Anda di halaman 1dari 39

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT &

FAKULTAS KEDOKTERAN LAPORAN KASUS


UNIVERSITAS HASANUDDIN MARET 2019

REFERAT : POST TRAUMATIC STRESS DISORDER


LAPORAN KASUS : GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR EPISODE
KINI MANIK DENGAN GEJALA PSIKOTIK

Oleh:
Pahista Pamberiaski
C014182145

Residen Pembimbing:
dr. Veraferial M.

Pembimbing Supervisor:
dr. Ifa Tunisyah, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Pahista Pamberiaski


NIM : C014182145
Judul Referat : Post Traumatic Stress Disorder
Judul Laporan Kasus : Gangguan Afektif Bipolar Episode Kini Manik
dengan Gejala Psikotik

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 15 Maret 2019

Mengetahui,

Pembimbing Supervisor Residen Pembimbing

dr. Ifa Tunisyah, Sp.KJ dr. Veraferial M.


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul “Post

Traumatic Stress Disorder” dan laporan kasus yang berjudul “Gangguan Afektif

Bipolar Episode Kini Manik dengan Gejala Psikotik” Referat dan Laporan kasus ini di

susun untuk melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin tahun 2019.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ifa Tunisyah, Sp.KJ dan dr.

Veraferial M, Semua yang telah membimbing dan membantu penulis dalam

melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun referat ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat

ini. Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata

penulis berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua pihak yang

ingin mengetahui tentang “Gangguan Kepribadian Paranoid, Skizoid, dan Anankastik”

Makassar, 15 Maret 2019

Penulis,
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1

PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3

2.1 DEFINISI ............................................................................................................. 3

2.2 EPIDEMIOLOGI DAN INSIDENSI .................................................................. .4

2.3 ETIOLOGI ........................................................................................................... 5

2.4 MANIFESTASI KLINIS ..................................................................................... 9

2.5 KRITERIA DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING ................................. 9

2.6 PENATALAKSANAAN ................................................................................... 14

2.7 PROGNOSIS ...................................................................................................... 17

KESIMPULAN .......................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 23

LAPORAN KASUS ................................................................................................... 23

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Kejadian traumatik merupakan peristiwa kehidupan yang dapat

mengenai setiap orang. Dalam setiap kejadian traumatik yang terjadi, selalu

ada implikasi kesehatan jiwa ,baik dalam kasus akibat bencana alam,

misalnya gempa bumi, tsunami, angin ribut, atau pada bencana yang

diakibatkan oleh manusia, misalnya perang, serangan teroris, kekerasan

interpersonal. Dampak dari kejadian traumatik yang dialami oleh setiap

orang tidaklah sama. Kejadian traumatik yang dialami bila tidak dapat

diatasi dengan baik dapat menimbulkan suatu kumpulan gejala yang

berkaitan dengan kecemasan, kompleksitas gangguan kecemasan ini

dikenal sebagai gangguan stres pasca trauma (Posttraumatic Stress

Disorder/ PTSD).

Menurut National Center for PTSD, lima juta anak di Amerika

Serikat terpapar dengan kejadian traumatik setiap tahunnya dan 36% di

antaranya mengalami gangguan stress pasca trauma. Menurut Stephen,

et al. (2005), semakin muda usia anak yang mengalami trauma semakin

besar kemungkinan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma.

Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Menurut

data dari klinik psikiatri RSCM/FKUI yang difungsikan sebagai Pusat

Rujukan nasional untuk pengobatan psikis bagi korban bencana melihat

makin tingginya angka kejadian bencana yang terjadi di Tanah Air

belakangan ini. Kondisi itu membuat prevalensi penderita gangguan stres

1
pasca trauma meningkat. Salah satu bencana alam yang terbesar yakni,

tsunami di Aceh yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 dan

mengakibatkan sekitar 165.708 korban jiwa meninggal. Kejadian ini

menyisakan duka yang mendalam akibat ditinggalkan keluarga yang

dicintainya.

Oleh karena semakin meningkatnya angka kejadian gangguan stress

pasca trauma tiap tahunnya, baik yang disebabkan oleh bencana alam

maupun bencana yang diakibatkan oleh manusia, misalnya kekerasan maka

gangguan stres pasca trauma merupakan suatu topik permasalahan yang

harus diperhatikan. Identifikasi trauma yang berisiko menjadi gangguan

stress pasca trauma merupakan komponen yang penting dalam mencegah

terjadinya gangguan mental ini.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Gangguan stress pascatrauma merupakan sindrom kecemasan,


labilitas otonomik, dan mengalami kilas balik dari pengalaman yang
amat pedih setelah stres fisik maupun emosi ynag melampaui batas
ketahanan orang biasa. Selain itu, gangguan stress pascatrauma (PTSD)
dapat pula didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan
mental secara ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar,
atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang
mengancam kehidupannya7. Gangguan stress pasca trauma adalah reaksi
kuat,memanjang dan tertunda terhadap suatu peristiwa yang luar biasa
sehingga seseorang menderita stress atau kehilangan yang berat.

National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan


gangguan stress pasca trauma (PTSD) sebagai gangguan berupa
kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang
mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa
berupa serangan kekekerasan, bencana alam yang menimpa manusia,
kecelakaan ataupun perang. Dalam Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders, (DSM-V-TR), PTSD didefinisikan sebagai
suatu kejadian atau beberapa kejadian trauma yang dialami atau
disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau
ancaman kematian, atau cidera serius, atau ancaman terhadap integritas
fisik atas diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan
ynag ekstrem, horror, atau rasa tidak berdaya. Menurut Departemen
Kesehatan RI (Depkes RI) gangguan stress pasca trauma merupakan
reaksi dari individu terhadap kejadian yang luar biasa akibat dari

3
pengalaman seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan
luar biasa, jauh dari pengalaman yang normal bagi seseorang.8

2.2 EPIDEMIOLOGI DAN INSIDENSI

Insidensi Post Trauma Stress Disorder (PTSD) diperkirakan 9


sampai 15 persen. Sedangkan prevalensinya di populasi umum adalah 8
persen. Pada populasi yang mengalami resiko besar menghadapi
pengalaman traumatis prevalensinya dapat mencapai 75%. Wanita lebih
sering mengalami PTSD dibanding pria. PTSD bisa timbul pada usia kapan
saja namun lebih sering pada usia dewasa muda. Pada umumnya, trauma
pada pria berhubungan dengan peperangan sedangkan pada wanita sering
disebabkan oleh tindakan pemerkosaan.Gangguan ini lebih sering terjadi
pada orang yang masih lajang, telah bercerai, orang yang menarik diri secara
sosial atau orang dengan kelas sosioekonomi yang rendah. Pasien PTSD
umumnya memiliki tingkat komorbiditas yang tinggi. Sekitar 2/3 pasien
memiliki paling tidak 2 gangguan lainnya bersamaan.

