Gangguan Stress Pasca Trauma / Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya. Keadaan ini ditandai dengan suasana perasaan murung, sedih, kurangnya semangat dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun kegiatan yang menimbulkan kesenangan, kadang-kadang disertai dengan waham dan bila sudah berat dapat menimbulkan gangguan dalam fungsi peran dan kehidupan sosial. Gangguan Stress Pascatraumatik adalah gangguan cemas yang terdiri dari : Pengalaman trauma yang muncul kembali dalam mimpi atau pikiran-pikiran waktu terjaga. Emosi yang tumpul dalam kehidupan atau hubungan interpersonal Terdapat gejala-gejala otonom yang tidak stabil, depresi dan gangguan kognitif (seperti kesukaran konsentrasi) Gejala penyerta yang sering dari gangguan stres pascatraumatik adalah depresi, kecemasan dan kesulitan kognitif (sebagai contohnya, pemusatan perhatian yang buruk). Di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat (DSM IV), lama gejala minimal untuk gangguan stres pascatraumatik adalah satu bulan. Gangguan Stres Pasca Trauma termasuk dalam gangguan cemas. Gangguan cemas disebabkan oleh situasi atau obyek yang sebenarnya tidak membahayakan yang mengakibatkan situasi atau obyek tersebut dihindari secara khusus atau dihadapi dengan perasaan terancam. Perasaan tersebut tidak berkurang walaupun mengetahui bahwa orang lain menganggap tidak berbahaya atau mengancam. Prevalensi gangguan stres pascatraumatik pada masyarakat umum diperkirakan dari 1 sampai 3 persen dimana 0,5 % untuk pria dan 1,2 % pada wanita, anak- anak juga mengalami gangguan tersebut. Sebagai contoh peristiwa perang, perkosaan atau penyerangan secara seksual, serangan yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan anak, peristiwa bencana alam seperti : gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, kecelakaan lalu lintas atau musibah pesawat jatuh. Stresor adalah penyebab utama dalam perkembangan gangguan stres pascatraumatik. Tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stres pascatraumatik setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stressor diperlukan, namun stressor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Faktor-faktor yang harus ikut dipertimbangkan adalah faktor biologis individual, faktor psikososial sebelumnya dan peristiwa yang terjadi setelah trauma. Faktor Psikodinamika Model kognitif dari gangguan stres pascatraumatik menyatakan bahwa orang yang terkena stres pascatraumatik tidak mampu memproses atau merasionalkan trauma yang mencetuskan gangguan. Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan. Penghidupan kembali trauma masa anak- anak menyebabkan regresi dan penggunaan mekanisme pertahanan represi, penyangkalan, dan meruntuhkan (undoing). Ego hidup kembali dan dengan demikian berusaha menguasai dan menurunkan kecemasan. Pasien juga mendapatkan tujuan sekunder dari dunia luar, peningkatan perhatian atau simpati, dan pemuasan kebutuhan ketergantungan. Tujuan tersebut mendorong gangguan dan persistensinya. Suatu pandangan kognitif tentang gangguan stres pascatraumatik adalah bahwa otak mencoba untuk memproses sejumlah besar informasi yang dicetuskan oleh trauma dengan periode menerima dan menghambat peristiwa secara berganti-ganti. Faktor Biologis Pada populasi klinis, data telah mendukung hipotesis bahwa system noradrenergik dan opiat endogen, dan juga sumbu hipotalamus-hipofisis adrenal, adalah hiperaktif pada sekurangnya beberapa pasien dengan gangguan stres pascatrauamtik.
