Anda di halaman 1dari 41

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA Tn.

H DENGAN GANGGUAN
PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI PENDENGARAN
RSJ PROF.Dr. MUHAMMAD ILDREM
PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2019

Fany Angraini Siregar, S. Kep


190202065

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
MEDAN
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan jiwa merupakan kondisi dimana seseorang individu dapat
berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu
tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat
bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi untuk
komunitasnya (UU Kesehatan jiwa, 2014). Kesehatan jiwa menurut World
Health Organization tahun 2011 yaitu kondisi sejahtera dimana individu
menyadari kemampuan yang dimilikinya, dapat mengatasi stress dalam
kehidupannya, dapat bekerja secara produktif dan mempunyai kontribusi dalam
kehidupan bermasyarakat.

Apabila seseorang tidak memenuhi kriteria ciri-ciri kesehatan jiwa yang


meliputi ketidakpuasan dengan karakteristik, kemampuan dan prestasi diri,
hubungan yang tidak efektif atau tidak memuaskan misalnya tidak puas hidup
didunia atau koping yang tidak efektif terhadap peristiwa kehidupan dan tidak
terjadi pertumbuhan personal, dapat dikatakan mengalami gangguan jiwa.
Menurut American Psikiatric Association (1994, dalam Videbeck 2008),
gangguan jiwa merupakan suatu syndrom pola psikologis atau perilaku yang
penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya
disstress seperti gejala nyeri, dissabilitas atau kerusakan satu atau lebih area
fungsi yang penting dimana hal ini disertai risiko kematian yang menyakitkan.

Menurut WHO (2012), prevalensi masalah kesehatan jiwa mencapai 15% dari
penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan akan berkembang menjadi 25%
di tahun 2030. Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 0,46 %,
dengan kata lain dari 1000 penduduk Indonesia empat sampai lima diantaranya
menderita gangguan jiwa berat.Dari sejumlah 1.168 penduduk, ditemukan
jumlah penduduk dewasa adalah 817 jiwa. Angka gangguan mental emosional
sebanyak 148 jiwa dari 200 jiwa yang diperkirakan, angka gangguan jiwa yang
ditemukan 18 jiwa dari 4 jiwa berdasarkan estimasi jumlah penduduk dewasa.
Angka tersebut meningkat hampir 450% dari angka gangguan jiwa tingkat
nasional yaitu 0,46%. Kondisi ini mengambarkan prevalensi masalah kesehatan
jiwa baik gangguan jiwa ringan sampai berat cukup tinggi dan membutuhkan
penanganan yang serius serta berkesinambungan. Salah satu masalah
keperawatan yang dialami oleh klien adalah masalah halusinasi pendengaran
(Nyumirah, S, 2013).

Halusinasi merupakan keadaan seseorang mengalami perubahan dalam pola


dan jumlah stimulasi yang diprakarsai secara internal atau eksternal disekitar
dengan pengurangan, berlebihan, distorsi, atau kelainan berespon terhadap
setiap stimulus (Townsend, 2009 dalam Pardede, Keliat, & Yulia, 2013).
Halusinasi pendengaran paling sering terjadi ketika klien mendengar suara-
suara, suara tersebut dianggap terpisah dari pikiran klien sendiri. Isi suara-suara
tersebut mengancam dan menghina, sering kali suara tersebut memerintah klien
untuk melakukan tindakan yang akan melukai klien atau orang lain (Copel,
2007 dalam Nyumirah, 2013).

Dari data laporan Rekam Medik RSJ. Prof. Dr. M Ildream pada tahun 2017,
didapatkan data tercatat jumlah pasien rawat jalan mencapai 12.787 orang, dan
didapatkan data klien dengan halusinasi pendengaran sebanyak 20 pasien.
Dilihat dari permasalahan di atas, tingginya angka kejadian halusinasi
menunjukkan bahwa perlunya intervensi yang tepat dari perawat guna
menekan jumlah tersebut. maka penulis tertarik untuk memberikan asuhan
keperawatan kepada klien dengan “gangguan persepsi halusinasi
pendengaran”.

a.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Penulis mampu menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan jiwa Skizofrenia paranoid “halusinasi pendengaran” sesuai
dengan proses keperawatan.
b. Tujuan Khusus
1. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn. H dengan gangguan
persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
2. Penulis mampu menegakkan diagnosa keperawatan yang ada pada Tn. H
dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
3. Penulis menetapkan perencanaan keperawatan pada Tn. H dengan
gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
4. Penulis melakukan implementasi keperawatan pada Tn. H dengan
gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
5. Penulis mengevaluasi hasil asuhan keperawatan pada Tn. H dengan
gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
6. Mendokumentasikan asuhan keperawatan yang diberikan pada Tn. H
dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Halusinasi Pendengaran


2.1.1 Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami
oleh pasien gangguan jiwa, klien merasakan sensasi berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus nyata.
(Keliat, 2012). Halusinasi pendengaran paling sering terjadi ketika klien
mendengar suara-suara, Suara tersebut dianggap terpisah dari pikiran klien
sendiri. Isi suara-suara tersebut mengancam dan menghina, sering kali
suara tersebut memerintah klien untuk melakukan tindakan yang akan
melukai klien atau orang lain (Copel, 2007 dalam Nyumirah, 2013). Dari
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa halusinasi pendengaran adalah
persepsi atau tanggapan dari pancaidera (Mendengar) terhadap stimulus
yang tidak nyata yang mempengaruhi perilaku individu.

2.1.2 Klasifikasi Halusinasi


Jenis halusinasi Data Objektif Data Subjektif

Halusinasi 1. Bicara atau tertawa sendiri 1. Mendengar suara atau


Pendengaran tanpa lawan bicara kegaduhan
2. Marah-marah tanpa sebab 2. Mendengar suara yang
mencondongkan telinga ke mengajak bercakap-cakap
arah tertentu 3. Mendengar suara yang
3. Menutup telinga menyuruh melakukan sesuatu
yang berbahaya

Halusinasi 1. Menunjuk-nunjuk ke arah Melihat bayangan, sinar,


penglihatan tertentu bentuk geometris, bentuk
2. Ketakutan pada objek kartun, melihat hantu atau
yang tidak jelas monster

Halusinasi 1. Menghindu seperti sedang 1. Membaui bau-bauan seperti


penghindu membaui bau-bauan bau darah, urine, feses,
tertentu 2. Kadang-kadang bau itu
2. Menutup hidung menyenangkan

Halusinasi 1. Sering meludah Merasakan rasa seperti darah,


pengecepan 2. Muntah urine, feses
Halusinasi Menggaruk-garuk permukaan Mengatakan ada serangga di
perabaan kulit permukaan kulit

2.1.3 Etiologi
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi sebagai faktor risiko yang menjadi sumber terjadinya
stres yang mempengaruhi tipe dan sumber dari individu untuk menghadapi
stres baik yang biologis, psikososial dan sosial kultural. Membedakan
stressor predisposisi menjadi tiga, meliputi biologis, psikologis dan sosial
budaya. Stressor predisposisi ini kejadiannya telah berlalu (Stuart, 2013).
Penjelasan secara rinci tentang ketiga stressor predisposisi tersebut sebagai
berikut:
a. Biologis
Faktor biologis terkait dengan adanya neuropatologi dan
ketidakseimbangan dari neurotransmiternya. Dampak yang dapat dinilai
sebagai manifestasi adanya gangguan adalah perilaku maladaptif klien
(Townsend, 2009). Secara biologi riset neurobiologikal memfokuskan
pada tiga area otak yang dipercaya dapat melibatkan klien mengalami
halusinasi yaitu sistem limbik, lobus frontalis dan hypothalamus.

