Anda di halaman 1dari 19

PRE PLANNING PENERAPAN

TERAPI COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY


PADA KLIEN DENGAN HALUSINASI

OLEH :
GUSMUNARDI
2121312027

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2022
PRE PLANNING PENERAPAN TERAPI COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY
PADA KLIEN DENGAN HALUSINASI

 Pokok Bahasan : HALUSINASI


 Sub pokok bahasan : Penerapan Terapi CBT Pada pasien Halusinasi
 Sasaran : Pada pasien dengan halusinasi
 Hari / Tanggal : Kamis, 01 Desember 2022
 Waktu : Pukul 10.00 – Selesai
 Tempat : Rumah Pasien Rt 02 Rw 02 Kelurahan Jati Kota Padang

A. LatarBelakang
Keperawatan jiwa merupakan bentuk pelayanan profesional yang didasarkan pada
ilmu keperawatan jiwa bentuk pelayanan Bio-Psiko-Sosio-Spritual yang komperhensif. Klien
dapat berupa individu, keluarga dan komunitas baik dalam keadaan sakit maupun sehat. Bentuk
Asuhan keperawatan jiwa meluputi pencegahan primer adalah pendidikan kesehatan, pengubahan
lingkungan dan dukungan sistem sosial.
Skizofrenia merupakan salah satu bentuk gangguan jiwa kronik, yang menyebabkan
penyakit otak persisten serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan
kesulitan dalam memperoleh informasi. (Pardede. & Hasibuan, 2020). Seorang yang mengalami
skizofrenia terjadi kesulitan berfikir dengan benar, memahami dan menerima realita, gangguan
emosi/perasaan, tidak mampu membuat keputusan, serta gangguan dalam melakukan aktivitas
atau perubahan perilaku. Pasien skizofrenia 70% mengalami halusinasi (Stuart,G,W, 2013)
Menurut (WHO, n.d.)Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang bersifat
berat dan kronis yang menyerang 20 juta orang di seluruh dunia. Skizofrenia merupakan penyakit
kronis, parah, dan melumpuhkan, gangguan otak yang di tandai dengan pikiran kacau, waham,
delusi, halusinasi, dan perilaku aneh atau katatonik (Pardede & Laia, 2020). Negara berkembang
seperti Indonesia penderita gangguan jiwa dari data yang diambil (Riskesdas, 2018) penderita
skizofrenia mengalami peningkatan sebesar 5,3% terutama untuk skizofrenia berat seperti
gangguan perilaku hingga dengan pasung. Kasus tertinggi terdapat di Bali (11%), Di wilayah
Jawa Timur data yang tercatat 2018 penderita skizofrenia sebesar 7,5% (Riskesdas, 2018).
Halusinasi merupakan keadaan seseorang mengalami perubahan dalam pola dan
jumlah stimulasi yang diprakarsai secara internal atau eksternal disekitar dengan pengurangan
berlebihan, distorsi, atau kelainan berespon terhadap setiap stimulasi(Pardede, J. A., Silitonga, E., &
Laia, 2020). Menurut (Stuart, Gail, W.(B. A. Kelliat, 2016)pasien halusinasi menjadi menarik diri
tidak mau menceritakan hal yang mereka alami karena mereka takut lebih mendapatkan
pandangan negatif dari orang lain terkait pikiran mereka yang tidak wajar. Halusinasi adalah salah
satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh pasien gangguan jiwa, pasien merasakan
sensasi berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus nyata.
(Keliat B, 2014)Halusinasi adalah distorsi persepsi palsu yang terjadi pada respons neurobiologis
maladaptif. Halusinasi biasanya muncul pada pasien gangguan jiwa diakibatkan terjadinya
perubahan orientasi realita, pasien merasakan stimulasi yang sebetulnya tidak ada. halusinasi
penglihatan dan pendengaran yang merupakan gejala dari early psychosis, yang sebagian besar
terjadi pada usia remaja akhir atau dewasa awal, bingung peran yang berdampak pada rapuhnya
kepribadian sehingga terjadi gangguan konsep diri dan menarik diri dari lingkungan sosial yang
lambat laun membuat penderita menjadi asik dengan hayalan dan menyebabkan timbulnya
halusinasi. (Ervina, I., & Hargiana, 2018)
Dampak yang muncul akibat gangguan halusinasi adalah hilangannya kontrol diri
yang menyebabkan seseorang menjadi panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasi.
Dalam situasi ini penderita halusinasi dapat melakukan tindakan merusak lingkungan, mencelakai
orang lain, bahkan melakukan bunuh diri Agar tidak berdampak buruk maka penderita halusinasi
harus segera ditangani secara tepat. (Scott, J., & Connell, 2017)

