Anda di halaman 1dari 45

Case Report Session

NASKAH PSIKIATRI
F43.1 GANGGUAN STRES PASCA-TRAUMA

Oleh:

Fino Nauvalino - P 3570 B


Muthia Mufiidah - P 3578 B
Fatharani Nabila - P 3588 B

Preseptor:

dr. Taufik Ashal, Sp.KJ

DEPARTEMEN PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR. M. DJAMIL
PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah


Subhanahu Wa Ta'ala dan shalawat beserta salam kepada Nabi Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam, karena rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Case
Report Session dengan topik “PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)” sebagai salah
satu kegiatan ilmiah dalam pelaksanaan tahap kepaniteraan klinik Ilmu Psikiatri Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Penulis juga turut mengucapkan terima kasih kepada dr. Taufik Ashal, Sp.KJ
selaku dosen pembimbing dalam penulisan Case Report Session ini. Case Report Session
ini dibuat bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan berbagi ilmu untuk dan oleh
dokter muda sebagai persiapan menjadi dokter umum di layanan primer nantinya.
Penulisan makalah ini tentunya masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
dengan kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang tentunya
membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan pembuatan makalah ini dan
perolehan informasi serta ilmu. Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi
semua pihak yang membaca.

Padang, 31 Agustus 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ 2
DAFTAR ISI..................................................................................................................….3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 5
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................5
1.2 Batasan Masalah...................................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................................................5
1.4 Metode Penulisan.................................................................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................6
2.1 Definisi.................................................................................................................... 6
2.2 Epidemiologi........................................................................................................... 6
2.3 Etiologi.................................................................................................................... 7
2.4 Faktor Risiko........................................................................................................... 7
2.5 Patofisiologi.............................................................................................................8
2.6 Klasifikasi................................................................................................................ 9
2.7 Manifestasi Klinis....................................................................................................9
2.8 Diagnosis............................................................................................................... 11
2.9 Tatalaksanaan.........................................................................................................12
BAB 3 LAPORAN KASUS............................................................................................. 17
BAB 4 DISKUSI...............................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 43
Lampiran.......................................................................................................................... 44

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD) merupakan
gangguan kronik yang membahayakan individu secara psikologis dan fisik yang
ditandai dengan sindrom kecemasan, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional,
dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah stress fisik maupun emosi
yang melampaui batas ketahanan orang biasa. PTSD dikarakteristikan dengan
pengalaman kembali, penghindaran, dan keyakinan negatif pada individu yang
mengalami kejadian ekstrim. Gejala yang muncul harus dapat diasosiasikan dengan
peristiwa traumatis yang memicu, baik sesaat setelah peristiwa terjadi atau pikiran
mengganggu dan usaha untuk menghindari pikiran atas peristiwa. Peristiwa traumatis
meliputi peperangan, pemerkosaan, dipenjarakan, kecelakaan dan mengalami bencana
alam. Ada kemungkinan bagi penyintas dapat beradaptasi dengan pengalaman tersebut,
tetapi jika penyintas memiliki ingatan yang menyebabkan simtom stress berlebih maka
kondisi tersebut dipertimbangkan sebagai gangguan mental.1,2
Beberapa hal yang dapat menyebabkan PTSD yaitu kejadian yang membuat
stres termasuk kejadian trauma, mendapatkan risiko kelainan mental karena ada
kemungkinan bagi penyintas dapat beradaptasi dengan pengalaman tersebut, tetapi jika
penyintas memiliki ingatan yang menyebabkan simtom stress berlebih maka kondisi
tersebut dipertimbangkan sebagai gangguan mental.1,2
PTSD dapat menyerang siapapun yang telah mengalami kejadian traumatik
dengan tidak memandang usia dan jenis kelamin. Pada studi yang dilakukan oleh
McCutcheon et al (2010) di Missouri, 38% onset PTSD pada perempuan terjadi pada
masa kanak-kanak sebelum usia 12 tahun, 39% pada masa remaja dan 23% terjadi
selepas usia 18 tahun. 1 dari 3 perempuan pada studi ini melaporkan pengalaman
traumatis terjadi pada masa kanak-kanak, yang sebagian besar adalah kekerasan fisik &
pengabaian pada masa kanak-kanak. Pada usia 21-25 tahun pada perempuan menjadi
usia yang cukup rentan mengalami simtom PTSD dari pengalaman trauma yang
diperoleh dibanding rentang usia lainnya..1,3
Seseorang yang mengalami PTSD berusaha menghindari hal yang dapat
mengingatkan mereka dengan trauma tersebut. Gejala yang dialami dapat timbul secara
biasa dan masih dapat ditangani melalui perawatan. Namun dapat pula terjadi gejala
dramatis seperti penyalahgunaan alkohol, kemarahan, agresif, atau kekerasan, bahkan
4
menyakiti diri sendiri. Gejala yang terjadi dapat juga berupa perubahan kepribadian,
menghindari kehidupan sosial, dan mengalami insomnia.1
Paparan trauma dan PTSD adalah faktor risiko yang kuat untuk munculnya
pikiran dan perilaku bunuh diri, dengan berbagai penelitian menunjukkan bahwa pasien
dengan komorbid gangguan depresi akan semakin memperkuat faktor risiko ini.5
Sebuah studi yang dilakukan di Denmark menemukan bahwa individu yang telah
didiagnosis dengan depresi atau PTSD 6 hingga 13 kali lebih mungkin meninggal
karena bunuh diri, sedangkan mereka yang memiliki komorbiditas depresi dan PTSD
29 kali lebih mungkin meninggal karena bunuh diri.5,6

1.2 Batasan Masalah


CRS ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko,
manifestasi klinis, pedoman diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis PTSD.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan CRS ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan
pembaca mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, manifestasi klinis,
pedoman diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis PTSD.

1.4 Metodologi Penulisan


CRS ini disusun berdasarkan pada studi kepustakaan yang merujuk pada kasus
dan berbagai literatur.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gangguan Stres Pasca-Trauma


Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan stres pasca trauma adalah
sindrom yang muncul setelah seseorang melihat, mendengar atau terlibat dalam kejadian
traumatis yang ekstrim, seperti kekerasan seksual, peperangan, kecelakaan, atau
kejadian-kejadian lainnya yang dapat mengancam kehidupan seseorang. PTSD terjadi
karena paparan peristiwa traumatis dengan gejala antara lain kembali merasakan sedang
dalam peristiwa trauma tersebut atau flashback, menghindar, dan emosi
tumpul/numbing.2
Menurut American Psychiatric Association gangguan stres pasca trauma adalah
gangguan psikiatri yang mungkin terjadi pada orang yang telah mengalami atau
menyaksikan suatu peristiwa traumatis, serangkaian peristiwa, atau rangkaian keadaan.
Seseorang mungkin mengalami hal ini sebagai sesuatu yang merugikan secara emosional
atau fisik, atau mengancam jiwa, dan dapat memengaruhi kesejahteraan mental, fisik,
sosial, dan/atau spiritual.
Sedangkan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, edisi
ke-5 (DSM-V), gangguan stres pasca trauma didefinisikan sebagai suatu kejadian atau
beberapa kejadian trauma yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang
berupa kematian atau ancaman kematian, cedera serius, ancaman terhadap integritas fisik
atas diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan yang ekstrem, horror,
rasa tidak berdaya. Dengan demikian, gangguan stres pasca trauma (PTSD) dapat
diartikan sebagai gangguan yang terjadi pada seseorang setelah mengalami suatu
peristiwa/kejadian maupun pengalaman yang menyakitkan seperti kematian anggota
keluarga, mengalami kecelakaan, mengalami perkosaan, bencana alam, kekerasan dan
lainnya sehingga timbul perasaan trauma terhadap suatu hal.2,7

2.2 Epidemiologi Gangguan Stres Pasca-Trauma


Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah gangguan mental yang terjadi akibat
paparan langsung atau tidak langsung dari suatu peristiwa traumatis. PTSD disebabkan
oleh adanya stressor ekstrim baik berupa paparan langsung maupun tidak langsung dari
suatu peristiwa traumatis. Faktor risiko yang dapat menimbulkan PTSD antara lain
bencana alam, serangan teroris, peperangan, kecelakaan lalu lintas berat, peristiwa
kekerasan, pelecehan seksual dan pemerkosaan.8,9
6
Saat ini PTSD masih menjadi masalah global. Data Badan Kesehatan Dunia
(WHO) mencatat dari total 68.894 responden, ditemukan 70,4% responden mengalami
trauma seumur hidup, gejala PTSD berlangsung rata-rata enam tahun, dan wanita lebih
mungkin mengembangkan PTSD daripada. Prevalensi PTSD sangat bervariasi di
pengaruhi oleh beberapa faktor seperti interval waktu yang telah berlalu dari paparan
insiden, metode pengukuran serta faktor risiko lainnya pada populasi target.9,10
Pada tahun 2013, Australian Centre for Posttraumatic Mental Health melaporkan
bahwa lebih dari 6% anak dan remaja di Australia mengalami PTSD. Pada penelitian lain
prevalensi PTSD didapatkan 20% dengan kejadian traumatis yang paling banyak dialami
oleh pelajar adalah mengalami kekerasan fisik oleh orangtua (26,9%).11

2.3 Etiologi Gangguan Stres Pasca-Trauma


PTSD disebabkan oleh kegagalan pemulihan karena adanya perubahan
pembelajaran rasa takut, yaitu kegagalan dalam memadamkan respon perilaku terhadap
rangsangan trauma. Setelah terjadinya peristiwa traumatik, ada banyak orang yang pada
akhirnya dapat mengatasi rasa takut dengan penurunan rasa takut secara bertahap.
Namun, ketika respon penurunan rasa takut tersebut tidak terjadi, orang akan merespon
rasa takut tersebut dengan strategi kognitif dan penghindaran untuk menghindari
perasaan trauma. Pengendalian rasa takut ini melibatkan hipokampus, amigdala, dan
korteks prefrontal. Dalam hal ini, hipokampus berperan dalam mengingat
episode-episode yang aman ketika dihadapakan dengan rangsangan yang menakutkan.
Sedangkan, penghambatan di amigdala akan mempengaruhi korteks prefrontal medial
ventral untuk mengubah pikiran ketakutan dengan ingatan dengan episode yang aman.7

