Anda di halaman 1dari 35

Studi Kasus: Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn.

S Dengan
Masalah Halusinasi Pendengaran

Yohana Oktamia Purba


Yohanaoktamiapurba@gmail.com

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan kesehatan jiwa secara garis besar dibedakan menjadi dua yaitu orang dengan
masalah kejiwaan (ODMK) orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Menurut UU Nomor
18 pasal 1 & 3 Tahun 2014 Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat
berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut
menyadari kemampuan diri sendiri, dapat mengatasi tekanan, bekerja secara produktif
serta mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya (UU Kesehatan Jiwa, 2014).

Angka Prevalensi gangguan jiwa di Indonesia berdasarkan data Kemenkes (2018),


Provinsi Bali menempati urutan pertama dengan prevalensi 11,1%, disusul oleh Provinsi
DI Yogyakarta dengan prevalensi 10,4%, dan peringkat ketiga disusul oleh Provinsi NTB
dengan prevalensi 9,6% dan posisi ke empat di susul oleh Provinsi Sumatra Barat dengan
prevalensi 9,1% dan untuk Provinsi Sumatra Utara pada peringkat 21 dengan privalensi
6,3% (Riskesdas, 2018). Gangguan jiwa ataupun skizofrenai lebih dominan masalahnya
halusinasi.

Skizofrenia adalah suatu gangguan proses pikir yang menyebabkan keretakan dan
perpecahan antara emosi dan psikomotor disertai distorsi kenyataan dalam bentuk psikosa
fungsional. Halusinasi adalah suatu persepsi klien terhadap stimulus dari luar tanpa
adanya obyek yang nyata (Muhith, 2015). Akibatnya klien dengan halusinasi
(pendengaran) sering tertawa sendiri, berbicara sendiri bahkan bisa melakukan hal-hal
yang dapat membahayakan dirinya sendiri. Maka dari itu diperlukan penanganan
halusinasi yang tepat, salah-satunya penanganan yang dilakukan adalah pemberian terapi,
terapi yang diberikan bisa dalam bentuk terapi farmakologi, terapi somatis dan terapi
kognitif (cognitive therapy). Melalui terapi kognitif individu diajarkan / dilatih untuk
mengontrol distorsi pikiran / gagasan / ide dengan benar-benar mempertimbangkan faktor
dalam berkembangnya dan menetapnya gangguan mood.

Halusinasi merupakan gejala yang sering muncul pada penderita gangguan jiwa dan
memiliki kaitan erat dengan early psychosis akibat trauma pada masa kanak-kanak.
Halusinasi biasanya muncul pada pasien pad a gangguan jiwa diakibatkan terjadinya
perubahan orientasi realita, pasien merasakn stimulus yang sebetulnya tidak ada
(Erviana&Hargiana, 2018). Survey awal yang dilakukan di Yayasan Pemenang Jiwa
berjumlah 70 orang tetapi dalam pembuatan askep ini subjek hanya satu orang yaitu Ny.Y
karna pasien masih belum bisa mengatasi emosinya bila mendengar suara suara yang
mengganggunya selain dia harus minum obat.

Peran perawat jiwa dalam menjalankan perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan
memerlukan suatu perangkat instruksi atau langkah – langkah kegiatan yang dibakukan.
Hal ini bertujuan agar penyelenggaraan pelayanan keperawatan memenuhi standar
pelayanan. Salah satu jenis SOP yang di gunakan adalah SOP tentang strategi pelaksaan
(SP) tindakan keperawatan pada pasien. SP tindakan keperawatan merupakan standar
model pendekatan asuhan keperawatan untuk klien dengan gangguan jiwa yang salah
satunya adalah pasien yang mengalami masalah utama halusinasi (Keliat, 2016).

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan secara holistik dan komprehensif
kepada Tn. S dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada Tn. S dengan gangguan persepsi
sensori : halusinasi pendengaran.
2. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa keperawatan yang ada pada Tn. S dengan
gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
3. Mahasiswa mampu menetapkan perencanaan keperawatan pada Tn. S dengan
gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
4. Mahasiswa mampu melakukan implementasi keperawatan pada Tn. S dengan
gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
5. Mahasiswa mampu mengevaluasi hasil asuhan keperawatan pada Tn. S dengan
gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
6. Mendokumentasikan asuhan keperawatan yang diberikan pada Tn. S dengan
gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
` BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Halusinasi


2.1.2 Pengertian
Halusinasi merupakan persepsi yang diterima oleh panca indera tanpa adanya
stimulus eksternal. Klien dengan halusinasi sering merasakan keadaan/kondisi
yang hanya dapat dirasakan olehnya namun tidak dapat dirasakan oleh orang
lai. Halusinasi adalah merupakan distorsi persepsi palsu yang terjadi pada
respon neurobiologist maladaptive, penderita sebenarnya mengalami distorsi
sensori sebagai hal yang nyata dan meresponnya. Isi suara-suara tersebut
mengancam dan menghina, sering kali suara tersebut memerintah klien untuk
melakukan tindakan yang akan melukai klien atau orang lain (Yati, 2020).

2.1.3 Etiologi

Faktor predisposisi klien halusinasi menurut (Oktiviani, 2020) :


1. Faktor Predisposisi
a. Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri.
b. sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungan sejak bayi akan merasa

disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungan.

c. Biologis
Faktor biologis Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogen neurokimia.Akibat stress
berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
d. Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adikitif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien
dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya, klien lebih
memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.
e. Sosial Budaya
Meliputi klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan comforting,
klien meganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membahayakan. Klien asyik dengan Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan
tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan
harga diri yang tidak didapatkan dakam dunia nyata.
1. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh individu
sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra
untuk menghadapinya. Seperti adanya rangsangan dari lingkungan, misalnya
partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak komunikasi, objek
yang ada di lingkungan dan juga suasana sepi atau terisolasi, sering menjadi
pencetus terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat meningkatkan stress dan
kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
Penyebab Halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi (Oktiviani, 2020) yaitu :
a. Dimensi fisik: Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaaan obat-obatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b. Dimensi Emosional: Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak
sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut
klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
c. Dimensi Intelektual: Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa
individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi
ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien
dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
d. Dimensi Sosial: Klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien meganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membahayakan. Klien asyik dengan Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan
tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan
harga diri yang tidak didapatkan dakam dunia nyata.
e. Dimensi Spiritual: Secara sepiritual klien Halusinasi mulai dengan kehampaan
hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan jarang
berupaya secara sepiritual untuk menyucikan diri. Saat bangun tidur klien
merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Individu sering memaki takdir
tetapi lemah dalam upaya menjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan
orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.

