Anda di halaman 1dari 27

REFERAT PSIKIATRI

GANGGUAN DISOSIATIF ORGANIK

Oleh :
SEPTIARANI CHOMARIAH
61112082

Pembimbing :
dr. VITA CAMELIA , M. Ked, Sp.KJ

SMF ILMU PSIKIATRI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2017

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
2.3 Etiologi
2.4 Patofisiologi
2.5 Diagnosis (Anamnesa)
2.6 Pedoman Diagnosis dan Klasifikasi
2.7 Diagnosis Banding
2.8 Tatalaksana
DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Jati diri seseorang dan kemampuannya dalam menilai realita
bergantung kepada perasaan, pikiran, sensasi, persepsi dan ingatan yang
dimiliki orang tersebut. Jika suatu saat komponen-tersebut terganggu,
pandangan orang tersebut terhadap dirinya sendiri atau lingkungannya akan
berubah. Hal tersebut terjadi saat seseorang mengalami disosiasi.
Disosiasi terkadang dapat terjadi pada keadaan normal. Contohnya
ketika seseorang melakukan meditasi untuk menenangkan diri, orang
tersebut melepaskan persepsi terhadap dunia sekelilingnya agar dapat fokus.
Disosiasi juga merupakan suatu mekanisme perlindungan diri, contohnya
untuk melindungi kondisi kejiwaannya, seseorang memilih untuk
melepaskan ingatan yang traumatik. Namun, disosiasi juga dapat terjadi
secara tidak sadar, dengan cara yang tidak diinginkan seperti yang
disebabkan oleh adanya trauma sehingga menyebakan penurunan fungsi
yang dapat mengganggu kualitas hidup seseorang. Bentuk-bentuk dari
disosiasi bisa berupa amnesia, depersonalisasi, derealisasi, kebingungan
identitas dan pergantian identitas. Episode minimal dari disosiasi umumnya
dialami oleh individu normal. Gangguan disosiatif terjadi saat seseorang
mengalami episode disosiasi yang berulang atau berkepanjangan sehingga
mengganggu kehidupan sehari-harinya (Mind,2013).
Namun, seiring dengan berkembangnya jaman, stresor psikososial
disekitar semakin tinggi, sehingga resiko untuk mengalami gangguan
disosiatif semakin tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman yang
mendalam tentang gangguan disosiatif.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gangguan disosiatif adalah gangguan dengan terganggunya fungsi
integrasi kesadaran, ingatan, identitas atau persepsi terhadap lingkungan
sekitar sebagai karakteristiknya. Gangguan tersebut dapat terjadi secara
mendadak atau gradual, sementara (transien) atau kronik (Kaplan &
Sadock’s,2014). Gangguan disosiatif biasanya muncul sebagai respon
terhadap kejadian traumatik, untuk menjaga memori tersebut tetap
terkontrol. Tekanan dari lingkungan dapat memperburuk gangguan
menyebabkan terganggunya kemampuan melakukan kegiatan sehari-hari
(NAMI,2015).
Menurut Diagnostik dan Statistik Manual of Mental Disorders, edisi
revisi teks keempat (DSM-IV-TR), fitur penting dari gangguan disosiatif
adalah gangguan fungsi terintegrasi dalam kesadaran, memori, identitas,
atau persepsi lingkungan. Gangguan dapat tiba-tiba atau bertahap,
sementara atau kronis. Gangguan disosiatif terdiri dari gangguan identitas
disosiatif, gangguan depersonalisasi, amnesia disosiatif, fugue disosiatif,
dan gangguan disosiatif yang tidak ditentukan.
Menurut PPDGJ,gangguan disosiatif organik merupakan gangguan
yang memenuhi persyaratan untuk salah satu gangguan dalam Gangguan
Disosiatif (F44-) dan memenuhi criteria umum untuk penyebab organik.

2.2 Etiologi
Etiologi dari gangguan disosiatif organik biasanya terjadi akibat adanya
gangguan organik yang dialami, tetapi pada gangguan disosiatif belum dapat
diketahui penyebab pastinya. Biasanya terjadi akibat trauma masa lalu yang
berat, namun tidak ada gangguan organik yang dialami. Pada gangguan
disosiatif ini terjadi pertama pada saat anak-anak namun tidak khas dan belum

4
bisa teridentifikasikan, dalam perjalanan penyakitnya gangguan disosiatif ini
bisa terjadi sewaktu-waktu dan trauma masa lalu pernah terjadi kembali, dan
berulang-ulang sehingga terjadinya gejala gangguan disosiatif. Dalam
beberapa referensi menyebutkan bahwa trauma yang terjadi berupa
kepribadian yang labil, pelecehan seksual, pelecehan fisik, kekerasan rumah
tangga, lingkungan sosial yang sering memperlihatkan kekerasan.
Berikut adalah etiologi dari gangguan disosiatif berdasarkan jenisnya
2.2.1 Amnesia Disosiatif
Berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat mengakibatkan
amnesia disosiatif.

