Anda di halaman 1dari 28

BAB II

LANDASAN TEORI
2.1 Teori Halusinasi
2.1.1 Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah persepsi yang tanpa dijumpai adanya rangsangan dari luar.
Walaupun tampak sebagai sesuatu yang “khayal”, halusinasi sebenarnya
merupakan bagian dari kehidupan mental penderita yang “teresepsi” (Yosep,
2010 dalam Buku Asuhan Keperawatan Jiwa, 2014).
Halusinasi adalah perubahan dalam jumlah atau pola stimulus yang dating
disertai gangguan respon yang kurang, berlebihan, atau distorsi terhadap
stimulus tersebut (Nanda, I, 2012 dalam Buku Asuhan Keperawatan Jiwa,
2014).

2.1.2 Teori Halusinasi Menurut Stuart, Keliat dan Pasaribu 2016.


Menurut Stuart, Keliat, dan Pasaribu 2016. Halusinasi merupakan distrosi
persepsi yang tidak nyata dan terjadi pada respons neurobiologis
maladaptive. Halusinasi yang dialami oleh individu dapat disebabkan melalui
faktor presdisposisi dan presipitasi.

2.1.3 Penyebab Halusinasi


Menurut Yosep, 2010 dalam Buku Asuhan Keperawatan Jiwa, 2014.
Penyebab dari halusinasi adalah Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi.
A. Faktor Predisposisi :
1) Faktor Perkembangan.
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol
dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri
sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri, dan lebih rentan
terhadap stress.
2) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi
akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungannya.
3) Faktor Biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya
stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia.
Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya
neurotransmitter otak.
4) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh
pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang
tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat
dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh.
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang
tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
sangat berpengaruh.

B. Faktor Presipitasi
1) Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga,
ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku
menarik diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil
keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan
tidak nyata.
Menurut Rawlis 2010 dalam Buku Asuhan Keperawatan Jiwa, 2014.
Mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat
keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar
unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual. Sehingga halusinasi dapat dilihat dari
lima dimensi yaitu :
a) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam, hingga
delirium, intoksikasi alcohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang
lama.
b) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi, isi dari halusinasi
dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup
lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien
berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
c) Dimensi intelektual
Dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi
akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya
halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang
menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan
yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan
mengontrol semua perilaku klien.
d) Dimensi social
Klien mengalami gangguan interaksi social dalam fase awal dan
comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata
sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi social,
control diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi
halusinasi dijadikan control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah
halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung
keperawatan klien ingin mengupayakan suatu proses interaksi yang
menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta
mengusahakan klien tidak menyediri sehingga klien selalu berinteraksi
dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
e) Dimensi spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas,
tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara
spiritual untuk menyucikan diri, irama sirkardiannya terganggu, karena ia
sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun merasa
hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya.

2.1.4 Jenis-jenis Halusinasi.


Menurut Trimelia, (2014) :
1. Halusinasi Pendengaran (audiotori).
Mendengar suara yang membicarakan, mengejek, mentertawakan,
mengancam, memerintahkan untuk melakukan sesuatu. Perilaku yang
muncul adalah mengarahkan telinga pada sumber suara, bicara atau
tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab menutup telinga, mulut
komat – kamit, dan ada Gerakan tangan.
2. Halusinasi Penglihatan (Visual).
Stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambar, orang
atau panorama yang luas dan kompleks, bisa yang menyenangkan
atau menakutkan.
3. Halusinasi Penciuman (olfactory)
Tercium bau busuk, amis, dan bau yang menjijikan, seperti rasa darah
atau feses, bau harum seperti parfum. Perilaku yang muncul adalah
ekspersi wajah seperti mencium dengan Gerakan cuping hidung,
mengarahkan hidung pada tempat tertentu.
4. Halusinasi Pengecapan (gustatory)
Merasa mnegecap sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan, seperti
rasa darah, urine atau feses. Perilaku yang muncul adalah seperti
mngecap, mulut seperti Gerakan menguyah sesuatu sering melundah
dan muntah.
5. Halusinasi Perabaan (taktil)
Mengalami rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat,
seperti merasakan sensasi listrik dari tanah, benda mati atau orang.
Merasakan ada yang menggerayangi tubuh seperti tangan, binatang
kecil dan mahluk halus. Perilaku yang muncul adalah mengusap,
menggaruk-garuk atau meraba-raba permukaan kulit.
6. Halusinasi Sinestetik
Merasakan fungsi tubuh, seperti darah mengalir melalui vena dan
arteri, makanan dicerna atau pembentukkan urine, perasaan tubuhnya
melayang diatas permukaan bumi. Perilaku yang muncul adalah klien
terlihat menatap tubuhnya sendiri dan terlihat seperti merasakan
sesuatu yang aneh tentang tubuhnya.

2.1.5 Tanda dan Gejala Halusinasi.


Menurut Nanda, 2015. Tanda dan gejala halusinasi meliputi :
1. Konsentrasi kurang.
2. Mudah tersinggung
3. Disorientasi waktu, tempat dan orang.
4. Perubahan kemampuan pemecahan masalah
5. Perubahan pola perilaku
6. Menarik diri dari orang lain.
7. Menggerakan bibir tanpa suara
8. Bicara dan tertawa sendiri
9. Individu terkadang sulit untuk berpikir dan mengambil keputusan
10. Tidak mampu mengurus dirinya sendiri.