2.1.4 Klasifikasi Halusinasi


Menurut Yusuf (2015) klasifikasi halusinasi dibagi menjadi 5 yaitu :
No Jenis Data Objektif Data Subjektif
halusinasi
1 Halusinasi 1. Bicara atau 1. Mendengar suara
Pendengaran tertawa sendiri atau kegaduhan
tanpa lawan 2. Mendengar suara
bicara yang mengajak
2. Marah-marah bercakap-cakap
tanpa sebab 3. Mendengar suara
mencondongkan yang menyuruh
telinga ke arah melakukan sesuatu
tertentu yang berbahaya
3. Menutup telinga
2 Halusinasi 1. Menunjuk- 1. Melihat bayangan,
penglihatan nunjuk ke arah sinar, bentuk
tertentu geometris, bentuk
2. Ketakutan pada kartun, melihat
objek yang tidak hantu atau monster
jelas
3 Halusinasi 1. Menghindu 1. Membaui bau-bauan
penghindu seperti sedang seperti bau darah,
membaui bau- urine, feses,
bauan tertentu 2. kadang-kadang bau
2. Menutup hidung itu menyenangkan
4 Halusinasi 1. Sering meludah 1. Merasakan rasa
pengecepan 2. Muntah seperti darah, urine,
feses
5 Halusinasi Menggaruk-garuk 1. Mengatakan ada
perabaan permukaan kulit serangga di
permukaan kulit
2. Merasa seperti
tersengat listrik

2.1.5 Rentang Respon Neurobiologi


Rentang respon neurobiologis (Feri & Kusuma, 2020).
Pikiran logis Pikiran terkadang Kelainan pikiran
menyimpang
Persepsi akurat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten Emosional Tidak mampu
berlebihan/dengan mengontrol emosi
pengalaman kurang
Perilaku sosial Perilaku ganjil Ketidakteraturan
Hubungan sosial Menarik diri Isolasi sosial

1. Respon Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial budaya
yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut, respon
adaptif:
a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman.
d. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran.
e. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan.

2. Respon Psikososial
Respon psikosial meliputi:
a. Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan.
b. Ilusi adalah interpretasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang
benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera.
c. Emosi berlebihan atau berkurang.
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran.
e. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindar interaksi dengan orang
lain.

3. Respon Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan, adapun respon
maladaptif meliputi:
a. Kelainan pikiran adalah keyakianan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertetangan dengan kenyataan
sosial.
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal
yang tidak realita atau tidak ada.
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.
e. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan
yang negatif mengancam.
2.1.6 Fase Halusinasi
1. Halusinasi terbagi atas 4 fase yaitu:
Berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan kemampuan klien
mengendalikan dirinya. Semakin berat fase halusinasi, klien semakin berat
mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya (Pardede et al,
2021).

a. Fase Pertama/comforting/menyenangkan
Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah, kesepian.
Klien mungkin melamun atau memfokukan pikiran pada hal yang
menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan dan stress. Cara ini menolong
untuk sementara. Klien masih mampu mengotrol kesadarnnya dan mengenal
pikirannya, namun intensitas persepsi meningkat.

perilaku klien : tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibir
tanpa bersuara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang
asyik dengan halusinasinya dan suka menyendiri.

b. Fase Kedua/comdemming
Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan
eksternal, klien berada pada tingkat “listening” pada halusinasi. Pemikiran
internal menjadi menonjol, gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat berupa
bisikan yang tidak jelas klien takut apabila orang lain mendengar dan klien
merasa tak mampu mengontrolnya. Klien membuat jarak antara dirinya dan
halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang
lain. Perilaku klien : meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom seperti
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Klien asyik dengan
halusinasinya dan tidak bisa membedakan dengan realitas.

c. Fase Ketiga/controlling
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi terbiasa
dan tak berdaya pada halusinasinya. Termasuk dalam gangguan psikotik.
Karakteristik : bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai
dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap
halusinasinya. Perilaku klien : kemauan dikendalikan halusinasi, rentang
perhatian hanya beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien
berkeringat, tremor dan tidak mampu mematuhi perintah.

d. Fase Keempat conquering/panik


Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol
halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi
mengancam, memerintah dan memarahi klien tidak dapat berhubungan
dengan orang lain karena terlalu sibuk dengan halusinasinya klien berada
dalam dunia yang menakutkan dalam waktu singkat, beberapa jam atau
selamanya. Proses ini menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.
Perilaku klien : perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku
kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu merespon
terhadap perintah kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

2.1.7 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan masalah utama gangguan
sensori persepsi: halusinasi, antara lain: resiko prilaku kekerasan, isolasi social,
harga diri rendah, dan defisit perawatan diri.

2.1.8 Penatalaksanaan Medis


Halusinasi merupakan salah satu gejala yang paling sering terjadi pada
gangguan Skizofrenia. Dimana Skizofrenia merupakan jenis psikosis, adapun
tindakan penatalaksanaan dilakukan dengan berbagai terapi yaitu dengan:

1. Psikofarmakologis
Obat sangat penting dalam pengobatan skizofrenia, karena obat dapat
membantu pasien skizofrenia untuk meminimalkan gejala perilaku
kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah. Sehingga pasien skizofrenia
harus patuh minum obat secara teratur dan mau mengikuti perawatan
(Pardede, Keliat, Wardani, 2013)
a. Haloperidol (HLD)
Obat yang dianggap sangat efektif dalam pengelolaan hiperaktivitas,
gelisah, agresif, waham, dan halusinasi.
b. Chlorpromazine (CPZ)
Obat yang digunakan untuk gangguan psikosis yang terkait skizofrenia
dan gangguan perilaku yang tidak terkontrol
c. Trihexilpenidyl (THP)
Obat yang digunakan untuk mengobati semua jenis parkinson dan
pengendalian gejala ekstrapiramidal akibat terapi obat.