2.2.2 Fugue Disosiatif


Keadaan traumatis, yang mengarah ke keadaan kesadaran
yang berubah didominasi oleh keinginan untuk melarikan diri,
diperkirakan menjadi penyebab yang mendasari episode fugue. Hal
ini termasuk memerangi, perkosaan, pelecehan anak berulang
seksual, dislokasi sosial yang besar, dan bencana alam. Dalam
kasus lainnya, telah ada sejarah yg sama, meskipun trauma

5
psikologis tidak hadir pada awal episode fugue. Dalam kasus ini,
bukan, atau di samping, bahaya eksternal atau trauma, pasien
biasanya berjuang dengan emosi ekstrim atau impuls, seperti takut
luar biasa, rasa bersalah, atau malu atau intens incest, seksual,
bunuh diri, atau kekerasan mendesak, atau kombinasi ini, yang
bertentangan dengan hati nurani pasien atau cita-cita ego. Dengan
demikian, pasien juga digambarkan sebagai mengalami konflik
psikologis besar dari yang melawan atau penerbangan dialami
sebagai tidak mungkin atau psikologis tidak dapat diterima,
sehingga disosiasi di mana pasien bisa melarikan diri tanpa sadar
mengakui melakukannya. Sebuah contoh kasus berikut.
2.2.3 Gangguan Identitas Disosiatif
Teori etiologi gangguan disosiatif telah banyak dibahas
dalam bagian pengantar pada fenomena disosiatif dan tidak akan
diulangi di sini (lihat bagian tentang trauma trauma dan
pengkhianatan, autohypnosis, menyatakan perilaku diskrit, dan
pengembangan).Gangguan identitas disosiatif adalah sangat terkait
dengan ekstrim, kronis, dan penganiayaan anak usia dini, dalam
semua studi-di Barat dan budaya non-Barat-yang sistematis
mengkaji pertanyaan ini. Tingkat melaporkan trauma masa kecil
yang berat untuk anak dan identitas gangguan disosiatif rentang
dewasa pasien 85-97 persen kasus di berbagai studi. Kekerasan
fisik dan seksual, biasanya dalam kombinasi, adalah sumber yang
paling sering dilaporkan dari trauma masa kecil dalam studi
penelitian klinis, meskipun jenis lain trauma telah dilaporkan,
seperti beberapa prosedur medis dan bedah yang menyakitkan
masa kanak-kanak dan trauma perang. Kritikus telah mengangkat
pertanyaan tentang validitas pasien gangguan disosiatif identitas
'laporan diri dari trauma masa kecil. Penelitian terbaru, termasuk
sampel besar anak-anak dengan gangguan disosiatif dianiaya dan

6
studi kasus secara intensif divalidasi, telah memberikan
pembuktian independen ketat laporan pasien penganiayaan. Studi-
studi ini terus sangat mendukung perkembangan hubungan antara
trauma masa kecil dan gangguan identitas disosiatif. Di sisi lain,
hampir tidak ada data empiris dalam penelitian klinis atau populasi
ada untuk mendukung sociocognitive atau teori iatrogenesis dari
etiologi gangguan identitas disosiatif.
2.2.4 Gangguan Depersonalisasi
Formulasi psikodinamik tradisional telah menekankan
disintegrasi ego atau depersonalisasi dilihat sebagai respon afektif
dalam pertahanan ego. Penjelasan ini menekankan peran
pengalaman yang menyakitkan atau impuls yang luar biasa sebagai
peristiwa memicu konflik. Tingkat yang tinggi pada remaja normal
dan pada pasien dikonseptualisasikan sebagai organisasi memiliki
kepribadian borderline atau narsistik dikutip sebagai bukti bahwa
ego atau ego ketidakdewasaan defisit merupakan faktor
predisposisi. Baru-baru ini, perhatian telah ditarik ke kesamaan
antara depersonalisasi dan gejala obsesif-kompulsif.
Depersonalisasi pasien gangguan obsesif-sering menampilkan
perilaku seperti sehubungan dengan gejala mereka. Perpecahan
antara mengamati dan berpartisipasi diri disamakan dengan
pembagian intelek dan pengalaman emosional pada pasien obsesif.
Kedua kelompok menanggapi serotonin reuptake inhibitor,
meskipun respon terapi untuk pasien gangguan depersonalisasi
biasanya kurang kuat.
Sebagian besar, biasanya satu sepertiga sampai setengah,
pasien dalam depersonalisasi sejarah klinis serangkaian laporan
kasus trauma yang signifikan. Beberapa studi menemukan bahwa
korban kecelakaan sebanyak 60 persen dari mereka dengan laporan
pengalaman hidup-mengancam pada depersonalisasi setidaknya

7
sementara selama acara atau segera sesudahnya. Studi pelatihan
militer menemukan bahwa gejala depersonalisasi dan derealisasi
biasanya ditimbulkan oleh stres dan kelelahan dan berbanding
terbalik dengan kinerja. Salah satu dari beberapa terkontrol, studi
klinis menemukan trauma masa kecil secara signifikan lebih,
penyalahgunaan terutama emosional, depersonalisasi pada pasien
didiagnosis gangguan baik dibandingkan dengan subyek normal.
Untuk mendukung kekuatan pelecehan emosional sebagai stressor
traumatis, Martin H. Teicher et al. baru-baru ini menunjukkan
bahwa pelecehan verbal orangtua adalah "suatu bentuk kuat
penganiayaan" dalam sampel komunitas 554 orang dewasa muda.
Pengalaman pelecehan verbal menghasilkan moderat ke
peningkatan besar dalam ukuran disosiasi, kecemasan, depresi,
kemarahan-permusuhan, gejala somatoform, dan gejala "iritabilitas
limbik" seperti gangguan somatik paroksismal, kejadian halusinasi
singkat, Otomatisasi, dan pengalaman disosiatif. Dalam sekitar 20
persen dari sampel pasien depersonalisasi kronis, ada seorang
kerabat tingkat pertama dengan penyakit psikotik yang parah, baik
skizofrenia atau gangguan bipolar. Itu adalah hipotesis bahwa
ketakutan kronis yang disebabkan oleh relatif psikotik adalah
etiologi dalam pengembangan berikutnya dari gangguan
depersonalisasi. Sebagai contoh, satu pasien melaporkan bahwa,
selama masa kecilnya, dia ditinggal oleh ayahnya dan kakak untuk
menangani kekerasan, ibunya setiap kali ibu penderita skizofrenia
mengalami episode psikotik. Pasien teringat menunggu dalam
keadaan teror dan ketakutan sampai pekerja darurat datang dan
dirawat di rumah sakit ibunya. Secara umum, trauma dilaporkan
oleh pasien depersonalisasi kurang parah daripada yang biasanya
dilaporkan oleh pasien gangguan disosiatif lainnya. Sebuah studi
populasi yang besar umum menemukan bahwa orang dengan nyeri

