(PTSD)
2.1 Definisi
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah gangguan kecemasan yang dapat terjadi
setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatik. Peristiwa traumatik adalah
peristiwa yang mengancam nyawa seperti pertempuran militer, bencana alam, insiden teroris,
kecelakaan yang serius, atau penyerangan fisik/seksual pada orang dewasa atau pada anak-anak.1,7
2.2 Epidemiologi
Statistik pada anak-anak dan remaja menunjukkan bahwa hampir 40% muncul paling tidak
satu peristiwa traumatik, yang berkembang menjadi PTSD pada hampir 15% anak perempuan dan
6% pada anak laki-laki. Hampir 100% dari anak-anak yang menyaksikan orangtuanya dibunuh atau
mengalami kekerasan seksual atau kekerasan rumah tangga mengarah untuk berkembang menjadi
PTSD, dan lebih dari sepertiga anak muda yang terpapar pada kekerasan akan mengalami gangguan
ini.2,3
2.3 Etiologi
2.3.1 Stresor
Penelitian terakhir pada gangguan stres pasca trauma telah sangat menekankan pada
respons subjektif seseorang terhadap trauma ketimbang beratnya stresor itu sendiri. Walaupun
gejala gangguan stres pasca traumatik pernah dianggap secara langsung sebanding dengan beratnya
stressor, penelitian empiris telah membuktikan sebliknya. Sebagai akibatnya, consensus yang
tumbuh adalah bahwa gangguan memiliki pengaruh pada arti subjektif stresor bagi pasien.5
Bahkan jika dihadapkan dengan trauma yang berat, sebagian besar orang tidak mengalami
gejala gangguan stres pascatraumatik. Demikian juga peristiwa yang tampaknya biasa atau kurang
berbahaya bagi kebanyakan orang mungkin menyebabkan gangguan stress pasca traumatik pada
beberapa orang karena arti subjektif dari peristiwa tersebut. Faktor kerentanan yang merupakan
predisposisi yang tampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan apakah gangguan
berkembang adalah:
Penelitian psikodinamika terhadap orang yang dapat bertahan hidup dari trauma psikis yang
parah telah menemukan aleksitimia, yaitu ketidak mampuan untuk mengidentifikasi atau
mengungkapkan keadaan perasaan sebagai ciri yang umum. Jika trauma psikis terjadi pada anak-
anak, biasanya dihasilkan perhentian perkembangan emosional. Jika trauma terjadi pada masa
dewasa, regresi emosional seringkali terjadi. Orang yang selamat dari trauma biasanya tidak dapat
menggunakan keadaan emosional internal sebagai tanda dan mungkin mengalami gejala
psikosomatik. Mereka juga tidak mampu menenangkan dirinya jika dalam stres.5
Ada tiga kelompok dari gejala yang diperlukan untuk mendiagnosis suatu PTSD, yaitu:
1. Gejala re-experience misalnya ingatan mengenai masalah, kilas balik yang biasanya
disebabkan oleh hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatik, mimpi buruk yang
sering muncul mengenai trauma atau peristiwa yang berhubungan dengan trauma.
2. Gejala avoidance yaitu menghindari tempat-tempat yang, orang-orang, dan pengalaman
yang mengingatkan penderita pada trauma, kehilangan ketertarikan pada aktivitas yang
disukai, memiliki masalah dengan mengingat peristiwa yang berbahaya.
Sedikitnya 1 gejala re-experience, 3 gejala avoidance dan 3 gejala hyperaurosal harus ada
selama paling sedikit 1 bulan dan harus disebabkan oelh distress yang signifikan atau kekurangan
fungsional untuk mendiagnosis suatu PTSD. PTSD menjadi kronik jika terjadi lebih dari 3 bulan.8
2.5 Diagnosis
Berikut adalah kriteria diagnostic untuk Gangguan Stres Pascatraumatik menurut DSM-IV:
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini
terdapat:
2) Respon orang tersebut berupa takut yang kuat, rasa tidak berdaya, atau horror.
