Anda di halaman 1dari 15

PENUGASAN BLOK 3.

3 MASALAH PADA REMAJA

Gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD)

Tutorial 7

Tutor :
dr. Putri Dzu Nafiah

Disusun oleh :

Fisabella Radite S 17711127

Siti Nurhikmah MR 17711179

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2020
Pendahuluan

Posttraumatic stress disorder (PTSD) adalah sindrom yang dihasilkan dari


paparan cedera yang serius secara nyata, keadaan mengancam maupun serangan
seksual. Tanda dan gejala PTSD muncul dari interaksi kompleks faktor psikologis
dan neurobiologis. Ditemukan adanya perubahan di amigdala, korteks prefrontal,
hippocampus, dan cingulate anterior, dan corpus collosum serta perubahan fungsi
poros hipofisis hipotalamus (HPA) pada pasien dengan PTSD.
Gangguan PTSD memiliki beberapa factor predisposisi seperti berikut :
 Individu memang memiliki penyakit psikiatrik sebelum mengalami peristiwa
traumatis baik pada individu itu sendiri maupun keluarga dan kerabat terdekat
 Adanya trauma saat masih kecil yang berupa fisik maupun seksual
 Kecenderungan individu yang mudah cemas
 Memiliki kepribadian ambang, paranoid, maupun antisosial, introvert yang
mencirikan seseorang sulit beradaptasi dengan lingkungan
 Kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi
 Memiliki peristiwa bermakna dalam hidupnya yang menimbulkan traumatis
dan penderitaan bagi individu tersebut
DSM-5 memindahkan PTSD dari kategori "Anxiety Disorders" ke kategori
gangguan baru yang disebut " Trauma- and Stressor-Related Disorders." Kriteria
sebelumnya berfokus pada kelompok yang mengalami kembali kejadian trauma,
penghindaran, dan hiperarousal. Sedangkan pada DSM-5 yang termasuk
didalamnya adalah gejala intrusi, penghindaran, perubahan negatif pada kognisi
dan emosi, dan perubahan gairah dan reaktivitas. Peristiwa traumatis telah terbatas
pada kejadian yang mengancam jiwa seperti bencana alam, serangan pribadi,
perang, atau kecelakaan parah. DSM-5 termasuk kemungkinan mengembangkan
PTSD setelah kekerasan seksual bahkan jika tidak ada ancaman kematian. Untuk
anak-anak, pengalaman seksual yang tidak sesuai dengan perkembangan dapat
dianggap sebagai peristiwa traumatis, meskipun mungkin tidak benar-benar
melibatkan kekerasan atau cedera fisik.
I. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang seringkali muncul pada PTSD dapat berupa minimal
satu gejala yang muncul kembali, minimal satu gejala penghindaran, minimal dua
gejala gairah dan reaktivitas, serta minimal dua gejala kognisi dan suasana hati.
Dan tidak sedikit seringkali diiringi dengan gejala non-psikotik pada pasien.

