PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
1
PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder adalah Gangguan kejiwaan
pada seseorang yang dialami dan berkembang setelah pengalaman, terancam,
atau menyaksikan suatu kejadian yang mengancam jiwa, seperti kecelakaan,
cedera, atau ancaman seksual. Kejadian ini biasanya diiringi dengan
ketidakmampuan seseorang untuk beradaptasi, rasa takut dan tidak berdaya,
dan secara menetap penderita sering menghidupkan kembali dan teringat
peristiwa tersebut dan mencoba menghindarinya. Penegakan diagnosis
ditegakan jika gejala bertahan lebih dari satu bulan setelah peritiwa dan harus
mempengaruhi area yang penting kehidupan secara signifikan seperti keluarga
dan pekerjaan.1,2,4
B. Etiologi
PTSD sendiri merupakan suatu hasil kegagalan untuk pulih dari trauma
atau stress yang terjadi. Penyebab dari PTSD berkaitan dengan pengalaman,
ancaman, atau menyaksikan suatu kejadian yang mengancam jiwa. Untuk
menentukan individu mana yang beresiko mengalami kejadian PTSD:1,3,4
Pretraumatic factors
Temperamental
Masalah emosional pada usia 6 tahun
Penyakit mental sebelumnya
Enviromental
Terpapar trauma sebelumnya
Sosial ekonomi yang rendah
Pendidikan yang rendah
Masalah masa kecil
Minoritas (Ras/ethnis)
Genetic and physiological
Jenis kelamin (Wanita)
Genetik
2
Peritraumatic Factor
Enviromental
Frekuensi terpapar trauma
Drajat trauma
Personil Militer
Posttraumatic factors
Temperamental
Penilaian negatif
Penanganan yang tidak tepat
Terjadinya acute stress disorder
Enviromental
Terpapar pengingat yang berhubungan dengan kejadian trauma
Terjadinya kerugian yang berkaitan dengan taruma
Dukungan sosial yang kurang.1,
C. Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup PTSD diperkirakan sekitar 8 persen populasi
umum walaupun tambahan 5 hingga 15 persen dapat mengalami bentuk
subklinis gangguan ini. Di anatar kelompok risiko tinggi yang anggotanya
mengalami peristiwa traumatik. Angka prevalensi seumur hidupnya berikisar 5
hingga 75 persen. Prevalensi seumur hidup pada perempuan berkisar sekitar 10
hingga 12 persen dan 5 hingga 6 persen pada laki – laki. Walaupun PTSD dapat
timbul pada usia berapapun. Gangguan ini paling sering pada dewasa muda
karena mereka cendrung lebih terpajan dengan situasi penginduksi. Anak juga
dapat mengalami gangguan ini. Laki – laki dan perempuan memiliki perbedaan
tipe trauma. Prevalensi seumur hidup secara bermakna lebih tinggi pada
perempuan dan proporsi perempuan yang terus mengalami gangguan ini lebih
tinggi. Berdasarkan sejarah truma laki – laki paling lazim biasanya berupa
3
pengalaman berperang dan trauma perempuan paling lazim adalah kekerasan
atau perkosaan.4
D. Patofisiologi
Selain dampak psikologis pasca mengalami peristiwa traumatis, PTSD
sering menyebabkan perubahan dalam anatomi dan neurofisiologi otak.
Pengurangan ukuran hippocampus mungkin merupakan faktor predisposisi
sekaligus akibat dari trauma. Amygdala, yang terlibat dalam memproses emosi
dan memodulasi respons rasa takut, tampak terlalu reaktif pada pasien dengan
PTSD. Korteks prefrontal medial (mPFC), yang mengontrol dan menghambat
respon stres dan reaktivitas emosional dari amigdala, tampak lebih kecil dan
kurang responsif pada individu dengan PTSD.3
Perubahan fungsi neurohormonal dan neurotransmiter juga telah
ditemukan. Individu dengan PTSD cenderung memiliki kadar kortisol yang
normal hingga rendah meskipun tekanan dari stressor terus berlanjut dan
meningkatnya kadar Corticotropin Releasing Factor (CRF). Normalnya
peningkatan kortisol menyebabkan penurunan produksi CRF. Jika kortisol
rendah maka CRF terus menjadi tinggi dan menstimulasi pelepasan
norepinefrin oleh anterior cinculate cortex. Individu dengan PTSD
menunjukkan hiperaktivitas cabang simpatis dari sistem saraf otonom,
sebagaimana dibuktikan oleh perubahan denyut jantung, tekanan darah, tingkat
konduktansi kulit, dan tindakan psikofisiologis lainnya. Mereka juga memiliki
peningkatan reaktivitas noradrenergik terhadap tantangan farmakologis.
