Disusun Oleh:
Oleh:
Neni Septria Ningsih
04054821517054
04054821517059
04054821517102
04054821517087
Neva Arsita
04054821618024
Pembimbing :
dr. Abdullah Shahab, SpKJ (K)
BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN JIWA
RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2016
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Referat:
PSIKIATRI TERKAIT BENCANA
Oleh:
Neni Septria Ningsih
04054821517054
04054821517059
04054821517102
04054821517087
Neva Arsita
04054821618024
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Palembang,
Desember 2016
Pembimbing,
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul Psikiatri Terkait Bencana. Laporan ini merupakan salah
satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian Psikiatri RSMH
Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Abdullah Shahab, SpKJ (K)
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan referat ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya
referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga referat ini dapat memberi manfaat bagi yang
membacanya.
Palembang,
Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan ..................................................................................2
Kata Pengantar............................................................................................3
Daftar Isi .....................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................7
a. Definisi............................................................................................7
b. Gambaran Klinis..............................................................................7
c. Diagnosis.........................................................................................8
d. Diagnosis Banding........................................................................13
e. Epidemiologi.................................................................................14
f. Etiologi..........................................................................................14
g. Faktor Risiko.................................................................................19
h. Klasifikasi......................................................................................20
i. Perjalanan Penyakit.......................................................................22
j. Penatalaksanaan.............................................................................22
k. Prognosis.......................................................................................27
BAB III KESIMPULAN...........................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................30
BAB I
PENDAHULUAN
Bencana alam adalah sesuatu hal yang tidak pernah diinginkan. Hadirnya
sebuah bencana dalam kehidupan manusia, menyebabkan adanya kegoncangan
psikologis pada diri manusia tersebut. Kejadian traumatik merupakan peristiwa
kehidupan yang dapat mengenai setiap orang. Dalam setiap kejadian traumatik
yang terjadi, selalu ada implikasi kesehatan jiwa, baik dalam kasus akibat bencana
alam misalnya gempa bumi, tsunami, angin ribut, maupun pada bencana yang
diakibatkan oleh manusia misalnya perang, serangan teroris, kekerasan
interpersonal. Dampak dari kejadian traumatik yang dialami oleh setiap orang
tidaklah sama. Kejadian traumatik yang dialami bila tidak dapat diatasi dengan
baik dapat menimbulkan suatu kumpulan gejala yang berkaitan dengan
kecemasan. Kompleksitas gangguan kecemasan ini dikenal sebagai gangguan
stres pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder/ PTSD).
Menurut National Center for PTSD, lima juta anak di Amerika Serikat
terpapar dengan kejadian traumatik setiap tahunnya dan 36% di antaranya
mengalami gangguan stress pasca trauma. Menurut Stephen, et al. (2005),
semakin
yang berisiko menjadi gangguan stress pasca trauma merupakan komponen yang
penting dalam mencegah terjadinya gangguan mental.
Pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan tentang gambaran klinis,
diagnosis, epidemiologi, etiologi, kalsifikasi, perjalanan penyakit, terapi dan
prognosis.
Diharapkan
dengan
pembahasan
ini
dapat
mengembangkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan gangguan
stress pasca trauma (PTSD) sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul
setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau
fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa bencana alam yang menimpa manusia,
kekerasan, kecelakaan ataupun perang.
Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IVTR), PTSD didefinisikan sebagai suatu kejadian atau beberapa kejadian trauma
yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian
atau ancaman kematian, atau cedera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik
atas diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan yang ekstrem,
horor, atau rasa tidak berdaya.
Menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) gangguan stress pasca
trauma merupakan reaksi dari individu terhadap kejadian yang luar biasa akibat
dari pengalaman seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan luar
biasa, jauh dari pengalaman yang normal bagi seseorang.
B. Gambaran Klinis
Gambaran klinis utama PTSD adalah mengalami kembali suatu peristiwa
yang menyakitkan, suatu pola menghindari dan mematikan emosi, serta keadaan
terus terjaga yang cukup konstan. Gangguan ini dapat tidak timbul sampai
berbulan-bulan
atau
bahkan
bertahun-tahun
setelah
peristiwa
tersebut.
hendaya memori dan perhatian. Gejala terkait dapat mencakup agresi, kekerasan,
depresi dan gangguan terkait zat.
