Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

“Penanganan Stres Pasca Trauma”

Dosen Pembimbing :
Dr. Hermansyah SKM.MPH

Di Susun Oleh :
Dinda Susnita Berutu (2116010007)
Marja Rahma Tina (2116010006)
Anis Islami (2116010030)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SERAMBI MEKKAH

BANDA ACEH

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
rahmat-Nya yang berlimpah kami telah mampu menyelesaikan Makalah Penanganan stres
pasca trauma .
Makalah yang tersusun ini adalah hasil maksimal yang dapat kami sajikan. Kami
yakin makalah ini masih jauh dari sempurna, karena kami menyadari bahwa kami masih
kurang berpengetahuan dalam menyajikan makalah baik dari segi penyusunan, pengolahan,
maupun bahasa. Untuk menyempurnakan makalah ini kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca kepada kami agar dalam penyusunan makalah selanjutnya
bisa lebih baik.
Dalam rangka menyusun makalah ini kami sampaikan ucapan terima kasih kepada
teman-teman yang telah meluangkan waktu untuk bekerja sama demi tersusunnya makalah
ini, dengan semangat yang tinggi serta keinginan yang keras
akhirnya dapat mengatasi kesulitan-kesulitan dan terwujudlah makalah yang sederhana ini.
Demikianlah semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin.

Banda Aceh, 27 Desember 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
BAB II.......................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................3
2.1 Defenisi........................................................................................................................3
2.2 Etiolgi..........................................................................................................................3
2.3 Faktor - Faktor PTSD..................................................................................................4
2.4 Gejala PTSD................................................................................................................6
2.5 Fase - Fase PTSD........................................................................................................6
2.6 Patofisiologi PTSD......................................................................................................7
2.7 Dampak PTSD.............................................................................................................8
2.8 Kriteria Diagnosis PTSD.............................................................................................9
2.9 Penatalaksanaan Untuk PTSD...................................................................................11
2.10 Prognosis PTSD.........................................................................................................15
2.11 Langkah-langkah Menuju Pemulihan........................................................................16
BAB IV....................................................................................................................................18
PENUTUP...............................................................................................................................18
3.1 Kesimpulan................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indikator kesehatan jiwa masyarakat adalah indikator morbiditas dan indikator
disabilitas yaitu hari-hari produktif yang hilang akibat gangguan jiwa tertentu yang biasanya
dinyatakan dalam DALYs Loss (Disability Adjusted Life Years), merupakan ukuran dari
sebuah “Disease Burdent”, Masalah-masalah psikososial jika tidak dikenal dan ditanggulangi
pada gilirannya akan berkontribusi dalam meningkatkan “Burden Disease”. Status
Disabilitas Gangguan Jiwa di Indonesia belum ada penelitiannya, namun dari data studi
World Bank di beberapa negara baik yang sedang berkembang maupun negara maju pada
tahun 1995 menunjukkan bahwa 8,1% dari ”Global Burden of Disease” disebabkan oleh
masalah kesehatan jiwa, lebih besar dari tuberkulosis(7,2%), kanker(5,8%), penyakit
jantung(4,4%), malaria(2,6%). Data ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa
termasuk masalah psikososial, harus mendapat prioritas tinggi dalam upaya kesehatan
masyarakat.
Perkembangan situasi dan kondisi di berbagai negara-negara di dunia, khususnya di
negara-negara berkembang, dari waktu ke waktu tidak luput dari berbagai permasalahan yang
menjadi sorotan dan perhatian masyarakat internasional. Masalah tersebut mulai dari adanya
konflik, kekerasan, sampai silih bergantinya berbagai bencana alam. Namun perhatian
masyarakat terhadap hal tersebut, umumnya bersifat singkat atau jangka pendek, sedangkan
untuk yang berjangka panjang sering kali kurang mendapat perhatian. Pada hal, bencana,
konflik, dan tindakan kekerasan lain sering kali menyisakan persoalan psikologis yang dapat
berjangka panjang, yaitu timbulnya Ganguan Stress Pasca Trauma - GSPT (Post Traumatic
Stress Disorder - PTSD). Menurut Ibrahim (Pitaloka, 2006) kemungkinan terjadiya GSPT ini
dapat sampai dengan jangka 30 tahun. Bahkan menurut Rice (Fahrudin, 2005) dapat
berlangsung sepanjang hayat.
Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan tersebut
menimbulkan ketidakmampuan. Ada sebabnya beberapa orang dari mereka akan
berkembang menjadi gangguan stres pasca trauma setelah mengalami peristiwa yang sama
adalah tidak jelas. Resiko akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh
karena banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana

1
terlibat di dalamnya, dan seberapa hebatnya bereaksi. Sementara itu penyebab sebenarnya
dari gangguan stres pasca trauma tidak diketahui. Seseorang beresiko tinggi menderita
gangguan stres pasca trauma jika seseorang mempunyai riwayat keluarga yang mengalami
depresi.
Banyak orang yang mengalami peristiwa traumatis merasa kesulitan untuk
menyesuaikan diri selama beberapa waktu. Seiring dengan berjalannya waktu dan perawatan
diri, reaksi traumatis biasanya membaik. Namun dalam beberapa kasus, gejala-gejalanya
dapat menjadi lebih buruk atau berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-
tahun. Terkadang trauma dapat benar-benar mengguncang hidup. Dalam kasus seperti itu,
berhati-hatilah, Anda mungkin mengalami Post-traumatic stress disorder (PTSD).
Satu sepertiga orang yang mengalami perdarahan subarachnoid (jenis stroke yang
melibatkan perdarahan ke otak) mengalami gejala pasca traumatic stress disorder (PSTD).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PSTD sangat terpengaruh pada pemulihan pasien stroke
dan kemampuan mereka untuk melanjutkan hidup normal, bahkan jika kerusakan otak yang
sebenarnya disebabkan adalah kecil.
Penderita stroke mengalami peningkatan resiko pasca traumatic stress disorder
(PSTD). 67% dari mereka yang didiagnosis dengan PSTD setelah serangan stroke atau
transient ischemic attack (TIA) tidak patuh dengan pengobatan mereka. Pasien dengan gejala
PSTD biasanya akan lebih pesimistis tentang peluang mereka untuk tidak terkena stroke yang
lain, serta lebih takut terkena kasus lain yang mengancam kehidupan seperti serangan jantung
dan kanker paru – paru.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Defenisi
Posttraumatic Stress Disorder/PTSD adalah gangguan kecemasan yang dapat terjadi
setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatik (Nutt, 2009). Peristiwa
yang menimbulkan trauma termasuk fisik atau pelecehan seksual atau penganiayaan,
cedera, kekerasan di jalanan, kecelakaan lalulintas, trauma perang, luka bakar yang parah,
dan bencana alam lainnya (Nutt, 2009).
Menurut Levers (2012) menyatakan bahwa Pasien yang terus mengembangkan
PTSD (gangguan stres pasca trauma) setelah terpapar stres dan peristiwa traumatik
menunjukkan tanda-tanda khas dari gangguan tersebut, yang meliputi reexperiencing
(gejala mengalami kembali peristiwa yang menyebabkan trauma), menghindar dari
lingkungan, dan hyperarousal (teragitasi). Selanjutnya, gejala ini diungkapkan dalam
hubungannya dengan perasaan takut dan tidak berdaya.
Menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) gangguan stress pasca trauma
merupakan reaksi dari individu terhadap kejadian yang luar biasa akibat dari pengalaman
seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan luar biasa, jauh dari
pengalaman yang normal bagi seseorang.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan, gangguan stress pasca trauma
merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami
atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman kematian, kematian, atau cidera fisik yang
mengakibatkan ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya yang mengganggu kualitas
hidup individu dan apabila tidak ditangan dengan benar dapat berlangsung kronis dan
berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan gangguan
kepribadian.

2.2 Etiolgi
Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam perkembangan
gangguan stres pasca trauma. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita
mengaktifkan respon fight or flight. Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang
menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung, dan glikogenolisis. Setelah
ancaman bahaya itu mulai hilang maka tubuh akan memulai proses inaktivasi respon
3
stress dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak
melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan
kita masih akan merasakan efek stress dari adrenalin.
Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon
stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini
mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam
kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya
perubahan fisik. Stresor dapat berasal dari bencana alam, bencana yang diakibatkan oleh
ulah manusia, ataupun akibat kecelakaan. Akan tetapi tidak semua orang akan mengalami
gangguan stres pasca trauma setelah suatu peristiwa traumatik.