Pada klien dengan halusinasi diperkirakan mengalami kerusakan pada


sistem limbic dan lobus frontal yang berperan dalam pengendalian atau
pengontrolan perilaku, kerusakan pada hipotalamus yang berperan
dalam pengaturan mood dan motivasi. Kondisi kerusakan ini
mengakibatkan klien halusinasi tidak memiliki keinginan dan motivasi
untuk berperilaku secara adaptif. Klien halusinasi juga diperkirakan
mengalami perubahan pada fungsi neurotransmitter, perubahan
dopamin, serotonin, norepineprin dan asetilkolin yang menyebabkan
adanya perubahan regulasi gerak dan koordinasi, emosi, kemampuan
memecahkan masalah; perilaku cenderung negatif atau berperilaku
maladaptif; terjadi kelemahan serta penurunan atensi dan mood.

Genetik juga dapa memicu terjadi halusinasi pada seorang individu.


Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif.
Terjadinya penyakit jiwa pada individu juga dipengaruhi oleh
keluarganya dibanding dengan individu yang tidak mempunyai
penyakit terkait. Banyak riset menunjukkan peningkatan risiko
mengalami skizofrenia pada individu dengan riwayat genetik terdapat
anggota keluarga dengan skizofrenia. Pada kembar dizigot risiko terjadi
skizofrenia 15%, kembar monozigot 50%, anak dengan salah satu orang
tua menderita skizofrenia berisiko 13%, dan jika kedua orang tua
mendererita skizofrenia berisiko 45% (Fontaine, 2009)

b. Psikologis
Meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas,
pengalaman masa lalu, koping dan keterampilan komunikasi secara
verbal (Stuart, 2009). Konsep diri dimulai dari gambaran diri secara
keseluruhan yang diterima secara positif atau negatif oleh seseorang.
Penerimaan gambaran diri yang negative menyebabkan perubahan
persepsi seseorang dalam memandang aspek positif lain yang dimiliki.

Peran merupakan bagian terpenting dari konsep diri secara utuh. Peran
yang terlalu banyak dapat menjadi beban bagi kehidupan seseorang, hal
ini akan berpengaruh terhadap kerancuan dari peran dirinya dan dapat
menimbulkan depresi yang berat. Ideal diri adalah harapan, cita-cita
serta tujuan yang ingin diwujudkan atau dicapai dalam hidup secara
realistis. Identitas diri terkait dengan kemampuan seseorang dalam
mengenal siapa dirinya, dengan segala keunikannya. Harga diri
merupakan kemampuan seseorang untuk menghargai diri sendiri serta
member penghargaan terhadap kemampuan orang lain.

Klien yang mengalami halusinasi memandang dirinya secara negatif


sering mengabaikan gambaran dirinya, tidak memperhatikan
kebutuhannya dengan baik. Intelektualitas ditentukan oleh tingkat
pendidikan seseorang, pengalaman dan interaksi dengan lingkungan
ketika mengalami halusinasi. Kepribadian pada klien halusinasi
biasanya ditemukan klien memiliki kepribadian yang tertutup. Klien
tidak mudah menerima masukan dan informasi yang berkaitan dengan
kehidupan klien. Klien juga jarang bergaul dan cenderung menutup diri.
Klien memiliki ketidakmampuan untuk mengevaluasi atau menilai
keadaan dirinya dan tidak mampu memutuskan melakukan peningkatan
keadaan menjadi lebih baik.

Moralitas pandangan negatif terhadap diri sendiri ini menyebabkan


klien mengalami penurunan motivasi untk melakukan aktifitas.
Kesimpulannya, adanya penilaian diri yang negatif pada diri klien
dengan halusinasi menyebabkan tidak ada tanggung jawab secara moral
pada klien untuk melakukan aktifitas.

Menurut beberapa penjelasan di atas dapat diambil suatu kesimpulan


bahwa jika mempunyai pengalaman masa lalu yang tidak
menyenangkan, klien mempunyai konsep diri negatif, intelektualitas
yang rendah, kepribadian dan moralitas yang tidak adekuat merupakan
penyebab secara psikologis untuk terjadinya halusinasi. Klien
halusinasi memerlukan perhatian yang cukup besar untuk dapat
mengembalikan konsep diri yang seutuhnya yang menyebabkan klien
suka menyendiri, melamun dan akhirnya muncul halusinasi.

c. Sosial Budaya
Meliputi status sosial, umur, pendidikan, agama, dan kondisi politik.
Menurut Townsend 2009 dalam Nyumirah, 2013 ada beberapa hal yang
dikaitkan dengan masalah gangguan jiwa. Salah satunya yang terjadi
pada klien halusinasi adalah masalah pekerjaan yang akan
mempengaruhi status sosial. Klien dengan status sosial ekonomi yang
rendah berpeluang lebih besar untuk mengalami gangguan jiwa
dibandingkan dengan klien yang memiliki status sosial ekonomi tinggi.
Faktor sosial ekonomi tersebut meliputi kemiskinan, tidak memadainya
sarana dan prasarana, tidak adekuatnya pemenuhan nutrisi, rendahnya
pemenuhan kebutuhan perawatan untuk anggota keluarga, dan perasaan
tidak berdaya. Kultur atau budaya, kepercayaan kebudayaan klien dan
nilai pribadi mempengaruhi masalah klien dengan halusinasi.
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
status social ekonomi, pendidikan yang rendah, kurangnya
pengetahuan, motivasi yang kurang dan kondisi fisik yang lemah dapat
mempengaruhi klien dalam mempertahankan aktifitas klien yang
mengalami halusinasi.

2. Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah
adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak
berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor
dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan
(Keliat, 2012). Faktor presipitasi sebagai suatu stimulus yang
dipersepsikan oleh individu apakah dipersepsikan sebagai suatu
kesempatan, tantangan, ancaman/tuntutan. Stressor presipitasi bisa berupa
stimulus internal maupun eksternal yang mengancam individu. Komponen
stressor presipitasi terdiri atas sifat, asal, waktu dan jumlah stressor
(Stuart, 2009). Sifat stresor, terjadinya halusinasi berdasarkan sifat terdiri :
a. Komponen biologis, misalnya penyakit infeksi, penyakit kronis atau
kelainan struktur otak, ketidakteraturan dalam proses pengobatan.
b. Komponen psikologis, misalnya: intelegensi, ketrampilan verbal, moral,
kepribadian dan kontrol diri, pengalaman yang tidak menyenangkan,
kurangnya motivasi.
c. Komponen sosial budaya, misalnya: adanya aturan yang sering
bertentangan antara individu dan kelompok masyarakat, tuntutan
masyarakat yang tidak sesuai dengan kemampuan seseorang, ataupun
adanya stigma dari masyarakat terhadap seseorang yang mengalami
gangguan jiwa, sehingga klien melakukan perilaku yang terkadang
menentang hal tersebut yang menurut masyarakat tidak sesuai dengan
kebiasaan dan lingkungan setempat.
Asal stresor terdiri dari internal dan eksternal. Stresor internal atau yang
berasal dari diri sendiri seperti persepsi individu yang tidak baik tentang
dirinya, orang lain dan lingkungannya, merasa tidak mampu,
ketidakberdayaan. Stresor eksternal atau berasal dari luar diri seperti
kurangnya dukungan keluarga, dukungan masyarakat, dukungan
kelompok/teman sebaya, dan lain-lain. Waktu dilihat sebagai dimensi
kapan stresor mulai terjadi dan berapa lama terpapar stressor sehingga
menyebabkan munculnya gejala. Lama dan jumlah stresor yaitu terkait
dengan sejak kapan, sudah berapa lama, berapa kali kejadiannya
(frekuensi) serta jumlah stresor (Stuart, 2009).

Saat pertama kali terkena masalah, maka penanganannya juga memerlukan


suatu upaya yang lebih intensif dengan tujuan untuk pencegahan primer.
Frekuensi dan jumlah stresor juga mempengaruhi individu, bila frekuensi
dan jumlah stresor lebih sedikit juga akan memerlukan penanganan yang
berbeda dibandingkan dengan yang mempunyai frekuensi dan jumlah
stresor lebih banyak. Berbagai penyebab/stressor di atas, yang meliputi
stressor predisposisi dan stressor presipitasi yang dialami oleh klien
halusinasi akan memunculkan beberapa respon. Respon tersebut
merupakan pikiran, sikap, tanggapan, perasaan dan perilaku yang
ditunjukkan pada klien halusinasi terhadap kejadian yang dialami.

3. Faktor pemicu
a. Kesehatan : nutrisi dan tidur kurang, ketidakseimbangan sirkardian.
Kelelahan dan infeksi, obat – obatan system syaraf kurangnya latihan
dan hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan.
b. Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah tangga,
kehilangan kebebasan hidup dan melaksanakan pola aktivitas sehari –
hari. Sukar dalam berhubungan dengan orang lain, isolasi sosial,
kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja (kurang terampil dalam
bekerja), stigmasasi, kemiskinan, kurangnya alat transfortasi dan
ketidakmampuan mendapat pekerjaan.
c. Sikap : merasa tidak mampu (harga diri sendiri), putus asa (tidak
percaya diri), merasa gagal (kehilangan mativasi menggunakan
keterampilan diri), kehilangan kendali diri (demoralisasi),
merasamempunyai kekuatan berlebihan, merasa malang (tidak mampu
memenuhi kebutuhan spiritual).
d. Perilaku : respon perilaku klian terhadap halusinasi dapat berupa curiga,
ketakutan, rasa tidak nyaman, gelisah, binggung, perilaku merusak diri,
kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, bicara
inkonheren, bicara sendiri, tidak membedakan yang nyata dengan yang
tidak nyata.

Validasi informasi tentang halusinasi yang diperlukan meliputi :


a. Isi haluinasi
Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, apa
yang dikatakan suara itu, jika halusianasi audiotorik. Apa bentuk
bayangan yang dilihat oleh klien jika halusinasi visual, bau apa yang
tercium jika halusinasi penghirup, rasa yang dikecap jika halusinasi
pengecapan, dan apa yang dirasakan dipermukaan tubuh jika halusinasi
perabaan.
b. Waktu dan frekuensi
Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman
halusinasi ini muncul, berapa kali sehari, seminggu, atau sebulan
pengalaman halusinasi itu muncul, informasi ini sangat penting untuk
mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan bila mana klien
perlu perhatian saat mengalami halusinasi.
c. Situasi pencetus halusinasi
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi
muncul. Selain itu perawat juga biasa mengobservasi apa yang dialami
klien menjelang munculnya halusinasi untuk memvalidasi pernyataan
klien
d. Respon klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien
bisa dikaji dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami
pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus
halusinasinya atau sudah tidak berdaya terhadp halusinasinya.

Mekanisme koping
a. Regresi : menjadi malas beraktivitas shari – hari
b. Proyeksi : menjelaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha
untuk mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
c. Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal

4. Rentang Respon Neurobiologi


Rentang respon neurobiologi (Stuart & Larai, 2005) :

Adaptif                                                                        Mal adaptif


Pikiran logis Kadang pikiran Gangguan proses
Persepsi akurat terganggu pikir/delusi
Emosi konsisten Ilusi Halusinasi
dengan Emosi Tidak mampu
pengalaman berlebihan/kurang mengalami emosi
Perilaku sesuai Perilaku yang tidak Perilaku tidak
Hubungan bisa terorganisir
social positif Menarik diri Isolasi social

a. Respon Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas
normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah
tersebut, respon adaptif:
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman.
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran.
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan.

b. Respon Psikososial
Respon psikosial meliputi:
1) Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan
gangguan.
2) Ilusi adalah interpretasi atau penilaian yang salah tentang penerapan
yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca
indera.
3) Emosi berlebihan atau berkurang.
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran.
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindar interaksi dengan
orang lain.

c. Respon Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah
yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan,
adapun respon maladaptif meliputi:
1) Kelainan pikiran adalah keyakianan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertetangan dengan
kenyataan sosial.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi
eksternal yang tidak realita atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari
hati.
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.
5) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu
dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu
kecelakaan yang negatif mengancam.

5. Fase Halusinasi
a. Halusinasi terbagi atas beberapa fase menurut Kanine E. (2012) yaitu:
1) Fase Pertama/comforting/menyenangkan
Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah,
kesepian. Klien mungkin melamun/memfokuskan pikiran pada hal
yang menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan dan stress.
Cara ini menolong untuk sementara. Klien masih mampu mengontrol
kesadarannya dan mengenal pikirannya, namun intensitas persepsi
meningkat.

Perilaku klien : tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,


menggerakkan bibir tanpa bersuara, pergerakan mata cepat, respon
verbal yang lambat jika sedang asyik dengan halusinasinya dan suka
menyendiri.

2) Fase Kedua/comdemming
Kecemasan meningkat, Klien berada pada tingkat “listening” pada
halusinasi. Pemikiran internal menjadi menonjol, gambaran suara
dan sensasi halusinasi dapat berupa bisikan yang tidak jelas.Takut
apabila orang lain mendengar dan klien merasa tak mampu
mengontrolnya. Klien membuat jarak antara dirinya dan halusinasi
dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang
lain.
Perilaku klien : meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom
seperti peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Klien asyik
dengan halusinasinya dan tidak bisa membedakan dengan realitas.
3) Fase Ketiga / controlling
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi
terbiasa dan tak berdaya pada halusinasinya. Termasuk dalam
gangguan psikotik.

Karakteristik : bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol,


menguasai dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak
berdaya terhadap halusinasinya.

Perilaku klien : kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian


hanya beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien
berkeringat, tremor dan tidak mampu mematuhi perintah.