Gejala utama PTSD adalah mengalami kembali secara involunter peristiwa
traumatik dalam bentuk mimpi atau bayangan yang intrusif, yang menerobos
masuk ke dalam kesadaran secara tiba-tiba (kilas balik atau flash back). Hal ini
sering dipicu oleh hal-hal yang mengingatkan penderita akan peristiwa traumatik
yang pernah dialami. Kelompok gejala lainnya adalah tanda-tanda meningkatnya
keterjagaan berupa anxietas yang hebat, iritabilitas, insomnia, dan konsentrasi
yang buruk. Anxietas akan bertambah parah pada saat terjadi kilas balik. Gejalagejala disosiatif merupakan kelompok gejala lainnya yang terdiri dari kesulitan
mengingat kembali bagian-bagian penting dari peristiwa itu (detachment),
ketidakmampuan untuk merasakan perasaan (emotional numbness), dan kadangkadang terjadi depersonalisasi dan derealisasi. Perilaku menghindar merupakan
bagian dari gejala PTSD. Pasien menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan
dia akan peristiwa traumatik tersebut. Gejala-gejala depresi kerap kali didapatkan
dan sering merasa bersalah. Perilaku maladaptif sering terjadi berupa rasa marah
yang persisten, penggunaan alkohol atau obat-obat berlebihan dan perbuatan
mencederai diri yang sebagian berakhir dengan bunuh diri.
C. Diagnosis
Kriteria diagnosis DSM-IV TR untuk PTSD merinci bahwa gejala
mengalami, menghindari, dan terus terjaga selama lebih dari 1 bulan. Untuk
pasien yang gejalanya ada, tetapi kurang dari 1 bulan, diagnosis yang sesuai
adalah
gangguan
stres
akut.
Kriteria
diagnostik
DSM-IV
TR
PTSD
memungkinkan klinisi untuk merinci apakah gangguan tersebut akut (jika gejala
kurang dari 3 bulan) atau kronis (jika gejala telah ada selama 3 bulan atau lebih).
DSM-IV TR juga memungkinkan klinisi merinci bahwa gangguan tersebut adalah
dengan awitan yang tertunda jika awitan gejala 6 bulan atau lebih setelah
peristiwa yang memberikan stres. Menurut DSM-IV, kriteria diagnosis bagi
penderita gangguan stress pasca trauma :
A. Kejadian traumatik
1. Satu atau banyak peristiwa yang membuat seseorang mengalami,
tersebut
dengan
untuk
menghindari
pikiran,
perasaan,
dialaminya
3. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa
trauma yang dialaminya
4. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa
penting berkurang
5. Merasa terasing dari orang di sekitarnya
6. Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapat merasakan
cinta)
7. Perasaan bahwa masa depannya suram
D. Gejala hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau
lebih gejala di bawah ini:
10
atau
amarah
yang
meledak-ledak,
(3)
sulit
Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar
biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi
dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama
setelah mengalami katastrofa).
Kriteria diagnosis PTSD dibuat untuk orang dewasa dan tidak sepenuhnya
11
anak
tersebut memilki gangguan psikiatri yang analog dengan PTSD pada dewasa.
Biasanaya anak seringkali tidak memilki tiga tanda dari numbing (mematikan
perasaannya) dan withdrawl (menarik diri) seperti pada orang dewasa karena
kemampuan verbal untuk mengekspresikan perasaannya masih kurang. Anakanak mungkin mungkin mengalami perubahan anatara hiperarousal dan numbing/
withdrawl.
Scheeringa et al (1995) merekomendasikan perubahan kriteria PTSD bagi
young children. Perubahan kriteria ini tidak mengharuskan anak dapat melaporkan
ketakutannya sebagai respon terhadap trauma. Kriteria diagnosis yang digunakan
bagi young child yaitu:
a) Anak tersebut setidaknya harus mengalami kembali salah satu tipe
pengulangan ingatan kejadian traumatik di bawah ini:
b) Perubahan kriteria ini juga hanya memerlukan satu dari gejala mati rasa
secara emosional dan perilaku menghindar di bawah ini (dewasa perlu
tiga):
Rentang afek yang terbatas (perasaan dan pikiran jadi datar, tumpul)
12
Penurunan konsentrasi
d) Ditandai oleh salah satu dari gejala ketakutan dan sikap bermusuhan di
bawah ini:
Takut gelap
Takut terhadap suatu hal baru yang tidak secara jelas berkaitan dengan
trauma
D. Diagnosis Banding
Pertimbangan utama dalam diagnosis PTSD adalah kemungkinan bahwa
pasien juga menderita cedera kepala selama trauma. Pertimbangan organik lain
yang dapat menyebabkan dan memperberat gejala adalah epilepsi, gangguan
penggunaan alkohol, dan gangguan terkait zat lain. Intoksikasi atau putus zat juga
dapat menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dengan gangguan ini
sampai efek zat hilang.
