Anda di halaman 1dari 19

POSTTRAUMATIC STRESS DISORDER

A. Definisi

Gangguan stress pascatrauma (posttraumatic stress disorderPTSD) adalah suatu


sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat didalam, atau mendengar stresor
traumatik yang ekstrim dan bereaksi terhadap pengalaman tersebut dengan rasa takut dan
tidak berdaya, sehingga mereka secara menetap menghidupkan kembali peristiwa tersebut,
dan mencoba menghindari mengingat hal itu.3

B. Epidemiologi

Insiden menderita PTSD sepanjang hidup diperkirakan sekitar 9-15% dan prevalensi
seumur hidupnya sekitar 8% populasi umum. Pada kelompok resiko tinggi yang
mengalami peristiwa traumatis angka prevalensi seumur hidupnya 5-75%. Prevalensi
seumur hidup perempuan 10-12% dan 5-6% pada laki-laki.3Di Amerika Serikat, gambaran
resiko untuk menderita PTSD sepanjang hidup menggunakan DSMIV dengan kriteria 75
tahun adalah 8,7%. Prevalensi selama 12 bulan diantara orang tua di AS sekitar 3,5%.
Perkiraan lebih rendah dapat dilihat di Eropa dan sebagian besar Asia, Afrika, dan negara-
negara Amerika Latin dikelompokkan sekitar 0,5% - 1,0%.4

PTSD dapat terjadi pada usia berapapun dengan prevalensi tersering dewasa muda
akibat pajanan situasi penginduksi. Trauma pada laki-laki biasanya berupa pengalaman
berperang sedangkan pada perempuan kekerasan dan perkosaan. Cenderung terjadi pada
orang yang lajang, bercerai, janda, menarik diri secara sosial, atau tingkat sosioekonomi
rendah.3

C. Komorbiditas

Angka komorbiditas pasien PTSD tinggi. Sekitar 80% individu dengan PTSD
memenuhi kriteria diagnostik paling tidak 1 gangguan mental lainnya, seperti depresif,
bipolar, gangguan cemas, gangguan terkait zatlebih sering pada pria. Pola komorbid PTSD
pada anak yang lebih muda berbeda dengan dewasa, meliputi gangguan oposisi menentang
dan gangguan cemas terpisah.4

D. Faktor Resiko

1
Pretraumatic Peritraumatic Postraumatic
Tempramental Lingkungan Tempramental
Masalah emosi masa Keparahan trauma, Penilaian negatif,
kanak-kanak 6 tahun ancaman kehidupan, strategikoping yang
pertama dan gangguan cedera personal, salah, perkembangan dari
mental utama kekerasan interpersonal, gangguan stress akut
personil militer, pelaku
Lingkungan kejahatan, saksi Lingkungan
Status sosioekonomi kekejaman, membunuh Paparan subklinis pada
rendah, pendidikan musuh. Disosiasi yang hal yang mengecewakan,
rendah, paparan pada terjadi pada dan kejadian tak diinginkan
trauma utama, menetap setelah trauma subklinis, gangguan
keberagaman masa kanak, menjadi faktor resiko finasnsial atau hal lain
karakteristik budaya, yang berhubungan
intelegensi rendah, dengan trauma.
ras/etnik minor, dan Dukungan sosial adalah
riwayat psikiatrik faktor protektif.
keluarga. Dukungan
sosial bersifat protektif
Genetik dan psikologis
Jenis kelamin perempuan

Tabel 2. Faktor Resiko PTSD (dikutip dari daftar pustaka no.4)

E. Faktor Predisposisi

Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan


stress pascatrauma adalah:

a. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang


bersangkutan maupun keluarganya;
b. Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual;
c. Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir;
d. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau antisosial;
e. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya problem
menyesuaikan diri;
f. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna;

2
g. Terpapar oleh kejadiankejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya
baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh individu yang
bersangkutan sebagai suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan
penderitaan bagi dirinya.5

F. Etiologi& Patogenesis
a. Stresor

Stresordapat timbul berupa trauma peristiwa tunggal yang mendadak atau trauma
kronis atau terus menerus seperti penyiksaan fisik atau seksual. Stresor dapat timbul dari
pengalaman perang, penyiksaan, bencana alam, penyerangan, perkosaan, dan kecelakaan
serius. Meskipun demikian, tidak setiap orang mengalami gangguan ini setelah peristiwa
traumatik, ada pertimbangan faktor psikososial dan biologis yang sebelumnya ada dan
peristiwa sebelum dan sesudah trauma, serta arti subjektif suatu stresor pada seseorang.3

b. Faktor Psikodinamik

Teori psikoanalitik menghipotesiskan bahwa trauma mengaktifkan kembali konflik


psikologis yang sebelumnya tidak terselesaikan. Aktivasi kembali trauma pada masa
kanak-kanak menimbulkan regresi dan mekanisme defensi represi, penyangkalan, reaction
formation, dan undoing. Menurut Freud, penghidupan kembali trauma terjadi pada pasien
yang melaporkan riwayat trauma seksual masa kanak-kanak. Konflik yang sudah ada
secara simbolis menghidupkan kembali peristiwa traumatik baru, sedangkan ego mencoba
menguasai dan mengurangi ansietas.3

Hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikodinamik dari gangguan stress pasca
trauma adalah:

1. Arti subyektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari peristiwa
traumatik yang dialami oleh seseorang,
2. Kejadian traumatik yang dialami mereaktivasi konflik-konflik psikologis akibat
peristiwa traumatik di masa kanak-kanak,
3. Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem afeksinya,
4. Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam bentuk
somatisasi atau aleksitimia,
5. Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu dengan gangguan stress
pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi, disosiasi dan rasa bersalah,
6. Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari berbagai peran
seperti penyelamat omnipoten atau korban yang omnipoten.5
c. Faktor Perilaku-Kognitif

3
Faktor kognitif PTSD menyatakan bahwa orang yang mengalaminya tidak mampu
memproses atau merasionalisasikan trauma pencetus gangguan ini. Penderita terus
mengalami stress dan berupaya menghindarinya. Secara kognitif, konsistensi dengan
kemampuan parsial menghadapi peristiwa tersebut mereka mengalami periode bergantian
memahami dan memblok peristiwa.

Faktor perilaku menekankan adanya dua fase dalam perkembangannya. Pertama,


trauma yang menimbulkan respon takut dan pembelajaran klasik sebagai stimulus yang
dipelajari. Kedua, melalui pembelajaran instrumental, stimulus yang dipelajari
mencetuskan respon takut yang bebas dari stimulus asal yang tidak dipelajari dengan
pengembangan pola penghindaran.

Sejumlah penerima bantuan sekunder dari dunia luar (kompensasi keuangan,


peningkatan perhatian/simpati, pemuasan kebutuhan) dapat menyokong gangguan dan
penetapan gangguan.3

d. Faktor Biologis

Gejala-gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respon
biologik dan psikologik seorang individu karena aktivitas dari beberapa sistem di otak
yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang. Dalam hal ini, amigdala
merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala akan mengaktivasi beberapa
neurotransmiter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi
peristiwa traumatik yang mengancam nyawa sebagai respon tubuh untuk menghadapi
peristiwa tersebut.

Sistem Simpatis dan Parasimpatis

Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segara setelah mengalami
peristiwa traumatik, maka akan terjadi reaksi fight or flight reaction.Sistem saraf
parasimpatis berupa membatasi reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh,
namun respon ini bekerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan respon yang diberikan
oleh sistem saraf simpatis. Ketekolamin berperan dalam menyediakan energi yang cukup
dari beberapa organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Katekolamin
yang meningkat ini membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus
menerus.5Sejumlah studi menemukan peningkatan konsentrasi epinefrin urin 24 jam pada

4
veteran dengan PTSD dan peningkatan katekolamin urin pada perempuan yang mengalami
penyiksaan seksual. Pada PTSD, reseptor -adrenergik limfosit dan 2 trombosit
mengalami downregulation, kemungkinan sebagi respon terhadap peningkatan kronis
katekolamin.3

Sistem Opioid

Abnormalitas ditemukan dengan penurunan konsentrasi -endorfin plasma pada


penderita PTSD. Pada veteran perang yang mengalami PTSD menunjukkan efek analgesik
reversibel dengan nalokson untuk stimulus yang berkaitan dengan perang sehingga
meningkatkan kemungkinan hiperregulasi sistem opioid serupa dengan hiperregulasi aksis
HPA.3

Faktor Pelepas Kortikotropin dan Aksis HipotalamusHipofisis


Adrenal

Hormon kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi sistem saraf simpatik dan
beberapa sistem tubuh yang bersifat defentif tadi yang timbul akibat dari peristiwa
traumatik yang dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon kortisol berperan
dalam proses terminasi dari respon tubuh dalam menghadapi tekanan.Jika hormon kortisol
gagal menghentikan proses ini, maka aktivitas katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi
ini dikaitkan dengan terjadinya konsolidasi berlebihan dari ingatan-ingatan peristiwa
traumatik yang dialami.