Gejala yang muncul kembali bisa berupa kilas balik trauma yang berulang kali
dalam beberapa menit atau hari, mimpi buruk ataupun pikiran yang menakutkan.
Mengalami kembali gejala dapat menyebabkan masalah dalam rutinitas sehari-
hari seseorang. Mereka dapat mulai dari pikiran dan perasaan orang itu sendiri.
Kata-kata, benda, atau situasi yang menjadi pengingat acara juga dapat memicu
kembali mengalami gejala.
Gejala penghindaran dan mati rasa salah satunya tinggal jauh dari tempat,
acara, atau objek yang mengingatkan pengalaman trauma dulu, menghindari
pikiran atau berbicara yang terkait peristiwa traumatis, gangguan memori dan
kesulitan berkonsentrasi. Hal-hal atau situasi yang mengingatkan seseorang akan
peristiwa traumatis dapat memicu gejala penghindaran. Gejala-gejala ini dapat
menyebabkan seseorang mengubah rutinitas pribadinya. Misalnya, setelah
kecelakaan mobil yang parah, seseorang yang biasanya mengemudi dapat
menghindari mengemudi atau mengendarai mobil.
Gejala gairah dan reaktif dapat dideskripsikan dengan pasien yang dapat
menjadi mudah kaget, merasa tegang atau gelisah, adanya perilaku merusak diri
sendiri, rasa bersalah atau malu yang sangat, mendengarr atau melihat hal yang
tidak ada, ketakutan, kesulitan tidur, dan memiliki ledakan kemarahan.
Gejala gairah biasanya konstan, alih-alih dipicu oleh sesuatu yang
mengembalikan ingatan akan peristiwa traumatis. Mereka dapat membuat orang
tersebut merasa stres dan marah. Gejala-gejala ini mungkin menyulitkan untuk
melakukan tugas sehari-hari, seperti tidur, makan, atau berkonsentrasi.
Kemudian gejala kognisi dan suasana hati dengan memiliki masalah
mengingat fitur utama dari peristiwa traumatis, pikiran negatif tentang diri sendiri
atau dunia, perasaan menyimpang seperti rasa bersalah atau menyalahkan, dan
kehilangan minat pada kegiatan yang menyenangkan. Gejala kognisi dan suasana
hati dapat mulai atau memburuk setelah peristiwa traumatis. Gejala-gejala ini
dapat membuat orang merasa terasing atau terpisah dari teman atau anggota
keluarga..
Adapun gejala fisik yang seringkali menyertai tanda psikotik yang
ditemukan pada PTSD ialah panas dingin, sulit bernafas, pusing, tekanan darah
tinggi, pingsan, kelelahan, menggiling gigi, sakit kepala, tremor otot, mual, rasa
sakit, berkeringat banyak, detak jantung meningkat, berkedut dan lemah
Untuk anak-anak dan remaja dapat memiliki reaksi ekstrem terhadap
trauma, tetapi gejalanya mungkin tidak sama dengan orang dewasa. Pada anak-
anak yang sangat muda (kurang dari 6 tahun) dapat mengalami gejala yang
meliputi mengompol setelah belajar menggunakan toilet, bicara tidak selancar
biasanya, bertindak seram saat bermain, menjadi sangat melekat pada orang tua
atau orang dewasa lainnya
Anak-anak yang lebih tua dan remaja biasanya menunjukkan gejala lebih
seperti yang terlihat pada orang dewasa. Mereka juga dapat mengembangkan
perilaku yang mengganggu, tidak sopan, atau merusak, dan dapat juga memiliki
pemikiran balas dendam.

II. Penegakan Diagnosis


PTSD hampir memiliki gejala yang sama dengan gangguan stress akut,
tetapi dapat dibedakan dengan lamanya muncul gejala. Pada gangguan stress akut,
gejala muncul kurang dari satu bulan sedangkan PTSD menetap selama lebih dari
satu bulan dan simptomatik setelah satu tahun terjadinya peristiwa trauma
tersebut. Pada tentara yang baru saja kembali dari daerah pertempuran, gejala
PTSD biasanya akan muncul pada bulan ke-3 hingga ke-6 pasca kembali (Warner,
Appenzeller, dan Hoge, 2013). Oleh karena itu, dokter harus berhati-hati dalam
menegakkan diagnosis PTSD agar tidak salah dalam memberikan terapinya
(Gambar 1).
Pada pasien yang baru mengalami traumatis dapat dilakukan skrining
menggunakan The Primary Care PTSD Screen for DSM-5 (PC-PTSD). Skrinning
ini menggunakan 5 pertanyaan. Hasil akan positif jika terdapat minimal 3 jawaban
“ya”. Namun, skrining ini hanya memberikan hasil bahwa sesorang berisiko
ataupun tidak untuk menjadi PTSD (Gambar2) (Warner, Appenzeller, dan Hoge,
2013; Prins, et.al, 2016).

Gambar 1. Penegakan diagnosis dan manajemen PTSD (Warner,


Appenzeller, dan Hoge, 2013)
Gambar 2. The Primary Care PTSD Screen for DSM-5 (PC-PTSD)
(Prins, et.al, 2016)