1) Dosis
- Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular.
- Clorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap 6-8 jam
sampai keadaan akut teratasi.

2) Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet:


- Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari.
- Klorpromazin 2x100 mg per hari
- Triheksifenidil 2x2 mg per hari

3) Dalam keadaan fase kronis diberikan tablet:


- Haloperidol 2x0,5 – 1 mg perhari
- Klorpromazin 1x50 mg sehari (malam)
- Triheksifenidil 1-2x2 mg sehari
- Psikosomatik

Terapi kejang listrik (Electro Compulsive Therapy), yaitu suatu terapi fisik
atau suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal secara artifisial
dengan melewatkan aliran listrik melalui elektroda yang dipasang pada satu
atau dua temples pada pelipis. Jumlah tindakan yang dilakukan merupakan
rangkaian yang bervariasi pada setiap pasien tergantung pada masalah pasien
dan respon terapeutik sesuai hasil pengkajian selama tindakan. Pada pasien
Skizofrenia biasanya diberikan 30 kali. ECT biasanya diberikan 3 kali
seminggu walaupun biasanya diberikan jarang atau lebih sering. Indikasi
penggunaan obat: penyakit depresi berat yang tidak berespon terhadap obat,
gangguan bipolar di mana pasien sudah tidak berespon lagi terhadap obat dan
pasien dengan bunuh diri akut yang sudah lama tidak mendapatkan
pertolongan.

2. Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang relatif lama, juga merupakan bagian penting dalam
proses terapeutik. Upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa
aman dan tenang, menciptakan lingkungan terapeutik, memotivasi klien untuk
dapat mengungkapkan perasaan secara verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur
terhadap klien.

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

2.2.2 Pengkajian Keperawatan


Menurut Keliat (2014). Bahwa faktor-faktor terjadinya halusinasi meliputi:
1. Faktor predisposisi
a. Faktor biologis
Pada keluarga yang melibatkan anak kembar dan anak yang diadopsi
menunjukkan peran genetik pada schizophrenia.Kembar identik yang dibesarkan
secara terpisah mempunyai angka kejadian schizophrenia lebih tinggi dari pada
saudara sekandung yang dibesarkan secara terpisah.
b. Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis akan mengakibatkan stress dan
kecemasan yang berakhir dengan gangguan orientasi realita.
c. Faktor sosial budaya
Stress yang menumpuk awitan schizophrenia dan gangguan psikotik lain, tetapi
tidak diyakini sebagai penyebab utama gangguan.

2. Faktor presipitasi
a. Biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan respon neurobiologis maladaptif
adalah gangguan dalam komunikasi dan putaran umpan balik otak dan
abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak, yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus.

b. Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stres yang ditentukan secara biologis berinteraksi
dengan stresor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan prilaku.

c. Stres sosial/budaya
Stres dan kecemasan akan meningkat apabila terjadi penurunan stabilitas
keluarga, terpisahnya dengan orang terpenting atau disingkirkan dari
kelompok.

d. Faktor psikologik
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai terbatasnya
kemampuan mengatasi masalah dapat menimbulkan perkembangan gangguan
sensori persepsi halusinasi.

e. Mekanisme koping
perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi pasien dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respons neurobiologis maladaptif meliputi
: regresi, berhunbungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
mengatasi ansietas, yang menyisakan sedikit energi untuk aktivitas sehari-
hari. Proyeksi, sebagai upaya untuk menejlaskan kerancuan persepsi dan
menarik diri.

f. Sumber koping
sumber koping individual harus dikaji dengan pemahaman tentang pengaruh
gangguan otak pada perilaku. Orang tua harus secara aktif mendidik anak–anak
dan dewasa muda tentang keterampilan koping karena mereka biasanya tidak
hanya belajar dari pengamatan. Disumber keluarga dapat pengetahuan tentang
penyakit, finensial yang cukup, faktor ketersediaan waktu dan tenaga serta
kemampuan untuk memberikan dukungan secara berkesinambungan.
g. Perilaku halusinasi
batasan karakteristik halusinasi yaitu bicara teratawa sendiri, bersikap seperti
memdengar sesuatu, berhenti bicara ditengah – tengah kalimat untuk
mendengar sesuatu, disorientasi, pembicaraan kacau dan merusak diri sendiri,
orang lain serta lingkungan.

2.2.3 Diagnosa Keperawatan


Menurut NANDA 2015-2017 yakni gangguan persepsi. Dengan faktor
berhubungan dan batasan karakteristik disesuaikan dengan keadaan yang
ditemukan pada tiap-tiap partisipan. Topik yang diteliti yakni kemampuan
mengontrol halusinasi dengar (Aji, 2019).

2.2.4 Intervensi Keperawatan


Tindakan keperawatan yang diberikan pada klien tidak hanya berfokus pada
masalah halusinasi sebagai diagnosa penyerta lain. Hal ini dikarenakan
tindakan yang dilakukan saling berkontribusi terhadap tujuan akhir yang akan
dicapai. Rencana tindakan keperawatan pada klien dengan diagnose gangguan
persepsi sensori halusinasi meliputi pemberian tindakan keperawatan berupa
terapi generalis individu yaitu (Kanine, 2014).
1. Melatih mengontrol halusinasi dengan cara menghardik,
2. Patuh minum obat secara teratur.
3. Melatih bercakap-cakap dengan orang lain,
4. Menyusun jadwal kegiatan dan dengan aktifitas
5. Terapi kelompok terkait terapi aktifitas kelompok stimulasi persepsi
halusinasi.

