Anda di halaman 1dari 46

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAAN

UNIVERSITAS KHAIRUN

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

Oleh :

Nanda Nofrima

10119210057

Pembimbing Utama :

dr. Yazzit Mahri, Sp.KJ., M.Kes

Pembimbing Pendamping :

dr. Mustika Apriyanti

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KHAIRUN

TERNATE

2021
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

Post Traumatic Stress Disorder

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian akhir

Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa

Rumah Sakit Jiwa Sofifi

Disusun Oleh :

Nanda Nofrima

(10119210057)

Menyetujui

Dokter Pembimbing

dr. Yazzit Mahri, Sp.KJ, M.Kes

i
NIP.19830915201101100
DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI..................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................3
A. Definisi...............................................................................................3
B. Epidemiologi......................................................................................3
C. Etiologi...............................................................................................4
D. Faktor Resiko.....................................................................................8
E. Gambaran Klinis................................................................................10
F. Diagnosis............................................................................................11
G. Diagnosis Banding.............................................................................13
H. Tatalaksana........................................................................................14
BAB III KESIMPULAN................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Post Traumatik Stress Disorder (PTSD) merupakan suatu sindrom


pada seseorang yang telah mengalami kejadian traumatik. Kondisi
demikian akan menimbulkan dampak psikologis berupa gangguan
perilaku mulai dari kecemasan yang berlebihan, mudah tersinggung, tidak
bisa tidur, tegang, dan berbagai reaksi lainnya.1

Post Traumatik Stress Disorder (PTSD) gangguan ini mulai


dikenal setelah ditemukannya suatu gejala serta gangguan pada para
tentara perang di Amerika Serikat berupa gejala kecemasan, takut secara
berlebihan, serta seolaholah masih dalam keadaan perang. Penderita
gangguan ini terdiri dari pasien yang telah menghadapi peristiwa
kekerasan fisik maupun psikis. Gejala utama gangguan ini adalah masih
mengingat peristiwa dengan baik seolaholah peristiwa tersebut masih
terjadi, mencoba menghindari halhal yang berkaitan dengan peristiwa,
serta emosi dan perubahan pikiran ke negatif karena hal tersebut yang
terjadi selama lebih dari 1 bulan lebih pasca peristiwa traumatis tersebut
terjadi.2

Post Traumatik Stress Disorder (PTSD) kemungkinan


berlangsung berbulanbulan, dan bertahuntahun atau sampai beberapa
dekade dan mungkin baru muncul setelah adanya pemaparan terhadap

11
Endiyono. 2019. Gambaran Post Traumatic Stress Disorder Korban Bencana
Tanah Longsor Di Dusun Jemblung Kabupaten Banjarnegara.127-131p.
2
Kamah,A. 2020. Gambaran Post Traumatic Stress Disorder Pada Korban Konflik
Di Patani Thailand Selatan.[Skripsi] Fakultas Usuluddin Dan Studi Agama
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.19-20p.
1
peristiwa traumatik. Gangguan Post Traumatik Stress Disorder (PTSD)
memiliki karakteristik yang penting, seperti gejala kejiwaaan apabila
bahaya tejadi seperti banjir, kerusuhan, tabrakan kereta api, atau peristiwa
teroris dan sebagainya. Gejala traumatis yang sering muncul adalah selalu
mengingat kembali peristiwa itu berkalikali, menarik diri dari lingkungan
sekitar atau lingkungan sosial, ada perasaan terasing dengan orang yang
mereka kenal seperti anggota keluarga dan kerabat terdekat, serta merasa
mudah terkejut, menurunnya tingkat konsentrasi dan sulit untuk tidur.2

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Post Traumatik Stress Disorder (PTSD) merupakan suatu kondisi


atau keadaan yang terjadi setelah seseorang mengalami peristiwa
traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya. Orang yang mengalami
stress pasca traumatik merespon peristiwa traumatik yang dialami dengan
ketakutan dan keputusasaan, individu akan terus mengenang peristiwa itu
dan selalu menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan kembali ke
peristiwa tersebut.3