PTSD lazim salah didiagnosis sebagai gangguan jiwa lain dan kemudian
diobati dengan tidak sesuai. Klinisi harus mempertimbangkan diagnosis PTSD
pada pasien yang memiliki gangguan nyeri, penyalahgunaan zat, gangguan
ansietas lain dan gangguan mood. Pada umumnya, PTSD dapat dibedakan dengan
gangguan jiwa lain dengan mewawancarai pasien mengenai pengalaman
13
traumatik sebelumnya dan engan sifat gejala saat ini. Gangguan kepribadian
ambang, gangguan disosiatif, dan gangguan buatan, juga harus dipertimbangkan.
E. Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup PTSD diperkirakan sekitar 8 persen populasi
umum walaupun tambahan 5 hingga 15 persen dapat megalami bentuk subklinis
gangguan ini. Di antara kelompok risiko tinggi yang anggotanya mengalami
peristiwa traumatik, angka prevalensi seumur hidupnya berkisar 5 hingga 75
persen. Walaupun PTSD dapat timbul pada usia berapapun, gangguan ini paling
prevalen pada dewasa muda karena mereka cenderung lebih terpajan dengan
situasi penginduksi. Anak juga dapat mengalami gangguan ini. Laki-laki dan
perempuan memiliki perbedaan tipe trauma yang memajankan mereka dan
kecenderungan untuk mengalami PTSD. Prevalensi seumur hidup secara
bermakna pada perempuan lebih tinggi. Gangguan ini lebih cenderung terjadi
pada orang lajang, bercerai, janda, menarik diri secara sosial, atau tingkat
sosioekonomi rendah. Meskipun demikian, faktor risiko paling penting dari
gangguan ini adalah keparahan, durasi, dan kedekatan pajanan seseorang dengan
trauma sebenarnya.
F. Etiologi
Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam
perkembangan gangguan stres pasca trauma. Ketika kita dalam keadaan takut
dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight or flight. Dalam reaksi ini
tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah,
denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang maka
tubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini menyebabkan
pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup
untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan kita masih akan merasakan
efek stress dari adrenalin. Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD
seringkali memiliki hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan
pada saat kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan
14
bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres
meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan fisik. Stresor dapat
berasal dari bencana alam, bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia, ataupun
akibat kecelakaan. Stresor akibat bencana alam antara lain: menjadi korban yang
selamat dari tsunami, gempa bumi, badai. Kejadian trauma akibat ulah manusia
antara lain: menjadi korban banjir, penculikan, perkosaan, kekerasan fisik, melihat
pembunuhan, perang, dan kejahatan kriminal lainnya di mana ia tinggal. Kejadian
trauma juga dapat terjadi akibat kecelakaan baik, yang menyebabkan cidera fisik
maupun yang tidak. Pada pasien yang menerima hasil diagnosis penyakit yang
mematikan baik terhadap dirinya ataupun orang terdekatnya dapat menjadi
stresor. Akan tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stres pasca
trauma setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stresor diperlukan, namun
stresor tidaklah cukup untuk menyebabkan gangguan. Terdapat beberapa faktor
yang harus dipertimbangkan antara lain:
1.
Faktor biologis
Pada anak yang sebelumnya memiliki gangguan cemas memiliki risiko
lebih tinggi berkembang menjadi PTSD setelah mengalami trauma. Hal ini
berhubungan dengan faktor predisposisi genetik di mana, seseorang yang
memiliki riwayat gangguan depresi dan gangguan cemas di keluarganya
menjadi faktor predisposisi PTSD setelah anak tersebut terpapar dengan
kejadian traumatik.