Rencana tindakan pada keluarga (Keliat, dkk 2014) adalah


1. Diskusikan masalah yang dihadap keluarga dalam merawat pasien
2. Berikan penjelasan meliputi : pengertian halusinasi, proses terjadinya
halusinasi, jenis halusinasi yang dialami, tanda dan gejala halusinasi, proses
terjadinya halusinasi.
3. Jelaskan dan latih cara merawat anggota keluarga yang mengalami
halusinasi : menghardik, minum obat, bercakap-cakap, melakukan aktivitas.
4. Diskusikan cara menciptakan lingkungan yang dapat mencegah terjadinya
halusinasi.
5. Diskusikan tanda dan gejala kekambuhan
6. Diskusikan pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan terdekat untuk follow
up anggota keluarga dengan halusinasi.

2.2.5 Implementasi Keperawatan

Implementasi disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Pada situasi


nyata sering pelaksanaan jauh berbeda dengan rencana, hal ini terjadi karena
perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan
tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang
sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat apakah
rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan klien sesuai dengan kondisinya
(here and now). Perawat juga menilai diri sendiri, apakah kemampuan
interpersonal, intelektual, tekhnikal sesuai dengan tindakan yang akan
dilaksanakan, dinilai kembali apakah aman bagi klien. Setelah semuanya tidak
ada hambatan maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan.Adapun
pelaksanaan tindakan keperawatan jiwa dilakukan berdasarkan Strategi
Pelaksanaan (SP) yang sesuai dengan masing-masing masalah utama. Pada
masalah gangguan sensori persepsi: halusinasi pendengaran, terdapat 2 jenis
SP, yaitu SP Klien dan SP Keluarga.

SP klien terbagi menjadi SP 1 (membina hubungan saling percaya,


mengidentifikasi halusinasi “jenis, isi, waktu, frekuensi, situasi, perasaan dan
respon halusinasi”, mengajarkan cara menghardik, memasukan cara
menghardik ke dalam jadwal; SP 2 (mengevaluasi SP 1, mengajarkan cara
minum obat secara teratur, memasukan ke dalam jadwal); SP 3 (mengevaluasi
SP 1 dan SP 2, menganjurkan klien untuk mencari teman bicara); SP 4
(mengevaluasi SP 1, SP 2, dan SP 3, melakukan kegiatan terjadwal).
SP keluarga terbagi menjadi SP 1 (membina hubungan saling percaya,
mendiskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien,
menjelaskan pengertian, tanda dan gejala helusinasi, jenis halusinasi yang
dialami klien beserta proses terjadinya, menjelaskan cara merawat pasien
halusinasi); SP 2 (melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien dengan
halusinasi, melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien
halusinasi); SP 3 (membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planing), menjelaskan follow up pasien
setelah pulang).

Pada saat akan dilaksanakan tindakan keperawatan maka kontrak dengan klien
dilaksanakan dengan menjelaskan apa yang akan dikerjakan dan peran serta
klien yang diharapkan, dokumentasikan semua tindakan yang telah
dilaksanakan serta respon klien.

2.2.6 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien
terhadap tindakan yang telah dilaksanakan, evaluasi dapat dibagi dua jenis
yaitu: evaluasi proses atau formatif dilakukan selesai melaksanakan tindakan.
respon Evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan membandingkan klien
pada tujuan umum dan tujuan khusus yang telah ditentukan.

Evaluasi keperawatan yang diharapkan pada pasien dengan gangguan sensori


persepsi: halusinasi pendengaran adalah: tidak terjadi perilaku kekerasan, klien
dapat membina hubungan saling percaya, klien dapat mengenal halusinasinya,
klien dapat mengontrol halusinasinya, klien mendapatkan dukungan dari
keluarga dalam mengontrol halusinasinya, klien dapat menggunakan obat
dengan baik dan benar.
BAB 3
TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Klien


Inisial : Tn. S
Ruang rawat : Yayasan pemenang jiwa sumatera utara
Tanggal pengkajian : 19 februari 2021
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 18 Tahun
Agama : Kristen
Status : Belum Menikah
Informent : Klien dan pengawas di yayasan pemenang jiwa

3.2 Alasan Masuk


Alasan klien masuk di yayasan pemenang jiwa adalah karena klien sering marah-
marah, dan Mendengar Suara-suara yang menyuruhnya untuk memukul dan
marah-marah pada setiap orang yang dijumpainya.

3.3 Faktor Predisposisi


Dirumah klien tidak rutin minum obat, tidak mau kontrol ke RSJ sehingga timbul
gejala-gejala seperti diatas, klien sering marah-marah dan memukul orangtua nya
hingga mengalami cidera,hingga akhirnya keluarga membawa klien ke Yayasan
pemenang jiwa Sumatera Utara pada tanggal 20 November 2020. Keluarga klien
tidak ada yang pernah mengalami gangguan jiwa.
Masalah Keperawatan: Halusinasi Pendengaran
Regiment individu Terapeutikinefektif

3.4 Fisik
Klien memiliki keluhan fisik, gatal-gatal dibagian kaki dan tangan, sakit kepala,
dan saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, didapatkan hasil TD : 110/80
mmHg ; N : 80x/i ; S : 36,5oC ; P : 22x/i. Klien memiliki tinggi badan 168 cm dan
berat badan 65 Kg.

3.5 Psikososial
3.5.1 Genogram

Penjelasan :
Klien merupakan anak Tunggal. Klien belum pernah menikah.

Keterangan :

: Laki-laki

: Perempuan

: Klien

---- : Tinggal dalam satu rumah

: meninggal

3.5.2 Konsep diri


a. Gambaran diri : Klien menyukai seluruh
tubuhnya dan tidak ada yang cacat
b. Identitas diri : Klien anak Tunggal, klien hanya lulusan SMA
yang saat ini tidak memiliki pekerjaan
c. Peran diri : Klien berperan sebagai anak dikeluarga, klien
tinggal bersama Orang tua nya
d. Ideal diri : Klien merasa malu karena klien dirawat di
yayasan pemenang jiwa sumatera dan ingin cepat pulang ke rumah.
e. Harga diri : Klien mengatakan merasa malu berada di rumah
sakit jiwa dan merasa bosan.