B. Epidemiologi

Prevalensi seumur hidup PTSD diperkirakan sekitar 8% populasi


umum walaupun tambahan 5 hingga 15% dapat megalami bentuk
subklinis gangguan ini. Di antara kelompok resiko tinggi yang
anggotanya mengalami peristiwa traumatik, angka prevalensi seumur
hidupnya berkisar 5 hingga 75%. Prevalensi seumur hidup pada
perempuan berkisar sekitar 10 hingga 12% dan 5 hingga 6% pada laki-
laki.Walaupun PTSD dapat timbul pada usia berapapun, gangguan ini
paling prevalen pada dewasa muda karena mereka cenderung lebih
terpajan dengan situasi penginduksi.4

Anak juga dapat mengalami gangguan ini. Laki-laki dan perempuan


memiliki perbedaan tipe trauma yang memajankan mereka dan
kecenderungan untuk menglami PTSD. Prevalensi seumur hidup secara
bermakna pada perempuan lebih tinggi. Gangguan ini lebih cenderung
terjadi pada orang lajang, bercerai, janda, menarik diri secara sosial, atau

33
Uyun Z. 2015. Kekerasan Seksual Pada Anak:Stres Pasca Trauma.Fakultas
Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.233p
4
Sadock and Kaplan.2014. Buku ajar psikiatri klinis Edisi 2 Jakarta:EGC;h.253
3
tingkat sosioekonomis rendah. Meskipun demikian, faktor resiko paling
penting dari gangguan ini adalah keparahan, durasi, dan kedekatan
pajanan seseorang dengan trauma sebenarnya.4

C. Etiologi

1. Aspek biologik dari gangguan stres pasca trauma

Gejalagejala gangguan stres pasca trauma timbul sebagai


akibat dari respons biologik dan juga psikologik seorang individu,
kondisi ini terjadi oleh karena aktivasi dari beberapa sistem di
otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada
seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik
akan menimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya
akan menilai kondisi keberbahayaan peristiwa yang dialami, serta
mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai.5 Dalam hal ini
Amigdala, merupakan bagian otak yang sangat berperan besar.
Amigdala akan mengaktivasi beberapa neurotransmiter serta
bahan bahan neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi
peristiwa traumatik yang mengancam nyawa sebagai respons
tubuh untuk menghadapi peristiwa tersebut.5

Amigdala dengan segera akan bereaksi dengan memberikan stimulus


berupa tanda darurat kepada:
 Sistem saraf simpatis (katekolamin).

Elvira, Sylvia D dkk. 2013. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta ; Badan Penerbit FK UI.
45

278-281p
4
 Sistem saraf parasimpatis.
 Aksi hipotalamushipofisiskelenjar adrenal (aksis HPA).
 Penyangkalan, splitting, projeksi, disosiasi, dan rasa bersalah.

Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera


setelah mengalami peristiwa traumatik, maka akan terjadi
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Kondisi ini disebut
sebagai reaksi “fight or flight reaction”. Reaksi ini juga akan
meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot skeletal
sehingga membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan
peristiwa tersebut atau jika mungkin memberikan reaksi interaktif
terhadap ancaman yang optimal. Reaksi sistem saraf parasimpatis
akan membatasi reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan
tubuh, namun respons ini bekerja secara bebas dan tidak berkaitan
dengaan respons yang diberikan oleh sistem saraf simpatis. Aksis
HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptide otak pada
waktu orang berhadapan dangan peristiwa traumatic seperti
Releasing Factor (CRF) dan beberapa neuripeptida regulator
lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan mensekresi
pengeluaran adenocorticotropichormone (ACTH) yang akhirnya
menstimulasi pengeluaran hormone kortisol dari kelenjar adrenal.5

Pitman (1989) menghipotesiskan bahwa pada individu yang


cenderung untuk mengalami gangguan stress pasca trauma,
mengalami gangguan dalam regulasi neuropeptide dan juga
katekolamin di otak pada waktu menghadapi peristiwa traumatik. 5
Katekolamin yang meningkat ini akan membuat individu tetap
berada dalam kondisi siaga terusmenerus. Jika hormone kortisol
gagal menghentikan proses ini, maka aktivasi katekolamin akan tetap

5
tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya “konsolidasi
berlebihan” dari ingatan ingatan peristiwa traumatik yang dialami.5

2. Aspek psikodinamik dari gangguan stress pasca trauma

Model psikodinamik ini menjelaskan bahwa gangguan


stress pasca trauma terjadi oleh karena reaktivasi dari konflik-
konflik psikologis yang belum terselesaikan di masa lampau.
Dengan adanya peristiwa traumatik yang dialami maka
konflikkonflik psikologis yang belum terselesaikan ini akan
tereaktivasi kembali. Sistem ego akan kembali teraktivasi dan
berusaha untuk mengatasi masalah dan meredakan kecemasan
yang terjadi.

