Anda di halaman 1dari 9

BAB IV

PEMBAHASAN

Menurut Kusumawati & Hartono (2012) halusinasi adalah hilangnya kemampuan


manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia
luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak
ada orang yang berbicara. Pada kasus Tn. T klien memberi stimulus tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata, klien mendengar suara-suara perintah dari pimpinan. Dalam hal ini
klien mengalami halusinasi.
Faktor yang menyebabkan terjadinya halusinasi yaitu faktor predisposisi dan faktor
presipitasi. Menurut Prabowo (2014) faktor predisposisi halusinasi:
1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan pasien terganggu mislnya rendahnya kontrol dan kehangatan
keluarga menyebabkan pasien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi,
hilangnya percaya diri, dan lebih rentan terhadap stress.
2) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima di lingkungannya sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
3) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang
berlebih dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan zat yang dapat
bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan menyebabkan
teraktivasinya neutransmitter otak. Pada kasus nyata Tn. T stress berlebih
mempengaruhi dirinnya
4) Faktor Psikologi
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan pasien dalam
mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Pasien lebih memilih
kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal. Klien tidak
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua skizofrenia
cenderung mengalamai skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga
menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini. Orang tuanya
tidak gila

a. Faktor Presipitasi
1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi
serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak
untuk diinterprestasikan. Klien mengalami gangguan persayarapan pada otaknya
sehingga apabila stimulus yang datang dan ditangkap oleh persyarapan
2) Stress Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stresor lingkungan untuk
menentukan terjadinya gangguan perilaku. Stress karena mertuanya
3) Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menamggapi stress (Prabowo,
2014: 133).
4) Perilaku Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan
tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri, kurang perhatian, tidak
mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan nyata dan tidak. Klien
menerima halusinasinya dan menganggap bahwa halusinasinya itu nyata.
a. Dimensi fisik
Halusianasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang
luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol
dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusianasi itu terjadi, isi dari halusinasi dapat berupa
peritah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah
tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan
tersebut.
c. Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi
akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi
merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun
merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengotrol semua perilaku klien.
d. Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan comforting, klien
menganggap bahwa hidup bersosialisasi dalam nyata sangat membahayakan.
Klien asyik dengan dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk
memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak
didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan kontrol oleh individu
tersebut, sehingga jika perintah halusinasiberupa ancaman, dirinya atau orang lain
individu cenderung keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses
interkasi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta
mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan
lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
e. Dimensi spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas, tidak
bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk
menyucikan diri, irama sirkardiannya terganggu. (Damaiyanti, 2012: 57-58)
Dalam bab ini akan dibahas mengenai kesenjangan yang penulis dapatkan antara konsep dasar
teori dan kasus nyata Tn. T di ruang Bratasena RS dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Pembahasan
yang kelompok lakukan meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi
keperawatan dan evaluasi.

