Anda di halaman 1dari 33

Referat

PSIKIATRI TERKAIT BENCANA

Disusun Oleh:
Oleh:
Neni Septria Ningsih

04054821517054

Azizha Ros Luthfia

04054821517059

Luthfy Uly Marcelyne

04054821517102

Kristian Sudana Hartanto

04054821517087

Neva Arsita

04054821618024

Pembimbing :
dr. Abdullah Shahab, SpKJ (K)
BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN JIWA
RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2016

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat:
PSIKIATRI TERKAIT BENCANA

Oleh:
Neni Septria Ningsih

04054821517054

Azizha Ros Luthfia

04054821517059

Luthfy Uly Marcelyne

04054821517102

Kristian Sudana Hartanto

04054821517087

Neva Arsita

04054821618024

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.

Palembang,

Desember 2016

Pembimbing,

dr. Abdullah Shahab SpKJ (K)

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul Psikiatri Terkait Bencana. Laporan ini merupakan salah
satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian Psikiatri RSMH
Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Abdullah Shahab, SpKJ (K)
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan referat ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya
referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga referat ini dapat memberi manfaat bagi yang
membacanya.

Palembang,

Desember 2016

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan ..................................................................................2
Kata Pengantar............................................................................................3
Daftar Isi .....................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................7
a. Definisi............................................................................................7
b. Gambaran Klinis..............................................................................7
c. Diagnosis.........................................................................................8
d. Diagnosis Banding........................................................................13
e. Epidemiologi.................................................................................14
f. Etiologi..........................................................................................14
g. Faktor Risiko.................................................................................19
h. Klasifikasi......................................................................................20
i. Perjalanan Penyakit.......................................................................22
j. Penatalaksanaan.............................................................................22
k. Prognosis.......................................................................................27
BAB III KESIMPULAN...........................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................30

BAB I
PENDAHULUAN
Bencana alam adalah sesuatu hal yang tidak pernah diinginkan. Hadirnya
sebuah bencana dalam kehidupan manusia, menyebabkan adanya kegoncangan
psikologis pada diri manusia tersebut. Kejadian traumatik merupakan peristiwa
kehidupan yang dapat mengenai setiap orang. Dalam setiap kejadian traumatik
yang terjadi, selalu ada implikasi kesehatan jiwa, baik dalam kasus akibat bencana
alam misalnya gempa bumi, tsunami, angin ribut, maupun pada bencana yang
diakibatkan oleh manusia misalnya perang, serangan teroris, kekerasan
interpersonal. Dampak dari kejadian traumatik yang dialami oleh setiap orang
tidaklah sama. Kejadian traumatik yang dialami bila tidak dapat diatasi dengan
baik dapat menimbulkan suatu kumpulan gejala yang berkaitan dengan
kecemasan. Kompleksitas gangguan kecemasan ini dikenal sebagai gangguan
stres pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder/ PTSD).
Menurut National Center for PTSD, lima juta anak di Amerika Serikat
terpapar dengan kejadian traumatik setiap tahunnya dan 36% di antaranya
mengalami gangguan stress pasca trauma. Menurut Stephen, et al. (2005),
semakin

muda usia anak yang mengalami trauma semakin besar kemungkinan

berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma.


Menurut data dari klinik psikiatri RSCM/FKUI sebagai Pusat Rujukan
nasional untuk pengobatan psikis bagi korban bencana, Indonesia termasuk negara
yang rawan bencana dilihat dari angka kejadian bencana semakin tinggi
belakangan ini. Kondisi itu membuat prevalensi penderita gangguan stres pasca
trauma meningkat. Salah satu bencana alam yang terbesar yakni, tsunami di
Aceh yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 dan mengakibatkan sekitar
165.708 korban jiwa meninggal. Kejadian ini menyisakan duka yang mendalam
akibat ditinggalkan keluarga yang dicintainya.
Meningkatnya angka kejadian gangguan stress pasca trauma ini
merupakan suatu topik permasalahan yang harus diperhatikan. Identifikasi trauma

yang berisiko menjadi gangguan stress pasca trauma merupakan komponen yang
penting dalam mencegah terjadinya gangguan mental.
Pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan tentang gambaran klinis,
diagnosis, epidemiologi, etiologi, kalsifikasi, perjalanan penyakit, terapi dan
prognosis.

Diharapkan

dengan

pembahasan

ini

dapat

mengembangkan

pemahaman tentang pentingnya mengenali secara dini dan memberikan terapi


yang tepat pada anak yang mengalami trauma agar tidak mengalami gangguan
stress pasca trauma yang berkepanjangan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan gangguan
stress pasca trauma (PTSD) sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul
setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau
fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa bencana alam yang menimpa manusia,
kekerasan, kecelakaan ataupun perang.
Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IVTR), PTSD didefinisikan sebagai suatu kejadian atau beberapa kejadian trauma
yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian
atau ancaman kematian, atau cedera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik
atas diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan yang ekstrem,
horor, atau rasa tidak berdaya.
Menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) gangguan stress pasca
trauma merupakan reaksi dari individu terhadap kejadian yang luar biasa akibat
dari pengalaman seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan luar
biasa, jauh dari pengalaman yang normal bagi seseorang.
B. Gambaran Klinis
Gambaran klinis utama PTSD adalah mengalami kembali suatu peristiwa
yang menyakitkan, suatu pola menghindari dan mematikan emosi, serta keadaan
terus terjaga yang cukup konstan. Gangguan ini dapat tidak timbul sampai
berbulan-bulan

atau

bahkan

bertahun-tahun

setelah

peristiwa

tersebut.

Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah, penolakan, dan


cemoohan. Pasien juga menggambarkan disosiatif dan timbul serangan panik,
ilusi, dan halusinasi. Uji kognitif dapat menunjukkan bahwa pasien memiliki

hendaya memori dan perhatian. Gejala terkait dapat mencakup agresi, kekerasan,
depresi dan gangguan terkait zat.
Gejala utama PTSD adalah mengalami kembali secara involunter peristiwa
traumatik dalam bentuk mimpi atau bayangan yang intrusif, yang menerobos
masuk ke dalam kesadaran secara tiba-tiba (kilas balik atau flash back). Hal ini
sering dipicu oleh hal-hal yang mengingatkan penderita akan peristiwa traumatik
yang pernah dialami. Kelompok gejala lainnya adalah tanda-tanda meningkatnya
keterjagaan berupa anxietas yang hebat, iritabilitas, insomnia, dan konsentrasi
yang buruk. Anxietas akan bertambah parah pada saat terjadi kilas balik. Gejalagejala disosiatif merupakan kelompok gejala lainnya yang terdiri dari kesulitan
mengingat kembali bagian-bagian penting dari peristiwa itu (detachment),
ketidakmampuan untuk merasakan perasaan (emotional numbness), dan kadangkadang terjadi depersonalisasi dan derealisasi. Perilaku menghindar merupakan
bagian dari gejala PTSD. Pasien menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan
dia akan peristiwa traumatik tersebut. Gejala-gejala depresi kerap kali didapatkan
dan sering merasa bersalah. Perilaku maladaptif sering terjadi berupa rasa marah
yang persisten, penggunaan alkohol atau obat-obat berlebihan dan perbuatan
mencederai diri yang sebagian berakhir dengan bunuh diri.
C. Diagnosis
Kriteria diagnosis DSM-IV TR untuk PTSD merinci bahwa gejala
mengalami, menghindari, dan terus terjaga selama lebih dari 1 bulan. Untuk
pasien yang gejalanya ada, tetapi kurang dari 1 bulan, diagnosis yang sesuai
adalah

gangguan

stres

akut.

Kriteria

diagnostik

DSM-IV

TR

PTSD

memungkinkan klinisi untuk merinci apakah gangguan tersebut akut (jika gejala
kurang dari 3 bulan) atau kronis (jika gejala telah ada selama 3 bulan atau lebih).
DSM-IV TR juga memungkinkan klinisi merinci bahwa gangguan tersebut adalah
dengan awitan yang tertunda jika awitan gejala 6 bulan atau lebih setelah
peristiwa yang memberikan stres. Menurut DSM-IV, kriteria diagnosis bagi
penderita gangguan stress pasca trauma :
A. Kejadian traumatik
1. Satu atau banyak peristiwa yang membuat seseorang mengalami,

menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian yang berupa


ancaman kematian, cedera yang serius atau ancaman terhadap
integritas fisik dirinya sendiri atau orang lain.
2. Tanggapan individu terhadap pengalaman

tersebut

dengan

ketakutan atau ketidakberdayaan yang sangat kuat.


B. Mengalami kembali satu atau lebih gejala di bawah ini:
1. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang
dialaminya dan bersifat mengganggu (bisa berupa gambaran,
pikiran, persepsi)
2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang
dialaminnya (yang mencemaskan)
3. Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma
yang dialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena
ilusi, haluinasinya)
4. Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yang
mengingatkan terhadap kejadian trauma (kenangan akan
peristiwa trauma)
C. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma
dan mematikan perasaan/ tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum
trauma masih berespon). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di
bawah ini:
1. Kemampuan
2.

untuk

menghindari

pikiran,

perasaan,

percakapan yang berhubungan dengan kejadian trauma


Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang
dapat membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang

dialaminya
3. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa
trauma yang dialaminya
4. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa
penting berkurang
5. Merasa terasing dari orang di sekitarnya
6. Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapat merasakan
cinta)
7. Perasaan bahwa masa depannya suram
D. Gejala hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau
lebih gejala di bawah ini:

1. Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempeertahankannya


2. Sulit berkonsentrasi
3. Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya
4. Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan)
5. Reaksi kaget yang berlebihan
E. Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan
F. Gangguan/ gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan
fungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting
lainnya. Selain itu, secara spesifikasi diagnosis PTSD dapat
diidentifikasi sebagai: (1) akut, bila gejala berlangsung satu sampai tiga
bulan (2) kronis, bila gejala berlangsung lebih dari tiga buan (3) Awal
gejala / onset yang tertunda bila gejala dimula sedikitnya enam bulan
setelah kejadian traumatik/stressor.
Selanjutnya, menurut International Classification of Diseases 10 (ICD-10)
kriteria diagnosis PTSD sebagai berikut:
A. Pasien harus pernah terpapar pada suatu peristiwa atau situasi yang
menimbulkan stress (sebentar/lama) yang sifatnya malapetaka atau
sangat mengancam sehingga mungkin akan menyebabkan stres pada
hampir semua orang
B. Terus menerus mengingat atau menghayati lagi penyebab stress dalam
bentuk kilas balik yang mengganggu, kenangan yang jelas sekali atau
mimpi yang berulang, atau mengalami keemasan ketika menghadapi
keadaan yang mirip atau berkaitan dengan penyebab stres
C. Pasien harus memperlihatkan suatu penghindaran nyata dari keadaan
yang mirip atau berhubugan dengan penyebab stress yang tidak ada
sebelumnya
D. Salah satu dari hal berikut harus terjadi:
a. Tidak mampu mengingat sebagian atau seluruhnya dari
beberapa aspek penting selama masa terpapar pada penyebab
stres
b. Gejala yang terus menerus dari adanya peningkatan kepekaaan

10

psikologis dan sensasi (tidak ada sebelum terpapar dengan


penyebab stres), ditunjukkan oleh dua dari berikut ini: (1) sulit
untuk memulai tidur dan mempertahankannya, (2) mudah
marah

atau

amarah

yang

meledak-ledak,

(3)

sulit

berkonsentrasi, (4) kewaspadaan yang sangat tinggi, dan (5)


reaksi kaget yag berlebihan
E. Kriteria B, C, dan D semuanya terjadi dalam kurun waktu enam bulan
setelah peristiwa traumatik terjadi
Pedoman diagnostik gangguan stress pasca trauma menurut PPDGJ III
(F 43.1) yaitu :

Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun


waktu enam bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang
berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai
melampaui enam bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan
apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan
melebihi waktu enam bulan, asal manifestasi klinisnya adalah khas dan
tidak didapat alternatif kategori ganngguan lainnya.

Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang


atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang
kembali (flashback)

Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya


dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas

Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar
biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi
dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama
setelah mengalami katastrofa).
Kriteria diagnosis PTSD dibuat untuk orang dewasa dan tidak sepenuhnya

semua kriteria di atas dapat dipergunakan bagi anak-anak. Anak-anak memilki


keterbatasan dalam kemampuan verbalnya dan memiliki cara yang berbeda dalam
bereaksi terhadap stress. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak mungkin tidak

11

memenuhi kriteria DSM-IV-TR

secara penuh meskipun secara jelas

anak

tersebut memilki gangguan psikiatri yang analog dengan PTSD pada dewasa.
Biasanaya anak seringkali tidak memilki tiga tanda dari numbing (mematikan
perasaannya) dan withdrawl (menarik diri) seperti pada orang dewasa karena
kemampuan verbal untuk mengekspresikan perasaannya masih kurang. Anakanak mungkin mungkin mengalami perubahan anatara hiperarousal dan numbing/
withdrawl.
Scheeringa et al (1995) merekomendasikan perubahan kriteria PTSD bagi
young children. Perubahan kriteria ini tidak mengharuskan anak dapat melaporkan
ketakutannya sebagai respon terhadap trauma. Kriteria diagnosis yang digunakan
bagi young child yaitu:
a) Anak tersebut setidaknya harus mengalami kembali salah satu tipe
pengulangan ingatan kejadian traumatik di bawah ini:

Menunjukkan perilaku yang mencontoh trauma yang terjadi seperti,


bermain tembak-tembakan atau mengulang adegan kekerasan sendiri
atau bersama teman. Perilaku ini diulang-ulang tanpa variasi yang
berarti

Teringat kembali akan peristiwa trauma ( bisa secara tiba-tiba)

Mengalami mimpi buruk/ mengerikan tanpa dapat mendeskripsikan isi


mimpi tersebut

Mengalami stres saat terpapar dengan kejadian yang mengingatkan


akan trauma yang dialami

b) Perubahan kriteria ini juga hanya memerlukan satu dari gejala mati rasa
secara emosional dan perilaku menghindar di bawah ini (dewasa perlu
tiga):

Menarik diri dari pergaulan sosial

Jarang mau bermain

Mengalami kemunduran perkembangan terutama perkembangan


bahasa dan toilet training

Rentang afek yang terbatas (perasaan dan pikiran jadi datar, tumpul)

12

c) Memerlukan satu dari gejala hiperarousal di bawah ini:

Sulit memulai tidur (tidak berhubungan dengan takut mimpi buruk


ataupun kegelapan)

Terbangun waktu tidur malam hari (bukan karena mimpi buruk)

Penurunan konsentrasi

Respon terkejut yang berlebihan

Sangat sensitif dan memiliki reaksi intens terhadap rangsangan yang


mengingatkannya pada peristiwa traumatik

d) Ditandai oleh salah satu dari gejala ketakutan dan sikap bermusuhan di
bawah ini:

Takut gelap

Takut pergi ke toilet sendirian

Takut terhadap suatu hal baru yang tidak secara jelas berkaitan dengan
trauma

Takut terpisah dan takut ditinggal sendirian

D. Diagnosis Banding
Pertimbangan utama dalam diagnosis PTSD adalah kemungkinan bahwa
pasien juga menderita cedera kepala selama trauma. Pertimbangan organik lain
yang dapat menyebabkan dan memperberat gejala adalah epilepsi, gangguan
penggunaan alkohol, dan gangguan terkait zat lain. Intoksikasi atau putus zat juga
dapat menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dengan gangguan ini
sampai efek zat hilang.
PTSD lazim salah didiagnosis sebagai gangguan jiwa lain dan kemudian
diobati dengan tidak sesuai. Klinisi harus mempertimbangkan diagnosis PTSD
pada pasien yang memiliki gangguan nyeri, penyalahgunaan zat, gangguan
ansietas lain dan gangguan mood. Pada umumnya, PTSD dapat dibedakan dengan
gangguan jiwa lain dengan mewawancarai pasien mengenai pengalaman

13

traumatik sebelumnya dan engan sifat gejala saat ini. Gangguan kepribadian
ambang, gangguan disosiatif, dan gangguan buatan, juga harus dipertimbangkan.
E. Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup PTSD diperkirakan sekitar 8 persen populasi
umum walaupun tambahan 5 hingga 15 persen dapat megalami bentuk subklinis
gangguan ini. Di antara kelompok risiko tinggi yang anggotanya mengalami
peristiwa traumatik, angka prevalensi seumur hidupnya berkisar 5 hingga 75
persen. Walaupun PTSD dapat timbul pada usia berapapun, gangguan ini paling
prevalen pada dewasa muda karena mereka cenderung lebih terpajan dengan
situasi penginduksi. Anak juga dapat mengalami gangguan ini. Laki-laki dan
perempuan memiliki perbedaan tipe trauma yang memajankan mereka dan
kecenderungan untuk mengalami PTSD. Prevalensi seumur hidup secara
bermakna pada perempuan lebih tinggi. Gangguan ini lebih cenderung terjadi
pada orang lajang, bercerai, janda, menarik diri secara sosial, atau tingkat
sosioekonomi rendah. Meskipun demikian, faktor risiko paling penting dari
gangguan ini adalah keparahan, durasi, dan kedekatan pajanan seseorang dengan
trauma sebenarnya.
F. Etiologi
Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam
perkembangan gangguan stres pasca trauma. Ketika kita dalam keadaan takut
dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight or flight. Dalam reaksi ini
tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah,
denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang maka
tubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini menyebabkan
pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup
untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan kita masih akan merasakan
efek stress dari adrenalin. Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD
seringkali memiliki hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan
pada saat kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan

14

bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres
meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan fisik. Stresor dapat
berasal dari bencana alam, bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia, ataupun
akibat kecelakaan. Stresor akibat bencana alam antara lain: menjadi korban yang
selamat dari tsunami, gempa bumi, badai. Kejadian trauma akibat ulah manusia
antara lain: menjadi korban banjir, penculikan, perkosaan, kekerasan fisik, melihat
pembunuhan, perang, dan kejahatan kriminal lainnya di mana ia tinggal. Kejadian
trauma juga dapat terjadi akibat kecelakaan baik, yang menyebabkan cidera fisik
maupun yang tidak. Pada pasien yang menerima hasil diagnosis penyakit yang
mematikan baik terhadap dirinya ataupun orang terdekatnya dapat menjadi
stresor. Akan tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stres pasca
trauma setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stresor diperlukan, namun
stresor tidaklah cukup untuk menyebabkan gangguan. Terdapat beberapa faktor
yang harus dipertimbangkan antara lain:
1.

Faktor biologis
Pada anak yang sebelumnya memiliki gangguan cemas memiliki risiko
lebih tinggi berkembang menjadi PTSD setelah mengalami trauma. Hal ini
berhubungan dengan faktor predisposisi genetik di mana, seseorang yang
memiliki riwayat gangguan depresi dan gangguan cemas di keluarganya
menjadi faktor predisposisi PTSD setelah anak tersebut terpapar dengan
kejadian traumatik.
Pada anak yang mengalami PTSD ditemukan beberapa abnormalitas
psikobiologikal antara lain: perubahan kompleks dalam fungsi aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal, terjadinya peningkatan ekskresi metabolit
adrenergik dan dopaminergik, volume intrakranial dan area korpus kolusum
yang lebih kecil, defisit memori, dan IQ yang rendah.

