H DENGAN GANGGUAN
PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI PENDENGARAN
RSJ PROF.Dr. MUHAMMAD ILDREM
PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2019
Menurut WHO (2012), prevalensi masalah kesehatan jiwa mencapai 15% dari
penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan akan berkembang menjadi 25%
di tahun 2030. Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 0,46 %,
dengan kata lain dari 1000 penduduk Indonesia empat sampai lima diantaranya
menderita gangguan jiwa berat.Dari sejumlah 1.168 penduduk, ditemukan
jumlah penduduk dewasa adalah 817 jiwa. Angka gangguan mental emosional
sebanyak 148 jiwa dari 200 jiwa yang diperkirakan, angka gangguan jiwa yang
ditemukan 18 jiwa dari 4 jiwa berdasarkan estimasi jumlah penduduk dewasa.
Angka tersebut meningkat hampir 450% dari angka gangguan jiwa tingkat
nasional yaitu 0,46%. Kondisi ini mengambarkan prevalensi masalah kesehatan
jiwa baik gangguan jiwa ringan sampai berat cukup tinggi dan membutuhkan
penanganan yang serius serta berkesinambungan. Salah satu masalah
keperawatan yang dialami oleh klien adalah masalah halusinasi pendengaran
(Nyumirah, S, 2013).
Dari data laporan Rekam Medik RSJ. Prof. Dr. M Ildream pada tahun 2017,
didapatkan data tercatat jumlah pasien rawat jalan mencapai 12.787 orang, dan
didapatkan data klien dengan halusinasi pendengaran sebanyak 20 pasien.
Dilihat dari permasalahan di atas, tingginya angka kejadian halusinasi
menunjukkan bahwa perlunya intervensi yang tepat dari perawat guna
menekan jumlah tersebut. maka penulis tertarik untuk memberikan asuhan
keperawatan kepada klien dengan “gangguan persepsi halusinasi
pendengaran”.
1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Penulis mampu menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan jiwa Skizofrenia paranoid “halusinasi pendengaran” sesuai
dengan proses keperawatan.
b. Tujuan Khusus
1. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn. H dengan gangguan
persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
2. Penulis mampu menegakkan diagnosa keperawatan yang ada pada Tn. H
dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
3. Penulis menetapkan perencanaan keperawatan pada Tn. H dengan
gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
4. Penulis melakukan implementasi keperawatan pada Tn. H dengan
gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
5. Penulis mengevaluasi hasil asuhan keperawatan pada Tn. H dengan
gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
6. Mendokumentasikan asuhan keperawatan yang diberikan pada Tn. H
dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
b. Psikologis
Meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas,
pengalaman masa lalu, koping dan keterampilan komunikasi secara
verbal (Stuart, 2009). Konsep diri dimulai dari gambaran diri secara
keseluruhan yang diterima secara positif atau negatif oleh seseorang.
Penerimaan gambaran diri yang negative menyebabkan perubahan
persepsi seseorang dalam memandang aspek positif lain yang dimiliki.
Peran merupakan bagian terpenting dari konsep diri secara utuh. Peran
yang terlalu banyak dapat menjadi beban bagi kehidupan seseorang, hal
ini akan berpengaruh terhadap kerancuan dari peran dirinya dan dapat
menimbulkan depresi yang berat. Ideal diri adalah harapan, cita-cita
serta tujuan yang ingin diwujudkan atau dicapai dalam hidup secara
realistis. Identitas diri terkait dengan kemampuan seseorang dalam
mengenal siapa dirinya, dengan segala keunikannya. Harga diri
merupakan kemampuan seseorang untuk menghargai diri sendiri serta
member penghargaan terhadap kemampuan orang lain.
c. Sosial Budaya
Meliputi status sosial, umur, pendidikan, agama, dan kondisi politik.
Menurut Townsend 2009 dalam Nyumirah, 2013 ada beberapa hal yang
dikaitkan dengan masalah gangguan jiwa. Salah satunya yang terjadi
pada klien halusinasi adalah masalah pekerjaan yang akan
mempengaruhi status sosial. Klien dengan status sosial ekonomi yang
rendah berpeluang lebih besar untuk mengalami gangguan jiwa
dibandingkan dengan klien yang memiliki status sosial ekonomi tinggi.
Faktor sosial ekonomi tersebut meliputi kemiskinan, tidak memadainya
sarana dan prasarana, tidak adekuatnya pemenuhan nutrisi, rendahnya
pemenuhan kebutuhan perawatan untuk anggota keluarga, dan perasaan
tidak berdaya. Kultur atau budaya, kepercayaan kebudayaan klien dan
nilai pribadi mempengaruhi masalah klien dengan halusinasi.