2.4 Faktor Risiko Gangguan Stres Pasca-Trauma


Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko seseorang
mengalami PTSD, antara lain:
● Berat dan dekatnya trauma yang dialami. Semakin berat trauma yang dialami dan
semakin dekat posisi seseorang dengan suatu kejadian, maka semakin
meningkatkan mengalami PTSD.
● Durasi trauma dan banyaknya trauma yang dialami. Semakin lama/ kronik
seseorang mngalami kejadian trauma semakin berisiko berkembang menjadi
PTSD.
● Pelaku kejadian trauma. Semakin dekat hubungan antara pelaku dan korban
semakin berisiko menjadi PTSD. Selain itu, kejadian trauma yang sangat

7
interpersonal seperti kasus pemerkosaan juga salah satu faktor yang dapat
menyebabkan PTSD.
● Jenis kelamin. Perempuan dua kali lipat lebih memungkinkan untuk mengalami
PTSD.
● Status pekerjaan. Status pekerjaan dapat mempengaruhi timbulnya stress dan
lebih lanjut akan mencetuskan terjadinya perasaan tidak nyaman, sehingga lebih
berisiko untuk menderita PTSD
● Usia. PTSD dapat terjadi pada semua golongan usia tetapi anak-anak dan usia tua
(>60 tahun) merupakan kelompok usia yang lebih rentan mengalami PTSD.
● Tingkat Pendidikan. Minimnya tingkat Pendidikan seseorang akan mempengaruhi
tingginya angka kejadian PTSD.
Sedangkan menurut Kirkpatrick, 2014, faktor resiko pada PTSD terdiri dari tiga
cakupan: Pra-trauma, Peri-trauma, dan Pasca-trauma.
1. Faktor pra-trauma
○ Status sosial ekonomi rendah
○ Pengabaian orang tua
○ Penyakit kejiwaan pribadi atau keluarga Perempuan
○ Dukungan sosial yang buruk
2. Faktor peritrauma
○ Keparahan, intensitas, frekuensi, dan durasi trauma
○ Tingkat keparahan awal reaksi seseorang terhadap trauma
○ Trauma yang tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dikendalikan
3. Faktor pasca trauma
○ Kurangnya dukungan sosial
○ Stres hidup
○ Kegagalan untuk identifikasi dini dan pengobatan

2.5 Patofisiologi Gangguan Stres Pasca-Trauma


Pada PTSD terjadi reaktivitas otonom yang ditunjukkan dengan adanya
peningkatan denyut jantung, konduktansi kulit sebagai respon terhadap trauma, dan
respon yang berlebihan terhadap trauma. Pada PTSD respon
Hipotalamushipofisis-adrenal (HPA) menunjukkan adanya peningkatan sekresi hormon
pelepas kortikotropin dari hipotalamus yang merangsang kelenjar pituitary anterior
mensekresi adrenokortikotropin, yang selanjutnya adenokortikotropin akan menuju
korteks adrenal dan merangsang sekresi kortisol. Tetapi, pada pasien dengan PTSD
8
sekresi kortisol akan rendah. Sehingga akan terjadi peningkatan penghambatan umpan
balik negatif dari HPA axis.
Kortisol akan berikatan dengan reseptor glukokortikoid (GR) di sitoplasma, yang
dikode oleh reseptor inti subfamili 3 grup C anggota 1 (NR3C1: pengkodean reseptor
glukokortikoid). Kompleks glukokortikoid selanjutnya diikat oleh protein pendamping
FKBP5 (pengkodean FK506 – binding protein 5). Variasi genetik NR3C1 dan FKBP5
memiliki perbedaan fungsional dalam pensinyalan glukokortikoid di PTSD. Kompleks
glukokortikoid yang terikat dengan protein pendamping ditranslokasi ke dalam nukleus
dan berikatan dengan elemen respons glukokortikoid (GRE), yang pada akhirnya
mempengaruhi transkripsi sejumlah besar gen. Selanjutnya, glukokortikoid diferensial
akan mempengaruhi beberapa sistem termasuk otak, kardiometabolik, organ reproduksi,
dan sistem kekebalan. Selain dipengaruhi oleh adanya penurunan kortisol, adanya
peningkatan epinephrine dan norepinephrine juga menyebabkan terjadinya PTSD.

2.6 Klasifikasi Gangguan Stres Pasca-Trauma


Post-traumatic stress disorder (PTSD) terbagi atas tiga jenis :
1) PTSD akut, yaitu dimana tanda dan gejalanya terjadi pada rentang waktu 1- 3
bulan. Namun, biasanya berakhir dalam kurun waktu satu bulan. Jika dalam
waktu lebih dari satu bulan, individu tersebut harus segera menghubungi
pelayanan kesehatan terdekat.
2) PTSD kronik, yaitu dimana tanda dan gejalanya berlangsung lebih dari tiga bulan
dan jika tidak ada treatment yang dilakukan maka dapat bertambah berat sehingga
akan mengganggu kehidupan sehari-hari orang tersebut.
3) PTSD with delayed onset, walaupun sebenarnya tanda dan gejala PTSD muncul
pada saat setelah trauma, ada kalanya tanda dan gejalanya baru muncul minimal
enam bulan bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa traumatic itu terjadi. Hal ini
timbul pada saat memperingati hari kejadian traumatis tersebut atau bisa juga
karena individu mengalami kejadian traumatis lain yang akan mengingatkan
terhadap peristiwa traumatis masa lalunya.7

2.7 Manifestasi Klinis Gangguan Stres Pasca-Trauma


Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah penyakit atau gangguan yang paling
banyak disebabkan oleh peristiwa-peristiwa traumatis. PTSD sendiri memiliki gambaran
klinis yaitu adanya gejala yang berhubungan dengan peristiwa traumatis (pikiran yang
mengganggu tentang peristiwa traumatis dan kewaspadaan yang berlebih), disforia,
hyperarousal, atau anhedonia.
9
Menurut Kirkpatrick (2014) Post-traumatic stress disorder adalah suatu gangguan
yang mengakibatkan seseorang yang secara langsung mengalami peristiwa traumatis
akan menunjukkan beberapa gejala yang khas. Dalam DSM- 5 disebutkan bahwa PTSD
memiliki gejala yang dikategorikan dalam 4 kelompok yaitu: Gejala Intrusi/mengalami
kembali, gejala penghindaran, kognisis dan suasana hati yang negative, dan gejala
hyperarousal. Beberapa contoh bagaimana gejala-gejala tersebut dapat muncul sebagai
berikut:
● Gejala utama intrusi/mengalami kembali trauma (setidaknya satu diperlukan)
- Kenangan, gambar, pikiran yang berulang dan mengganggu
- Mimpi yang menyedihkan
- Reaksi disosiatif seperti kilas balik
- Reaksi emosional dan fisik yang kuat terhadap isyarat yang menyerupai atau
melambangkan aspek trauma
● Gejala utama penghindaran (setidaknya satu diperlukan)
- Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan atau aktivitas,
tempat atau orang yang berhubungan dengan trauma
- Penghindaran atau upaya untuk menghindari pengingat eksternal (orang,
tempat, percakapan, aktivitas, objek, situasi)
● Gejala utama kognisi dan suasana hati negatif (setidaknya satu diperlukan)
- Amnesia untuk aspek penting dari trauma
- Keyakinan negatif yang menetap
- Rasa menyalahkan diri sendiri atau orang lain yang terus-menerus dan
terdistorsi
- Keadaan emosi negatif yang persisten (misalnya takut, ngeri, bersalah,
malu)
- Ketidakmampuan untuk mengalami emosi positif
- Perasaan terlepas atau terasing dari orang lain
- Minat yang sangat berkurang dalam aktivitas
● Gejala perubahan gairah dan reaktivasi
- Perilaku agresif
- Perilaku menyiksa diri
- Merasa selalu dalam bahaya, kewaspadaan berlebihan
- Keterkejutan berlebihan
- Kesulitan konsentrasi

10
- Gangguan tidur
Gejala PTSD dapat terjadi pada semua usia, dan biasanya gejala akan muncul
dalam 3 bulan atau beberapa tahun kemudian setelah trauma. Durasi gejala PTSD sangat
bervariasi, sebanyak lebih dari 50% orang dengan PTSD akan sembuh dalam 3 bulan,
dan sisanya banyak yang memiliki gejala yang dapat bertahan sampai lebih dari 1 tahun.
Gejala PTSD dapat kambuh dan sering intermiten. PTSD sendiri sering terkait dengan
penyakit fisik, terutama saraf, sensorik, musculoskeletal, cardiorespiratory,
gastrointestinal, dan presentasi gejala yang tidak jelas.

2.8 Diagnosis dan Diagnosis Banding Gangguan Stres Pasca-Trauma


Untuk diagnosis PTSD digunakan kriteria diagnosis dari DSM-5 (diagnostic and
statistical manual of mental disorders, fifth edition). Dalam kriteria DSM-5 terdapat 20
gejala yang diperlukan untuk mendiagnosis PTSD dan dipisahkan menjadi 4 kelompok
(table 1) dan semua gejala tersebut harus dikaitkan dengan peristiwa traumatis.

11
Kriteria diagnosis PTSD/ Gangguan Stres Pasca-trauma menurut PPDGJ III
yaitu:15 Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu
6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa
minggu sampai bulan, jarang melampaui 6 bulan.
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu
mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja

12
manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan
lainnya.
Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau
mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali
(flashbacks). Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku
semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas. Suatu “sequele” menahun
yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun
setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang
berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).