3.5.3 Hubungan sosial


Klien mengatakan mempunyai hambatan dalam berhubungan dengan
orang lain karena klien sulit bergaul dan selalu ingin menyendiri.

3.5.4 Spiritual
a. Nilai dan Keyakinan : Klien beragama Kristen
dan yakin dengan agamanya.
b. Kegiatan Ibadah : Klien ikut
melakukan ibadah selama dirawat.

3.5.5 Status Mental


1. Penampilan pasien rapi seperti berpakaian biasa pada umumny
2. Pembicaraan
Klien bicara dengan lambat.
3. Aktivitas Motorik
Klien mengatakan bisa melakukan aktivitas sehari – hari.
4. Suasana perasaan
klien tidak mampu mengepresikan perasaan nya pada saat
mendengarkan suara – suara.
5. Afek
Penjelasan :efek wajah sesuai dengan topik pembicaraan
6. Interaksi selama wawancara
Penjelasan :Klien kooperatif saat wawancara
7. Persepsi
Penjelasan :Klien mengatakan bahwa ia mendengar ada suara-suara
Masalah keperawatan : Gangguan persepsi sensori : halusinasi
8. Proses Pikir
Penjelasan : Klien mampu menjawab apa yang ditanya dengan
9. Isi pikir
Penjelasan :Klien dapat mengontrol isi pikirnya,klien tidak mengalami
gangguan isi pikir dan tidak ada waham. Klien tidak mengalami
fobia, obsesi ataupun depersonalisasi.
10. Tingkat kesadaran
Penjelasan :Klien tidak mengalami gangguan orientasi, klien
mengenali waktu, orang dan tempat.
11. Memori
Penjelasan :Klien mampu menceritakan kejadian di masa lalu dan
yang baru terjadi.
12. Tingkat konsentrasi berhitung
Penjelasan: Klien mampu berkonsentrasi dalam perhitungan
sederhana tanpa bantuan orang lain.
13. Kemampuan penilaian
Penjelasan : Klien dapat membedakan hal yang baik dan yang buruk
(mampu melakukan penilaian)
14. Daya tilik diri
Penjelasan: Klien tidak mengingkari penyakit yang diderita, klien
mengetahui bahwa dia sedang sakit dan dirawat di rumah sakit jiwa.

3.6 Mekanisme Koping


Klien mengalami mekanisme koping adaptif yaitu klien dapat berbicara baik
dengan orang lain.

3.7 Masalah Psikososial dan Lingkungan


Klien mengatakan banyak berteman dan mudah bergaul

3.8 Pengetahuan Kurang Tentang Gangguan Jiwa


Klien mengetahui tentang gangguan jiwa yang di alaminya dan obat yang
dikonsumsinya.

3.9 Aspek Medik


Diagnosa medis : Skizofrenia Paranoid
Terapi medis yang diberikan:
a. Resperidon tablet 2 mg 2x1
b. Chlozapine tablet 25 mg 1x1

3.9 Analisis Data


No Data Masalah keperawatan

1 Ds Gang
- Klien merasa tidak Gangguan konsep diri : harga diri rendah
berguna karena tidak kronis
dapat membantu
keluarga
- Klien merasa minder
karena penyakit yang
di alaminya
- Klien sedih berada di
yayasan pemenang
jiwa
Do :
- Klien tampak murung
- Lebih banyak diam
- Nada bicara pelan
2 D GanG
- Keluarga klien Gangguan persepsi sensori : halusinasi
mengatakan bahwa pendengaran
klien sering berteriak
- Klien sering
mendengarkan suara –
suara tampa wajah
yang menyuruhnya
untuk selalu ibadah
- Klien mengatakan suara
– suara tersebut
muncul 3 kali / hari,
muncul pada saat klien
sedang menyendiri
- Klien merasa gelisah
dan takut jika
mendengar suara
tersebut
Do :
- Klien sering marah –
marah, mondar –
mandir, bicara sendiri,
bicara ngawur, sering
senyum – senyum
sendiri
3 Ds : Resiko Perilaku Kekerasan
Klien mengatakan
mendengar suara suara
yang menyuruhnya
memukul orang lain dan
membunuh orang lain

Do :
Klien tampak memandang
orang lain dengan gelisah

3.9 Diagnosa keperawatan


Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran
Gangguan Konsep diri: Harga Diri Rendah
Perilaku Kekerasan: Resiko Perilaku Kekerasan
3.9.1 Pohon Masalah

Perilaku Kekerasan : Resiko Perilaku


Kekerasan

Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi

Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

3.9.2 Prioritas Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan persepsi Sensorik : Halusinasi pendengaran

3.9.3 Intervensi Keperawatan


No Diagnosa Intervensi
1. Gangguan Persepsi Sensori : SP 1:
Halusinasi Pendengaran 1. Identifikasi isi, waktu terjadi,
situasi pencetus, dan respon
DO: terhadap halusinasi
- Klien sering marah – 2. mengontrol halusinasi
marah, mondar – dengan cara menghardik
mandir, berbicara
sendiri, berbicara SP 2:
ngawur, sering senyum- Mengontrol Halusinasi dengan
senyum sendiri. cara minum obat secara teratur
DS:
- Keluarga klien SP 3:
mengatakan bahwa mengontrol halusinasi dengan
klien sering berteriak – cara bercakap – cakap dengan
teriak di rumah orang lain
- Klien sering
mendengarkan suara – SP 4:
suara tanpa wajah yang mengontrol halusinasi dengan
menyuruhnya untuk cara melakukan aktifitas terjadwal
sholat
- Klien mengatakan
suara – suara tersebut
muncul 2 kali/ hari,
muncul pada saat
melamun
- Klien merasa gelisah
dan takut jika
mendengar suara
tersebut.
- Klien sering
mendengarkan suara –
suara tanpa wajah yang
menyuruhnya untuk
sholat
- Klien mengatakan
suara – suara tersebut
muncul 2 kali/hari,
muncul pada saat
melamun
- Klien merasa gelisah
dan takut jika
mendengar suara
tersebut

