Anda di halaman 1dari 24

FADLUN

N 111 16 110

Pembimbing Klinik: dr. Dewi Suriany., Sp. KJ


Gangguan Stress Pasca Trauma / Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD) dapat didefinisikan sebagai
keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara
ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat,
mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma
yang hebat dan atau kejadian yang mengancam
kehidupannya. Keadaan ini ditandai dengan suasana
perasaan murung, sedih, kurangnya semangat dalam
melakukan kegiatan sehari-hari maupun kegiatan
yang menimbulkan kesenangan, kadang-kadang
disertai dengan waham dan bila sudah berat dapat
menimbulkan gangguan dalam fungsi peran dan
kehidupan sosial.
Gangguan Stress Pascatraumatik adalah gangguan
cemas yang terdiri dari :
 Pengalaman trauma yang muncul kembali dalam
mimpi atau pikiran-pikiran waktu terjaga.
 Emosi yang tumpul dalam kehidupan atau hubungan
interpersonal
 Terdapat gejala-gejala otonom yang tidak stabil,
depresi dan gangguan kognitif (seperti kesukaran
konsentrasi)
Gejala penyerta yang sering dari gangguan stres
pascatraumatik adalah depresi, kecemasan dan
kesulitan kognitif (sebagai contohnya, pemusatan
perhatian yang buruk). Di dalam Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat
(DSM IV), lama gejala minimal untuk gangguan stres
pascatraumatik adalah satu bulan.
Gangguan Stres Pasca Trauma termasuk dalam
gangguan cemas. Gangguan cemas disebabkan oleh
situasi atau obyek yang sebenarnya tidak
membahayakan yang mengakibatkan situasi atau obyek
tersebut dihindari secara khusus atau dihadapi dengan
perasaan terancam. Perasaan tersebut tidak berkurang
walaupun mengetahui bahwa orang lain menganggap
tidak berbahaya atau mengancam.
Prevalensi gangguan stres pascatraumatik pada
masyarakat umum diperkirakan dari 1 sampai 3 persen
dimana 0,5 % untuk pria dan 1,2 % pada wanita, anak-
anak juga mengalami gangguan tersebut. Sebagai
contoh peristiwa perang, perkosaan atau penyerangan
secara seksual, serangan yang melukai tubuh,
penyiksaan, penganiayaan anak, peristiwa bencana
alam seperti : gempa bumi, tanah longsor, banjir
bandang, kecelakaan lalu lintas atau musibah pesawat
jatuh.
Stresor adalah penyebab utama dalam
perkembangan gangguan stres pascatraumatik. Tetapi
tidak semua orang akan mengalami gangguan stres
pascatraumatik setelah suatu peristiwa traumatik.
Walaupun stressor diperlukan, namun stressor tidak
cukup untuk menyebabkan gangguan. Faktor-faktor
yang harus ikut dipertimbangkan adalah faktor biologis
individual, faktor psikososial sebelumnya dan peristiwa
yang terjadi setelah trauma.
Faktor Psikodinamika
Model kognitif dari gangguan stres
pascatraumatik menyatakan bahwa orang yang terkena
stres pascatraumatik tidak mampu memproses atau
merasionalkan trauma yang mencetuskan gangguan.
Model psikoanalitik dari gangguan
menghipotesiskan bahwa trauma telah mereaktivasi
konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum
terpecahkan. Penghidupan kembali trauma masa anak-
anak menyebabkan regresi dan penggunaan
mekanisme pertahanan represi, penyangkalan, dan
meruntuhkan (undoing).
Ego hidup kembali dan dengan demikian
berusaha menguasai dan menurunkan kecemasan.
Pasien juga mendapatkan tujuan sekunder dari dunia
luar, peningkatan perhatian atau simpati, dan
pemuasan kebutuhan ketergantungan. Tujuan tersebut
mendorong gangguan dan persistensinya. Suatu
pandangan kognitif tentang gangguan stres
pascatraumatik adalah bahwa otak mencoba untuk
memproses sejumlah besar informasi yang dicetuskan
oleh trauma dengan periode menerima dan
menghambat peristiwa secara berganti-ganti.
Faktor Biologis
Pada populasi klinis, data telah mendukung
hipotesis bahwa system noradrenergik dan opiat
endogen, dan juga sumbu hipotalamus-hipofisis
adrenal, adalah hiperaktif pada sekurangnya beberapa
pasien dengan gangguan stres pascatrauamtik.