8
kronis tiga kali lebih mungkin untuk memiliki episode
depersonalisasi, tapi hanya ada hubungan yang signifikan dengan
pengalaman lemah berbahaya atau mengganggu. Sejumlah besar
individu dengan gangguan depersonalisasi tidak mengidentifikasi
anteseden traumatis dan melaporkan bahwa timbulnya gangguan
mereka terjadi tanpa tergesa-gesa yang jelas. Di sisi lain, stres
nontraumatic, seperti kerugian interpersonal, keuangan, atau
pekerjaan yang parah, telah dihubungkan dengan onset atau
eksaserbasi gangguan depersonalisasi. Selain itu, kimia stres,
seperti ganja dan halusinogen yang paling umum, telah dikenal
untuk mengendapkan depersonalisasi kronis pada beberapa
orang.Individu-individu ini dapat dikonseptualisasikan sebagai
memiliki kerentanan genetik untuk neurobiologis atau
depersonalisasi kronis setelah penggunaan narkoba.
Dalam dekade terakhir, perhatian meningkat telah tertarik pada
aspek kognitif dan perilaku depersonalisasi kronis, pada dasarnya
memposisikan bahwa respon, awal disosiatif relatif jinak, dan
mungkin transien diperkuat, dipertahankan, dan diperburuk oleh
lingkaran setan kognisi dan perilaku disfungsional. E.C.M. Hunter
dan rekan di Inggris telah menempatkan sebagainya seperti model
kognitif-perilaku, mengusulkan bahwa pemicu awal (trauma,
kecemasan, depresi, stres, kelelahan, intoksikasi) dapat
menginduksi gejala-gejala transien dari depersonalisasi, yang
kemudian diproses oleh kognitif individu baik sebagai situasional
atau bencana. Jika atribusi yang situasional, dan karena itu lebih
jinak, gejala depersonalisasi akan cenderung memudar sebagai
faktor situasional meringankan. Namun, jika atribusi adalah
bencana, mereka membangkitkan ketakutan luar biasa seperti pergi
gila, kehilangan kendali, menjadi tidak terlihat, atau memiliki
disfungsi otak permanen. Pada gilirannya, ketakutan tersebut dapat

9
menyebabkan peningkatan kecemasan ditambah dengan penurunan
paradoks dalam gairah, mengakibatkan peningkatan intensitas
gejala depersonalisasi sebagai individu memasuki fase
pemeliharaan. Selama fase ini, individu dapat mulai untuk
menghindari situasi yang mereka persekutukan dengan provokasi
gejala, menjadi sibuk dengan perilaku keselamatan (seperti akting
normal), dan mengembangkan bias kognitif sehingga mereka
overmonitor gejala mereka dan memiliki ambang batas untuk
mengurangi persepsi ancaman. Faktor-faktor pemeliharaan
sehingga berfungsi untuk mengabadikan atau memperburuk gejala-
gejala dari waktu ke waktu.

Gambar 2.1. Faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan


depersonalisasi (Diambil dari Lowenstein RJ, 2011)

10
2.5 Diagnosis (Anamnesa)
Menurut North, pada orang dengan gangguan disoaistif akan
ditemukan gangguan-gangguan, yaitu gangguan identitas, gangguan amnesia,
fugue disosiatif, depersonalisasi, dan derealisasi. Gangguan identitas
disosiatif adalah gangguan disosiatif dimana seseorang memiliki dua atau
lebih kepribadian yang berbeda atau kepribadian pengganti (alter). Gagguan
amnesia disosiatif yaitu kehilangan memori karena penyebab psikologik.
Paling sering amnesia anterograde secara tiba-tiba setelah suatu stres fisik
atau psikososial. Fugue disosiatif, memori yang hilang lebih luas dari pada
amnesia disosiatif, individu tidak hanya kehilangan seluruh ingatanya
(misalnya nama, keluarga atau pekerjaanya), mereka secara mendadak
meninggalkan rumah dan pekerjaanya serta memiliki identitas yang baru
(parsial atau total). Depersonalisasi yaitu kehilangan atau perubahan temporer
dalam perasaan yang biasa mengenai realitas diri sendiri. Dalam suatu tahap
depersonalisasi, orang merasa terpisah dari dirinya sendiri dan lingkungan
sekitarnya. Dan derealisasi yaitu perasaan tidak nyata mengenai dunia luar
yang mencakup perubahan yang aneh dalam persepsi mengenai lingkungan
sekitar, atau dalam perasaan mengenai periode waktu juga dapat muncul
(North, 2015).
Dua DSM-IV-TR berbasis wawancara terstruktur telah dikembangkan
untuk diagnosis gangguan disosiatif formal, Structured Clinical Interview
untuk DSM-IV-TR Gangguan disosiatif, Revisi (SCID-DR), dan Jadwal
Wawancara Gangguan Disosiatif / Disscociative Disorder Interview Schedule
(DDIS) . SCID-DR, oleh Marlene Steinberg, secara luas dianggap sebagai
standar emas untuk studi penelitian yang memerlukan diagnosis. Ini adalah
semi-terstruktur diberikan dokter-wawancara yang menilai keberadaan dan
tingkat keparahan amnesia, identitas kebingungan dan perubahan,
depersonalisasi, dan derealisasi, dan membuat diagnosis DSM-IV-TR untuk
semua lima gangguan disosiatif dan gangguan stres akut. Ini mencakup 276
pertanyaan dan tingkat keparahan gejala masing-masing pada skala 4-titik.

