Anda di halaman 1dari 15

1

REFERAT
Post Trauma Stress Disorder
(PTSD)

disusun oleh :
Jufenthia Ardelia Wairata
112020018

Pembimbing :
dr.Hj Meutia Laksamininggrum, SpKJ

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA
WACANA RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI JAWA BARAT
PERIODE 23 Mei – 25 Juui 2022
2

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Setelah suatu peristiwa traumatik, seseorang dapat merasakan sesuatu yang


mengganggu kehidupannya, dapat juga diikuti stres, ketakutan, dan kemarahan.
Mereka juga sering mendapati bahwa mereka sulit untuk tidak memikirkan apa
yang telah terjadi. Merasakan reaksi stres adalah hal yang sering terjadi pada
kebanyakan orang dan tidak ada hubungannya dengan kelemahan pribadinya.
Banyak orang juga akan menunjukkan kewaspadaan yang berlebihan. Yang paling
sering, jika gejala ikutannya muncul, akan menurun seiring berjalannya waktu.
Orang-orang yang selamat dari suatu trauma (misalnya veteran, anak-anak,
penyelamat bencana atau pekerja sosial) mengalami reaksi stres yang umum.
Memahami bahwa apa yang terjadi ketika kita atau seseorang yang kita kenal
bereaksi terhadap peristiwa traumatik akan membantu kita agar tidak terlalu takut
dan lebih baik dalam menanganinya. Reaksi-reaksi tersebut yang dapat menetap
selamabeberapa hari atau bahkan beberapa minggu, yang diantaranya adalah:

Perasaan putus asa mengenai masa depan dan ketidakpedulian
terhadap orang lain.

Sulit konsentrasi, tidak dapat mengambil keputusan.

Mudah terkejut dengan keributan yang tiba-tiba.

Mengalami mimpi/memori yang mengganggu.

Masalah di tempat kerja atau sekolah.10

1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menguraikan mengenai suatu gangguan
mental yang terjadi pasca trauma yang disebut dengan Post Traumatic Stress
Disorer (PTSD). Hal-hal yang akan diuraikan mencakup hal-hal yang
berhubungan dengan msalah tersebut sehingga diharapkan pembaca akan
memahami penanganan yang dapat dilakukan terhadap orang-orang dengan
PTSD.
3

BAB 2
ISI

2.1 Definisi
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah gangguan kecemasan yang
dapat terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatik.
Peristiwa traumatik adalah peristiwa yang mengancam nyawa seperti pertempuran
militer, bencana alam, insiden teroris, kecelakaan yang serius, atau penyerangan
fisik/seksual pada orang dewasa atau pada anak-anak.1,7

2.2 Epidemiologi

Statistik pada anak-anak dan remaja menunjukkan bahwa hampir 40%


muncul paling tidak satu peristiwa traumatik, yang berkembang menjadi PTSD
pada hampir 15% anak perempuan dan 6% pada anak laki-laki. Hampir 100% dari
anak-anak yang menyaksikan orangtuanya dibunuh atau mengalami kekerasan
seksual atau kekerasan rumah tangga mengarah untuk berkembang menjadi
PTSD, dan lebih dari sepertiga anak muda yang terpapar pada kekerasan akan
mengalami gangguan ini.2,3

2.3 Etiologi

2.3.1 Stresor

Menurut definisinya, stressor adalah faktor penyebab utama dalam


perkembangan gangguan stres pasca traumatik. Tetapi tidak setiap orang
mengalami gangguan stres pasca traumatik setelah suatu peristiwa traumatik;
walaupun stressor diperlukan, stressor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan.
Klinisi harus mempertimbangkan juga factor biologis individual yang telah ada
sebelumnya, faktor psikososial sebelumnya, dan peristiwa yang terjadi setelah
trauma.5

Penelitian terakhir pada gangguan stres pasca trauma telah sangat


menekankan pada respons subjektif seseorang terhadap trauma ketimbang
4

beratnya stresor itu sendiri. Walaupun gejala gangguan stres pasca traumatik
pernah dianggap secara langsung sebanding dengan beratnya stressor, penelitian
empiris telah membuktikan sebliknya. Sebagai akibatnya, consensus yang tumbuh
adalah bahwa gangguan memiliki pengaruh pada arti subjektif stresor bagi
pasien.5