2.3 ETIOLOGI

Seseorang dapat mengalami PTSD adalah akibat respon

terhadap suatu trauma yang ekstrem atau sebuah kejadian yang mengerikan

yang seseorang alami, saksikan, atau dipelajari, terutama yang mengancam

hidup atau yang menyebabkan penderitaan fisik. Pengalaman tersebut menyebabkan

seseorang merasakan takut yang sangat kuat, atau perasaan tidak berdaya.

1. Stressor

Stressor yang menyebabkan stress akut dan PTSD cukup hebat

untuk mempengaruhi setiap orang. Stressor tersebut dapat timbul

dari pengalaman perang, penyiksaan, bencana alam, penyerangan,

4
perkosaan, dan kecelakaan serius. Meskipun demikian, tidak semua

orang mengalami gangguan ini setelah peristiwa traumatik. Klinisi

harus mempertimbangkan faktor psikososial dan biologis yang

sebelumnya ada dan peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudah

trauma. Contohnya, seorang anggota suatu kelompokyang bertahan

hidup pada bencana kadang-kadang dapat menangani trauma

karena anggota yang lainnya juga mengalami pengalaman yang

sama. Arti subjektif suatu stressor pada seseorang juga penting.

Contohnya, orang yang selamat dari bencana dapat mengalami rasa

bersalah yang dapat menjadi predisposisi atau memperberat PTSD.

2. Faktor Risiko

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahkan ketika

mengalami trauma yang hebat, sebagian besar orang tidak

mengalami gejala PTSD. National Comorbidity Study

menemukan bahwa 60% laki-laki dan 50% perempuan

mengalami sejumlah trauma yang signifikan tetapi prevalensi

PTSD yang dilaporkan hanya 6,7%. Demikian juga peristiwa

yang mungkin tampak biasa atau kurang dianggap sebagai

bencana besar bagi sebagian orang dapat menimbulkan PTSD

pada sejumlah orang lainnya.

Adapun faktor risiko yang berperan antara lain :

o Biologis

- Kerentanan genetik.

5
- Kepribadian “borderline”, paranoid,dependent atau

antisosial.

- Perempuan

o Psikososial

- Kejadian traumatis sebelumnya (terutama saat anak-

anak).

- Perubahan hidup penuh stress yang baruterjadi.

- Sistem pendukung yang tidak adekuat(Dukungan

keluarga atau kelompok yang kurang).

- Konsumsi alkohol yang berlebihan.

3. Faktor Psikodinamik

Model psikoanalitik gangguan ini menghipotesiskan bahwa trauma

mengaktifkan kembali konflik psikologis yang sebelumnya tenang

tetapi tidak terselesaikan. Penghidupan kembali trauma masa

kanak-kanak dapat menimbulkan regresi, penyangkalan, reaction

formation, dan undoing. Konflik yang sebelumnya telah ada secara

simbolis dibangkitkan kembali oleh traumatik yang baru.

4. Faktor Perilaku Kognitif

Model kognitif PTSD menyatakan bahwa orang yang

mengalaminya tidak mampu memproses dan merasionalisasikan

trauma yang mencetuskan gangguan ini. Mereka terus mengalami

stress dan berupaya menghindari hal tersebut dengan teknik

penghindaran.

6
Model perilaku PTSD menekankan ada 2 fase, yang pertama adalah

trauma yang menimbulkan respon takut dengan stimulus yang

dipelajari. Yang kedua adalah melalui pembelajaran instrumental

melalui stimulus yang tidak dipelajari.

5. Faktor Biologis
1. Sistem Noradrenergik

Pada PTSD menunjukkan gejala gugup, peingkatan

tekanan darah, dan denyut jantung, palpitasi, berkeringat,

rona merah diwajah, dan tremor. Gejala-gejala tersebut

berkaitan dengan gejala adrenergik. Sejumlah studi

menemukan peningkatan konsentrasi epinefrin urin 24 jam

pada tetara veteran dengan PTSD dan peningkatan

konsentrasi katekolamin urin pada anak perempuan yang

mengalami penyiksaan seksual.

2. Sistem Opioid

Pada PTSD ditemukan adanya abnormalitas sistem opioid

yaitu penurunan konsentrasi β-endorfin plasma.

3. Faktor Pelepas Kortikotropin dan Aksis Hipotalamus-

Hipofisis-Adrenal (HPA) Sejumlah studi menunjukkan

konsentrasi kortisol bebas yang rendah di dalam plasma dan

urin pada PTSD. Terdapat peningkatan reseptor

glukokortikoid pada limfosit dan faktor pelepas

kortikotropin eksogen yang menunjukkan respon hormon

7
adreno-kortikotropin yang tumpul. Selain itu, supresi

kortisol meningkat pada PTSD, hal ini menunjukkan hiper

regulasi aksis HPA pada PTSD. Sejumlah studi juga telah

menemukan terjadinya hipersupresi kortisol pada pasien

yang terpajan trauma dan mengalami PTSD dibandingkan

pasien yang terpajan trauma tapi tidak mengalami PTSD

sehinggga mungkin hipersupresi ini secara spesifik

berkaitan dengan PTSD bukan hanya dengan trauma.

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Gangguan-gangguan ini dapat dianggap sebagai respon maladaptive


terhadap stress berat atau stress berkelanjutan dimana mekanisme
penyesuaian tidak berhasil mengatasi sehingga menimbulkan masalah
dalam fungsi sosialnya. Gangguan ini terjadi berminggu-
minggu/berbulan- bulan setelah kejadian,awitan biasanya dalam 6 bulan.