Halhal yang berkaitan dengan aspek psikodinamik dari gangguan


stress pasca trauma adalah:

 Arti subjektif dari stressor yang dialami mungkin menentukan


dampak dari peristiwa traumatik yang dialami oleh seseorang.
 Kejadian traumatik yang dialami mungkin meraktivasi
konflikkonflik psikologis akibat peristiwa traumatik di masa
kanakkanak.
 Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk
meregulasi sistem afeksinya.

 Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan


timbul dalam bentuk somatisasi atau aleksitimia.5

 Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu

6
dengan gangguan stress pasca trauma adalah penyangkalan,
splitting, projeksi, disosiasi, dan rasa bersalah.
 Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan
introjeksi dari berbagai peran seperti penyelamat yang omni
poten atau korban yang omnipoten.
Terjadinya gangguan stres pasca trauma didahului oleh suatu stresor
berat yang melampaui kapasitas hidup seseorang, serta
menimbulkan penderitaan bagi setiap orang. Kondisi psikologis
seseorang sebelum mengalami peristiwa traumatik tersebut akan
berdampak pada respons yang ditimbulkan sebagai akibat peristiwa
tersebut.5

Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk


mengalami gangguan stres pasca trauma adalah:

 Adanya gangguan psikiatri sebelum trauma baik pada individu


yang bersangkutan maupun keluarganya.
 Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun
seksual.
 Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir.
 Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial.
 Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial,
serta adanya problem yang berupa kesulitan untuk
menyesuaikan diri.
 Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara
bermakna.
 Terpapar oleh kejadiankejadian dalam kehidupan yang luar
biasa sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan
secara subjektif oleh individu yang bersangkutan sebagai
suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan
7
bagi dirinya.

Tipe kejadian yang cenderung akan meningkatkan angka kejadian


ganggguan stres pasca trauma dapat dikategorikan menjadi:

 Mereka yang mengalami tindak kekerasan interpersonal.


 Mereka yang mengalami kecelakaan atau bencana alam yang
mengancam nyawa, baik berupa kejadian yang alamiah atau
kejadian yang dibuat oleh manusia.
 Trauma berulang dan bersifat konik.

D. Faktor Resiko

1. Faktor Psikodinamik
Salah satu hipotesisnya adalah bahwa peristiwa traumatis
dapat membangkitkan ingatan akan pengalaman sebelumnya yang
menimbulkan konflik psikologis. Kebangkitan traumatis ketika
anak-anak mengalami kemunduran dan menggunakan mekanisme
pertahanan diri seperti penolakan dan reaksi formasi.6

2. Faktor Perilaku
Model kognitif pada gangguan Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) menunjukkan bahwa orang yang tidak dapat
merasionalisasi trauma dengan cepat akan mengembangkan
gangguan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Mereka terus-
menerus merasa tertekan dan mencoba menghindari apa yang
mereka alami dengan teknik penghindaran. Orang-orang ini
menekan ingatan akan trauma yang mereka alami di alam bawah
sadar, yang terakumulasi seiring waktu. Jika trauma berulang,
66
Saniti,N.A. 2013.Diagnosis dan Manajemen Stress Paska Trauma pada
Penderita Pelecehan Seksual.