3.9.4 Implementasi dan Evaluasi


WAKTU Implemtasi Evaluasi
Jumat, 19 1. Data S : Senang
feb 2021. Tanda dan gejala :bicara
O:
10.00 Wib. sendiri, marah – marah - Pasien mampu mengenali
tampa sebab, halusinasi yang dialami nya;
memalingkan muka ke isi, frekuensi, watu terjadi,
arah telingga, ketakutan sruasi pencetus,perasaan,
pada suatu yang tidak respon dengan mandiri
jelas,
- Pasien mampu Mengontrol
2.Diagnosa Keperawatan halusinasinya dengan cara
Hu Halusinasi pendengaran menghardik dengan bantuan
3.Tindakan Keperawatan
Sp1 halusinasi A : Halusinasi (+)
- Melatih pasien P :
mengidentifikasi - Latihan mengidentifikasi
halusinasinya; isi, halusinasinya; isi, frekuensi,
frekuensi, watu terjadi, watu terjadi, sruasi pencetus,
sruasi pencetus, perasaan dan respon halusinasi
perasaan dan respon 3x/hari
halusinasi - Latihan menghardik halusinasi
- Mengontrol halusinasi 3x/ hari
dengan cara
menghardik
4.RTL
Sp2 mengontrol halusinasi
dengan cara minum obat
Sp3 mengontrol halusinasi
dengan cara bercakap –
cakap
Sabtu, 20 1. Data S : Senang dan Antusias
feb 2021. Tanda dan gejala : bicara O:
12.00 Wib. atau tertawa sendiri, - klien mampu mengontrol
mudah marah – ketakutan halusinasi dengan minum obat
pada suatu yang tidak secara teratur dengan bantuan
jelas, sering meludah.. pengawas yayasan.
. - Klien mampu melakukan
2. Diagnosa keperawatan komunikasi secara verbal :
Halusinasi pendengaran asertif/bicara baik-baik dengan
3. Tindakan keperawatan motivasi.
Sp2: Memberikan informasi
tentang cara A :: Risiko Perilaku Kekerasan
pengunaan obat minum (+).
obat
Sp3 : memberikan informasi P :
dampak positif - Latihan mengidentifikasi
mengontol halusinasi halusinasinya; isi, frekuensi,
dengan cara bercakap – watu terjadi, sruasi pencetus,
cakap perasaan dan respon halusinasi
RTL : 3x/hari
Sp4 : Mengontrol halusinasi - Latihan menghardik halusinasi
dengan cara melakukan 3x/ hari
aktivitas - Latihan minum obat dengan
prinsip 6 benar 2x/ hari
- Latihan komunikasi secara
verbal : asertif/bicara baik-
baik 3x/ hari.
Sabtu, 20 1. Data S : klien mengatakan dia merasa
feb 2021. Tanda dan gejala : bicara senang bisa bercakap-cakap
10.00 Wib. atau tertawa sendiri, dengan orang lain
mudah marah – ketakutan O : Klien mempraktekkan cara
pada suatu yang tidak bercakap-cakap dengan orang lain
jelas, sering meludah.. A : Halusinasi pendengaran (+)
Kemampuan: bermain P : Intervensi dilanjutkan
alat musik gitar. - Latihan menghardik
2. Diagnosa keperawatan halusinasi 3 x/ hari
Halusinasi - Latihan minum obat dengan
3. Tindakan keperawatan prinsip 6 benar 2 x/ hari
Sp4 : Halusinasi - Latihan bercakap-cakap
- Mengevaluasi dengan orang lain 3x/ hari
kemampuan - Latihan kegiatan spiritual
Menghardik
Halusinasi
- Melatih pasien untuk
melakukan kegiatan
spritual dengan cara
berdoa.
RTL :
Halusinasi ; : Follow up dan
evaluasi Sp 1-4 Halusinasi
BAB 4
PEMBAHASAN

Setelah penulis melaksanakan asuhan keperawatan kepada Tn. S dengan gangguan


sensori persepsi: halusinasi pendengaran di Yayasan Pemenang Jiwa , maka penulis
pada BAB ini akan membahas kesenjangan antara teoritis dengan tinjauan
kasus. Pembahasan dimulai melalui tahapan proses keperawatan yaitu pengkajian,
diagnosa keparawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

4.1 Pengkajian
Pada pembahasan ini diuraikan tentang hasil pelaksanaan tindakan keperawatan
dengan pemberian terapi generalis pada klien halusinasi pendengaran.
Pembahasan menyangkut analisis hasil penerapan terapi generalis terhadap
masalah keperawatan halusinasi pendengaran. Tindakan keperawatan didasarkan
pada pengkajian dan diagnosis keperawatan yang terdiri dari tindakan generalis
yang dijabarkan sebagai berikut.

Tahap pengkajian pada klien halusinasi dilakukan interaksi perawat-klien melalui


komunikasi terapeutik untuk mengumpulkan data dan informasi tentang status
kesehatan klien. Pada tahap ini terjadi proses interaksi manusia, komunikasi,
transaksi dengan peran yang ada pada perawat sebagaimana konsep tentang
manusia yang bisa dipengaruhi dengan adanya proses interpersonal.