2.9 Tatalaksana Komprehensif Gangguan Stres Pasca-Trauma


Psikoterapi merupakan lini pertama penatalaksanaan untuk PTSD dan psikoterapi
yang dianjurkan berupa Cognitive-Behavioral Therapy (CBT), Cognitive Processing
Therapy (CPT) dan Prolonged Exposure Therapy (PE). PE didasari oleh teori emotional
processing, yang menyatakan bahwa peristiwa traumatik tidak diproses secara emosional
pada waktu peristiwa itu terjadi. Teori ini juga menyatakan bahwa rasa takut
direpresentasikan di dalam memori sebagai struktur kognitif yang mencakup representasi
dari stimulus rasa takut tersebut, respons rasa takut, dan arti yang berkaitan dengan
stimulus dan respons terhadap stimulus tersebut. PE bertujuan untuk mengubah struktur
ketakutan sehingga tidak lagi menjadi masalah. Dua hal yang harus terjadi saat PE adalah
teraktivasinya struktur ketakutan dan informasi yang tidak sesuai dengan informasi yang
keliru pada struktur ketakutan harus dimasukkan ke dalam struktur. PE juga mencakup
psikoedukasi yang mengajarkan pasien mengenai PTSD, reaksi umum terhadap trauma,
pelatihan nafas dan dua tipe paparan (in vivo dan imajiner). Paparan in vivo membantu
pasien untuk menghadapi situasi, tempat atau orang yang dihindari karena respons rasa
takut akibat peristiwa traumatis. Paparan imajiner membantu 11 pasien untuk
menghadapi ingatan, pikiran dan emosi seputar peristiwa traumatis yang selama ini
dihindari. PE ini biasanya selesai dalam delapan hingga lima belas sesi. CBT juga
merupakan sebuah terapi yang terfokus pada trauma yang didasari oleh teori kognitif
sosial dan juga teori emotional processing. CPT berasumsi bahwa setelah mengalami
peristiwa traumatik, orang tersebut akan mencoba untuk mengerti apa yang terjadi, yang
seringkali akan berakhir pada pengartian yang terdistorsi tentang dirinya sendiri, dunia,
dan orang sekitarnya. CPT bertujuan untuk mengalihkan keyakinan keyakinan korban
kepada accommodation dan membantu pasien untuk mengidentifikasi keyakinan-
keyakinan assimilation dan over-accommodation dan belajar untuk memperoleh
13
keterampilan untuk menantang keyakinan-keyakinan tersebut melalui latihan yang
dilakukan setiap hari. CPT berisi dua belas sesi yang dilakukan satu kali per minggu,
yang bisa dilakukan secara individu atau dalam kelompok.
Terdapat berbagai psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk
penanganan pasien PTSD, yaitu:1
a. Anxiety Management
Pada anxiety management, pasien dapat diajari beberapa keterampilan untuk
membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui berbagai cara, yakni:
● Relaxation training, yakni pasien belajar mengontrol ketakutan dan
kecemasan yang dimiliki pasien secara sistematis dan cara merelaksasikan
otot-otot utama.
● Breathing retraining, yakni pasien belajar melakukan pernafasan dengan perut
secara perlahan-lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa
yang menimbulkan perasaan tidak nyaman pada pasien.
● Positive thinking dan self-talk, yakni pasien belajar untuk menghilangkan
pikiran negatif dan mengganti pikiran tersebut dengan pikiran positif ketika
menghadapi hal-hal yang membuat stres.
● Assertiveness training, yakni pasien belajar bagaimana mengekspresikan
harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain.
● Thought stopping, yakni pasien belajar bagaimana mengalihkan pikiran pada
saat memikirkan hal-hal yang membuat stres.
b. Cognitive Therapy
Dalam cognitive therapy, pasien dibantu untuk merubah pemahaman dan
kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan
sehari-hari. Hal ini dapat dicontohkan pada seorang korban kejahatan yang
menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati sehingga musibah tersebut terjadi
pada dirinya. Tujuan terapi kognitif adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang
tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk
melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik
untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.1
c. Exposure Therapy
Pada exposure therapy, pasien dibantu menghadapi situasi yang khusus, orang
lain, objek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan
ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupannya. Terapi dapat berjalan dengan

14
beberapa cara, yakni:
● Exposure in the imagination, yakni bertanya pada penderita untuk mengulang
cerita secara rinci sampai tidak mengalami hambatan dalam menceritakan
kembali peristiwa tersebut.
● Exposure in reality, yakni membantu pasien dalam menghadapi situasi yang
sekarang dalam batas aman tetapi dihindari oleh pasien karena menyebabkan
ketakutan yang sangat kuat, misalnya kembali ke rumah setelah terjadi
perampokan di rumah pasien tersebut. Pengulangan situasi disertai
penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang
menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi.
● Play Therapy. Terapi bermain dapat digunakan pada pasien anak dengan
PTSD. Berbagai permainan dapat digunakan untuk memulai topik yang tidak
dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa
nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya.
d. Support group therapy
Dalam support group therapy, seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang
mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa
bumi). Dalam proses terapi, pasien diminta untuk saling menceritakan tentang
pengalaman traumatis mereka dan saling memberikan penguatan bagi satu sama lain.
Kejadian traumatis dan permasalahan yang dihadapi oleh pasien memerlukan
pemecahan sebagai upaya untuk penyesuaian diri atau adaptasi terhadap masalah dan
tekanan yang menimpa mereka. Konsep untuk memecahkan permasalahan ini disebut
dengan coping. Kata coping sendiri berasal dari kata cope yang dapat diartikan
sebagai menghadapi, melawan ataupun mengatasi. Pengertian coping hampir sama
dengan penyesuaian (adjustment). Perbedaannya, penyesuaian mengandung
pengertian yang lebih luas jika dibandingkan dengan coping, yaitu semua reaksi
terhadap tuntutan baik yang berasal dari lingkungan maupun yang berasal dari dalam
diri seseorang. Sedangkan coping dikhususkan pada bagaimana seseorang mengatasi
tuntutan yang menekan.9
Terdapat delapan strategi coping yang dapat digunakan, yaitu:
● Impunitive yaitu menganggap tidak ada lagi yang dapat dilakukan dalam
menghadapi tekanan dari luar
● Intropunitive yaitu tindakan menyalahkan diri sendiri saat menghadapi
masalah

15
● Ekstrapunitive yaitu melakukan tindakan agresi saat bermasalah
● Defensiveness yaitu melakukan pengingkaran atau rasionalisasi
● Impersistive yaitu merasa optimis bahwa waktu akan menyelesaikan masalah
dan keadaan akan membaik kembali
● Intrapersistive yaitu mengharap orang lain akan membantu menyelesaikan
masalahnya
● Interpersistive yaitu percaya bahwa kerjasama antara dirinya dengan orang
lain akan dapat mengatasi masalah
● Intropersitive yaitu individu percaya bahwa harus bertindak sendiri untuk
mengatasi masalahnya.9

Manfaat dari strategi coping pada intinya agar seseorang tetap dapat melanjutkan
kehidupan selanjutnya walaupun memiliki masalah, yaitu untuk mempertahankan
keseimbangan emosi, mempertahankan self-image yang positif, mengurangi tekanan
lingkungan atau menyesuaikan diri terhadap kajian negatif dan tetap melanjutkan
hubungan yang memuaskan dengan orang lain.

16
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

● Nama : Nn. RNF


● MR : 01.09.28.85
● Jenis Kelamin : Perempuan
● Tanggal Lahir : 29 Juni 2002
● Usia : 21 tahun 2 bulan
● Agama : Islam
● Suku Bangsa : Minang
● Pendidikan Terakhir : SMK
● Status Pernikahan : Belum menikah
● Pekerjaan : Mahasiswa
● Alamat : Jl. Purus V No. 85, Padang Barat

II. RIWAYAT PSIKIATRI


Keterangan/ anamnesis di bawah ini diperoleh dari (lingkari angka di bawah ini)
1) Autoanamnesis dengan pasien pada Selasa, 15 Agustus 2023 di Poliklinik
Jiwa RSUP dr. M Djamil, Padang, dilanjutkan pada Selasa, 29 Agustus 2023
melalui telepon.
2) Alloanamnesis dengan sahabat pasien, jenis kelamin perempuan, bernama
Suci, berusia 21 tahun, pada Selasa, 29 Agustus 2023 melalui telepon.

1. Pasien datang ke fasilitas kesehatan ini atas keinginan (lingkari pada huruf
yang sesuai)
a. Sendiri
b. Keluarga
c. Polisi
d. Jaksa/Hakim
e. Dan lain-lain

2. Sebab Utama
Pasien datang sendiri ke Poliklinik Jiwa RSUP Dr. M. Djamil untuk kontrol
rutin dikarenakan gangguan tidur dan rasa tidak percaya diri.

3. Keluhan Utama (Chief Complaint)

17
Pasien tidak bisa mengontrol kecemasannya dan ada tindakan untuk melukai
diri sendiri.

4. Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poliklinik Jiwa RSUP Dr. M. Djamil sendiri untuk kontrol
rutin karena masih terbangun pada saat tidur malam. Pada 10 Juni 2023 pasien
melakukan percobaan bunuh diri dengan menenggelamkan diri ke laut namun
pasien tersadar dan segera diselamatkan oleh warga sekitar. Saat ini pasien dapat
mengontrol perasaan, pikiran terbuka, pola hidup teratur, namun sampai saat ini
keluarga pasien masih tidak tahu terkait kondisi pasien kecuali kakak ke-2. Pasien
sudah tidak menyakiti diri, tidur dapat dilakukan namun masih sering terbangun.
Pasien mengeluhkan kadang rasa trauma masih muncul jika melihat berita atau
konten di media sosial tentang kasus pelecehan.