3 Kelompok utama gejala (tidak ada sebelum pajanan) :

1. Hyperarousal ( ransangan yang berlebihan)

a. Ansietas yang menetap

b. Kewaspadaan yang berlebihan

c. Konsentrasi buruk

d. Insomnia

2. Intrusions (pengacauan)

a. Kilasan balik

b. Mimpi buruk

8
c. Ingatan yang hidup

3. Avoiance (penghindaran)

a. Menghindari hal-hal yang mengingatkan

b. Ketidakmampuan mengingat beberapa bagian dari kejadian

c. Minat yang rendah terhadap kehidupan sehari-hari

2.5 KRITERIA DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada

bukti bahwa timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik

yang luar biasa berat. Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan

apabila tertundanya waktu antara terjadinya peristiwa dan onset melebihi

waktu lebih dari 6 bulan, asalkan manifestasi klinisnya khas dan tidak

didapatkan alternative lain yang memungkinkan dari gangguan ini.

Sebagai tambahan, bukti adanya trauma, harus selalu ada dalam ingatan,

bayangan atau mimpi mengenai peristiwa tersebut secara berulang-ulang.

Seringkali terjadi penarikan diri secara emosional, penumpulan perasaan,

dan penghindaran terhadap stimulus yang mungkin akan mengingatkan

kembali akan traumanya, akan tetapi hal ini tidak esensial untuk

diagnosis. Gangguan otonomik, gangguan suasana perasaan dan kelainan

perilaku semuanya ,mempengaruhi diagnosis tapi bukan merupakan hal

yang terlalu penting.

Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III:

a. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun

9
waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang

berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jangan sampai

melampaui 6 bulan).Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan

apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan

melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan

tidak terdapat alternative kategori gangguan lainnya.

b. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus dibedakan baying-bayang

atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-

ulang kembali (flashbacks)

c. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku

semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.

d. Suatu “sequelae” manahun yang terjadi lambat setelah stress yang

luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma,

diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang

berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).

Kriteria Diagnostik menurut DSM – V :

A. Paparan kematian aktual atau terancam, cedera serius, atau pelanggaran

seksual dalam satu (atau lebih) cara berikut:

1. Langsung mengalami peristiwa traumatis

2. Menyaksikan, secara langsung, peristiwa yang terjadi pada orang

lain.

3. Mengetahui bahwa peristiwa itu terjadi pada anggota keluarga dekat

atau teman dekat. Catatan: Dalam kasus kematian aktual atau

10
ancaman kematian anggota keluarga teman, peristiwa itu haruslah

kekerasan atau tidak sengaja.

4. Mengalami paparan berulang atau ekstrem terhadap detail

permusuhan dari peristiwa traumatis (mis., Responden pertama

mengumpulkan jenazah manusia, petugas polisi berulang kali

terpapar dengan detail pelecehan anak).

B. Keberadaan satu (atau lebih) gejala yang terkait dengan peristiwa traumatis,

dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi:

1. Ingatan berulang, tidak disengaja, dan mengganggu dari peristiwa

traumatis.

2. Mimpi buruk yang menyiksa di mana konten atau pengaruhnya

terhadap mimpi terkait dengan kejadian traumatis.

3. Reaksi disosiatif, misalnya di mana individu merasa atau bertindak

seolah-olah peristiwa traumatis berulang. (Reaksi semacam itu dapat

terjadi pada sebuah kontinum, dengan ekspresi paling ekstrem

menjadi hilangnya kesadaran akan lingkungan sekitar.)

4. Tekanan psikologis yang intens atau berkepanjangan saat terpapar

isyarat internal atau eksternal yang melambangkan atau menyerupai

aspek peristiwa traumatik.

5. Reaksi fisiologis yang ditandai dengan isyarat internal atau eksternal

yang melambangkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatis.

11
C. Menghindari rangsangan terus-menerus yang terkait dengan peristiwa

traumatis, dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana

dibuktikan oleh satu atau kedua hal berikut:

1. Penghindaran atau upaya untuk menghindari ingatan, pikiran, atau

perasaan yang menyusahkan tentang atau yang berkaitan erat

dengan peristiwa traumatis.

2. Penghindaran atau upaya untuk menghindari pengingat eksternal

(orang, tempat, percakapan, kegiatan, objek, situasi) yang

membangkitkan ingatan, pikiran, atau perasaan yang menyusahkan

atau terkait erat dengan peristiwa traumatis.

D. Perubahan negatif dalam kognisi dan suasana hati yang terkait dengan

peristiwa traumatis, dimulai atau diperburuk setelah peristiwa traumatis

terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh dua (atau lebih) dari kondisi berikut

ini:

1. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari kejadian traumatis

(biasanya karena amnesia disosiatif dan tidak pada faktor lain seperti

cedera kepala, alkohol, atau obat-obatan terlarang).

2. Keyakinan atau harapan yang negatif berlebihan tentang diri sendiri,

orang lain, atau dunia (misalnya, “Saya buruk”, “Tidak ada yang bisa

dipercaya”, “Dunia benar-benar berbahaya”, “Seluruh sistem saraf saya

hancur secara permanen”).

3. Kognisi yang terus-menerus dan menyimpang tentang penyebab atau

konsekuensi dari kejadian traumatis yang menyebabkan individu

menyalahkan dirinya sendiri atau orang lain.

12
4. Keadaan emosional negatif yang terus-menerus (misalnya ketakutan,

ngeri, marah, bersalah, atau malu).

5. Terlihat berkurang minat atau partisipasi dalam aktivitas signifikan.

6. Memisahkan diri atau mengasingkan diri dari orang lain.

7. Ketidakmampuan terus-menerus untuk mengalami emosi positif

(misalnya, ketidakmampuan untuk mengalami kebahagiaan, kepuasan,

atau perasaan cinta).

E. Perubahan yang ditandai dalam gairah dan reaktivitas yang terkait dengan

kejadian traumatis, dimulai atau diperburuk setelah peristiwa traumatis

terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh dua (atau lebih) dari berikut ini:

1. Perilaku yang mudah marah dan mudah tersulut emosinya (dengan

sedikit atau tanpa provokasi) biasanya dinyatakan sebagai agresi verbal

atau fisik terhadap orang atau objek.

2. Perilaku ceroboh atau merusak diri sendiri.

3. Selalu waspada (hypervigilance).

4. Respons mengejutkan berlebihan.

5. Masalah dengan konsentrasi.

6. Gangguan tidur (misalnya, sulit mengantuk atau tertidurdengan

nyenyak)

F. Durasi gangguan (Kriteria B, C, D, dan E) lebih dari 1 bulan.

G. Gangguan tersebut menyebabkan tekanan atau kerusakan klinis yang

signifikan secara sosial, pekerjaan, atau bidang fungsi penting lainnya.