Dalam melakukan penegakan diagnosis PTSD dapat diketahui dari kriteria


yang telah disusun oleh American Psychiatric Asoosciation’s. Kriteria diagnosis
PTSD telah diperbarui dalam DSM-5 dan termasuk ke dalam kategori Traumatic
and Stressor Related Disorder. Berikut ini beberapa kriteria diagnosis PTSD
menurut DSM-5, diantaranya (Shalev, Liberzon, dan Marmar, 2017):
A. Orang yang terpapar kematian yang aktual atau mengancam, cedera
berat, atau kekerasan seksual dengan satu atau lebih cara berikut:
1. Mengalami peristiwa tersebut secara langsung
2. Menyaksikan secara langsung peristiwa tersebut yang dialami oleh
orang lain
3. Mempelajari bahwa kejadian tersebut terjadi pada anggota keluarga
atau teman dekat dimana merupakan suatu peristiwa kematian yang
mengancam, kekerasan, atau tidak disengaja.
4. Mengalami paparan berulang atau ekstrem pada detail permusuhan
dari kejadian yang traumatis (Misalnya: petugas polisi yang berulang
kali terpapar kasus pelecehan pada anak). Kriteria ini tidak berlaku
apabila terpapar melalui media elektronik, film, gambar, kecuali yang
terkait dengan suatu pekerjaan.
B. Munculnya satu atau lebih gangguan terkait peristiwa traumatis, dimulai
sejak peristiwa traumatis terjadi:
1. Ingatan peristiwa traumatis yang berulang, tidak disengaja, dan
mengganggu.
2. Mimpi buruk yang berulang dimana isi dan atau pengaruh mimpi
tersebut terkait dengan kejadian traumatis.
3. Rekasi disosiatif (misalnya: kilas balik) dimana individu merasa
seolah-olah peritiwa traumatis tersebut terulang. (Reaksi ini dapat
terjadi dalam satu kesatuan utuh peristiwa, dimana akibat yang paling
parah dapat mengakibatkan kehilangan kesadaran).
4. Tekanan psikologis baik dari internal maupun eksternal yang
berkepanjangan dan menyerupai aspek dari kejadian traumatis.
5. Reaksi fisiologis terhadap paparan internal atau eksternal yang
menyerupai aspek peristiwa traumatis.
C. Melakukan upaya menghindar terhadap stimulus yang terkait dengan
peristiwa traumatis, dimulai setelah kejadian traumatis tersebut terjadi,
dimana memenuhi satu atau dua kriteria berikut:
1. Menghindari atau upaya untuk menghindari ingatan, pikiran, atau
perasaan yang berhubungan dengan peristiwa traumatis.
2. Menghindari atau upaya untuk menghindari stimulus eksternal (orang,
tempat, percakapan, kegiatan, objek, dan situasi) yang dapat
membangkitkan ingatan, pikiran, atau perasaan terkait peristiwa
traumatis.
D. Perubahan kesadaran yang negatif dan suasana hati yang terkait dengan
peristiwa traumatis, dimana mulai atau memburuk setelah peristiwa
traumatis terjadi, dibuktikan dengan dua atau lebih kriteria berikut:
1. Ketidakmampuan dalam mengingat aspek penting dari kejadian
traumatis (biasanya karena amnesia disosiatif dan bukan akibat faktor
lain seperti cedera kepala, alkhohol, atau obat-obatan).
2. Harapan atau kepercayaan negatif yang berlebihan dan menetap
terhadap diri sendiri, orang lain, atau dunia. Misalnya, “Aku jahat,”
“Tidak ada yang bisa dipercaya,” “Dunia ini benar-benar berbahaya”.
3. Perubahan kognisi yang menetap mengenai penyebab atau akibat dari
peristiwa traumatis yang mengakibatkan individu menyalahkan diri
sendiri atau orang lain.
4. Perasaan emosi yang negatif dan menetap. Misalnya ketakutan,
marah, rasa bersalah, atau rasa malu.
5. Berkurangnya minat atau keinginan dalam berpartisipasi dalam
kegiatan yang signifikan.
6. Perasaan terpisah atau terlepas dari orang lain.
7. Ketidakmampuan yang menetap dalam mengalami emosi positif.
Misalnya tidak mampu mengalami bahagia, kepuasaan, atau perasaan
cinta.
E. Terjadi perubahan gairah dan reaksi yang terkait dengan peristiwa
traumatis, dimulai atau semakin memburuk setelah peristiwa traumatis
terjadi, dibuktikan oleh dua atau lebih hal berikut:
1. Perilaku mudah marah dengan sedikit atau tanpa provokasi biasanya
melalui verbal atau fisik terhadap orang lain atau benda.
2. Perilaku yang gegabah atau merusak diri sendiri.
3. Kewaspadaan yang berlebihan.
4. Respon terkejut yang berlebihan.
5. Gangguan konsentrasi.
6. Gangguan tidur
F. Gangguan pada kriteria B, C, D, dan E terjadi lebih dari 1 bulan.
G. Ganguan tersebut mengakibatkan tekanan bermakna klinis atau gangguan
signifikan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau kegiatan penting lainnya.
H. Gangguan tersebut tidak diakibatkan oleh efek fisiologis suatu zat atau
kondisi kesehatan lainnya.