5. Riwayat Penyakit Sebelumnya


a. Riwayat Gangguan Psikiatri
Pasien pertama kali berobat ke bagian Jiwa pada tahun 2018
dikarenakan adanya riwayat pelecehan oleh ayah kandung dan paman
pasien. Pada Juni 2017 mendapat pelecehan pada waktu subuh dan kondisi
pasien sedang tidur. Pasien sadar namun tidak melakukan apapun. Pada
Desember 2017, pasien kembali mendapat pelecehan seksual oleh paman
pasien di mobil. Sejak kejadian itu pasien memendam kejadian tersebut
sendiri, tidak ada keluarga yang tahu kecuali kakak kedua, karena pasien
merasa jika ia menceritakan kejadian tersebut akan menghancurkan
keluarganya. Pada tahun 2018 pasien berobat ke Psikiater di RS Siti
Aisyah. Dikarenakan psikiater seorang laki-laki maka pasien tidak
nyaman dan tidak melanjutkan pengobatan. Karena pelaku adalah orang
terdekat yang sering pasien temui dan terdapat masalah di keluarga
membuat pasien merasa stress sehingga melakukan hal-hal buruk seperti
minum alkohol, merokok, dan meminum obat dengan dosis yang tidak
sesuai.
Ketika mendengar berita pelecehan seksual keluhan pasien
bertambah dan beberapa kali mencoba untuk menyakiti diri dengan
menonjok wajah karena merasa benci dengan diri sendiri. Hal tersebut
membuat pasien datang berobat ke psikiater di RS BMC pada tahun 2020.
Setelah kontrol ketiga, pasien dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil. Pasien
kontrol rutin dan meminum obat selama 3 bulan, namun karena merasa
sudah dapat mengontrol diri, pasien menghentikan pengobatannya
kembali karena tidak ingin bergantung ke obat. Sejak putus obat tersebut,
keluhan-keluhan pasien muncul kembali namun masih bisa diatasi sendiri.
Pada awal tahun 2023, pasien teringat kembali akan pengalaman
buruk yang dialaminya, pasien kembali menyalahkan dirinya, merasa
hidupnya gagal, dan melakukan percobaan bunuh diri namun masih bisa
diselamatkan. Pasien kemudian dibawa ke bagian IGD RSUP Dr. M.
Djamil Padang pada hari Sabtu, 10 Juni 2023 oleh teman pasien yang juga
mengetahui kejadian pelecehan yang dialami pasien. Orang tua pasien
tidak mengetahui percobaan bunuh diri tersebut sehingga pasien tidur di
kos teman selama 5 hari dengan izin ke orang tua membuat tugas akhir.

18
Karena ada keinginan untuk keluar dari permasalahan dan ingin
menggapai cita-citanya kembali, akhirnya pasien kembali berobat ke
bagian jiwa. Pasien diberikan obat aripiprazole 1 x 10 mg, merlopam 0.5
mg 2 x 1⁄2 tablet, kalxetin 1 x 20 mg, clobazam, 1 x 5 mg, vitamin b
complex 2 x 1, dan lansoprazole.
b. Riwayat Gangguan Medis
Pasien memiliki riwayat asam lambung, tidak ada riwayat hipertensi,
DM, trauma kepala, tumor, kejang, gangguan kesadaran, dan penyakit
fisik lainnya.
c. Riwayat penggunaan NAPZA
Pasien meminum alkohol dan merokok sesekali pada saat stres
namun sudah berhenti dan terakhir kali 2 bulan yang lalu. Pasien tidak ada
riwayat penggunaan zat adiktif illegal, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya.

6. Riwayat Keluarga
a. Identitas Orang Tua

Identitas Orang Tua Keterangan


Bapak Ibu
Kewarganegaraan Indonesia Indonesia
Suku Bangsa Minang Minang
Agama Islam Islam
Pendidikan SMA SD
Pekerjaan Pedagang Pedagang
Umur 50 tahun 48 tahun
Alamat Jln. Purus V Jln. Purus V
no. 85 no. 85
Hubungan Tidak peduli Biasa
Pasien
Dan lain-lain

b. Sifat/Perilaku Orang Tua Kandung


Bapak (Dijelaskan oleh pasien dan sahabat pasien yang dapat dipercaya/
diragukan):
Pemalas ( -), Pendiam ( - ), Pemarah ( + ), Mudah tersinggung ( + ),
Tak suka Bergaul ( - ), Banyak teman ( - ), Pemalu ( - ), Perokok berat (
+ ), Penjudi ( - ), Peminum ( + ), Pecemas ( - ), Penyedih ( - ),
Perfeksionis ( - ), Dramatisasi ( - ), Pencuriga (-), Pencemburu (-), Egois
( + ), Penakut ( - ), Tak bertanggung jawab ( - ).

Ibu (Dijelaskan oleh pasien dan sahabat pasien yang dapat dipercaya/
diragukan): Pemalas ( -), Pendiam ( + ), Pemarah ( - ), Mudah
tersinggung ( - ), Tak suka Bergaul ( - ), Banyak teman ( - ), Pemalu (-),
Perokok berat ( - ), Penjudi ( - ), Peminum ( - ), Pecemas ( + ), Penyedih
( +), Perfeksionis ( - ), Dramatisasi ( - ), Pencuriga (-), Pencemburu (-),
19
Egois ( - ), Penakut ( + ), Tak bertanggung jawab ( - ).

c. Saudara
Pasien anak ke 3 dari 4 bersaudra

d. Urutan bersaudara dan cantumkan usianya dalam tanda


kurung untuk pasien sendiri, lingkari nomornya.
1. Laki-laki (26 Tahun)
2. Perempuan (24 Tahun)
3. Perempuan (21 Tahun)
4. Laki-laki (17 Tahun)

e. Gambaran sikap/perilaku masing-masing saudara pasien dan


hubungan pasien terhadap masing-masing saudara tersebut,
hal yang dinyatakan serupa dengan yang dinyatakan pada

Saudara ke Gambaran sikap dan Kualitas hubungan dengan


perilaku saudara
(akrab/biasa/kurang/tak peduli)
1 Baik Biasa
2 Baik Akrab, peduli
4 Baik Biasa

f. Orang lain yang tinggal di rumah pasien dengan gambaran


sikap dan tingkah laku dan bagaimana pasien dengan mereka.

No Hubungan Gambaran sikap Kualitas hubungan


dengan dan tingkah laku (akrab/ biasa/kurang/tak
pasien peduli)
- - - -

g. Apakah ada riwayat penyakit jiwa, kebiasaan-kebiasaan


dan penyakit fisik (yang ada kaitannya dengan gangguan
jiwa) pada anggota keluarga o.s:

Anggota Penyakit Jiwa Kebiasaan Penyakit


Keluarga Fisik
Bapak Tidak ada Perilaku Tidak ada
kekerasan
Ibu Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Saudara 1 Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Saudara 2 Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Saudara 4 Tidak ada Tidak ada Tidak ada
20
h. Skema Pedegree

i. Riwayat tempat tinggal yang pernah didiami pasien

No Rumah tempat Keadaan rumah


tinggal
Tenang Cocok Nyaman Tidak
nyaman
1. Rumah Orang Kurang
Tua Nyaman

j. Dan lain-lain

21
7. Gambaran seluruh faktor-faktor dan mental yang bersangkut paut
dengan perkembangan kejiwaan pasien selama masa sebelum sakit
(premorbid) yang meliputi :
a. Riwayat sewaktu dalam kandungan dan dilahirkan.
Keadaan ibu sewaktu hamil (sebutkan penyakit-penyakit fisik dan
atau kondisi-kondisi mental yang diderita si ibu)
Kesehatan Fisik : tidak diketahui Kesehatan Mental : tidak
diketahui

b. Riwayat masa bayi dan kanak-kanak


1. Aterm (+), partus spontan (+), partus tindakan (-) sebutkan
jenis tindakannya
2. Pasien adalah anak yang direncanakan/ diinginkan
(ya/tidak)
3. Jenis kelamin anak sesuai harapan (ya/tidak)

c. Simptom-simptom sehubungan dengan problem perilaku yang


dijumpai pada masa kanak-kanak
1. Pertumbuhan Fisik : tidak diketahui
2. Minum ASI : tidak diketahui
3. Usia mulai bicara : tidak diketahui
4. Usia mulai jalan : tidak diketahui
Sukar makan (-), anoreksia nervosa (-), bulimia (-), pika (-),
gangguan hubungan ibu-anak (-), pola tidur baik ( + ), cemas
terhadap orang asing sesuai umum (-), cemas perpisahan (-),
dan lain- lain

d. Toilet training
1. Umur: tidak diketahui
2. Sikap orang tua: tidak diketahui
3. Perasaan anak untuk toilet training ini: tidak diketahui

e. Kesehatan fisik masa kanak-kanak: demam tinggi disertai


22
menggigau (-), kejang-kejang (-), demam berlangsung lama (-),
trauma kapitis disertai hilangnya kesadaran (-), dan lain-lain.

f. Temperamen sewaktu anak-anak: pemalu (-), gelisah (-) overaktif


(-), menarik diri (-), suka bergaul (-), suka berolahraga (+), dan
lain-lain
g. ‘Masa Sekolah