Menurut (Yusuf, 2015)klasifikasi halusinasi dibagi menjadi 5 yaitu :

No. Jenis Data Objektif Data Subjektif


halusinasi
1 Halusinasi 1. Bicara atau tertawa 1. Mendengar suara atau
Pendengaran sendiri tanpa lawan kegaduhan
bicara 2. Mendengar suara yang
2. Marah-marah tanpa mengajak bercakap-cakap
sebab 3. Mendengar suara yang
mencondongkan menyuruh melakukan
telinga ke arah sesuatu yang berbahaya
tertentu
3. Menutup telinga
2 Halusinasi 1. Menunjuk-nunjuk 1. Melihat bayangan, sinar, bentuk
penglihatan ke arah tertentu geometris, bentuk kartun,
2. Ketakutan pada melihat hantu atau monster
objek yang tidak
jelas
3 Halusinasi 1. Menghindu seperti 1. Membaui bau-bauan seperti bau
penghidu sedang membaui darah, urine, feses,
bau-bauan tertentu 2. kadang-kadang bau itu
2. Menutup hidung menyenangkan
4 Halusinasi 1. Sering meludah 1. Merasakan rasa seperti
Pengecepan 2. Muntah darah, urine, feses
5 Halusinasi Menggaruk-garuk 1. Mengatakan ada serangga di
perabaan permukaan kulit permukaan kulit
2. Merasa seperti tersengat
Listrik

1. Faktor predisposisi pasien halusinasi menurut(Oktiviani, 2020):


1. Faktor Predisposisi
a. Faktor perkembangan
Tugas perkembangan pasien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan pasien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri.
b. Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungan sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungan.
c. Biologi
Faktor biologis Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh
akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogen
neurokimia.Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya
neurotransmitter otak.
d. Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adikitif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan
pasien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya, pasien
lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.
e. Sosial Budaya
Meliputi pasien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan comforting,
pasien meganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membahayakan. Pasien asyik dengan Halusinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol
diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata.
2. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart dan Sudeen faktor presipitasi dapat meliputi(Prabowo, 2014):
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi
serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak
untuk diinterpretasikan.
b. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk
menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

3. Tanda dan gejala

Tanda dan gejala gangguan persepsi sensori halusinasi yang dapat teramati sebagai
berikut(Dalami E, 2014):
a. Halusinasi penglihatan
1) Melirikkan mata ke kiri dan ke kanan seperti mencari siapa atau apa saja
yang sedang dibicarakan.
2) Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang lain yang sedang
tidak berbicara atau pada benda seperti mebel.
3) Terlihat percakapan dengan benda mati atau dengan seseorang yang tidak
tampak.
4) Menggerakan-gerakan mulut seperti sedang berbicara atau sedang
menjawab suara.

b. Halusinasi pendengaran
Adapun perilaku yang dapat teramati

1) Tiba-tiba tampak tanggap, ketakutan atau ditakutkan oleh orang lain,benda


mati atau stimulus yang tidak tampak.
2) Tiba-tiba berlari keruangan lain
c. Halusinasi penciuman
Perilaku yang dapat teramati pada pasien gangguan halusinasi penciuman adalah :
1) Hidung yang dikerutkan seperti mencium bau yang tidak enak.
2) Mencium bau tubuh
3) Mencium bau udara ketika sedang berjalan ke arah orang lain.
4) Merespon terhadap bau dengan panik seperti mencium bau api atau darah.
5) Melempar selimut atau menuang air pada orang lain seakan sedang
memadamkan api.
d. Halusinasi pengecapan
Adapun perilaku yang terlihat pada pasien yang mengalami gangguan halusinasi
pengecapan adalah :
1) Meludahkan makanan atau minuman.
2) Menolak untuk makan, minum dan minum obat.
3) Tiba-tiba meninggalkan meja makan.
e. Halusinasi perabaan
Perilaku yang tampak pada pasien yang mengalami halusinasi perabaan adalah :
1) Tampak menggaruk-garuk permukaan kulit
Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap pasien serta
ungkapan pasien. Adapun tanda dan gejala pasien halusinasi adalah sebagai berikut :
a) Data Subjektif Pasien mengatakan :
1) Mendengar suara-suara atau kegaduhan
2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap

1) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya


2) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu dan
monster
3) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang bau itu
menyenangkan
4) Merasakan rasa seperti darah, urin dan feses
5) Merasa takutan atau senang dengan halusinasinya
b) Data Objektif
1) Bicara atau tertawa sendiri
2) Marah marah tanpa sebab
3) Mengarahkan telinga kearah tertentu
4) Menutup telinga
5) Menunjuk kearah tertentu
6) Ketakutan kepada sesuatu yang tidak jelas
7) Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu
8) Menutup hidung
9) Sering meludah Menggaruk garuk permukaan kulit
4. Pengkajian
Pengkajian adalah proses untuk tahap awal dan dasar utama dari proes keperawatan terdiri drai
pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah pasien. Data yang dikumpulkan
melalui data biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Pengelompokkan data pengkajian
kesehatan jiwa, dapat berupa faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping,
dan kemampuan yang dimiliki(Afnuhazi & Ridhyalla., 2015):

1. Identitas pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamain, tanggal pengkajian, tanggal dirawat.
2. Alasan masuk
Alasan pasien datang ke yayasan pemenang jiwa, biasanya pasien sering
berbicara sendiri, mendengar atau melihat sesuatu, suka berjalan tanpa tujuan,
membanting peralatan dirumah, menarik diri.
3. Faktor predisposisi
1. Biasanya pasien pernah mengalami gangguan jiwa dan kurang berhasil
dalam pengobatan
2. Pernah mengalami aniaya fisik, penolakan dan kekerasan dalam keluarga
3. Pasien dengan gangguan orientasi besifat herediter
4. Pernah mengalami trauma masa lalu yang sangat menganggu
4. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi pada pasien dengan halusinasi ditemukan adanya riwayat
penyakit infeksi, penyakt kronis atau kelaina stuktur otak, kekerasan dalam
keluarga, atau adanya kegagalan kegagalan dalam hidup, kemiskinan, adanya
aturan atau tuntutan dalam keluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai
dengan pasien serta konflik antar masyarakat.
5. Fisik
Tidak mengalami keluhan fisik.
6. Psikososial
a. Genogram
Pada genogram biasanya terlihat ada anggota keluarga yang mengalami
kelainan jiwa, pola komunikasi pasien terganggu begitupun dengan
pengambilan keputusan dan pola asuh.
b. Konsep diri

Gambaran diri pasien biasanya mengeluh dengan keadaan tubuhnya, ada


bagian tubuh yang disukai dan tidak disukai, identifikasi diri : pasien
biasanya mampu menilai identitasnya, peran diri pasien menyadari peran
sebelum sakit, saat dirawat peran pasien terganggu, ideal diri tidak menilai
diri, harga diri pasien memilki harga diri yang rendah sehubungan dengan
sakitnya.
1. Hubungan sosial : pasien kurang dihargai di lingkungan dan keluarga.
2. Spiritual
Nilai dan keyakinan biasanya pasien dengan sakit jiwa dipandang tidak
sesuai dengan agama dan budaya, kegiatan ibadah pasien biasanya
menjalankan ibadah di rumah sebelumnya, saat sakit ibadah terganggu atau
sangat berlebihan.

5. Diagnosa Keperawatan
Dengan faktor berhubungan dan batasan karakteristik disesuaikan dengan keadaan yang
ditemukan.

6. Perencanaan Keperawatan

Rencana tindakan pada keluarga (Keliat B, 2014)adalah ;


1. Diskusikan masalah yang dihadap keluarga dalam merawat pasien
2. Berikan penjelasan meliputi : pengertian halusinasi, proses terjadinya
halusinasi, jenis halusinasi yang dialami, tanda dan gejala halusinasi, proses
terjadinya halusinasi.
3. Jelaskan dan latih cara merawat anggota keluarga yang mengalami halusinasi : menghardik,
minum obat, bercakap-cakap, melakukan aktivitas.
4. Diskusikan cara menciptakan lingkungan yang dapat mencegah terjadinya
halusinasi.
5. Diskusikan tanda dan gejala kekambuhan