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
status social ekonomi, pendidikan yang rendah, kurangnya
pengetahuan, motivasi yang kurang dan kondisi fisik yang lemah dapat
mempengaruhi klien dalam mempertahankan aktifitas klien yang
mengalami halusinasi.
2. Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah
adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak
berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor
dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan
(Keliat, 2012). Faktor presipitasi sebagai suatu stimulus yang
dipersepsikan oleh individu apakah dipersepsikan sebagai suatu
kesempatan, tantangan, ancaman/tuntutan. Stressor presipitasi bisa berupa
stimulus internal maupun eksternal yang mengancam individu. Komponen
stressor presipitasi terdiri atas sifat, asal, waktu dan jumlah stressor
(Stuart, 2009). Sifat stresor, terjadinya halusinasi berdasarkan sifat terdiri :
a. Komponen biologis, misalnya penyakit infeksi, penyakit kronis atau
kelainan struktur otak, ketidakteraturan dalam proses pengobatan.
b. Komponen psikologis, misalnya: intelegensi, ketrampilan verbal, moral,
kepribadian dan kontrol diri, pengalaman yang tidak menyenangkan,
kurangnya motivasi.
c. Komponen sosial budaya, misalnya: adanya aturan yang sering
bertentangan antara individu dan kelompok masyarakat, tuntutan
masyarakat yang tidak sesuai dengan kemampuan seseorang, ataupun
adanya stigma dari masyarakat terhadap seseorang yang mengalami
gangguan jiwa, sehingga klien melakukan perilaku yang terkadang
menentang hal tersebut yang menurut masyarakat tidak sesuai dengan
kebiasaan dan lingkungan setempat.
Asal stresor terdiri dari internal dan eksternal. Stresor internal atau yang
berasal dari diri sendiri seperti persepsi individu yang tidak baik tentang
dirinya, orang lain dan lingkungannya, merasa tidak mampu,
ketidakberdayaan. Stresor eksternal atau berasal dari luar diri seperti
kurangnya dukungan keluarga, dukungan masyarakat, dukungan
kelompok/teman sebaya, dan lain-lain. Waktu dilihat sebagai dimensi
kapan stresor mulai terjadi dan berapa lama terpapar stressor sehingga
menyebabkan munculnya gejala. Lama dan jumlah stresor yaitu terkait
dengan sejak kapan, sudah berapa lama, berapa kali kejadiannya
(frekuensi) serta jumlah stresor (Stuart, 2009).
3. Faktor pemicu
a. Kesehatan : nutrisi dan tidur kurang, ketidakseimbangan sirkardian.
Kelelahan dan infeksi, obat – obatan system syaraf kurangnya latihan
dan hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan.
b. Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah tangga,
kehilangan kebebasan hidup dan melaksanakan pola aktivitas sehari –
hari. Sukar dalam berhubungan dengan orang lain, isolasi sosial,
kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja (kurang terampil dalam
bekerja), stigmasasi, kemiskinan, kurangnya alat transfortasi dan
ketidakmampuan mendapat pekerjaan.
c. Sikap : merasa tidak mampu (harga diri sendiri), putus asa (tidak
percaya diri), merasa gagal (kehilangan mativasi menggunakan
keterampilan diri), kehilangan kendali diri (demoralisasi),
merasamempunyai kekuatan berlebihan, merasa malang (tidak mampu
memenuhi kebutuhan spiritual).
d. Perilaku : respon perilaku klian terhadap halusinasi dapat berupa curiga,
ketakutan, rasa tidak nyaman, gelisah, binggung, perilaku merusak diri,
kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, bicara
inkonheren, bicara sendiri, tidak membedakan yang nyata dengan yang
tidak nyata.
Mekanisme koping
a. Regresi : menjadi malas beraktivitas shari – hari
b. Proyeksi : menjelaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha
untuk mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
c. Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal
a. Respon Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas
normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah
tersebut, respon adaptif:
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman.
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran.
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan.
b. Respon Psikososial
Respon psikosial meliputi:
1) Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan
gangguan.
2) Ilusi adalah interpretasi atau penilaian yang salah tentang penerapan
yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca
indera.
3) Emosi berlebihan atau berkurang.
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran.
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindar interaksi dengan
orang lain.
c. Respon Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah
yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan,
adapun respon maladaptif meliputi:
1) Kelainan pikiran adalah keyakianan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertetangan dengan
kenyataan sosial.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi
eksternal yang tidak realita atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari
hati.
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.
5) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu
dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu
kecelakaan yang negatif mengancam.
