkan keluhan ini
muncul?”

Ny. S : “Hmm, sebenarnya sih dok ga terlalu pasti sih. Tapi, perasaan semenjak
suami saya menjadi Lurah, kok saya ngerasa terbebani gitu ya dok. Saya
takut aja gitu dok kalo misalnya saya ga bisa menjalankan tugas tugas
yang dibebani sebagai ibu lurah. Kadang kalo misalnya udah deket hari
perayaan nasional, saya jadi sering ga bisa konsentrasi, sakit kepala,
gemeteran, malah sampe ga bisa tidur dok.”

Dokter : “Selain keluhan ini, apa ada keluhan lain yang ibu rasakan, seperti
sering merasa sedih berlebih, gembira berlebih?”

Ny. S : “Kayaknya ga sih dok, tapi gitulah dok, keluhan kayak gini sering
sekali saya alami, bisa aja kadang hampir setiap hari. Saya stress dok,
semuanya jadi pikiran bagi saya. Cemas tentang hal kecil, ga bisa
konsentrasi, ga bisa tidur, akhirnya malah ganggu aktivita saya sehari-
hari dok.”

21
Dokter : “Apakah ibu perrnah berhalusinasi, merasa ada yang berbisik ataupun
keluhan lainnya?”

Ny.S : “Tidak ada dok.”

Dokter : “Selain itu, ibu sebelumnya ada riwayat penyakit lain ga bu? Atau
sebelumnya pernah mengalami kecelakaan atau cedera kepala?”

Ny. S : “Ga ada sih dok.”

Dokter : “Apakah ibu sudah ada mengonsumsi obat untuk keluhan yang ibu
alami?”

Ny. S : “Belum dok.”

Dokter : “Di keluarga adakah yang mengalami keluhan yang sama seperti ibu?”

Wali : “Sepengetahuan saya ga ada juga dok.”

Sesi 2 : Edukasi

Dokter : “Baiklah ibu, dari cerita ibu tadi, kemungkinan keluhan yang ibu alami
ini dalam dunia kedokteran dikenal dengan gangguan cemas
menyeluruh.”

Ny. S : “Apa itu dok? Berbahaya ga dok?”

Dokter : “Jadi bu, gangguan cemas menyeluruh itu adalah merupakan suatu
kecemasan yang berlebihan tentang suatu kegitan yang berlangsung
setidaknya selama 6 bulan. Kecemasan adalah respon terhadap situasi
tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi
menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum
pernah dialami oleh seseorang. Kecemasan adalah reaksi yang dapat
dialami siapapun. Namun cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah
menjadi gangguan akan menghambat fungsi seseorang dalam
kehidupannya.”

22
Ny.S : “Terus kenapa saya sampe bisa sering deg-degan sampai keringat
dingin dok?”

Dokter : “Orang dengan gangguan cemas biasanya mencemaskan secara


berlebihan keadaan hidup mereka, seperti keuangan, kesejahteraan anak-
anak, dan hubungan sosial mereka. Biasanya orang tersebut sering
merasa tegang, waswas, atau khawatir, terkadang mudah lelah,
mempunyai kesulitan berkonsentrasi atau menemukan bahwa pikirannya
menjadi kosong, ketegangan otot. Keluhan seperti ini juga kadang
disertai dengan keluhan lainnya seperti degdegan hingga keringat dingin,
sakit perut, sakit kepala. Bisa juga adanya gangguan tidur, seperti sulit
untuk tidur, untuk terus tidur, atau tidur yang gelisah dan tidak
memuaskan.”

Ny. S : “Jadi gimana dok, apa bisa diobati keluhan saya ini?”

Dokter : “Sebenarnya bu, memang ada obat untuk membantu meringankan


keluhan cemas seperti in, tapi keputusan untuk meresepkan suatu anti
cemas pada pasien dengan gangguan kecemasan menyeluruh biasanya
jarang dilakukan pada kunjungan pertama. Karena sifat gangguan yang
berlangsung lama, jadi kita harus memiliki rencana pengobatan yang
cermat. Beberapa obat utama yang bisa dipertimbangkan dalam
pengobatan gangguan cemas menyeluruh seperti setralin, buspirone dan
benzodiazepine. Selain itu bu, penggunaan obat anti kecemasan haruslah
melalui kontrol dari dokter secara ketat, penggunaan obat-obat anti
kecemasan dapat mengakibatkan beberapa efek samping, teruma mereka
dengan yang memiliki penyakit penyerta lainnya.”