8
dapat membuat memori trauma sebelumnya. Model perilaku
gangguan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) menekankan
pada dua fase dalam perkembangan gangguan, yaitu trauma
(stimulus) yang menimbulkan respons ketakutan melalui keadaan
klasik yang dikaitkan dengan stimulus terkondisi (fisik atau mental
yang dialami), yang kedua melalui instrumen, stimulus terkondisi
yang memunculkan respons cemas terlepas dari stimulus asli yang
tidak terkondisi. Orang tersebut menunjukkan gambar yang
menghindari rangsangan terkondisi atau tidak terkondisi.6

Faktor Resiko PTSD tertentu terlihat dari segi trauma yang dialami
selama trauma dan karakteristik masing-masing individu dan faktor
pasca trauma, seperti:
 Aspek traumatis yang dimaksud adalah lamanya dan beratnya
peristiwa yang dialami, peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba
tanpa peringatan, banyak korban meninggal dunia dan menjadi
korban tindak pidana, termasuk kekerasan seksual.
 Perasaan yang timbul selama trauma antara lain perasaan hidup
dalam bahaya, perasaan kurang bisa mengontrol kejadian,
ketakutan dan keputusasaan, serta gejala disosiatif saat kejadian.6
 Karakteristik orang yang berisiko mengalami gangguan Post
Traumatik Stress Disorder (PTSD) yaitu mereka pernah
mengalami gangguan kejiwaan dan neurologis, trauma terutama
pada masa kanak-kanak, penolakan terhadap trauma yang
dialaminya, dan reaksi stres akut.
 Faktor pasca trauma berupa pengingkaran trauma oleh penghuni
daerah atau penolakan pengalaman dan kurangnya dukungan dari
lingkungan.6

E. Gambaran Klinis

9
Secara umum gejala PTSD dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Merasakan kembali peristiwa traumatik tersebut (Re- Experiencing


Symptoms)
 Secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak
menyenangkan mengenai peristiwa traumatik tersebut
Terulangnya bayangan mental akibat peristiwa traumatik yang
pernah dialami.
 Mengalami mimpi buruk yang terus menerus berulang.
 Bertindak atau merasakan seakan-akan peristiwa traumatik
tersebut akan terulang kembali, terkadang ini disebut sebagai
"flashback".
 Memiliki perasaan menderita yang kuat ketika teringat kembali
peristiwa traumatik tersebut.
 Terjadi respon fisikal, seperti jantung berdetak kencang atau
berkeringat ketika teringat akan peristiwa traumatik tersebut.7

2. Menghindar (Avoidance Symptoms)

 Berusaha keras untuk menghindari pikiran, perasaan atau


pembicaraan mengenai peristiwa traumatik tersebut.
 Berusaha keras untuk menghindari tempat atau orang-orang
yang dapat mengingatkan kembali akan peristiwa traumatik
tersebut.

77
Kartikadewi A. Buku Ajar Sistem Neurobehaviour. 2015. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Semarang. 48-50p

10
 Sulit untuk mengingat kembali bagian penting dari peristiwa
traumatik tersebut.
 Kehilangan ketertarikan atas aktivitas positif yang penting.
 Merasa "jauh" atau seperti ada jarak dengan orang lain.
 Mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan
positif, seperti kesenangan / kebahagiaan atau cinta / kasih
sayang
 Ketakberdayaan / ke’tumpul’an emosional dan ‘menarik diri’
 Merasakan seakan-akan hidup anda seperti terputus ditengah-
tengah - anda tidak berharap untuk dapat kembali menjalani
hidup dengan normal, menikah dan memiliki karir.
 Terjadi gangguan yang menyebabkan kegagalan untuk
berfungsi secara efektif dalam kehidupan sosial (pekerjaan,
rumah tangga, pendidikan, dll).
3. Hyperarousal Symptoms
 Sulit untuk tidur atau tidur tapi dengan gelisah.
 Mudah / lekas marah atau meledak-ledak.
 Memiliki kesulitan untuk berkonsentrasi
 Selalu merasa seperti sedang diawasi atau merasa seakan-
akan bahaya mengincar di setiap sudut.
 Menjadi gelisah, tidak tenang, atau mudah "terpicu" / sangat
"waspada".7