13
H. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (mis., Obat-

obatan, alkohol) atau kondisi medis lainnya.

2.6 PENATALAKSANAAN

Pendekatan terapi pada PTSD adalah dukungan, dorongan untuk

mendiskusikan peristiwa tersebut, dan edukasi mengenai mekanisme

koping (contohnya relaksasi). Penggunaan obat hipnotik-sedatif juga dapat

membantu. Ketika pasien mengalami peristiwa traumatik masa lalu dan

sekarang memiliki PTSD, penekanan harus pada edukasi mengenai

gangguan dan terapinya baik farmakologis maupun psikoterapinya.

1. Farmakoterapi

Obat yang biasanya digunakan untuk membantu penderita PTSD

meliputi (SSRI), seperti fluoxetine (Prozac), sertraline (Zoloft), dan

paroxetine (Paxil), dan obat-obatan yang membantu mengurangi gejala fisik

yang terkait dengan penyakit, seperti prazosin (Minipress) , clonidine

(Catapres), guanfacine (TENEX), dan propranolol .

Individu dengan PTSD sangat kecil kemungkinannya untuk mengalami

kambuh penyakit mereka jika pengobatan antidepresan dilanjutkan setidaknya

selama setahun.

SSRI adalah kelompok pertama dari obat-obat yang telah menerima

persetujuan oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan

PTSD. SSRI cenderung membantu penderita PTSD mengubah informasi

yang diambil dari lingkungan (rangsangan) dan untuk mengurangi rasa takut.

Penelitian juga menunjukkan bahwa kelompok obat-obatan cenderung

mengurangi kecemasan, depresi, dan panik. SSRI juga dapat membantu

14
mengurangi agresi, impulsif, dan pikiran bunuh diri yang dapat dikaitkan

dengan gangguan ini. Untuk PTSD yang terkait dengan perkelahian, ada

semakin banyak bukti bahwa prazosin dapat sangat membantu. Meskipun obat

lain seperti duloxetine (Cymbalta), bupropion (Wellbutrin), dan venlafaxine

(Effexor) kadang- kadang digunakan untuk mengobati PTSD, ada sedikit

penelitian yang telah mempelajari efektivitas mereka dalam mengobati

penyakit ini.

2. Psikoterapi
Intervensi psikoterapi PTSD mencakup terapi perilaku, terapi kognitif, dan

hipnosis.Banyak klinis menyarankan psikoterapi dengan waktu terbatas pada

korban trauma. Terapi seperti ini memerlukan pendekatan kognitif,

memberikan dukungan, dan rasa aman. Sifat psikoterapi jangka pendek

dapat meminimalkan resiko ketergantungan dan menjadi kronis. Terapis

harus menghadapi penyangkalan pasien mengenai peristiwa traumatik

sehingga terapis menyarankan mereka bersantai dan menjauhkan mereka

dari sumber stress. Pasien harus disarankan tidur, menggunakan obat jika

perlu. Dukungan dari orang sekitar harus diberikan. Pasien harus diminta

mengingat kembali dan melakukan abreaksi (mengalami emosi yang berkaitan

dengan suatu peristiwa yang dapat membantu pasien) perasaan emosional yang

berkaitan dengan peristiwa traumatik dan merencanakan pemulihan masa

mendatang. Ketika timbul PTSD, ada 2 pendekatan psikoterapik utama, yang

pertama adalah teknik membayangkan terhadap peristiwa tersebut. Pajanan ini

bertahap seperti pada desensitisasi sistematik. Pendekatan kedua adalah

mengajari pasien metode penatalaksaanaan stress termasuk teknik relaksasi

15
dan pendekatan kognitif untuk menghadapi strss. Sejumlah data menunjukkan

bahwa penatalaksanaan stress lebih cepat daripada teknik pemajanan. Akan

tetapi, hasil teknik pemajanan lebih bertahan lama.

Terapi psikoterapi yang relatif baru dan kontroversial adalah Eye

Movement Desensitization and Reprocessing disini pasien berfokus pada

gerakan lateral jari klinisi sambil mempertahankan bayangan mental tentang

pengalaman trauma. Keyakinan umum adalah bahwa gejala dapat dipulihkan

jika pasien mengingat peristiwa traumatik sambil berada dalam keadaan

relaksasi dalam.Disamping teknik terapi individu, terapi kelompok dan

keluarga sering dilaporkan efektif pada kasus PTSD.

Eye-movement desensitization and reprocessing (EMDR) adalah bentuk

terapi kognitif di mana panduan praktisi orang dengan PTSD dalam berbicara

tentang trauma yang diderita dan perasaan negatif yang terkait dengan

peristiwa, sambil memfokuskan pada jari profesional bergerak cepat.

Sementara beberapa penelitian menunjukkan pengobatan ini mungkin efektif,

tidak jelas apakah ini adalah setiap lebih efektif daripada terapi kognitif yang

dilakukan tanpa menggunakan gerakan mata yang cepat.

Keluarga individu PTSD, serta penderita, dapat mengambil manfaat dari

konseling keluarga, konseling pasangan, orang tua kelas, dan resolusi konflik

pendidikan. Anggota keluarga juga mungkin dapat memberikan sejarah yang

relevan tentang dicintai mereka satu (misalnya, tentang emosi dan perilaku,

penyalahgunaan narkoba , kebiasaan tidur, dan sosialisasi) bahwa orang

dengan penyakit tidak mampu atau tidak ingin berbagi.

16
Langsung menangani masalah tidur yang dapat menjadi bagian dari PTSD

telah ditemukan tidak hanya membantu meringankan masalah tersebut tetapi

dengan demikian membantu mengurangi gejala PTSD pada umumnya. Secara

khusus, melatih cara-cara adaptif mengatasi mimpi buruk (terapi latihan),

pelatihan dalam teknik relaksasi, self-talk positif, dan skrining untuk masalah

tidur lainnya telah ditemukan untuk menjadi sangat membantu dalam

mengurangi masalah tidur yang terkait dengan PTSD.

2.7 PROGNOSIS

Kira-kira 30% pasien pulih dengan sempurna,40% terus menderita


gejala ringan,20% terus menderita gejala sedang,dan 10% tidak berubah atau
memburuk.Umumnya orang yang sangat muda atau sangat tua lebih
mengalami kesulitan.