7. Implementasi
1. Bina hubungan saling percaya (BHSP)
2. Identifikasi, waktu, frekuensi, situasi, respon pasien terhadap halusinasi
3. Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik
4. Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum obat
5. Melatih pasien dengan cara bercakap-cakap
6. Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara melaksanakan kegiatan
terjadwal (Siti, 2021)

8. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah proses hasil dilakukan dengan membandingkan respon pasien pada
tujuan umum dan tujuan khusus yang telah ditentukan. Halusinasi, pasien dapat membina
hubungan saling percaya, pasien dapat mengenal halusinasinya, pasien dapat mengontrol
halusinasi dari jangka waktu 4x24 jam didapatkan data subjektif pasien menyatakan senang
karena sudah diajarkan teknik mengontrol halusinasi, Data objektif pasien tampak berbicara
sendiri saat halusinasi itu datang, pasien dapat berbincang-bincang dengan orang lain, pasien
mampu melakukan aktivitas terjadwal, dan minum obat secara teratur (Aji, 2019)

B. Pengertian
Terapi CBT merupakan sebuah terapi gabungan dari beberapa intervensi yang
dirancang untuk mengubah cara berfikir dan memahami situasi dan perilaku sehingga
mengurangi frekuensi reaksi negatif dan emosi yang menganggu (Matthews, 2013). Menurut
(Apfeldorf et al., 2018) terapi perilaku kognitif merupakan sebuah yang dilakukan untuk
modifikasi perilaku melalui pendekatan restrukturisasi kognitif. Berdasarkan penjelasan
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa terapi CBT adalah jenis terapi rekonstruksi kognitif
yang dapat membantu seseorang untuk mengidentifikasi pola kognitif atau pemikiran serta
emosi yang berkaitan dengan perilaku.

Terapi CBT dapat dilakukan secara individual dan kelompok, serta dapat digunakan
untuk anak-anak, remaja, dewasa, penderita ganggua jiwa dan kliendengan berbagai budaya
dan latar belakang (Roth et.al, 2002). Fokus terapi adalah pada penghargaan diri/
reinforcement positif, penetapan tujuan, modifikasi perilaku, dan latihan ketrampilan agar
terapi ini dapat dijadikan intervensi alami bagi anak (Sochting, 2014). Terapi kognitif percaya
bahwa respon maladaptif timbul dari distorsi kognitif, distorsi tersebut dapat meliputi
kesalahan logika, kesalahan dalam penalaran, atau pandangan dunia individual yang tidak
mencerminkan realitas yang distorsi mungkin baik positif atau negatif. Bentuk distorsi kognitif
yang dapat terjadi pada seseorang menurut Stuart dan Kristianingsih (2013 dalam Stuart, Keliat
& Pasaribu, 2016) adalah :
1. Overgeneralisasi (Overgeneralization)
Menggambarkan kesimpulan secara menyeluruh segala sesuatu berdasarkan
kejadian tunggal, contoh : Seorang mahasiswa yang dalam suatu ujian mengatakan :
“Sepertinya saya tidak akan lulus dalam setiap ujian”

2. Personalisasi (Personalization)
Menghubungkan kejadian di luar terhadap dirinya meskipun hal tersebut tidak
beralasan, contoh : “atasan saya mengatakan produktifas perusahaan sedang menurun
tahun ini, saya yakin apa yang dikatakannya ditujukan pada saya.

3. Pikiran Dikotomi (Dichotomus thinking)


Berfikir ekstrim, menganggap segala sesuatunya selalu sangat bagus atau sangat
buruk, contoh : “bila suami meninggalkan saya, saya pikir lebih baik saya mati”

4. Malapetaka (Catastrophizing)
Berpikir sangat buruk tentang orang dan kejadian, contoh ; “saya lebih baik tidak
mengisi formulir promosi jabatan itu, sebab saya tidak menginginkan dan tidak akan
nyaman dengan jabatan itu”

5. Gambaran Selektif (Selective abstraction)


Berfokus pada detail, tetapi tidak relevan dengan informasi yang lain, contoh :
seorang istri percaya bahwa suaminya tidak mencintainya sebab ia datang terlambat dari
pekerjaannya, tetapi ia mengabaikan perasaannya, hadiah dari suaminya tetap diterima dan
libur bersama tetap dilaksanakan.
6. Kesimpulan yang salah (Arbitrary inference)
Menggambarkan kesimpulan yang salah tanpa didukung data, contoh : “teman
saya tidak pernah lama menyukai saya sebab ia tidak mau diajak pergi”.