Temuan biologis utama lainnya adalah


peningkatan aktivitas dan responsivitas system saraf
otonom, seperti yang dibuktikan oleh peninggian
kecepatan denyut jantung dan tekanan darah, dan pola
tidur yang abnormal (sebagai contohnya, fragmentasi
tidur dan peningkatan latensi tidur).
Gambaran klinis utama dari gangguan stres
pascatraumatik adalah pengalaman ulang peristiwa
yang menyakitkan, suatu pola menghindar dan
kekakuan emosional dan kesadaran yang berlebihan
yang hampir tetap. Gangguan mungkin tidak
berkembang sampai berbulan-bulan atau bertahun-
tahun setelah peristiwa. Pemeriksaaan status mental
seringkali mengungkapkan rasa bersalah, penolakan
dan penghinaan. Pasien mungkin juga
menggambarkan keadaan disosiatif dan serangan
panik. Ilusi dan halusinasi mungkin ditemukan. Tes
kognitif mungkin mengungkapkan bahwa pasien
memiliki gangguan daya ingat dan perhatian.
DSM-IV menyebutkan bahwa gejala pengalaman
ulang (reexperiencing), menghindar dan kesadaran
yang berlebihan (hiperarousal) harus berlangsung lebih
dari 1 bulan. Bagi pasien yang gejalanya ditemukan
kurang dari satu bulan, diagnosis yang tepat mungkin
adalah gangguan stres akut. Kriteria diagnostik DSM-IV
untuk gangguan stres pascatraumatik yang
memungkinkan klinisi menentukan apakah gangguan
adalah akut (jika berlangsung kurang dari tiga bulan )
atau kronis (jika gejala berlangsung tiga bulan atau
lebih).
Orang telah terpapar dengan suatu kejadian
traumatik dimana kedua dari berikut ini
terdapat :
◦ Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan
dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang
berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cedera yang serius, atau
ancaman kepada integritas fisik diri atau orang lain.
◦ Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat,
rasa tidak berdaya atau horor.
Kejadian traumatik secara menetap dialami
kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut :
◦ Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan
mengganggu tentang kejadian, termasuk angan
pikiran atau persepsi.
◦ Mimpi menakutkan yang berulang tentang
kejadian.
◦ Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian
traumatik terjadi kembali (termasuk perasaan
penghidupan kembali pengalaman kembali
pengalaman, ilusi, halusinasi dan episode kilas
balik disosiatif, termasuk yang terjadi saat
terbangun atau saat terintoksikasi).
◦ Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar
dengan tanda internal atau eksternal yang
menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek
kejadian traumatik.
◦ Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda
internal atau eksternal yang menyimbolkan atau
menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
Penghindaran stimulus yang persisten yang
berhubungan dengan trauma dan kaku karena
responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum
trauma), seperti yang ditunjukkan oleh tiga (atau
lebih) berikut ini :
 Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau
percakapan yang berhubungan trauma
 Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat atau
orang yang menyadarkan rekoleksi dengan trauma.
 Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari
trauma.
 Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam
aktivitas yang bermakna
 Rentang afek yang terbatas
 Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.
 Gejala menetap adanya peningkatan
kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma
) yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih)
berikut :
 Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur
 Iritabilitas atau ledakan kemarahan
 Sulit berkonsentrasi
 Kewaspadaan berlebihan