11
Untuk pasien gangguan disosiatif, waktu administrasi biasanya berkisar dari 1
sampai 2 jam tetapi jauh lebih singkat bagi pasien kejiwaan non-disosiatif.
SCID-DR telah baik untuk interrater sangat baik dan tes-tes ulang keandalan
dan validitas mapan dalam banyak penelitian. Telah diterjemahkan ke dalam
sedikitnya selusin bahasa dengan hasil yang sama dalam budaya yang
berbeda. Para DDIS, oleh Colin Ross, terutama alat diagnostik klinis dan
kadang-kadang digunakan sebagai layar untuk disosiasi patologis. Ini
bertanya tentang berbagai fenomena di samping gejala disosiatif, termasuk
riwayat pelecehan anak, depresi berat, keluhan somatik, penyalahgunaan zat,
dan pengalaman paranormal. Hal ini membutuhkan sekitar 30 sampai 60
menit untuk melayani pasien gangguan identitas disosiatif. Kecuali untuk
gangguan depersonalisasi, kehandalan interrater diterima, dan validitas
konvergen termasuk korelasi yang kuat dengan DES, SCID-D, dan diagnosis
klinis gangguan disosiatif. Kognisi dalam Disosiasi Disfungsi memori adalah
fitur utama dari gangguan disosiatif. Identitas gangguan disosiatif, dengan
web yang tampak jelas dari amnesias arah antara negara-negara mengubah
kepribadian, adalah fokus dari upaya awal di penyelidikan
eksperimental.Banyak studi kasus yang diikuti juga berusaha untuk
mendokumentasikan amnesias.Sebuah 1985 Institut Nasional Kesehatan
Mental (NIMH) studi digunakan sembilan pasien gangguan identitas
disosiatif dan sepuluh kontrol cocok, yang diuji seperti diri sendiri dan dalam
keadaan mengubah kepribadian simulasi. Mereka menguji memori
keterpisahan antara pasangan saling dilaporkan amnesia mengubah negara
kepribadian dengan mengukur intrusi dari daftar kata kategoris yang sama
dipelajari oleh negara-negara lainnya mengubah kepribadian. Para pasien
gangguan identitas disosiatif lebih mungkin untuk kotakkan rangsangan
belajar, sedangkan yang disosiasi meniru menunjukkan bukti jauh lebih
sedikit dari partisi informasi. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa
disosiasi berdampak diferensial pada domain memori implisit dan eksplisit.
Sebaliknya, dalam beberapa studi terbaru dari memori dan amnesia dalam

12
gangguan identitas disosiatif, peneliti kognitif belum mampu
mendokumentasikan amnesia mengklaim antara subyektif saling mengubah
amnestic menggunakan berbagai paradigma memori implisit dan eksplisit.
Dalam satu studi, subyek kontrol pura-pura akrab dengan gangguan identitas
disosiatif menunjukkan kurangnya priming dalam tugas memori implisit
karena mereka "tahu" mereka seharusnya amnestic, meskipun subjek
gangguan disosiatif identitas yang sebenarnya memang menunjukkan priming
normal. Di sisi lain, dalam studi lain, peneliti tidak dapat dokumen transfer
seharusnya informasi antara mengubah mengaku sebagai "co-sadar"
menggunakan tugas memori implisit dan eksplisit. Dengan demikian,
beberapa peneliti telah mempertanyakan aktualitas amnesias gangguan
identitas disosiatif. Namun, kegagalan transfer informasi di co-sadar
seharusnya mengubah menunjukkan kemungkinan implikasi lain dari studi
ini. Ini termasuk bahwa pasien gangguan identitas disosiatif mungkin tidak
selalu dapat diandalkan wartawan baik amnesia atau coawareness antara
negara mengubah diri.Sebagai contoh, dalam studi kasus tunggal, subjek
gangguan identitas disosiatif secara acak ditandai oleh pager dan diisi mood
dan skala kegiatan penilaian, serta informasi yang berkaitan dengan keadaan
kepribadian yang "keluar." Penilaian skala diisi secara real waktu yang
berbeda dengan diri-mengaku mengubah mood 'dan laporan kegiatan selama
wawancara klinis. Akhirnya, mungkin akan lebih berguna untuk merancang
studi menggunakan paradigma memori otobiografi dan untuk lebih global dan
secara naturalistik studi identitas disosiatif gangguan memori pasien 'masalah
dan perilaku beralih tanpa harus mencurahkan perhatian khusus untuk yang
mengubah tidak atau tidak memiliki ingat pada waktu tertentu. Namun,
keberadaan diferensial dan terarah amnesias seluruh gangguan identitas
disosiatif mengubah kepribadian menyatakan telah ditemukan dalam
kebanyakan studi sampai saat ini. Studi yang lebih ketat, bagaimanapun, juga
kebocoran dokumen cukup atau transfer informasi di seluruh negara
mengubah kepribadian, yang melaporkan telah benar-benar amnesia satu