Prognosis yang baik dapat dicapai bila kondisi PTSD muncul dalam
waktu singkat, durasinya singkat, fungsi premorbid yang baik, dukungan
social yang baik dan tidak adanya kondisi komorbid atau
penyalahgunaan zat.

17
BAB III

KESIMPULAN

Post traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan


yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau
disaksikan oleh seseorang baik acaman kematian, kematian, cidera fisik
yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya
hingga berdampak mengganggu kualitas hidup individu dan apabila
tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang
menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan gangguan
kepribadian.

Identifikasi pada anak yang mengalami trauma dan berisiko


menjadi gangguan stress pasca trauma merupakan komponen yang
penting dalam mengatasi gangguan ini. PTSD terjadi akibat adanya
kejadian traumatik dan perlu dipertimbangkan beberapa faktor yang
berperan antara lain: faktor biologis, faktor psikologis, faktor sosial, dan
faktor lainnya yang dapat meningkatkan risiko terjadi gangguan ini.
Tanda dan gejala penderita PTSD secara umum dapat dibagi menjadi
tiga yakni: mengalami kembali kejadian trauma, menghindari stimulus,
dan gejala hiperarousal. Pada anak dan remaja gejala dan tanda ini dapat
dibagi lagi menurut kelompok umur. Pada anak yang mengalami
gangguan stress pasca trauma sebaiknya dilakukan evaluasi psikologis
terlebih dahulu. Setelah dilakukan evaluasi ada dua macam terapi
pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan
menggunakan psikoterapi dan farmakoterapi.Hasil pengobatan akan
lebih efektif jika kedua terapi ini dikombinasikan sehingga tercapai
penanganan yang holistik dan komprehensif.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Samoon A, Sadock BJ, Sadock V.A. 2010. Kaplan dan Sadock’ Pocket

Handbook Of Clinical Psychiatry 6th Edition. Wolters Kluwer Publisher. hal

: 1275-1277

2. Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas

dari PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-

Unika Atmajaya.

3. Tomb DA. 1999. Buku Saku Psikiatri. Penerbitan Buku Kedokteran : EGC.

Hal : 52

4. Siregar P. Psikoterapi Islam Dalam Mengatasi Depresi. Hal : 3

5. Puri BK, Hall AD. 2004. Revision Notes in Phychiatry 2nd Edition. Arnold.

Hal: 399

6. Aragones E, Pinol JL, Labad A, et al. Prevalence and determinants of

depressive disorders in primary care practice in Spain. Int J Psychiatry

Med. 2004: 21–35

7. Klein DN, Schwartz JE, Rose S, Leader JB. Five-year course and outcome

of dysthymic disorder: a prospective, naturalistic follow-up study. The

American Journal of Psychiatry. 2000;157(6):931–939

8. Volkman MK. Children and Traumatic Incident Reduction:

Creative and Cognitive Approaches. 1th ed. Loving Healing Press:

USA. 2007. 15:169-174.

19
9. Kaplan H.I, Sadock B.J. Comprehensive Textbook of Psychiatry, Eight

edition. USA. 2005. Hal: 1559-1717.

20
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. AN
No. RM : 00793982
Umur : 23 tahun (01 Januari 1996)
Agama : Islam
Suku : Bugis
Status Pernikahan : Belum menikah
Pendidikan Terakhir : S1
Pekerjaan : -
Alamat : Jl. Belawa, Wajo
Masuk Poli Klinik Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Sulawesi Selatan untuk
kedua kalinya pada tanggal 21 Februari 2019, diantar oleh ibu dan keluarga
pasien. Dan di rawat inap di perawatan pakis pada tanggal 21 Februari 2019.

II. RIWAYAT PSIKIATRI


Diperoleh dari catatan medis, autoanamnesis, dan alloanamnesis dari:
1. Nama : Ny. C
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Belawa
Hubungan dengan pasien : Ibu pasien

A. Keluhan Utama
Mengamuk

B. Riwayat Gangguan Sekarang


Pasien perempuan usia 23 tahun, datang diantar oleh ibu dan saudara
pasien, masuk rsws untuk kedua kalinya. Pasien menolak makan, hanya sedikit

21
dikasih tidak mau, hanya mau ambil sendiri. Pasien juga tidak mau minum obat
selama ± 3 hari terakhir, dipaksa untuk minum obat. Pasien tidur malam
terganggu selama ± 4 hari ini, mengaji atau bicara-bicara sendiri. Jika ditanya
pasien mengamuk dan marah dengan melempar barang. Dua hari yang lalu
pasien melempar durian dan menangkapnya sendiri sehingga tangannya luka.
Pasien dipanggil makan durian tapi tidak mau, sewaktu keluarga makan pasien
tersinggung dan marah.
Awal perubahan perilaku sewaktu SMP, pasien sering menangis tiba-tiba,
diakui keluarga tidak ada teman yang jahat. Keluarga tidak membawa berobat,
hanya 1 minggu sembuh sendiri. Sebelum sakit pasien cenderung pendiam dan
pemalu tapi aktif bergaul di sekolahnya.
Pertama dirawat di pakis, sewaktu kuliah (KKN), tahun 2017 pasien
mengamuk dan menangis. Pasien memukul dinding, melempar barang juga,
marah-marah, mudah tersinggung, dirawat ± 18 hari. Pulang dalam keadaan
baik, pasien sudah 1 tahun tidak minum obat karena sudah merasa sembuh pasien
selalu rutin kontrol poli jiwa. Tanggal 21 januari 2019. Pasien kembali kontrol
di poli, setelah 4 bulan tidak kontrol karena ibu merasa pasien kambuh dan suka
marah-marah.
Saat ini pasien tinggal di rumah, bersama ibu. Bapak meninggal sewaktu
SMA dan menurut pengakuan ibu, pasien terguncang. Pasien anak bungsu dari
6 bersaudara (L,L,L,L,L,P). Anak kedua dan keempat telah meninggal, ketiga
saudara sudah berkeluarga dan tinggal terpisah dan berjauhan. Pasien belum
menikah pasien tamat S1 jurusan biologi di UNM, lulus 2017 (selama 4 tahun 6
bulan) setelah dirawat di pakis, lulus kedua di angkatannya. Sejak SD, SMP,
SMA selalu ranking 1-2. Sekolah SMP hanya 2 tahun (akselerasi di SMA
unggulan Sengkang). Kadang bantu keluarga menjual di Sengkang dan
hubungan dengan keluarga diakui baik.

