OLEH :
GUSMUNARDI
2121312027
A. LatarBelakang
Keperawatan jiwa merupakan bentuk pelayanan profesional yang didasarkan pada
ilmu keperawatan jiwa bentuk pelayanan Bio-Psiko-Sosio-Spritual yang komperhensif. Klien
dapat berupa individu, keluarga dan komunitas baik dalam keadaan sakit maupun sehat. Bentuk
Asuhan keperawatan jiwa meluputi pencegahan primer adalah pendidikan kesehatan, pengubahan
lingkungan dan dukungan sistem sosial.
Skizofrenia merupakan salah satu bentuk gangguan jiwa kronik, yang menyebabkan
penyakit otak persisten serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan
kesulitan dalam memperoleh informasi. (Pardede. & Hasibuan, 2020). Seorang yang mengalami
skizofrenia terjadi kesulitan berfikir dengan benar, memahami dan menerima realita, gangguan
emosi/perasaan, tidak mampu membuat keputusan, serta gangguan dalam melakukan aktivitas
atau perubahan perilaku. Pasien skizofrenia 70% mengalami halusinasi (Stuart,G,W, 2013)
Menurut (WHO, n.d.)Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang bersifat
berat dan kronis yang menyerang 20 juta orang di seluruh dunia. Skizofrenia merupakan penyakit
kronis, parah, dan melumpuhkan, gangguan otak yang di tandai dengan pikiran kacau, waham,
delusi, halusinasi, dan perilaku aneh atau katatonik (Pardede & Laia, 2020). Negara berkembang
seperti Indonesia penderita gangguan jiwa dari data yang diambil (Riskesdas, 2018) penderita
skizofrenia mengalami peningkatan sebesar 5,3% terutama untuk skizofrenia berat seperti
gangguan perilaku hingga dengan pasung. Kasus tertinggi terdapat di Bali (11%), Di wilayah
Jawa Timur data yang tercatat 2018 penderita skizofrenia sebesar 7,5% (Riskesdas, 2018).
Halusinasi merupakan keadaan seseorang mengalami perubahan dalam pola dan
jumlah stimulasi yang diprakarsai secara internal atau eksternal disekitar dengan pengurangan
berlebihan, distorsi, atau kelainan berespon terhadap setiap stimulasi(Pardede, J. A., Silitonga, E., &
Laia, 2020). Menurut (Stuart, Gail, W.(B. A. Kelliat, 2016)pasien halusinasi menjadi menarik diri
tidak mau menceritakan hal yang mereka alami karena mereka takut lebih mendapatkan
pandangan negatif dari orang lain terkait pikiran mereka yang tidak wajar. Halusinasi adalah salah
satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh pasien gangguan jiwa, pasien merasakan
sensasi berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus nyata.
(Keliat B, 2014)Halusinasi adalah distorsi persepsi palsu yang terjadi pada respons neurobiologis
maladaptif. Halusinasi biasanya muncul pada pasien gangguan jiwa diakibatkan terjadinya
perubahan orientasi realita, pasien merasakan stimulasi yang sebetulnya tidak ada. halusinasi
penglihatan dan pendengaran yang merupakan gejala dari early psychosis, yang sebagian besar
terjadi pada usia remaja akhir atau dewasa awal, bingung peran yang berdampak pada rapuhnya
kepribadian sehingga terjadi gangguan konsep diri dan menarik diri dari lingkungan sosial yang
lambat laun membuat penderita menjadi asik dengan hayalan dan menyebabkan timbulnya
halusinasi. (Ervina, I., & Hargiana, 2018)
Dampak yang muncul akibat gangguan halusinasi adalah hilangannya kontrol diri
yang menyebabkan seseorang menjadi panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasi.
Dalam situasi ini penderita halusinasi dapat melakukan tindakan merusak lingkungan, mencelakai
orang lain, bahkan melakukan bunuh diri Agar tidak berdampak buruk maka penderita halusinasi
harus segera ditangani secara tepat. (Scott, J., & Connell, 2017)
Tanda dan gejala gangguan persepsi sensori halusinasi yang dapat teramati sebagai
berikut(Dalami E, 2014):
a. Halusinasi penglihatan
1) Melirikkan mata ke kiri dan ke kanan seperti mencari siapa atau apa saja
yang sedang dibicarakan.
2) Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang lain yang sedang
tidak berbicara atau pada benda seperti mebel.
3) Terlihat percakapan dengan benda mati atau dengan seseorang yang tidak
tampak.
4) Menggerakan-gerakan mulut seperti sedang berbicara atau sedang
menjawab suara.
b. Halusinasi pendengaran
Adapun perilaku yang dapat teramati
1. Identitas pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamain, tanggal pengkajian, tanggal dirawat.
2. Alasan masuk
Alasan pasien datang ke yayasan pemenang jiwa, biasanya pasien sering
berbicara sendiri, mendengar atau melihat sesuatu, suka berjalan tanpa tujuan,
membanting peralatan dirumah, menarik diri.
3. Faktor predisposisi
1. Biasanya pasien pernah mengalami gangguan jiwa dan kurang berhasil
dalam pengobatan
2. Pernah mengalami aniaya fisik, penolakan dan kekerasan dalam keluarga
3. Pasien dengan gangguan orientasi besifat herediter
4. Pernah mengalami trauma masa lalu yang sangat menganggu
4. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi pada pasien dengan halusinasi ditemukan adanya riwayat
penyakit infeksi, penyakt kronis atau kelaina stuktur otak, kekerasan dalam
keluarga, atau adanya kegagalan kegagalan dalam hidup, kemiskinan, adanya
aturan atau tuntutan dalam keluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai
dengan pasien serta konflik antar masyarakat.
5. Fisik
Tidak mengalami keluhan fisik.
6. Psikososial
a. Genogram
Pada genogram biasanya terlihat ada anggota keluarga yang mengalami
kelainan jiwa, pola komunikasi pasien terganggu begitupun dengan
pengambilan keputusan dan pola asuh.
b. Konsep diri
5. Diagnosa Keperawatan
Dengan faktor berhubungan dan batasan karakteristik disesuaikan dengan keadaan yang
ditemukan.
6. Perencanaan Keperawatan
7. Implementasi
1. Bina hubungan saling percaya (BHSP)
2. Identifikasi, waktu, frekuensi, situasi, respon pasien terhadap halusinasi
3. Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik
4. Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum obat
5. Melatih pasien dengan cara bercakap-cakap
6. Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara melaksanakan kegiatan
terjadwal (Siti, 2021)
8. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah proses hasil dilakukan dengan membandingkan respon pasien pada
tujuan umum dan tujuan khusus yang telah ditentukan. Halusinasi, pasien dapat membina
hubungan saling percaya, pasien dapat mengenal halusinasinya, pasien dapat mengontrol
halusinasi dari jangka waktu 4x24 jam didapatkan data subjektif pasien menyatakan senang
karena sudah diajarkan teknik mengontrol halusinasi, Data objektif pasien tampak berbicara
sendiri saat halusinasi itu datang, pasien dapat berbincang-bincang dengan orang lain, pasien
mampu melakukan aktivitas terjadwal, dan minum obat secara teratur (Aji, 2019)
B. Pengertian
Terapi CBT merupakan sebuah terapi gabungan dari beberapa intervensi yang
dirancang untuk mengubah cara berfikir dan memahami situasi dan perilaku sehingga
mengurangi frekuensi reaksi negatif dan emosi yang menganggu (Matthews, 2013). Menurut
(Apfeldorf et al., 2018) terapi perilaku kognitif merupakan sebuah yang dilakukan untuk
modifikasi perilaku melalui pendekatan restrukturisasi kognitif. Berdasarkan penjelasan
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa terapi CBT adalah jenis terapi rekonstruksi kognitif
yang dapat membantu seseorang untuk mengidentifikasi pola kognitif atau pemikiran serta
emosi yang berkaitan dengan perilaku.