A. Diagnosis

Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Stres Pasca trauma


1. Orang tersebut telah terpajan dari peristiwa traumatik dan
kedua hal ini:
 Orang tersebut mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan
dengan peristiwa atau sejumlah peristiwa yang
11
menyebabkan kematian dan cedera serius yang sebenarnya,
atau ancaman terhadap integritasfisik dirinya atau orang
lain.
 Respon orang tersebut melibatkan rasa takut yang intens,
rasa tidak berdaya atau horor.4
Catatan: Pada anak hal ini dapat ditunjukkan dengan
perilaku agitasi atau kacau.
2. Peristiwa traumatis secara terus menerus dialami kembali pada
satu (atau lebih) cara berikut ini:
 Mengingat kembali peristiwa secara berulang dan
menganggu yang menimbulkan distres, termasuk bayangan,
pikiran, atau persepsi.
Catatan: Pada anak yang masih kecil, dapat terjadi
permainan berulang yang mengekspresikan tema
atau aspek trauma.
 Mimpi berulang mengenai peristiwa tersebut yang
menimbulkan penderitaan.
Catatan: Pada anak, bisa terdapat mimpi yang menakutkan
tanpa kandungan yang dapat dikenali.4
 Bertindak atau merasakan seolah-olah peristiwa traumatik
 tersebut terjadi kembali (termasuk rasa membangkitkan
kembali pengalaman, ilusi, halusinasi, dan episode kilas
balik disosiatif, termasuk yang terjadi saat bangun atau
ketika mengalami intoksikasi).

Catatan: Pada anak yang masih kecil, anak dapat


melakukan kembali hal yang spesifik trauma.

 Penderitaan psikologis yang intens pada pajanan terhadap


sinyal internal atau eksternal yang menyimbolkan atau

12
meyerupai aspek peristiwa traumatik.

 Reaktivitas fisiologis pada pajanan sinyal internal atau


eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai aspek
peristiwa traumatik.

3. Penghindaran persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma


serta membuat kebas responsivitas umum (tidak terjadi sebelum
trauma), seperti yang ditunjukkan dengan tiga (atau lebih hal
berikut ini:
 Upaya menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan
yang berkaitan dengan trauma.
 Upaya menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang
membangkitkan ingatan akan trauma .
 Ketidakmampuan mengingat kembali aspek penting trauma.
 Minat atau partisipasi berkurang nyata pada aktivitas yang
signifikan.
 Perasaan lepas atau menjadi asing dari orang lain.
 Kisaran afek yang terbatas (contoh: tidak mampu memiliki
rasa cinta).
 Rasa masa depan yang memendek (contoh: tidak berharap
memiliki karir, menikah, anak, atau masa hidup normal).4

4. Menetapnya peningkatan keadaan terjaga (tidak terjadi sebelum


trauma), seperti yang ditunjukkan dengan dua (atau lebih) hal
berikut:
 Sulit tidur atau sulit tetap tidur.
 Iritabilitas atau ledakan kemarahan.
 Sulit berkosentrasi.
 Hypervigilance.
13
 Respon kaget yang berlebihan
5. Durasi gangguan (gejala kriteria 2, 3, dan 4) lebih dari satu bulan.
6. Gangguan ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis
bermakna atau gangguan didalam area fungsi sosial, pekerjaan
atau area fungsi penting lain.
Tentukan jika:
 Akut : durasi gejala kurang dari tiga bulan.
 Kronis : durasi gejala tiga bulan atau lebih.
 Dengan awitan tertunda: awitan gejala sedikitnya 6 bulan
setelah stressor.

B. Diagnosis Banding
 Psikosis Akut.
 Reaksi Stres Akut.
 Gangguan Penyesuain.
 Gangguan Depresi Mayor.8

H. Tatalaksana

Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat diberikan kepada


penderita Post Traumatik Stres Disorder PTSD, yaitu dengan
menggunakan Farmakoterapi dan Psikoterapi.

1. Farmakoterapi
88
Keputusan Menteri Kesehatan RI. Pedoman Nasional Kedokteran Jiwa
NOMOR HK.02.02/MENKES/73/2015. Jakarta: Departemen Kesehatan.67-
69p

14
Tergantung dari gejala yang menonjol saat itu, apakah sindrom cemas,
depresif, atau disertai gejala psikotik.

a. Bila cemas, berikan Benzodiazepine, misalnya :


 Klobazam 2 x (5-10 mg)
 Lorazepam 1-2 x (0,5-1 mg)
b. Bila Depresif, berikan:
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
 Sertralin, dosis awal 1 x 12,5-25 mg/hari, dapat
dinaikkan 1 x 50 mg.