13
sama lain. Penjelasan neuropsikologi paling pelit dikemukakan, bahwa
amnesias adalah contoh negara yang bergantung pada pembelajaran dan
pengambilan, pertama kali disampaikan oleh Theodule Ribot pada akhir abad
ke-19. Tingkat amnesia menunjukkan pada pasien gangguan identitas
disosiatif, bagaimanapun, melebihi yang biasanya terlihat pada studi
eksperimental negara-tergantung memori. Studi menunjukkan bahwa tugas-
tugas memori dapat dibangun sedemikian rupa sehingga orang yang sangat
disosiatif berperforma lebih baik atau lebih buruk dibandingkan subyek
kontrol. Memori tugas yang melibatkan pembagian perhatian atau
kompartementalisasi informasi sangat mirip tampaknya mendukung individu
yang sangat disosiatif. Memori tugas yang menuntut perhatian terfokus
menempatkan mereka pada kerugian yang signifikan. Perbedaan-perbedaan
attentional dan memori, mungkin bersama-sama dengan perbedaan-perbedaan
lain yang belum diakui kognitif, operasi selama periode kritis perkembangan
dan selama rentang kehidupan individu, dapat menyebabkan penyimpangan
yang cukup besar dari lintasan perkembangan yang normal, seperti yang
dijelaskan dalam bagian pada model perkembangan.

2.6 Pedoman Diagnosis dan Klasifikasi


Disosiatif diartikan sebagai mekanisme pertahanan secara tidak sadar
yang melibatkan segregasi dari beberapa kelompok proses mental dan
tingkahlaku seseorang yang mungkin membawa pemecahan dari tonus emosi.
(taka et al, 2012)
Gejala utamanya adalah hilangnya (sebagian atau seluruh) dari
integrasi normal (dibawah kendali kesadaran) antara ( Maslim, 2003):
 Ingatan masa lalu
 Kesadaran identitas dan pengindraan segera (awareness of identity and
immediate sensations)
 Kontrol terhadap gerakan tibuh

14
 Pada gangguan disosiatif, kemampuan kendali dibawah kesadaran dan
kendali selektif tersebut terganggu sampai taraf yang dapat berlangsung
dari hari ke hari atau bahkan jam ke jam.

Pedoman diagnostik ( Maslim, 2003)


Untuk diagnostik pasti maka hal-hal dibawah ini harus ada:
a) Gambaran klinis yang ditemukan untuk masing-masing gangguan yang
tercantum pada F 44.-;
b) Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala
tersebut
c) Bukti adanya gangguan psikologis dalam bentuk hubungan kurun waktu
yang jelas dengan problem dan kejadian-kejadianyang stressfull atau
hubungan interpersonal yang terganggu (meskipun hal tersebut disangkal
oleh penderita)

Menurut Diagnostik dan Statistik Manual of Mental Disorders, edisi


revisi teks keempat (DSM-IV-TR), gangguan disosiatif terdiri dari
gangguan identitas disosiatif, gangguan depersonalisasi, amnesia disosiatif,
fugue disosiatif, dan gangguan disosiatif yang tidak ditentukan.

2.6 Tatalaksana
Tujuan pengobatan untuk gangguan konversi adalah untuk
menghilangkan gejala, untuk memastikan pasien dan orang-orang
disekitarnya aman, dan untuk "menyambungkan kembali" orang tersebut
dengan kenangan yang hilang. Pengobatan juga bertujuan untuk membantu
orang tersebut (CCF, 2016):

1. Dapat menangani dan mengelola kejadian yang menyakitkan;

2. Mengembangkan keterampilan dan keterampilan hidup baru;

3. Kembali berfungsi semaksimal mungkin; dan

15
4. Memperbaiki hubungan.

Wawancara diberikan sebagai terapi sekaligus untuk menyimpulkan


apakah ada pengalaman yang bersifat traumatik pada diri pasien.
Terkadang dapat dilakukan terapi hipnosis agar pasien memasuki fase
relaksasi sehingga dapat mengingat kembali hal-hal yang dilupakan.
Terdapat juga psikoterapi untuk untuk membantu pasien menyatukan
kenangan yang terpisah-pisah menjadi ingatan yang runtut serta
rehabilitasi pasien pada kehidupan sehari-hari (CCF, 2016)

Pada gangguan disosiatif yang disertai dengan amnesia, dasar


pemberian terapi adalah bila pasien dalam keadaan somnolen, maka
inhibisi mental hilang dan bahan amnestik akan muncul ke dalam
kesadaran. Pendekatan pengobatan terbaik tergantung pada orang, jenis
amnesia, dan seberapa parah gejalanya. Jika ingatan hanya dalam jangka
waktu yang sangat singkat hilang, pengobatan suportif biasanya cukup,
terutama jika pasien tidak memiliki kebutuhan untuk memulihkan ingatan
akan kejadian yang menyakitkan. Pengobatan untuk kehilangan ingatan
yang lebih parah dimulai dengan menciptakan lingkungan yang aman dan
suportif. Pemulihan ingatan dilakukan dengan psikoterapi secara bertahap.
Penggunaan obat-obatan bius (barbiturat atau benzodiazepin) dan hipnosis
dapat digunakan untuk memulihkan ingatan. Menanyai pasien saat berada
di bawah hipnosis atau dalam keadaan semihypnotic yang disebabkan obat
bisa berhasil. Strategi ini harus dilakukan dengan hati-hati karena keadaan
traumatis yang merangsang kehilangan ingatan kemungkinan akan diingat
dan sangat menjengkelkan. Penanya juga harus secara hati-hati
menguraikan pertanyaan agar tidak memberi kesan adanya suatu kejadian
dan risiko menciptakan memori palsu (Sadock, et al., 2007 ; Spiegel, etc.,
2015)