C. Riwayat Gangguan Sebelumnya


1. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ditemukan adanya riwayat infeksi, trauma, riwayat kejang
demam sampai usia 3-4 tahun.

22
2. Riwayat Penggunaan NAPZA
Tidak ada riwayat penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif sebelumnya.
3. Riwayat Gangguan Psikiatrik Sebelumnya
Pasien pernah mengalami gangguan psikiatrik sebelumnya.

D. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat Prenatal dan Perinatal
Pasien lahir normal di rumahnya ditolong oleh bidan pada tanggal 01
Januari 1996. Berat badan lahir dan panjang badan tidak diketahui. Tidak
ditemukan cacat lahir maupun kelainan bawaan. Selama kehamilan, keadaan
ibu pasien tidak diketahui. Tidak ada penyalahgunaan alkohol dan obat-
obatan selama kehamilannya.

2. Riwayat Masa Kanak Awal (Usia 1-3 tahun)


Sejak lahir pasien diasuh oleh kedua orang tuanya. Pasien diberikan
ASI hingga waktu yang tidak diketahui. Perkembangan pasien sama dengan
perkembangan anak-anak pada umumnya. Ibu pasien tidak mengingat umur
anaknya saat mampu berbicara dan berjalan.

3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan (Usia 4-11 tahun)


Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya. Pertumbuhan dan
perkembangan pasien normal dan juga mengikuti pendidikan sekolah dasar.

4. Riwayat Masa Kanak Akhir (Usia 12-14 tahun)


Pasien termasuk anak yang cerdas di sekolah. Pasien menghabiskan
waktu dengan bersekolah sambil membantu ibu di rumah

5. Riwayat Masa Remaja (Usia 15-18 tahun)


Saat masa ini, pasien aktif bersekolah hingga jenjang SMA dengan
masa sekolah 2 tahun

23
6. Riwayat Masa Dewasa
a. Riwayat Pekerjaan
Setelah pasien tamat pendidik Strata-1 pasien membantu kakak
yang berjualan di Sengkang. Sempat mendaftar pendidikan S2 dan
menjadi pengajar sebuah sekolah di Maros.
b. Riwayat Pernikahan
Pasien belum menikah
c. Riwayat Agama
Pasien memeluk agama Islam dan menjalankan ibadahnya dengan
baik.
d. Riwayat Pelanggaran Hukum
Pasien tidak pernah melakukan pelanggaran hukum sebelumnya.
e. Aktivitas Sosial
Pasien sering berkumpul dengan teman-temannya, namun
cenderung pendiam dan pemalu..

7. Riwayat Keluarga
Pasien anak bungsu dari 6 bersaudara (♂,♂,♂,♂,♂,♀) → (anak ke-2
telah meninggal ketika usia 4 bulan dan anak ke-4 ketika usia 4 tahun). Ketiga
saudara sudah berkeluarga dan tinggal terpisah dan berjauhan. Hubungan pasien
dengan keluarga baik. Riwayat gangguan yang sama aau gangguang jiwa lainnya
pada keluarga yaitu saudara kandung bapak namun tidak berobat ke dokter.

24
GENOGRAM

Keterangan :

Anggota keluarga laki – laki

Anggota keluarga perempuan

Pasien

Anggota keluarga yang sudah meninggal

Anggota keluarga yang tinggal serumah

8. Situasi Kehidupan Sekarang


Saat ini pasien tinggal bersama ibu di Sengkang. Semua saudaranya sudah
berkeluarga dan bekerja. Sebagian biaya kehidupan ditanggung oleh ibu dan
saudaranya.
.
9. Persepsi Pasien tentang Diri dan Kehidupannya
Saat ini pasien merasa lingkungan keluarga baik terhadap dirinya. Namun
pasien khawatir terhadap keluhan yang dialaminya.

25
III. PEMERIKSAAN FISIS DAN NEUROLOGIS (Bangsal Pakis, 11 Maret
2019)
A. Status Internus
Keadaan umum tampak sehat namun terlalu aktif, gizi baik, kesadaran
composmentis (E4M6V5), tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 100 kali/menit,
frekuensi pernafasan 18 kali/menit, suhu tubuh 36,1°C, konjungtiva tidak
anemis, sklera tidak ikterus, jantung, paru, abdomen dalam batas normal,
ekstremitas atas dan bawah tidak ada kelainan.

B. Status Neurologis
Gejala rangsang selaput otak: kaku kuduk (-), Kernig’s sign (-)/(-), pupil
bulat dan isokor 2,5 mm/2,5 mm, refleks cahaya (+)/(+), fungsi motorik dan
sensorik keempat ekstremitas dalam batas normal, tidak ditemukan refleks
patologis.

IV. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL (Bangsal Pakis, 11 Maret 2019)


a. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Seorang perempuan, wajah tampak sesuai umur (23 tahun), kulit kuning
langsat, mengenakan jilbab merah muda menutupi hingga lutut, dan
gamis panjang warna merah muda, mengenakan kaos kaki. Perawakan
sedang, pasien nampak rapi dan perawatan baik.
2. Kesadaran
Baik, secara kualitas maupun kuantitas
3. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
Gelisah
4. Pembicaraan
Pasien menjawab pertanyaan dengan spontan, lancar, intonasi biasa.
5. Sikap terhadap pemeriksa
Kooperatif

26
b. Keadaan Afektif
1. Mood : Labil
2. Afek : Sangat Luas
3. Keserasian : Serasi
4. Empati : Tidak dapat diraba rasakan
c. Fungsi Intelektual (Kognitif)
1. Taraf Pendidikan
Pengetahuan umum dan kecerdasan pasien sesuai dengan tingkat
pendidikannya
2. Orientasi
a. Waktu :baik
b. Tempat :baik
c. Orang :baik
3. Daya Ingat
a. Jangka Panjang :baik
b. Jangka Sedang :baik
c. Jangka Pendek :baik
d. Jangka Segera :baik
4. Konsentrasi dan Perhatian
Baik
5. Pikiran Abstrak
Baik
6. Bakat Kreatif
Menulis KTI
7. Kemampuan Menolong diri sendiri
Baik
d. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi
Halusinasi auditorik : bisikan yang memanggil-manggil nama
2. Ilusi
Tidak ada
3. Depersonalisasi