Sejumlah studi menunjukkan konsentrasi kortisol bebas rendah pada plasma dan
urin penderita PTSD. Terdapat pengingkatan reseptor glukortikoid pada limfosit dan
percobaan dengan corticotropin releasing hormone (CRF) eksogen menunjukkan respon
adenocorticotropic hormone (ACTH)yang tumpul.5

Sejumlah studi juga menemukan terjadinya hipersupresi kortisol pada pasien yang
terpajan trauma dan mengalami PTSD dibandingkan dengan pasien yang terpajan trauma
tetapi tidak mengalami PTSD. Secara keseluruhan hiperregulasi aksis HPA berbeda
dengan aktivitas neuroendokrin yang biasa terlihat selama stress dan gangguan lainnya
seperti depresi.Pada studi hewan, stres berhubungan dengan perubahan struktural
hipokampus dan pada studi pada veteran perang menunjukkan volume rata-rata yang lebih
rendah pada regio hipokampus otak walaupun masih kontorversial. Perubahan struktural
pada amygdala, juga menunjukkan perubahan area otak yang terkait dengan rasa takut.
Studi pada depresi menujukkan efek serupa pada amigdala dan korteks prafrontal3

5
G. Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari PTSD adalah mengingat kembali suatu peristiwa yang
traumatik, sehingga tampak dengan sengaja menghindari berbagai situasi atau kondisi
yang akan mengingatkannya akan peristiwa tersebut, terlihat denganhilangnya emosi, serta
keadaan terus terjaga yang cukup konstan. Penderita umumnya datang dengan keluhan
berupa gejala-gejala depresi, ide bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan sosialnya,
kesulitan tidur, penyalahgunaan alkohol/zat adiktif lainnya, serta keluhan fisik yang
lainnya (misalnya nyeri kolik, irritable bowel symptoms, dll).

Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah, penolakan, dan


cemooh. Pasien juga dapat menggambarkan keadaan disosiatif dan serangan panik, serta
ilusi dan halusinasi. Uji kognitif menunjukkan hendaya memori dan
perhatian.Karakteristik dari peristiwa traumatik yang dialami juga dapat mempengaruhi
reaksi psikologis yang akan terjadi, seperti:

a. Durasi dan intensitas dari stresor yang dialami,


b. Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap ancaman terhadap kehidupan
seseorang,
c. Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun personal),
d. Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa traumatik
tersebut, misalnya apakah ia juga menyelamatkan orang lain pada saat kejadian
atau dia hanya menyelamatkan diri sendiri.3,5

H. Kriteria Diagnosis
2.8.1 DSM-5 309.81 (F43.10)

Gangguan Stress Pasca Trauma

Note: Kriteria ini digunakan untuk dewasa, remaja, dan anak di atas 6 tahun.

A. Paparan terhadap ancaman atau kejadian kematian, cedera serius, atau kekerasan
seksual, dari satu (atau lebih) kriteria di bawah ini:

1. Langsung mengalami kejadian traumatis.

2. Menjadi saksi mata, peristiwa tersebut terjadi pada orang lain.

6
3. Menghadapi kejadian traumatis yang terjadi pada keluarga dekat atau teman dekat.
Pada kasus ancaman atau kejadian kematian pada keluarga atau teman, kejadian
harus kekerasan atau kecelakaan.

4. Menghadapi paparan berulang atau ekstrim kejadian traumatis yang tidak


diinginkan. Tidak termasuk paparan lewat media elektronik, televisi, film, atau
gambar yang berhubungan dengan pekerjaan.

B. Adanya satu (atau lebih) gejala intrusi yang berhubungan dengan kejadian
traumatis, dimulai setelah kejadian traumatis terjadi:

1. Kejadian traumatis yang berulang, tidak disadari, dan menjadi ingatan yang
mengganggu.

Note: Pada anak di atas 6 tahun, mungkin ada mimpi buruk tanpa mengenali isi
mimpinya.

2. Mimpi distres yang berulang yang mana isinya dan/atau mempengaruhi mimpi
yang berhubungan dengan kejadian traumatis.

Note: Pada anak, mungkin ada mimpi buruk tanpa mengenali isi mimpinya

3. Reaksi disosiatif (misalnya: kilas balik) dengan berperilaku atau berperasaan


seolah kejadian traumatis terjadi kembali. (Reaksi dapat terjadi berlanjut, dengan
ekspresi paling ekstrim dari kehilangan total kesadaran akan keberadaan
sekelilingnya)

Note: Pada anak, peragaan trauma spesifik dapat terjadi dalam permainan.

4. Distres psikologis yang terjadi secara intens atau berkepanjangan jika berhadapan
dengan hal atau simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik
sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal.

5. Reaksi fisiologis yang berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan dengan
aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara internal atau
eksternal.

C. Perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus yang berkaitan dengan


peristiwa traumatik yang dialami dan disertai dengan satu atau kedua gejala di
bawah ini:

7
1. Usaha menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau mendekati sesuatu
yang berhubungan dengan kejadian traumatis.

2. Usaha untuk menghindari atau secara langsung menghindari pengingat eksternal


(orang, tempat, pembicaraan, aktivitas, objek, situasi) yang menghidupkan
ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau mendekati sesuatu yang berhubungan
dengan kejadian traumatis.

D. Perubahan negatif ada kognitif, dan mood yang berhubungan dengan kejadian
traumatis, diawali atau bertambah parah setelah kejadian traumatis terjadi, yang
ditunjukkan dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini:

1. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting kejadian traumatis (biasa


berhubungan dengan amnesia disosiatif dan tidak dipengaruhi faktor lain seperti
cedera kepala, alkohol, atau obat-obatan).