Perihal SD SMP SMA PT


Umur 7 Tahun 12 Tahun 15 Tahun 18 Tahun
Prestasi Baik Baik Baik Baik
Aktifitas Sekolah Baik Baik Baik Baik
Sikap Terhadap Baik Baik Baik Baik
Teman
Sikap Terhadap Baik Baik Baik Baik
Guru
Kemampuan - - Silat Silat
Khusus
Tingkah Laku Baik Baik Baik Baik

h. Masa Remaja
Fobia (-), masturbasi (-), ngompol (-), lari dari rumah (+),
kenakalan remaja (-), perokok berat(-), penggunaan obat terlarang (-),
peminum minuman keras (+), problem berat badan (-),anoreksia
nervosa (-), bulimia (-), perasaan depresi (+), rasa rendah diri (+),
cemas (+), gangguan tidur (+), sering sakit kepala (-), dan lain- lain.
Ket: *coret yang tidak perlu

i. Riwayat Pekerjaan
Pasien tidak bekerja
Keadaan ekonomi*: baik, sedang, kurang

j. Percintaan, perkawinan, kehidupan seksual, dan rumah tangga


1. Hubungan seks sebelum menikah (-)
2. Riwayat pelecehan seksual (+)
3. Orientasi seksual (normal)

23
k. Situasi social saat ini
Tempat tinggal : rumah sendiri (-), rumah kontrak (-), rumah susun
(-), apartemen (-), rumah orang tua (+), rumah kakak kandung (-),
serumah dengan mertua (-), di asrama (-) dan lain- lain (-)
Polusi lingkungan : bising (-), kotor (-), bau (-), ramai (-) dan lain-
lain.
Ket: * coret yang tidak perlu, ** ( ), diisi (+) atau (-) ai : atas indikasi

l. Perihal anak-anak pasien meliputi:

m. Ciri Kepribadian sebelumnya/ Gangguan kepribadian (untuk


axis II)
Keterangan : ( ) beri tanda (+) atau (-)

Kepribadian Gambaran Klinis


Emosi dingin (-), tidak acuh pada orang lain (-),
perasaan hangat atau lembut pada orang lain (-),
peduli terhadap pujian maupun kecaman (-), kurang
Skizoid teman (-), pemalu (-), sering melamun (-), kurang
tertarik untuk mengalami pengalaman seksual (-),
suka aktivitas yang dilakukan
sendiri ( - )
Merasa akan ditipu atau dirugikan (-), kewaspadaan
berlebihan(-), sikap berjaga-jaga atau
menutup-nutupi (-), tidak mau menerima kritik (-),
meragukan kesetiaan orang lain (-), secara intensif
Paranoid mencari- cari kesalahan dan bukti tentang
prasangkanya (-), perhatian yang berlebihan terhadap
motif-motif yang tersembunyi (-), cemburu
patologik (-), hipersensifitas (-), keterbatasan
kehidupan afektif ( - ).
Pikiran gaib (-), ideas of reference (-), isolasi sosial (-
Skizotipal ), ilusi berulang (- ), pembicaraan yang ganjil (-), bila
bertatap muka dengan orang lain tampak dingin atau
tidak acuh (-).

24
Ambisi berlebihan (-), optimis berlebihan (-),
aktivitas seksual yang berlebihan tanpa
menghiraukan akibat yang merugikan (-), melibatkan
dirinya secara berlebihan dalam aktivitas yang
menyenangkan tanpa menghiraukan kemungkinan
Siklotimik yang merugikan dirinya (-), melucu berlebihan (-),
kurangnya kebutuhan tidur (-), pesimis (-), putus asa
(-),insomnia (-), hipersomnia (-), kurang bersemangat
(-), rasa rendah diri(-), penurunan aktivitas (-), mudah
merasa sedih dan menangis (-), dan
lain-lain.
Dramatisasi (-), selalu berusaha menarik perhatian
bagi dirinya (-),mendambakan rangsangan aktivitas
Histrionik yang menggairahkan (-), bereaksi berlebihan
terhadap hal-hal sepele(-), egosentris (-), suka
menuntut (-),
dependen (-), dan lain-lain.
Merasa bangga berlebihan terhadap kehebatan
Narsisistik dirinya (-), preokupasi dengan fantasi tentang sukses,
kekuasaan dan kecantikan (-),ekshibisionisme (-),

membutuhkan perhatian dan pujian yang terus


menerus (-), hubungan interpersonal yang eksploitatif
(-), merasa marah, malu, terhina dan rendah diri bila
dikritik (-) dan lain-lain.
Tidak peduli dengan perasaan orang lain (-), sikap
yang amat tidak bertanggung jawab dan berlangsung
terus menerus (-), tidak mampu mengalami rasa
bersalah dan menarik manfaat dari pengalaman (-),
tidak peduli pada norma-norma, peraturan dan
kewajiban sosial (-), tidak mampu memelihara suatu
Dissosial
hubungan agar berlangsung lama (-), iritabilitas (-),
agresivitas (-), impulsif (-), sering berbohong (-),
sangat cendrung menyalahkan orang lain atau
menawarkan rasionalisasi yang masuk akal, untuk
perilaku yang membuat pasien konflik dengan
masyarakat (-)
Pola hubungan interpersonal yang mendalam dan
tidak stabil (-), kurangnya pengendalian terhadap
Ambang kemarahan (-), gangguan identitas (-), afek yang
tidak mantap (-) tidak tahan untuk berada sendirian
(-), tindakan mencederai diri sendiri (-), rasa bosan
kronik (-), dan lain-lain

25
Perasaan tegang dan takut yang pervasif (-), merasa
dirinya tidak mampu, tidak menarik atau lebih rendah
dari orang lain (-), kengganan untuk terlibat dengan
orang lain kecuali merasa yakin disukai (-),
Menghindar
preokupasi yang berlebihan terhadap kritik &
penolakan dalam situasi sosial (-), menghindari
aktivitas sosial atau pekerjaan yang banyak
melibatkan kontak interpersonal karena takut dikritik,
tidak didukung/ditolak (-)
Perasaan ragu-ragu yang hati-hati yang berlebihan
(-), preokupasi pada hal-hal yang rinci (details),
peraturan, daftar, urutan, organisasi dan jadwal (-),
perfeksionisme (-), ketelitian yang berlebihan (-),
kaku dan keras kepala (-), pengabdian yang
Anankastik
berlebihan terhadap pekerjaan sehingga
menyampingkan kesenangan dan nilai-nilai
hubungan interpersonal (-), pemaksaan yang
berlebihan agar orang lain mengikuti
persis caranya mengerjakan sesuatu (-), keterpakuan
yang berlebihan pada kebiasaan sosial (-) dan
lain-lain
Mengalami kesulitan untuk membuat keputusan
sehari-hari tanpa nasehat dan masukan dari orang lain
(-), membutuhkan orang lain untuk mengambil
tanggung jawab pada banyak hal dalam hidupnya
Dependen (-), perasaan tidak enak atau tidak berdaya apabila
sendirian, karena ketakutan yang dibesar-besarkan
tentang ketidakmampuan mengurus diri sendiri (-),
takut ditinggalkan oleh orang yang dekat dengannya
(-)

8. Stresor Psikososial (Axis IV)


Pertunangan (-), perkawinan (-), perceraian (-), kawin paksa (-), kawin lari
(-), kawin terpaksa (-),kawin gantung (-), kematian pasangan (- ), problem
punya anak (-), anak sakit (-), persoalan dengan anak (-), persoalan dengan
orang tua(-), persoalan dengan mertua (-), masalah dengan teman dekat
(-),masalah dengan atasan/ bawahan (-), mulai pertama kali bekerja (-),
masuk sekolah (-), pindah kerja (-), persiapan masuk pensiun (-), pensiun
(-), berhenti bekerja (-), masalah di sekolah (-), masalah jabatan/ kenaikan
pangkat (-), pindah rumah (-), pindah ke kota lain (-), transmigrasi (- ),
pencurian(-), perampokan (-), ancaman (-), keadaan ekonomi yang kurang
(-), memiliki hutang (-), usaha bangkrut (-), masalah warisan (-),
mengalami tuntutan hukum (-), masuk penjara (-), memasuki masa
pubertas(-), memasuki usia dewasa (-), menopause (-), mencapai usia 50
26
tahun (-), menderita penyakitfisik yang parah (-), kecelakaan (-),
pembedahan (-), abortus (-), hubungan yang buruk antar orang tua (-),
terdapatnya gangguan fisik atau mental dalam keluarga (-), cara
pendidikan anak yang berbeda oleh kedua orang tua atau kakek nenek (-),
sikap orang tua yang acuh tak acuh pada anak (-), sikap orang tua yang
kasar atau keras terhadap anak (+), campur tangan atau perhatian yang
lebih dari orang tua terhadap anak ( -), orang tua yang jarang berada di
rumah (-), terdapat istri lain (-), sikap atau kontrol yang tidak konsisten
(-), kontrol yang tidak cukup (-), kurang stimulasi kognitif dan sosial
(-),bencana alam (-), amukan masa (-), diskriminasi sosial (-), perkosaan
(+), tugas militer (-), kehamilan (-), melahirkan di luar perkawinan (-), dan
lain-lain.

9. Pernah sucide (+), Ide bunuh diri (+)


Riwayat percobaan bunuh diri ada pasien pernah menenggelamkan diri ke
laut namun tersadarkan dan segera mendapat pertolongan.

10. Riwayat Pelanggaran hukum


Tidak pernah ditangkap, tidak ada riwayat tindak kejahatan, tidak ada
riwayat tindak kekerasan, dan tidak ada riwayat skorsing.
11. Riwayat Agama
Pasien beragama Islam dan rajin beribadah

12. Persepsi dan Harapan Keluarga


Keluarga pasien tidak mengetahui kondisi penyakit pasien dan hanya
kakak pasien yang mengetahui kondisi pasien. Kakak pasien mendukung
dan berharap akan kesembuhan pasien.