16
Gejala amnesia pada gangguan disosiatif biasanya berespon
pengobatan dengan baik. Namun, kemajuan dan kesuksesan bergantung
pada banyak hal, termasuk situasi kehidupan seseorang dan jika dia
mendapat dukungan dari keluarga dan teman (CCF, 2016 ; Sadock et al.,
2007)

Setelah ingatan pulih pada gangguan disosiatif dengan amnesia atau


pada gangguan disosiatif lain tanpa adanya amnesia, pengobatan bertujuan
untuk memberikan makna pada trauma atau konflik yang mendasarinya,
menyelesaikan masalah sebagai stressor munculnya gejala. Mengaktifkan
pasien untuk melanjutkan hidup mereka. Seorang psikiater dapat
membantu pasien untuk mengeksplorasi bagaimana mereka menangani
jenis situasi, konflik, dan emosi yang memicu gejala dan dengan demikian
mengembangkan tanggapan yang lebih baik terhadap kejadian tersebut dan
membantu mencegah agar tidak berulang (Spiegel, etc., 2015)

Wawancara psikiatrik, wawancara yang dibantu dengan obat, dan


hipnosis dapat membantu mengungkapkan kepada terapis dan pasien
mengenai stresor psikologis yang mencetuskan munculnya gejala.
Psikoterapi diindikasikan untuk membantu pasien menyatukan stressor
pencetus ke dalam jiwa mereka dengan cara yang sehat dan terintergrasi.
Terapi pilihan gangguan konversi adalah psikoterapi, psikodinamik, dan
ekspresif suportif. Teknik yang paling banyak digunakan adalah
psikoterapi berorientasi tilikan, abreaksi trauma masa lalu, dan integrasi
trauma tersebut ke dalam diri yang menyatu yang tidak lagi membutuhkan
pemisahan untuk menghadapi trauma tersebut (Sadock, 2007). Selanjutnya
pengobatan dilakukan disesuaikan dengan gejala. Terapi mencakup
beberapa kombinasi metode

17
2.6.1 Amnesia Disosiatif

Menurut Sadock (2015), Spiegel etc (2015), Terapi Amnesia


disosiatif terbagi menjadi 4, antara lain:

1. Terapi Kognitif
Terapi kognitif memiliki manfaat spesifik pada orang-
orang yang memiliki trauma. Dengan menggali lebih
dalam soal trauma pasien, ingatan pasien yang hilang
dapat muncul kembali. Hal yang harus diperhatikan
adalah dengan seiringnya ingatan yang kembali maka
ingatan akan peristiwa yang traumatik bisa
memunculkan keluhan lainnya seperti cemas dan
depresi.
2. Hipnotis
Hipnosis dapat digunakan dalam sejumlah cara
berbeda dalam pengobatan amnesia disosiatif. Secara
khusus, hipnotis dapat digunakan untuk menampung,
memodulasi, dan mentitrasi intensitas gejala; untuk
memfasilitasi ingatan terkontrol terhadap ingatan
yang terpisah; untuk memberikan dukungan dan
penguatan ego bagi pasien; dan untuk menyatukan
integrasi ingatan yang terpisah. Selain itu, pasien bisa
diajari self-hypnosis untuk menerapkan teknik
penahanan dan penenang dalam kehidupan
kesehariannya.

3. Terapi Somatik
Tidak ada farmakoterapi yang diketahui untuk
amnesia disosiatif selain wawancara yang difasilitasi
secara farmakologis. Obat-obatan yang digunakan

18
antara lain golongan sodium amobarbital, thiopental
(Pentothal), benzodiazepin oral, dan amfetamin.
Wawancara farmakologis yang difasilitasi dengan
menggunakan amobarbital intravena atau diazepam
(Valium) digunakan terutama dalam bekerja dengan
akut amnesia dan reaksi konversi. Prosedur ini
jugakadang-kadang berguna dalam kasus refrakter
amnesia disosiatif kronis saat pasien tidak
menanggapi intervensi lainnya. Ingatan yang muncul
saat pasien dalam keadaan memakai obat harus
diproses kembali oleh pasien yang dalam keadaan
sadar sepenuhnya.
4. Psikoterapi kelompok
Psikoterapi jangka penek maupun jangka panjang
dilaporkan telah berhasil memberikan manfaat pada
veteran tempur dengan PTSD dan untuk korban
penyiksaan masa kecil. Selama sesi kelompok, pasien
dapat memulihkan ingatan bagi yang mengalami
amnesia. Sesama anggota kelompok dan terapis harus
memberikan dukungan unuk memberikan hasil yang
signifikan.

2.6.2 Gangguan Depersonalisasi / Derealisasi

Beberapa bukti sistematis menunjukkan bahwa


antidepresan SSRI, seperti Suoxetine (Prozac), dapat
membantu pasien dengan gangguan depersonalisasi. Terapi
menggunakan Suvoxamine (Luvox) dan Lamotrigin (Lamictal)
tidak memberikan manfaat dari dua studi double-blind dan
placebo-controlled baru-baru ini. Pasien-pasien dengan

19
gangguan depersonalisasi jarang memiliki respon yang baik
terhadap kelompok obat antidepresan, mood stabilizer, tipikal
dan atipikal neuroleptik, antikonvulsan, dan sebagainya.
Banyak tipe psikoterapi yang telah digunakan seperti
psikodinamik, kognitif, perilaku kognitif, hypnotherapeutic,
dan suportif namun banyak pasien yang tidak memiliki respon
kuat. Strategi manajemen stres, teknik pengalih perhatian,
pengurangan stimulasi sensorik, latihan relaksasi, dan latihan
fisik berespon baik pada beberapa pasien (Sadock etc., 2015,
CCF, 2016) .