Bahkan jika dihadapkan dengan trauma yang berat, sebagian besar orang
tidak mengalami gejala gangguan stres pascatraumatik. Demikian juga peristiwa
yang tampaknya biasa atau kurang berbahaya bagi kebanyakan orang mungkin
menyebabkan gangguan stress pasca traumatik pada beberapa orang karena arti
subjektif dari peristiwa tersebut. Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi
yang tampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan apakah
gangguan berkembang adalah:

1. Adanya trauma masa anak-anak.

2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau


anti sosial.

3. Sistem pendukung yang tidak adekuat.

4. Kerentanan kontitusional genetika pada penyakit psikiatrik.

5. Perubahan hidup penuh stres yang baru terjadi.

6. Persepsi lokus kontrol eksternal, bukannya internal.

7. Penggunaan alkohol yang baru.5

Penelitian psikodinamika terhadap orang yang dapat bertahan hidup dari


trauma psikis yang parah telah menemukan aleksitimia, yaitu ketidak mampuan
untuk mengidentifikasi atau mengungkapkan keadaan perasaan sebagai ciri yang
umum. Jika trauma psikis terjadi pada anak-anak, biasanya dihasilkan perhentian
perkembangan emosional. Jika trauma terjadi pada masa dewasa, regresi
emosional seringkali terjadi. Orang yang selamat dari trauma biasanya tidak dapat
menggunakan keadaan emosional internal sebagai tanda dan mungkin mengalami
5

gejala psikosomatik. Mereka juga tidak mampu menenangkan dirinya jika dalam
stres.5

2.3.2 Faktor Psikodinamika

Model kognitif dari gangguan stres pascatrauma menyatakan bahwa orang


yang terkena adalah tidak mampu untuk memproses atau merasionalisasikan
trauma yang mencetuskan gangguan. Mereka terus mengalami stress dan berusaha
untuk tidak mengalami stress dengan teknik menghindar. Sesuai dengan
kemampuan parsial mereka untuk mengatasi peristiwa secara kognitif, pasien
mengalami periode mengakui peristiwa dan menghambatnya secara berganti-
ganti.5

Model perilaku dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa


gangguan memiliki dua fase dalam perkembangannya. Pertama, trauma (stimulus
yang tidak dibiasakan) adalah dipasangkan, malalui pembiasaan klasik, dengan
stimulus yang dibiasakan (pengingat fisik atau mental terhadap trauma). Kedua,
melalui pelajaran instrumental, pasien mengembangkan pola penghindaran
terhadap stimulus yang dibiasakan maupun stimulus yang tidak dibiasakan.5

Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah


mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan.
Penghidupan kembali trauma masa anak-anak menyebabkan regresi dan
mekanisme pertahanan represi, penyangkalan, dan meruntuhkan (undoing). Ego
hidup kembali dan dengan demikian berusaha menguasai dan menurunkan
kecemasan. Pasien juga mendapatkan tujuan sekunder dari dunia luar,
peningkatan perhatian atau simpati, dan pemuasan kebutuhan ketergantungan.
Tujuan tersebut mendorong gangguan dan persistensinya. Suatu pandangan
kognitif tentang gangguan stress adalah bahwa otak mencoba untuk memproses
sejumlah besar informasi yang dicetuskan oleh trauma dengan periode menerima
dan menghambat peristiwa secara berganti-ganti.5

2.3.3 Faktor Biologis


6

Model praklinik pada binatang tentang ketidakberdayaan, pembangkitan,


dan sensitisasi yang dipelajari telah menimbulkan teori tentang norepinefrin,
dopamin, opiate-endogen, dan reseptor benzodiazepine dan sumbu hipotalamus-
hipofisis-adrenal. Pada populasi klinis, data telah mendukung hipotesis bahwa
system noradrenergik dan opiate endogen, dan juga sumbu hipotalamus-hipofisis-
adrenal, adalah hiperaktif pada sekurangnya beberapa pasien dengan gangguan
stress pascatraumatik.5