Selama pengkajian dilakukan pengumpulan data dari beberapa sumber, yaitu dari
pasien dan tenaga kesehatan di ruangan. Penulis mendapat sedikit kesulitan dalam
menyimpulkan data karena keluarga pasien jarang mengunjungi pasien di rumah
sakit jiwa. Maka penulis melakukan pendekatan kepada pasien melalui
komunikasi terapeutik yang lebih terbuka membantu pasien untuk memecahkan
perasaannya dan juga melakukan observasi kepada pasien.
Adapun upaya tersebut yaitu:
a. Melakukan pendekatan dan membina hubungan saling percaya diri pada klien
agar klien lebih terbuka dan lebih percaya dengan menggunakan perasaan.
b. Mengadakan pengkajian klien dengan wawancara
Dalam pengkajian ini, penulis menemukan kesenjangan karena ditemukan. Pada
kasus Tn. S klien mendengar suara-suara aneh, tampak tegang, putus asa, sedih
dan lain-lain. Gejala gejala yang muncul tersebut tidak semua mencakup dengan
yang ada di teori klinis dari halusnasi (Keliat, dkk.2014). Akan tetapi terdapat
faktor predisposisi maupun presipitasi yang menyebabkan kekambuhan penyakit
yang dialami oleh Tn. S.

Tindakan keperawatan terapi generalis yang dilakukan pada Tn. S adalah strategi
pertemuan pertama sampai pertemuan empat. Strategi pertemuan pertama
meliputi mengidentifikasi isi, frekuensi, jenis, dan respon klien terhadap
halusinasi serta melatih cara menghardik halusinasi. Strategi pertemuan kedua
yang dilakukan pada Tn. S meliputi melatih cara mengendalikan dengan
bercakap-cakap kepada orang lain. Strategi pertemuan yang ketiga adalah
menyusun jadwal kegiatan bersama-sama dengan klien. Strategi pertemuan
keempat adalah mengajarkan dan melatih Tn. S cara minum obat yang teratur.

4.2 Diagnosa Keperawatan


Pada Teori Halusinasi (NANDA, 2015-2017), diagnosa keperawatan yang muncul
sebanyak 3 diagnosa keperawatan yang meliputi:
1. Harga diri rendah
2. Halusinasi
3. Resiko Perilaku Kekerasan
Sedangkan pada kasus Tn. S ditemukan diagnosa keperawatan yang muncul
yang meliputi: Harga diri rendah, Halusinasi pendengaran dan Perilaku
Kekerasan. Dari hal tersebut di atas dapat dilihat terjadi kesamaan antara teori
dan kasus. Dimana semua diagnosa pada teori muncul pada kasus Tn. s

4.3 Implementasi
Pada tahap implementasi, penulis hanya mengatasi 2 masalah keperawatan yakni:
diagnosa keperawatan halusinasi pendengaran dan Perilaku Kekerasan. Pada
diagnosa keperawatan gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran
dilakukan strategi pertemuan yaitu mengidentifikasi isi, frekuensi, waktu terjadi,
perasaan, respon halusinasi. Kemudian strategi pertemuan yang dilakukan yaitu
latihan mengontrol halusinasi dengan cara menghardik. Strategi pertemuan yang
kedua yaitu anjurkan minum obat secara teratur, strategi pertemuan yang ke tiga
yaitu latihan dengan cara bercakap-cakap pada saat aktivitas dan latihan strategi
pertemuan ke empat yaitu melatih klien melakukan semua jadwal kegiatan.

4.4 Evaluasi
Pada tinajauan teoritis evaluasi yang diharapkan adalah: Pasien mempercayai
perawat sebagai terapis, pasien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada
objeknya, dapat mengidentifikaasi halusinasi, dapat mengendalikan halusinasi
melalui menghardik, latihan bercakap-cakap, melakukan aktivitas serta
menggunakan obat secara teratur.

Pada tinjauan kasus evaluasi yang didapatkan adalah: Klien mampu mengontrol
dan mengidentifikasi halusinasi, Klien mampu melakukan latihan bercakap-cakap
dengan orang lain, Klien mampu melaksanakan jadwal yang telah dibuat bersama,
Klien mampu memahami penggunaan obat yang benar:. Selain itu, dapat dilihat
dari setiap evalusi yang dilakukan pada asuhan keperawatan, dimana terjadi
penurunan gejala yang dialami oleh Tn. S dari hari kehari selama proses
interaksi.
BAB 5
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas, maka penulis dapat disimpulkan
bahwa:
1. Pengkajian dilakukan secara langsung pada klien dan juga dengan menjadikan
status klien sebagai sumber informasi yang dapat mendukung data-data
pengkajian. Selama proses pengkajian, perawat mengunakan komunikasi
terapeutik serta membina hubungan saling percaya antara perawat-klien. Pada
kasus Tn. S diperoleh bahwa klien mengalami gejala-gejala halusinasi seperti
mendengar suara-suara, gelisah, sulit tidur, tampak tegang, tidak dapat
mempertahankan kontak mata, sedih, malu, putus asa, menarik diri, mudah
marah dan lain-lain. Faktor predisposisi pada Tn. S yaitu pernah mengalami
gangguan jiwa sebelumnya.
2. Diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus Tn. S Halusinasi
pendengaran, isolasi sosial, koping individu inefektif, regimen teraupetik
keluarga inefektif, harga diri rendah serta keputusasaan. Tetapi pada
pelaksanaannya, penulis fokus pada masalah utama yaitu halusinasi
pendengaran.
3. Perencanaan dan implementasi keperawatan disesuaikan dengan strategi
pertemuan pada pasien halusinasi pendengaran dan isolasi sosial.
4. Evaluasi diperoleh bahwa terjadi peningkatan kemampuan klien dalam
mengendalikan halusinasi yang dialami serta dampak pada penurunan gejala
halusinasi pendengaran yang dialami.