2.6.3 Fugue Disosiatif

Fugue disosiatif biasanya diobati dengan psikodinamik


yang berfokus untuk membantu pasien memulihkan ingatan
akan identitas dan pengalaman, teknik yang digunakan
berorientasi tilikan. Wawancara hipnoterapi dan wawancara
dengan farmakologis merupakan teknik tambahan untuk
mengembalikan memori penderita. Pasien akan memerlukan
perawatan medis, makanan, dan kebutuhan tidur selama
periode fugue., sehingga harus dirawat inapkan. Dokter juga
harus bersiap menghadapi kemunculan ide bunuh diri atau ide-
ide merusak diri sendiri dan impuls trauma maupun stres.
Masalah keluarga, seksual, pekerjaan, atau hukum yang
merupakan penyebab episode fugue akan muncul seiring
dengan ingastan yang pulih sehungga dukungan keluarga dan
sosial diperlukan (Saddock et al., 2007; 2015)

Identitas baru yang diciptakan penderita biasanya


merupakan identitas yang melindunginya dari trauma-trauma
di masa lampau. Sehingga tujuan terapeutik bukanlah

20
menyalahkan identitas yang baru atau menjelaskan bahwa
selama ini yang dialami penderita tidak nyata, tetapi
menghargai pentingnya informasi psikodinamik yang
terkandung di dalam kepribadian yang berubah. Hasil
terapeutik yang paling diinginkan adalah perpaduan identitas
baru dengan mengintegrasikan kenangan akan pengalaman
yang memicu fugue (Sadock et al., 2015)

2.6.4 Gangguan Identitas Disosiatif

Gangguan Identitas Disosiatif menurut Saddock etc


(2015), Saddock etc (2007) dibagi menjadi 5 terapi utama dan
4 terapi tambahan

1. Psikoterapi.
Psikoterapi yang sukses untuk pasien dengan
gangguan identitas disosiatif mengharuskan dokter
merasa nyaman dengan berbagai intervensi
psikoterapeutik dan bersedia untuk secara aktif
bekerja untuk menyusun pengobatan. Modalitasnya
terdiri atas: psikoterapi psikoanalitik, terapi kognitif,
terapi perilaku, hipnoterapi, penatalaksanaan
psikofarmakologis penderita dengan trauma. Dokter
harus memberikan kenyamanan, menganggap pasien
seperti keluarganya sendiri karena pasien secara
subjektif mengalami dirinya sebagai sistem
kompleks diri dengan aliansi, hubungan keluarga,
dan konflik intragroup.
2. Terapi Kognitif
Banyak gangguan identitas disosiatif yang hanya
responsif terhadap kognitif terapi, namun intervensi

21
kognitif yang sukses dapat menyebabkan disforia
tambahan. Kognitif terapi fokus pada pengendalian
gejala dan pengelolaan aspek-aspek kehidupan yang
memilikki disfungsi
3. Hipnosis.
Intervensi hypnotherapeutic seringkali dapat
meredakan impuls yang merusak diri sendiri atau
mengurangi gejala, seperti kilas balik, halusinasi
disosiatif, dan pengalaman pengaruh pasif.
Mengajarkan self-hypnosis pasien dapat membantu
mengatasi gejala yang muncul sewaktu-waktu.
Hipnosis dapat berguna untuk mengakses
kepribadian pasien yang disembunyikan dan ingatan
yang hilang. Hipnosis juga digunakan untuk
menciptakan keadaan mental yang rileks dimana
kejadian kehidupan negatif dapat diperiksa tanpa
kegelisahan yang luar biasa.
4. Intervensi Psikofarmakologis.
Obat antidepresan seringkali penting dalam
mengurangi depresi dan stabilisasi mood.
Antidepresan SSRI, trisiklik, dan monamin oksidase
(MAO), β-blocker, clonidine (Catapres),
antikonvulsan, dan benzodiazepin berhasil dalam
mengurangi gejala intrusif, hiperperousal, dan
kegelisahan pada pasien dengan gangguan identitas
disosiatif. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa α1
Antagonis antagonis prazosin (Minipress) sangat
membantu untuk mimpi buruk PTSD. Beberapa
laporan kasus menunjukkan karbamazepin
(Tegretol) berespon pada beberapa individu dengan

22
kelainan EEG. Pasien dengan gejala obsesif-
kompulsif dapat merespons antidepresan dengan
khasiat antiobsesif. Studi label terbuka menunjukkan
bahwa naltrexone (ReVia) dapat membantu untuk
memperbaiki perilaku merugikan diri secara
berulang pada pasien yang mengalami trauma.
Neuroleptik atipikal, seperti risperidone (Risperdal),
quetiapine (Seroquel), ziprasidone (Geodon), dan
olanzapine (Zyprexa) lebih efektif dan lebih baik
ditoleransi daripada neuroleptik khas untuk
kecemasan yang berlebihan dan gejala PTSD yang
mengganggu pada pasien dengan gangguan identitas
disosiatif. Untuk pasien dengan gangguan identitas
disosiatif yang parah dan tidak berespon dengn
berbagai obat dapat berhasil dengan clozapine
(Clozaril)
5. Terapi Electroconvulsive.
Bagi beberapa pasien, ECT sangat membantu dalam
memperbaiki gangguan mood refrakter dan tidak
memperburuk gangguan memorinya. ECT juga
merupakan terapi paling ampuh untuk
menghilangkan gejala somatik pasien dengan
ganggi=uan identitas disosiatif, meskipun respon
hanya parsial.

