Anda di halaman 1dari 10

GANGGUAN IDENTITAS DISOSIATIF

A. Pengertian
Gangguan identitas disosiatif (Dissociative Identity Disorder-DlD) pada DSM-5
diklasifikasikan ke dalam gangguan disosiatif, ditandai dengan adanya dua atau lebih
status kepribadian yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat berupa pikiran, perasaan,
bertindak secara independen satu sama lain yang muncul pada waktu yang berbeda.
Masing-masing kepribadian/alter menentukan sifat dan aktivitasnya saat muncul. Alter
utama mungkin tidak menyadari adanya alter lain. Individu tersebut tidak memiliki
ingatan tentang pengalaman masingmasing alter (Davison dkk, 2014).

Demikian juga menurut Nevid, dkk., (2018) DID ditandai dengan munculnya
kepribadian berbeda yang mungkin bersaing untuk mengontrol individu tersebut.
Transformasi yang tiba-tiba dari satu kepribadian ke kepribadian lainnya yang dialami
sebagai bentuk kepemilikan. Perubahan kepribadian yang umumnya muncul berupa anak-
anak dari berbagai usia, remaja dari lawan jenis, bahkan dapat juga perubahan orientasi
seksual. Beberapa gejala mungkin menunjukkan gejala psikotik, mereka mengistirahatkan
diri dari realitas yang diekspresikan dalam bentuk halusinasi dan delusi. Kepribadian
alternatif (alter kepribadian) mungkin saja memiliki perbedaan respon dari pengobatan
medis seperti resep kacamata, reaksi, dan bahkan reaksi Obat.

Maldonado dan Spiegel (dalam Butcher, Hooley, & Mineka, 2018) menyatakan,
jumlah perubahan identitas pada DID sangat bervariasi dan meningkat seiring waktu.
DID biasanya dimulai pada masa kanak-kanak, meskipun kebanyakan pasien datang dan
didiagnosis pada usia remaja. Dilihat dari jenis kelamin, perempuan lebih banyak
didiagnosis dengan DID dibandingkan Iaki-laki serta perempuan lebih banyak memiliki
alter kepribadian.

Individu dengan DID memiliki gap dalam memori, pengalaman, dan perubàhan
kehidupan (seperti dimana ia bersekolah, SMP/SMA/Perguruan Tinggi) atau pengalaman
traumatis sebelumnya. Gangguan ini juga dikaitkan dengan peningkatan upaya bunuh
diri. Gejala tambahan DID seperti depresi self-injury, keinginan dan upaya bunuh diri,
perilaku yang tidak menentu, sakit kepala, halusinasi, dan gejala amnesia dan fugue.
Prevalensi DID di Amerika Serikat dari studi komunitas diperoleh 1,5% mengalami DID.
Dilihat dari jenis kelamin, laki-laki 1,6% dan perempuan 1,4% (American Psychiatric
Association 2013).
B. Penyebab
i. Biologis
o Disfungsi otak: penelitian Vermetten, dkk (dalam American Psychiatric
Association, 2013). Menunjukkan perbedaan struktural di area otak yang
melibatkan emosi dan memori pada pasien DID (Nevid, dkk 2018).
Daerah otak yang terlibat dalam patofisiologi DID adalah korteks
orbitofrontal, hipokampus, gyrus parahippocampal, dan amigdala.
o Sedikit penelitian membahas kontribusi faktor biologi terhadap gangguan
disosiatif (Kihlstorm, dalam Oltmanns & Emery, 2019).
o Siklus tidur membantu menjelaskan gejala disosiatif. Terdapat kekurangan
tidur dapat meningkatkan pengalaman disosiatif dan tidur cukup dapat
mengurangi disosiasi (Van der Kloet, Merckelbach, Giesbrech & Lynn,
dalam Oltmanns & Emery, 2019).
ii. Psikologis
o Gangguan ini berkembang sebagai konsekuensi jangka panjang dari
trauma, khususnya pelecehan seksual pada anak.
o Psikoanalisa: represi yang sangat kuat dan mengakibatkan terpisahnya
kesadaran terhadap kenangan yang menyakitkan yang tidak dapat diterima
(Ross & Ness, 2010). Pada individu DID, ia tidak dapat menerima
pengalaman yang tidak menyenangkan dan kemudian mengembangkan
kepribadian alternatif.
o Teori Sosial-Kognitif: gangguan DID diperoleh melalui pembelajaran dari
observasi dan reinforcement lingkungan. Hal ini tidak sama dengan
malingering, individu dapat mengatur pola perilaku mereka sesuai peran
yang mereka amati. Mereka terlalu asyik memainkan peran sehingga lupa
bahwa sedang bermain peran.
o Adanya state-dependent learning, sebuah proses pembelajaran dari
pengaruh Pengalaman yang paling diingat dimasa lalu contohnya individu
lebih mudah mengingat sesuatu yang terjadi saat ia bersedih dibandingkan
bahagia. Melalui pengalaman yang berulang dari trauma, disosiasi dan
state-dependent learning membuat ingatan tersebut berkembang dan
mengarah pada terbentuknya kepribadian lain secara mandiri (Oltmanns &
Emery, 2019).
o Tidak semua individu yang mengalami trauma berkembang menjadi
disosiatif, maka diperlukan faktor lainnya untuk mendiagnosa.
iii. Sosial
o Gangguan yang disebabkan oleh iatrogenesis (gangguan lain yang muncul
atas ketidaksengajaan yang disebabkan Oleh tindakan profesional dalam
mendiagnosa maupun mengintervensi pasien) (Mesrky, dalam Oltmanns &
Emery, 2019).
o DID adalah sebuah peran sosial. Individu tersebutsangat rentan terhadap
sugesti, hipnotis dan mengalami efek iatrogenik (Kihlstrom, Glisky &
Angiulo, dalam Oltmanns & Emery, 2019).
iv. Diathesis-stress Model
o Tidak semua anak yang mengalami trauma di masa lalu berkembang
menjadi DID. Individu yang suka berfantasi sangat tinggi
kemungkinannya terhipnotis dan memungkinkan untuk mengembangkan
pengalaman disosiatif. Mereka mengembangkan ini sebagai mekanisme
pertahanan diri (Butler, dkk, dalam Nevid, dkk, 2018). Saat ini masih
diselidiki fantasi sebagai faktor resiko yang rawan terhadap respon trauma
(Dalenberg, dkk, 2012). Namun individu yang tidak berfantasi saat trauma
akan mengalami kecemasan, pikiran yang mengganggu terkait dengan
PTSD daripada gangguan disosiatif (Dale, dkk, 2009).

C. Manifestasi Klinis
Ditandai dengan munculnya dua atau lebih kepribadian yang berbeda. Ada
kepribadian yang dominan dan alter kepribadian. Transformasi antar kepribadian dapat
terjadi secara tiba-tiba. Perubahan kepribadian dapat berupa berbagai usia, lawan jenis,
kondisi fisik, muncul halusinasi dan delusi (American Psychiatric Association, 2013).

D. Asesmen
i. Wavvançara Klinis
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan gambaran Permasalahan pasien dari
sudut pandangnya dan orang disekitarnya. Adapun data yang dapat dikumpulkan
antara lain: identifikasi data pasien, gambaran permasalahan saat ini, riwayat
hidup (pendidikan, sosial, pekerjaan, perkawinan, agama, suku dan hubungan
keluarga), riwayat pengobatan medis, dan permasalahan treatment yang terjadi.

Pewawancara memperhatikan perilaku verbal maupun nonverbal pasien dan


menilai kesesuaian seperti tampilan, suasana hati, orientasi (diri, waktu dan
tempat) dan kemampuan memusatkan perhatian. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan gambaran awal dari keadaan mental pasien. Kita dapat memperoleh
banyak data dari:
o Autoanamnesa merupakan wawancara yang dilakukan kepada pasien itu
sendiri sebagai bahan dasar diagnosa. Kebenarannya dapat diketahui
melalui alloanamnesa.
o Alloanamnesa dilakukan pada orangtua atau figur lekat pasien. Figur lekat
merupakan orang tua, saudara, teman atau kerabat. Wawancara ini
dilakukan untuk menggali informasi sebanyakbanyaknya, mulai dari
kehidupan pasien dari kecil hingga saat ini agar kita dapat mengetahui
perkembangan kehidupannya.
ii. Observasi
Observasi merupakan suatu cara paling dasar untuk mendapatkan informasi
mengenai gejala-gejala yang muncul pada pasien melalui proses pengamatan. Kita
dapat mengobservasi gejala-gejala terkait gangguan identitas disosiatif seperti
berubahnya kepribadian baik itu mood, cara berbicara, gesture dan lain
sebagainya.
iii. Psikotes
Saat melakukan pemeriksaan biasanya kita menggunakan serangkaian an tes
yang dirancang untuk menangkap kekuatan dan kelemahan pasien.
1) Tes kognitif atau intelektual;
Tes ini berguna untuk diagnosis banding. Tes Wechsler dapat
memperjelas jika ada pasien yang mendengar suara-suara seperti Psikotik,
padahal sebenarnya bisa saja berasal dari ciri disosiatif (Armstrong &
Loewenstein. dalam Brand, dkk, 2006). Tes Kognitif dapat menggunakan
yaitu Wechsler dan Raven Test.
2) Tes kepribadian inventori, seperti:
a) Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI-2)
merupakan alat ukur untuk melihat minat, kebiasaan, keluhan fisik,
sikap, keyakinan dan karakteristik perilaku dari gangguan
psikologis yang terjadi. Hal ini membantu untuk mendiagnosa pola
perilaku abnormal. Skala MMPI-2 dianggap mencerminkan ciri-
ciri kepribadian yang terkait dengan DID. Pada pasien DID
membutuhkan waktu cukup lama untuk menjawab setiap
persoalan.
b) Millon Clinical Multiaxial Inventory-Il (MCMI). Penelitian pada
MCMI-II menunjukkan bahwa individu dengan DID mengalami
peningkatan pada Axis I termasuk kecemasan, depresi,
somatoform, penyalahgunaan Obat serta gangguan kepribadian
ambang menjadi yang paling berat. Individu dengan DID tidak
histrionik, mereka cenderung menghindari emosi dan
menggunakan coping dari gangguan pikiran tentang pengalaman
trauma (Armstrong, dalam Brand, dkk, 2006).
c) Alat ukur/skala Disosiatif, the Dissociative Experiences Scale
(DES). Pasien dapat dengan mudah menyelesaikan 28 item dalam
beberapa menit. Item dinilai menurut presentasi yang mereka alami
0%-100%. Skor total diperoleh dari rata-rata skor item. Biasanya
pewawancara meminta contoh konkrit dari item yang berkaitan
Biasanya individu dengan DID terlalu melebih-lebihkan kejadian.
Skor tinggi belum tentu ia menderita DID, sebaiknya skala ini
digunakan di awal pemeriksaan dan diperlukan pemeriksaan
seperti wawancara mendalam dengan menggunakan kriteria di
DSM-5.
d) The Dissociative Disorders Interview Schedule (DDIS) versi DSM-
5. DDIS ini merupakan self-report versi DSM-5 yang digunakan
untuk screening pasien disosiatif. DDIS diberikan dalam bentuk
tanya jawab kepada pasien. Pasien terlebih dahulu menyetujui
inform consent. Pertanyaan yang diajukan berjumlah 130 soal
merupakan pertanyaan tertutup yang menggunakan jawaban
ya/tidak
3) Tes Kepribadian Proyektif.
Brand, dkk (2006) menemukan tes proyektif sangat berguna dałam
melihat gangguan disosiatif, Tes ini mengharuskan ind ividu
memproyeksikan dirinya. Tes ini memberikan informasi tentang konflik
seseorang serta kekuatan dan kelemahan diri. Individu yang mengalami
trauma terkadang menyampaikan informasi yang tidak dapat langsung
mereka utarakan.
o Thematic Apperception Test (TAT). Individu dengan DID biasanya
bercerita tentang tema bahaya, trauma, perlindungan, dan disosiasi
(Westen, Lohr, & Silk, 1990).
o Rorschacll (RO). Alat ini paling berguna dałam mengklarifikasi
adanya gangguan kepribadian. Individu dengan disosiatif sangat
menghindari perasaan dan kenangan yang menyakitkan. RO dapat
membantu menjelaskan persepsi dan pemikiran, afeksi, dan
penyelesaian masalah seseorang. Individu yang mengalami trauma
menunjukkan tanda-tanda penghindaran, dan terganggunya testing
realita.

E. Diagnosis

Kriteria Diagnostik (Menurut DSM-5) Ya Tidak


A. Gangguan Identitas ditandai dengan dua atau lebih keadaan
dengan Tidak kepribadian berbeda.
Melibatkan diskontinuitas atau perubahan mendadak
terhadap persepsinya terhadap diri sendiri dan kendali
diri. (persepsi suara, emosi yang kuat, impuls)
Terjadi perubahan dalam perilaku, kesadaran, memori,
persepsi, kognisi, dan/ atau fungsi motorik sensorik.
Tanda ini dapat diamati oleh orang lain atau dilaporkan
oleh individu iłu sendiri.
B. Kesenjangan berulang dalam mengingat peristiwa sehari-hari.
Seperti informasi pribadi yang pentjng, dan/ atau peristiwa traumatis
yang tidak sejalan dengan lupa biasa.
Amnesia disosiatif berulang.
Adanya gap dalam memori dalam peristiwa kehidupan
pribadi. Misalnya, periode masa kanak-kanak; beberapa
peristiwa penting dalam hidup seperti pernikahan,
pekerjaan, dll)
Kehîlangan memori yang seharusnya dapat diingat.
Misalnya beberapa keterampilan yang ia kuasai
sebelumnya seperti keahlian komputer, membaca,
mengemudi, dll; dan pekerjaan.
Penemuan bukti tindakan atau tugas yang tidak pernah
rnereka lakukan.
Misalnya. menemukan benda asing di dalam tas, terdapat
cedera yang tidak tahu asal-usulnya, atau tiba-tiba ada
disuatu tempat dan melakukan sesuatu.
C. Identitas tersebut menyebabkan distress atau mengganggu secara
klinis dalam bidang sosial, pekerjaan. atau area fungsi penting
lainnya yang signifikan.

D. Gangguan tersebut bukanlah bagian normal dari praktik budaya


atau agama yang diterima secara luas,
Catatan:
Pada anak-anak, gejala dijelaskan seperti mereka bermain imajiner
atau drama fantasi lainnya.
Merasa identitas dirinya diambil atau diambil alih oleh
1. makhluklain seperti roh atau setan sehingga ia bertindak
dengan cara yang sangat berbeda.
E. Gejala tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zati
Misalnya, kehilangan kesadaran atau munculnya perilaku yang kacau
balau selama mabuk alkohol atau kondisi medis lainnya seperti
kejang parsial.

F. Diagnosis banding
o Gangguan Disosiatif tertentu lainnya (Other Specified Dissociative Disorder);
o Gangguan Depresi Mayor (Major Depressive Disorder);
o Gangguan Bipolar (Bipolar Disorders)
o Gangguan Stress Pasca Trauma (Post traumatic Stress Disorder)
o Gangguan Psikotik (Psychotic Disorders);
o Gangguan yang diinduksi Zat/ Obat (Substance/medication-induced Disorder);
o Gangguan Kepribadian (Personality disorders);
o Gangguan Konversi (Conversion Disorder);
o Gangguan Kejang (Seizure Disorders);
o Gangguan Factitious dan Malingering (Factitious Disorder and Malingering).

G. Komorbid
 Pada Anak; perkembangan dari PTSD, depresi, trauma.
 Pada Dewasa; sebagian besar dari berkembangnya PTSD (Rodewald, dkk, dalam
Butcher, Hooley, & Mineka, 2019), depresi, trauma, gangguan stressor, gangguan
kepribadian (terutama kepnbadian ambang) (Maldonado & Spiegel, dalam
Butcher, Hooley, & Mineka, 2018)

H. Intervensi Psikologi Klinis


Tujuan akhir dalam penanganan DID bukanlah individu memiliki satu kepribadian
yang menang atas kepribadian lainnya. Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan
kepribadian yang berbeda menjadi satu kesatuan (Coons & Bowman, dalam Oltmann &
Emery ;2019)
Sering terjadi resistensi cukup besar terhadap proses intervensi. Individu menganggap
disosiasi sebagai pelindung sehingga ia masih mempertahankan alter untuk melindungi
diri. Jika integrasi berhasil, pasien akan mengembangkan kepribadian yang Bersatu
tersebut, meskipun tidak jarang hanya terjadi integrasi parsial. Pada tujuan treatment
sangat pentingu untuk dilihat apakah ada perbaikan gejala pada pasien DID dan fungsi
kehidupannya sehari-hari (Maldonado & Spiegel, dalam Butcher, Hooler, & Mineka,
2018).
1. Psikoterapi
a. Psikodinamika
Biasanya treatment yang diberikan pada pasien Did adalah psikodinamika dan
berorientasi pada insight. Fous pada trauma dan konflik dalam diri yang
menyebabkan gangguan tersebut muncul (Kihlstrom,2005) pada stau Teknik
utama adalah hipnotis. Kebanyakn pasien DID mudah untuk di hipnotis dan
mudah melewati kenangan traumatis sejak masa kanak-kanak yang sering tidak
disadari. Kemudian kenangan ini dapat diproses dan pasien menyadari bahaya
dimasa lalu sudah hilang, karena beberapa dari yang diingat terkadang tidak
akurat (Loftus&Davis, 2006)

Biasanya terapis membangun Kembali hubungan antar isentitas yang selama ini
terpisah. Terapis membantu pasien mengungkap melalui ingatan trauma anak
usia dini. Dalam praktiknya terapis membuat koneksi dan mengubah alter
kepribadian. Wilbur (1986) mencatat kecemasan yag dialami selama sesi dapat
menyebabkan perubahan kepribadian, karena alter yang dikembangkan sebagai
sarana unuk mengatasi kecemasan yang intens. Jika terapis berhasil maka pasien
akan mampu mengatasi kenangan traumatis dan tidak perlu malarikan diri ke
kepribadian alter untuk menghindari kecemasan yang terkait trauma. Dengan
demikian reintegrasi kepribadian memungkinkan untuk terbentuk. Melalui
proses ingtegrasi elemen / alter yang berbeda dapat dijalin menjadi diri yang
kohesif (Nefid, dkk, 2018)

Hipnoterapi seringkali dapat mengurangi impuls dan gejala yang merusak diri
sendiri seperti kilas balik, halusinasi disosiatif dan pengaruh pengalaman pasif.
Mengajari pasien self-hypnosis dapat membantu mengatasi Krisi saat diluar sesi.
Hypnosis dapat berguna untuk mengakses perubahan status kepribadian
tertentu. Hypnosis membuat keadaan mental menjadi lebih rileks. Peistiwa
kehidupan negative dapat dilihaat dari kecemasan yang berlebihan (Sadock,
Sadock & Ruiz, 2015). Terapis harus memiliki keahlian dan komitmen sebagai
professional yang kompeten. Terapis menunjukkan dapat bekerjasama dengan
kepribadian manapun.

b. Terapi Kognitif.
Banyaknya distorsi kognitif terkait dengan DID membuat lambatnya respon
terhadap Teknik terapi ini. Pemikiran negatif akan memperburuk penyesuaian
psikologis dalam kondisi sters. Terapi ini membantu mempelajari berbagai
macam cara yang berbeda dan lebih realistis untuk memproses dan menguji
realita (Nelson-Jones, 2011)
Sebagian besar dari terapi ini biasannya tidak melalui treatment intervensi
jangka Panjang. Mereka diarahkan pada stabilisasi dari berbagai kesulitan
mereka yang terdapat dalam multiaksial dan disfungsi kehidupan sehari-hari.

c. Terapi psikofarmakologi.
Pendekatan farmasi seperti anti-ansietas, anti depresan dan anti-psikotik
kadang-kadang digunaan untuk mengurangi kekacauan akibat perubahan
kepribadian tersebut. Obat anti-depresan seringkali digunakan dalam
pengurangan depresi dan stabilitasi suasana hati.
Doter melaporkan beberapa keberhasilan dengan SSRI, MAO, Antikonvulsan,
dan Benzodiazepin dapat menurangi gejala intrusive, hyperaousal, dan
kecemasan pada pasien gangguan identitas disosiatif. Penelitian terbatu
menunjukkan Mini press dapat membantu menanganani mimpi buruk (Sadock,
Sadock & Ruiz, 2015)
d. Terapi Elektrokonvulsif (ECT)
ECT dapat membantu perbaikan gangguan mood dan tidak memperburuk
masalah memori disosiatif. Pada gangguan yang menunjukkan gambaran klinis
depresi mayor dengan persisten Ketika diberikan ECT terdapat respon positif
pada Sebagian pasien gangguan identitas disosiatif.

e. Terapi Kelompok
Munculnya perubahan kepribadian dapat mengganggu proses terapi kelompok
karena memunculkan perilaku yang menakutkan atau bahkan menjadi daya tarik
bagi pasien lain. Pada terapi ini harus terstruktur, geferensi ada batasan tegas
dan dilakukan dengan hati-hati serta mereka harus fokus pada kondisi "here and
now" masalah coping dan adaptasi.

f. Terapi Keluarga atau Pasangan


Terapi ini sangat penting untuk stabilisasi jangka panjang. Hal ini untuk
mengatasi patologis pada masalah perkawinan dan keluarga. Pasien dengan
gangguan identitas disosiatif biasanya sangat fobia dengan kontak intim pada
periode waktu tertentu.

g. Terapi Ekspresif dan Okupasi


Terapi ini seperti terapi seni dan gerakan, terbukti sangat membantu dalam
pengobatan pasien dengan gangguan identitas disosiatif. Terapi seni dapat
digunakan untuk membantu penanganan gangguan identitas disosiatif yang
parah dan gejala PTSD. Terapi ini memungkinkan pasien mengekspresikan
pikiran, perasaan, gambaran mental dan konflik yang sulit mereka ungkapkan.
Terapi gerakan dapat memfasilitasi normalisasi indra tubuh dan citra tubuh
untuk pasien dengan trauma yang parah. Terapi Okupasi dapat membantu pasien
dengan aktivitas yang terfokus dan terstruktur sehingga dapat memanajemen
gejala.

h. Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR)


EMDR merupakan pengobatan tambahan PTSD. Belum ada studi sistematis
yang dilakukan pada pasien gangguan identitas disosiatif yang menggunakan
EMDR. EMDR dapat digunakan pada fase pengobatan selanjutnya setelah
pasien dalam kondisi stabil.
Belum ada bukti empiris yang mendukung efektivitas terapi untuk pasien DID
(Brand, dkk, 2012). Hal ini memperkuat temuan bahwa belum terdapat
efektivitas treatment medis maupun alternatif untuk gangguan disosiatif
(Oltmanns & Emery, 2019).

Anda mungkin juga menyukai