27
Tidak ada
4.Derealisasi
Tidak ada
e. Proses Berpikir
1. Produktivitas : Meningkat
2. Kontinuitas : Relevan dan koheren, flight of idea.
3. Isi Pikiran :
Terdapat gangguan isi pikiran berupa :
Pre okupasi :
Waham : Tidak ada
f. Pengendalian Impuls
Tidak terganggu
g. Daya Nilai dan Tilikan
1.Norma Sosial : Tidak terganggu
2. Uji daya nilai : Tidak terganggu
3.Penilaian Realitas : Baik
4. Tilikan : Tilikan 6 (pasien menyadari sepenuhnya tentang
situasi dirinya disertai motivasi untuk mencapai
perbaikan)
h. Taraf Dapat Dipercaya
Dapat dipercaya

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


Pasien perempuan usia 23 tahun, datang diantar oleh ibu dan saudara
pasien, masuk rsws untuk kedua kalinya. Pasien menolak makan, hanya sedikit
dikasih tidak mau, hanya mau ambil sendiri. Pasien juga tidak mau minum obat
selama ± 3 hari terakhir, dipaksa untuk minum obat. Pasien tidur malam
terganggu selama ± 4 hari ini, mengaji atau bicara-bicara sendiri. Jika ditanya
pasien mengamuk dan marah dengan melempar barang. Awal perubahan
perilaku sewaktu SMP, pasien sering menangis tiba-tiba. Pertama dirawat di
pakis, sewaktu kuliah (KKN), tahun 2017 pasien mengamuk dan menangis.

28
Pada pemeriksaan status mental, tampak seorang perempuan, wajah sesuai
umurnya 23 tahun, kulit kuning langsat, menggunakan jilbab merah muda
menutupi hingga lutut, dan gamis panjang warna merah muda, mengenakan kaos
kaki. Perawakan sedang, pasien tampak rapid dan perawatan baik. Kesadaran
baik, perilaku dan aktivitas psikomotor gelisah, menjawab pertanyaan sesuai
yang ditanyakan, dan sikap terhadap pemeriksa cukup kooperatif.
Mood labil, afek luas, keserasian serasi, dan empati tidak dapat diraba
rasakan. Konsentrasi dan perhatian baik, pikiran abstrak baik, bakat kreatif
menulis KTI dan kemampuan menolong diri baik.
Ada gangguan persepsi berupa halusinasi auditorik berupa bisikan yang
memanggil-manggil nama. Produktifitas pikir meningkat, kontinuitas relevan
dan koheren, tidak ada preokupasi dan tidak terdapat waham. Pengendalian
impuls tidak terganggu. Pada norma sosial dan uji daya nilai tidak terganggu,
dan penilaian reailitas baik. Pasien menyadari sepenuhnya tentang situasi dirinya
disertai motivasi untuk mecapai perbaikan (Tilikan 6).

VI. FORMULASI DIAGNOSTIK DAN EVALUASI MULTIAKSIAL


Aksis I
Berdasarkan alloanamnesis, autoanamnesis dan pemeriksaan status mental
didapatkan gejala klinis yang bermakna yaitu pasien gelisah, sulit tidur, sering
kali banyak berbicara. Pasien juga mengaku mengalami halusinasi auditorik
sehingga pasien dikatakan mengalami Gangguan Jiwa Psikotik
Pada pemeriksaan status internus dan neurologis tidak ditemukan adanya
kelainan, sehingga kemungkinan adanya gangguan mental organik dapat
disingkirkan dan pasien didiagnosis gangguan jiwa non psikotik non organik.
Dari alloanamnesis Dari aloanamnesis dan pemeriksaan status mental,
didapatkan gejala yaitu adanya halusinasi dengan gangguan afektif tipe manik
yang ada pada pasien yaitu filght of idea, afek sangat luas. Kejadian juga dialami
sekitar 2 tahun yang lalu. Hal ini memenuhi kriteria gangguan afektif bipolar,
episode kini manik dengan gejala psikotik.

29
Aksis II
Dari informasi yang didapatkan pasien belum cukup untuk memenuhi
kriteria ciri kepribadian yang khas.

Aksis III
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, tidak ditemukan kelainan
fisik.
Aksis IV
Tidak jelas
Aksis V
GAF Scale (Global Assesment Functioning) Scale 70-61 gejala ringan dan
menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih baik.

VII. DAFTAR MASALAH


1. Organobiologik :
Terdapat kelainan pada ketidakseimbangan neurotransmitter, maka dari
itu pasien memerlukan farmakoterapi.
2. Psikologik :
Gelisah, sulit tidur, pasien seringkali banyak berbicara. Terdapat afek agak
meningkat dan halusinasi auditorik

VIII. RENCANA TERAPI


 Farmakoterapi :
- Depacote 250 mg 1 tab / 12 jam / oral
- Olanzapine 5 mg 1 tab / 24 jam / oral
- Haloperidol 5 mg 1 tab / 12 jam / oral
- Tryhexipheidil 2 mg 1 tab / 12 jam / oral
 Psikoterapi Suportif
Memberikan dukungan kepada pasien untuk dapat membantu pasien
dalam memahami dan menghadapi penyakitnya. Memberi
penjelasan dan pengertian mengenai penyakitnya, manfaat
pengobatan, cara pengobatan, efek samping yang mungkin timbul

30
selama pengobatan, serta memotivasi pasien supaya mau minum
obat secara teratur.

IX. PROGNOSIS
Dari hasil alloanamnesis, didapatkan keadaan-keadaan berikut ini
a. Faktor yang mendukung kearah prognosis baik:
– Tidak ada kelainan organik
– Adanya dukungan dari keluarga
– Kepatuhan minum obat
b. Faktor yang mendukung kearah prognosis buruk
– Riwayat keluhan yang sama pada keluarga

Ad Vitam : Bonam
Ad Functionam :Dubia et bonam.
Ad Sanationam : Dubia et bonam

X. FOLLOW UP
Memantau keadaan umum pasien serta perkembangan penyakitnya, selain itu
menilai efektivitas dan kemungkinan efek samping obat yang diberikan.