2. Kepercayaan yang persisten atau berlebihan atau ekspektasi tentang seseorang,


orang lain, atau dunia (contoh: Saya buruk, Tidak ada orang mempercayai
saya, Dunia sangat berbahaya, Seluruh sistem saraf saya tidak bekerja
permanen).

3. Gangguan kesadaran menetap tentang penyebab atau hasil dari kejadian traumatis
yang menyebabkan individu menyalahkan diri sendiri atau orang lain.

4. Emosi negatif yang menetap (contoh: ketakutan, horor, kemarahan, perasaan


bersalah, rasa malu).

5. Penurunan jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas

6. Merasa asing atau terpisah dari sekitarnya.

7. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi positif (contoh: tidak dapat


merasakan kebahagiaan, kepuasan, atau rasa sayang).

E. Kemunduran yang jelas pada kewaspadaan dan reaksi yang berhubungan dengan
kejadian traumatis, diawali atau bertambah parah setelah kejadian traumatis
terjadi, yang ditandai dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini:

1. Perilaku gelisah dan mudah mengalami ledakan kemarahan (dengan


sedikit atau tanpa provokasi) yang ditandai dengan perkataan
maupun perbuatan pada orang lain atau objek tertentu.

8
2. Perilaku sembrono atau merusak diri sendiri.

3. Hypervigilance (peningkatan kewaspadaan).

4. Respon terkejut yang berlebihan.

5. Kesulitan berkonsentrasi.

6. Gangguan tidur.

F. Durasi dari gangguan (Kriteria B, C, D, dan E) terjadi lebih dari satu


bulan.
G. Gangguan menyebabkan penderitaan atau hendaya dalam fungsi sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
H. Gangguan tidak disebabkanoleh efek fisiologis dari zat (obat-obatan,
alkohol) atau kondisi medik umum lainnya.

Tentukanjika:

Dengan gejala disosiatif: gejala individu memenuhi kriteria PTSD dan


sebagai respon terhadap stresor, individu juga mengalami gejala menetap
atau berulang seperti di bawah ini:

1. Depersonalisasi:Pengalaman menetap atau berulang subjektif bahwa


dirinya terasa tidak nyata, asing, atau tidak familiar.
2. Derealisasi: Pengalaman menetap atau berulang sebjektif terhadap
lingkungan yang tidak nyata.

Note: Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif harus tidak


merupakan efek fisiologis dari zat atau kondisi medis umum.

Tentukan:Dengan Ekpresi Tertunda: Jika seluruh diagnostik tidak ditemui


minimal 6 bulan (walaupun onset maupun gejala terjadi langsung).

Gangguan Stress Pasca Trauma Pada Anak 6 Tahun

A. Pada anak 6 tahun, paparan terhadap ancaman atau kejadian kematian,


cedera serius, atau kekerasan seksual, dari satu (atau lebih) kriteria di
bawah ini:

1. Langsung mengalami kejadian traumatis.

2. Menjadi saksi mata, peristiwa tersebut terjadi pada orang lain.

9
3. Menghadapi kejadian traumatis yang terjadi pada orang tua atau
perawatnya.

B. Adanya satu (atau lebih) gejala intrusi yang berhubungan dengan


kejadian traumatis, dimulai setelah kejadian traumatis terjadi:

1. Kejadian traumatis yang berulang, tidak disadari, dan menjadi ingatan


yang mengganggu.

2. Mimpi distres yang berulang yang mana isinya dan/atau


mempengaruhi mimpi yang berhubungan dengan kejadian traumatis.

3. Reaksi disosiatif (misalnya: kilas balik) dengan berperilaku atau


berperasaan seolah kejadian traumatis terjadi kembali. (Reaksi dapat
terjadi berlanjut, dengan ekspresi paling ekstrim dari kehilangan total
kesadaran akan keberadaan sekelilingnya).

4. Distres psikologis yang terjadi secara intens atau berkepanjangan jika


berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan dengan aspek
peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara internal atau
eksternal.

5. Reaksi fisiologis yang berhadapan dengan hal atau simbol yang


berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau
seluruhnya secara internal atau eksternal

C. Satu (atau lebih) gejala di bawah ini, baik penghindaran menetap yang
berhubungan dengan kejadian traumatis, maupun kemunduran negatif
kognitif dan mood berhubungan dengan kejadian traumatis, harus ada,
dimulai atau bertambah parah setelah kejadian:
Penghindaran Stimulus Menetap

1. Usaha menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau


mendekati sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis.