Terapi CBT dapat dilakukan secara individual dan kelompok, serta dapat digunakan
untuk anak-anak, remaja, dewasa, penderita ganggua jiwa dan kliendengan berbagai budaya
dan latar belakang (Roth et.al, 2002). Fokus terapi adalah pada penghargaan diri/
reinforcement positif, penetapan tujuan, modifikasi perilaku, dan latihan ketrampilan agar
terapi ini dapat dijadikan intervensi alami bagi anak (Sochting, 2014). Terapi kognitif percaya
bahwa respon maladaptif timbul dari distorsi kognitif, distorsi tersebut dapat meliputi
kesalahan logika, kesalahan dalam penalaran, atau pandangan dunia individual yang tidak
mencerminkan realitas yang distorsi mungkin baik positif atau negatif. Bentuk distorsi kognitif
yang dapat terjadi pada seseorang menurut Stuart dan Kristianingsih (2013 dalam Stuart, Keliat
& Pasaribu, 2016) adalah :
1. Overgeneralisasi (Overgeneralization)
Menggambarkan kesimpulan secara menyeluruh segala sesuatu berdasarkan
kejadian tunggal, contoh : Seorang mahasiswa yang dalam suatu ujian mengatakan :
“Sepertinya saya tidak akan lulus dalam setiap ujian”
2. Personalisasi (Personalization)
Menghubungkan kejadian di luar terhadap dirinya meskipun hal tersebut tidak
beralasan, contoh : “atasan saya mengatakan produktifas perusahaan sedang menurun
tahun ini, saya yakin apa yang dikatakannya ditujukan pada saya.
4. Malapetaka (Catastrophizing)
Berpikir sangat buruk tentang orang dan kejadian, contoh ; “saya lebih baik tidak
mengisi formulir promosi jabatan itu, sebab saya tidak menginginkan dan tidak akan
nyaman dengan jabatan itu”
8. Melebih-lebihkan (Magnification)
Melebih-lebihkan atau membuat tidak berarti pentingnya peristiwa, contoh :
“saya telah meninggalkan makan malam saya, hal ini menunjukan betapa tidak
kompetennya saya”.
9. Perfeksionisme (Perfectionism)
Segalanya harus lakukan dengan sempurna untuk merasakan kesempurnaan
dirinya, contoh : aku akan merasa gagal jika aku tidak mendapatkan nilai A untuk semua
ujianku”
Pengkajian terhadap pikiran dan perilaku negatif pada klien yang mengalami risiko
bunuh diri merupakan langkah awal yang dilakukan dalam terapi ini. Klien diminta untuk
menceritakan tentang pikiran otomatis negatif saat sedang menghadapi tekanan masalah.
Klien juga diminta untuk menjelaskan dampak pikiran negatif yang menghasilkan prilaku
negatif yaitu bunuh diri. Dari beberapa pikiran negatif yang teridentifikasi maka akan
dilatih satu pikiran negatif dengan beberapa pikiran positif dengan dibantu oleh terapis.
Terapi CBT digunakan untuk menguji dan mengubah pikiran yang maladaptif sehingga
klien mengerti ketidakakuratan asumsi kognitifnya dan mempelajari strategi baru dalam
menghadapi masalah. Klien lalu diminta untuk memilih perilaku negatif yang akan
diubah. Terapis membantu klien dalam mengidentifikasi perilaku positif apa saja yang
seharusnya dimiliki untuk merubah perilaku negative menjadi positif. Pemberian
reinforcement positif atau token secara terjadwal terhadap pelaksanaan perilaku baru yang
positif akan meningkatkan penggunaan perilaku baru tersebut dalam menghadapi masalah.
2.1 Tujuan Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
Terapi CBT bagi klien bertujuan untuk:
2.1.1 Mengidentifikasi peristiwa yang tidak menyenangkan yang dialami klien
2.1.2 Merubah pola pikir negatif menjadi positif
2.1.3 Merubah perilaku negatif yang timbul akibat pola pikir yang salah
2.1.4 Melatih klien untuk memiliki kemampuan berespon secara adaptif ketika
menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan
2.1.5 Membantu klien dalam memanfaatkan sistem pendukung yang berasal dari dalam dan
luar keluarga
2.2.1.3 Mengidentifikasi perilaku negatif yang muncul terhadap peristiwa yang tidak
menyenangkan
a. Memilih pikiran otomatis otomatis negatif pertama yang muncul dan ingin
diselesaikan saat ini
b. Membuat daftar aspek aspek positif yang dimiliki oleh klien dari hal negatif yang
dipikirkan atau aspek aspek positif yang dimiliki orang lain dari hal negatif yang
dipikirkan tentang orang lain.
2.2.1.5 Latihan merubah perilaku negatif pertama jika muncul dengan menggunakan catatan
harian
Terapi CBT juga dapat digunakan pada remaja untuk meningkatkan efikasi diri ,
mengurangi risiko terjadinya ansietas dan depresi pada klien remaja ((Florensa et al.,
2013; Rasing et al., 2017). Terapi CBT juga dapat digunalan sebagai upaya preventif
pada kelompok sehat yang berisiko mengalami masalah gangguan mental (Gaag, Berg,
Ising, 2017). Berdasarkan teori dan evidence based maka dapat disimpulkan bahwa
terapi CBT dapat digunakan baik pada klien dengan gangguan jiwa, klien dengan
gangguan fisik yang memiliki masalah kejiwaan, serta pada klien sehat untuk
mengoptimalkan kesehatan jiwa dan mencegah timbulnya masalah kejiwaan.
Karakteristik Peserta
Terapi CBT ini akan dilakukan pada klien yang memiliki karakteristik:
7 Materi :
D. Rencana Kegiatan
Kegiatan Waktu Respon
Keluarga
1. ORIENTASI
Memberi salam 5 Menit Menjawab
Memperkenalkan diri salam
Menjelaskan Tujuan Mendengarkan
Memberikan kesempatan untuk bertanya Mendengarkan
Bertanya
2. FASE KERJA
Sesi 1 : Mengidentifikasi peristiwa yang tidak 25 menit Menjawab
Mendengarkan
menyenangkan, mengidentifikasi pikiran
otomatis negatif, mengidentifikasi perilaku Mendengarkan
negatif, melawan pikiran negatif dan Mendengarkan
merubah perilaku negatif pertama
Medengarkan
Sesi 2 : Melawan pikiran otomatis negative kedua
dan mengubah perilaku negatif kedua
3. TERMINASI
Melakukan evaluasi 10 Menit Menjawab
Memberikan reinforcement Mendengarkan
Menimpulkan kegiatan Menyimpulkan
Salam penutup bersama.
Menjawabsalam
E. Evaluasi
Pertanyaan :
Sesi 2 : Melawan pikiran otomatis negative kedua dan mengubah perilaku negatif
kedua
Referensi
Aji, W. M. H. (2019). Asuhan Keperawatan Orang Dengan Gangguan Jiwa Halusinasi Dengar Dalam
Mengontrol Halusinasi. Https://Doi.Org/10.31219/Osf.Io/N9dgs.
Ervina, I., & Hargiana, G. (2018). Aplikasi keperawatan Generalis dan Psikoreligius pada pasien pada
gangguan sensori persepsi: Halusinasi penglihatan dan pendengaran. Jurnal Riset Kesehatan
Nasional,. Http://Dx.Doi.Org/10.37294/Jrkn.V2i2.106.
Keliat B, Dkk. (2014). Proses Keperawatan Jiwa Jakarta : EGC. (Edisi II.).
Oktiviani, D. P. (2020). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. K dengan masalah Gangguan Persepsi
Sensori: Halusinasi Pendengaran di Ruang Rokan Rumah Sakit Jiwa Tampan. In
http://repository.pkr.ac.id/id/eprint/498.
Pardede, J. A., Silitonga, E., & Laia, G. E. H. (2020). Effects of Cognitive Therapy on Changes in
Symptoms of Hallucinations in Schizophrenic Patients. Indian Journal of Public Health Research
& Development,.
Scott, J., & Connell, M. (2017). Halluconations in adolescents an risk of mental disorders and
psychosocial impairment in adulthood: a birth cohor study. Schizophrenia. In
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5475452/.
Stuart, Gail, W.(B. A. Kelliat, Ed. ) (1st ed. ). (2016). Kesehatan Jiwa.