Berbagai sistem neurotransmiter lain, seperti serotonin, GABA, glutamat,
neuropeptida Y, dan opioid endogen, menunjukkan fungsi yang berubah pada
individu dengan PTSD.3,4,5
Amigdala merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala
mengaktivasi beberapa neurotransmiter serta bahan – bahan neurokimiawi di
otak jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik yang mengancam nyawa
sebagai respons tubuh untuk menghadapi peristiwa tersebut. Dalam waktu
beberapa milidetik setelah mengalami peristiwa tersebut, amigdala dengan
4
segera akan bereaksi dengan memeberikan stimulus berupa tanda darurat
kepada:5
1. Sistem saraf simpatis (katekolamin)
2. Sistem saraf parasimpatis
3. Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (HPA aksis)
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah
mengalami peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung
dan tekanan darah. Kondisi ini disebut sebagai reaksi fight of flight reaction.
Reaksi ini juga akan meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot –
otot skeletal shingga membuat seseorang siap untuk berhadapan dengan
peristiwa tersebut atau jika mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap
ancaman yang optimal. Reaksi sistem saraf parasimpatik berupa mmebatasi
reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respons ini
berkerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan respons yang di berikan oleh
sistem saraf simpatis. HPA aksis juga akan terstimulasi oleh beberapa
neuropeptida otak pada waktu orang berhadapan dengan peristiwa traumatik.
Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico Realeasing Factor (CRF) dan
beberapa neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan
terangsang dan mensekresikan Adeno Cortico Tropic Hormone (ACTH) yang
akhirnya akan menstimulasi pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal.
Jika seseorang mengalami tekanan, maka secara alamiah akan
meningkatkan pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol. Pengeluaran ke
dua zat ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu.
Katekolamin berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa
organ vital tubuh dan bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol
berperan dalam menghentikan aktivasi sistem saraf simpatik dan beberapa
sistem tubuh yang bersifat defensif tadi yang timbul akibat dari peristiwa
traumatik yang dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hoemon
korisol berperan dalam proses terminasi dari respon tubuh dalam menghadapi
tekanan. Peningkatan hormon kortisol akan menimbulkan efek umpan balik
negatif pada aksis HPA.5
5
Pada individu yang cendrung untuk mengalami gangguan stress oasca
trauma, mengalami gangguan dalam regulasi neuropeptida dan juga
katekolamin di otak pada waktu mengahadapi peristiwa traumatik.
Katekolamin yang meningkat ini akan membuat individu teap berada
dalam kondisi siaga terus menerus. Jika hormon kortisol gagal dalam
menghentikan proses ini, maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi dan
kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya konsolidasi berlebihan dari ingatan –
ingatan pasca traumatik.5
6
Iritabel, adanya masalah dengan tidur atau konsentrasi, peningkatan reaksi
terkejut, peningkatan kewaspadaan terhadap potensi bahaya, tindakan
merusak diri sendiri, atau kecerobohan (medscape)
Pemeriksaan fisik
Pasien dapat menampilkan rangsangan fisiologis (misalnya, tremor,
berkeringat, agitasi) ketika mereka mendiskusikan trauma mereka. Individu
juga dapat hadir dengan cedera fisik yang berhubungan dengan trauma
(misalnya, amputasi traumatik dari ledakan atau memar di korban kekerasan
domestik yang sedang berlangsung). Mereka yang telah mengalami cedera
kepala harus diperiksa untuk bukti kerusakan syaraf.3
F. Diagnosis
Seseorang tidak dapat di diagnosis PTSD hingga satu bulan telah berlalu
sejak insiden traumatis yang terjadi. Acute stress disorder atau Gangguan stres
akut yang memiliki gejala serupa dengan PTSD, didiagnosis selama bulan
pertama insidern traumatis terjadi. Mendiagnosis PTSD pada orang dewasa,
remaja, dan anak – anak yang berumur lebih dari 6 tahun menurut Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder -V (DSM-V).1,2,3,4
A) Penyebab
Penderita terpapar stressor atau insiden traumatik seperti kematian, cedera
serius atau kekerasan seksual dalam satu dari empat cara:
Langsung mengalami peristiwa traumatis
Menyaksikan secara langsung suatu kejadian traumatik
Mempelajari peristiwa traumatis yang terjadi pada anggota keluarga
dekat atau teman
7
B) Peristiwa traumatis yang terus-menerus dialami kembali:
Mimpi buruk
Pikiran – pikiran yang menggangu dari peristiwa traumatis
Flashback
Gangguan emosional ketika terkena pengingat traumatis
Reaksi fisiologis yang kuat saat terkena pengingat traumatik
Anak-anak yang mengalami kembali kejadian traumatik berulang
8
Hypervigilance
Tanggapan terhadap kejutan yang berlebihan
Masalah konsentrasi
Gangguan tidur
H) Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat atau
kondisi medis lainnya.1,3
Untuk anak-anak berusia 6 tahun atau lebih muda, reaksi khas terhadap
trauma dapat mencakup perilaku regresif, takut dipisahkan dari orang tua,
menangis, merintih, menjerit, imobilitas dan / atau gerakan tanpa tujuan,
gemetar, ekspresi wajah yang ketakutan, dan kemelekatan yang berlebihan.