2. Usaha untuk menghindari atau secara langsung menghindari


pengingat eksternal (orang, tempat, pembicaraan, aktivitas, objek,
situasi) yang menghidupkan ingatan, pikiran, atau perasaan tentang
atau mendekati sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis

Kemunduran Negatif Kognitif

10
3. Frekuensi emosi negatif yang meningkat.
4. Penurunan jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas,
termasuk pembatasan bermain.
5. Perilaku menarik diri.
6. Kemunduran menetap ekspresi emosi positif.
D. Kemunduran yang jelas pada kewaspadaan dan reaksi yang berhubungan
dengan kejadian traumatis, diawali atau bertambah parah setelah
kejadian traumatis terjadi, yang ditandai dengan dua (atau lebih) gejala
di bawah ini:

1. Perilaku gelisah dan mudah mengalami ledakan kemarahan (dengan


sedikit atau tanpa provokasi) yang ditandai dengan perkataan maupun
perbuatan pada orang lain atau objek tertentu.

2. Hypervigilance (peningkatan kewaspadaan)

3. Respon terkejut yang berlebihan

4. Kesulitan berkonsentrasi

5. Gangguan tidur

E. Durasi dari gangguan terjadi lebih dari satu bulan.


F. Gangguan menyebabkan penderitaan atau hendaya dengan orang tua,
saudara kandung, teman main, atau perawat atau dengan perilaku
sekolah.
G. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari zat (obat-obatan,
alkohol) atau kondisi medik umum lainnya.

Tentukanjika:

Dengan gejala disosiatif: gejala individu memenuhi kriteria PTSD dan


sebagai respon terhadap stresor, individu juga mengalami gejala menetap
atau berulang seperti di bawah ini:

1. Depersonalisasi:Pengalaman menetap atau berulang subjektif bahwa


dirinya terasa tidak nyata, asing, atau tidak familiar.
2. Derealisasi: Pengalaman menetap atau berulang sebjektif terhadap
lingkungan yang tidak nyata.

Note: Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif harus tidak


merupakan efek fisiologis dari zat atau kondisi medis umum.

Tentukan:

11
Dengan Ekpresi Tertunda: Jika seluruh diagnostik tidak ditemui
minimal 6 bulan (walaupun onset maupun gejala terjadi langsung).4

2.8.2 PPDGJ-III F43.1


Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun
waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar
antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampai
6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila
tertundanya waktu mulai saat kejadian dan awitan gangguan melebihi
waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak
didapat alternatif ketegori lainnya
Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang
atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang
kembali (flashback)
Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya
dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas
Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar
biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma diklasifikasikan
dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama
setelah mengalami katastrofa).6

I. Diagnosis Banding
Kunci dari diagnosis PTSD yang tepat adalah pemeriksaan yang teliti dari
waktu timbulnya gejala dengan suatu kejadian traumatik sebelumnya. Pasien sering
menunjukkan reaksi kompleks terhadap trauma, sehingga klinisi harus hati-hati
dalam menentukan PTSD dengan sindrom lain.
a. Gangguan Penyesuaian
Pada gangguan penyesuaian, penyebab stress bisa melebihi keparahan yang
terdapat pada kriteria A PTSD. Diagnosis dari gangguan penyesuaian digunakan
ketika respon dari penyebab stress sesuai dengan kriteria A PTSD namun tidak
sesuai dengan kriteria PTSD lainnya (atau kriteria gangguan mental lainnya).
Gangguan penyesuaian juga dapat didiagnosis ketika pola gejala PTSD yang
terjadi dalam menghadapi penyebab stress tidak sesuai dengan kriteria A PTSD.
b. Gangguan dan Kondisi Pasca Trauma Lainnya
Tidak semua psikopatologi yang terjadi pada suatu individu yang terkena
penyebab stress yang ekstrim harus dikaitkan dengan PTSD. Diagnosis

12
memerlukan paparan terhadap trauma yang mendahului onset atau eksaserbasi
dari gejala yang bersangkutan. Selain itu, jika pola respon gejala terhadap
penyebab stress yang ekstrim sesuai dengan kriteria gangguan mental lainnya,
diagnosis ini harus diberikan, atau sebagai tambahan pada PTSD. Diagnosis dan
keadaan lain tidak termasuk jika keadaan itu lebih baik disebut PTSD. Jika
parah, pola respon gejala terhadap penyebab stress yang ekstrim mungkin
memerlukan diagnosis terpisah.
c. Gangguan Stress Akut
Gangguan stress akut dapat dibedakan dari PTSD karena pola gejala pada
gangguan stress akut terbatas pada durasi 3 hari sampai 1 bulan mengikuti suatu
paparan kejadian traumatis.
d. Gangguan Cemas dan Gangguan Obsesif Kompulsif
Pada OCD, terdapat suatu pikiran mengganggu yang berulang, dan sesuai
dengan definisi dari obsesi. Sebagai tambahan, pikiran mengganggu itu tidak
terkait dengan suatu kejadian traumatis, biasanya juga terdapat kompulsi,
sedangkan gejala PTSD atau gangguan stress akut tidak ditemukan. Bukan
merupakan bangkitan dan gejala disosiatif terhadap gangguan panik maupun
penghindaran, gelisah, dan kecemasan dari gangguan cemas yang terkait dengan
suatu kejadian traumatis. Gejala gangguan kecemasan terhadap perpisahan
secara jelas terkait seperti berada jauh dari rumah atau keluarga daripada
terhadap suatu kejadian yang traumatis.
e. Gangguan Depresif Mayor
Gangguan depresi mayor dapat atau tidak dapat didahului dengan suatu kejadian
traumatis dan dapat didiagnosis bila gejala PTSD lainnnya tidak ditemukan.
Secara spesifik, gangguan depresi mayor tidak sesuai dengan gejala Kriteria B
dan C dari PTSD. Juga tidak mencakup sejumlah gejala dari Kriteria D atau E
dari PTSD.
f. Gangguan Kepribadian
Kesulitan interpersonal pada onsetnya atau pada eksaserbasi, setelah paparan
kejadian traumatik dapat diindikasikan sebagai PTSD daripada gangguan
kepribadian.
g. Gangguan Disosiatif
Amnesia disosiatif, gangguan identitas disosiatif, dan gangguan depersonalisasi
derealisasi dapat/tidak dapat didahului oleh paparan kejadian traumatik atau
dapat/tidak dapat terjadi bersamaan dengan gejala PTSD. Ketika seluruh kriteria
PTSD ditemui, dapat juga dipertimbangan subtipe PTSD dengan gejala
disosiatif.