3.2 Saran
2. Bagi Perawat
Diharapkan dapat menerapkan komunikasi terapeutik dalam pelaksanaan
strategi pertemuan 1-4 pada klien dengan halusinasi sehingga dapat
mempercepat proses pemulihan klien.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat meningkatkan bimbingan klinik kepada mahasiswa profesi ners
sehingga mahasiswa semakin mampu dalam melakukan asuhan
keperawatan pada pasien-pasien yang mengalami halusinasi pendengaran
4. Bagi Tempat
Laporan ini diharapkan dapat menjadai acuan dan referensi dalam
memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan halusinasi
pendengaran.
DAFTAR PUSTAKA

1. Arjunanto, Z. I. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Klien Skizofrenia


Paranoid Dengan Masalah Gangguan Persepsi Sensori “Halusinasi
Pendenagran” Di Ruang 23 E Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang Skripsi,
Universitas Muhammadiyah Malang. http://eprints.umm.ac.id/50094/

2. Pardede, J. A. (2020). Family Knowledge about Hallucination Related to


Drinking Medication Adherence on Schizophrenia Patient. Jurnal Penelitian
Perawat Profesional, 2(4), 399-408. https://doi.org/10.37287/jppp.v2i4.183

3. Pardede, J. A., Silitonga, E., & Laia, G. E. H. (2020). The Effects of Cognitive
Therapy on Changes in Symptoms of Hallucinations in Schizophrenic
Patients.Indian Journal of Public Health Research & Development, 11(10).
4. Feri, K. (2020). Asuhan Keperawatan Dengan Pemberian Terapi Musik Klasik
Terhadap Mengontrol Halusinasi pada Pasien Halusinasi Pendengaran Dengan
Menggunakan Metode Studi Literature (KTI. 1519).
http://repository.umtas.ac.id/id/eprint/105.

5. Erviana, I., & Hargiana, G. (2018). Aplikasi Asuhan Keperawatan Generalis Dan
Psikoreligius Pada Klien Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi Penglihatan Dan
Pendengaran. Jurnal Riset Kesehatan Nasional, 2(2), 114-123.
http://dx.doi.org/10.37294/jrkn.v2i2.106

6. Pardede, J. A., Keliat, B. A., & Wardani, I. Y. (2013). Pengaruh Acceptance And
Commitment Therapy Dan Pendidikan Kesehatan Kepatuhan Minum Obat
Terhadap Gejala, Kemampuan Berkomitmen Pada Pengobatan Dan Kepatuhan
Pasien Skizofrenia. Tesis FIK UI. Depok

7. Funan, Y. L. (2019). Asuhan Keperawatan Tn. RR Dengan Gangguan Persepsi


Sensori (Halusinasi Pendengaran) di RT: 10, RW: 05, Kecamatan Oesapa,
Kelurahan Kelapa Lima Kota Kupang. Skripsi, Poltekkes Kemenkes Kupang.
http://repository.poltekeskupang.ac.id/id/eprint/1925

8. Jalil, A. (2018). Studi Kasus Respon Pasien Halusinasi Pendengaran Setelah


Diberikan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Surabaya). http://repository.um-
surabaya.ac.id/id/eprint/2727

9. Kartikasari, R., Idarahyuni, E., & Fatharani, W. S. (2019). Komunikasi Terapeutik


Perawat Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Di Ruang Tenang
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat Dan Klinik Utama Kesehatan Jiwa Hurip
Waluya Sukajadi Bandung Jawa Barat. Jurnal Kesehatan Aeromedika, 5(2), 1-
12.https://jurnal.poltekestniau.ac.id/jka/article/view/81
10. Pardede, J. A. (2020). Family Burden Related to Coping when Treating
Hallucination Patients. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 3(4), 453-460.
http://dx.doi.org/10.32584/jikj.v3i4.671

11. Pardede, J.A, Irwan, F., Hulu, E. P., Manalu, L. W., Sitanggang, R., & Waruwu, J.
F. A. P. (2021). Asuhan keperawatan Jiwa Dengan Masalah Halusinasi.
10.31219/osf.io/fdqzn

12. Pratiwi, M., & Setiawan, H. (2018). Tindakan Menghardik Untuk Mengatasi
Halusinasi Pendengaran Pada Klien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa.
JurnalKesehatan,7(1),713.
http://jurnal.libakperngestiwaluyo.ac.id/ojs/index.php/jkanwvol82019.

13. Rahayu, P. P., & Utami, R. (2019). Hubungan Lama Hari Rawat Dengan Tanda
Dan Gejala Serta Kemampuan Pasien Dalam Mengontrol Halusinasi. Jurnal
Keperawatan Jiwa, 6(2), 106-115. https://doi.org/10.26714/jkj.6.2.2018.106-115

14. Riskesdas (2018) Hasil Utama Riskesdas 2018 Kementerian Kesehatan Badan
Penelitiandan Pengembangan Kesehatan. https://www.kemkes.go.id/resources

15. Pardede, J. A., Silitonga, E., & Laia, G. E. H. (2020). The Effects of Cognitive
Therapy on Changes in Symptoms of Hallucinations in Schizophrenic Patients.
Indian Journal of Public Health, 11(10), 257.

16. Stuart, G. W. 2013. Buku Saku Keperawatan Jiwa . Edisi 5. Jakarta. EGC..

17. Yanti, D. A., Sitepu, A. L., Sitepu, K., & Purba, W. N. B. (2020). Efektivitas
Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi Pada Pasien
Halusinasi Pendengaran Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. M. Ildrem Medan Tahun
2020. Jurnal Keperawatan Dan Fisioterapi (Jkf), 3(1), 125-131.
https://doi.org/10.35451/jkf.v3i1.527

18. Yessiluis, Y., & Maryatun, S. (2020). Aplikasi Terapi Relaksasi Otot Progresif
Pada Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Risiko Perilaku Kekerasan Di Rs Dr.
Ernaldi Bahar Palembang Skripsi, Universitas Sriwijaya.
https://repository.unsri.ac.id/30412/

19. Yusuf, A, Dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.

20. Damaiyanti & Iskandar. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Aditama.
21. Keliat B, dkk. (2014). Proses Keperawatan Jiwa Edisi II. Jakarta : EGC.
22. Oktiviani, D. P. (2020). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. K dengan masalah
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di Ruang Rokan Rumah
Sakit Jiwa Tampan (Doctoral dissertation, Poltekkes Kemenkes
Riau).http://repository.pkr.ac.id/id/eprint/498

Anda mungkin juga menyukai