Selain itu, kriteria penegakan diagnosis PTSD juga dapat ditegakkan


berdasarkan PPDGJ III (2002) sebagi berikut:

 Diagnosis ditegakkan apabila gejala muncul 6 bulan setelah kejadian


traumatis. Kemungkinan diagnosis dapat ditegakkan bila onset gangguan
melebihi waktu 6 bulan namun, manifestasi klinis bersifat khas dan tidak
ada alternatif gangguan lainnya.
 Selain trauma, terdapat baying-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian
traumatis secara berulang-ulang (flashback).
 Gangguan autonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku
semuanya dapat mewarnai diagnosis tapi tidak khas.
 Suatu “sequel” menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar
biasa, misalnya beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam
kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah
mengalami katastrofa).

III. Tatalaksana

Perawatan utama yang biasa dilakukan berupa psikoterapi (“Talk


Therapy” atau terapi "bicara"), obat-obatan, atau keduanya. Penelitian
menunjukkan bahwa dukungan dari keluarga dan teman dapat menjadi bagian
penting dari pemulihan.
Psikoterapi dapat dilakukan secara sendiri atau dalam kelompok dan
biasanya berlangsung 6 hingga 12 minggu, tetapi dapat memakan waktu lebih
lama. Psikoterapi yang efektif cenderung menekankan beberapa komponen utama,
termasuk pendidikan tentang gejala, keterampilan mengajar untuk membantu
mengidentifikasi pemicu gejala, dan keterampilan untuk mengelola gejala. Salah
satu jenis psikoterapi disebut terapi perilaku kognitif, atau CBT.
CBT dapat mencakup terapi pemaparan. Terapi ini membantu orang
menghadapi dan mengendalikan rasa takut mereka. Yang secara bertahap
memaparkan mereka pada trauma yang mereka alami dengan cara yang aman. Ia
menggunakan pencitraan mental, tulisan, atau kunjungan ke tempat di mana
peristiwa itu terjadi. Terapis menggunakan alat-alat ini untuk membantu orang
dengan PTSD mengatasi perasaan mereka.
Lalu restrukturisasi kognitif. Terapi ini membantu orang memahami
ingatan buruk. Terkadang orang mengingat peristiwa itu secara berbeda dari
bagaimana kejadiannya. Mereka mungkin merasa bersalah atau malu tentang apa
yang bukan kesalahan mereka. Terapis membantu orang-orang dengan PTSD
melihat apa yang terjadi dengan cara yang realistis.
Terapi bicara lainnya mengajarkan orang untuk bereaksi terhadap
peristiwa menakutkan yang memicu gejala PTSD mereka. Berdasarkan tujuan
umum ini, berbagai jenis terapi dapat diajarkan tentang trauma dan dampaknya,
menggunakan keterampilan relaksasi dan pengendalian amarah, memberikan tips
untuk tidur, diet, dan kebiasaan olahraga yang lebih baik, membantu orang
mengidentifikasi dan mengatasi rasa bersalah, malu, dan perasaan lain tentang
acara tersebut, lalu fokus untuk mengubah cara orang bereaksi terhadap gejala
PTSD mereka
Terapi obat-obatan yang paling banyak dipelajari untuk mengobati PTSD
termasuk antidepresan, yang mungkin membantu mengendalikan gejala PTSD
seperti kesedihan, kekhawatiran, dan kemarahan.
Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD,
tatalaksana gangguan stres pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan hal – hal
sebagai berikut:
1. Gangguan stres pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik
dan berulang serta sering berkomorbiditas dengan gangguan jiwa
serius lainnya.
2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/
SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini.
3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.
4. Expossure therapy merupakan terapi pendekatan psikososial terbaik
yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan
Untuk Farmakoterapi medikasi lini pertama yang tergolong bermanfaat
untuk mengatasi kasus gangguan stres pasca trauma adalah pemberian obat –
obatan antidepresan golongan SSRI seperti Fluoxetin 10 – 60 mg/hari, Setralin 50
– 200mg/ hari atau Fluvoxamine 50 – 300 mg/ hari. Selain obat antidepresan
golongan SSRI, dapat pula digunakan obat antidepresan dari golongan lainnya
seperti antidepresan trisiklik, MAO inhibitors, SRNI ( Serotonin Norepineprin
Reuptake Inhibitors). Prinsip pengobatan selalu dimulai dari dosis rendah,
ditingkatkan bertahap sampai mencapai dosis terapeutik. Efek terapi baru akan
tampak pada minggu ke 2 – 3 sehingga pemberian obat harus memperhatikan hal