Sesi 3 : Membangun harapan

Ny. S : “Apakah dengan obat-obatan itu saya bisa sembuh dok?”

Dokter : “Selain obat-obatan juga diperlukan psikoterapi dan edukasi, terutama


pada keluarga. Menurut penelitian pengobatan hanya dengan obat tidak
cukup untuk kesembuhan pasien, tetapi juga harus diiringi oleh
lingkungan keluarga yang mendukung dan dari sikap ibu terhadap

23
penyakit yang diderita. Ibu juga harus rutin kontrol dikarenakan banyak
pasien yang sudah mulai melakukan pengobatan tapi tidak rutin control
dan makan obat, serta kurangnya perhatian dari keluarganya, malah jadi
mengalami kekambuhan.”

Wali : “Bagaimana kemungkinan ibu saya bisa sembuh dok?”

Dokter : “Ada beberapa pertimbangan yang mempengaruhi prognosis


kesembuhan Ibu. Faktor-faktor penting tersebut diantaranya adalah
dukungan keluarga, motivasi yang kuat dari ibunya, dimana ibu harus
memiliki keinginan kuat yang untuk sembuh, kemungkinan prognosisnya
lebih baik.”

Wali : “Apa yang bisa saya lakukan dok sebagai anaknya?”

Dokter : “Tadi saya sudah menjelaskan tentang penyakit ibunya, mungkin nanti
mbak juga bisa menjelaskan kepada keluarga lain yang ada dirumah
mengenai keluhan yang dialami oleh Ibunya. Jadi diharapkan keluarga
bisa membantu Ibunya, didukung terutama jika keluhan cemas mulai
muncul, dengan menenangkan dan memberikan motivasi untuk makan
obat dan rutin control. Ibunya juga, harus selalu semangat dan percaya
bahwa semua hal yang terjadi tidak akan seburuk yang ibu bayangkan.
Semuanya juga sudah diatur oleh Tuhan, jadi ibu harus yakin dan
percaya semua yang terjadi sudah ada alasannya. Ibu harus selalu
memikirkan hal-hal positif, dan menyingkirkan pikiran negatif.”

Ny. S : “Baik dok, saya akan usahakan. Saya juga merasa sangat tidak nyaman
setiap kali keluhan ini muncul, saya juga ingin sembuh dok.”

Dokter : “Bagus bu, ibu harus selalu semangat dan percaya bahwa semuanya
bisa disembuhkan asalkan ada niat, usaha dan pastinya diiringi dengan
doa.”

Wali : “Iya dok.”

Sesi 4: Evaluasi

24
Dokter : “Baiklah ibu dan mbak, apakah penjelasan saya tadi sudah cukup
jelas?”

Ny.S : “Sudah cukup jelas dok.”

Dokter : “Bagaimana perasaanya sekarang bu?”

Ny.S : “Alhamdulillah sudah sedikit lebih baik dok, sebelumnya saya merasa
sangat cemas, takut kalua misalnya ini termasuk depresi dok atau
gangguan jiwa yang berat. Saya sudah merasa lebih baik, dan berharap
bisa mengikuti saran dokter agar bisa sembuh.”

Dokter : “Bagus bu, semangat ini harus dipertahankan. Untuk mbaknya, apakah
yang saya jelaskan tadi bisa diterapkan di rumah dan keluarga lainnya?”

Ny. S : “Saya usahakan dok, nanti setelah sampai di rumah saya akan coba
jelaskan kepada keluarga di rumah, saya akan bantu ibu dan memotivasi
ibu untuk rutin control dan makan obatnya.”

Dokter : “Iya, bagus mbak. Semoga keluhannya menjadi lebih baik, yang
pastinya kita harus berusaha terlebih dahulu serta diiringi dengan doa.
Apakah ada yang ingin ditanyakan lagi?

Ny. S : “Untuk sekarang saya rasa sudah cukup dok.”

Dokter : “Baiklah, selanjutnya nanti kita akan atur jadwal untuk pertemuan
berikutnya bu. Inget pesan saya tadi, ibu harus selalu semangat.”

Ny.S : “Baik dok, terimakasih banyak dokter.”

Dokter : “Sama-sama bu.”