Terapi Tambahan (Adjunctive)

1. Terapi kelompok (Group Theraphy)


Pada terapi kelompok, munculnya kepribadian lain bisa
muncul dengan adanya integrasi kelompok dengan
keinginan untuk diperhatikan maupun keinginan untuk

23
mengintimidasi pasien lain. Kelompok terapi hanya
terdiri dari pasien dengan gangguan disosiatif.
2. Terapi Keluarga (Family Theraphy)
Terapi keluarga atau pasangan seringkali penting untuk
stabilisasi jangka panjang. Dengan edukasi cara
penanganan penderita gangguan identitas disosiatif,
keluarga dapat memberikan mekanisme coping yang
lebih pada penderita atas dasar cinta anggota keluarga.
3. Terapi Ekspresif dan Occupational.
Terapi ekspresif dan pekerjaan, seperti terapi seni dan
gerakan, telah terbukti sangat membantu dalam
perawatan pasien dengan gangguan identitas disosiatif.
Terapi seni dapat digunakan untuk membantu
penahanan dan penataan gangguan identitas disosiatif
yang parah dan gejala PTSD, serta memungkinkan
pasien ini mengekspresikan pikiran dengan lebih aman,
perasaan, citra mental, dan konflik sehingga mereka
mengalami kesulitan untuk verbalisasi. Terapi gerakan
dapat memfasilitasi normalisasi rasa tubuh dan gambar
tubuh untuk pasien yang sangat trauma ini
4. Desensitisasi Gerakan Mata dan Proses Ulang (EMDR).
EMDR adalah pengobatan yang baru saja dianjurkan
untuk PTSD. Ada ketidaksepakatan dalam literatur
tentang kegunaan dan keefektifan modalitas pengobatan
ini, namun beberapa pihak berwenang percaya bahwa
EMDR dapat digunakan sebagai tambahan yang
membantu untuk tahap pengobatan selanjutnya.
Pedoman pengobatan gangguan disosiatif menunjukkan
bahwa EMDR hanya digunakan pada klinisi yang telah
telah terlatih menggunakan EMDR, berpengetahuan

24
dan terlatih mengatasi pasien dengan gangguan identitas
disosiatif.

2.6.5 Gangguan Disosiatif yang Tidak Tergolongkan

Tidak ada studi pengobatan yang sistematis yang


dilakukan, mengingat kelangkaan kondisi ini. Dalam
kebanyakan laporan kasus, pasien Dirawat inap di rumah
sakit dan telah dilengkapi dengan lingkungan yang
protektif dan suportif. Dalam beberapa kasus, obat
antipsikotik dosis rendah telah dilaporkan bermanfaat.
Hypnosis dan amfosintesis amobarbital juga telah
berhasil digunakan untuk membantu Biasanya,
kembalinya fungsi normal yang relatif cepat terjadi
dalam beberapa hari, walaupun beberapa kasus mungkin
memerlukan waktu satu bulan atau lebih (Saddock etc.,
2015).

25
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders, Fifth Edition (DSM-5). Arlington, VA: American Psychiatric
Publishing, 2013.

Benjamin J. Sadock, Virginia A. Sadock, Pedro Ruiz. Kaplan & Sadocks’:


Synopsis of Psychiatry: Behavorial Sciences/Clinical Psychiatry. Edisi 11.
New York. Wolters Kluwer Health, 2014. Hal 665.

Bourgeois at al. 2012. Psychiatry Review and Canadian Certification Exam


Preparation Guide (online) (https://books.google.co.id/books?
hl=en&lr=&id=f_L9Q-
OLFOAC&oi=fnd&pg=PA277&dq=fugue+dissociative&ots=cWJaIYLpda&s
ig=65GoiE9UbolVcOza3pSKS_rOf1Y&redir_esc=y#v=onepage&q=fugue
%20dissociative&f=false, Diakses pada 5 Agustus 2017)
Cleveland Clinic Foundation (CCF). 2016. Dissociative Amnesia. Tidak
diterbitkan. https://my.clevelandclinic.org/health/articles/dissociative-
amnesia. Diakses tanggal 06-08-2017 pukul 07:43.
Maslim, Rusdi. 2003. Pedoman Praktis Diagnosis Gangguan Jiwa III. Jakarta : Pt
Nuh Jaya
Mind. Understanding Dissosiative Disorders. Edisi Revisi. London: Mind
(National Association for Mental Health). 2016. Hal 3-4.
https://www.nami.org/Learn-More/Mental-Health-Conditions/Dissociative-
Disorders . March 2015
North, C. S. (2015). The Classification of Hysteria and Related Disorders:
Histrorical and Phenomenological Consideration. Behavioral Sciences , 496-
517.

26
Sadock, Benjamin James & Virginia Alcott Sadock. 2010. Kaplan & Sadock’s
Concise Textbook of Clinical Psychiatry. Jakarta. ECG: 2010
Sar, V. (2012). Epidemiology of Dissociative Disorders: An Overview.
Epidemiology Research International, vol. 2012, Article ID 404538, 8 pages,
2012
Spiegel, David, Jack Lulu, Sam Wilson. Dissociative Amnesia. Unpublished.
https://www.merckmanuals.com/professional/psychiatric-
disorders/dissociative-disorders/dissociative-amnesia. Diakses tanggal 06-08-
2017 pukul 15:34
Staniloiu. 2014. Dissociative amnesia. Germany: Physiological Psychology,
University of Bielefeld, Bielefeld journal. Lancet Psychiatry 2014; 1: 226–41
Tada at al, 2012. Dissociative Stupor Mimicking Consciousness Disorder in an
Advanced Lung Cancer Patient. Tokyo : Japanese Journal of clinical
oncology. Jpn J Clin Oncol 2012;42(6)548 – 551

27

Anda mungkin juga menyukai