4) Fase Keempat/conquering/panic
Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol
halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah
menjadi mengancam, memerintah dan memarahi klien tidak dapat
berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk dengan
halusinasinya klien berada dalam dunia yang menakutkan dalam
waktu singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses ini menjadi
kronik jika tidak dilakukan intervensi.

Perilaku klien : perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri,


perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu
merespon terhadap perintah kompleks dan tidak mampu berespon
lebih dari satu orang.

2.1.4 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap pasien serta
ungkapan pasien. Menurut Keliat, Novianti, Imelisa, Jalil (2014), tanda dan
gejala pasein halusinasi adalah sebagai berikut :

Data Objektif
1. Bicara atau tertawa sendiri
2. Marah-marah tanpa sebab
3. Memalingkan muka ke arah telinga seperti mendengar sesuatu
4. Menutup telinga
5. Menunjuk ke arah tertentu
6. Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas
7. Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu
8. Menutup hidung
9. Sering meludah
10. Muntah
11. Menggaruk-garuk permukaan kulit

Data Subjektif : Pasien mengatakan :


1. Mendengar suara-suara atau kegaduhan
2. Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
3. Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
4. Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu
atau monster
5. Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang bau
menyenangkan
6. Merasakan rasa seperti darah, urin atau feses
7. Merasa takut atau senang dengan halusinasinya
8. Mengatakan sering mendengar sesuatu pada waktu tertentu saaat sedang
sendirian
9. Mengatakan sering mengikuti isi perintah halusinasi

2.1.5 Komplikasi
Halusinasi dapat menjadi suatu alasan mengapa klien melakukan tindakan
perilaku kekerasan karena suara-suara yang memberinya perintah sehingga
rentan melakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku kekerasan yang
timbul pada klien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak
berharga, takut dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan
menyingkir dari hubungan interpersonal dengan orang lain (Stuart, 2009).

Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan masalah utama gangguan
sensori persepsi: halusinasi, antara lain: resiko prilaku kekerasan, harga diri
rendah dan isolasi sosial.

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian Keperawatan
Menurut Stuart (2009). Bahwa faktor-faktor terjadinya halusinasi
meliputi:
1. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi atau faktor yang mendukung terjadinya halusinasi
menurut Stuart (2007) adalah :
a. Faktor biologis
Pada keluarga yang melibatkan anak kembar dan anak yang
diadopsi menunjukkan peran genetik pada schizophrenia.Kembar
identik yang dibesarkan secara terpisah mempunyai angka kejadian
schizophrenia lebih tinggi dari pada saudara sekandung yang
dibesarkan secara terpisah.

b. Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis akan mengakibatkan
stress dan kecemasan yang berakhir dengan gangguan orientasi
realita.

c. Faktor sosial budaya


Stress yang menumpuk awitan schizophrenia dan gangguan
psikotik lain, tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama
gangguan.

2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi atau faktor pencetus halusinasi menurut Stuart
(2009) adalah:
a. Biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan respon neurobiologis
maladaptif adalah gangguan dalam komunikasi dan putaran umpan
balik otak dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam
otak, yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus

b. Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stres yang ditentukan secara biologis
berinteraksi dengan stresor lingkungan untuk menentukan
terjadinya gangguan prilaku.

c. Stress sosial/budaya
Stress dan kecemasan akan meningkat apabila terjadi penurunan
stabilitas keluarga, terpisahnya dengan orang terpenting atau
disingkirkan dari kelompok.
d. Faktor psikologik
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan mengatasi masalah dapat menimbulkan
perkembangan gangguan sensori persepsi halusinasi.

e. Mekanisme koping
Menurut Stuart (2009) perilaku yang mewakili upaya untuk
melindungi pasien dari pengalaman yang menakutkan berhubungan
dengan respons neurobiologis maladaptif
meliputi : regresi, berhunbungan dengan masalah proses informasi
dan upaya untuk mengatasi ansietas, yang menyisakan sedikit
energi untuk aktivitas sehari-hari. Proyeksi, sebagai upaya untuk
menejlaskan kerancuan persepsi dan menarik diri.
f. Sumber koping
Menurut Stuart (2009) sumber koping individual harus dikaji
dengan pemahaman tentang pengaruh gangguan otak pada perilaku.
Orang tua harus secara aktif mendidik anak–anak dan dewasa muda
tentang keterampilan koping karena mereka biasanya tidak hanya
belajar dari pengamatan. Disumber keluarga dapat pengetahuan
tentang penyakit, finensial yang cukup, faktor ketersediaan waktu
dan tenaga serta kemampuan untuk memberikan dukungan secara
berkesinambungan.

g. Perilaku halusinasi
Menurut Towsend (2009), batasan karakteristik halusinasi yaitu
bicara teratawa sendiri, bersikap seperti memdengar sesuatu,
berhenti bicara ditengah – tengah kalimat untuk mendengar
sesuatu, disorientasi, pembicaraan kacau dan merusak diri sendiri,
orang lain serta lingkungan.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


Menurut NANDA (2009-2011) diagnosa keperawatan utama pada klien
dengan prilaku halusinasi adalah Gangguan sensori persepsi: Halusinasi
(pendengaran, penglihatan, pengecapan, perabaan dan penciuman).
Sedangkan diagnosa keperawatan terkait lainnya adalah Isolasi social dan
Resiko menciderai diri sendiri, lingkungan dan orang lain.

2.2.3 Tindakan Keperawatan


Tindakan keperawatan yang diberikan pada klien tidak hanya berfokus
pada masalah halusinasi sebagai diagnose penyerta lain. Hal ini
dikarenakan tindakan yang dilakukan saling berkontribusi terhadap
tujuan akhir yang akan dicapai. Rencana tindakan keperawatan pada
klien dengan diagnose gangguan persepsi sensori halusinasi meliputi
pemberian tindakan keperawatan berupa terapi generalis individu yaitu
(Kanine, E., 2012) :
1. Melatih mengontrol halusinasi dengan cara menghardik,
2. Patuh minum obat secara teratur.
3. Melatih bercakap-cakap dengan orang lain,
4. Menyusun jadwal kegiatan dan dengan aktifitas
5. Terapi kelompok terkait terapi aktifitas kelompok stimulasi persepsi
halusinasi.

Rencana tindakan pada keluarga (Keliat, dkk. 2014) adalah


1. Diskusikan masalah yang dihadap keluarga dalam merawat pasien
2. Berikan penjelasan meliputi : pengertian halusinasi, proses terjadinya
halusinasi, jenis halusinasi yang dialami, tanda dan gejala halusinasi,
proses terjadinya halusinasi.
3. Jelaskan dan latih cara merawat anggota keluarga yang mengalami
halusinasi : menghardik, minum obat, bercakap-cakap, melakukan
aktivitas.
4. Diskusikan cara menciptakan lingkungan yang dapat mencegah
terjadinya halusinasi.
5. Diskusikan tanda dan gejala kekambuhan
6. Diskusikan pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan terdekat untuk
follow up anggota keluarga dengan halusinasi.