2.3 Faktor - Faktor PTSD


A. Factor Penyebab
1. Kejadian traumatic
2. Trauma masa kecil
3. Trauma fisik
4. Prosedur medikasi
5. Jenis kepribadian introvert
6. Lingkungan kerja
7. Tingkat spiritual
8. Tingkat pendidikan
9. Pengalaman

B. Faktor presipitasi :
Bencana alam, perang, kehilangan, kekerasan
C. Faktor Psikodinamika:
Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai ancaman
terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat yang
tidak dapat dikendalikan oleh ego dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku
simtomatik. Karena ego menjadi rentan, superego dapat menghukum dan
menyebabkan individu merasa bersalah terhadap kejadian traumatic tersebut. Id dapat
menjadi dominan, menyebabkan perilaku impulsive tidak terkendali.
D. Biologis

4
Dari hasil penelitin, abnormalitas dalam penyimpanan, pelepasan, dan eliminasi
katekolamin yang memengaruhi fungsi otak di daerah lokus seruleus, amigdala dan
hipokampus. Hipersensitivitas pada lokus seruleus dapat menyebabkan seseorang
tidak dapat belajar. Amigdala sebagai penyimpan memori. Hipokampus menimbulkan
koheren naratif serta lokasi waktu dan ruang. Hiperaktivitas dalam amigdala dapat
menghambat otak membuat hubungan perasaan dalam memorinya sehingga
menyebabkan memori disimpan dalam bentuk mimpi buruk, kilas balik, dan gejala-
gejala fisik lain.
E. Dinamika Keluarga
Tipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan
perkiraan yang signifikan terjadinya PTSD. Keberhasilan dalam pendidikan yang di
bawah rata-rata, perilaku orang tua yang negatif, dan kemiskinan orang tua
merupakan prediktor perkembangan PTSD.
F. Faktor Psikologi
Classical dan operant conditioning dapat diimplikasikan pada perkembangan
terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrem secara tipikalmenimbulkan emosi yang negatif
( sedih, marah, takut) sebagai bagian dari gejala hiperarousal akibat aktivasi dari
sistem saraf simpatis ( fight or flight response).
Classical conditioning terjadi pada saat seseorang yang mengalami peristiwa
trauma kembali ke tempat terjadinya trauma maka akan timbul reaksi psikologi yang
tidak disadari dan merupakan respon refleks yang spesifik. Misalnya, pada anak yang
mengalami kecelakaan mobil yang serius akan timbulrespon berupa ketakutan,
berkeringat, takkardi setiap kali dia melewatitempat kejadian tersebut.
Operant conditioning terjadi sebagai hasil dari pengalaman kejadian trauma
yang dialaminya sehingga didapatkan tingkah laku yang tidak disukai dan tidak akan
diulangi. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil maka iaakan
berusaha untuk menghindari berada di dalam mobil.
Modelling : merupakan mekanisme psikologikal lainnya yang turut berperan
dalam perkembangan gejala PTSD. Respon emosional orangtua terhadap pengalaman
traumatik anak merupakan prediksi terhadap keparahan gejala PTSD anak.
G. Faktor Sosial
Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan meningkatkan
risiko perkembangan PTSD setelah anak mengalami kejadian traumatik.

5
2.4 Gejala PTSD
Tiga kategori utama gejala yang terjadi pada PTSD adalah:
A. Pertama, mengalami kembali kejadian traumatic (re-eksperience). Seseorang kerap
teringat akan kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu.
Gejala flashback (merasa seolah-olah peristiwa tersebut terulang kembali),
nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi
emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang
menyedihkan.