2.

Faktor psikologi
Classical

dan

operant

conditioning

dapat

diimplikasikan

pada

perkembangan terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrim secara tipikal


menimbulkan emosi yang negatif (sedih, marah, takut) sebagai bagian dari
gejala hiperarousal akibat aktivasi dari sistem saraf simpatis (fight or flight

15

response). Classical conditioning terjadi pada saat seseorang yang


mengalami peristiwa trauma kembali ke tempat terjadinya trauma maka
akan timbul reaksi psikologi yang tidak disadari dan merupakan respon
refleks yang spesifik. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan
mobil yang serius akan timbul respon berupa ketakutan, berkeringat,
takkardi setiap kali dia melewati tempat kejadian tersebut. Operant
conditioning terjadi sebagai hasil dari pengalaman kejadian trauma yang
dialaminya sehingga didapatkan tingkah laku yang tidak disukai dan tidak
akan diulangi. Misalnya, pada

anak yang mengalami kecelakaan mobil

maka ia akan berusaha untuk menghindari berada di dalam mobil.


Modelling merupakan mekanisme psikologikal lainnya yang turut
berperan dalam perkembangan gejala PTSD. Respon emosional orang tua
terhadap pengalaman traumatik anak

merupakan prediksi terhadap

keparahan gejala PTSD anak.


3.

Faktor sosial
Dukungan sosial yang

tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan

meningkatkan risiko perkembangan PTSD setelah anak mengalami kejadian


traumatik.
Penyebab gangguan bervariasi, tetapi perdefinisi, stresor harus sedemikian
berat sehingga cenderung menimbulkan trauma psikologis pada kebanyakan
orang normal, walaupun tidak berarti bawa semua orang harus mengalami
gangguan akibat trauma ini. Faktor psikologis, fisik, genetik dan sosial ikut
berpengaruh pada gangguan ini.
Jenis stresor :
1. Bencana alam; banjir, gempa bumi
2. Bencana kecelakaan oleh karena manusia (accidental made-man disasters)

Kecelakaan industri
Kecelakaan mobil
Kebakaran

16

3.

Bencana

oleh

karena

manusia

yang

disengaja

(deliberate

manmadedisasters)

Kamp konsentrasi tahanan/tawanan


Penganiayaan
Pemboman

Dampak Bencana Pada Aspek Psikologis


Secara khusus dampak bencana pada aspek psikis ini adalah terhadap
emosi dan kognitif korban. Pada aspek emosi terjadi gejala-gejala sebagai berikut:
syok, rasa takit, sedih, marah, dendam, rasa bersalah, malu, rasa tidak berdaya,
kehilangan e,osi seerti perasaan cinta, keintiman, kegembiraan atau perhatian pada
kehidupan sehari-hari. Pada aspek kognititf, korban bencana ini juga mengalami
perubahan seperti: pikiran kacau, slaah persepsi, menurunnya kemampuan untuk
mengambil keputusan, daya konsentrasi, dan daya ingat berkurang, mengingat
hal-hal yang tidak menyenangkan, dan terkadang menyalahkan dirinya sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian empiris, dampak psikologis dari bencana dapat
diketahui berdasarkan tiga faktor yaitu faktor pra bencana, faktor bencana dan
faktor pasca bencana.
1. Faktor pra bencana. Dampak psikologis pada faktor pra bencana ini dpat
ditinjau dari beberapa hal dibaah ini:
a. Jenis kelamin. Perempuan mempunyai faktor resiko lebih tinggi
terkena dampak psikologis dibanding laki-laki dengan perbandingan
2:1.
b. Usia dan pengalaman hidup. Kecenderungan kelopok usia rentan stres
masing-masing negara berbeda karena perbedaan kondisi sosial,
politik, ekonomi, dan latar belakang sejarah negara yang bersangkutan.
Adanya pengalaman berhasil dalam menghadapi bencana masa lalu
dapat meringankan rasa cemas pada saat timbulnya bencana, dan
meningkatkan

kemampuan

menghadapi

bencana,

apalgi

bila

pengalaman ini ditambah dengan pengetahuan dan pelatihan tentang


bencana.
c. Faktor budaya, ras karakter etnis. Dampak yang ditimbulkan bencana
ini lebih besar di negara berkembang dibandingkan dengan di negara

17

maju. Pada kelompok usia muda tidak ada gejala khas untuk etnis
tertentu baik pada etnis mayoritas maupun etnis minoritas, sedangkan
pada kelompok usia dewasa, etnis minoritas cenderung mengalami
dampak psikologis dibandingkan mayoritas.
d. Sosial ekonomi. Dampak bencana pada individu berbeda menurut latar
belakang pendidikan, proses pembentukan kepribadian, penghasilan
dan profesi. Individu dengan kedudukan sosial ekonomi yang rendah
akan mengalami stress pasca trauma lebih berat. Bencana yang terjadi
akan mempengaruhi kedudukan sosial ekonomi seseorang atau
keluarga.
e. Keluarga. Pengalaman bencana akan mempengaruhi stabilitas keluarga
seperti tingkat stres dalam perkawinan, posisi sebagai orang tua
terutama orang tua perempuan. Gejala psikis pada orang tua ini akan
berdampak pada anak sehingga perhatian pada orang tua dalam
keluarga akan berdampak positif pada anak.
f. Tingkat kekuatan mental dan kepribadian. Hampir semua hasil
penelitian menyimpulkan bahwa kondisi kesehatan mental prabencana
dapat dijadikan dasar untuk memprediksi dampak patologis pasca
bencana. Individu dengan masalah kesehatan jiwa akan mengalami
stres yang lebih berat dibandingkan dengan individu dengan kondisi
patologis yang stabil.
2. Faktor bencana. Pada faktor ini, dampak psikologis dapat ditinjau dari
beberapa hal berikut:
a. Tingkat keterpaparan. Keterpaparan seorang akan masalah yang
dihadapi merupakan variabel penting untuk memprediksi dampak
psikologis korban.
b. Ditinggal mati oleh sanak keluarga atau sahabat
c. Diri sendiri atau keluarga terluka
d. Merasakan ancaman keselamatan jiwa atau mengalami ketakutan yang
luar biasa
e. Mengalami situasi panik pada saat bencana
f. Pengalaman berpisah dengan keluarga, terutama pada korban usia
muda
g. Kehilangan harta benda dalam jumlah besar
h. Pindah tempat tinggal akibat bencana

18

i. Bencana yang menimpa seluruh komunitas. Hal ini mengakibatkan


rasa kehilangan pada individu dan memperkuat perasaan negatif dan
memperlemah perasaan positif.
Semakin banyak faktor diatas, maka akan semakin berat gangguan jiwa
yang dialai korban bencana. Apalagi pada saat-saat seperti merka
cenderung menolak intervensi tenaga spesialis, sehingga menghambat
perbaikan kualitas hidup pasca bencana.
3. Faktor pasca bencana. Dampak psikologis pasca bencana dapat
diakibatkan oleh kegiatan tertentu dalam siklus kehidupan dan stres kronik
pasca bencana yang terkait dengan kondisi psikiatrik korban bencana. Hal
ini perlu adanya pemantauan dalam jangka panjang oleh tenaga spesialis.
Hal

lain

yang

penting

di

perhatikan

pasca

bencana

adalah

menginventariskan semua sumber daya yang ada secara terinci, konkrit


dan diumumkan.
Macam-macam stresor traumatik :
a) Menyaksikan peristiwa yang berakibat luka fisik atau kematian yang
menakutkan seperti korban tergulung ombak, tertimpa tanah longsor,
terlindas kendaraan, penganiayaan, terkena granat atau bom, kepala
terpancung, tertembak, pembunuhan masal atau tindakan brutal di luar
batas kemanusiaan
b) Pengalaman berada dalam situasi terancam kematian atau keselamatan
jiwanya, misalnya huru-hara kerusuhan, bencana, tsunami, air bah atau
gunung

meletus,

peperangan,

berbagai

tindak

kekerasan,

usaha

pembunuhan, penganiayaan fisik dan mental-emosional, penyanderaan,


penculikan, perampokan atau pun kecelakaan.
c) Mengalami tindak kekerasan dalam keluarga
d) Mengalami secara aktual atau terancam mengalami perkosaan, pelecehan
seksual yang mengancam integritas fisik dan harga diri seseorang
e) Dipaksa atau terpaksa melakukan tindak kekerasan
f) Kematian mendadak atau berpisah dari anggota keluarga atau orang yang
dikasihi

19

g) Berhasil selamat dari tindak kekerasan, bencana alam atau kecelakaan


hebat
h) Terpaksa pindah atau terusir dari kampung halaman
i) Mendadak berada dalam keadaan terasing, tercabut dari lingkungan fisik,
budaya, kerabat, teman sebaya yang dikenal
j) Terputus hubungan dengan dunia luar,dilarang melakukan berbagai adat
atau kebiasaan
k) Kehilangan harta benda, sumber penghidupan, privasi (hak pribadi)
l) Berada dalam kondisi serba kekurangan pangan, tempat tinggal, kesehatan.
Berbagai faktor yang mempengaruhi berkembangnya suatu gangguan stres
pasca trauma adalah:
a) Tingkat keparahan stres/trauma
b) Kerentanan pasien
Anak dan usila umumnya lebih rentan dari pada para dewasa muda.
Hal ini karena anak belum memiliki mekanisme pertahanan yang
memadai, sedangkan para usia lanjut umumnya sudah terlalu kaku dengan
mekanisme pertahanan mereka.
c) Kondisi/fisik pasien :
Berbagai faktor yang mempengaruhi keparahan stresor berinteraksi
dengan faktor pribadi individu untuk menimbulkan gangguan stres pasca
trauma pada orang tertentu. Faktor pribadi ini merupakan predisposisi
untuk berkembangnya gejala psikiatrik sebagai respons terhadap trauma.
Faktor ini mencakup :
1. Usia pada saat terjadinya trauma
2. Ciri keperibadian yang mendasari,seperti obsesef-kompulsif; astenik
3. Gangguan psikiatrik sebelumnya
4. Predisposisi genetik
5. Dukungan sosial
Faktor lainnya yang ikut berpengaruh dalam terjadinya stres pasca trauma adalah:
1. Faktor organobiologis
Pasien dengan gangguan stres pasca trauma pramorbidnya mempunyai
kecenderungan bereaksi otonomik secara berlebihan terhadap stres.
2. Faktor Psikodinamik

20

Trauma mengaktifkan kembali konflik yang tidak terselesaikan pada


masa anak, termasuk trauma emosional pada masa ana yang tidak disadari.
Pengenalan reaksi individu terhadap kejadian hebat dan luar biasa ini amat
bervariasi antar individu, tampak tidak berpengaruh sama sekali, mengalami
reaksi ringan, menampilkan reaksi dalam waktu singkat, ataupun menunjukkan
reaksi hebat dan menetap dalam waktu yang cukup lama dan disebut gangguan
stres pasca trauma.
G. Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko
seseorang mengalami gangguan stres pasca trauma, antara lain:
a) Seberapa berat dan dekatnya trauma yang dialaminya. Semakin berat trauma
yang dialami dan semakin dekat ia berada saat kejadian semakin
meningkatkan risiko PTSD.
b) Durasi trauma yang dialamiya. Semakin lama/kronik seseorang mengalami
kejadian trauma semakin berisiko berkembang menjadi PTSD ( misalnya:
kekerasan pada anak di rumah).
c)

Banyaknya trauma yang dialami. Trauma yang multipel lebih berisiko


menjadi PTSD.

d) Pelaku kejadian trauma. Semakin dekat hubungan antara pelaku dan korban
(misalnya: kekerasan anak yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri) semakin
berisiko menjadi PTSD.
e) Kejadian trauma yang sangat interpersonal seperti, perkosaan.
f)

Jenis kelamin: anak dan remaja perempuan lebih berisiko dibandingkan lakilaki.

g) Kondisi sosialekonomi yang rendah (kaum minoritas) berisiko lebih tinggi


akibat dari tingginya angka kekerasan di daerah tempat ia tinggal.
h)

Usia : PTSD dapat terjadi pada semua golongan usia tetapi anak-anak dan
usia tua (>60 tahun) merupakan kelompok usia yang lebih rentan mengalami
PTSD. Anak-anak memiliki kebutuhan dan kerentanan khusus jika

21

dibandingkan dengan orang dewasa, teruama karena masih ketergantungan


dengan orang lain, kemampuan fisik dan intelektual yang sedang
berkembang, serta kurangnya pengalaman hidup dalam memecahkan
berbagai persoalan sehingga dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian
anak.
i)

Seseorang yang memiliki gangguan psikiatri lainnya seperti: depresi, fobia


sosial, gangguan kecemasan.

j)

Memiliki penyakit organik yang berat dan kronis seperti, kanker.

k)

Pasien yang berada di bawah pengaruh anestesi akan tetapi memperoleh


kembali kesadarannya saat dilakukannya operasi.

l)

Seseorang yang tidak berpengalaman dan tidak memperoleh pelatihan dalam


menghadapi

bencana

lebih

berisiko

dibandingkan

mereka

yang

mendapatkannya (seperti: polisi, petugas pemadam kebakaran, petugas


paramedik).
m) Hidup di tempat pengungsian ( misalnya: sedang ada peperangan/ konflik di
daerahnya).
n) Kurangnya dukungan sosial baik dari keluarga maupun lingkungan.
H. Klasifikasi
Tanda dan gejala PTSD pada anak dapat dibedakan berdasarkan
penggolongan umur:
A. Young children ( usia 1-6 tahun)
1.

Pasif, kurang responsif

2.

Takut terhadap banyak hal (tidak spesifik)

3.

Arousal yang tinggi

4.

Merasa kebingungan

5.

Sulit berbicara terhadap suatu peristiwa

6.

Sulit mengenali perasaan baik terhadap dirinya maupun orang


lain

7.

Mengalami gangguan tidur, mimpi buruk

8.

Melekat terus pada pengasuhnya (takut terpisah/ sendirian)

22

9.

Timbul

gejala

regresif

(mengalami

kemunduran

perkembangan yang sudah dikuasai anak misalnya, menjadi


tidak mau bicara, mengompol)
10. Tidak mampu memahami dan cemas akan kematian
11. Timbul gejala somatik (sakit perut, sakit kepala)
12. Tidak mau bergerak (freezing)
13. Rewel melebihi anak normal (menangis tanpa sebab)
B. School age children ( usia 6-11 tahun):
1. Merasa bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian traumatik
yang dialaminya
2. Gangguan tidur, mimpi buruk
3. Disorientasi urutan terjadinya peristiwa traumatik
4. Tingkah laku yang agresif, mudah marah dan meledak-ledak
5. Posttraumatic play (secara kompulsif melakukan berbagai jenis
permainan yang berkaitan dengan peristiwa ttraumatik)
6. Waspada berlebihan, gelisah
7. Perasaan ketakutan
8. Menghindari sekolah
9. Terlalu mencemaskan orang lain
10. Terjadi perubahan tingkah laku, mood, kepribadian
11. Gejala somatik ( mengeluhkan badannya terasa sakit)
12. Mudah cemas
13. Mengalami kemunduran dalam berhubungan dengan orang lain
14. Takut terpisah (tidak berani sendirian)
15. Kehilangan minat dalam melakukan aktivitas
16. Sulit konsentrasi di sekolah sehingga terjadi penurunan prestasi di
sekolah
17. Memberikan penjelasan yang berkaitan dengan hal gaib
C. Preadolescents dan adolescents ( uisa 12-18 tahun):
1. Memiliki sifat memberontak baik di rumah maupun sekolah
2. Menolak bersekolah

23

3. Kebingungan, seringkali menjadi iritabel


4. Berlaku kasar dan tidak sopan dalam berhubungan dengan orang lain
5. Melakukan berbagai tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri
6. Depresi, menarik diri dari pergaulan sosial
7. Mengalami kemunduran prestasi di sekolah
8. Gangguan makan dan tidur
9. Hanya berfokus terhadap dirinya sendiri tanpa memperdulikan
sekitarnya
10. Memiliki hasrat untuk balas dendam atas peristiwa yang dialaminya
11. Sikap yang kaku, canggung dalam pergaulan
12. Melakukan aktivitas yang berlebihan sendirian
I. Perjalanan Penyakit
PTSD biasanya timbul beberapa waktu setelah trauma. Penundaan dapat
selama 1 minggu atau hingga 30 tahun. Gejala dapat fluktuasi dari waktu ke
waktu dan menjadi paling intens selama periode stres. Jika tidak diobati, sekitar
30% pasien akan pulih sempurna.. 40% akan terus mengalami gejala ringan,
sekitar 10% tetap tidak berubah atau bertambah buruk. Setelah satu tahun, sekitar
50% pasien akan pulih. Prognosis yang baik diperkirakan dengan adanya awitan
gejala cepat, durasi gejala singkat (kurang dari 6 bulan), fungsi pramorbid baik,
dukungan sosial baik, dan tidak adanya gangguan psikiatri, medis atau gangguan
terkait zat lain atau faktor risiko lain. Umumnya orang yang sangat muda dan
sangat tua lebih memilki kesulitan dengan peristiwa traumatic daripada orang usia
pertengahan.
J. Penatalaksanaan
Sebelum menjalani terapi atau program-program apapun, ada baik nya
dilakukan evaluasi psikologis pada anak terlebih dahulu. Tindakan ini untuk
memahami kepribadian anak, trauma yang dialami, dan dampak dari trauma
tersebut pada dirinya. Evaluasi juga dapat membantu terapis untuk memahami
berbagai risiko tambahan dan menemukan kekuatan dari klien. Jika terapi

24

diisyaratkan sebagai proses yang harus dijalani oleh anak, maka perlu konsultasi
dengan terapis yang benar-benar berpengalaman dengan kasus anak-anak (bukan
dewasa). Hal ini harus sangat diperhatikan karena proses evaluasi dapat dialami
sebagai proses yang sangat berat dan dapat menimbulkan trauma sekunder.
Setelah dilakukan evaluasi ada dua macam terapi pengobatan yang dapat
dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan menggunakan psikoterapi dan
farmakoterapi. Hasil pengobatan akan lebih efektif jika kedua terapi ini
dikombinasikan sehingga tercapai penanganan yang holistik dan komprehensif.
a. Psikoterapi
1. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Menurut penelitian Cognitive

Behavioral

Therapy

(CBT)

merupakan pendekatan yang paling efektif dalam mengobati anak


dengan PTSD. Dalam Cognitive Behavioral Therapy, terapis membantu
untuk merubah kepercayaan

yang tidak rasional yang mengganggu

emosi dan menganggu kegiatan-kegiatan penderita PTSD misalnya,


pada seorang anak korban kejahatan mungkin akan menyalahkan diri
sendiri karena ketidakhati-hatiannya. Prinsip-prinsip behavioral therapy
digunakan untuk modifikasi perilaku dan proses re-learning. Tujuan
terapi ini adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional,
mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk
melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih
realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.
Psikoterapi psikodinamik dapat berguna dalam terapi pada banyak
PTSD. Di sejumlah kasus, rekonstruksi peristiwa traumatic dengan
abreaksi dan katarsis terkait dapat bersifat teraupetik, tetapi psikoterapi
harus diindividualisasi karena mengalami kembali trauma dapat terlalu
berat untuk sejumlah pasien. Intervensi psikoterapeutik PTSD mencakup
terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnosis. Di samping teknik terapi
individual terapi kelompok dan terapi keluarga sering dilaporkan efektif
pada kasus PTSD. Keuntungan terapi kelompok mencakup saling
berbagi pengalaman traumatik dan dukungan antar anggota.
2. EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing)

25

EMDR adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada


model pemrosesan informasi di dalam otak. Jaringan memori dilihat
sebagai landasan yang mendasari patologi sekaligus kesehatan mental,
karena jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi, sikap dan
perilaku kita.Untuk memproses kembali informasi di dalam otak/jaringan
memori yang telah ada, EMDR dijalankan dengan melakukan kegiatan
fisik yang merangsang aktivasi pemrosesan informasi di dalam otak
(dalam konteks EMDR disebut sebagai stimulasi bilateral) melalui indra
pengelihatan/pendengaran/perabaan.
3. Playtherapy
Playtherapy merupakan cara yang dapat digunakan untuk
mengobati PTSD pada anak periode awal / young children. Pada terapi
ini bertujuan untuk memahami trauma anak dan memberikan medium
untuk berekspresi dalam mengurangi tekanan emosional ynag dialami.
Bermain peran, menggambar, bermain dengan boneka atau benda-benda
figural dapat dijadikan cara untuk menyesuaikan diri dan memberi
kesempatan pada terapis untuk melakukan re-exposure yaitu, membahas
peristiwa traumatiknya dalam situasi yang mendukung.
Para ahli juga menyarankan perlunya psikoedukasi pada anak dan
keluarganya. Psikoedukasi dimaksudkan memberi pendidikan mengenai
gejala-gejala yang ditunjukkan anak dan cara- cara untuk mengatasinya
terutama untuk membantu anak mengatasi kecemasannya. Psikoedukasi
untuk anggota keluarga terutama orangtua dan pengasuh (termasuk guru)
penting karena mereka yang setiap saat berada di dekat anak tersebut.
Pengetahuan mereka mengenai reaksi psikotraumatik dan gejala-gejala
perilakunya akan mebantu mereka untuk berfungsi efektif dalam
menghadapi anak yang sedang bermasalah tanpa memperparah kondisi
anak tersebut.
b. Farmakoterapi
Farmakoterapi merupakan terapi dengan menggunakan obatobatan. Terapi ini diperlukan untuk menstabilkan zat-zat di otak yang
menyebabkan kecemasan, kekhawatiran, dan depresi atau dengan kata lain

26

merupakan terapi simptomatik pada PTSD. Terapi obat ini bukanlah lini
pertama dalam penanganan PTSD tetapi dapat dijadikan sebagai
pendukung (adjuvan) psikoterapi agar tercapai hasil yang optimal dalam
menangani kasus PTSD.
a. Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs)
SSRIs merupakan obat lini pertama dalam mengatasi gejala cemas, depresi,
perilaku menghindar, dan pikiran yang intrusif (mengganggu). Obat ini
meningkatkan jumah serotonin dengan cara menginhibisi reuptake
serotonin diotak. Obat golongan SSRIs yang disetujui oleh FDA dalam
mengatasi gejala depresi pada anak PTSD

yakni, Fluoxetine (Prozac).

Obat ini digunakan untuk anak usia lebih dari 8 tahun dengan dosis awal
10 mg/ hari selama satu minggu kemudian dapat ditingkatkan sampai 20
mg/hari dan diberikan secara peroral.
b. Beta adrenergic blocking agents
Obat yang digunakan golongan ini yakni, Propanolol (Inderal). Obat i ni
dapat mengatasi gejala hiperarousal. Dosis untuk anak-anak: 2,5 mg/kg
BB/hari
c. Mood stabilizers
Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala arousal yang meninggi dan
gejala impulsif.
Dosis Carbamazepine (Tegretol):
6-12 tahun: 100mg/hari peroral untuk initial lalu dapat dinaikkan hingga
100mg/hari, untuk dosis maintenance; 20-30 mg/kg/hari
>12 tahun: samapai kadar di plasma 8-12mcg/ml
Dosis valporic acid (Depakene, depakote): 10-15 mg/kg/hari untuk dosis
initial dan kemudian dapat ditingkatkan 5-10mg/kg/hari

27

Berdasarkan kondisi stres pasca trauma, penyedian pelayanan dilakukan


secara berjenjang, yaitu untuk penanganan tingkat awal sampai rujukan tertinggi.
Tingkat pelayanan tersebut sebagai berikut.
1. Pelayanan tingkat masyarakat
Dilakukan oleh relawan yang tergabung dalam lembaga/organisasi
masyarakat luas atau keagamaan maupun kader atau petugas pemerintah di
tingkat desa atau kecamatan,berupa :
a. Penyuluhan (KIE)
b. Bimbingan
c. Membentuk kelompok tolong diri
d. Rujukan
2. Pelayanan tingkat Puskesmas/RSU Kelas C dan D
a. Konseling, dilakukan terhadap penderita yang berpotensi untuk
mengalami gangguan stres pasca trauma. Dilakukan secara individu
oleh seorang konselor yang sudah terlatih terhadap penderita.
b. Rujukan, pada kasus yang tak dapat ditangani dengan konseling awal
dan membutuhkan konseling lebih lanjut/psikoterapi atau penanganan
lebih lanjut
3. Pelayanan tingkat spesialistik
Penderita yang tak dapat ditangani di tingkat Puskesmas akan dirujuk ke
RSJ atau Bagian Psikiater RSU Kelas A dan B. Di tingkat ini penderita
akan dilayani secara lebih spesialistik oleh seorang tenaga terampil
(psikiater atau psikolog) sesuai dengan kebutuhan penderita. Penderita
mungkin membutuhkan medikasi sementara untuk membantu mengatasi
masalahnya

yang

mendesak

sehingga

dapat

dilakukan

konseling/psikiterapi yang lebih mendalam.


Penatalaksanaan pasien dengan gangguan kecemasan adalah kombinasi
farmakoterapi (psikofarmaka) dengan psikoterapi. Pertimbangannya
adalah bahwa psikoterapi mempunyai keunggulan tidak adiktif tetapi
kerugiannya lambat dalam efek terapetiknya. Sebaliknya anxiolitik
mempunyai keunggulan efek terapetik cepat dalam menurunkan tanda dan
gejala kecemasan tetapi mempunyai kerugian resiko adiksi. Dalam terapi
kombinasi diberikan obat anxiolitik terlebih dahulu sampai 2 minggu,
kemudian dilakukan psikoterapi yang dimulai pada awal minggu kedua di

28

samping obat anxiolitik masih tetap diberikan tetapi secara bertahap


diturunkan dosisnya (tapering off sampai minggu ke empat pengobatan).
Ada juga yang membedakan kasus baru dan lama. Kasus baru diberikan
sampai 2 bulan bebas gejala kemudian dilakukan tapering off untuk
penghentian pengobatan; kasus lama diberikan sampai 6 bulan bebas
gejala kemudian dilakukan tapering off untuk penghentian pengobatan.
Psikoterapi yang sering digunakan untuk gangguan kecemasan adalah
psikoterapi berorientasi insight, terapi perilaku, terapi kognitif atau
psikoterapi provokasi kecemasan jangka pendek.
Obat-obatan yang sering digunakan untuk anxiolitik (mengurangi atau
menghilangkan gejala gangguan kecemasan) adalah:
1. Golongan benzodiazepin
(Chlordiazepoxide, Diazepam, Lorazepam, Bromazepam, Clobazam,
Alprazolam)
2. Golongan non-benzodiazepin
(Buspirone, Sulpiride, Hydroxyzine),
3. Golongan antidepresan: trisiklik
(Amitriptyline, Imipramine)
4. Golongan monoamin inhibitor [MAOI]
(Moclobemide)
5. Golongan specific serotonin reuptake inhibitor [SSRI]
(Sertraline, Paroxetine, Fluvoxamine, Fluoxetine)
K. Prognosis
Prognosis pada kasus PTSD sulit ditentukan, karena bervariasi secara
signifikan dari pasien ke pasien. Beberapa individu yang tidak menerima
perawatan secara bertahap pulih dalam periode tahun. Banyak orang yang
menerima perawatan medis dan psikiatris sembuh sepenuhnya. Jarang, bahkan
dengan intervensi intensif, individu mengalami gejala memburuk dan bunuh diri.
Pada pasien dengan stres pasca trauma yang menerima pengobatan, durasi ratarata gejala adalah 36 bulan, dibandingkan dengan 64 bulan untuk pasien yang
tidak menerima pengobatan. Namun, lebih dari sepertiga pasien yang memiliki
stres pasca trauma tidak pernah sepenuhnya pulih. Faktor yang terkait dengan
prognosis yang baik meliputi keterlibatan cepat pengobatan, dukungan sosial awal

29

dan berkelanjutan, menghindari retraumatisasi, fungsi premorbid positif, dan tidak


adanya gangguan kejiwaan lain atau penyalahgunaan zat.

BAB III
KESIMPULAN

30

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan yang


diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh
seseorang baik ancaman kematian, kematian, cedera fisik yang mengakibatkan
ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya hingga berdampak mengganggu
kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat
berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang
kompleks dan gangguan kepribadian. Identifikasi pada anak yang mengalami
trauma dan berisiko menjadi gangguan stress pasca trauma merupakan komponen
yang penting dalam mengatasi gangguan ini. PTSD terjadi akibat adanya kejadian
traumatik dan perlu dipertimbangkan beberapa faktor yang berperan antara lain:
faktor biologis, faktor psikologis, faktor sosial, dan faktor lainnya yang dapat
meningkatkan risiko terjadi gangguan ini. Tanda dan gejala penderita PTSD
secara umum dapat dibagi menjadi tiga yakni: mengalami kembali kejadian
trauma, menghindari stimulus, dan gejala hiperarousal. Pada anak dan remaja
gejala dan tanda ini dapat dibagi lagi menurut kelompok umur. Pada anak yang
mengalami gangguan stress pasca trauma sebaiknya dilakukan evaluasi psikologis
terlebih dahulu.Setelah dilakukan evaluasi ada dua macam terapi pengobatan yang
dapat dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan menggunakan psikoterapi
dan farmakoterapi. Hasil pengobatan akan lebih efektif jika kedua terapi ini
dikombinasikan sehingga tercapai penanganan yang holistik dan komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA
Alam, Romadhon. 2002. Gambaran Klinik dan Psikofarmaka pada Penderita
Gangguan Kecemasan. Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 200. Diunduh

31

dalam
URL:http//www.kalbe.co.id/files/.../09_GambaranKlinikdanPsikofarmaka.
pdf. pada tanggal 14 Desember 2016
Kaminer D, Seedat S. World Psychiatric Association Post-traumatic stress
disorder in children World Psychiatry. 2005 June; 4(2): 121125.
Kaplan dan Saddock. 2002. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri
Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara.
Kaplan & Saddock. 2010.Buku Ajar Psikiatri Klinis edisi 2. Jakarta: EGC.
Kathleen KT. Clinical Management of Posttraumatic Stress Disorder. 2003.
Diunduh dalam http://www.granitescientific.com/granitescientific
%20home%20page_files/ClinicalTreatmentofPTSD.pdf. pada tanggal 14
Desember 2016
Maramis, Willy F. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga
University Press.
Paige SR. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). 2005. Diunduh dalam
http://www.emedicinehealth.com/posttraumatic_stress_disorder_ptsd/articl
e_em.htm pada tanggal 14 Desember 2016.
Roxanne. 2007. Posttraumatic Stress Disorder. Diunduh dalam
http://www.medicinenet.com/posttraumatic_stress_disorder/article.htm.
pada tanggal 14 Desember 2016.
Roy HL. Posttraumatic Stress Disorder in Children. 2008. Diunduh dalam
http://emedicine.medscape.com/article/918844-overview pada tanggal 14
Desember 2016
Saddock BJ, Saddock VA. Behavior Therapy. Kaplan & Sadocks Synopsis of
Psikiatry Behavoioral Science/Clinical Psychiatry. 10th ed. Lippincott
Williams & Wilkins Publishers. Philadelphia : 2007. 50(2): 1275-1277.
Saddock BJ, Saddock VA. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of
Psychiatry. 8th ed. LippincottWilliams & Wilkins. Philadelphia: 2005.
46(2) :3287-3291.

32

Volkman MK. Children and Traumatic Incident Reduction: Creative and


Cognitive Approaches. 1th ed. Loving Healing Press: USA. 2007. 15:169174.

33

Anda mungkin juga menyukai