Pada anak yang mengalami PTSD ditemukan beberapa abnormalitas
psikobiologikal antara lain: perubahan kompleks dalam fungsi aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal, terjadinya peningkatan ekskresi metabolit
adrenergik dan dopaminergik, volume intrakranial dan area korpus kolusum
yang lebih kecil, defisit memori, dan IQ yang rendah.
2.
Faktor psikologi
Classical
dan
operant
conditioning
dapat
diimplikasikan
pada
15
Faktor sosial
Dukungan sosial yang
Kecelakaan industri
Kecelakaan mobil
Kebakaran
16
3.
Bencana
oleh
karena
manusia
yang
disengaja
(deliberate
manmadedisasters)
kemampuan
menghadapi
bencana,
apalgi
bila
17
maju. Pada kelompok usia muda tidak ada gejala khas untuk etnis
tertentu baik pada etnis mayoritas maupun etnis minoritas, sedangkan
pada kelompok usia dewasa, etnis minoritas cenderung mengalami
dampak psikologis dibandingkan mayoritas.
d. Sosial ekonomi. Dampak bencana pada individu berbeda menurut latar
belakang pendidikan, proses pembentukan kepribadian, penghasilan
dan profesi. Individu dengan kedudukan sosial ekonomi yang rendah
akan mengalami stress pasca trauma lebih berat. Bencana yang terjadi
akan mempengaruhi kedudukan sosial ekonomi seseorang atau
keluarga.
e. Keluarga. Pengalaman bencana akan mempengaruhi stabilitas keluarga
seperti tingkat stres dalam perkawinan, posisi sebagai orang tua
terutama orang tua perempuan. Gejala psikis pada orang tua ini akan
berdampak pada anak sehingga perhatian pada orang tua dalam
keluarga akan berdampak positif pada anak.
f. Tingkat kekuatan mental dan kepribadian. Hampir semua hasil
penelitian menyimpulkan bahwa kondisi kesehatan mental prabencana
dapat dijadikan dasar untuk memprediksi dampak patologis pasca
bencana. Individu dengan masalah kesehatan jiwa akan mengalami
stres yang lebih berat dibandingkan dengan individu dengan kondisi
patologis yang stabil.
2. Faktor bencana. Pada faktor ini, dampak psikologis dapat ditinjau dari
beberapa hal berikut:
a. Tingkat keterpaparan. Keterpaparan seorang akan masalah yang
dihadapi merupakan variabel penting untuk memprediksi dampak
psikologis korban.
b. Ditinggal mati oleh sanak keluarga atau sahabat
c. Diri sendiri atau keluarga terluka
d. Merasakan ancaman keselamatan jiwa atau mengalami ketakutan yang
luar biasa
e. Mengalami situasi panik pada saat bencana
f. Pengalaman berpisah dengan keluarga, terutama pada korban usia
muda
g. Kehilangan harta benda dalam jumlah besar
h. Pindah tempat tinggal akibat bencana
18
lain
yang
penting
di
perhatikan
pasca
bencana
adalah
meletus,
peperangan,
berbagai
tindak
kekerasan,
usaha
19
20
d) Pelaku kejadian trauma. Semakin dekat hubungan antara pelaku dan korban
(misalnya: kekerasan anak yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri) semakin
berisiko menjadi PTSD.
e) Kejadian trauma yang sangat interpersonal seperti, perkosaan.
f)
Jenis kelamin: anak dan remaja perempuan lebih berisiko dibandingkan lakilaki.
Usia : PTSD dapat terjadi pada semua golongan usia tetapi anak-anak dan
usia tua (>60 tahun) merupakan kelompok usia yang lebih rentan mengalami
PTSD. Anak-anak memiliki kebutuhan dan kerentanan khusus jika
21
j)
k)
l)
bencana
lebih
berisiko
dibandingkan
mereka
yang
2.
3.
4.
Merasa kebingungan
5.
6.
7.
8.
22
9.
Timbul
gejala
regresif
(mengalami
kemunduran
23
24
diisyaratkan sebagai proses yang harus dijalani oleh anak, maka perlu konsultasi
dengan terapis yang benar-benar berpengalaman dengan kasus anak-anak (bukan
dewasa). Hal ini harus sangat diperhatikan karena proses evaluasi dapat dialami
sebagai proses yang sangat berat dan dapat menimbulkan trauma sekunder.