B. Kedua, penghindaran (avoidance) stimulus yang diasosiasikan dengan kejadian terkait


atau mati rasa dalam responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha menghindari
untuk berpikir tentang trauma atau menghadapi stimulus yang akan mengingatkan
akan kejadian tersebut, dapat terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut. Mati rasa
adalah menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan dan ketidak
mampuan untuk merasakan berbagai emosi positif. Gejala ini menunjukkan adanya
penghindaran aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang
berhubungan dengan trauma. Selain itu, juga kehilangan minat terhadaps emua hal,
perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal.
C. Ketiga, gejala ketegangan (hyperarousal). Gejala ini meliputi sulit tidur atau
mempertahankannya, sulit berkonsentrasi, wasapada berlebihan, respon terkejut yang
berlebihan, termasuk meningkatnya reaktivitas fisiologis

2.5 Fase - Fase PTSD


Fase-fase keadaan mental pasca bencana:
A. Fase kritis
Fase dimana terjadi gangguan stres pasca akut (dini/cepat) yangmana terjadi selama
kira-kira kurang dari sebulan setelah menghadap bencana. Pada fase ini kebanyakan
orang akan mengalami gejala-gejala depresi seperti keinginan bunuh diri, perasaan
sedih mendalam, susah tidur,dan dapat juga menimbulkan berbagai gejala psikotik.
B. Fase setelah kritis

6
Fase dimana telah terjadi penerimaan akan keadaan yang dialami dan penstabilan
kejiwaan, umumnya terjadi setelah 1 bulan hingga tahunan setelah bencana, pada fase
ini telah tertanam suatu mindset yang menjadi suatu phobia/trauma akan suatu
bencana tersebut (PTSD) sehingga bila bencana tersebut terulang lagi, orang akan
memasuki fase ini dengan cepat dibandingkan pengalaman terdahulunya.
C. Fase stressor
Fase dimana terjadi perubahan kepribadian yang berkepanjangan (dapat berlangsung
seumur hidup) akibat dari suatu bencana dimana terdapat dogma “semua telah
berubah”.

Periode bencana menurut Rice (1999):

1. Periode impak à hanya berlangsung selama kejadian bencana. Pada periode ini,
korban selalu diliputi perasaan tidak percaya dengan apa yang dialami. Periode ini
selalu berlangsung singkat.
2. Periode penyejukan suasana (Recoil period) à berlangsung beberapa hari selepas
kejadian. Pada periode ini, tampak bahwa para korban mulai merasakan diri
mereka lapar dan mencari bekal makanan untuk dimakan. Mereka tidak
memahami bagaimana mereka harus memulihkan keadaan dan mengganti harta
benda mereka yang hilang.
3. Periode post traumatic (Recovery period) à berlangsung lama, bahkan sepanjang
hayat. Periode ini berlangsung tatkala korban bencana berjuan untuk melupakan
pengalaman yang terjadi berupa tekanan, gangguan fisiologi, dan psikologi akibat
bencana yang mereka alami.

2.6 Patofisiologi PTSD


Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci dari
PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut
untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yangmungkin
menyebabkan kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala dan berbagai
struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan nucleus,mengaktifkan
neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan hormone-hormon yang berperan dari
berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk
menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada penelitianterhadap orang-orang

7
yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi
system amigdala.
Amigdala menerima informasi berupa rangsangan eksternal. Hal ini kemudian
memicu respon emosional termasuk “fight, flight, or freezing" dan perubahan dalam
hormon stress dan katekolamin. Hipokampus dan korteks prefrontal medial
mempengaruhi respon amigdala dalam menentukan respon ketakutan akhir. Ketika kita
dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight or flight. Dalam
reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah,
denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang makatubuh akan
memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon
kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi
stress maka kemungkinan kita masih akan merasakan efek stress dari adrenalin.
Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon
stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini
mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam
kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya
perubahan fisik. Beberapa studi telah menemukan konsentrasi kortisol rendah orang
dengan post-traumatic stress disorder dan berlawanan menanggapi penindasan
deksametason tes daripada yang terlihat dengan depresi berat.

2.7 Dampak PTSD


Gangguan stress pascatraumatik ternyata dapat mengakibatkan sejumlah gangguan
fisik, kognitif,emosi, behavior (perilaku),dan sosial.
A. Gejala gangguan fisik:
1. Pusing
2. Gangguan pencernaan
3. Sesak napas
4. Tidak bisa tidur
5. Kehilangan selera makan
6. Impotensi, dan sejenisnya.
B. Gangguan kognitif:
1. Gangguan pikiran seperti disorientasi
2. Mengingkari kenyataan