2.2.4 Penatalaksanaan Medis


Halusinasi merupakan salah satu gejala yang paling sering terjadi pada
gangguan Skizofrenia. Dimana Skizofrenia merupakan jenis psikosis,
adapun tindakan penatalaksanaan dilakukan dengan berbagai terapi yaitu
dengan:
1. Psikofarmakologis
Obat sangat penting dalam pengobatan skizofrenia, karena obat dapat
membantu pasien skizofrenia untuk meminimalkan gejala perilaku
kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah. Sehingga pasien
skizofrenia harus patuh minum obat secara teratur dan mau mengikuti
perawatan (Pardede, Keliat, Wardani, 2013)
a. Haloperidol (HLD)
Obat yang dianggap sangat efektif dalam pengelolaan
hiperaktivitas, gelisah, agresif, waham, dan halusinasi.
b. Chlorpromazine (CPZ)
Obat yang digunakan untuk gangguan psikosis yang terkait
skizofrenia dan gangguan perilaku yang tidak terkontrol
c. Trihexilpenidyl (THP)
Obat yang digunakan untuk mengobati semua jenis parkinson dan
pengendalian gejala ekstrapiramidal akibat terapi obat.

Dosis
a. Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular.
b. Clorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap 6-8 jam
sampai keadaan akut teratasi.

Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet:


a. Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari.
b. Klorpromazin 2x100 mg per hari
c. Triheksifenidil 2x2 mg per hari

Dalam keadaan fase kronis diberikan tablet:


a. Haloperidol 2x0,5 – 1 mg perhari
b. Klorpromazin 1x50 mg sehari (malam)
c. Triheksifenidil 1-2x2 mg sehari
d. Psikosomatik
Terapi kejang listrik (Electro Compulsive Therapy), yaitu suatu terapi
fisik atau suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal
secara artifisial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektroda
yang dipasang pada satu atau dua temples pada pelipis. Jumlah
tindakan yang dilakukan merupakan rangkaian yang bervariasi pada
setiap pasien tergantung pada masalah pasien dan respon terapeutik
sesuai hasil pengkajian selama tindakan. Pada pasien Skizofrenia
biasanya diberikan 30 kali. ECT biasanya diberikan 3 kali seminggu
walaupun biasanya diberikan jarang atau lebih sering. Indikasi
penggunaan obat: penyakit depresi berat yang tidak berespon terhadap
obat, gangguan bipolar di mana pasien sudah tidak berespon lagi
terhadap obat dan pasien dengan bunuh diri akut yang sudah lama
tidak mendapatkan pertolongan.

2. Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang relatif lama, juga merupakan bagian
penting dalam proses terapeutik. Upaya dalam psikoterapi ini
meliputi: memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan
terapeutik, memotivasi klien untuk dapat mengungkapkan perasaan
secara verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur terhadap klien.

2.2.5 Prinsip Keperawatan


Menetapkan  hubungan terapeutik, kontak sering dan singkat secara
bertahap, peduli, empati, jujur, menepati janji dan memenuhi kebutuhan
dasar klien. Pada umumnya melindungi dari perilaku yang
membahayakan, tidak membenarkan ataupun menyalahkan halusinasi
klien, melibatkan pasien dan keluarga dalam perencanaan asuhan
keperawatan dan mempertahankan perilaku keselarasan verbal dan
nonverbal.

2.2.6 Pelaksanaan Keperawatan


Implementasi disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Pada
situasi nyata sering pelaksanaan jauh berbeda dengan rencana, hal ini
terjadi karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis
dalam melaksanakan tindakan keperawatan (Dalami, 2009). Sebelum
melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah direncanakan, perawat
perlu memvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan masih sesuai
dan dibutuhkan klien sesuai dengan kondisinya (here and now). Perawat
juga menilai diri sendiri, apakah kemampuan interpersonal, intelektual,
tekhnikal sesuai dengan tindakan yang akan dilaksanakan, dinilai
kembali apakah aman bagi klien. Setelah semuanya tidak ada hambatan
maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan.

Adapun pelaksanaan tindakan keperawatan jiwa dilakukan berdasarkan


Strategi Pelaksanaan (SP) yang sesuai dengan masing-masing masalah
utama. Pada masalah gangguan sensori persepsi: halusinasi pendengaran,
terdapat 2 jenis SP, yaitu SP Klien dan SP Keluarga.

SP klien terbagi menjadi SP 1 (membina hubungan saling percaya,


mengidentifikasi halusinasi “jenis, isi, waktu, frekuensi, situasi, perasaan
dan respon halusinasi”, mengajarkan cara menghardik, memasukkan cara
menghardik ke dalam jadwal; SP 2 (mengevaluasi SP 1, mengajarkan
cara minum obat secara teratur, memasukan ke dalam jadwal); SP 3
(mengevaluasi SP 1 dan SP 2, menganjurkan klien untuk mencari teman
bicara); SP 4 (mengevaluasi SP 1, SP 2, dan SP 3, melakukan kegiatan
terjadwal).

SP keluarga terbagi menjadi SP 1 (membina hubungan saling percaya,


mendiskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien,
menjelaskan pengertian, tanda dan gejala helusinasi, jenis halusinasi
yang dialami klien beserta proses terjadinya, menjelaskan cara merawat
pasien halusinasi); SP 2 (melatih keluarga mempraktekan cara merawat
pasien dengan halusinasi, melatih keluarga melakukan cara merawat
langsung kepada pasien halusinasi); SP 3 (membantu keluarga membuat
jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat (discharge planing),
menjelaskan follow up pasien setelah pulang).  Pada saat akan
dilaksanakan tindakan keperawatan maka kontrak dengan klien
dilaksanakan dengan menjelaskan apa yang akan dikerjakan dan peran
serta klien yang diharapkan, dokumentasikan semua tindakan yang telah
dilaksanakan serta respon klien.
2.2.7 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada klien (Dalami, 2009). Evaluasi dilakukan
terus menerus pada respon klien terhadap tindakan yang telah
dilaksanakan, evaluasi dapat dibagi dua jenis yaitu: evaluasi proses atau
formatif dilakukan selesai melaksanakan tindakan. Evaluasi hasil atau
sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan
umum dan tujuan khusus yang telah ditentukan.

Evaluasi keperawatan yang diharapkan pada pasien dengan gangguan


sensori persepsi: halusinasi pendengaran adalah: tidak terjadi perilaku
kekerasan, klien dapat membina hubungan saling percaya, klien dapat
mengenal halusinasinya, klien dapat mengontrol halusinasinya, klien
mendapatkan dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya,
klien dapat menggunakan obat dengan baik dan benar.

Aplikasi teori keperawatan callista Roy


Model adaptasi roy menggambarkan manusia sebagai sistem terbuka dan
sistem adaptif yang akan merespons terhadap kejadian atau perubahan –
perubahan yang terjadi pada lingkungan baik yang internal maupun
external. Respon yang ditimbulkan tersebut dapat berupa respon adaftif
dan maladaptif, sesuai dengan mekanisme koping yang digunakan pasien
dalam menghadapi stressor yang hadapinya. Roy juga memandang
lingkungan sebagai kondisi internal maupun eksternal yang dapat diatur
dan dimanipulasi perawat dalam rangka membantu pasien memulihkan
diri dan meningkatkan kemampuan proses adaptasi klien terhadap
stimulus kearah yang lebih positif.