Setelah dilakukan evaluasi ada dua macam terapi pengobatan yang dapat
dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan menggunakan psikoterapi dan
farmakoterapi. Hasil pengobatan akan lebih efektif jika kedua terapi ini
dikombinasikan sehingga tercapai penanganan yang holistik dan komprehensif.
a. Psikoterapi
1. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Menurut penelitian Cognitive
Behavioral
Therapy
(CBT)
25
26
merupakan terapi simptomatik pada PTSD. Terapi obat ini bukanlah lini
pertama dalam penanganan PTSD tetapi dapat dijadikan sebagai
pendukung (adjuvan) psikoterapi agar tercapai hasil yang optimal dalam
menangani kasus PTSD.
a. Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs)
SSRIs merupakan obat lini pertama dalam mengatasi gejala cemas, depresi,
perilaku menghindar, dan pikiran yang intrusif (mengganggu). Obat ini
meningkatkan jumah serotonin dengan cara menginhibisi reuptake
serotonin diotak. Obat golongan SSRIs yang disetujui oleh FDA dalam
mengatasi gejala depresi pada anak PTSD
Obat ini digunakan untuk anak usia lebih dari 8 tahun dengan dosis awal
10 mg/ hari selama satu minggu kemudian dapat ditingkatkan sampai 20
mg/hari dan diberikan secara peroral.
b. Beta adrenergic blocking agents
Obat yang digunakan golongan ini yakni, Propanolol (Inderal). Obat i ni
dapat mengatasi gejala hiperarousal. Dosis untuk anak-anak: 2,5 mg/kg
BB/hari
c. Mood stabilizers
Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala arousal yang meninggi dan
gejala impulsif.
Dosis Carbamazepine (Tegretol):
6-12 tahun: 100mg/hari peroral untuk initial lalu dapat dinaikkan hingga
100mg/hari, untuk dosis maintenance; 20-30 mg/kg/hari
>12 tahun: samapai kadar di plasma 8-12mcg/ml
Dosis valporic acid (Depakene, depakote): 10-15 mg/kg/hari untuk dosis
initial dan kemudian dapat ditingkatkan 5-10mg/kg/hari
27
yang
mendesak
sehingga
dapat
dilakukan
28
29
BAB III
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
Alam, Romadhon. 2002. Gambaran Klinik dan Psikofarmaka pada Penderita
Gangguan Kecemasan. Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 200. Diunduh
31
dalam
URL:http//www.kalbe.co.id/files/.../09_GambaranKlinikdanPsikofarmaka.
pdf. pada tanggal 14 Desember 2016
Kaminer D, Seedat S. World Psychiatric Association Post-traumatic stress
disorder in children World Psychiatry. 2005 June; 4(2): 121125.
Kaplan dan Saddock. 2002. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri
Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara.
Kaplan & Saddock. 2010.Buku Ajar Psikiatri Klinis edisi 2. Jakarta: EGC.
Kathleen KT. Clinical Management of Posttraumatic Stress Disorder. 2003.
Diunduh dalam http://www.granitescientific.com/granitescientific
%20home%20page_files/ClinicalTreatmentofPTSD.pdf. pada tanggal 14
Desember 2016
Maramis, Willy F. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga
University Press.
Paige SR. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). 2005. Diunduh dalam
http://www.emedicinehealth.com/posttraumatic_stress_disorder_ptsd/articl
e_em.htm pada tanggal 14 Desember 2016.
Roxanne. 2007. Posttraumatic Stress Disorder. Diunduh dalam
http://www.medicinenet.com/posttraumatic_stress_disorder/article.htm.
pada tanggal 14 Desember 2016.
Roy HL. Posttraumatic Stress Disorder in Children. 2008. Diunduh dalam
http://emedicine.medscape.com/article/918844-overview pada tanggal 14
Desember 2016
Saddock BJ, Saddock VA. Behavior Therapy. Kaplan & Sadocks Synopsis of
Psikiatry Behavoioral Science/Clinical Psychiatry. 10th ed. Lippincott
Williams & Wilkins Publishers. Philadelphia : 2007. 50(2): 1275-1277.
Saddock BJ, Saddock VA. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of
Psychiatry. 8th ed. LippincottWilliams & Wilkins. Philadelphia: 2005.
46(2) :3287-3291.
32
33