13. Persepsi dan Harapan Pasien


Pasien ingin berdamai dengan keadaan

27
III. GRAFIK PERJALANAN PENYAKIT

2017 2018 2020 2023

IV. STATUS INTERNUS

● Keadaan Umum : Sakit sedang

● Kesadaran : Composmentis cooperatif

● Tekanan Darah : 110/90 mmHg

28
● Nadi : 90x/menit

● Nafas : 17x/menit

● Suhu : 36,7°C

● Tinggi Badan : 155 cm

● Berat Badan : 55 kg

● Status Gizi : Gizi baik

● Sistem Kardiovaskuler : Dalam batas normal

● Sistem Respiratorik : Dalam batas normal

● Kelainan Khusus : Tidak ditemukan

● Riwayat Alergi : Tidak ada

V. STATUS NEUROLOGIKUS

GCS : E4V5M6

Tanda ransangan meningeal : Tidak ada Tanda-tanda efek samping piramidal :


Tremor tangan : Tidak ada

Akatisia : Tidak ada

Bradikinesia : Tidak ada Tardive diskinesia : Tidak ada Cara


berjalan : Biasa
Keseimbangan : Baik

Rigiditas : Tidak ada

Kekuatan motorik : Baik Sensorik : Baik


Refleks : Bisep (++/++), trisep (++/++), KPR (++/++), APR
(++/++)

VI. STATUS MENTAL

A. Keadaan Umum

29
1. Kesadaran/ sensorium : compos mentis (+), somnolen (-), stupor (-),
kesadaran, berkabut (-), konfusi (+), koma (-), delirium (-), kesadaran
berubah (-), dan lain-lain
2. Penampilan
● Sikap tubuh: biasa (+), diam (-), aneh (-), sikap tegang (-), kaku
(-), gelisah (-), kelihatan seperti tua (-), kelihatan seperti muda (-),
berpakaian sesuai gender (+).
● Cara berpakaian : rapi (+), biasa (-),tak menentu (-), sesuai
dengan situasi (-), kotor (-), kesan (bisa mengurus diri)*
● Kesehatan fisik : sehat (+), pucat (-), lemas (-), apatis (-), telapak
tangan basah (-), dahi berkeringat (-), mata terbelalak (-).
3. Kontak psikis
Dapat dilakukan (+), tidak dapat dilakukan (-), wajar (+), kurang
wajar (-), sebentar (-), lama (+).

4. Sikap
● Kooperatif (+), penuh perhatian (-), berterus terang (-),
menggoda (-), bermusuhan (-), suka main-main (-), berusaha
supaya disayangi (-), selalu menghindar (-), berhati-hati (-),
dependen (-), infantil (-), curiga (-), pasif (-), dan lain-lain.
● Tingkah laku dan aktifitas psikomotor
● Cara berjalan : biasa (+), sempoyongan (-), kaku (-), dan
lain-lain Ekhopraksia (-), katalepsi (-), luapan katatonik (-), stupor
katatonik (-), rigiditas katatonik (-), posturing katatonik (-), cerea
flexibilitas (-), negativisme (-), katapleksi (-), stereotipik
(-), mannerisme (-),otomatisme(-), otomatisme perintah (-),
mutisme (-), agitasi psikomotor (-), hiperaktivitas/hiperkinesis (-),
tik (-), somnabulisme (-), akathisia (-), kompulsi(-), ataksia,
hipoaktivitas (-), mimikri (-), agresi (-), acting out (-), abulia (-),
tremor (-), ataksia (-), chorea (-), distonia (-), bradikinesia (-),
rigiditas otot (-), diskinesia (-), convulsi (-), seizure (-), piromania
(-), vagabondage (-).
Ket : ( ) diisi (+) atau (-)

30
B. Verbalisasi dan cara berbicara

1. Arus pembicaraan* : biasa, cepat, lambat


2. Produktivitas pembicaraan* : biasa, cepat, lambat
3. Perbendaharaan* : biasa, sedikit, banyak
4. Nada pembicaraan* : biasa, menurun, meninggi
5. Volume pembicaraan* : biasa, menurun, meninggi
6. Isi pembicaraan* : sesuai/ tidak sesuai
7. Penekanan pada pembicaraan*: Ada/ tidak
8. Spontanitas pembicaraan * : spontan/ tidak
9. Logorrhea ( - ), poverty of speech ( - ), diprosodi ( - ), disatria ( - ),
gagap (-), afasia (-), bicara kacau (-)

C. Emosi
Hidup emosi*: stabilitas (stabil/tidak), pengendalian (adekuat/tidak
adekuat), echt/unecht, dalam/dangkal, skala diffrensiasi (sempit/luas), arus
emosi (biasa/lambat/cepat).

1. Afek

Afek appropriate/ serasi (+), afek inappropriate/ tidak serasi(-), afek


tumpul (-), afek yang terbatas (-), afek datar (+), afek yang labil ( - ).

2. Mood

Mood eutimik (+), mood disforik (+), mood yang meluap-luap


(expansive mood) (-), mood yang iritabel (-), mood yang labil (swing
mood) (-), mood meninggi (elevated mood/ hipertim)(-),euforia (-),
ectasy (-), mood depresi (hipotim) (-), anhedonia (-), dukacita (-),
aleksitimia (-), elasi (-), hipomania (-), mania(-), melankolia(-), La
belle indifference (-), tidak ada harapan (-).

3. Emosi lainnya

Ansietas ( - ), free floating-anxiety(-), ketakutan (+) jika teringat


tentang peristiwa traumatik, agitasi ( - ), tension (ketegangan) (-),
panic (-), apati (-), ambivalensi (-), abreaksional (-), rasa malu (-), rasa
31
berdosa/ bersalah (-), kontrol impuls (-).

4. Gangguan fisiologis yang berhubungan dengan mood


Anoreksia ( - ), hiperfagia ( - ), insomnia (-), hipersomnia ( - ), variasi
diurnal (- ), penurunan libido ( - ), konstispasi (- ), fatigue ( - ), pica
(-), pseudocyesis ( - ), bulimia ( - ).

Keterangan : *)Coret yang tidak perlu, ( ) diisi (+) atau (-)

D. Pikiran/ Proses Pikir (Thinking)


1. Kecepatan proses pikir (biasa/cepat/lambat)
2. Mutu proses pikir (jelas/tajam)
3. Gangguan Umum dalam Bentuk Pikiran
Gangguan mental (-), psikosis (-), tes realitas (terganggu/tidak),
gangguan pikiran formal ( -), berpikir tidak logis (-), pikiran autistik
(+), dereisme (-), berpikir magis ( - ), proses berpikir primer (-).
4. Gangguan Spesifik dalam Bentuk Pikiran
Neologisme (-), word salad ( - ), sirkumstansialitas (-), tangensialitas
(-), inkohenrensia (-), perseverasi (-), verbigerasi (-), ekolalia (-),
kondensasi (-), jawaban yang tidak relevan (-), pengenduran asosiasi
(-), derailment (- ), flight of ideas ( - ), clang association ( - ), blocking
( - ), glossolalia ( -
5. Gangguan Spesifik dalam Isi Pikiran

● Kemiskinan isi pikiran (-), Gagasan yang berlebihan (-)


● Delusi/ waham
waham bizarre (-), waham tersistematisasi (-), waham yang
sejalan dengan mood (-), waham yang tidak sejalan dengan mood
(-), waham nihilistik (-), waham kemiskinan (-), waham somatik
(-), waham persekutorik (-), waham kebesaran (-), waham
kejar/curiga (-), waham referensi (-), delusion of influence (-),
thought of withdrawal (-), thought of broadcasting (-), thought of
insertion (-), thought of control (-), Waham cemburu/ waham
ketidaksetiaan (-), waham menyalahkan diri sendiri (-),
erotomania (-), pseudologia fantastika(-).

32
● Idea of reference ( - )
Preokupasi pikiran ( - ), egomania ( - ), hipokondria ( -), obsesi
(-), kompulsi ( - ), koprolalia ( - ), hipokondria ( - ), fobia (- )
noesis ( - ), unio mystica ( -)

E. Persepsi
1) Halusinasi

Non patologis: Halusinasi hipnagogik ( - ), halusinasi hipnopompik


(-), Halusinasi auditorik (-), halusinasi visual (-), halusinasi
olfaktorik(-), halusinasi gustatorik ( - ), halusinasi taktil (-), halusinasi
somatik ( - ), halusinasi liliput ( - ), halusinasi sejalan dengan mood ( -
), halusinasi yang tidak sejalan dengan mood ( - ), halusinosis ( - ),
sinestesia ( - ), halusinasi perintah (command halusination), trailing
phenomenon ( - ).

2) Ilusi (-)
3) Depersonalisasi ( - ), derealisasi ( - )

F. Mimpi dan Fantasi


Mimpi : Pasien sering bermimpi buruk Fantasi : -

G. Fungsi kognitif dan fungsi intelektual


1. Orientasi waktu (baik/terganggu), orientasi tempat (baik/ terganggu),
orientasi personal (baik/ terganggu), orientasi situasi (baik/ terganggu).
2. Atensi (perhatian) (+), distractibilty (-), inatensi selektif (-),
hipervigilance (-), dan lain-lain
3. Konsentrasi (baik/terganggu), kalkulasi (baik/terganggu)
4. Memori (daya ingat) : gangguan memori jangka lama/ remote (-),
gangguan memori jangka menengah/ recent past (-), gangguan memori
jangka pendek/ baru saja/ recent (-), gangguan memori segera/
immediate (-), amnesia (-), konfabulasi (-), paramnesia (-).
5. Luas pengetahuan umum: baik/ terganggu
6. Pikiran konkrit :baik/ terganggu/ sulit dinilai
7. Pikiran abstrak : baik/ terganggu/ sulit dinilai
8. Kemunduran intelek : (Ada/ tidak), Retardasi mental (-), demensia (-),
pseudodemensia (-).