8
3. Linglung
4. Melamun berkepanjangan
5. Lupa
6. Terus menerus dibayangi ingatan yang tak diinginkan
7. Tidak fokus dan tidak konsentrasi
8. Tidak mampu menganalisa dan merencanakan hal-hal yang sederhana
9. Tidak mampu mengambil keputusan.
C. Gangguan emosi :
1. halusinasi dan depresi (suatu keadaan yang menekan, berbahaya, dan memerlukan
perawatan aktif yang dini)
2. mimpi buruk
3. marah
4. merasa bersalah
5. malu
6. kesedihan yang berlarut-larut
7. kecemasan dan ketakutan.
D. Gangguan perilaku :
1. Menurunnya aktivitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal. Contoh, duduk
berjam-jam dan perilaku repetitif (berulang-ulang).
E. Gangguan sosial:
1. Memisahkan diri dari lingkungan
2. Menyepi
3. Agresif
4. Prasangka
5. Konflik dengan lingkungan
6. Merasa ditolak atau sebaliknya sangat dominan.

2.8 Kriteria Diagnosis PTSD


Kriteria untuk diagnosis menentukan faktor tentang persepsi korban dari trauma
serta durasi dan dampak terkait gejala. Sebelum diagnosis PTSD dapat dibuat, gejala
harus bertahan setidaknya satu bulan dan signifikan harus mengganggu aktivitas normal.
Pada orang yang telah selamat dari peristiwa traumatis, sindrom kecemasan yang
berlangsung selama kurang dari satu bulan disebut "gangguan stres akut", ini kondisi

9
membutuhkan tiga atau lebih disosiatif gejala selain gejala persisten terkait dengan PTSD.
Gejala PTSD yang berlangsung kurang dari tiga bulan menunjukkan kondisi akut.
Diagnostik ditegakkan berdasar Kriteria Diagnostik Gangguan Stress Akut berdasar
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV-Revisi atau DSM IV-R, dapat
memperlihatkan kondisi traumatik seseorang.
A. Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatic dimana kedua dari ciri
berikut ini dapat ditemukan, yaitu:
1. Orang yang mengalami, menyaksikan atau dihadapkan dengan kejadian yang
berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cidera yang
serius atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain
2. Respon berupa rasa takut yang kuat dan rasa tidak berdaya atau selalu dihantui
perasaan takut yang berlebihan. CATATAN: Pada anak-anak, ini bukan oleh
perilaku tidak teratur atau gelisah.
B. Peristiwa traumatik yang terus-menerus muncul kembali melalui satu (atau lebih)
dari cara berikut:
1. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminyadan bersifat
mengganggu (bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi)
2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya(yang
mencemaskan)
3. Kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yangdialaminya terjadi
kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi,haluinasinya)
4. Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yangmengingatkan
terhadap kejadian trauma (kenangan akan peristiwatrauma)
5. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma
danmematikan perasaan/ tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum traumamasih
berespon). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini:
a. Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang
berhubungan dengan kejadian trauma
b. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapatmembangkitkan
kembali kenangan akan trauma yang dialaminya
c. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma
yangdialaminya
d. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting berkurang
e. Merasa terasing dari orang di sekitarnya

10
f. Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapa merasakan cinta)
g. Perasaan bahwa masa depannya suram
6. Gejala hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau lebihgejala di
bawah ini:
a. Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempeertahankannya
b. Sulit berkonsentrasi
c. Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya
d. Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan)
e. Reaksi kaget yang berlebihan
7. Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan
8. Gangguan/ gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguanfungsional
dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi pentinglainnya.

2.9 Penatalaksanaan Untuk PTSD


A. Farmakologi
1. Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs)
SSRIs merupakan obat line pertama dan satu-satunya obat yang
direkomendasikan Food and Drug Administration (FDA) dalam mengatasi gejala
cemas, depresi, perilaku menghindar, dan pikiran yang intrusif (mengganggu)
pada penderita PTSD. Obat ini secara primer mempengaruhi neurotransmitter
serotonin yang penting untuk regulasi mood, anxietas, appetite, tidur, dan fungsi
tubuh lainnya. Obat ini meningkatkan jumah serotonin dengan cara menginhibisi
reuptake serotonin diotak. Penelitian menunjukkan bahwa manfaat maksimal dari
SSRI’s tergantug pada dosis yang cukup dan durasi pengobatan.

Obat golongan SSRIs antara lain:

a. Fluoxetine (Prozac) à 20mg-60mg sehari.


b. Sertraline (Zoloft) à 50 mg-200mg sehari
c. Citalopram (Celexa) à 20mg-60 mg sehari
d. Paroxetine (Paxil) à 20mg-60mg sehari

Diantara obat-obat diatas yang direkomendasikan FDA untuk first line medikasi
PTSD hanya sertraline dan paroxetine.

11
2. Mood stabilizers à Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala arousal yang
meninggi dangejala impulsif.
a. Dosis Carbamazepine (Tegretol):6-12 tahun: 100mg/hari peroral untuk initial
lalu dapat dinaikkan hingga100mg/hari, untuk dosis maintenance; 20-30
mg/kg/hari>12 tahun: samapai kadar di plasma 8-12mcg/ml
b. Dosis valporic acid (Depakene, depakote): 10-15 mg/kg/hari untuk dosisinitial
dan kemudian dapat ditingkatkan 5-10mg/kg/hari
c. Beta adrenergic blocking agents à Obat yang digunakan golongan ini yakni,
Propanolol (Inderal). Obat inidapat mengatasi gejala hiperarousal. Dosis
untuk anak-anak: 2,5 mg/kgBB/hari.
d. Antidepresan
Bekerja melui komninasi neurotransmitter lain atau melaui mekanisme
berbeda untuk mengubah neurotransmisi serotonin.
e. Atipikal Antipsikotik
Bertindak sebagai dopaninergik dan serotoninergik. Obat ini digunakan pada
pasien dengan psikotik sebagai komorbidnya. Atipikal Antipsikotik tidak
dianjurkan untuk monoterapi pada PTSD.
f. Benzodiazepin
Bekerja langsung pada system GABA yang menghasilkan efek menenangkan
pada system saraf.

B. Non Farmakologi
1. Terapi perilaku kognitif atau CBT. Ada beberapa bagian untuk CBT, termasuk:
a. Exposure therapy. Terapi ini membantu orang menghadapi dan
mengendalikan ketakutan mereka. Karena menghadapkan mereka ke trauma
yang mereka alami dengan cara yang aman. Menggunakan mental imagery,
menulis, atau kunjungan ke tempat di mana peristiwa itu terjadi. Terapis
menggunakan alat ini untuk membantu orang dengan PTSD mengatasi
perasaan mereka. Terapi ini dapat dilakukan dengan 2 cara:
1) Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara
detail kenangan-kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami
hambatan untuk menceritakannya.

12
2) Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman, tetapi
ingin dihindarkan karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat.
Pengulangan situasi yang disertai penyadaran yang berulang-ulang akan
membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang menakutkan tidak
lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya
b. Kognitif restrukturisasi. Terapi ini membantu orang memahami kenangan
buruk. Kadang-kadang orang mengingat kejadian berbeda dari bagaimana hal
itu terjadi. Mereka mungkin merasa bersalah atau malu tentang apa yang bukan
kesalahan mereka. Terapis membantu orang dengan PTSD melihat apa yang
terjadi dengan cara yang realistis.
c. Stress inoculation training. Terapi ini mencoba untuk mengurangi gejala
PTSD dengan mengajar orang bagaimana untuk mengurangi kecemasan. Seperti
restrukturisasi kognitif, pengobatan ini membantu orang melihat kenangan
mereka dengan cara yang sehat.
d. Cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak
rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan kita.
Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena
tidak hati -hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran
yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional
untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih
realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim,
2005b).
e. EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing)
EMDR adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model
pemrosesan informasi di dalam otak. Jaringan memori dilihat sebagailandasan
yang mendasari patologi sekaligus kesehatan mental, karena jaringan-jaringan
memori adalah dasar dari persepsi, sikap dan perilakukita.Untuk memproses
kembali informasi di dalam otak/jaringan memori
f. Anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk
membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui:
1) Relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan
secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot -otot utama