7. Membaca pikiran (Mind reading)


Percaya seseorang mengetahui pikiran orang lain tanpa mengecek
kebenarannya, contoh : “mereka pasti berpikir kalau dirinya terlalu gemuk atau terlalu
kurus”.

8. Melebih-lebihkan (Magnification)
Melebih-lebihkan atau membuat tidak berarti pentingnya peristiwa, contoh :
“saya telah meninggalkan makan malam saya, hal ini menunjukan betapa tidak
kompetennya saya”.

9. Perfeksionisme (Perfectionism)
Segalanya harus lakukan dengan sempurna untuk merasakan kesempurnaan
dirinya, contoh : aku akan merasa gagal jika aku tidak mendapatkan nilai A untuk semua
ujianku”

10. Eksternalisasi Diri (Externalization self worth)


Menentukan tata nilai sendiri untuk diterapkan pada orang lain, contoh : “saya
sudah berusaha untuk kelihatan baik setiap waktu tetapi teman-teman saya yang tidak
menginginkan saya berada di sampingnya”.

Pengkajian terhadap pikiran dan perilaku negatif pada klien yang mengalami risiko
bunuh diri merupakan langkah awal yang dilakukan dalam terapi ini. Klien diminta untuk
menceritakan tentang pikiran otomatis negatif saat sedang menghadapi tekanan masalah.
Klien juga diminta untuk menjelaskan dampak pikiran negatif yang menghasilkan prilaku
negatif yaitu bunuh diri. Dari beberapa pikiran negatif yang teridentifikasi maka akan
dilatih satu pikiran negatif dengan beberapa pikiran positif dengan dibantu oleh terapis.
Terapi CBT digunakan untuk menguji dan mengubah pikiran yang maladaptif sehingga
klien mengerti ketidakakuratan asumsi kognitifnya dan mempelajari strategi baru dalam
menghadapi masalah. Klien lalu diminta untuk memilih perilaku negatif yang akan
diubah. Terapis membantu klien dalam mengidentifikasi perilaku positif apa saja yang
seharusnya dimiliki untuk merubah perilaku negative menjadi positif. Pemberian
reinforcement positif atau token secara terjadwal terhadap pelaksanaan perilaku baru yang
positif akan meningkatkan penggunaan perilaku baru tersebut dalam menghadapi masalah.
2.1 Tujuan Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
Terapi CBT bagi klien bertujuan untuk:
2.1.1 Mengidentifikasi peristiwa yang tidak menyenangkan yang dialami klien
2.1.2 Merubah pola pikir negatif menjadi positif
2.1.3 Merubah perilaku negatif yang timbul akibat pola pikir yang salah
2.1.4 Melatih klien untuk memiliki kemampuan berespon secara adaptif ketika
menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan
2.1.5 Membantu klien dalam memanfaatkan sistem pendukung yang berasal dari dalam dan
luar keluarga

2.2 Sesi Cognitive Behaviour Therapy (CBT)


Kegiatan terapi CBT yang dikembangkan dalam modul ini mengadaptasi modul yang
dikembangkan mahasiswa spesialis jiwa UI pada tahun 2016 dan telah dimodifikasi oleh tim
penyususn dengan tidak mempengaruhi konten isi yang telah ada. Terapi CBT terdiri dari 4
sesi, adapun kegiatan pada masing-masing sesi adalah:
2.2.1 Sesi 1 : Mengidentifikasi peristiwa yang tidak menyenangkan, mengidentifikasi
pikiran otomatis negatif, mengidentifikasi perilaku negatif, melawan
pikiran negatif dan merubah perilaku negatif pertama