33
VII. Judgement
VIII. Discriminative Insight*
Derajat I (penyangkalan) Derajat II (ambigu)
Derajat III (sadar, melemparkan kesalahan kepada orang/ hal lain) Derajat IV (
sadar, tidak mengetahui penyebab)
Derajat V (tilikan intelektual)
→ Derajat VI (tilikan emosional sesungguhnya)

IX. Discriminative Judgement


Judgement test : baik
Judgement sosial : baik

X. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK KHUSUS


LAINNYA

Tidak diperiksa

XI. PEMERIKSAAN OLEH PSIKOLOG/PETUGAS SOSIAL LAINNYA


(lampiran hasil penilaian di halaman belakang) Hasil tulisan dan gambar
dilampirkan pada halaman belakang

XII. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


Telah dilakukan pemeriksaan terhadap pasien Nn. RNF berusia 21 tahun. pasien
datang kontrol ke poliklinik Jiwa RSUP Dr. M. Djamil Padang. Riwayat pelecehan
seksual pada tahun 2017, pasien pertama kali mendapatkan pelecehan seksual oleh ayah
kandungnya sendiri. Pada tahun yang sama, pasien juga mendapatkan pelecehan seksual
oleh pamannya sendiri. Sejak saat itu pasien sering merasa cemas dan takut, serta
dibayang-banyangi oleh kejadian buruk yang dialami pasien tersebut. Pasien sering
memukul dan menampar wajah pasien sendiri. Pada tahun 2018, saat berusia 16 tahun,
pasien pertama kali berobat ke psikiater di RS Siti Aisyah, namun karena dokternya
adalah seorang laki-laki pasien merasa kurang nyaman dan memutuskan untuk tidak
melanjutkan pengobatan. Kemudian karena pelaku adalah orang terdekat yang sering
pasien temui dan terdapat masalah di keluarga membuat pasien merasa stress sehingga
melakukan hal-hal buruk seperti minum alkohol, merokok, dan meminum obat dengan
dosis yang tidak sesuai.
Ketika pasien mendengar berita pelecehan seksual di media social mengakibatkan
34
keluhan pasien bertambah parah dan beberapa kali mencoba menyakiti diri karena
merasa benci dengan diri sendiri. Hal tersebut membuat pasien kembali datang ke
psikiater di RS BMC pada tahun 2020. Setelah pasien menjalankan 3x pengobatan,
pasien dirujuk ke RSUP DR. M. Djamil Padang. Selama 3 bulan pasien rutin meminum
obat namun karena merasa sudah dapat mengontrol diri, pasien menghentikan
pengobatannya kembali karena tidak ingin bergantung ke obat. Sejak putus obat
tersebut, keluhan-keluhan pasien muncul kembali namun masih bisa diatasi sendiri.
Tahun 2023 tepatnya 10 juni, pasien melakukan percobaan bunuh diri dengan pergi ke
tengah laut dan mencoba meneggelamkan diri namun masih bisa diselamatkan dan
pasien dibawa oleh temannya ke IGD RSUP DR. M Djamil Padang. Karena ada
keinginan untuk keluar dari permasalahan dan ingin menggapai cita-citanya kembali,
akhirnya pasien kembali berobat ke bagian jiwa. hinga saat ini pasien rutin kontrol dan
minum obat teratur, pasien juga sudah merasa lebih baik dan bisa beraktivitas dengan
baik.

XIII. FORMULASI DIAGNOSIS


Diagnosis pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat perjalanan
penyakit dan pemeriksaan pada pasien, ditemukan adanya perubahan perilaku
secara klinis bermakna dan menimbulkan penderitaan dan hendaya (disability)
dalam fungsi keseharian, dengan demikian berdasarkan PPGDJ III dapat
disimpulkan bahwa pasien mengalami suatu gangguan jiwa, diperlukan
wawancara yang baik untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai gejala
yang bermakna, jangka waktu, awitan, episode dan perjalanan penyakitnya.

XIV. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL


Aksis I : F43.1 Gangguan Stress Pasca-Trauma
Aksis II : Tidak ada diagnosis
Aksis III : Tidak ada diagnosis
Aksis IV : Masalah primary support group
Aksis V : GAF 80-71

XV. DIAGNOSIS BANDING AXIS I


● F32.2 Gangguan depresi berat tanpa gejala psikotik F40.1 Fobia Sosial
● F51.0 Insomnia Non-organik

35
XVI. DAFTAR MASALAH
● Organobiologik
○ Riwayat trauma kepala tidak ada
○ Riwayat kejang tidak ada
○ Riwayat gangguan metabolik dan hormon tidak ada
● Psikologis
○ Tidak dapat tidur nyenyak, terbangun saat tidur dan dapat tidur
kembali, mimpi buruk saat tidur, tidur mengigau karena mendapat
pelecehan saat tidur mendekati waktu subuh.
○ Merasa dibayang-bayangi oleh kejadian buruk yang pernah dialami
saat mendapat pelecehan dan selalu cemas kejadian ini akan terulang.
○ Merasa cemas dalam bersosial, rendah diri, dan putus asa atas kondisi
yang dialami.
○ Pernah memiliki riwayat percobaan bunuh diri pada 10 Juni 2023 di
pantai Mandeh Pesisir Selatan .
● Lingkungan dan Psikososial
○ Riwayat pelecehan seksual oleh ayah kandung dan paman dari
keluarga ibu.
○ Pasien masih tinggal serumah dengan ayah.
○ Hubungan tidak akrab dengan ayah dan abang sejak kecil.
○ Sampai saat ini masalah masih di tutupi dari keluarga dan hanya
kakak perempuan yang mengetahui, sehingga belum ada dukungan
keluarga terhadap keadaan pasien.

XVII. PENATALAKSANAAN
A. Farmakoterapi
• Aripiprazol 10 mg 1x1 (malam)
• Merlopan 0.5 mg 2x½ tab (pagi)
• Kalxetin 20 mg 1x1 (pagi)
• Clobazam 10 mg 1x1 (malam)
• Vitamin B complex 2x1
• Lansoprazol 30mg 1x1

B. Non Farmakoterapi Terapi yang dianjurkan Psikoterapi kepada pasien


● Psikoterapi suportif
36
Memberikan dukungan, empati dan optimistik kepada pasien,
membantu pasien mengidentifikasi faktor pencetus dan membantu
mengarahkan memecahkan permasalahan.
● Psikoedukasi
Memberikan pengetahuan kepada pasien tentang gangguan
yang dialaminya, diharapkan pasien dapat secara efektif mengenali
gejala dan penyebab serta terapi yang dibutuhkannya untuk
menghindari kekambuhan atau terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan. Prolonged Exposure Therapy (PE) : Berusaha mengubah
pola pikir pasien terhadap kejadian traumatis yang dialami pasien
agar tidak menggangu fungsi menjalani kehidupan. Memberi
penjelasan pada pasien untuk dapat mengelola rasa cemas terhadap
munculnya stimulus yang menggangu hidup pasien dengan harapan
dapat meningkatkan kemampuan mengatasi masalah yang di
timbulkan dalam menjalani fungsi kehidupan.

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) : Terapi untuk


memfokuskan pengelolaan terhadap trauma dengan berimplementasi
pada kognitif dan emotional pressing pada pasien.

Psikoterapi kepada keluarga


● Psikoedukasi
Memberikan pengetahuan kepada keluarga mengenai penyakit
yang diderita pasien, terapi perilaku keluarga, dukungan, sosial,dan
perhatian dari keluarga kepada pasien dan terapi serta kepatuhan
minum obat pasien.

XVIII. PROGNOSIS
Quo et vitam : bonam
Quo et fungsionam : dubia adbonam
Quo et sanationam : dubia ad bonam

37
BAB IV
DISKUSI

Berdasasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,


dapat ditegakkan diagnosis pada pasien ini sesuai dengan Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, edisi ke III (PPDGJ-III) dan Diagnostic and
Statistic Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-V) sebagai Gangguan Stress Pasca
Trauma (F43.1) atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Pedoman diagnosis dari Gangguan Stress Pasca Trauma (F43.1) menurut
PPDGJIII adalah antara lain sebagai berikut:
a. Diagnosis gangguan ini baru ditegakkan apabila gangguan ini timbul dalam kurun
waktu 6 bulan setelah suatu peristiwa traumatik yang berat (masa laten yang berkisar
antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan.
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai
saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asalkan manifestasi
klinisnya khas dan tidak didapat alternatif lain yang memungkinkan dari gangguan
ini.
b. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang- bayang atau
mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang- ulang kembali
(flashbacks).
c. Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
d. Suatu “sequelae” menahun terlambat setelah suatu stress yang luat biasa.

Kriteria diagnostik Post Traumatic Disorder (PTSD) menurut DSM- V:Terpapar


pada kematian atau terancam kematian, cedera serius, atau pelanggaran seksual dengan
cara berikut:
1. Secara langsung mengalami peristiwa traumatis.
2. Menyaksikan langsung peristiwa yang terjadi pada orang lain
3. Mengetahui bahwa peristiwa tersebut terjadi pada anggota keluarga dekat atau
teman dekat. Dalam kasus kematian atau terancam kematian anggota keluarga
atau teman, peristiwa mengandung kekerasan ataupun unsur yang tidak disengaja.
4. Mengalami kejadian berulang terhadap detail peristiwa traumatis yang tidak
menyenangkan

38
Adanya satu (atau lebih) gangguan berikut yang berkaitan dengan adanya
peristiwa traumatis, dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi:
1. Ingatan berulang, tidak disengaja dan mengganggu dari peristiwa traumatis.
2. Mimpi yang menyedihkan yang berulang dimana isi atau pengaruhnya terkait
dengan peristiwa traumatis.
3. Reaksi disosiatif, dimana individu merasa atau bertindak seolah peristiwa
traumatis itu berulang.
4. Tekanan psikologis yang intens atau berkepanjangan saat terpapar isyarat internal
atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatis.
5. Reaksi fisiologis pada internal maupun eksternal yang melambangkan atau
menyerupai aspek peristiwa traumatis.
6. Penghindaran stimulus secara terus menerus yang terkait dengan peristiwa
traumatis setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh salah
satu atau kedua hal berikut:
● Menghindari ingatan, pikiran atau perasaan mengganggu tentang peristiwa
traumatis.
● Menghindari pengingat eksternal yang membangkitkan ingatan, pikiran,
atau perasaan yang menyedihkan tentang atau terkait erat dengan
peristiwa traumatis.
Perubahan negatif dalam kognisi dan suasana hati yang terkait dengan peristiwa
traumatis, yang dimulai atau memburuk setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana
dibuktikan oleh dua (atau lebih) hal berikut:
1. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari peristiwa traumatis
(biasanya karena amnesia disosiatif dan bukan karena faktor lain seperti cedera
kepala alcohol, atau obat-obatan).
2. Keyakinan atau ekspektasi negated yang terus menerus berlebihan tentang diri
sendiri, orang lain atau dunia.
3. istorsi kognitif persisten terhadap penyebab atau konsekuensi dari peristiwa
traumatis yang menyebabkan seorang individu untuk menyalahkan dirinya atau
orang lain.
4. Keadaan emosi negatif yang persisten.
5. Menurunnya minat dalam aktivitas penting.
6. Perasaan detachment atau estrangement dari orang lain
7. Kemampuan untuk mengalami emosi positif.