Anak-anak sangat terpengaruh oleh reaksi orang tua mereka terhadap peristiwa
traumatis dan kemampuan orang tua mereka untuk memberikan dukungan. 1,3
E. Diagnosis banding
Gejala stres pasca traumatik sulit dibedakan dengan gejala gangguan panik
dan gangguan cemas menyeluruh. Hal ini dikarenakngan ketiganya
berhubungan dengan kecemasan dan aktivasi gejala autonomik. Pada gangguan
stres pasca traumatik relasi waktu antara kejadian traumatik dan gejala dan
selalu teringat akan trauma yang terjadi.3,5
Diagnosis Banding1
Acute stress disorder
Adjusment disorder
9
Anxiety disorder and obsessive-compulsive disorder
Major depressive disorder
Psychotic Disorder
Traumatic Brain Injury
F. Komplikasi
Pada individu dengan PTSD dapat terjadi peningkatan dari;1,2,3
Gangguan mood
Gangguan panik dan kecemasan lainnya
Gangguan penyalahgunaan zat
Kondisi neurologis (misalnya, sakit kepala, demensia)
G. Prognosis
Prognosis dari PTSD bervariasi, berdasarkan sejumlah faktor seperti
ketahanan, tekanan lain atau tekanan sekunder, tingkat dukungan,
pengalaman traumatik sebelumnya, cedera yang sedang berlangsung,
keparahan stresor, dan sebagainya.3
Prognosis yang baik diperkirakan dengan adanya awitan gejala yang cepat,
durasi gejala yang singkat (kurang dari 6 bulan), fungsi pramorbid baik,
dukungan sosial baik, dan tidak adanya gangguan psikiatri, medis, atau
gangguan terkait zat lain atau faktor risiko yang lain.4
G. Penatalaksanaan
Tatalaksana gangguan stress pasca trauma diharapkan dalam bentuk yang
komprehensif meliputi pemberian medikasi, psikoterapi, edukasi, serta
dukungan psikososial, teknik untuk meredakan kecemasan dan juga
10
modifikasi pola hidup. Edukasi sangat penting karena merupakan suatu
bentuk pendekatan untuk membantu pasien mengerti akan perubahan –
perubahan yang terjadi dalam fungsi diri pasien baik secara fisik maupun
psikis sebagai dampak dari peristiwa traumatik yang dialami. Dukungan
pasikososial juga di butuhkan untuk mengurangi berbagai stigma negatif yang
mungkin muncul akibat dari diagnosis gangguan stress pasca trauma.
Dukungan pasikososial tidak hanya di berikan oleh dokter tetapi juga oleh
seluruh anggota keluarga bahkan seluruh lingkungan masyarakat di sekitar
pasien.5
Psikotrapi
Psikoterapi psikodinamik dapat beguna dala terapi pada banyak pasien
PTSD. Pasikoterapi setelah peristiwa traumatik harus mengikuti model
intervensi krisis dengan dukungan edukasi, dan pembentukan mekanisme
koping serta penerimaan peristiwa. Juga dapat dilakukan pengajaran kepada
pasien mengenai metode penatalaksanaan stres, termasuk teknik relaksasi dan
pendekatan kognitid untuk mengahadapi stres.3,4,5
Farmakoterapi
Untuk pemberiaan farmakoterapi pada kasus PTSD, menurut The
United Kingdom’s National Institute for Health and Care Excellence (NICE)
dan World Health Organization (WHO) tidak merekomendasikan obat
apapun sebagai pengobatan lini pertama pada penderita PTSD.3
Namun The American Psychiatric Association dan US Department of
Veterans Affairs dan Department of Defence Clinical Practice Guidelines
merekomendasikan pemberiaan obat – obatan dari golongan antidepressan
(terutama SSRI) sebagai pengobatan lini pertama untuk kasus PTSD.
Penggunaan obat – obatan golongan Benzodiazepine tidak direkomendasikan
di berikan pada pasien – pasien dengan PTSD meskipun obat tersebut dikenal
dan sering digunakan pasien untuk menurunkan sementara gejala kecemasan,
namun penelitian menunjukan penggunaan obat – obatan Benzodiazepine
tidak efektif dalam pengobatan PTSD dan dapat memperpanjang perjalanan
penyakit PTSD.3
11
Medikasi yang terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini dari
golongan antidepresan golongan SSRI seperti;3,4,5
Fluoxetin 10 – 16 mg/hr
Sertralin 50 – 200 mg/hr
Fluvoxamine 50 – 300 mg/hr
BAB. III
KESIMPULAN
12
atau ancaman seksual. PTSD disebabkan oleh terpaparnya pasien terhadap
stressor dan beberapa faktor yang memperngaruhi lainnya; (Faktor Pre-traumatik,
peri-traumatik, dan post-traumatik), yang pada akhirnya menyebabkan perubahan
anatomi dan ketidak seimbangan neurobiologi pada otak dan mengakibatkan
gejala- gejala PTSD seperti gejala negatif, mimpi buruk, dan kecendrungan
menghindari pemicu stresor yang berkaitan dengan peristiwa trauma. Pengobatan
dari PTSD sendiri dilakukan secara psikoterapi, edukatif, dan farmakologis.
DAFTAR PUSTAKA
13
4. Kaplan HI, Sadock BJ dan Grebb J. Sinopsis Psikiatri, Jilid 2. Tangerang:
Binarupa Aksara; 2016
5. Elvira, Sylvia D, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2014
14