Temuan biologis utama lainnya adalah peningkatan aktivitas dan


responsivitas sistem saraf otonom, seperti yang dibuktikan oleh peniggian
kecepatan denyut jantung dan pembacaan tekanan darah, dan arsitektur tidur yang
abnormal. Bebrapa peneliti telah menyatakan adanya kemiripan antara gangguan
stress pascatraumatik dan dua gangguan psikiatrik lain, gangguan depresif berat
dan gangguan panik.5

2.4 Tanda dan Gejala

Ada tiga kelompok dari gejala yang diperlukan untuk mendiagnosis suatu
PTSD, yaitu:

1. Gejala re-experience misalnya ingatan mengenai masalah, kilas balik


yang biasanya disebabkan oleh hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa
traumatik, mimpi buruk yang sering muncul mengenai trauma atau
peristiwa yang berhubungan dengan trauma.

2. Gejala avoidance yaitu menghindari tempat-tempat yang, orang-orang,


dan pengalaman yang mengingatkan penderita pada trauma, kehilangan
ketertarikan pada aktivitas yang disukai, memiliki masalah dengan
mengingat peristiwa yang berbahaya.

3. Gejala hyperaurosal, termasuk masalah tidur, masalah dalam konsentrasi,


iritabilitas, kemarahan,sulit mengingat sesuatu, peningkatan tendensi,
reaksi untuk terjaga dan hypervigilance terhadap ancaman.3

Sedikitnya 1 gejala re-experience, 3 gejala avoidance dan 3 gejala


hyperaurosal harus ada selama paling sedikit 1 bulan dan harus disebabkan oelh
7

distress yang signifikan atau kekurangan fungsional untuk mendiagnosis suatu


PTSD. PTSD menjadi kronik jika terjadi lebih dari 3 bulan.8

2.5 Diagnosis

Berikut adalah kriteria diagnostic untuk Gangguan Stres Pascatraumatik


menurut DSM-IV:

A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari
berikut ini terdapat:

1) Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu


kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian
atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau
ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain.

2) Respon orang tersebut berupa takut yang kuat, rasa tidak berdaya,
atau horror. Catatan: pada anak-anak hal ini dapat diekspresikan
dengan perilaku yang kacau atau teragitasi.

B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau


lebih) cara berikut:

1) Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang


kejadian, termasuk bayangan, pikiran, atau persepsi. Catatan:
pada anaka kecil, dapat menunjukkan permainan berulang dengan
tema atau aspek trauma.

2) Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan:


pada anak-anak, mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi
yang dapat dikenali.

3) Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi


kembali (termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman,
ilusi, halusinasi, dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang
terjadi selama terbangun atau saat terintoksikasi). Catatan: pada
8

anak kecil, dapat terjadi penghidupan kembali yang spesifik


dengan trauma.

4) Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda


internak atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai
suatu aspek kejadian traumatik.

5) Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau


eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek
kejadian traumatik.

C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma


dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma),
seperti yang ditujukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:

1) Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan


yang berhubungan dengan trauma.

2) Usaha untuk menghndari aktivitas, tempat, atau orang yang


menyadarkan rekoleksi dengan trauma.

3) Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.

4) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang
bermakna.

5) Perasaan terlepas atau asing dari orang lain.

6) Rentang afek yang terbatas (misalnya, tidak mampu untuk


memiliki perasaan cinta)

7) Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya, tidak


berharap memiliki karir, menikah, anak-anak, atau panjang
kehidupan normal)

D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum


trauma), seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut:

1) Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur.


9

2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan.

3) Sulit berkonsentrasi.

4) Kewaspadaan berlebihan.

5) Respon kejut yang berlebihan.

E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria A, B, C, dan D) adalah lebih dari


satu bulan.

F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau


gangguan dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.5

Sementara itu kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatraumatik


menurut PPDGJ III (F 43.1) adalah sebagai berikut:

1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun


waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar
antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui
6 bulan).

Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya


waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan,
asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif
kategori gangguan lainnya.

2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang


atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang
kembali (flashbacks).

3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya


dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.

4. Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar
biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan
dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama
setelah mengalami katastrofa).6
10

2.6 Diagnosis banding

Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress


pascatraumatik adalah kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala
selam trauma. Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau
mengeksaserbasi gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol, dan
gangguan berhubungan zat lainnya. Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat
mungkin juga menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan
stres pascatraumatik sampai efek zat menghilang.5

Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari


gangguan mental lain dengan mewancarai pasien tentang peristiwa traumatik
sebelumnya dan melalui sifat gejala sekarang ini. Gangguan kepribadian ambang,
gangguan disosiatif, gangguna buatan, dan berpura-pura juga harus
dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dengan
gangguan stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-
sama atau bahkan saling berhubungan sebab akibat. Pasien dengan gangguan
disosiatif biasanya tidak memilikiderajat perilaku menghindar, kesadaran berlebih
(hiperaurosal) otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien
gangguan stress pascatraumatik. Sebagian karena publisitas yang telah diterima
gangguan stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus juga
mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan dan berpura-pura.5

2.7 Tatalaksana

Berbagai teknik untuk meredakan kecemasan seperti relaksasi, teknik-


teknik mengatur pernafasan serta mengontrol pikiran-pikiran perlu dilatih dan
terbukti bermanfaat untuk individu dengan gangguan stress pascatraumatik.
Modifikasi pola hidup seperti diet yang sehat, mengatur konsumsi kafein, alkohol,
rokok dan obat-obatan lainnya, perlunya olahraga yang teratur, dll. Medikasi yang
11

terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini adalah pemberian antidepresan


golongan SSRI (penghambat selektif ambilan serotonin) seperti Fluoxetin 10-60
mg/hr, Sertralin 50-200mg/hr atau Fluvoxamine 50-300mg/hr. Antidepresan lain
yang juga dapat digunakan adalah Amiltriptilin 50-300mg/hr dan juga imipramin
50-300mg/hr.11

Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD,


tatalaksana gangguan stress pascatraumatik sebaiknya mempertimbangkan
beberapa aspek di bawah ini:

1. Gangguan stress pascatraumatik merupakan suatu gangguan yang


kronik dan berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-
gangguan jiwa serius lainnya.

2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan


serotonin/SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini.

3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.

4. Exposure therapy (terapi pemaparan) merupakan terapi dengan


pendekatan psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya
dilanjutkan selama 6 bulan.11

2.8 Prognosis

Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala
yang singkat (kurang dari enam bulan), dukungan sosial yang kuat, dan tidak
adanya gangguan psikiatrik, medis, atau berhubungan zat lainnya.5

Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih
banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam
usia paruh baya. Kemungkinan, anak-anak belum memiliki mekanisme mengatasi
kerugian fisik dan emosional akibat trauma. Demikian juga dengan orang lanjut
usia, jika dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, kemungkinan
memiliki mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu melakukan
pendekatan fleksibel untuk mengatasi efek trauma. Kecacatan psikiatrik yang ada
sebelumnya, apakah suatu gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang lebih
12

serius, juga meningkatkan efek stresor tertentu. Tersedianya dukungan sosial juga
mempengaruhi perkembangan, keparahan, dan durasi gangguan stres
pascatraumatik. Pada umumnya, pasien yang memiliki jaringan dukungan sosial
yang baik, kemungkinan tidak menderita gangguan atau tidak mengalami
gangguan dalam bentuk yang parahnya.5

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah gangguan kecemasan yang


dapat terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatik.
Statistik pada anak-anak dan remaja menunjukkan bahwa hampir 40%
muncul paling tidak satu peristiwa traumatik, yang berkembang menjadi PTSD
pada hampir 15% anak perempuan dan 6% pada anak laki-laki. Hampir 100% dari
anak-anak yang menyaksikan orangtuanya dibunuh atau mengalami kekerasan
seksual atau kekerasan rumah tangga mengarah untuk berkembang menjadi
PTSD, dan lebih dari sepertiga anak muda yang terpapar pada kekerasan akan
mengalami gangguan ini.