XI. PEMBAHASAN / TINJAUAN PUSTAKA


Gangguan bipolar adalah gangguan otak yang ditandai oleh perubahan
suasana hati, pikiran, energi dan tingkah laku. Gangguan ini berlangsung dengan
episode mania, hipomania, campuran dan mayor depresi. Mania adalah gangguan
perilaku yang bermanifestasi dari suasana hati gembira atau lekas marah, dengan
beberapa tanda lain, seperti ‘flight of ideas’ dan meningkatnya kepercayaan diri.
Diagnosis gangguan bipolar sulit karena gejala psikotik yang tumpang tindih
dengan gangguan jiwa yang lain seperti skizofrenia dan schizoafektif. Ini
menyebabkan gangguan bipolar tidak terdiagnosis dan tidak diobati dengan baik.
Tujuan pengobatan adalah menangani gejala, mengembalikan fungsi psikososial
yang sempurna, dan pencegahan terhadap kekambuhan berulang. Dalam

31
menentukan algoritma gangguan bipolar harus dipertimbangkan kemanjuran,
tolerabilitas, kemanjuran dan keamanan obat untuk pasien. Namun, pengobatan
gangguan bipolar efektif jika dilakukan secara komprehensif. Terapi Komprehensif
termasuk farmakoterapi dan psikoterapi.
Saat ini prevalensi gangguan bipolar dalam populasi cukup tinggi, mencapai
1,3 -3%. Bahkan prevalensi untuk seluruh spektrum bipolar mencapai 2,6-6,5%.
Tujuh dari sepuluh pasien pada awalnya misdiagnosis. Prevalensi antara laki-laki
dan perempuan sama besarnya terutama pada gangguan bipolar I, sedangkan pada
gangguan bipolar II, prevalensi pada perempuan lebih besar. Depresi atau distimia
yang terjadi pertama kali pada prapubertas memiliki risiko untuk menjadi gangguan
bipolar Penyebab gangguan bipolar sampai saat ini belum dapat diketahui dengan
pasti. Banyakfaktor yang mempengaruhi dalam gangguan bipolar yaitu faktor
genetik, faktor biokimia, faktor neurofisiologi, faktor psikodinamik, dan faktor
lingkungan. Bentuk gejala psikotik yang sering ditemukan pada gangguan bipolar
episode manik yaitu gangguan proses pikir, halusinasi dan waham.
Gangguan Afektif Bipolar Episode Manik Dengan Gejala Psikotik; Episode
manik didefinisikan sebagai kesamaan karakteristik dalam afek yang meningkat,
disertai peningkatan dalam jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan mental, dalam
berbagai derajat keparahan. Menurut PPDGJ III, gangguan afektif bipolar adalah
suatu gangguan suasana perasaan yang ditandai oleh adanya episode berulang
(sekurang-kurangnya dua episode) dimana afek pasien dan tingkat aktivitas jelas
terganggu, pada waktu tertentu terdiri dari peningkatan afek disertai penambahan
energi dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu lain berupa penurunan
afek disertai pengurangan energi dan aktivitas (depresi). Yang khas adalah bahwa
biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode. Episode manik biasanya mulai
dengan tiba-tiba dan berlangsung antara 2 minggu sampai 4-5 bulan, episode
depresi cenderung berlangsung lebih lama (rata-rata sekitar 6 bulan) meskipun
jarang melebihi satu tahun kecuali pada orang usia lanjut. Kedua macam episode
tersebut sering terjadi setelah peristiwa hidup yang penuh stres atau trauma mental
lain (adanya stres tidak esensial untuk penegakan diagnosis)

Menurut PPDGJ-III F31.2Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik


dengan Gejala Psikotik

32
Pedoman Diagnostik : Untuk menegakkan diagnosis
a) episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania dengan gajala
psikotik
(F30.2) dan
b) harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik, manik,
depresif, atau campuran) di masa lampau.

Kriteria 30.2Mania dengan Gejala Psikotik


Pedoman Diagnostik
 Gambaran klinis merupakan bentuk mania yang lebih berat dari F30.1( mania
tanpa gejala psikotik)
 Harga diri yang membumbung dan gagasan kebesaran dapat berkembang
menjadi waham kebesaran ( delusion of grande
ur), iritabilitas dan kecurigaan menjadi waham kejar ( delusion of persecution).
Waham dan halusinasi “sesuai” dengan keadaan afek tersebut (mood-congruent).

33
XII. LAMPIRAN WAWANCARA

AUTOANAMNESIS
(11 Maret 2019 di Bangsal Pakis)

D (Dokter) : Selamat sore Kak


P (Pasien) : Selamat sore dok
D : Perkenalkan saya Pahista, saya mau Tanya-tanya ya, apakah bersedia?
P : Iya bersedia
D : Bisa saya tahu siapa nama ta?
P :N
D : Kalo boleh tau sapa sekarang yang dikeluhkan?
P: : Gelisah
D : Gelisah kayak bagaimana?
P : Selalu mau jalan, mondar-mandir
D : Kenapa mau mondar-mandir?
P : Nda tau kenapa, hanya mau saja
D : Bagaimana sekarang yang dirasakan dibanding hari pertama masuk?
P : Agak mendingan mi dok
D : Ada yang kita lihat atau dengar suara-suara?
P : Iye ada
D : Seperti apa itu?
P : Suara-suara kayak panggil-panggil namaku, tapi tidak tahu siapa
D : Kita’ tau dimana sekarang?
P : Tau dok, di RS
D : Kita’ tau hari apa sekarang?
P : Iya tau, hari senin
D : Masih diingat waktu datang pertama kali sama siapa?
P : Sama Ibu dan saudara
D : Tabe di’ misalnya saya bilang ada udang dibalik batu apa maksudnya itu?
P : Berarti ada maksud yang tersembunyi
D : Kalo panjang tangan?

34
P : Pencuri
D : Kalo boleh tau, kita ini apa ada bakat ta ?
P : Ada, menulis
D : Menulis apa itu?
P : Menulis Karya tulis ilmiah mengenai penggunaan bawang terhadap kesehatan
mata
D : Waktu kapan itu? Dapat juara?
P : Waktu SMP, iya dapat penghargaan
D : Apa lagi, selain itu?
P : pernah olimpiade biologi waktu SMA
D : Tabe di, ini kita tau ji kalo lagi sakit?
P : Iya tau ji
D :Sakit bagaimana itu?
P : Karena selalu mau jalan, gelisah.
D : Tapi mau ji berobat?
P : Iya mau ji
D : Ada lagi kita mau bilang?
P : Nda adami dok, sekian terimakasih
D : iye, terimaksih banyak juga kak.

35

Anda mungkin juga menyukai