Ditatanan keperawatan jiwa sendiri, pendekatan yang digunakan pada


teori adaptasi roy ini sangat bermanfaat ketika perawat melakukan
asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan jiwa, mengatasi
masalah resiko dan gangguan jiwa.
Selain itu dapat lebih memahami tentang proses adaptasi yang terjadi
pada individu, yang dimulai dari adanya stimulus/stressor yang dapat
menjadikan individu mengalami stress, proses mekanisme koping
(kognator dan regulator) dan effektor sebagai upaya individu mengatasi
stressor dan terakhir timbulnya respon prilaku individu terhadap stressor
yang dihadapinya.
BAB 3
TINJAUAN KASUS

3.1 IDENTITAS KLIEN


Inisial : Tn. H
MR No :
Tanggal Masuk RS :
Tanggal Pengkajian :
Umur : 58 Tahun
Agama : Budha
P. Terakhir :
Informan : Klien dan Status Klien

3.2 ALASAN MASUK RUMAH SAKIT :


Gelisah, bicara dan tertawa sendiri, melamun, mondar mandir, mendengar
suara-suara yang menyuruh memukul ayahnya, senyum-senyum sendiri,
Keluarga klien mengatakan bahwa klien sering berteriak-teriak dirumah.

3.3 FAKTOR PREDISPOSISI


Klien pernah mengalami gangguan jiwa sejak 4 tahun yang lalu, terakhir
klien dirawat 4 tahun yang lalu di RSJD Prof. M. Ildrem Medan. Klien
mengatakan ia tidak mau minum obat secara teratur di rumah dan tidak
melakukan kontrol rutin ke RSJ sehingga timbul gejala seperti di atas
sehingga keluarga membawa klien kembali ke Rumah Sakit Jiwa.
Masalah Keperawatan : Regiment individu inefektif
3.4 FISIK
Tanda vital:
TD : 120/80 mmHg, HR : 80 x/I, Temp : 36,20 C, RR : 18 x/menit
TB : 160 cm, BB : 65 Kg
Klien tidak memiliki keluhan fisik, klien merasa badannya sehat-sehat saja.
Masalah Keperawatan: Tidak ada

3.5 PSIKOSOSIAL
3.5.1 Genogram

Keterangan:
: Laki – Laki
: Wanita
: Klien
: Cerai
: Tinggal serumah
: Meninggal
X

Berdasarkan genogram di atas, dapat dilihat bahwa klien merupakan anak ke


tiga dari empat bersaudara dan belum menikah, klien tinggal serumah dengan
orangtua dan salah satu saudaranya. Tidak ada riwayat keluarga yang
mengalami gangguan jiwa.
Masalah Keperawatan : tidak ada masalah genetic gangguan jiwa dari 3
generasi

3.5.2 Konsep diri


1. Gambaran diri : Klien menyukai keseluruhan bagian tubuhnya.
2. Identitas Diri : klien memiliki latar belakang pendidikan SMA,
belum menikah.
3. Peran Diri : klien merupakan seorang anak dalam keluarga.
4. Ideal diri : Klien berharap lekas sembuh dan dapat berkumpul
dengan anggota keluarganya
5. Harga diri : Klien merasa kurang berarti di keluarganya karena
dirawat di rumah sakit jiwa
Masalah Keperawatan: Gangguan Konsep Diri : Harga diri rendah

3.5.3 Hubungan Sosial


1. Orang yang berarti: orang tua
2. Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat : Sebelum dirawat
jarang ikut kegiatan-kegaitan di masyarakat, dan jarang mengikuti
kegiatan ibadah
3. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain: Klien malu karena
diejek dirawat di rumah sakit jiwa dan dikucilkan oleh orang lain. Dan
saat ini klien sudah mau bersosialisasi dengan temannya.
Masalah keperawatan: tidak ada masalah keperawatan

3.5.4 Spiritual
1. Nilai dan keyakinan : Klien menganut agama budha dan percaya
pada Tuhannya
2. Kegiatan ibadah : Klien selama dirawat tidak pernah
melakukan kegiatan ibadah
Masalah Keperawatan: Defisit Spiritual

3.6 STATUS MENTAL


1. Klien berpenampilan rapi dan bersih
Klien juga mengatakan mandi dalam 4x1 hari
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah
2. Klien bicara spontan, jelas dan mudah dimengerti
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah
3. Klien mampu bergerak leluasa
Masalah keperawatan: Tidak ada masalah
4. Klien merasa sedih dan merasa kurang berarti di keluarganya karena
dirawat di rumah sakit jiwa
Masalah Keperawatan: Harga diri rendah
5. Klien mampu bereaksi sesuai dengan stimulus yang terjadi
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah
6. Selama proses interaksi, klien cukup kooperatif serta kontak mata baik
antara perawat-klien
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah
7. Klien mengalami halusinasi pendengaran yaitu mendengar suara-suara
yang menyuruhnya untuk memukul orang disekitarnya, timbul pada saat
sendiri pada malam hari atau pada saat melamun, suara timbul 1-2 kali
sehari, gelisah bila mendengar suara tersebut, mondar-mandir.
Masalah Keperawatan : Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
Pendengaran
8. Klien mengutarakan pendapat dengan baik
Masalah keperawatan: Tidak ada masalah
9. Klien menyampaikan isi pikir sesuai dengan pertanyaan
Masalah keperawatan: Tidak ada masalah
10. Klien dalam keadaan sadar (Composmentis) serta memiliki orientasi yang
baik terkait orang, tempat, waktu.
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah
11. Klien mampu mengingat hal-hal yang terjadi di masa lalu seperti pernah
dirawat di rumah sakit jiwa dan pernah gagal menikah
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah
12. Klien masih dapat berkonsentrasi dalam hitungan sederhana
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah
13. Klien belum mampu mengambil keputusan mandiri
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah
14. Daya tilik diri yakni klien menyadari bahwa dirinya mengalami gangguan
jiwa halusinasi dan ingin segera sembuh
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah

3.7 MEKANISME KOPING


Klien masih ingin berbicara dengan orang lain
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah

3.8 SALAH PSIKOSOSIAL DAN LINGKUNGAN


Klien tidak memiliki masalah dalam berhubungan dengan lingkungan
terhadap dirinya yang dirawat di RSJ.
Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah

3.9 PENGETAHUAN KURANG TENTANG


Klien mengetahui bahwa dirinya mengalami gangguan jiwa
Masalalh Keperawatan: Tidak ada masalah

3.10 ASPEK MEDIK


Diagnosa Medik : Skizofrenia Paranoid episode Berulang
Terapi Medik : Risperidon 2 mg 2 x 1
CPZ 100 mg 1 x 1

3.11 ANALISA DATA

Data Masalah
Keperawatan
DS: Gangguan
- Klien sering mendengarkan suara-suara yang Persepsi Sensori :
menyuruhnya memukul orang tua Halusinasi
- Keluarga klien juga mengatakan bahwa klien sering Pendengaran
berteriak-teriak dirumah.
- Klien merasa gelisah jika mendengar suara tersebut.
DO:
- Klien tampak mondar-mandir