 Fluoksetin, dosis awal 1 x 5-10 mg/hari, dapat


dinaikkan menjadi 1 x 20-40mg/hari.

 Fluvoksamin, dosis awal 1 x 25mg, dapat dinaikkan


menjadi 1 x 50-100mg/hari.

 Escitalopram, dosis awal 1x5-10 mg/hari, dapat


dinaikkan menjadi 1-20 mg/hari.8

Derivat Trisiklik
 Amitriptilin: 2x (10-25) mg
 Imipramin: 1-2 x (10-25) mg
c. Bila ada gejala psikotik, berikan antipsikotik,
contohnya:
 Haloperidol, dosis 2 x 1-5 mg atau
 Risperidon, dosis 2 x 1-2 mg atau
 Olanzapin, 1-2 x 2,5-10 mg
15
 Quetiapin, 50-100 mg8

2. Psikoterapi

a. Manajemen Kecemasan (Anxiety management)

Terapis mengajarkan beberapa keterampilan untuk


membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik
melalui:

 Teknik Relaksasi (Relaxation training), yaitu


belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan
secara sistematis dan merelaksasikan kelompok
otot-otot utama.
 Latihan Pernafasan (Breathing retraining),
yaitu belajar bernafas dengan perut secara
perlahan-lahan, santai dan menghindari
bernafas dengan tergesa-gesa yang
menimbulkan perasaan tidak nyaman,
bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti
jantung berdebar dan sakit kepala.9

 Berpikir Positif (Positive thinking), yaitu belajar


untuk menghilangkan pikiran negatif dan
mengganti dengan pikiran positif ketika
menghadapi hal-hal yang membuat stress
(stresor).

 Latihan ketegasan (Asser-tiveness training),


belajar bagaimana mengekspresikan harapan,
opini, dan emosi tanpa menyalahkan atau
16
menyakiti orang lain.

 Thought stopping, belajar bagaimana


mengalihkan pikiran ketika kita sedang
memikirkan hal-hal yang membuat kita stress.9

b. Terapi Kognitif (Cognitive Therapy)


Membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional
yang mengangggu emosi dan menganggu kegiatan-kegiatan
penderita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin
menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan
kognitif terapi adalah mengidentifikasikan pikiran-
pikiran yang tidak rasional. Untuk melawan pikiran
tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang
lebih realistik agar membantu mencapai emosi yang
lebih seimbang.9

c. Terapi paparan (Exposure Therapy)

Terapis membantu menghadapi situasi yang khusus,


orang lain, obyek, memori, atau emosi yang
mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan
yang tidak realistik dalam kehidupannya. Terapi dapat
berjalan dengan cara Exposure in the imagination, yaitu
bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara
detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan
atau Exsposure in reality, yaitu membantu menghadapi
situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena
menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal:
kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah).
Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha mengingat
situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya.
Pengulangan situasi disertai penyadaran yang berulang

17
akan membantu menyadari situasi lampau yang
9
menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi.

99
Wardhani, Y.F.& Lestari W. 2007.Gangguan stres pasca trauma pada korban
pelecehan seksual dan perkosaan.Pusat Penelitian dan Pengembangan sistem
dan kebijakan Surabaya.6-7p

18
BAB III

KESIMPULAN

Post Traumatik Stress Disorder (PTSD) adalah suatu sindrom pada


seseorang yang telah mengalami kejadian traumatik. Kondisi demikian akan
menimbulkan dampak psikologis berupa gangguan perilaku mulai dari
kecemasan yang berlebihan, mudah tersinggung, tidak bisa tidur, tegang, dan
berbagai reaksi lainnya. Gejala gejala klinis yang dirasakan pada penderita
Post Traumatic Stres Disorder yaitu mereka merasakan kembali peristiwa
yang dialami baik dalam mimpi atau bayangan yang muncul secara tiba-tiba
ataupun merasakan perasaan jika peristiwa tersebut akan terulang kembali.
Hal tersebut biasanya dipicu oleh sesuatu yang berhubungan dengan trauma
yang dialami, misalnya anak-anak yang mendapat penyiksaan, bila bertemu
dengan orang yang mirip dengan penyiksanya, anak tersebut akan merasa
ketakutan.