2.1.6 Patofisiologi Halusinasi


Patofiologi halusinasi yaitu menurut Maramis tahun 2004, halusinasi
dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang,
dimana tidak terdapat stimulus, individu merasa ada stimulus yang
sebetulnya tidak ada, pasien merasa ada suara padahal tidak ada
stimulus suara, bisa juga berupa suara-suara bising dan mendengung,
tetapi paling sering berupa kata- kata yang tersusun dalam bentuk
kalimat yang mempengaruhi tingkah laku klien, sehingga klien
menghasilkan respon tertentu seperti bicara sendiri. Suara bisa berasal
dari dalam diri individu atau dari luar dirinya. Isi suara tersebut dapat
memerintahkan sesuatu pada klien atau seringnya tentang perilaku klien
sendiri, klien merasa yakin bahwa suara itu dari Tuhan, sahabat dan
musuh (Rahmawati, 2014).

Menurut (Muhith, 2015), pohon masalah pada klien dengan gangguan


persepsi sensori: halusinasi pendengaran sebagai berikut :

Resiko perilaku kekerasan


(diri sendiri, orang lain,
lingkungan dan verbal).
Effect

Gangguan Persepsi sensori :


Halusinasi
Core Problem

Isolasi Sosial

Core Problem

Gambar 2.1 Pohon Masalah Gangguan Halusinasi Pendengaran.

2.1.7 Penatalaksanaan Halusinasi


Penatalaksanaan pada klien halusinasi dengan cara:

a. Menciptakan lingkungan yang terapiutik

Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan klien akibat


halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan dilakukan secara individual dan
usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa klien disentuh atau dipegang. Klien
jangan di isolasi baik secara fisik maupun emosional. Setiap perawat masuk
kekamar atau mendekati klien, bicaralah dengan klien. Begitu juga bila akan
meninggalkannya hendaknya klien diberitahu. Klien diberitahu tindakan yang
akan dilakukan. Diruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat
merangsang perhatian dan mendorong klien untuk berhubungan dengan realitas,
misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan.

b. Melaksanakan program terapi dokter

Sering kali klien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan
halusinasi yang diterimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuasif tapi intruktif.
Perawat harus mengamati agar obat yang diberikan betul ditelan, serta reaksi obat
yang diberikan.

c. Menggali permasalahan klien dan membantu mengatasi yang adaSetelah klien


lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah klien yang
merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah
yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga klien atau
orang lain yang dekat dengan klien.

d. Memberi aktivitas pada klien

Klien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya


berolahraga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu
mengarahkan klien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang
lain. Klien di ajak menyusun jadwal kegiatan memilih kegiatan yang sesuai.

e. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses keperawatan Keluarga

klien dan petugas lain sebaiknya diberitahu tentang data klien agar ada kesatuan
pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari
percakapan dengan klien di ketahui bila sedang sendirian dia sering mendengar
suara yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak
terdengar jelas. Perawat menyarankan agar klien jangan menyendiri dan
menyibukan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini
hendaknya di beritahukan pada keluarga klien dan petugas lain agar tidak
membiarkanklien sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.

2.2 Asuhan Keperawatan Halusinasi


2.2.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari proses keperawatan dan
merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari
berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan klien.[ CITATION Bud15 \l 1057 ].

Menurut Yosep, 2016. Untuk dapat menjaring data yang diperlukan


umumnya, dikembangkan formulir pengkajian dan petunjuk teknis
pengkajian agar memudahkan dalam pengkajian . isi pengkajian meliputi :
Identitas klien, keluhan utama atau alasan masuk, faktor predisposisi, aspek
fisik atau biologis, aspek psikologis, status mental, kebutuhan persiapan
pulang, mekanisme koping, masalah psikososial dan lingkungan, pengetahuan
dan aspek medik.

2.2.2 Masalah Keperawatan

a. Resiko perilaku kekerasan (pada diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan
verbal).

b. Gangguan persepsi sensori : Halusinasi

c. Isolasi social (Direja, 2011).

2.2.3 Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

Diagnosa keperawatan merupakan tahap kedua dalam proses keperawatan setelah


anda melakukan pengkajian keperawatan dan pengumpulan data dari hasil
pengkajian. Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis tentang respons
individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses
kehidupan actual ataupun potensial sebagai dasar pemilihan intervensi keperawatan
untuk mencapai hasil tempat perawat bertanggung jawab[CITATION Kem16 \l 1057 ].

Dan ada beberapa diagnosa keperawatan yang muncul dengan gangguan


persepsi sensori : Halusinasi , yaitu :

1. Gangguan persepsi sensori : Halusinasi

2. Isolasi social

3. Resiko perilaku kekerasan (diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan verbal).
(Dermawan, D., & Rusdi. 2013).

Tabel 2.2.3.1 Diagnosa keperawatan dan Intervensi Keperawatan (Purba,


2014).