13
h. Gangguan Konversi (Gejala Gangguan Neurologis Fungsional)
Onset baru dari gejala somatik pada distres pascatrauma dapat diindikasikan
sebagai PTSD dibandingkan dengan gangguan gejala neurologis
fungsional/gangguan konversi (gejala gangguan neurologis fungsional).
i. Gangguan Psikotik
Kilas balik PTSD harus dibedakan dengan ilusi, halusinasi, dan gangguan
persepsi yang terjadi pada skizofrenia, gangguan psikotik singkat, dan gangguan
psikotik lainnya; gangguan depresif dan bipolar dengan gejala psikotik;
delirium; gangguan terkait zat/obat; dan gangguan psikotik terkait kondisi medis
j. Cedera Otak Traumatik.
Ketika cedera otak terjadi dalam konteks kejadian traumatis (misalnya:
Kecelakaan traumatis, ledakan bom, trauma akselerasi dan deselerasi), gejala
dari PTSD mungkin timbul. Suatu kejadian yang menyebabkan trauma kepala
dapat merupakan kejadian traumatis psikologis. Gejala sebelumnya disebut
postkonkusi (misalnya: sakit kepala, pusing, sensitif terhadap cahaya dan suara,
gelisah, dan kurang konsentrasi) dapat terjadi pada cedera otak dan pada
populasi yang bukan cedera otak, termasuk pada individu dengan PTSD. Karena
gejala dari PTSD dan TBI (Traumatic Brain Injury) yang terkait gejala
neurokognitif dapat saling tumpang tindih, diagnosis banding antara PTSD dan
gangguan gejala neurokognitif yang disebabkan oleh TBI mungkin dapat
berdasarkan adanya gejala yang dibedakan dari setiap presentasi. Sebaliknya
mengulang kembali dan menghindar adalah karakteristik dari PTSD dan bukan
merupakan efek dari TBI, disorientasi menetap dan kebingungan lebih spesifik
untuk TBI (efek neurokognitif) daripada PTSD.4

J. Penatalaksanaan
Pendekatan paling penting pada pasien trauma adalah dengan memberi
dukungan dan semangat untuk membicarakan kejadian dan memberikan pengajaran
mengenai berbagai mekanisme koping. Pemberian obat sedatif dan hipnotik juga
dapat membantu.3

Berdasarkan rekomendasi dari Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana


gangguan stress pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan beberapa aspek
dibawah ini:

14
1. Gangguan stress pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan
berulang dangan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya
2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI
merupakan obat pilihan pertama kasus ini
3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan
4. Exposure threrapy merupaka terapi dengan pendekatan psikososial terbaik yang
dianjurkan dan sebaiknya dianjurkan selama 6 bulan.5