DS: Gangguan konsep


- Klien merasa kurang berarti di keluarganya karena diri : Harga diri
dirawat di rumah sakit jiwa rendah kronis
DO:
- Klien tampak sedih

3.12 POHON MASALAH


Halusinasi Pendengaran

Regiment Terapi Inefektif


Harga Diri Rendah
Koping Keluarga Inefektif

Koping Individu Inefektif

3.13 DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran
2. Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

2.14 INTERVENSI KEPERAWATAN


Diagnosa Intervensi
Gangguan Persepsi Sensori : SP 1:
Halusinasi Pendengaran d/d: 1. Identifikasi isi, frekuensi dan waktu terjadi
DS: halusinasi
- Klien sering 2. Jelaskan dan Latih teknikmenghardik
mendengarkan suara-suara
yang menyuruhnya untuk SP 2:
memukul ayahnya. Kontrol Halusinasi klien dengan minum obat
- Keluarga klien juga secara teratur
mengatakan bahwa klien
sering berteriak-teriak SP 3:
dirumah. Ajarkan cara mengontrol halusinasi dengan
- Klien merasa gelisah jika bercakap – cakap
mendengar suara tersebut.
DO: SP 4:
- Klien tampak mondar- Ajarkan cara mengontrol halusinasi dengan
mandir melakukan kegiatan terjadwal
Gangguan Konsep Diri : Harga Diri SP 1:
Rendah d/d: Identifikasi Kemampuan dan aspek yang di
DS: miliki klien
- Klien merasa kurang
berarti di keluarganya SP 2:
karena dirawat di rumah Latih kegiatan sesuai kemampuan yang dipilih
sakit jiwa pertama
DO:
- Klien tampak sedih SP 3:
Latih kegiatan sesuai kemampuan yang dipilih
kedua

SP 4:
Latih kegiatan sesuai kemampuan yang dipilih
ketiga

2.15 IMPLEMENTASI KEPERAWATAN


Hari/tgl Implementasi Evaluasi
Jumat 1. Data : S:
-/11/2019 Tanda dan gejala : - Klien mengatakan
Jalan mondar mandir, berbicara bahwa ia senang
dan senyum-senyum sendiri. diajak komunikasi
2. Kemampuan : melakukan - Klien menyebutkan
aktivitas bersihkan tempat tidur cara mengontrol
3. Diagnosa Keperawatan halusinasi dengan
Perubahan persepsi sensori : menutup telinga
Halusinasi Pendengaran O:
4. Tindakan keperawatan : Klien tampak senang,
Perubahan persepsi sensori : klien mampu
Halusinasi Pendengaran menyebutkan cara
10.00 WIB Sp 1 : mengontrol halusinasi mengontrol halusinasi :
dengan cara menghardik menutup telinga dan
Melatih klien cara menghardik : mengatakan suara-
tutup telinga dan mengatakan suara tersebut palsu
suara-suara tersebut palsu dan A:
tidak nyata. Perubahan persepsi
5. RTL : sensori : Halusinasi
 Sp 2 Perubahan persepsi Pendengaran (+)
sensori : Halusinasi P:
Pendengaran  Latihan cara
Mengontrol halusinasi menghardik 2x/hari
dengan minum obat secara
teratur
Senin 1. Data : S:
25/11/2019 Tanda dan gejala : Klien mengatakan
Jalan mondar mandir, berbicara - Ia sudah mengontrol
dan senyum-senyum sendiri. halusinasi dengan
2. Kemampuan : melakukan menutup telinga
aktivitas bersihkan tempat tidur
3. Diagnosa Keperawatan - Minum obat
Perubahan persepsi sensori : 2x1/hari
Halusinasi Pendengaran O:
4. Tindakan keperawatan : - Klien mampu
Perubahan persepsi sensori : menyebutkan cara :
Halusinasi Pendengaran mengontrol
Sp 2 Mengontrol halusinasi halusinasi dengan
dengan minum obat secara menutup telinga
13. 30 WIB teratur - Menyebutkan
Mengevaluasi kemampuan klien minum obat 2x1/hari
perawatan diri : mengontrol A:
halusinasi dengan cara Perubahan persepsi
menghardik sensori : Halusinasi
Memberikan informasi tentang Pendengaran (+)
penggunaan obat yang teratur
meliputi benar orang, benar P:
cara, benar dosis dan benar 1. Latihan cara
waktu. menghardik 2x/hari
1. Risperidone 25 mg (2x1) 2. Minum obat
2. Clozapin 100 mg (1x1) 2x1/hari
5. RTL :
 Sp 3 Perubahan persepsi
sensori : Halusinasi
Pendengaran
Mengontrol halusinasi
dengan bercakap-cakap
dengan orang lain

Selasa 1. Data : S :
26/11/2019 Tanda dan gejala : Klien mengatakan
Klien masih jalan mondar- - Menutup telinga saat
mandir dan berbicara sendiri mendengar suara-
2. Kemampuan : melakukan suara palsu
aktivitas bersihkan tempat tidur - Minum obat
3. Diagnosa Keperawatan: 2x1/hari
Perubahan persepsi sensori : - Bercakap-cakap
Halusinasi Pendengaran dengan orang lain
4. Tindakan keperawatan: O:
Perubahan persepsi sensori : 1. Klien menutup
Halusinasi Pendengaran telinga saat
13:30 WIB Sp 3 Mengontrol halusinasi mendemonstrasikan
dengan cara bercakap-cakap cara menghardik dan
dengan orang lain minum obat 2x1/hari
Mengevaluasi kemampuan klien 2. Klien bercakap-
mengontrol halusinasi dengan cakap dengan orang
cara menghardik dan minum lain
obat secara teratur A:
Mengontrol halusinasi dengan Perubahan persepsi
cara bercakap-cakap dengan sensori : Halusinasi
orang lain Pendengaran (+)
- Menyarankan klien untuk P :
bercakap-cakap dengan orang 1. Latihan cara
disekitarnya. menghardik 2x/hari
5. RTL : 2. Minum obat
 Sp 4 Perubahan persepsi 2x1/hari
sensori : Halusinasi 3. Latihan bercakap-
Pendengaran : mengontrol cakap dengan orang
halusinasi dengan cara lain 3x1/hari
melakukan kegiatan
terjadwal
BAB 4
PEMBAHASAN

Setelah penulis melaksanakan asuhan keperawatan kepada Tn. H dengan


gangguan sensori persepsi: halusinasi pendengaran di ruang Gunung Sitoli
RSJ.Prov.SU, maka penulis pada BAB ini akan membahasan kesenjangan antara
teoritis dengan tinjauan kasus. Pembahasan dimulai melalui tahapan proses
keperawatan yaitu pengkajian, diagnosa keparawatan, perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi.

4.1 Pengkajian
Tahap pengkajian pada klien halusinasi dilakukan interaksi perawat-klien
melalui komunikasi terapeutik untuk mengumpulkan data dan informasi
tentang status kesehatan klien. Pada tahap ini terjadi proses interaksi manusia,
komunikasi, transaksi dengan peran yang ada pada perawat sebagaimana
konsep tentang manusia yang bisa dipengaruhi dengan adanya proses
interpersonal.