Diagnosa Intervensi Keperawatan


a. Gangguan persepsi sensori : Bina hubungan saling percaya dengan
halusinasi mengungkapkan prinsip komunikasi terapeutik :
a. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun
non verbal.
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama
panggilan yang disukai klien
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
b. Isolasi social a. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku
menarik diri dan tanda-tandanya
b. Beri kesempatan kepada klien untuk
mengungkapkan perasaan penyebab menarik
diri.
c. Diskusikan bersama klien tentang perilaku
menarik diri
d. Berikan pujian terhadap kemampuan klien
dalam menggunakan perasaan
c. Resiko perilaku kekerasan a. Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab
jengkel atau kesal.
b. Anjurkan klien mengungkapkan apa yang
dialami saat marah atau jengkel.
c. Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan klien
d. Bantu klien bermain peran sesuai dengan
perilaku kekerasan yang biasa dilakukan klien.

2.2.4 Tindakan Keperawatan.

Setelah diagnosis keperawatan ditegakan, perawat melakukan tindakan


keperawatan kepada pasien. Tindakan keperawatan pasien halusinasi , yaitu
sebagai berikut :

a. Tujuan Keperawatan :

a) Pasien dapat mengenali halusinasi yang dialaminya

b) Pasien dapat mengontol halusinasinya

c) Pasien mengikuti progam pengobatan secara optimal

b.Tindakan keperawatan

a) Bantu pasien mengenali halusinasi, perawat dapat berdiskusi dengan pasien


tentang isi halusinasi (apa yang di dengar, dilihat, atau dirasa), waktu terjadi
halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan
halusinasi muncul dan respon pasien saat halusinasi muncul. b) Melatih
pasien mengontrol halusinasi.

Terdapat empat cara untuk mengontrol halusinasi , keempat cara mengontrol


halusinasi adalah sebagai berikut :

1. Menghardik halusinasi, Menghardik adalah cara mengendalikan diri


terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien
dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak
mempedulikan halusinasinya. Jika ini dapat dilakukan, pasien akan mampu
mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin
halusinasi tetap ada, tetapi dengan kemampuan ini, pasien tidak akan larut
menuruti halusinasinya.

2. Bercakap-cakap dengan orang lain . Bercakap-cakap dengan orang lain


dapat membantu mengontrol halusinasi, ketika pasien bercakap-cakap dengan
orang lain, terjadi distraksi. Fokus perhatian pasien akan beralih dari
halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang lain.

3. Melakukan aktivitas terjadwal Untuk mengurangi resiko halusinasi muncul


lagi adalah dengan menyibukan diri melakukan aktivitas yang teratur. Dengan
beraktivitas secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banyak waktu
luang sendiri yang sering kali mencetuskan halusinasi. Oleh karena itu,
halusinasi dapat dikontrol dengan cara beraktivitas secara teratur dari bangun
pagi sampai tidur malam.

Tahapan intervensi perawat dalam memberikan aktivitas yang terjadwal ,

yaitu :

a.Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi halusinasi

b.Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan pasien

c.Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang telah


dilatih.

d.Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberikan motivasiterhadap


perilaku pasien yang positif.

4. Minum obat secara teratur. Minum obat secara teratur dapat mengontrol
halusinasi. Pasien harus dilatih untuk meminum obat secara teratur sesuai
dengan progam terapi dokter.

Terapi farmakologi untuk pasien jiwa menurut Kusumawati & Hartono


(2010) adalah :

a.Anti psikotik

Jenis: Clorpromazin , Haloperidol


Mekanisme kerja : Menahan kerja reseptor dopamin dalam otak sebagai
penenang, penurunan aktifitas motoric, mengurangi insomnia, sangat efektif
untuk mengatasi: delusi, halusinasi, ilusi, dan gangguan proses berfikir.

Efek samping :

1). Gejala ekstra piramidal seperti berjalan menyeret kaki, postur condong
kedepan, banyak keluar air liur, wajah seperti topeng, sakit kepala dankejang.

2). Gastrointestinal seperti mulut kering, anoreksia, mual, muntah, berat


badan bertambah.

3). Sering berkemih,retensi urine, hipertensi, anemia,dan dermatitis.

b. Anti Ansietas

Jenis: Atarax,Diazepam

Mekanisme kerja : Meradakan ansietas atau ketegangan yang berhubungan


dengan situasi tertentu.

Efek samping:

1) Pelambatan mental, mengantuk, vertigo, bingung, tremor,letih,depresi,


sakit kepala, ansietas, insomnia, bicara tidak jelas.

2) Anoreksia, mual, muntah, diare, kontipasi, kemerahan, dan gatal- gatalc.


Anti DepresanJenis: Elavil,asendin,anafranil, norpamin, ainequan,
tofranil,ludiomil, pamelor, vivacetil, surmontil.

Mekanisme kerja : Mengurangi gejala depresi, penenang.

Efek samping:

1) Tremor,Gerakan tersentak-sentak, ataksia, kejang, pusing, ansietas, lemas,


dan insomnia.

2) Pandangan kabur, mulut kering, nyeri epigastrik, kram abdomen, diare,


hepatitis, icterus

3)retensi urine, perubahan libido, disfungsi ereksi.


2.2.5 Evaluasi Keperawatan.

Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaaan


pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang anda buat
pada tahap perencanaan [ CITATION Bud15 \l 1057 ].

Evaluasi keperawatan adalah penilaian dengan cara membandingkan


perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria
hasil yang Anda buat pada tahap perencanaan [CITATION Kem16 \l 1057 ].