Catatan: pada anak-anak hal ini dapat diekspresikan dengan perilaku yang kacau
atau teragitasi.
B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut:
4) Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internak atau eksternal
yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
5) Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang
menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena
responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditujukan oleh tiga
(atau lebih) berikut ini:
2) Usaha untuk menghndari aktivitas, tempat, atau orang yang menyadarkan rekoleksi
dengan trauma.
4) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.
6) Rentang afek yang terbatas (misalnya, tidak mampu untuk memiliki perasaan cinta)
7) Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya, tidak berharap memiliki
karir, menikah, anak-anak, atau panjang kehidupan normal)
D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti
yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut:
3) Sulit berkonsentrasi.
4) Kewaspadaan berlebihan.
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.5
Sementara itu kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatraumatik menurut PPDGJ III (F
43.1) adalah sebagai berikut:
1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah
kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa
bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat
kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah
khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.
2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi
dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks).
3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai
diagnosis tetapi tidak khas.
4. Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya saja
beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan
kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).6
Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari gangguan mental lain
dengan mewancarai pasien tentang peristiwa traumatik sebelumnya dan melalui sifat gejala
sekarang ini. Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguna buatan, dan berpura-
pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dengan
gangguan stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau bahkan
saling berhubungan sebab akibat. Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memilikiderajat
perilaku menghindar, kesadaran berlebih (hiperaurosal) otonomik, atau riwayat trauma yang
dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik. Sebagian karena publisitas yang telah
diterima gangguan stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus juga
mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan dan berpura-pura.5
2.7 Tatalaksana
Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana gangguan
stress pascatraumatik sebaiknya mempertimbangkan beberapa aspek di bawah ini:
1. Gangguan stress pascatraumatik merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang
serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya.
2.8 Prognosis
Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat
(kurang dari enam bulan), dukungan sosial yang kuat, dan tidak adanya gangguan psikiatrik, medis,
atau berhubungan zat lainnya.5
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan
dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia paruh baya. Kemungkinan, anak-
anak belum memiliki mekanisme mengatasi kerugian fisik dan emosional akibat trauma. Demikian
juga dengan orang lanjut usia, jika dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda,
kemungkinan memiliki mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu melakukan
pendekatan fleksibel untuk mengatasi efek trauma. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya,
apakah suatu gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan efek
stresor tertentu. Tersedianya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan, keparahan, dan
durasi gangguan stres pascatraumatik. Pada umumnya, pasien yang memiliki jaringan dukungan
sosial yang baik, kemungkinan tidak menderita gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam
bentuk yang parahnya.5
DAFTAR PUSTAKA
3. Edwards, R. D., 2010. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). MedicineNet. Available from:
http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=12578&pf=3&page=1\
5. Kaplan, Sadock, Grebb, MD, 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid ke-2, Binapura Angkasa, Jakarta: 68-
75.
6. Maslim, Rusdi, 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta: 79
7. Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2009. Post-traumatic Stress Disorder.
Mayo Foundation for Medical Education and Research. Available from:
http://www.mayoclinic.com/health/post-traumatic-stress-
disorder/DS00246/METHOD=print
8. Mental Health America, 2007. Post-traumatic Stress Disorder. Mental Health America.
Available from: http://mentalhealthamerica.net/index.cfm?objectid=C7DF91D3-1372-4D20-
C8E6CFE1B56A38AB
9. Mu’tadin, Zainun, 2007. Gangguan Stress Pasca Trauma, Psikologi Indonesia. Available from:
http://psiko-indonesia.blogspot.com/2007/01/gangguan-stress-pasca-trauma.html
10. National Institute of Mental Health. 2008. Post-traumatic Stress Disorder. National Institute
of Mental Health. Available from: http://www.nimh.nih.gov/health/publications/post-
traumatic-stress-disorder-ptsd/what-is-post-traumatic-stress-disorder-or-ptsd.shtml
11. Utama, Hendra, 2010. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta: 254-264.