Selama pengkajian dilakukan pengumpulan data dari beberapa sumber, yaitu


dari pasien dan tenaga kesehatan di ruangan. Penulis mendapat sedikit
kesulitan dalam menyimpulkan data karena keluarga pasien jarang
mengunjungi pasien di rumah sakit jiwa. Maka penulis melakukan
pendekatan kepada pasien melalui komunikasi terapeutik yang lebih terbuka
membantu pasien untuk memecahkan perasaannya dan juga melakukan
observasi kepada pasien.
Adapun upaya tersebut yaitu:
1. Melakukan pendekatan dan membina hubungan saling percaya diri pada
klien agar klien lebih terbuka dan lebih percaya dengan menggunakan
perasaan.
2. Mengadakan pengkajian klien dengan wawancara
3. Mengadakan pengkajian dengan cara membaca status, melihat buku
rawatan dan bertanya kepada pegawai ruangan Gunung Sitoli.
Dalam pengkajian ini, penulis menemukan kesenjangan karena ditemukan.
Pada kasus Tn. H, klien mendengar suara-suara,gelisah, mondar-mandir,
sedih dan lain-lain. Gejala gejala yang muncul tersebut tidak semua
mencakup dengan yang ada di teori klinis dari halusinasi (Keliat, dkk, 2014).
Akan tetapi terdapat faktor predisposisi maupun presipitasi yang
menyebabkan kekambuhan penyakit yang dialami oleh Tn. H

Tindakan keperawatan terapi generalis yang dilakukan pada Tn. H adalah


strategi pertemuan pertama sampai pertemuan empat. Strategi pertemuan
pertama meliputi mengidentifikasi isi, frekuensi, jenis, dan respon klien
terhadap halusinasi serta melatih cara menghardik halusinasi. Strategi
pertemuan kedua yang dilakukan pada Tn. H meliputi melatih cara
mengendalikan dengan minum obat yang teratur. Strategi pertemuan yang
ketiga adalah melatih cara mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-
cakap dengan orang lain. Strategi pertemuan keempat adalah mengajarkan
dan melatih menyusun kegiatan bersama-sama dengan klien

4.2 Diagnosa Keperawatan


Pada Teori Halusinasi (NANDA, 2009-2011), diagnosa keperawatan yang
muncul sebanyak 4 diagnosa keperawatan yang meliputi:
1. Halusinasi
2. Harga diri rendah
3. Regiment terapi inefektif

Sedangkan pada kasus ditemukan enam diagnosa keperawatan yang muncul


yang meliputi: harga diri rendah, halusinasi, defisit perawatan diri, regiment
terapi inefektif, Dari hal tersebut di atas dapat dilihat terjadi kesenjangan
antara teori dan kasus. Dimana tidak semua diagnosa pada teori muncul pada
kasus Tn. H.
4.3 Implementasi
Pada tahap implementasi, penulis hanya mengatasi 1 masalah keperawatan
yakni: diagnosa keperawatan halusinasi pendengaran. Pada diagnosa
keperawatan gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran dilakukan
strategi pertemuan yaitu mengidentifikasi isi, frekuensi, waktu terjadi,
perasaan, respon halusinasi. Kemudian strategi pertemuan yang dilakukan
yaitu latihan mengontrol halusinasi dengan cara menghardik. Strategi
pertemuan yang kedua yaitu anjurkan minum obat secara teratur, strategi
pertemuan yang ke tiga yaitu latihan dengan cara bercakap-cakap pada saat
aktivitas dan latihan strategi pertemuan ke empat yaitu melatih klien
melakukan semua jadwal kegiatan.

4.4 Evaluasi
Pada tinjauan teoritis evaluasi yang diharapkan adalah: Pasien mempercayai
perawat sebagai terapis, pasien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada
objeknya, dapat mengidentifikaasi halusinasi, dapat mengendalikan halusinasi
melalui menghardik, latihan bercakap-cakap, melakukan aktivitas serta
menggunakan obat secara teratur.

Pada tinjauan kasus evaluasi yang didapatkan adalah: Klien mampu


mengontrol dan mengidentifikasi halusinasi, Klien mampu melakukan latihan
bercakap-cakap dengan orang lain, Klien mampu melaksanakan jadwal yang
telah dibuat bersama, Klien mampu memahami penggunaan obat yang benar:
5 benar. Selain itu, dapat dilihat dari setiap evaluasi yang dilakukan pada
asuhan keperawatan, dimana terjadi penurunan gejala yang dialami oleh Tn.
H dari hari kehari selama proses interaksi.
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas, maka penulis dapat
disimpulkan bahwa:
1. Pengkajian dilakukan secara langsung pada klien dan juga dengan
menjadikan status klien sebagai sumber informasi yang dapat mendukung
data-data pengkajian. Selama proses pengkajian, perawat mengunakan
komunikasi terapeutik serta membina hubungan saling percaya antara
perawat-klien. Pada kasus Tn. H, diperoleh bahwa klien mengalami gejala-
gejala halusinasi seperti mendengar suara-suara, gelisah, mondar-mandir,
sedih, malu, mudah marah dan lain-lain.
2. Diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus Tn. H, sebanyak:
Halusinasi pendengaran, defisit perawatan diri, regiment terapi inefektif,
harga diri rendah. Tetapi pada pelaksanaannya, penulis fokus pada
masalah utama yaitu halusinasi pendengaran.
3. Perencanaan dan implementasi keperawatan disesuaikan dengan strategi
pertemuan pada pasien halusinasi pendengaran.
4. Evaluasi diperoleh bahwa terjadi peningkatan kemampuan klien dalam
mengendalikan halusinasi yang dialami serta dampak pada penurunan
gejala halusinasi pendengaran yang dialami.

5.2 Saran
1. Bagi Perawat
Diharapkan dapat meenrapkan komunikasi terapeutik dalam pelaksanaan
strategi pertemuan 1-4 pada klien dengan halusinasi sehingga dapat
mempercepat proses pemulihan klien.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat meningkatkan bimbingan klinik kepada mahasiswa profesi ners
sehingga mahasiswa semakin mampu dalam melakukan asuhan
keperawatan pada pasien-pasien yang mengalami halusinasi pendengaran
3. Bagi Rumah Sakit
Laporan ini diharapkan dapat menjadi acuan dan referensi dalam
memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan halusinasi
pendengaran.
DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti. (2012). Asuhan keperawatan Jiwa. Bandung: PT RefikaAditama.


Depkes, R. (2000).Keperawatan Jiwa : TeoridanTindakan keperawatan
Jiwa.Jakarta: Depkes RI.
Depkes. 2008.Standar Pedoman PerawatanJiwa. Jakarta: EGC
Afnuhazi, Ridhyalla. 2015.Komunikasi TerapeutikDalam Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta:Gosyen Publishing
Herman ade. 2011.BukuAjarAsuhan Keperawatan Jiwa.yogyakarta: nuha
medika
Keliat, Budi. 2007.Manajemen Kasus GangguanJiwa. Jakarta: EGC Yusuf,
AH, dkk. 2015.Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta:Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai