Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PTSD

(Posttraumatic Stress Disorder)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Intervensi Trauma dan Krisis
Dosen Pengampu Liyanovitasari, S.Kep., Ns., M.Kep.

OLEH:

ARI WINARSIH (012191001)


ADOZINDO DE JESUS MONTEIRO (012191019)

RANIE ROBIATUL ADAWIYAH (012191009)

PRODI SI KEPERAWATAN
TRANSFER FAKULTAS
KEPERAWATAN UNIVERSITAS
NGUDI WALUYO TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat rahmat-Nya yang berlimpah kami telah mampu menyelesaikan Makalah


Posttraumatic Stress Disorder/PTSD
Makalah yang tersusun ini adalah hasil maksimal yang dapat kami sajikan.
Kami yakin proposal ini masih jauh dari sempurna, karena kami menyadari bahwa
kami masih kurang berpengetahuan dalam menyajikan makalah baik dari segi
penyusunan, pengolahan, maupun bahasa. Untuk menyempurnakan makalah ini
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca kepada kami
agar dalam penyusunan makalah selanjutnya bisa lebih baik.
Dalam rangka menyusun makalah ini kami sampaikan ucapan terima kasih

kepada teman-teman yang telah meluangkan waktu untuk bekerja sama demi
tersusunnya makalah ini, dengan semangat yang tinggi serta keinginan yang keras
akhirnya dapat mengatasi kesulitan-kesulitan dan terwujudlah makalah yang
sederhana ini.
Demikianlah semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita
semua. Aamiin.
Ungaran, Agustus 2020

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi PTSD....................................................................................................3
2.2 Etiologi PTSD...................................................................................................4
2.3 Faktor – Faktor PTSD......................................................................................4
2.4 Gejala PTSD...................................................................................................... 6
2.5 Fase - Fase PTSD..............................................................................................7
2.6 Patofosiologi PTSD..........................................................................................8
2.7 Dampak PTSD...................................................................................................9
2.8 Kriteria Diagnostik PTSD..............................................................................11
2.9 Penatalaksanaan PTSD...................................................................................13
2.10 Prognosis PTSD..............................................................................................18
BAB III PEMBAHASAN
3.1............................................................................................................Jurnal 1
................................................................................................................27
3.2............................................................................................................Jurnal 2
................................................................................................................28
BAB IV PENUTUP
4.1..................................................................................................................... Kesimpulan
................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................iv

iii
iv
BAB I PENDAHULUAN

Indikator kesehatan jiwa masyarakat adalah indikator morbiditas dan


indikator disabilitas yaitu hari-hari produktif yang hilang akibat gangguan jiwa
tertentu yang biasanya dinyatakan dalam DALYs Loss (Disability Adjusted Life
Years), merupakan ukuran dari sebuah “Disease Burdent”, Masalah-masalah
psikososial jika tidak dikenal dan ditanggulangi pada gilirannya akan
berkontribusi dalam meningkatkan “Burden Disease”. Status Disabilitas
Gangguan Jiwa di Indonesia belum ada penelitiannya, namun dari data studi
World Bank di beberapa negara baik yang sedang berkembang maupun negara

maju pada tahun 1995 menunjukkan bahwa 8,1% dari ”Global Burden of Disease”
disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa, lebih besar dari tuberkulosis(7,2%),
kanker(5,8%), penyakit jantung(4,4%), malaria(2,6%). Data ini menunjukkan
bahwa masalah kesehatan jiwa termasuk masalah psikososial, harus mendapat
prioritas tinggi dalam upaya kesehatan masyarakat.
Perkembangan situasi dan kondisi di berbagai negara-negara di dunia,
khususnya di negara-negara berkembang, dari waktu ke waktu tidak luput dari
berbagai permasalahan yang menjadi sorotan dan perhatian masyarakat
internasional. Masalah tersebut mulai dari adanya konflik, kekerasan, sampai silih

bergantinya berbagai bencana alam. Namun perhatian masyarakat terhadap hal


tersebut, umumnya bersifat singkat atau jangka pendek, sedangkan untuk yang
berjangka panjang sering kali kurang mendapat perhatian. Pada hal, bencana,
konflik, dan tindakan kekerasan lain sering kali menyisakan persoalan psikologis
yang dapat berjangka panjang, yaitu timbulnya Ganguan Stress Pasca Trauma -
GSPT (Post Traumatic Stress Disorder - PTSD). Menurut Ibrahim (Pitaloka,
2006) kemungkinan terjadiya GSPT ini dapat sampai dengan jangka 30 tahun.
Bahkan menurut Rice (Fahrudin, 2005) dapat berlangsung sepanjang hayat.

1
Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan

tersebut menimbulkan ketidakmampuan. Ada sebabnya beberapa orang dari

mereka akan berkembang menjadi gangguan stres pasca trauma setelah

mengalami peristiwa yang sama adalah tidak jelas. Resiko akan mengalami

gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena banyak faktor, termasuk

intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana terlibat di dalamnya,

dan seberapa hebatnya bereaksi. Sementara itu penyebab sebenarnya dari

gangguan stres pasca trauma tidak diketahui. Seseorang beresiko tinggi

menderita gangguan stres pasca trauma jika seseorang mempunyai riwayat

keluarga yang mengalami depresi.

Banyak orang yang mengalami peristiwa traumatis merasa kesulitan untuk


menyesuaikan diri selama beberapa waktu. Seiring dengan berjalannya waktu dan
perawatan diri, reaksi traumatis biasanya membaik. Namun dalam beberapa kasus,
gejala-gejalanya dapat menjadi lebih buruk atau berlangsung selama berbulan-
bulan atau bahkan bertahun-tahun. Terkadang trauma dapat benar-benar
mengguncang hidup. Dalam kasus seperti itu, berhati-hatilah, Anda mungkin
mengalami Post-traumatic stress disorder (PTSD).
Satu sepertiga orang yang mengalami perdarahan subarachnoid (jenis
stroke yang melibatkan perdarahan ke otak) mengalami gejala pasca traumatic
stress disorder (PSTD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa PSTD sangat
terpengaruh pada pemulihan pasien stroke dan kemampuan mereka untuk
melanjutkan hidup normal, bahkan jika kerusakan otak yang sebenarnya
disebabkan adalah kecil.
Penderita stroke mengalami peningkatan resiko pasca traumatic stress
disorder (PSTD). 67% dari mereka yang didiagnosis dengan PSTD setelah
serangan stroke atau transient ischemic attack (TIA) tidak patuh dengan
pengobatan mereka. Pasien dengan gejala PSTD biasanya akan lebih pesimistis
tentang peluang mereka untuk tidak terkena stroke yang lain, serta lebih takut
terkena kasus lain yang mengancam kehidupan seperti serangan jantung dan
kanker paru – paru.

2
BAB II

TINAUAN TEORI

2.1 Defenisi
Posttraumatic Stress Disorder/PTSD adalah gangguan kecemasan yang
dapat terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatik
(Nutt, 2009). Peristiwa yang menimbulkan trauma termasuk fisik atau
pelecehan seksual atau penganiayaan, cedera, kekerasan di jalanan, kecelakaan
lalulintas, trauma perang, luka bakar yang parah, dan bencana alam lainnya
(Nutt, 2009).
Menurut Levers (2012) menyatakan bahwa Pasien yang terus

mengembangkan PTSD (gangguan stres pasca trauma) setelah terpapar stres


dan peristiwa traumatik menunjukkan tanda-tanda khas dari gangguan
tersebut, yang meliputi reexperiencing (gejala mengalami kembali peristiwa
yang menyebabkan trauma), menghindar dari lingkungan, dan hyperarousal
(teragitasi). Selanjutnya, gejala ini diungkapkan dalam hubungannya dengan
perasaan takut dan tidak berdaya.
Menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) gangguan stress pasca
trauma merupakan reaksi dari individu terhadap kejadian yang luar biasa
akibat dari pengalaman seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat

hebat dan luar biasa, jauh dari pengalaman yang normal bagi seseorang.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan, gangguan stress pasca
trauma merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian
traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman
kematian, kematian, atau cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem,
horror, rasa tidak berdaya yang mengganggu kualitas hidup individu dan
apabila tidak ditangan dengan benar dapat berlangsung kronis dan
berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan
gangguan kepribadian.

3
2.2 Etiolgi
Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam
perkembangan gangguan stres pasca trauma. Ketika kita dalam keadaan takut

dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight or flight. Dalam reaksi ini
tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah,
denyut jantung, dan glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang
maka tubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini
menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan
kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan
kita masih akan merasakan efek stress dari adrenalin.
Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali
memiliki hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat

kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya
itu masih ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres
meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan fisik. Stresor
dapat berasal dari bencana alam, bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia,
ataupun akibat kecelakaan. Akan tetapi tidak semua orang akan mengalami
gangguan stres pasca trauma setelah suatu peristiwa traumatik.

2.3 Faktor - Faktor PTSD


A. Factor Penyebab

1. Kejadian traumatic
2. Trauma masa kecil
3. Trauma fisik
4. Prosedur medikasi
5. Jenis kepribadian introvert
6. Lingkungan kerja
7. Tingkat spiritual
8. Tingkat pendidikan
9. Pengalaman

4
B. Faktor presipitasi :
Bencana alam, perang, kehilangan, kekerasan
C. Faktor Psikodinamika:

Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai


ancaman terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan
ansietas berat yang tidak dapat dikendalikan oleh ego dan dimanifestasikan
dalam bentuk perilaku simtomatik. Karena ego menjadi rentan, superego
dapat menghukum dan menyebabkan individu merasa bersalah terhadap
kejadian traumatic tersebut. Id dapat menjadi dominan, menyebabkan
perilaku impulsive tidak terkendali.
D. Biologis
Dari hasil penelitin, abnormalitas dalam penyimpanan, pelepasan,

dan eliminasi katekolamin yang memengaruhi fungsi otak di daerah lokus


seruleus, amigdala dan hipokampus. Hipersensitivitas pada lokus seruleus
dapat menyebabkan seseorang tidak dapat belajar. Amigdala sebagai
penyimpan memori. Hipokampus menimbulkan koheren naratif serta
lokasi waktu dan ruang. Hiperaktivitas dalam amigdala dapat menghambat
otak membuat hubungan perasaan dalam memorinya sehingga
menyebabkan memori disimpan dalam bentuk mimpi buruk, kilas balik,
dan gejala-gejala fisik lain.
E. Dinamika Keluarga

Tipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup


merupakan perkiraan yang signifikan terjadinya PTSD. Keberhasilan
dalam pendidikan yang di bawah rata-rata, perilaku orang tua yang negatif,
dan kemiskinan orang tua merupakan prediktor perkembangan PTSD.
F. Faktor Psikologi
Classical dan operant conditioning dapat diimplikasikan pada
perkembangan terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrem secara
tipikalmenimbulkan emosi yang negatif ( sedih, marah, takut) sebagai
bagian dari gejala hiperarousal akibat aktivasi dari sistem saraf simpatis

( fight or flight response).

5
Classical conditioning terjadi pada saat seseorang yang mengalami
peristiwa trauma kembali ke tempat terjadinya trauma maka akan timbul
reaksi psikologi yang tidak disadari dan merupakan respon refleks yang

spesifik. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil yang


serius akan timbulrespon berupa ketakutan, berkeringat, takkardi setiap
kali dia melewatitempat kejadian tersebut.
Operant conditioning terjadi sebagai hasil dari pengalaman kejadian
trauma yang dialaminya sehingga didapatkan tingkah laku yang tidak
disukai dan tidak akan diulangi. Misalnya, pada anak yang mengalami
kecelakaan mobil maka iaakan berusaha untuk menghindari berada di
dalam mobil.
Modelling : merupakan mekanisme psikologikal lainnya yang turut

berperan dalam perkembangan gejala PTSD. Respon emosional orangtua


terhadap pengalaman traumatik anak merupakan prediksi terhadap
keparahan gejala PTSD anak.
G. Faktor Sosial
Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan
meningkatkan risiko perkembangan PTSD setelah anak mengalami
kejadian traumatik.

2.4 Gejala PTSD


Tiga kategori utama gejala yang terjadi pada PTSD adalah:
A. Pertama, mengalami kembali kejadian traumatic (re-eksperience).
Seseorang kerap teringat akan kejadian tersebut dan mengalami mimpi
buruk tentang hal itu. Gejala flashback (merasa seolah-olah peristiwa
tersebut terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-
kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang
berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.

6
B. Kedua, penghindaran (avoidance) stimulus yang diasosiasikan dengan
kejadian terkait atau mati rasa dalam responsivitas. Orang yang
bersangkutan berusaha menghindari untuk berpikir tentang trauma atau

menghadapi stimulus yang akan mengingatkan akan kejadian tersebut,


dapat terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut. Mati rasa adalah
menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan dan
ketidak mampuan untuk merasakan berbagai emosi positif. Gejala ini
menunjukkan adanya penghindaran aktivitas, tempat, berpikir, merasakan,
atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu, juga
kehilangan minat terhadaps emua hal, perasaan terasing dari orang lain,
dan emosi yang dangkal.
C. Ketiga, gejala ketegangan (hyperarousal). Gejala ini meliputi sulit tidur

atau mempertahankannya, sulit berkonsentrasi, wasapada berlebihan,


respon terkejut yang berlebihan, termasuk meningkatnya reaktivitas
fisiologis

2.5 Fase - Fase PTSD


Fase-fase keadaan mental pasca bencana:
A. Fase kritis
Fase dimana terjadi gangguan stres pasca akut (dini/cepat) yangmana
terjadi selama kira-kira kurang dari sebulan setelah menghadap bencana.

Pada fase ini kebanyakan orang akan mengalami gejala-gejala depresi


seperti keinginan bunuh diri, perasaan sedih mendalam, susah tidur,dan
dapat juga menimbulkan berbagai gejala psikotik.
B. Fase setelah kritis
Fase dimana telah terjadi penerimaan akan keadaan yang dialami dan
penstabilan kejiwaan, umumnya terjadi setelah 1 bulan hingga tahunan
setelah bencana, pada fase ini telah tertanam suatu mindset yang menjadi
suatu phobia/trauma akan suatu bencana tersebut (PTSD) sehingga bila
bencana tersebut terulang lagi, orang akan memasuki fase ini dengan cepat

dibandingkan pengalaman terdahulunya.

7
C. Fase stressor
Fase dimana terjadi perubahan kepribadian yang berkepanjangan (dapat
berlangsung seumur hidup) akibat dari suatu bencana dimana terdapat

dogma “semua telah berubah”.


Periode bencana menurut Rice (1999):

1. Periode impak à hanya berlangsung selama kejadian bencana. Pada


periode ini, korban selalu diliputi perasaan tidak percaya dengan apa
yang dialami. Periode ini selalu berlangsung singkat.
2. Periode penyejukan suasana (Recoil period) à berlangsung beberapa
hari selepas kejadian. Pada periode ini, tampak bahwa para korban
mulai merasakan diri mereka lapar dan mencari bekal makanan untuk
dimakan. Mereka tidak memahami bagaimana mereka harus
memulihkan keadaan dan mengganti harta benda mereka yang hilang.
3. Periode post traumatic (Recovery period) à berlangsung lama, bahkan
sepanjang hayat. Periode ini berlangsung tatkala korban bencana
berjuan untuk melupakan pengalaman yang terjadi berupa tekanan,
gangguan fisiologi, dan psikologi akibat bencana yang mereka alami.

2.6 Patofisiologi PTSD


Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah

kunci dari PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat


merangsang bagian tersebut untuk menimbulkan rasa takut yang dalam
terhadap kondisi-kondisi yangmungkin menyebabkan kembalinya pengalaman
traumatic tersebut. Amigdala dan berbagai struktur lainnya seperti
hipotalamus, bagian abu-abu otak dan nucleus,mengaktifkan neurotransmitter
dan endokrin untuk menghasilkan hormone-hormon yang berperan dari
berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi
untuk menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada
penelitianterhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami

kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala.

8
Amigdala menerima informasi berupa rangsangan eksternal. Hal ini
kemudian memicu respon emosional termasuk “fight, flight, or freezing" dan
perubahan dalam hormon stress dan katekolamin. Hipokampus dan korteks

prefrontal medial mempengaruhi respon amigdala dalam menentukan respon


ketakutan akhir. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita
mengaktifkan respon fight or flight. Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan
adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung,
glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang makatubuh akan
memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini menyebabkan
pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup
untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan kita masih akan
merasakan efek stress dari adrenalin.

Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali


memiliki hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat
kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya
itu masih ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres
meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan fisik. Beberapa
studi telah menemukan konsentrasi kortisol rendah orang dengan post-
traumatic stress disorder dan berlawanan menanggapi penindasan
deksametason tes daripada yang terlihat dengan depresi berat.

2.7 Dampak PTSD


Gangguan stress pascatraumatik ternyata dapat mengakibatkan sejumlah
gangguan fisik, kognitif,emosi, behavior (perilaku),dan sosial.
A. Gejala gangguan fisik:
1. Pusing
2. Gangguan pencernaan
3. Sesak napas
4. Tidak bisa tidur
5. Kehilangan selera makan

6. Impotensi, dan sejenisnya.

9
Gangguan kognitif:
Gangguan pikiran seperti disorientasi
Mengingkari kenyataan

Linglung
Melamun berkepanjangan
Lupa
Terus menerus dibayangi ingatan yang tak diinginkan
Tidak fokus dan tidak konsentrasi
Tidak mampu menganalisa dan merencanakan hal-hal yang sederhana
Tidak mampu mengambil keputusan.
Gangguan emosi :
halusinasi dan depresi (suatu keadaan yang menekan, berbahaya, dan

memerlukan perawatan aktif yang dini)


mimpi buruk
marah
merasa bersalah
malu
kesedihan yang berlarut-larut
kecemasan dan ketakutan.
Gangguan perilaku :
Menurunnya aktivitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal.

Contoh, duduk berjam-jam dan perilaku repetitif (berulang-ulang).


Gangguan sosial:
Memisahkan diri dari lingkungan
Menyepi
Agresif
Prasangka
Konflik dengan lingkungan
Merasa ditolak atau sebaliknya sangat dominan.

1
2.8 Kriteria Diagnosis PTSD
Kriteria untuk diagnosis menentukan faktor tentang persepsi korban dari
trauma serta durasi dan dampak terkait gejala. Sebelum diagnosis PTSD dapat

dibuat, gejala harus bertahan setidaknya satu bulan dan signifikan harus
mengganggu aktivitas normal. Pada orang yang telah selamat dari peristiwa
traumatis, sindrom kecemasan yang berlangsung selama kurang dari satu
bulan disebut "gangguan stres akut", ini kondisi membutuhkan tiga atau lebih
disosiatif gejala selain gejala persisten terkait dengan PTSD. Gejala PTSD
yang berlangsung kurang dari tiga bulan menunjukkan kondisi akut.
Diagnostik ditegakkan berdasar Kriteria Diagnostik Gangguan Stress
Akut berdasar Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV-
Revisi atau DSM IV-R, dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang.

A. Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatic dimana kedua
dari ciri berikut ini dapat ditemukan, yaitu:
1. Orang yang mengalami, menyaksikan atau dihadapkan dengan
kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cidera yang serius atau ancaman kepada integritas
fisik diri sendiri atau orang lain
2. Respon berupa rasa takut yang kuat dan rasa tidak berdaya atau selalu
dihantui perasaan takut yang berlebihan. CATATAN: Pada anak-anak,
ini bukan oleh perilaku tidak teratur atau gelisah.

B. Peristiwa traumatik yang terus-menerus muncul kembali melalui satu


(atau lebih) dari cara berikut:
1. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang
dialaminyadan bersifat mengganggu (bisa berupa gambaran, pikiran,
persepsi)
2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang
dialaminya(yang mencemaskan)
3. Kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yangdialaminya
terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi,haluinasinya)

1
4. Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal
yangmengingatkan terhadap kejadian trauma (kenangan akan
peristiwatrauma)

5. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma


danmematikan perasaan/ tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum
traumamasih berespon). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di
bawah ini:
a. Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan
yang berhubungan dengan kejadian trauma
b. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang
dapatmembangkitkan kembali kenangan akan trauma yang
dialaminya

c. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma


yangdialaminya
d. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa
penting berkurang
e. Merasa terasing dari orang di sekitarnya
f. Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapa merasakan cinta)
g. Perasaan bahwa masa depannya suram
6. Gejala hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau
lebihgejala di bawah ini:

a. Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempeertahankannya


b. Sulit berkonsentrasi
c. Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya
d. Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan)
e. Reaksi kaget yang berlebihan
7. Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan
8. Gangguan/ gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan
gangguanfungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi
pentinglainnya.

1
2.9 Penatalaksanaan Untuk PTSD
A. Farmakologi
1. Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs)

SSRIs merupakan obat line pertama dan satu-satunya obat yang


direkomendasikan Food and Drug Administration (FDA) dalam
mengatasi gejala cemas, depresi, perilaku menghindar, dan pikiran
yang intrusif (mengganggu) pada penderita PTSD. Obat ini secara
primer mempengaruhi neurotransmitter serotonin yang penting untuk
regulasi mood, anxietas, appetite, tidur, dan fungsi tubuh lainnya. Obat
ini meningkatkan jumah serotonin dengan cara menginhibisi reuptake
serotonin diotak. Penelitian menunjukkan bahwa manfaat maksimal
dari SSRI’s tergantug pada dosis yang cukup dan durasi pengobatan.

Obat golongan SSRIs antara lain:

a. Fluoxetine (Prozac) à 20mg-60mg sehari.


b. Sertraline (Zoloft) à 50 mg-200mg sehari
c. Citalopram (Celexa) à 20mg-60 mg sehari
d. Paroxetine (Paxil) à 20mg-60mg sehari

Diantara obat-obat diatas yang direkomendasikan FDA untuk first line


medikasi PTSD hanya sertraline dan paroxetine.