5. Fase Halusinasi
a. Halusinasi terbagi atas beberapa fase menurut Kanine E. (2012) yaitu:
1) Fase Pertama/comforting/menyenangkan
Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah,
kesepian. Klien mungkin melamun/memfokuskan pikiran pada hal
yang menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan dan stress.
Cara ini menolong untuk sementara. Klien masih mampu mengontrol
kesadarannya dan mengenal pikirannya, namun intensitas persepsi
meningkat.
2) Fase Kedua/comdemming
Kecemasan meningkat, Klien berada pada tingkat “listening” pada
halusinasi. Pemikiran internal menjadi menonjol, gambaran suara
dan sensasi halusinasi dapat berupa bisikan yang tidak jelas.Takut
apabila orang lain mendengar dan klien merasa tak mampu
mengontrolnya. Klien membuat jarak antara dirinya dan halusinasi
dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang
lain.
4) Fase Keempat/conquering/panic
Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol
halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah
menjadi mengancam, memerintah dan memarahi klien tidak dapat
berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk dengan
halusinasinya klien berada dalam dunia yang menakutkan dalam
waktu singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses ini menjadi
kronik jika tidak dilakukan intervensi.
2.1.5 Komplikasi
Halusinasi dapat menjadi suatu alasan mengapa klien melakukan tindakan
perilaku kekerasan karena suara-suara yang memberinya perintah sehingga
rentan melakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku kekerasan yang
timbul pada klien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak
berharga, takut dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan
menyingkir dari hubungan interpersonal dengan orang lain (Stuart, 2009).
Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan masalah utama gangguan
sensori persepsi: halusinasi, antara lain: resiko prilaku kekerasan, harga diri
rendah dan isolasi sosial.
b. Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis akan mengakibatkan
stress dan kecemasan yang berakhir dengan gangguan orientasi
realita.
b. Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stres yang ditentukan secara biologis
berinteraksi dengan stresor lingkungan untuk menentukan
terjadinya gangguan prilaku.
c. Stress sosial/budaya
Stress dan kecemasan akan meningkat apabila terjadi penurunan
stabilitas keluarga, terpisahnya dengan orang terpenting atau
disingkirkan dari kelompok.
d. Faktor psikologik
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan mengatasi masalah dapat menimbulkan
perkembangan gangguan sensori persepsi halusinasi.
e. Mekanisme koping
Menurut Stuart (2009) perilaku yang mewakili upaya untuk
melindungi pasien dari pengalaman yang menakutkan berhubungan
dengan respons neurobiologis maladaptif meliputi
: regresi, berhunbungan dengan masalah proses informasi dan
upaya untuk mengatasi ansietas, yang menyisakan sedikit energi
untuk aktivitas sehari-hari. Proyeksi, sebagai upaya untuk
menejlaskan kerancuan persepsi dan menarik diri.
f. Sumber koping
Menurut Stuart (2009) sumber koping individual harus dikaji
dengan pemahaman tentang pengaruh gangguan otak pada perilaku.
Orang tua harus secara aktif mendidik anak–anak dan dewasa muda
tentang keterampilan koping karena mereka biasanya tidak hanya
belajar dari pengamatan. Disumber keluarga dapat pengetahuan
tentang penyakit, finensial yang cukup, faktor ketersediaan waktu
dan tenaga serta kemampuan untuk memberikan dukungan secara
berkesinambungan.
g. Perilaku halusinasi
Menurut Towsend (2009), batasan karakteristik halusinasi yaitu
bicara teratawa sendiri, bersikap seperti memdengar sesuatu,
berhenti bicara ditengah – tengah kalimat untuk mendengar
sesuatu, disorientasi, pembicaraan kacau dan merusak diri sendiri,
orang lain serta lingkungan.
Dosis
a. Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular.
b. Clorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap 6-8 jam
sampai keadaan akut teratasi.
2. Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang relatif lama, juga merupakan bagian
penting dalam proses terapeutik. Upaya dalam psikoterapi ini
meliputi: memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan
terapeutik, memotivasi klien untuk dapat mengungkapkan perasaan
secara verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur terhadap klien.
3.4 FISIK
Tanda vital:
TD : 110/80 mmHg, HR : 80 x/I, Temp : 370 C, RR : 20 x/menit
TB : 165 cm, BB : 60 Kg
Klien tidak memiliki keluhan fisik, klien merasa badannya sehat-sehat saja.
Masalah Keperawatan: Tidak ada
3.5 PSIKOSOSIAL
3.5.1 Genogram
Keterangan:
: Laki – Laki
: Wanita
: Klien
: Cerai
: Tinggal serumah
: Meninggal
X
3.5.4 Spiritual
1. Nilai dan keyakinan : Klien menganut agama budha dan percaya
pada Tuhannya
2. Kegiatan ibadah : Klien selama dirawat tidak pernah
melakukan kegiatan ibadah
Masalah Keperawatan: Defisit Spiritual
Jumat 1. Data : S :
22/11/2019 Tanda dan gejala : Klien mengatakan
Klien masih jalan mondar- - Menutup telinga saat
mandir dan berbicara sendiri mendengar suara-
2. Kemampuan : melakukan suara palsu
aktivitas bersihkan tempat tidur - Minum obat
3. Diagnosa Keperawatan: 2x1/hari
Perubahan persepsi sensori : - Bercakap-cakap
Halusinasi Pendengaran dengan orang lain
4. Tindakan keperawatan: O:
Perubahan persepsi sensori : 1. Klien menutup
Halusinasi Pendengaran telinga saat
11:30 WIB Sp 3 Mengontrol halusinasi mendemonstrasikan
dengan cara bercakap-cakap cara menghardik dan
dengan orang lain minum obat 2x1/hari
Mengevaluasi kemampuan klien 2. Klien bercakap-
mengontrol halusinasi dengan cakap dengan orang
cara menghardik dan minum lain
obat secara teratur A:
Mengontrol halusinasi dengan Perubahan persepsi
cara bercakap-cakap dengan sensori : Halusinasi
orang lain Pendengaran (+)
- Menyarankan klien untuk P :
bercakap-cakap dengan orang 1. Latihan cara
disekitarnya. menghardik 2x/hari
5. RTL : 2. Minum obat
Sp 4 Perubahan persepsi 2x1/hari
sensori : Halusinasi 3. Latihan bercakap-
Pendengaran : mengontrol cakap dengan orang
halusinasi dengan cara lain 3x1/hari
melakukan kegiatan
terjadwal
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian
Tahap pengkajian pada klien halusinasi dilakukan interaksi perawat-klien
melalui komunikasi terapeutik untuk mengumpulkan data dan informasi
tentang status kesehatan klien. Pada tahap ini terjadi proses interaksi manusia,
komunikasi, transaksi dengan peran yang ada pada perawat sebagaimana
konsep tentang manusia yang bisa dipengaruhi dengan adanya proses
interpersonal.
4.4 Evaluasi
Pada tinjauan teoritis evaluasi yang diharapkan adalah: Pasien mempercayai
perawat sebagai terapis, pasien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada
objeknya, dapat mengidentifikaasi halusinasi, dapat mengendalikan halusinasi
melalui menghardik, latihan bercakap-cakap, melakukan aktivitas serta
menggunakan obat secara teratur.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas, maka penulis dapat
disimpulkan bahwa:
1. Pengkajian dilakukan secara langsung pada klien dan juga dengan
menjadikan status klien sebagai sumber informasi yang dapat mendukung
data-data pengkajian. Selama proses pengkajian, perawat mengunakan
komunikasi terapeutik serta membina hubungan saling percaya antara
perawat-klien. Pada kasus Tn. H, diperoleh bahwa klien mengalami gejala-
gejala halusinasi seperti mendengar suara-suara, gelisah, mondar-mandir,
sedih, malu, mudah marah dan lain-lain.
2. Diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus Tn. H, sebanyak:
Halusinasi pendengaran, defisit perawatan diri, regiment terapi inefektif,
harga diri rendah. Tetapi pada pelaksanaannya, penulis fokus pada
masalah utama yaitu halusinasi pendengaran.
3. Perencanaan dan implementasi keperawatan disesuaikan dengan strategi
pertemuan pada pasien halusinasi pendengaran.
4. Evaluasi diperoleh bahwa terjadi peningkatan kemampuan klien dalam
mengendalikan halusinasi yang dialami serta dampak pada penurunan
gejala halusinasi pendengaran yang dialami.
5.2 Saran
1. Bagi Perawat
Diharapkan dapat meenrapkan komunikasi terapeutik dalam pelaksanaan
strategi pertemuan 1-4 pada klien dengan halusinasi sehingga dapat
mempercepat proses pemulihan klien.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat meningkatkan bimbingan klinik kepada mahasiswa profesi ners
sehingga mahasiswa semakin mampu dalam melakukan asuhan
keperawatan pada pasien-pasien yang mengalami halusinasi pendengaran
3. Bagi Rumah Sakit
Laporan ini diharapkan dapat menjadi acuan dan referensi dalam
memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan halusinasi
pendengaran.
DAFTAR PUSTAKA