13
2) Breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -
lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang
menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik
seperti jantung berdebar dan sakit kepala
3) Positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran
negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal
yang membuat stress (stresor)
4) asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan,
opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain
5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita
sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005b).
6) Terapi bermain (play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak
dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD.
Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai
secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam
berproses dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005b).
7) Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik.
Meskipun ada banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur
PTSD umum dan di dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan. Cochrane
didalam systematic reviews-nya merekomendasi-kan perlu untuk melakukan
debriefing pada kasus korban -korban trauma (Rose et al, 2002). Mengenai
debriefing oleh bidan, Small gagal menunjukkan secara jelas manfaatnya
(Small et al., 2000). Meski begitu, Boyce dan Condon merekomendasikan
bidan untuk melakukan debriefing pada semua wanita yang berpotensi
mengalami kejadian traumatik ketika melahirkan (Boyce & Condon, 2000).
8) Support group therapy dan terapi bicara. Dalam support group therapy
seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman
serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana
dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman
traumatis mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain
(Swalm, 2005). Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa
dalam sejumlah studi penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling
berbagi cerita mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa
penderita. Dengan berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan

14
yang dipendam. Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa
dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk
bangkit dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan (Anonim,
2005b).
9) Terapi psikodinamik berfokus pada membantu orang tersebut memeriksa
nilai-nilai pribadi dan konflik emosional yang disebabkan oleh peristiwa
traumatis.
10) Terapi keluarga mungkin berguna karena perilaku orang dengan PTSD
dapat memiliki mempengaruhi anggota keluarga lainnya.

2.10 Prognosis PTSD


PTSD dapat terjadi pada semua usia, bahkan di masa kecil. Pada penderita yang
menerima perawatan, durasi rata-rata gejala adalah sekitar 36 bulan. Pada pasien yang
tidak menerima pengobatan, Durasi rata-rata gejala meningkat ke 64 months.
Lebih dari sepertiga pasien yang memiliki PTSD pernah sepenuhnya recover. Faktor
yang terkait dengan prognosis yang baik termasuk keterlibatan cepat pengobatan dini,
dukungan sosial yang berkelanjutan, menghindari retraumatization, positif premorbid
fungsi, dan tidak adanya gangguan kejiwaan lainnya atau substansi
Data dari National Comorbidity Survey menunjukkan bahwa setidaknya tambahan
satu gangguan kejiwaan hadir dalam 88,3 persen pria dan 79,0 persen wanita yang
memiliki riwayat PTSD. Selain itu,59 persen pria dan 44 persen wanita yang telah
PTSD memenuhi kriteria untuk tiga atau lebih kejiwaan diagnosis. Wanita yang telah
PTSD 4,1 kali lebih mungkin untuk mengembangkan depresi mayor dan 4,5 kali lebih
mungkin mengembangkan mania sebagai perempuan yang tidak memiliki PTSD.Men
yang memiliki PTSD 6,9 kali lebih mungkin mengembangkan depresi dan 10,4 kali
lebih mungkin untuk mengembangkan mania sebagai laki-laki yang tidak memiliki
PTSD. Lebih dari satu setengah pria dengan PTSD juga memiliki masalah alkohol
komorbid, dan signifikan sebagian pria dan wanita yang memiliki PTSD memiliki
penggunaan zat terlarang-komorbid problem. Pada pasien yang memiliki PTSD, fobia
cenderung lebih besar dari yang umum gangguan kecemasan atau gangguan panik, yang
risiko hampir semua gangguan kecemasan meningkat nyata dalam . Tingkat percobaan
bunuh diri pada pasien yang memiliki PTSD diperkirakan 20 percent.

15
16
2.11 Langkah-langkah Menuju Pemulihan
Langkah-langkah Menuju Pemulihan dari Stres Pasca Trauma