2. Mood stabilizers à Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala

arousal yang meninggi dangejala impulsif.


a. Dosis Carbamazepine (Tegretol):6-12 tahun: 100mg/hari peroral
untuk initial lalu dapat dinaikkan hingga100mg/hari, untuk dosis
maintenance; 20-30 mg/kg/hari>12 tahun: samapai kadar di plasma
8-12mcg/ml
b. Dosis valporic acid (Depakene, depakote): 10-15 mg/kg/hari untuk
dosisinitial dan kemudian dapat ditingkatkan 5-10mg/kg/hari
c. Beta adrenergic blocking agents à Obat yang digunakan golongan

ini yakni, Propanolol (Inderal). Obat inidapat mengatasi gejala

hiperarousal. Dosis untuk anak-anak: 2,5 mg/kgBB/hari.

1
d. Antidepresan
Bekerja melui komninasi neurotransmitter lain atau melaui
mekanisme berbeda untuk mengubah neurotransmisi serotonin.

e. Atipikal Antipsikotik
Bertindak sebagai dopaninergik dan serotoninergik. Obat ini
digunakan pada pasien dengan psikotik sebagai
komorbidnya. Atipikal Antipsikotik tidak dianjurkan untuk
monoterapi pada PTSD.
f. Benzodiazepin
Bekerja langsung pada system GABA yang menghasilkan efek
menenangkan pada system saraf.

B. Non Farmakologi
1. Terapi perilaku kognitif atau CBT. Ada beberapa bagian untuk
CBT, termasuk:
a. Exposure therapy. Terapi ini membantu orang menghadapi dan
mengendalikan ketakutan mereka. Karena menghadapkan mereka
ke trauma yang mereka alami dengan cara yang aman.
Menggunakan mental imagery, menulis, atau kunjungan ke tempat
di mana peristiwa itu terjadi. Terapis menggunakan alat ini untuk
membantu orang dengan PTSD mengatasi perasaan mereka. Terapi
ini dapat dilakukan dengan 2 cara:
1) Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang
cerita secara detail kenangan-kenangan traumatis sampai
mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya.
2) Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang
aman, tetapi ingin dihindarkan karena menyebabkan ketakutan
yang sangat kuat. Pengulangan situasi yang disertai

1
penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita
menyadari bahwa situasi lampau yang menakutkan tidak lagi
berbahaya dan kita dapat mengatasinya

b. Kognitif restrukturisasi. Terapi ini membantu orang memahami


kenangan buruk. Kadang-kadang orang mengingat kejadian berbeda
dari bagaimana hal itu terjadi. Mereka mungkin merasa bersalah atau
malu tentang apa yang bukan kesalahan mereka. Terapis membantu
orang dengan PTSD melihat apa yang terjadi dengan cara yang
realistis.
c. Stress inoculation training. Terapi ini mencoba untuk mengurangi
gejala PTSD dengan mengajar orang bagaimana untuk mengurangi
kecemasan. Seperti restrukturisasi kognitif, pengobatan ini

membantu orang melihat kenangan mereka dengan cara yang sehat.


d. Cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan
yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu
kegiatan -kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin
menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif
terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional,
mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk
melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang
lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang

(Anonim, 2005b).
e. EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing)
EMDR adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada
model pemrosesan informasi di dalam otak. Jaringan memori dilihat
sebagailandasan yang mendasari patologi sekaligus kesehatan
mental, karena jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi,
sikap dan perilakukita.Untuk memproses kembali informasi di dalam
otak/jaringan memori

1
f. Anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa
ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih
baik melalui:

1) Relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan


kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot
-otot utama
2) Breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara
perlahan -lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-
gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi
fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala
3) Positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk
menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran

positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor)


4) asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana
mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan
atau menyakiti orang lain
5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran
ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress
(Anonim, 2005b).
6) Terapi bermain (play therapy) mungkin berguna pada
penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk

menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk


memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini
dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam berproses
dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005b).
7) Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati
traumatik. Meskipun ada banyak kontroversi tentang debriefing
baik dalam literatur PTSD umum dan di dalam debriefing yang
dipimpin oleh bidan. Cochrane didalam systematic reviews-nya
merekomendasi-kan perlu untuk melakukan debriefing pada

kasus korban -korban trauma (Rose et al, 2002). Mengenai

Anda mungkin juga menyukai