Evaluasi adalah suatu proses penilaian bersinambungan tentang pengaruh


intervensi keperawatan dan progam pengobatan terhadap status kesehatan
pasien dan hasil kesehatan yang diharapkan. Proses evaluasi dapat dilakukan
setelah terapi menggambar yang diberikan pada pasien maupun pada akhir
kegiatan. Alat ukur yang digunakan yaitu wawancara langsung secara
terstruktur. wawancara dalam hal ini antara lain, tentang jenis halusinasi, isi
halusinasi, waktu, frekuensi, serta mengkaji respon pasien setelah melakukan
tindakan keperawatan (Stuart, 2013).

2.3 Konsep Pada Pasien Skizofrenia.


2.3.1 Definisi Skizofrenia
Menurut Maslim,2013 dalam buku Panduan Pedoman Diagnosis
Gangguan Jiwa (PPDGJ) III skizofrenia merupakan sindrom dengan
variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas serta sejumlah akibat
yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial
budaya.

2.3.2 Teori Skizofrenia menurut Stuart, 2013.


Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang
mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam
memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan
masalah.

2.3.3 Penyebab Skizofrenia


Adapun faktor-faktor penyebab skizofrenia sebagai berikut :
1. Faktor biologis, yaitu faktor gen yang melibatkan skizofrenia, obat-
obatan, anak keturunan dari ibu skizofrenia, anak kembar yang identik.
2. Faktor psikologis, yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan
gangguan pikiran, keyakinan, pendapat yang salah, ketidakmampuan
membina, mempertahankan hubungan sosial, adanya delusi dan
halusinasi abnormal dan gangguan afektif.
3. Faktor lingkungan, yaitu pola asuh yang cenderung memunculkan
gejala skizofrenia, adopsi keluarga skizofrenia dan tuntutan hidup yang
tinggi pada penderita skizofrenia.
4. Faktor organis, yaitu adanya perubahan atau kerusakan pada sistem
syaraf sentral dan juga terdapat gangguan-gangguan pada sistem syaraf
sentral, terdapat gangguan-gangguan pada sistem kelenjar adrenalin dan
piluitari yaitu kelenjar yang berada dibawah otak manusia. Semua
gangguan tadi menyebabkan degenerasi pada energi fisik dan mentalnya.
(Julianan & Nengah, 2013).

2.3.4 Tanda dan Gejala Skizofrenia.


Menurut Dadds. 2018. Secara general gejala serangan skizofrenia dibagi
menjadi 2 yaitu , gejala positif dan negative.
1. Gejala positive , Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan kuat dan
otak tidak mampu menginterpretasikan dan merespons pesan atau
rangsangan yang datang. Klien skizofrenia mungkin mendengar suara-
suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, atau mengalami
suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory hallucinations,
gejala yang biasanya timbul yaitu klien merasakan ada suara dari dalam
dirinya.
Penyesatan pikiran (delusi) adalah kepercayaan yang kuat dalam
menginterprestasikan sesuatu yang kadang berlawanan dengan
kenyataan.
Kegagalan berpikir mengarah kepada masalah dimana klien skizofrenia
tidak mampu memproses dan mengatur pikirannya. Kebanyakan klien
tidak mampu memahami hubungan antara kenyataan dan logika, karena
klien skizofrenia tidak mampu mengatur pikirannya membuat mereka
berbicara secara serampangan dan tidak bisa ditangkap secara logika.
Ketidakmampuan dalam berpikir mengakibatkan ketidakmampuan
mengendalikan emosi dan perasaan.
Semua itu membuat penderita skizofrenia tidak bisa memahami siapa
dirinya, tidak berpakaian, dan tidak bisa mengerti ap aitu manusia.

2. Gejala Negatif
Klien skizofrenia kehilangan motovasi dan apatis berate kehilangan
energi dan minat dalam hidup yang membuat klien menjadi orang yang
malas, karena klien skizofrenia hanya memiliki energi yang sedikit,
mereka tidak bisa melakukan hal-hal yang lain selain tidur dan makan.
Perasaan yang tumpul membuat emosi klien skizofrenia menjadi datar,
klien skizofrenia tidak memiliki ekspresi baik dari raut muka maupun
Gerakan tangannya.
Depresi yang tidak mengenal perasaan ingin ditolong dan berharap selalu
menjadi bagian dari hidup klien skizofrenia. Mereka tidak merasa
memiliki perilaku yang menyimpang, tidak bisa membina hubungan
relasi dengan orang lain dan tidak mengenal cinta. Perasaan depresi
adalah sesuatu yang menyakitkan.
Depresi yang berkelanjutan akan membuat klien skizofrenia menarik diri
dari lingkungannya.

2.3.5 Patofisiologi Skizofrenia.


Menurut Sadock, 2015. Patofisologi skizofrenia adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter di otak, terutama norepinefrin, serotonin, dan dopamin.
Namun, proses patofisiologi skizofreniamasih belum diketahui secara pasti.
Secara umum, penelitian-penelitian telah menemukan bahwa skizofrenia
dikaitkan dengan penurunan volume otak, terutama bagian temporal
(termasuk mediotemporal), bagian frontal, termasuk substansia alba dan
grisea. Dari sejumlah penelitian ini, daerah otak yang secara konsisten
menunjukkan kelainan adalah daerah hipokampus dan parahipokampus
(Abrams, Rojas, & Arciniegas, 2008).