Diagnosis Gangguan Stres Pasca Trauma menggunakan Kriteria


Diagnostik DSM-IV-TR ditentukan dengan kriteria Akut Jika durasi gejala
kurang dari tiga bulan, di tentukan Kronis Jika durasi gejala tiga bulan atau
lebih, dan di tentukan Dengan awitan tertunda Jika awitan gejala sedikitnya 6
bulan setelah tressor. Terapi pengobatan yang dapat diberikan kepada
penderita Post Traumatik Stres Disorder yaitu dengan menggunakan
Farmakoterapi dan Psikoterapi. Terapi Farmakoterapi bisa kita berikan
Benzodiazepin, SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor), Derivat
Trisiklik, dan antipsikotik. Sedangkan untuk Psikoterapi bisa di terapi
dengan Anxiety management, Cognitive Therapy, dan Exposure Therapy.

19
DAFTAR PUSTAKA

Elvira, Sylvia D & Gitayanti Hadisukanto. 2013. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta ;
Badan Penerbit FK UI. 278-281p
Endiyono, 2019. Gambaran Post Traumatic Stress Disorder Korban Bencana Tanah
Longsor Di Dusun Jemblung Kabupaten Banjarnegara.127-131p.
Kamah,A.2020. Gambaran Post Traumatic Stress Disorder Pada Korban Konflik
Di Patani Thailand Selatan.[Skripsi] Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.19-20p.
Keputusan Menteri Kesehatan RI. Pedoman Nasional Kedokteran Jiwa. NOMOR
HK.02.02/MENKES/73/2015. Jakarta: Departemen Kesehatan.67-69p
Kartikadewi A. Buku Ajar Sistem Neurobehaviour. 2015. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Semarang. 78-80p

Sadock and Kaplan.2014. Buku ajar psikiatri klinis Edisi 2 Jakarta:EGC;253p


Saniti,N.A.2013.Diagnosis dan Manajemen Stress Paska Trauma pada Penderita
Pelecehan Seksual.
Uyun Z. 2015. Kekerasan Seksual Pada Anak:Stres Pasca Trauma.Fakultas
Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.233p
Wardhani, Y.F.& Lestari W. 2007.Gangguan stres pasca trauma pada korban
pelecehan seksual dan perkosaan.Pusat Penelitian dan Pengembangan sistem
dan kebijakan Surabaya.6-7p

20
SUMBER REFERENSI

1. Endiyono, 2019. Gambaran Post Traumatic Stress Disorder Korban Bencana


Tanah Longsor Di Dusun Jemblung Kabupaten Banjarnegara.127-131p.
2.Kamah,A.2020. Gambaran Post Traumatic Stress Disorder Pada Korban Konflik
Di Patani Thailand Selatan.[Skripsi] Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.19-20p.

21
22
3. Uyun Z. 2015. Kekerasan Seksual Pada Anak:Stres Pasca Trauma.Fakultas
Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.233p

23
4. Sadock and Kaplan.2014. Buku ajar psikiatri klinis Edisi 2 Jakarta:EGC;253p

24
5. Elvira, Sylvia D & Gitayanti Hadisukanto. 2013. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta ;
Badan Penerbit FK UI. 278-281p

25
26
27
28
29
6. Saniti,N.A.2013.Diagnosis dan Manajemen Stress Paska Trauma pada Penderita
Pelecehan Seksual.

30
31
32
33
4. Sadock and Kaplan.2014. Buku ajar psikiatri klinis Edisi 2 Jakarta:EGC;253p

34
7. Kartikadewi A. Buku Ajar Sistem Neurobehaviour. 2015. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Semarang. 48-50p

35
36
8. Keputusan Menteri Kesehatan RI. Pedoman Nasional Kedokteran Jiwa.
NOMOR HK.02.02/MENKES/73/2015. Jakarta: Departemen Kesehatan.67-
69p

37
38
8. Wardhani, Y.F.& Lestari W. 2007.Gangguan stres pasca trauma pada korban
pelecehan seksual dan perkosaan.Pusat Penelitian dan Pengembangan sistem
dan kebijakan Surabaya.6-7p

39
40
41
42

Anda mungkin juga menyukai