Secara garis besar terdapat 3 faktor penyebab terjadinya gangguan stres


pasca traumatik, yaitu:

1. Stresor*

2. Faktor psikodinamika*

3. Faktor biologis*

Kriteria diagnosis terdapat pada DSM-IV dan PPDGJ III. DSM-IV


menyebutkan bahwa gejala pengalaman ulang (re-experiencing), menghindar, dan
kesadaran yang berlebihan (hyperarousal) harus berlangsung lebih dari 1 bulan.
Bagi pasien yang gejalanya ditemukan kurang dari satu bulan, diagnosis yang
tepat mungkin adalah gangguan stres akut. Kriteria diagnostik DSM-IV untuk
gangguan stres pascatraumatik memungkinkan klinisi menentukan apakah
13

gangguan adalah akut atau kronis. DSM-IV juga memungkinkan klinisi


menentukan bahwa gangguan adalah dengan onset lambat jika onset gejala adlah
enam bulan atau lebih setelah peristiwa stres.

Medikasi yang terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini adalah


pemberian anti depresan golongan SSRI (Penghambat selektif ambila serotonin)
seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Sertralin 50-200mg/hr atau Fluvoxamine 50-
300mg/hr. Antidepresan lain yang juga dapat digunakan adalah Amiltriptilin 50-
300mg/hr dan juga imipramin 50-300mg/hr.

Kira-kira 30% pasien pulih secara lengkap, 40% pasien terus menderita
gejala ringan, 20% pasien terus menderita gejala sedang, dan 10% pasien tetap
tidak berubah atau menjadi memburuk. Prognosis yang baik diramalkan oleh
onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat (kurang dari enam bulan),
fungsi pramorbid yang baik, dukungan social yang kuat, dan tidak adanya
gangguan psikiatrik, medis, atau berhubungan zat lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Family Physicians, 2002. Post-traumatic Stress


Disorder. American Academy of Family Physicians. Available from:
http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/mentalhealth/anxi
ety/624.printview.html

2. Chakraburtty, Amal, 2009. Post-Traumatic Stress Disorder.webMD.


available from: http://www.webmd.com/mental-health/post-traumatic-
stress-disorder

3. Edwards, R. D., 2010. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).


MedicineNet. Available from:
14

http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?
articlekey=12578&pf=3&page=1\

4. Framingham, Jane, 2007. Minnesota Multiphasic Personality Inventory


(MMPI). Psych Central. Available from:
http://psychcentral.com/lib/2011/minnesota-multiphasic-personality-
inventory-mmpi/

5. Kaplan, Sadock, Grebb, MD, 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid ke-2, Binapura
Angkasa, Jakarta: 68-75.

6. Maslim, Rusdi, 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas


PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta:
79

7. Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2009. Post-


traumatic Stress Disorder. Mayo Foundation for Medical Education and
Research. Available from: http://www.mayoclinic.com/health/post-
traumatic-stress-disorder/DS00246/METHOD=print

8. Mental Health America, 2007. Post-traumatic Stress Disorder. Mental


Health America. Available from:
http://mentalhealthamerica.net/index.cfm?objectid=C7DF91D3-1372-
4D20-C8E6CFE1B56A38AB

9. Mu’tadin, Zainun, 2007. Gangguan Stress Pasca Trauma, Psikologi


Indonesia. Available from:
http://psiko-indonesia.blogspot.com/2007/01/gangguan-stress-pasca-
trauma.html

10. National Institute of Mental Health. 2008. Post-traumatic Stress Disorder.


National Institute of Mental Health. Available from:
http://www.nimh.nih.gov/health/publications/post-traumatic-stress-
disorder-ptsd/what-is-post-traumatic-stress-disorder-or-ptsd.shtml

11. Utama, Hendra, 2010. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 254-264.
15

Anda mungkin juga menyukai