2.3.6 Penatalaksanaan Skizofrenia.


Lehman et al 2010. Mengungkapkan bahwa dalam terapi skizofrenia ada tiga
tujuan yang harus dicapai. Tujuan pertama adalah untuk mengurangi atau
menghilangkan gejala. Tujuan kedua adalah memaksimalkan kualitas hidup
dan fungsi adaptasi pasien. Tujuan ketiga yang harus dapat dicapai adalah
meningkatkan dan menyuport kesembuhan pasien dari efek penyakit
semaksimal mungkin. Target dari terapi yang diberikan meliputi gejala
negatif, gejala positif, depresi, identifikasi keinginan bunuh diri, gangguan
penyalahgunaan substansi, dan posttraumatic stress disorder (PTSD).
Marwick dan Birell, 2013. Mengungkapkan bahwa tidak ada satu pun terapi
yang dapat menyembuhkan skizofrenia. Terapi awal yang diberikan kepada
pasien didasari oleh gejala dan keparahan dari penyakit tersebut. Perawatan di
rumah memang dapat dilakukan, tetapi perawatan di rumah sakit jauh lebih
disarankan terutama pada episode pertama di mana ada risiko tinggi yang
dapat membahayakan pasien maupun orang-orang di sekitar pasien. Ada tiga
fase pengobatan yang dilakukan, yaitu fase akut, fase stabilisasi, dan fase
stabil. Tujuan terapi pada fase akut adalah mencegah munculnya efek
samping buruk, mengontrol perilaku, mengurangi keparahan dari psikosis itu
sendiri dan gejala yang menyertai, menentukan faktor-faktor yang
memengaruhi munculnya episode akut, membangun kerja sama dengan
pasien dan juga keluarganya, menyusun rencana terapi jangka pendek dan
jangka panjang, dan menghubungkan pasien dengan fasilitas after care yang
tepat. Pasien pada fase ini dianjurkan untuk melakukan beberapa pemeriksaan
sebelum diterapi, seperti riwayat kesehatan umum dan psikis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan status mental (Lehman et al., 2010).

Tabel 2.3.5.1 Pemeriksaan dasar yang perlu dilakukan sebelum pemberian


terapi (Lehman et al., 2010).
Jenis Asesmen Initial/Baseline Follow-up
Vital signs Nadi, tekanan darah, suhu tubuh. Nadi, tekanan darah, tubuh
(saat diindikasikan atau saat
dosis obat dititrasi).
Berat badan dan Tinggi badan. Berat badan, tinggi badan, indeks Indeks massa tubuh setiap 6
massa tubuh. bulan sekali.

Hematologic Pemeriksaan darah lengkap Saat diindikasikan

Kimia darah Elektrolit, tes fungsi ginjal, tes fungsi Setiap satu tahun sekali atau
Liver, dan tes fungsi tiroid. saat diindikasikan.

Penyakit infeksius Tes untuk sifilis, hepatitis C dan HIV -


(bila diindikasikan).

2.3.7 Diagnosis Skizofrenia.


Penegakan diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan dengan melihat dua kriteria,
yaitu kriteria dari International Classification of Diseaseand Related Health
Problems (ICD-10) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
(DSM-5). Sadock et al.2015. Mengungkapkan bahwa ada enam poin dalam
penegakan diagnosis skizofrenia berdasarkan DSM-5, yaitu :
1. Tanda berikut yang muncul secara signifikan dalam waktu satu bulan atau
kurang satu bulan ,bila sudah diterapi :
a. Delusi
b. Halusinasi
c. Berbicara secara tidak teratur, seperti berbicara hal yang tidak relevan atau
tidak koheren.
d. Berperilaku seperti anak kecil yang marah dan agresif atau katatonik.
e. Gejala negative skizofrenia.
2. Adanya penurunan fungsi pada pekerjaan, hubungan interpersonal, atau self-
care yang sejak munculnya onset menurun secara signifikan.
3. Tanda-tanda dari skizofrenia yang mengganggu pasien yang lebih dari enam
bulan. Selama enam bulan tersebut, minimal harus ada satu bulan (atau kurang
apabila terapi berhasil) dari gejala pada poin pertama dan termasuk pula periode
tahap prodromal dan residual. Selama masa prodromal dan residual tersebut,
tanda-tanda dari gangguan bisa saja hanya bermanifestasi gejala negatif atau lebih
dari dua gejala pada poin pertama dalam porsi yang lebih kecil.
4. Gangguan skizoafektif dan depresi atau gangguan bipolar dengan gejala
psikosis telah disingkirkan karena,tidak ada depresi mayor atau episode manik
yang dapat muncul secara bersamaan dengan gejala fase aktif, dan apabila episode
mood berlangsung selama fase aktif, hal tersebut hanya berlangsung dalam waktu
yang singkat dibandingkan dengan total periode waktu aktif dan residual.
5. Gangguan yang dialami tidak disertai dengan adanya efek fisiologis karena
substasnsi, misalnya penyalahgunaan obat dan kondisi kesehatan lainnya.
6. Apabila ada riwayat gangguan autisme spectrum disorder atau gangguan dalam
komunikasi semasa kanak-kanak, tambahan diagnosis dari skizofrenia hanya
ditegakkan bila ada delusi atau halusinasi dalam kurun waktu minimal satu bulan
(atau kurang bila terapi berhasil).
2.4 Konsep Terapi Individu Bercakap-cakap.
2.4.1 Definisi terapi individu bercakap-cakap.
Terapi atau pengobatan adalah remediasi masalah kesehatan, biasanya mengikuti
diagnosis. Orang yang melakukan terapi disebut sebagai terapis.
Terapi bercakap-cakap yaitu pengobatan kejiwaan dengan cara berbicara dengan
teman sebayanya atau keluarga, untuk klien yang sedang mengalami gangguan
jiwa.
Terapi aktivitas individu Terapi individu merupakan salah satu bentuk terapi yang
dilakukan secara individu oleh perawat kepada pasien secara tatap muka perawat
dengan pasien dengan cara yang terstruktur dan durasi waktu tertentu sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai (Akemat, 2004). Pendekatan terapi individu
yang sering digunakan adalah pendekatan strategi pelaksanaan komunikasi
diantaranya membina hubungan saling percaya perawat dengan pasien, membantu
mengenal halusinasi, dilakukan dengan berdiskusi tentang isi halusinasi (apa yang
didengar, dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi dan situasi penyebab
halusinasi serta respons pasien saat itu, melatih mengontrol halusinasi
menggunakan cara menghardik halusinasi, bercakap-cakap dengan orang lain dan
melakukan aktivitas terjadwal, mendapat dukungan dari keluarga, menggunakan
obat, kemampuan yang dilihat yaitu menjelaskan kembali pentingnya penggunaan
obat pada gangguan jiwa, menjelaskan kembali akibat bila obat tidak digunakan
sesuai program, menjelaskan kembali akibat bila putus obat, menjelaskan kembali
cara mendapatkan obat dan mampu menjelaskan kembali cara menggunakan obat
dengan prinsip 5 (lima) benar (Keliat, 2012).