BAB III
KESIMPULAN
25
Psikoedukasi adalah suatu bentuk pendidikan ataupun pelatihan terhadap
seseorang dengan gangguan psikiatri yang bertujuan untuk proses treatment dan
rehabilitasi. Sasaran dari psikoedukasi adalah untuk mengembangkan dan
meningkatkan penerimaan pasien terhadap penyakit ataupun gangguan yang ia
alami, meningkatkan pertisipasi pasien dalam terapi, dan pengembangan coping
mechanism ketika pasien menghadapi masalah yang berkaitan dengan penyakit
tersebut.
Gangguan cemas adalah sekelompok kondisi yang memberi gambaran
penting tentang kecemasan yang berlebihan, disertai respons perilaku, emosional,
dan fisiologis. Individu yang mengalami gangguan kecemasan dapat
memperlihatkan perilaku yang tidak lazim seperti panik tanpa alasan, takut yang
tidak beralasan terhadap objek atau kondisi kehidupan, melakukan tindakan
berulang-ulang tanpa dapat dikendalikan, mengalami kembali peristiwa yang
traumatik, atau rasa khawatir yang tidak dapat dijelaskan atau berlebihan.
Semua pasien dengan gangguan kecemasan membutuhkan dukungan
motivasi dan perhatian terhadap masalah emosi yang berhubungan dengan
gangguan cemas. Psikoedukasi termasuk dalam pemberian informasi mengenai
gangguan, gejala yang mungkin di alami, pilihan pengobatan, dan prognosis
umum. Tahapan melakukan psikoedukasi dapat dibagi menjadi 4 sesi, yaitu
identifikasi masalah, edukasi, membangun harapan dan evaluasi. Diharapkan
dengan psikoedukasi yang dilakukan pada pasien dengan gangguan cemas selain
dapat membantu memberikan informasi tentang cemas itu sendiri, juga
menjelaskan pentingnya motivasi diri, dukungan emosional. Pengobatan hanya
dengan obat tidak cukup untuk kesembuhan pasien, tetapi juga harus diiringi oleh
lingkungan keluarga yang mendukung dan sikap pasien terhadap penyakit yang
diderita agar didapatkan prognosis yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

26
1. Diferiansyah O, Septa T, Lisiswanti R. Gangguan Cemas Menyeluruh. Jurnal
Medula. Vol 1;5(2):63-8. 2016
2. Walsh JF. Psychoeducation in mental health. Lyceum Books; 2010.
3. Bordbar MR, Faridhosseini F. Psychoeducation for bipolar mood disorder.
Clinical, Research and Treatment Approaches to Affective Disorders. Feb
29;13:323-44. 2012
4. Sarkhel S, Singh OP, Arora M. Clinical Practice Guidelines for
Psychoeducation in Psychiatric Disorders General Principles of
Psychoeducation. Indian Journal of Psychiatry. Jan;62(2):319. 2020
5. Amna Z, Lin HC. The Effects Of Psychoeducational Methods On College
Students’attitudes Toward PTSD. Jurnal Ilmiah Peuradeun. May 28;4(2):183-
94. 2016
6. Park SC, Kim YK. Anxiety Disorders in the DSM-5: Changes, Controversies,
and Future Directions. InAnxiety Disorders (pp. 187-196). Springer,
Singapore. 2020
7. DiPiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., et al. Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edition. New York: McGraw-Hill. 2015.
8. Soodan, S. and Arya, A. Understanding the Pathophysiology and
Management of the Anxiety Disorders. International Journal of Pharmacy &
Pharmaceutical Research, 4(3): 251-278. 2015
9. Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III dan DSM-5.
Jakarta: PT Nuh Jaya. 2013.
10. Vildayanti, H et al., Review: Farmakoterapi Gangguan Anxietas.Farmaka
16(1): 196-213. 2018
11. Bystritsky, A., Sahib, S. K., Michael, E. C., et al. Current Diagnosis and
Treatment of Anxiety Disorders. Pharmacy and Therapeutics, 38(1): 41-44.
2013
12. Susila, W.D.C. Pengaruh Terapi Psikoedukasi Terhadap Intensi Melakukan
Operasi Katarak Pada Pasien Katarak Di Wilayah Kerja Puskesmas Jelbuk
Kabupaten Jember. 2016 http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/
75845

27

Anda mungkin juga menyukai