1. Penerimaan dan Pengakuan


 Mengakui pengalaman traumatis sebagai langkah awal.
 Menerima bahwa perasaan stres pasca trauma adalah respons alami.
2. Konsultasi Profesional
 Mencari bantuan dari profesional kesehatan mental.
 Memilih terapis yang berpengalaman dalam penanganan stres pasca trauma.
3. Penilaian Diri
 Memahami dan mengevaluasi dampak stres pasca trauma pada kesehatan mental.
 Mengidentifikasi area-area yang memerlukan perhatian khusus.
4. Pembentukan Rencana Pemulihan
 Menetapkan tujuan pemulihan yang realistis dan dapat diukur.
 Membuat rencana langkah demi langkah untuk mencapai tujuan tersebut.
5. Psikoterapi
 Mengikuti terapi kognitif perilaku untuk mengubah pola pikir negatif.
 Terapi EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing) untuk memproses
kenangan traumatis.
6. Pengelolaan Diri
 Menerapkan teknik relaksasi, meditasi, dan pernapasan yang dalam.
 Melibatkan diri dalam aktivitas fisik yang menyenangkan.
7. Dukungan Sosial
 Mencari dukungan dari keluarga, teman, atau kelompok dukungan.
 Berpartisipasi dalam terapi kelompok untuk berbagi pengalaman.
8. Keseimbangan Hidup
 Menciptakan keseimbangan antara pekerjaan, istirahat, dan rekreasi.
 Menghindari kebiasaan buruk dan merawat tubuh dengan pola makan sehat.
9. Pendidikan dan Kesadaran
 Meningkatkan pengetahuan tentang stres pasca trauma.
 Mengikuti program edukasi untuk memahami dampak dan cara mengatasi.
10. Pemantauan Kemajuan
 Melacak kemajuan secara teratur.
 Menyesuaikan rencana pemulihan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan.

17
11. Pertimbangan Spiritual
 Menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan.
 Menyelami nilai-nilai spiritual atau agama yang mungkin memberikan dukungan.
12. Berinvestasi dalam Aktivitas Positif
 Menyertakan aktivitas yang memberikan kegembiraan dan pencapaian.
 Membangun kepercayaan diri melalui prestasi kecil.
13. Konsistensi dalam Pemeliharaan Kesehatan Mental
 Melibatkan diri dalam perawatan kesehatan mental secara teratur.
 Mengetahui sumber daya dan layanan dukungan yang tersedia.
14. Evaluasi dan Penyesuaian
 Melakukan evaluasi berkala terhadap rencana pemulihan.
 Mengevaluasi dan menyesuaikan strategi yang efektif.
15. Mengapresiasi Proses Pemulihan
 Mengakui dan menghargai langkah-langkah kecil menuju pemulihan.
 Merayakan pencapaian pribadi dan perkembangan positif.
Langkah-langkah ini menciptakan panduan holistik menuju pemulihan yang dapat
diadaptasi sesuai dengan kebutuhan individu yang mengalami stres pasca trauma. Selalu
penting untuk bekerja sama dengan profesional kesehatan mental dan merangkul pendekatan
yang sesuai dengan kondisi dan preferensi pribadi.

18
BAB IV

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gangguan stress pasca trauma merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau
lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman
kematian, kematian, atau cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horror,
rasa tidak berdaya yang mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangani
dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress pasca
trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian.
Beberapa faktor yang berperan dalam meningkatkan resiko seseorang mengalami
gangguan stress pasca trauma antara lain seberspa berat dan dekat trauma yang
dialaminya, durasi trauma yang di alaminya, banyaknya trauma yang dialami pelaku
kejadian trauma, jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi yang rendah dan usia tua,
seseorang yang mengalami ganggan sikiatrik, memiliki gangguan organik yang berat dan
kronis, pasien yang berada di bawah pengaruh anastesi, seseorang yang tidak
berpengalaman dan tidak memperoleh pelatihan dalam menghadapi bencan, hidup di
tempat pengungsian dan kurangnya dukungan sosial.

19
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J., 1998. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 6. Alih Bahasa : Yasmin
Asih. Editor Monica Aster, Jakarta : EGC.

Keliat, Budi Anna. 1998. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Editor Yasmin Asih, Jakarta :
EGC

Townsend, M. C., 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri.
Edisi 3. Alih Bahas Novi Helena. Rditor Monica Ester, Jakarta : EGC.

Rasmun, 2001, Kepwrawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan


Keluarga. Edisi Pertama, Jakarta : CV, Sagung Seto.

Struart, G.W., S undeen, S.J., 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3, Jakarta

Ayuningtyas, I. P. I. (2017). Penerapan strategi penanggulangan penanganan PTSD (Post


Traumatic Stress Disorder ) pada anak-anak dan remaja. ASEAN School Counselor
Conference on Innovation and Creativity in Counseling, 47–56. http://ibks.abkin.org

Nawangsih, E. (2016). Play Therapy Untuk anak-anak Korban Bencana Alam Yang
Mengalami Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD). Psympathic : Jurnal Ilmiah
Psikologi, 1(2), 164–178. https://doi.org/10.15575/psy.v1i2.475

20

Anda mungkin juga menyukai