39
Perubahan yang ditandai arousal dan reaktivitas terkait dengan peristiwa
traumatis, yang dimulai atau memburuk setelah peristiwa traumatis terjadi sebagaimana
dibuktikan dua atau lebih dari berikut ini:
1. Perilaku mudah tersinggung dan ledakan amarah.
2. Perilaku ceroboh yang merusak diri.
3. Kewaspadaan berlebihan
4. Tanggapan yang berlebihan.
5. Masalah dengan konsentrasi.
6. Gangguan tidur (misalnya kesulitan untuk tidur ataupun gelisah)

● Lama gangguan (Kriteria B, C, D dan E) lebih dari 1 bulan.


● Gangguan tersebut menyebabkan gangguan pada fungsi sosial, pekerjaam ataupun
fungsi penting lainnya
● Gangguan tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat atau kondisi medis
lainnya.
Pada kasus ini pada pasien saat ini ditemukan gejala berupa pasien merasa
mengingat kembali kejadian traumatik yang dialaminya (flashback) dan berusaha
menghindari hal-hal yang berkaitan dengan kejadian trauma tersebut. Pada pasien ini
juga ditemukan penurunan mood dan afek berupa mood hipotim dan afek depresi, hilang
minat dan kegembiraan, dan merasa cemas saat bersosialisasi terutama jika berkaitan
dengan kejadian traumatik pasien. Gejala-gejala tersebut sudah dirasakan oleh pasien
selama lebih dari satu bulan, sehingga memastikan diagnosis pasien yaitu PTSD.
Pada pasien diberikan Aripiprazole, Merlopam, Kalxetin, vitamin B kompleks,
lansoprazol. Aripiprazole adalah obat golongan antipsikotik generasi dua (atipikal) yang
memiliki efek samping EPS yang lebih minimal dibandingkan dengan obat golongan
antipsikotik generasi pertama. Aripiprazole diberikan pada pasien ini sebagai terapi
adjuvant karena gejala depresi dan cemas pasien masih belum teratasi dengan baik
dengan pemberian obat ansiolitik dan antidepresan. Merlopam adalah obat golongan
benzodiazepin yang berfungsi mengobati perasaan cemas pada pasien. Kalxetin adalah
obat antidepresan golongan SSRI yang relatif lebih aman dan efektif dalam mengobati
depresi pada pasien dibandingkan dengan obat antidepresan golongan lainnya. Pemberian
vitamin B kompleks pada pasien ini bertujuan sebagai neuroprotektor karena pasien
sudah mendapat obat-obatan psikofarmaka dalam jangka waktu yang lama, sehingga
mengurangi risiko kerusakan saraf pada pasien.
40
Terapi non farmakologis memegang peranan yang juga penting pada pasien ini.
Jenis terapi non farmakologis yang bisa dilakukan terhadap pasien ini adalah terapi
desensitisasi Terapi tersebut dilakukan dengan cara mengupayakan interaksi pasien
dengan objek yang ditakuti yaitu pria dalam suatu kegiatan berkelompok sambil
didampingi agar pasien menjadi terbiasa dengan keberadaan laki-laki dan tidak merasa
takut berinteraksi dengan laki-laki. Selain itu, dapat dilakukan terapi kognitif perilaku
(CBT) untuk membantu pasien dengan cara mengajarkan teknik relaksasi ketika pasien
merasa cemas, trauma, dan depresi ketika menghadapi hal yang berkaitan dengan
kejadian traumatik yang dialami pasien.
Psikoterapi merupakan lini pertama penatalaksanaan untuk PTSD dan psikoterapi
yang dianjurkan berupa Cognitive-Behavioral Therapy (CBT), Cognitive Processing
Therapy (CPT) dan Prolonged Exposure Therapy (PE). CBT juga merupakan sebuah
terapi yang terfokus pada trauma yang didasari oleh teori kognitif sosial dan juga teori
emotional processing.
CPT berasumsi bahwa setelah mengalami peristiwa traumatik, orang tersebut
akan mencoba untuk mengerti apa yang terjadi, yang seringkali akan berakhir pada
pengartian yang terdistorsi tentang dirinya sendiri, dunia, dan orang sekitarnya. CPT
bertujuan untuk mengalihkan keyakinan keyakinan korban kepada accommodation dan
membantu pasien untuk mengidentifikasi keyakinan- keyakinan assimilation dan
over-accommodation dan belajar untuk memperoleh keterampilan untuk menantang
keyakinan-keyakinan tersebut melalui latihan yang dilakukan setiap hari. CPT berisi dua
belas sesi yang dilakukan satu kali per minggu, yang bisa dilakukan secara individu atau
dalam kelompok.
PE didasari oleh teori emotional processing, yang menyatakan bahwa peristiwa
traumatik tidak diproses secara emosional pada waktu peristiwa itu terjadi. Teori ini juga
menyatakan bahwa rasa takut direpresentasikan di dalam memori sebagai struktur
kognitif yang mencakup representasi dari stimulus rasa takut tersebut, respons rasa takut,
dan arti yang berkaitan dengan stimulus dan respons terhadap stimulus tersebut. PE
bertujuan untuk mengubah struktur ketakutan sehingga tidak lagi menjadi masalah. Dua
hal yang harus terjadi saat PE adalah teraktivasinya struktur ketakutan dan informasi
yang tidak sesuai dengan informasi yang keliru pada struktur ketakutan harus
dimasukkan ke dalam struktur. PE juga mencakup psikoedukasi yang mengajarkan pasien
mengenai PTSD, reaksi umum terhadap trauma, pelatihan nafas dan dua tipe paparan (in
vivo dan imajiner). Paparan in vivo membantu pasien untuk menghadapi situasi, tempat

41
atau orang yang dihindari karena respons rasa takut akibat peristiwa traumatis. Paparan
imajiner membantu pasien untuk menghadapi ingatan, pikiran dan emosi seputar
peristiwa traumatis yang selama ini dihindari. PE ini biasanya selesai dalam delapan
hingga lima belas sesi.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Wardhani YF, Lestari W. Gangguan Stres Pasca Trauma pada Korban Pelecehan
Seksual dan Perkosaan. J Masyarakat, Kebud dan Polit Univ Airlangga.
2007;20(4):293–302.
2. Aprily NM, Insani SM, Merliana A. Analisis Kecemasan Post Traumatic Strss
Disorder (PTSD) pada Peserta Didik Pasca Pandemi Covid-19. J PAUD
Agapedia. 2022;6(2):221–7.
3. Imaduddin R. Post traumatic stress disorder pada korban bencana. J Ilm Kesehat
Sandi Husada [Internet]. 2019;10(2):178–82. Available from: https://akper-
sandikarsa.e-journal.id/JIKSH
4. Erlin F, Sari IY. Gejala PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) Akibat Bencana
Banjir Pada Masyarakat Kelurahan Meranti Rumbai Pesisir Pekanbaru. Din
Lingkung Indones. 2020;7(1):16–21.
5. Bryan CJ. Treating PTSD Within the Context of Heightened Suicide Risk. Curr
Psychiatry Rep. 2016 Aug;18(8):73.
6. Gradus JL, Qin P, Lincoln AK, Miller M, Lawler E, Sørensen HT, et al.
Posttraumatic stress disorder and completed suicide. Am J Epidemiol. 2010
Mar;171(6):721–7.
7. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences / Clinical Psychiatry. 11th Edition. Lippincott Wiliams & Wilkins. USA:
A Wolter Kluwer Company; 2014.
8. Santiago PN, Ursano RJ, Gray CL, Pynoos RS, Spiegel D, Lewis-Fernandez R, et
al. A Systematic Review of PTSD Prevalence and Trajectories in DSM- 5
Defined Trauma Exposed Populations: Intentional and Non-Intentional Traumatic
Events. PLoS One. 2013;8(4):1–5.
9. Suprataba, Saleh A, Tahir T. Penatalaksanaan Psikologis Pada Penderita Post
Traumatic Stress Disorder. J Ilmu Keperawatan Jiwa. 2021;4(1):9–20.
10. Lancaster CL, Teeters JB, Gros DF, Back SE. Posttraumatic Stress Disorder:
Overview of Evidence-Based Assessment and Treatment. Journal of Clinical
Medicine. 2016; 5(11):105.
11. Irawan PDS, Soetjiningsih, Windiani IT, Adnyana IGAS, Ardjana IE. Skrining
Stres Pascatrauma pada Remaja dengan Menggunakan Post Traumatic Stress
Disorder Reaction Index. Sari Pediatr. 2016;17(6):441–5.
12. Guillén-Burgos HF, Gutiérrez-Ruiz K. Genetic Advances in Post-traumatic Stress
Disorder. Avances genéticos en el trastorno por estrés postraumático. Rev Colomb
Psiquiatr (Engl Ed). 2018;47(2):108-118.
13. Hori H, Kim Y. Inflammation and post-traumatic stress disorder. Psychiatry Clin
Neurosci. 2019;73(4):143–53.
14. Qi W, Gevonden M, Shalev A. Prevention of Post-Traumatic Stress Disorder
After Trauma: Current Evidence and Future Directions. Curr Psychiatry Rep.
2016;18(2):1–11.
15. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM
5. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2013.

43
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tulisan Tangan Pasien

44
Lampiran 2. Gambar Pasien

45

Anda mungkin juga menyukai