2.4.2 Tujuan dari Terapi Individu Bercakap-cakap.


1. Tujuan umum.
Pasien dapat meningkatkan kemampuan dirinya dalam mengontrol halusinasi
secara individu dan bertahap.
2. Tujuan khusus.
a. Pasien dapat mengenal halusinasi.
b. Pasien dapat mengontrol halusinanya dengan cara menghardik.
c. Pasien dapat mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap.
d. Pasien dapat mengontrol halusinasi dengan cara melakukan aktivitas terjadwal.
e. Pasien dapat mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum obat.

2.5 Teori Keperawatan.


2.5.1 Teori keperawatan menurut Hildegard Peplau.
Teori yang dikembangkan Hildegard E Peplau adalah keperawatan spikodinamik
(Psychodynamyc Nursing). Teori ini dipengaruhi oleh model hubungan
interpesonal yang bersifat terapeutik (significant therapeutic interpersonal
process). Hildegard E. Peplau mendefenisikan teori
keperawatan  psikodinamikanya sebagai berikut :
“Perawatan psikodinamik adalah kemampuan untuk memahami perilaku
seseorang untuk membantu mengidentifikasikan kesulitan-kesulitan yang
dirasakan dan untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip kemanusiaan yang
berhubungan dengan masalah-masalah yang muncul dari semua hal atau kejadian
yang telah dialami.”
Teori Hildegard Peplau (1952) berfokus pada individu,perawat, dan proses
interaktif (Peplau, 1952) yang menghasilkan hubungan antara perawat dan klien
(Torres, 1986 Marriner-Tomey, 1994).
Berdasarkan teori ini klien adalah individu dengan kebutuhan perasaan, dan
keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik. Tujuan keperawatan
adalah untuk mendidik klien dan keluarga dan untuk membantu klien mencapai
kematangan perkembangan kepribadian (Chinn dan Jacobs, 1995 dalam Potter,
Patricia Ann et al. 2011). Oleh sebab itu perawat berupaya mengembangkan
hubungan antara perawat dan klien, dimana perawat bertugas sebagai narasumber,
konselor, dan wali.
Pada saat klien mencari bantuan, pertama perawat mendiskusikan masalah dan
menjelaskan jenis pelayanan yang tersedia. Dengan berkembangnya hubungan
antara perawat dan klien, perawat dan klien bersama-sama mendefinisikan
masalah dan kemungkinan penyelesaian masalahnya. Dari hubungan ini klien
mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan pelayanan yang tersedia untuk
memenuhi kebutuhannya dan perawat membantu klien dalam hal menurunkan
kecemasan yang berhubungan dengan masalah kesehatannya. Teori Peplau
merupakan teori yang unik dimana hubungan kolaborasi perawat-klien
membentuk suatu “kekuatan mendewasakan” melalui hubungan interpersonal
yang efektif dalam membantu pemenuhan kebutuhan klien (Beeber, Anderson dan
Sills, 1990). Ketika kebutuhan dasar telah diatasi, kebutuhan yang baru mungkin
muncul. Hubungan interpersonal perawat-klien digambarkan sebagai fase-fase
yang saling tumpang tindih seperti berikut ini : orientasi, identifikasi, penjelasan,
dan resolusi (Chinn dan Jacobs, 1995 dalam Potter, Patricia Ann et al. 2011).
Peplau menerbitkan Buku Interpersonal Relation in Nursing pada tahun 1952
Artikel-artikel di majalah-majalah profesional dan topik konsep-konsep
interpersonal sampai pada isu-isu keperawatan yang terbaru. Dan selanjutnya
Peplau mengembangkan teori keperawatan yang dikenal dengan Psychodynamic
Nursing.
Model konsep dan teori keperawatan yang dijelaskan oleh Peplau menjelaskan
tentang kemampuan dalam memahami diri sendiri dan orang lain yang
menggunakan dasar hubungan antar manusia yang mencakup 4 komponen
sentral :
1. Pasien
2. Perawat
3. Masalah kecemasan yang terjadi akibat sakit
4. Proses interpersonal
Penjabarannya sebagai berikut:
1). Pasien
Sistem dari yang berkembang terdiri dari karakteristik biokimia, fisiologis,
interpersonal dan kebutuhan serta selalu berupaya memenuhi kebutuhannya dan
mengintegrasikan belajar pengalaman. Pasien adalah subjek yang langsung
dipengaruhi. oleh adanya proses interpersonal.
2). Perawat
Perawat berperan mengatur tujuan dan proses interaksi interpersonal dengan
pasien yang bersifat partisipatif, sedangkan pasien mengendalikan isi yang
menjadi tujuan. Hal ini berarti dalam hubungannya dengan pasien, perawat
berperan sebagai mitra kerja, pendidik, narasumber, pengasuh pengganti,
pemimpin dan konselor sesuai dengan fase proses interpersonal.
3). Masalah Kecemasan yang terjadi akibat sakit atau Sumber Kesulitan
Ansietas berat yang disebabkan oleh kesulitan mengintegrasikan pengalaman
interpersonal yang lalu dengan yang sekarang ansietas terjadi apabila komunikasi
dengan orang lain mengancam keamanan psikologi dan biologi individu. Dalam
model peplau ansietas merupakan konsep yang berperan penting karena berkaitan
langsung dengan kondisi sakit.
4). Proses Interpersonal
Proses interpersonal yang dimaksud antara perawat dan pasien ini
menggambarkan metode transpormasi energi atau ansietas pasien oleh perawat
yang terdiri dari 4 fase.Peplau mengidentifikasiempat tahapan hubungan
interpersonal yang saling berkaitan yaitu: orientasi, identifikasi, eksploitasi,
resolusi (pemecahan masalah). Setiap tahap saling melengkapi dan berhubungan
sebagai satu proses untuk penyelesaian masalah.

2.5.2 Tahapan Inter Personal Menurut Hildegard Peplau dalam


Keperawatan.
Untuk mencapai tujuan dari hubungan interpersonal tersebut maka harus melalui
penggunaan step-step atau fase-fase sebagai berikut:
1). Fase Orientasi
Pada fase ini perawat dan klien masih sebagai orang yang asing. Pertemuan
diawali oleh pasien yang mengekspresikan perasaan butuh, perawat dan klien
malakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi proses
pengumpulan data. Pada fase ini yang paling penting adalah perawat bekerja sama
secara kolaborasi dengan pasien dan keluarganya dalam menganalisis situasi yang
kemudian bersama-sama mengenali, memperjelas dan menentukan masalah untuk
ada setelah masalah diketahui, diambil keputusan bersama untuk menentukan  tipe
bantuan apa yang diperlukan. Perawat sebagai fasilitator dapat merujuk klien ke
ahli yang lain sesuai dengan kebutuhan
2). Fase Identifikasi
Fase ini fokusnya memilih bantuan profesional yang tepat, pada fase ini pasien
merespons secara selektif ke orang-orang yang dapat memenuhi kebutuhannya.
Setiap pasien mempunyai respons berbeda-beda pada fase ini.
Respons pasien terhadap perawat:
a. Berpartisipasi dan interpendent dengan perawat
b. Anatomy dan independent
c. Pasif dan dependent
3). Fase Eksploitasi
Fase ini fokusnya adalah menggunakan bantuan profesional untuk alternatif
pemecahan masalah. Pelayanan yang diberikan berdasarkan minat dan kebutuhan
dari pasien. Pasien mulai merasa sebagai bagian integral dari lingkungan
pelayanan. Pada fase ini pasien mulai menerima informasi-informasi yang
diberikan padanya tentang penyembuhannya, mungkin berdiskusi atau
mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada perawat, mendengarkan penjelasan-
penjelasan dari perawat dan sebagainya.
4). Fase Resolusi
Terjadi setelah fase-fase sebelumnya telah berjalan dengan sukses. Fokus pada
fase ini mengakhiri hubungan profesional pasien dan perawat dalam fase ini perlu
untuk mengakhiri hubungan teraupetik meraka. Dimana pasien berusaha untuk
melepaskan rasa ketergantungan kepada tim medis dan menggunakan kemampuan
yang dimilikinya agar mampu menjalankan secara sendiri.
2.5.3 Asumsi Dasar Teori Hildegard Peplau.
Asumsi utama atau asumsi dasar dalam pengembangan model konsep dan teori
hubungan interpersonal Oleh Peplau dibedakan menjadi asumsi eksplisit dan
implisit.
1. Asumsi ekplisit memberi pandangan bahwa, Perawat akan membuat pasien
belajar ketika ia menerima penanganan perawatan, menjalankan fungsi
keperawatan dan pendidikan keperawatan dengan membantu perkembangan
pasien ke arah kedewasaan dan keperawatan menggunakan prinsip-prinsip dan
metode-metode yang membimbing proses ke resolusi dari masalah interpersonal.
2. Asumsi implisit
Mempertegas profesi keperawatan memiliki tanggung jawab legal dalam
penggunaan keperawatan secara efektif dan segala konsekuensinya kepada pasien.
Peplau menyebutkan satu asumsi implisit yaitu: “Profesi keperawatan memiliki
tanggung jawab legal dalam penggunaan keperawatan secara efektif dan segala
konsekuensinya kepada pasien.
a. Keperawatan (nursing)
Keperawatan dideskripsikan sebagai sebuah proses yang signifikan, bersifat
pengobatan (therapeutic), proses interpersonal.
b. Orang (person)
Peplau mendefinisikan orang (person) sebagai lelaki. Lelaki adalah sebuah
organisme yang hidup dalam equilibrium yang tak stabil.
c. Kesehatan (health)
Peplau mendefinisikan sebagai sebuah simbol kata yang mengandung arti
peningkatan kepribadian dan proses lainnya yang sedang berlangsung pada
manusia dalam arah kreatif, konstruktif, produktif, personal dan kehidupan
komunitas.
d. Lingkungan (environment)
Peplau secara implisit mendefinisikan lingkungan sebagai kekuatan yang berada
di luar oeganisme dan dalam konteks structural dimana adat istiadat, kebiasaan,
dan keyakinan termasuk di dalamnya. Namun kondisi umum yang mengantar
kepada kesehatan biasanya juga mengikut sertakan proses interpersonal

2.6 Keterkaitan antara konsep teori Hildegard Peplau terhadap Halusinasi


pada pasien skizofrenia.
Perawat memiliki peran multi dimensi. Ia tidak hanya sebagai perawat fisik pasien
yang sakit namun ia juga memiliki peran lain. Hal ini seperti diungkap dalam
konsorsium ilmu kesehatan (1989) seperti yang ditulis oleh Suryani (2015) bahwa
perawat memiliki peran sebagai pendidik, konsultan, koordinator, kolaborator,
dan juga peneliti bagi pasien. Hal ini tentu tidak aneh atau tidak berlebihan. Jika
pasien berada di rumah sakit, pasien akan sangat tergantung pada perawat.
Anggota keluarga juga akan sangat tergantung pada perawat. Maka, perawat harus
mampu berkomunikasi secara efektif. Kesalahan dalam berkomunikasi baik
kepada pasien dan keluarga pasien akan berdampak buruk atau paling tidak akan
menimbulkan ketegangan, keresahan, dan bahkan kepanikan. Merujuk pada teori
psychodinamic patient Hildegard Peplau (1957) nampaknya perawat memegang
peranan penting dalam membantu kesembuhan pasien gangguan jiwa. Untuk
memperoleh kesembuhan, perawat hendaknya dapat membangun hubungan yang
baik dengan pasien. Pendampingan kepada pasien tidak sepenuhnya ada pada
perawat atau dokter namun pasien juga memiliki peran besar dalam proses
penyembuhan dari penyakitnya.
2.7 Kerangka Teori.

Resiko mencederai diri


sendiri ,orang lain dan Gangguan persepsi sensori
Bercakap-cakap
lingkungan. : Halusinasi

Mengontrol
halusinasi

Faktor predisposisi :
1. Faktor
Isolasi sosial Faktor presipitasi :
perkembangan
2. Faktor sosio 1. Perilaku
kultural 2. Sumber koping
3. Faktor biokimia
4. Faktor psikologis
5. Faktor genetic dan
pola asuh

Gambar 2.7.1 Kerangka Teori Sumber : Keliat, dkk (2015), Stuart (2013), Yusuf,
dkk, (2015).
DAFTAR PUSTAKA

Yosep. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. . Bandung : Refika Aditama .

National Alliance of Mental Illness (NAMI). (2017). Sleep Disorders The


Connection Between Sleep And Mental Health.

Depkes RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Keliat. (2012). Terapi Aktivitas Kelompok . Jakarta: EGC.

Undang-undang kesehatan RI nomor 8 tahun 2014 ,Tentang Gangguan Jiwa.

Davidson, G. (2010). Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. Rajagrafindo Permai .

Budiono dan Pertami, S. B. (2015). Konsep Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta:


Bumi Medika.
Dadds Collins, D. e. (2018). Kimonis . Australian: Mental Health Services.
Dermawan, D. d. (2013). Keperawatan Jiwa ; Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishin.
Direja. (2011). Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Yogyakarta: Nuha Medika.
Lunn, B. (2017). Schizophrenia. Second Edition.
Maslim, D. R. (2015). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa . Jakarta : Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori dan Aplikasi).
Yogyakarta: Andi.
Nainggolan. (2013). Profil Kepribadian dan Pscyhological . Jurnal Soul, Vol 6
No. 1, 21-43.
Nurarif, A. H. (2012). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi . Jakarta,
EGC: Mediaction Jogja.
Nurarif, A. H. (2015). Diagnosis Keperawatan dan Klasifikasi . Jakarta, EGC:
Mediaction Jogja.
Perry, P. &. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Edisi 4 . Jakarta :
EGC.
Prabowo, E. (2014). Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Edisi Pert.
Yogjakarta: Nuha Medika.
Purba, T. N. (2014). Pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi
terhadap kemampuan pasien mengontrol halusinasi di RSJ Tampan
Provinsi Riau. Jurnal Ilmu Keperawatan Universitas Riau.
Sadcok, B. J. (2015). Mood disorder. America: Wolters Kluwer.
Stuart. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart.
Singapore: Elsevier Inc.
Waters, F. A. (2017). Hallucinations A Systematic Review of Points of Similarity
and Difference Across Classes. Amerika.
Yosep, I. (2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.
Yusuf, F. R. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.

Anda mungkin juga menyukai