a. Farmakoterapi
Lini pertama terapi PTSD adalah Selective Serotonin Reuptake Inhibitors
(SSRIs), seperti Sertraline (Zoloft) dan Paroxetine (Paxil), karena keberhasilan,
tingkat tolerir, dan juga tingkat keamanan obat itu.SSRI mengurangi semua
gejala PTSD dan sangat efektif dalam memperbaiki gejala khas PTSD, tidak
hanya gejala yang mirip depresi atau gangguan ansietas lainnya. Dosis SSRI
yang sering digunakan seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Sertaline 50-200 mg/hr
atau Fluvoxamine 50-300 mg/hr.Buspirone (BuSpar) adalah obat serotonergik
yang juga bisa dipakai.
Kemampuan dari obat golongan trisiklik, yaitu Imipramine (Tolfanil) dan
juga Amitriptyline (Elavil) juga didukung oleh beberapa percobaan walaupun
beberapa percobaan ditemukan temuan negatif, seperti kecacatan desain
penelitian yang serius seperti percobaan yang terlalu singkat.Dosis Imipramine
dan Amytriptilin yang yang biasa digunakanadalah Amiltriplin 50-300mg/hr dan
Imipramin 50-300 mg/hr dan lama waktu percobaan pemberian minimal 8
minggu, pasien yang merespon pengobatan dengan baik harus melanjutkan
terapi paling tidak 1 tahun sebelum dicoba untuk menghentikan percobaan.
Obat-obat lain yang mungkin bermanfaat pada PTSD adalah Monoamine
Oxidase Inhibitors (MAOIs); (misalnya: Phenelzine (Nardil)), Trazodone
(Desyrel), dan anti-konvulsan (misalnya: Karbamazepine (Tegretol), Valproate
(Depakene). Pada beberapa penelitian pemberian Reversible Monoamine
Oxidase Inhibitors (RIMAS) juga bermanfaat memberikan perbaikan pada
pasien PTSD. Penggunaan agen anti-adrenergic seperti Clonidine (Catapres) dan
Propranolol (Inderal), direkomendasikan karena teori hiperaktivitas
noradrenergik pada gangguan ini.
Tidak ada data positif yang mendukung penggunaan obat anti psikotik
(misalnya: Haloperidol (Haldol), sehingga penggunaan obat ini digunakan untuk
kontrol jangka pendek pada agresif yang parah dan juga agitasi.3,5

15
b. Psikoterapi
Intervensi psikoterapi pada PTSD adalah terapi tingkah laku, terapi
kognitif, dan juga hypnosis. Psikoterapi psikodinamik mungkin bermanfaat pada
pengobatan orang dengan PTSD. Pada beberapa penelitian, rekonstruksi dari
peristiwa traumatik dengan cara abreaksi dan catharsis mungkin bisa menjadi
salah satu terapi, tetapi psikoterapi itu sendiri harus tergantung dengan tiap
individual itu sendiri karena pada beberapa orang mengulang kembali kejadian
bisa membuat menjadi sangat tertekan.Terapi psikoterapi biasanya memerlukan
pendekatan secara kognitif dan juga menyediakan dukungan dan juga perasaan
aman
Psikoterapi jangka pendek juga meminimalisasi ketergantungan dan juga
kemungkinan PTSD menjadi kronik. Perasaan seperti perasaan curiga, paranoid,
dan kepercayaan sering mempengaruhi kepatuhan pasien dalam terapi.Terapis
harus menanggulangi perasaan menyangkal pasien dari kejadian traumatis,
meyakinkan mereka untuk bersantai, dan juga menjauhkan mereka dari sumber
stress. Pasien harus disarankan untuk tidur dan minum obat-obatan jika perlu.
Dukungan dari orang-orang di sekitar lingkungan juga sangat diperlukan seperti
dari keluarga dan teman. Pasien harus diyakinkan untuk mengingat kembali dan
juga melakukan abreaksi emosional terhadap peristiwa traumatis yang telah
dialami dan melakukan rencana untuk pemulihan di kemudian hari.
Abreaksi yaitu mengalami emosi yang berkaitan dengan kejadian
traumatis mungkin bisa bermanfaat untuk beberapa orang. Wawancara dengan
Amobarbital (Amytal) telah digunakan untuk mempermudah proses
ini.Psikoterapi pascatrauma harus mengikuti model intervensi dengan dukungan,
edukasi, peningkatan mekanisme koping, dan penerimaan terhadap peristiwa itu.
Ketika PTSD telah timbul, pendekatan dapat dilakukan dengan 2 cara, yang
pertama yaitu pajanan terhadap peristiwa traumatis melalui teknik
membayangkan atau pajanan in vivo.Pajanan dapat diberikan secara intens,
sebagai terapi implosif, atau secara bertingkat yaitu melalui desensitisasi
sistematik. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan dengan mengajari pasien
metode mengendalikan stress, seperti dengan cara teknik relaksasi, dan
pendekatan kognitif untuk menghadapi stress. Beberapa data menunjukkan
psikoterapi dengan manajemen stress efektif lebih cepat daripada pendekatan

16
dengan teknik pajanan, tetapi hasil terapi dengan teknik pajanan bisa bertahan
lebih lama.
Psikoterapi lain yang relatif baru dan kontroversial adalah dengan eye
movement desensitization and reprocessing (EMDR), yaitu dengan cara pasien
fokus pada gerakan lateral jari terapis dengan tetap membayangkan peristiwa
trauma yang pernah terjadi. Kepercayaan umum bahwa gejala dapat dikurangi
dengan cara mengingat peristiwa traumatis saat dalam keadaan relaksasi dalam.
Penggagas dari terapi ini mengatakan bahwa terapi ini lebih efektif daripada
terapi PTSD lainnya, dan terapi ini lebih disukai baik klinisi maupun pasien
yang telah mencoba terapi ini.
Selain terapi individual, terapi kelompok atau terapi keluarga juga
dilaporkan efektif dalam menanggulangi PTSD. Keuntungan dari terapi
berkelompok adalah saling berbagi pengalaman mengenai peristiwa traumatis
yang telah dialami sebelumnya dan juga dukungan dari sesama anggota
kelompok. Terapi keluarga biasanya membantu mempertahankan perkawinan
ketika gejala PTSD ini memberat. Rawat inap dibutuhkan ketika gejala yang
timbul sangat berat atau beresiko untuk bunuh diri ataupun kemungkinan
kekerasan lainnya.3