 Respon kejut yang berlebihan
 Lama gangguan (gejala dalam kriteria b, c, d)
adalah lebih dari satu bulan
Gangguan menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting
lain. Sebutkan jika :
 Akut : jika lama gejala adalah kurang
dari 3 bulan
 Kronis : jika lama gejala adalah 3
bulan atau lebih
Sebutkan jika :
 Dengan onset lambat : onset gejala
sekurangnya enam bulan setelah stressor
Gangguan stress pascatraumatik pada umumnya sering
keliru didiagnosis sebagai gangguan mental lain, yang
menyebabkan pengobatan yang tidak tepat. Klinisi harus
mempertimbangkan gangguan stres pascatraumatik pada
pasien yang menderita gangguan nyeri (pain disorder),
penyalahgunaan zat, gangguan kecemasan lain, dan gangguan
mood.
Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif,
gangguan buatan atau berpura-pura juga harus
dipertimbangkan.
Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan
dari gangguan stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut
dapat terjadi bersama-sama atau bahkan saling berhubungan
sebab akibat.
Penatalaksanaan Gangguan Kecemasan khususnya
Gangguan Stres Pascatrauma Terdapat tiga
pendekatan terapetik untuk mengatasi gejala
berhubungan dengan kecemasan yaitu :
1. Manajemen krisis
2. Psikoterapi
3. Farmakoterapi
Psikoterapi
Psikoterapi harus dilakukan secara individual,
karena beberapa pasien ketakutan akan pengalaman
ulang trauma. Rekosntruksi peristiwa traumatik
dengan abreaksi dan katarsis yang menyertai
mungkin bersifat terapeutik.
Farmakoterapi
Obat-obat anti anxietas sebaiknya digunakan untuk waktu yang
singkat karena ditakutkan akan terjadi ketergantungan,
meskipun banyak obat yang efektif untuk meredakan anxietas.
1. Trycyclic and monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
Bahwa reversible MAOIs, moclobimide juga dapat
berguna dalam perawatan gangguan stress pascatrauma.
2. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Perubahan terutama terlihat untuk reexperiencing dan
gejala hyperarousal daripada penolakan. Yang juga menarik
adalah penurunan rasa bersalah dari yang selamat. Fluvoxamine
tampaknya lebih efektif.
Digunakan pula paroxetine sampai 60 mg untuk 12 minggu.
Disamping itu dapat pula dicoba dengan Trazodone, dosis
sampai 400 mg/hari.
3. Benzodiazepin
 Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk
gangguan kecemasan umum. Pada gangguan benzodiazepin
dapat diresepkan atas dasar jika diperlukan, sehingga pasien
menggunakan benzodiazepin kerja cepat jika mereka
merasakan kecemasan tertentu. Pendekatan alternatif adalah
dengan meresepkan benzodiazepin untuk suatu periode
terbatas, selama mana pendekatan terapetik psikososial
diterapkan.
 Beberapa masalah adalah berhubungan dengan pemakaian
benzodiazepin dalam gangguan kecemasan umum. Kira-kira 25
sampai 30 persen dari semua pasien tidak berespon, dan dpat
terjadi toleransi dan ketergantungan. Beberapa pasien juga
mengalami gangguan kesadaran saat menggunakan obat dan
dengan demikian, adalah berada dalam risiko untuk mengalami
kecelakaan kendaraan bermotor atau mesin.
Prognosis yang baik jika onset gejala cepat,
durasi gejala yang singkat (kurang dari enam bulan),
fungsi pramorbid yang baik, dukungan sosial yang
kuat dan tidak adanya gangguan psikiatrik, atau
berhubungan dengan zat lainnya.
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau
sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan
peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang
dalam usia pertengahan. Kecacatan psikiatrik yang
ada sebelumnya, apakah suatu gangguan
kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius,
juga meningkatkan efek stresor tertentu.

Anda mungkin juga menyukai