Temuan biologis utama lainnya adalah
peningkatan aktivitas dan responsivitas system saraf otonom, seperti yang dibuktikan oleh peninggian kecepatan denyut jantung dan tekanan darah, dan pola tidur yang abnormal (sebagai contohnya, fragmentasi tidur dan peningkatan latensi tidur). Gambaran klinis utama dari gangguan stres pascatraumatik adalah pengalaman ulang peristiwa yang menyakitkan, suatu pola menghindar dan kekakuan emosional dan kesadaran yang berlebihan yang hampir tetap. Gangguan mungkin tidak berkembang sampai berbulan-bulan atau bertahun- tahun setelah peristiwa. Pemeriksaaan status mental seringkali mengungkapkan rasa bersalah, penolakan dan penghinaan. Pasien mungkin juga menggambarkan keadaan disosiatif dan serangan panik. Ilusi dan halusinasi mungkin ditemukan. Tes kognitif mungkin mengungkapkan bahwa pasien memiliki gangguan daya ingat dan perhatian. DSM-IV menyebutkan bahwa gejala pengalaman ulang (reexperiencing), menghindar dan kesadaran yang berlebihan (hiperarousal) harus berlangsung lebih dari 1 bulan. Bagi pasien yang gejalanya ditemukan kurang dari satu bulan, diagnosis yang tepat mungkin adalah gangguan stres akut. Kriteria diagnostik DSM-IV untuk gangguan stres pascatraumatik yang memungkinkan klinisi menentukan apakah gangguan adalah akut (jika berlangsung kurang dari tiga bulan ) atau kronis (jika gejala berlangsung tiga bulan atau lebih). Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini terdapat : ◦ Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri atau orang lain. ◦ Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut : ◦ Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian, termasuk angan pikiran atau persepsi. ◦ Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. ◦ Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali (termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman kembali pengalaman, ilusi, halusinasi dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi saat terbangun atau saat terintoksikasi). ◦ Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. ◦ Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh tiga (atau lebih) berikut ini : Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan trauma Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat atau orang yang menyadarkan rekoleksi dengan trauma. Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma. Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna Rentang afek yang terbatas Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma ) yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut : Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur Iritabilitas atau ledakan kemarahan Sulit berkonsentrasi Kewaspadaan berlebihan Respon kejut yang berlebihan Lama gangguan (gejala dalam kriteria b, c, d) adalah lebih dari satu bulan Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain. Sebutkan jika : Akut : jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan Kronis : jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebih Sebutkan jika : Dengan onset lambat : onset gejala sekurangnya enam bulan setelah stressor Gangguan stress pascatraumatik pada umumnya sering keliru didiagnosis sebagai gangguan mental lain, yang menyebabkan pengobatan yang tidak tepat. Klinisi harus mempertimbangkan gangguan stres pascatraumatik pada pasien yang menderita gangguan nyeri (pain disorder), penyalahgunaan zat, gangguan kecemasan lain, dan gangguan mood. Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan atau berpura-pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dari gangguan stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau bahkan saling berhubungan sebab akibat. Penatalaksanaan Gangguan Kecemasan khususnya Gangguan Stres Pascatrauma Terdapat tiga pendekatan terapetik untuk mengatasi gejala berhubungan dengan kecemasan yaitu : 1. Manajemen krisis 2. Psikoterapi 3. Farmakoterapi Psikoterapi Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien ketakutan akan pengalaman ulang trauma. Rekosntruksi peristiwa traumatik dengan abreaksi dan katarsis yang menyertai mungkin bersifat terapeutik. Farmakoterapi Obat-obat anti anxietas sebaiknya digunakan untuk waktu yang singkat karena ditakutkan akan terjadi ketergantungan, meskipun banyak obat yang efektif untuk meredakan anxietas. 1. Trycyclic and monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) Bahwa reversible MAOIs, moclobimide juga dapat berguna dalam perawatan gangguan stress pascatrauma. 2. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) Perubahan terutama terlihat untuk reexperiencing dan gejala hyperarousal daripada penolakan. Yang juga menarik adalah penurunan rasa bersalah dari yang selamat. Fluvoxamine tampaknya lebih efektif. Digunakan pula paroxetine sampai 60 mg untuk 12 minggu. Disamping itu dapat pula dicoba dengan Trazodone, dosis sampai 400 mg/hari. 3. Benzodiazepin Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk gangguan kecemasan umum. Pada gangguan benzodiazepin dapat diresepkan atas dasar jika diperlukan, sehingga pasien menggunakan benzodiazepin kerja cepat jika mereka merasakan kecemasan tertentu. Pendekatan alternatif adalah dengan meresepkan benzodiazepin untuk suatu periode terbatas, selama mana pendekatan terapetik psikososial diterapkan. Beberapa masalah adalah berhubungan dengan pemakaian benzodiazepin dalam gangguan kecemasan umum. Kira-kira 25 sampai 30 persen dari semua pasien tidak berespon, dan dpat terjadi toleransi dan ketergantungan. Beberapa pasien juga mengalami gangguan kesadaran saat menggunakan obat dan dengan demikian, adalah berada dalam risiko untuk mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau mesin. Prognosis yang baik jika onset gejala cepat, durasi gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), fungsi pramorbid yang baik, dukungan sosial yang kuat dan tidak adanya gangguan psikiatrik, atau berhubungan dengan zat lainnya. Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia pertengahan. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah suatu gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan efek stresor tertentu.