K. Prognosis
Gejala PTSD biasa muncul setelah kejadian traumatis, bisa tertunda mulai dari
1 minggu atau hingga 30 tahun, dengan fluktuasi dari waktu ke waktu dan menjadi
paling intens pada periode stress. Jika tidak diobati, sekitar 30% pasien akan
menjadi pulih kembali, 40% berlanjut memiliki gejala ringan, 20% berlanjut dengan
gejala sedang, dan 10% tidak akan mengalami perubahan gejala atau bahkan
bertambah buruk. Setelah 1 tahun, sekitar 50% dari pasien akan menjadi pulih.
Prognosis yang baik dapat terlihat pada onset gejala yang cepat, kurang dari 6
bulan, fungsi premorbid yang baik, dukungan sosial yang kuat, dan tidak adanya
gangguan psikiatri, medis, atau gangguan terkait zat lain atau faktor resiko
lainnya.Orang yang sangat muda dan sangat tua biasanya lebih mengalami kesulitan
ketika menghadapi trauma daripada orang dengan umur pertengahan.3

17
BAB III

KESIMPULAN

Gangguan stress pascatrauma (posttraumatic stress disorderPTSD) adalah suatu


sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat didalam, atau mendengar stresor
traumatik yang ekstrim dan bereaksi terhadap pengalaman tersebut dengan rasa takut dan
tidak berdaya, sehingga mereka secara menetap menghidupkan kembali peristiwa tersebut,
dan mencoba menghindari mengingat hal itu. Insiden menderita PTSD sepanjang hidup
diperkirakan sekitar 9-15% dan prevalensi seumur hidupnya sekitar 8% populasi
umum.PTSD dapat terjadi pada usia berapapun dengan prevalensi tersering dewasa muda
akibat pajanan situasi penginduksi.

Faktor resiko PTSD bermacam-macam tergantung dari pretraumatik, peritraumatik


dan posttraumatik. Patogenesis PTSD tergantung pada setiap etiologi. Etiologi PTSD
meliputi: stressor, faktor psikodinamik, faktor perilaku kognitif dan faktor biologis.
Penderita umumnya datang dengan keluhan berupa gejala-gejala depresi, ide bunuh diri,
penarikan diri dari lingkungan sosialnya, kesulitan tidur, penyalahgunaan alkohol/zat
adiktif lainnya, serta keluhan fisik yang lainnya.Pemeriksaan status mental sering
mengungkapkan rasa bersalah, penolakan, dan cemooh.Kriteria diagnosis PTSD dengan
menggunakan DSM V atau PPDGJ III.

Pendekatan paling penting pada pasien trauma adalah dengan memberi dukungan
dan semangat untuk membicarakan kejadian dan memberikan pengajaran mengenai
berbagai mekanisme koping. Pemberian obat sedatif dan hipnotik juga dapat
membantu.Lini pertama terapi PTSD adalah Selective Serotonin Reuptake Inhibitors
(SSRIs), seperti Sertraline (Zoloft) dan Paroxetine (Paxil). Jika tidak diobati, sekitar 30%
pasien akan menjadi pulih kembali, 40% berlanjut memiliki gejala ringan, 20% berlanjut
dengan gejala sedang, dan 10% tidak akan mengalami perubahan gejala atau bahkan
bertambah buruk. Setelah 1 tahun, sekitar 50% dari pasien akan menjadi pulih.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Melinda Smith MA and Jeanne Segal, Ph. D. Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD). [Updated March 2014, Cited May 5th 2014]. Available from:
http://helpguide.org/mental/post_traumatic_stress_disorder_symptoms_treatment.ht
m

2. American Psychological Association. Post Traumatic Stress Disorder. [Updated


2014, Cited May 5th 2014]. Available
from:https://www.apa.org/topics/ptsd/index.aspx

3. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Kaplan & Sadocks Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed. USA: Lippincott
Williams & Wilkins; 2007.

4. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders. 5th ed. USA: American Psychiatric Publishing; 2013.

5. Elvira SD. Buku Ajar Psikiatri UI. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2013.

6. Departemen Kesehatan.Direktorat Jendral Pelayanan Medik.Pedoman Penggolongan


dan Diagnosis Gangguan Jiwa, di Indonesia III.Jakarta: Departemen
Kesehatan;1993.

19

Anda mungkin juga menyukai