2.2.1.1 Mengidentifikasi peristiwa yang tidak menyenangkan

2.2.1.2 Mengidentifikasi pikiran otomatis negatif yang muncul

2.2.1.3 Mengidentifikasi perilaku negatif yang muncul terhadap peristiwa yang tidak
menyenangkan

2.2.1.4 Latihan melawan pikiran negatif pertama

a. Memilih pikiran otomatis otomatis negatif pertama yang muncul dan ingin
diselesaikan saat ini
b. Membuat daftar aspek aspek positif yang dimiliki oleh klien dari hal negatif yang
dipikirkan atau aspek aspek positif yang dimiliki orang lain dari hal negatif yang
dipikirkan tentang orang lain.

c. Membuat tanggapan rasional untuk melawan pikiran otomatis negatif pertama

d. Latihan melawan pikiran otomatis negatif pertama


e. Latihan melawan pikiran otomatis negatif pertama secara terjadwal (masukkan
dalam jadwal kegiatan harian)

2.2.1.5 Latihan merubah perilaku negatif pertama jika muncul dengan menggunakan catatan
harian

a. Memilih satu perilaku negatif pertama yang akan diubah


b. Mengidentifikasi perilaku positif yang sebaiknya dilakukan untuk mengubah
perilaku negatif pertama menjadi perilaku positif
c. Menyepakati penghargaan terhadap aktivitas yang dilakukan untuk mengubah
perilaku negatif menjadi perilaku positif
d. Latihan aktivitas mengubah perilaku negatif menjadi perilaku positif
e. Latihan aktivitas mengubah perilaku negatif menjadi perilaku positif secara
terjadwal (masukkan dalam jadwal kegiatan harian)
f. Latihan aktivitas mengubah perilaku negatif menjadi perilaku positif jika muncul
dengan menggunakan catatan harian.
2.2.2 Sesi 2 : Melawan pikiran otomatis negatif kedua dan mengubah perilaku negatif
kedua
2.2.2.1 Mengevaluasi peristiwa tidak menyenangkan yang bertambah
2.2.2.2 Mengevaluasi pikiran negatif dan perilaku negatif yang bertambah
2.2.2.3 Mengevaluasi latihan melawan pikiran dan merubah perilaku negatif pertama:
a. Mengevaluasi latihan melawan pikiran negatif dan merubah perilaku negatif
pertama dengan menggunakan jadwal kegiatan harian
b. Mengevaluasi latihan melawan pikiran negatif pertama jika muncul dengan
menggunakan catatan harian: frekuensi munculnya pikiran negatif, proses melawan
pikiran negatif, hasilnya.
2.2.2.4 Latihan melawan pikiran negatif yang kedua
2.2.2.5 Memilih pikiran otomatis negatif kedua yang ingin diselesaikan saat ini
2.2.2.6 Membuat daftar aspek aspek positif yang dimiliki klien dari hal negatif yang dipikirkan
atau aspek aspek positif yang dimiliki orang lain dari hal negatif yang dipikirkan
tentang orang lain.
2.2.2.7 Membuat tanggapan rasional untuk melawan pikiran otomatis negatif kedua
2.2.2.8 Latihan melawan pikiran otomatis negatif kedua
a. Latihan melawan pikiran otomatis negatif kedua secara terjadwal (masukkan
dalam jadwal kegiatan harian)
b. Latihan melawan pikiran otomatis negatif kedua jika muncul dengan
menggunakan catatan harian

2.2.2.9 Latihan mengubah perilaku negatif kedua


a. Memilih satu perilaku negatif kedua yang akan diubah
b. Mengidentifikasi perilaku positif yang sebaiknya dilakukan untuk mengubah
perilaku negatif kedua menjadi perilaku positif
c. Menyepakati penghargaan terhadap aktivitas yang dilakukan untuk mengubah
perilaku negatif menjadi perilaku positif
d. Latihan aktivitas mengubah perilaku negatif menjadi perilaku positif
e. Latihan aktivitas mengubah perilaku negatif menjadi perilaku positif secara terjadwal
(masukkan dalam jadwal kegiatan harian)
f. Latihan aktivitas mengubah perilaku negatif menjadi perilaku positif jika muncul
dengan menggunakan catatan harian.
2.2.3 Sesi 3 : Memanfaatkan sistem pendukung
2.2.3.1 Mengevaluasi peristiwa tidak menyenangkan yang bertambah
2.2.3.2 Mengevaluasi pikiran negatif yang bertambah
2.2.3.3 Mengevaluasi perilaku negatif yang bertambah
2.2.3.4 Mengevaluasi latihan melawan pikiran negatif dan perilaku negatif pertama dan kedua:
a. Mengevaluasi latihan melawan pikiran negatif dan perilaku negatif pertama dan
kedua dengan menggunakan jadwal kegiatan harian
b. Mengevaluasi latihan melawan pikiran negatif dan perilaku negatif kedua jika
muncul dengan menggunakan catatan harian: frekuensi munculnya pikiran negatif,
proses melawan pikiran negatif, hasilnya.
c. Menghitung token yang diperoleh dan memberikan hadiah sesuai jadwal
d. Mengevaluasi catatan harian: frekuensi munculnya perilaku negatif dan latihan
menggunakan aktivitas yang positif untuk mengubah perilaku negatif pertama serta
bagaimana manfaatnya
2.2.3.5 Mengidentifikasi sistem pendukung klien dari dalam keluarga dan cara
memanfaatkannya
2.2.3.6 Mengidentifikasi sistem pendukung klien dari luar keluarga dan cara
memanfaatkannya
2.2.3.7 Mengevaluasi manfaat melawan pikiran otomatis negatif dan mengubah perilaku
negatif

2.2.4 Sesi 4: Mengevaluasi manfaat melawan pikiran otomatis negatif dan


mengubah perilaku negatif.
2.2.4.1 Mengevaluasi peristiwa tidak menyenangkan yang bertambah
2.2.4.2 Mengevaluasi pikiran negatif yang bertambah
2.2.4.3 Mengevaluasi perilaku negatif yang bertambah
2.2.4.4 Mengevaluasi latihan melawan pikiran negatif dan perilaku negatif pertama dan
kedua
2.2.4.5 Mengevaluasi latihan memanfaatkan sistem pendukung dari dalam dan luar klien
2.2.4.6 Mengevaluasi manfaat setelah melakukan latihan melawan pikiran dan merubah
perilaku negatif.
Indikasi
Indikasi terapi CBT dapat diberikan pada klien dengan masalah gangguan jiwa, risiko,
maupun klien yang sehat. Terapi CBT diberikan pada klien dengan gangguan jiwa
antara lain pada kondisi : depresi , ansietas, harga diri rendah, panik, agoraphobia,
sosial phobia, bulemia, gejala psikosis skizofrenia, halusinasi, perilaku kekerasan,
isolasi sosial. Terapi CBT dapat digunakan pada klien dengan risiko gangguan jiwa
yaitu pada kondisi pasien HIV yang mengalami stres, klien dengan masalah keluarga,
klien dengan kelainan fungsi seksual, perilaku merokok, ketergantungan nikotin,
ketergantungan alkohol, ketergantungan ganja, ketergantungan kokain, berprilaku
bunuh diri, memiliki ide untuk bunuh diri serta acute stress disorder (ASD) (Wenzel et
al., 2016), klien pengguna NAPZA dengan masalah keperawatan ansietas dan harga
diri rendah (Mulia, Keliat, & Wardani, 2017), serta pada klien yang telah mengalami
gejala prodroma early psychosis (Damanik et al., 2017). CBT juga digunakan pada
anak sehat dengan kesulitan pengelolaan amarah (Nindita, 2012).

Terapi CBT juga dapat digunakan pada remaja untuk meningkatkan efikasi diri ,
mengurangi risiko terjadinya ansietas dan depresi pada klien remaja ((Florensa et al.,
2013; Rasing et al., 2017). Terapi CBT juga dapat digunalan sebagai upaya preventif
pada kelompok sehat yang berisiko mengalami masalah gangguan mental (Gaag, Berg,
Ising, 2017). Berdasarkan teori dan evidence based maka dapat disimpulkan bahwa
terapi CBT dapat digunakan baik pada klien dengan gangguan jiwa, klien dengan
gangguan fisik yang memiliki masalah kejiwaan, serta pada klien sehat untuk
mengoptimalkan kesehatan jiwa dan mencegah timbulnya masalah kejiwaan.

Karakteristik Peserta
Terapi CBT ini akan dilakukan pada klien yang memiliki karakteristik:

2.4.1 Klien yang memiliki masalah dengan kesehatan mental


2.4.2 Klien yang mampu berkomunikasi dengan baik, kooperatif dan tidak dalam
keadaan gaduh gelisah.
2.4.3 Bersedia diberikan terapi CBT
C. Pelaksanaan :
1 Hari / Tgl : Kamis , 01 Desember 2022
2 Waktu : 40 Menit
3 Sasaran : pasien dengan halusinasi
4 Tempat : rumah Ny M Rt 02 Rw 02 Kelurahan Jati
5 pemateri : Gusmunardi
6 Metode : Ceramah, Diskusi

7 Materi :

Sesi 1 :Mengidentifikasi peristiwa yang tidak menyenangkan, mengidentifikasi


pikiran otomatis negatif, mengidentifikasi perilaku negatif, melawan pikiran
negatif dan merubah perilaku negatif pertama

Sesi 2 : Melawan pikiran otomatis negatif kedua dan mengubah perilaku


negatif kedua

D. Rencana Kegiatan
Kegiatan Waktu Respon
Keluarga
1. ORIENTASI
 Memberi salam 5 Menit Menjawab
 Memperkenalkan diri salam
 Menjelaskan Tujuan Mendengarkan
 Memberikan kesempatan untuk bertanya Mendengarkan
Bertanya
2. FASE KERJA
Sesi 1 : Mengidentifikasi peristiwa yang tidak 25 menit Menjawab
Mendengarkan
menyenangkan, mengidentifikasi pikiran
otomatis negatif, mengidentifikasi perilaku Mendengarkan
negatif, melawan pikiran negatif dan Mendengarkan
merubah perilaku negatif pertama
Medengarkan
Sesi 2 : Melawan pikiran otomatis negative kedua
dan mengubah perilaku negatif kedua

3. TERMINASI
 Melakukan evaluasi 10 Menit Menjawab
 Memberikan reinforcement Mendengarkan
 Menimpulkan kegiatan Menyimpulkan
 Salam penutup bersama.
Menjawabsalam

E. Evaluasi
Pertanyaan :

Sesi 1 : Mengidentifikasi peristiwa yang tidak menyenangkan, mengidentifikasi


pikiran otomatis negatif, mengidentifikasi perilaku negatif, melawan pikiran
negatif dan merubah perilaku negatif pertama

Sesi 2 : Melawan pikiran otomatis negative kedua dan mengubah perilaku negatif
kedua
Referensi

Afnuhazi & Ridhyalla. (2015). Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan Jiwa.

Aji, W. M. H. (2019). Asuhan Keperawatan Orang Dengan Gangguan Jiwa Halusinasi Dengar Dalam
Mengontrol Halusinasi. Https://Doi.Org/10.31219/Osf.Io/N9dgs.

Dalami E, dkk. (2014). Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Gangguan Jiwa.

Ervina, I., & Hargiana, G. (2018). Aplikasi keperawatan Generalis dan Psikoreligius pada pasien pada
gangguan sensori persepsi: Halusinasi penglihatan dan pendengaran. Jurnal Riset Kesehatan
Nasional,. Http://Dx.Doi.Org/10.37294/Jrkn.V2i2.106.

Keliat B, Dkk. (2014). Proses Keperawatan Jiwa Jakarta : EGC. (Edisi II.).

Oktiviani, D. P. (2020). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. K dengan masalah Gangguan Persepsi
Sensori: Halusinasi Pendengaran di Ruang Rokan Rumah Sakit Jiwa Tampan. In
http://repository.pkr.ac.id/id/eprint/498.

Pardede, J. A., Silitonga, E., & Laia, G. E. H. (2020). Effects of Cognitive Therapy on Changes in
Symptoms of Hallucinations in Schizophrenic Patients. Indian Journal of Public Health Research
& Development,.

Prabowo, E. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.

Scott, J., & Connell, M. (2017). Halluconations in adolescents an risk of mental disorders and
psychosocial impairment in adulthood: a birth cohor study. Schizophrenia. In
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5475452/.

Stuart, Gail, W.(B. A. Kelliat, Ed. ) (1st ed. ). (2016). Kesehatan Jiwa.

Stuart,G,W. (2013). Buku Saku Keperawatan JIwa (5th ed.).

WHO. (n.d.). Schizophrenia. Retrieved from. Https://Www.Who.Int/News- Room/Fact


Sheets/%20detail/Schizophrenia.

Yusuf, A. Dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.

Anda mungkin juga menyukai