1. Pengkajian
Menurut Craven & Hirnle (dalam Keliat, 2009) pengkajian merupakan
pengumpulan data subyektif dan obyektif secara sistematis untuk menentukan tindakan
keperawatan bagi individu, keluarga, dan komunitas. Pengumpulan data pengkajian
meliputi aspek identitas klien, alasan masuk, faktor predisposisi, fisik, psikososisal dan
lingkungan, pengetahuan, dan aspek medik. Pada kasus nyata Tn. T, pengumpulan data
menggunakan metode wawancara, observasi secara langsung terhadap kemampuan dan
perilaku, serta dari rekam medik (RM) Tn. T. Selain itu perawat ruangan juga berperan
sebagai sumber data yang mendukung dalam memberikan asuhan keperawatan pada Tn.
T. Di saat pengkajian tidak ada anggota keluarga Tn. T yang menjenguknya sehingga,
penulis tidak memperoleh informasi dari pihak keluarga.
Menurut Stuart & Laraia (dalam Ngadiran, 2010) faktor presipitasi pada klien
dengan gangguan halusinasi dapat muncul setelah adanya hubungan yang bermusuhan,
tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa, dan tidak berdaya. Adanya faktor
tekanan tekanan dari bapak yang selalu memukulinya merupakan faktor penyebab Tn. T
masuk ke rumah sakit jiwa.
Menurut Sunardi (2005) faktor predisposisi gangguan halusinasi dapat muncul
sebagai proses panjang yang berhubungan dengan kepribadian seseorang, karena itu
halusinasi dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman psikologis seseorang. Hal ini juga
di alami Tn. T yang memiliki masa lalu yang tidak menyenangkan yaitu sering dipukuli
oleh bapaknya, sehingga Tn. T sering menyendiri. Namun Tn. T tidak memiliki masalah
dengan lingkungan sekitar dia tinggal, hanya di dalam keluarga.
Tanda dan gejala halusinasi menurut Depkes (dalam Ngadiran, 2010) adalah
sebagai berikut : bicara, senyum, dan tertawa sendiri; tidak mampu mandiri dalam mandi,
berpakaian dan berhias dengan rapi; beicara kacau kadang-kadang tidak masuk akal;
sikap curiga dan bermusuhan, ketakutan; tampak bingung; mondar mandir; konsentrasi
kurang; perubahan kemampuan memecahkan masalah, dan menarik diri. Pada kasus
nyata, klien juga dialami oleh Tn. T seperti sering tersenyum sendiri, mondar mandir, Tn.
T mampu mandi secara mandiri tetapi belum rapi dalam berpakaian dan berhias diri, Tn.
T berbicara berbelit-belit tetapi sampai juga pada tujuan pembicaraan. Tn. T merasa sedih
ingin cepat pulang. Tn. T akan merespon dan bereaksi apabila diberi rangsangan dan juga
konsentrasi kurang.
Menurut Keliat (2009) di dalam pengkajian harus dijelaskan jenis dan isi
halusinasi, waktu, frekuensi, dan situasi yang menyebabkan halusinasi, serta respon klien
terhadap halusinasinya. Dalam pengkajian pola fungsional difokuskan pada pola persepsi
pada Tn. T, didapatkan data bahwa Tn. T mengalami halusinasi pendengaran. Tn. T
kadang mendengar suara-suara yang menyuruhnya untuk membunuh bapaknya dan yang
paling sering menginformasikan bahwa bapaknya akan segera mati, suara itu muncul
dimana saja dalam kondisi Sdr. D sedang melakukan apapun tetapi hanya berlangsung
sebentar saja.
Menurut Yosep (2011) pada penderita gangguan jiwa dapat terjadi gangguan isi
pikir antara lain : waham, fobia, keadaan orang lain yang dihubungkan dengan dirinya
sendiri, dan pikiran terpaku pada suatu ide saja. Hal ini ditemukan pada kasus nyata Tn. T
yang mengalami gangguan pikiran yaitu di dalam pikirannya hanya terpaku pada satu ide
saja tanpa berinisiatif mencari ide lain.
Menurut Videbeck (2008) penilaian pada klien gangguan halusinasi sering kali
terganggu. Klien keliru menginterpretasikan lingkungan, sehingga klien tidak dapat
memenuhi kebutuhannya sendiri akan keamanan, perlindungan, dan menempatkan
dirinya dalam keadaan bahaya. Hal ini juga dialami Tn. T yang mengalami gangguan
memutuskan untuk mengambil keputusan secara mandiri perlu arahan dari perawat untuk
mengambil keputusan sederhana secara mandiri.

2. Diagnosa keperawatan
Menurut Videbeck (dalam Nurjannah, 2005) menyatakan bahwa diagnosa
keperawatan berbeda dari diagnosa psikiatrik medis di mana diagnosa keperawatan
adalah respon klien terhadap masalah medis atau bagaimana masalah mempengaruhi
fungsi klien sehari-hari yang merupakan perhatian utama diagnosa keperawatan.
Menurut Kusumawati & Yudi (2010) pada pohon masalah dijelaskan bahwa
gangguan isolasi sosial : menarik diri merupakan etiologi, gangguan persepsi sensori :
halusinasi merupakan core problem atau masalah utama sedangkan resiko perilaku
kekerasan merupakan akibat. Pada kasus nyata Tn. T, analisa data kelompok lebih
memprioritaskan diagnosa keperawatan gangguan persepsi sensori halusinasi
pendengaran.
Menurut NANDA (2009-2011) pada diagnosa gangguan persepsi halusinasi
memiliki batasan karakteristik: perubahan dalam perilaku, perubahan dalam menejemen
koping, disorientasi, konsentrasi buruk, gelisah, dan distorsi sensori seperti bicara sendiri,
tertawa sendiri mendengar suara yang tidak nyata, dan mondar-mandir. Data yang
memperkuat penulis mengangkat diagnosa gangguan persepsi sensori: Halusinasi
pendengaran yaitu data subyektif yang diperoleh dari Tn. T yaitu klien mengatakan
sering mendengar suara-suara yang selalu membisikinya dan tidak tau dari mana
sedangkan data obyektif yang didapatkan klien sering bicara sendiri, komat kamit,
mondar-mandir, dan menyendiri.

3. Intervensi Keperawatan
Menurut Ali (dalam Nurjanah, 2005) rencana tindakan keperawatan merupakan
serangkaian tindakan yang dapat mencapai setiap tujuan khusus. Perencanaan
keperawatan meliputi perumusan tujuan, tindakan, dan penilaian asuhan keperawatan
pada klien berdasarkan analisis pengkajian agar masalah kesehatan dan keperawatan
klien dapat diatasi.
Rencana keperawatan yang kelompok lakukan sama dengan landasan teori,
karena rencana tindakan keperawatan tersebut telah sesuai dengan SOP (Standard
Operational Procedure) yang telah ditetapkan. Pada kasus, kelompok juga
mencantumkan alasan ilmiah atau rasional di setiap tindakan keperawatan, yaitu menurut
Kusumawati & Yudi (2010) tujuan umum berfokus pada penyelesaian penyebab dari
diagnosis keperawatan. Tujuan khusus merupakan rumusan kemampuan klien yang perlu
dicapai atau dimiliki. Kemampuan ini dapat bervariasi sesuai dengan masalah dan
kebutuhan klien. Kemampuan pada tujuan khusus terdiri atas tiga aspek yaitu:
kemampuan kognitif, psikomotorik, afektif yang perlu dimiliki klien untuk
menyelesaikan masalahnya.
Menurut Rasmun (2009) tujuan umum gangguan persepsi sensori halusinasi
pendengaran yaitu agar klien dapat mengontrol halusinasi yang dialaminya. Ada lima
tujuan khusus gangguan halusinsasi, antara lain: tujuan khusus pertama, klien dapat
membina hubungan saling percaya. Rasional dari tindakan yang dilakukan yaitu
hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi terapeutikantara perawat dan klien.
Tujuan khusus kedua, klien dapat mengenal halusinasinya dari situasi yang menimbulkan
halusinasi, isi, waktu, frekuensi halusinasi, dan respon klien terhadap halusinasinya.
Rasional dari tujuan kedua adalah peran serta aktif klien sangat menentukan
efektifitasntindakan keperawatan yang dilakukan.
Menurut Rasmun tujuan khusus yang ketiga adalah klien dapat melatih
mengontrol halusinasinya, dengan berlatih menghardik halusinasi, bercakap-cakap
dengan orang lain, dan mengalihkan halusinasinya dengan beraktivitas secara terjadwal.
Rasionalnya adalah tindakan yang biasa dilakukan klien merupakan upaya untuk
mengatasi halusinasinya. Tujuan khusus yang keempat klien dapat dukungan keluarga
dalam mengontrol halusinasinya dengan rasional keluarga mampu merawat klien dengan
halusinasi saat berada dirumah. Tujuan khusus yang kelima, klien dapat memanfaatkan
obat untuk mengontrol halusinasinya dengan rasionalnya yaitu dapat meningkatkan
pengetahuan dan motivasi klien untuk minum obat secara teratur. Hal tersebut juga
direncanakan pada klien Tn. T dengan tujuan umum untuk mengontrol halusinasinya dan
lima tujuan khusus halusinasi yang telah diuraikan di atas. Setiap akhir tindakan strategi
pelaksanaan dapat diberikan reinforcement positif yang rasionalnya untuk memberikan
penghargaan atas keberhasilan Tn. T dalam mengikuti pengobatan.
Reinforcement positif adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi
respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung atau rewarding.
Bentuk bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah seperti permen, kado, atau
makanan, perilaku seperti senyum, menganggukan kepala untuk menyetujuai, bertepuk
tangan, mengacungkan jempol, atau penghargaan (Ngadiran, 2010). Reinforcement
memiliki power atau kemampuan yang menginginkan tindakan yang diberi reinforcement
positif akan dilakukan secara berulang oleh pelaku tindakan tanpa adanya paksaan yaitu
dengan kesadaran pelaku tindakan itu sendiri (Ngadiran,2010). Hal ini sesuai dengan
intervensi yang dilakukan kelompok yaitu memberikan reinforcement positif ketika Tn. T
melakukan setiap strategi pelaksanaan dengan baik.

4. Intervensi Keperawatan
Menurut Effendy (dalam Nurjanah, 2005) implementasi adalah pengelolaan dan
perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Jenis
tindakan pada implementasi ini terdiri dari tindakan mandiri (independent), saling
ketergantungan atau kolaborasi (interdependent), dan tindakan rujukan atau
ketergantungan (dependent). Penulis dalam melakukan implementasi menggunakan jenis
tindakan mandiri dan saling ketergantungan.
Pada kasus nyata, implementasi yang dilaksanakan antara lain: pada tanggal 8
Mei 2018 pukul 09.00 WIB, dilakukan strategi pelaksanaan 1 yaitu membina hubungan
saling percaya, membantu mengenal halusinasi pada Tn. T, dan melatih untuk
menghardik. Tanggal 8 Mei 2018 pukul 11.00 WIB menjelaskan cara mengontrol
halusinasi, dan mengajar cara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik dengan
menutup telinga. Tn. T dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinsai yang muncul
atau tidak mengikuti halusinasi yang muncul dengan menutup telinganya dan membaca
doa-doa. Mungkin halusinasi tetap ada, tetapi dengan kemampuan ini, Tn. T tidak akan
larut dalam halusinasinya. Kemudian memberikan reinforcement positif apabila Tn. T
berhasil mempraktekan cara menghardik halusinasi yang diajarkan.
Responnya, Tn. T mampu mengenal halusinsainya dan mau menggunakan cara
menghardik saat halusinasi muncul.

5. Evaluasi
Menurut Kurniawati (dalam Nurjanah, 2005) evaluasi adalah proses berkelanjutan
untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dibagi dua, yaitu
evaluasi proses atau formatif yang dilakukan setiap seslesai melaksanakan tindakan,
evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara respon klien
dan tujuan khusus serta umum yang telah ditentukan. Pada kasus ini kelompok hanya
menggunakan evaluasi sumatif. Pada tanggal 9 Mei 2018 pukul 11.00 WIB, Tn. T masih
mengingat perawat, mengerti bahwa suara yang sering didengarnya itu hanya suara palsu
dan tidak nyata hanya halusinasinya saja, serta mampu melakukan cara mengontrol
halusinasi dengan cara menghardik: menutup telinga dan sambil berdoa, sehingga dapat
dianalisis bahwa masalah teratasi.
Evaluasi sudah dilakukan sesuai keadaan klien dan kekurangannya kami tidak
mengajarkan cara mengontrol halusinasi selain menghardik, karena hanya mengutamakan
cara mengontrol halusininasi dengan cara menghardik: menutup telinga serta
menginformasikan kepada perawat yang sedang berjaga bahwa cara mengontrol
halusinasi dengan cara menghardik; menutup telinga dapat menurunkan frekuensi
kemunculan halusinasi yang diderita klien.

Anda mungkin juga menyukai