ini. Pada minggu pertama perlu diberikan benzodiazepin yang memiliki efek cepat
dalam memberikan rasa nyaman sambil menunggu efek terapi antidepresan.
Setelah efek terapi tercapai maka dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan untuk
mencegah relaps selama paling sedikit 12 bulan.
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI), Golongan obat ini kurang
memperlihatkan efek terhadap sistem kolinergik, adrenergik atau histaminergik,
sehingga efek sampingnya lebih ringan. Menurut penelitian, obat – obat golongan
ini lebih menujukkan hasil pengobatan yang baik untuk pasien dengan gangguan
stress pasca trauma. Obat – obat golongan ini merupakan golongan obat yang
secara spesifik menghambat ambilan serotonin. Yang termasuk golongan obat ini
adalah fluoksetin, paroksetin, setraline, fluvoksamin, R-S sitalopram, dan S-
sitalopram. Obat ini merupakan inhibitor spesifik P450 isoenzim. Masa kerja obat
golongan ini panjang yaitu antara 15 – 24 jam, fluoksetin paling panjang dengan
masa kerja 24 – 96 jam. Paroksetin dan fluoksetin dapat meningkatkan kadar anti
depresi trisiklik berdasarkan hambatan enzim CYP. Efek samping yang sering
dikeluhkan adalah mual, penurunan libido, dan fungsi seksual lainnya. Adapun
golongan SSRIs yang dapat dipakai :
1. Fluoksetin
Merupakan golongan obat SSRI yang paling luas digunakan, karena obat
ini kurang menyebabkan antikolinergik, hampir tidak menimbulkan sedasi
dan cukup diberikan sekali sehari. Dengan sediaan dalam bentuk kapsul 10
mg dan 20 mg, dalam tablet bergaris 10 mg, dan dalam bentuk iv
20mg/5ml. Dosis awal dapat diberikan 20 mg/hari diberikan setiap pagi,
bila tidak diperoleh hasil maka dapat ditingkatkan 20mg hingga 30 mg per
hari.
2. Setralin
Suatu golongan SSRI serupa dengan fluoksetin namun bersifat lebih
selektif terhadap SERT (transporter serotonin) dan kurang efektif terhadap
DAT (transporter dopamin). Tersedia dalam tablet garis 25 mg, 50 mg,
dan 100mg. Dosis awal yang dapat diberikan adalah 50 mg/hari dan dapat
ditingkatkan bila tidak berespon.
3. Flufoksamin
Yang memiliki efek sedasi dan efek antimuskarinik kurang dari fluoksetin.
Obat ini cenderung meningkatkan metabolit oksidatif benzodiazepin,
klozapin, teofilin dan warfarin karena menghambat CYP 1A2, CYP 2C19,
dan CYP 3A3/4.8 d.
4. Paroksetin
Dengan masa paruh 22 jam. Obat ini meningkatkan kadar klozapin,
teofilin dan warfarin. Iritabilitas terjadi pada penghentian secara
mendadak. Obat ini tidak boleh diberikan pada anak karena dapat
mengakibatkan gagasan bunuh diri dan agitasi. Dan kemudian R-S
sitalopram dan S-sitalopram Selektivitas terhadap SERT paling tinggi.
Masih belum diketahui apakah berarti secara klinis.
Selain itu dapat juga menggunakan Antidepresan Trisiklik. Golongan obat
ini bekerja dengan menghambat ambilan kembali neurotransmitter di otak. Dari
beraneka jenis antidepresan trisiklik terdapat perbedaan potensi dan selektivitas
hambatan ambilan kembali neurotransmitter. Ada yang sangat sensitif terhadap
pengambilan norepinefrin dan ada pula yang sensitif terhadapa serotonin serta
yang sensitif terhadap dopamin. Tidak jelas hubungan antara mekanisme
penghambatan ambilan kembali katekolamin dengan efek antidepresinya. Efek
samping obat ini adalah sering terjadi pengeluaran keringat berlebihan,
peningkatan tekanan darah, gangguan irama jantung. Pemberian obat ini harus
hati – hati pada pasien glaukoma atau hipertrofi prostat.
1. Imipramin
Tersedia dalam bentuk tablet berlapis gula 10 dan 25 mg dan dalam bentuk
sediaan suntik 25 mg/ 2ml. Biasanya efek mulai timbul minggu 2-3
minggu dari pemberian obat.
2. Desmetilimipramin
Berbentuk tablet 25 mg. Dosis permulaan 3 kali 25 mg per hari, selama 7-
10 hari. Dosis kemudian ditambahkan atau dikurangkan sesuai kebutuhan.
3. Amitriptilin
Tersedia dalam bentuk tablet 10 dan 25 mg, dan dalam bentuk larutan
suntikan 100 mg/10ml
Dan terakhir ialah Monoamin Oksidase Inhibitors (MAO Inhibitors).
Golongan obat ini sudah lama digunakan sebagai antidepresan. MAO dalam tubuh
berfungsi dalam proses deaminasi oksidasif katekolamin dalam mitokondria. Bila
proses ini dihambat maka kadar epinefrin, norepinefrin dan 5-HT dalam otak akan
meningkat. Penggunaan obat ini sangat terbatas karena toksik. Efek samping obat
ini adalah hipotensi, hipertensi, gejala tremor, insomnia, konvulsi, dan kerusakan
hati.

1. Isokarboksazid
Tersedia dalam tablet 10 mg. Dosis obat ini adalah 3 kali 10 mg perhari.
Efek terapi baru terlihat setelah 1-4 minggu
2. Nialamid
Tersedia dalam tablet 25 dan 100 mg. Sifat obat ini kurang toksik namun
juga kurang efektif
3. Moklobemid
Menghambat MAO-A secara spesifik dan reversibel. Belum ada cukup
bukti untuk menentukan status obat ini dalam pengobatan depresi.
DAFTAR PUSTAKA

American Psychological Association (APA). 2017. Clinical Practice Guideline for


the Treatment of Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) in Adults.
American Psychological Association: Washington.

Bidlack, J. M., & Morris, H. H. 2009. Phenobarbital withdrawal seizures may


occur over several weeks before remitting: Human data and hypothetical
mechanism. Seizure, 18(1), 79–81.

Chan, C. L. W. 2017. Post traumatic stress disorder. Hong Kong Practitioner,


39(1), 14–18.

Department Of Health And Human Services. 2019. Post-Traumatic Stress


Disorder ( PTSD ). NIMH: United States.

Elvira, D.S., Hadisukanto, G. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Balai Penerbit FK UI : Jakarta.

Maslim, R. 2002. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa FK Unika Atmajaya:
Jakarta.
Prins, A., et.al. 2016. The Primary Care PTSD Screen for DSM-5 (PC-PTSD):
Development and Evaluation Within a Veteran Primary Care Sample. J
Gen Intern Med. 31(10):1206-1211.

Sadock, Benjamin J. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis, ed 2.
Ahli Bahasa Provitasari, Nisa, T .M., EG, Jakarta

Shalev, A., Liberzon, I., dan Marmar, C. 2017. Post-Traumatic Stress Disorder.
The New England Journal of Medicine. 376:2459-2469.
Warner, C. H., Warner, C. M. 2013. Appenzeller, G. N., dan Hoge, C. W.
Identifying and Managing Posttraumatic Stress Disorder. American
Family Physician. 88(12):827-834.
Walsh, S. J., & Katz, K. D. 2016. Critical Care Toxicology. Critical Care
Toxicology.

Anda mungkin juga menyukai