LAPORAN PENDAHULUAN
“HALUSINASI”
DISUSUN OLEH:
ANBIYA GALIH UTAMA
212133005
2. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
Faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber
yang dapat dibangkitkan oleh individu unuk mengatasi stress.
Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya mengenai faktor
perkembangan sosio kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu
faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat
dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu dikarenakan
rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien
tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilangnya
percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
2) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang tidak diterima dilingkungannya sejak bayi
merasa disingkirkan, kesepian dan tidak percaya pada lingkungan.
3) Faktor Biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Adanya stress yang berlebihan yang dialami seseorang maka di
dalam tubuhnya akan tertanam suatu perilaku yang disebut zat
halusinogenik neurokimia. Akibat dari stress yang berkepanjangan
akan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
4) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terpengaruh atau terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal
ini sangat berpengaruh pada ketidakmampuan klien untuk
mengambil keputusan yang tepat untuk masa depannya sendiri.
klien lebih memilih untuk kesenangan sementara atau sesaat dan
lari dari alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukan bahwa anak yang sehat diasuh oleh
orang tua yang mengalami skizofrenia cenderung akan mengalami
skizofrenia. Hasil studi menunjukan bahwa faktor hubungan
keluarga sangat berpengaruh pada penyakit ini. (Damaiyanti dan
Iskandar, 2014)
b. Faktor Presipitasi
Stimulus yang dipersepsikan individu sebagai tantangan,
ancaman atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping.
1) Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi
rangsang eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi
dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik dimana seseorang
mengalami kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan,
demam hingga delirium, intoksikasi alkohol, dan kesulitan untuk
tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang
tidak dapat di atasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi
dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan.
Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut sehingga
dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan
yang dialaminya.
3) Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu
dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi
ego. Pada awalnya, halusinasi meupakan usaha dari ego sendiri
untuk melawan impuls yang menekan, namun menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan
tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
4) Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi
menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Klien
yang mengalami halusinasi akan asyik dengan halusinasinya,
seolah-olah itu merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan
akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga diri yang tidak
didapatkan si klien dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan
sistem kontrol oleh individu tersebut sehingga jika perintah
halusinasi berupa ancaman, maka individu tersebut bisa
membahayakan orang lain.
5) Dimensi Spiritual
Individu yang mengalami halusinasi cenderung menyendiri
dan asik dengan dunianya sendiri. klien tidak sadar dengan
keberadaannya sehingga halusinasi menjadi sistem kontrol dalam
klien tersebut. (Muhith, 2015)
c. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan
halusinasi yaitu :
1) Regresi
Regresi berhubungan dengan proses informasi dan upaya
yang di gunakan untuk menanggulangi ansietas. Regresi ini dapat
membuat klien malas dalam berkativitas sehari-hari.
2) Proteksi
Dalam hal ini, klien mencoba menjelaskan gangguan
persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain
atau suatu benda.
3) Menarik Diri
Meragukan atau sulit mempercayai omongan orang lain dan
asyik dengan stimulus internal.
4) Keluarga
Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien dan
tidak mempercayainya. (Sutejo, 2019)
3. Patofisiologi
Secara umum dapat dikatakan sebagai segala sesuatu yang
mengancam harga diri (self esteem) dan keutuhan keluarga dapat
merupakan penyebab terjadinya halusinasi. Ancaman terhadap harga diri
dan keutuhan keluarga meningkatkan kecemasan. Gejala dengan
meningkatnya kecemasan, kemampuan untuk memisahkan dan mengatur
persepsi, mengenal perbedaan antara apa yang dipikirkan dengan perasaan
sendiri menurun, sehingga segala sesuatu diartikan berbeda dan proses
rasionalisasi tidak efektif lagi. Klien akan lebih sulit lagi membedakan
mana rangsangan yang berasal dari pikirannya sendiri dan mana yang dari
lingkungannya.
Halusinasi juga dapat disebabkan oleh isolasi sosial (menarik diri),
dimana klien menolak berinteraksi dengan lingkungan dan akan lebih
fokus dengan dunianya sendiri yang dikehendakinya dengan cara
berhalusinasi. (Jaya, 2015).
Resiko Perilaku Kekerasan
5. Komplikasi
a. Perubahan dalam pola perilaku
b. Perubahan dalam kemampuan menyelesaikan masalah
c. Perubahan dalam ketajaman sensori
d. Perubahan dalam respon yang biasa terhadapa stimulus
e. Disorientasi
f. Halusinasi
g. Hambatan komunikasi
h. Iritabilitas
i. Konsentrasi buruk
j. Gelisah
k. Distorsi sensori
8. Strategi Pelaksanaan
a. SP 1 Pasien : Membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara-
cara mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi
dengan cara pertama: menghardik halusinasi.
b. SP 2 Pasien : Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara
kedua: bercakap-cakap dengan orang lain
c. SP 3 Pasien : Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara
ketiga: melaksanakan aktivitas terjadwal
d. SP 4 Pasien: Melatih pasien menggunakan obat secara teratur
2) Isolasi sosial
Tindakan keperawatan untuk pasien
a) Tujuan:
(1) Membina hubungan saling percaya
(2) Menyadari penyebab isolasi sosial
(3) Berinteraksi dengan orang lain
b) Kriteria Hasil
(1) Membina hubungan saling percaya
(2) Menyadari penyebab isolasi sosial, keuntungan dan kerugian
berinteraksi dengan orang lain.
(3) Melakukan interaksi dengan orang lain secara bertahap strategi
pelaksanaan pasien isolasi sosial.
Strategi Pelaksana (SP) 1
(1) Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial
(2) Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi
dengan orang lain.
(3) Berdiskusi dengan klien tentang kerugian berinteraksi dengn
orang lain.
(4) Mengajarkan klien cara berkenalan dengan satu orang.
(5) Menganjurkan klien memasukkan kegiatan latihan berbincang-
bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian.
Strategi Pelaksana (SP) 2
(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
(2) Memberikan kesempatan kepada klien mempraktikkan cara
berkenalan dengan satu orang.
(3) Membantu klien memasukkan kegiatan latihan berbincang-
bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian.
Strategi Pelaksana (SP) 3
(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
(2) Memberikan kesempatan kepada klien mempraktikkan cara
berkenalan dengan satu orang atau lebih.
(3) Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
c) Tindakan Keperawatan
(1) Membina hubungan saling percaya
Tindakan yang harus dilakukan dalam membina hubungan
saling percaya yaitu:
(a) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan klien.
(b) Berkenalan dengan pasien: nama, nama panggilan yang
disukai, serta tanyakan nama pasien dan nama panggilan
yang disukainya.
(c) Menanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini.
(d) Buat kontrak asuhan: apa yang akan dilakukan bersama
pasien, berapa lama dikerjakan dan tempatnya di mana.
(e) Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan semua
informasi yang disampaikan pasien untuk kepentingan
terapi.
(f) Setiap saat tunjukkan sikap empati atau caring terhadap
pasien.
(g) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan. Untuk
membina hubungan saling percaya dengan pasien isolasi
sosial, kadang-kadang perlu waktu yang lama terapi
interaksinya singkat dan sering. Karena tidak mudah bagi
pasien untuk percaya dengan orang lain. Perawat juga perlu
konsisten dalam terapeutik terhadap pasien.
(2) Membantu pasien mengenal penyebab isolasi sosial
(a) Menanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan
berinteraksi dengan orang lain.
(b) Menanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin
berinteraksi dengan orang lain.
(3) Membantu klien mengenal keuntungan berinteraksi dengan
orang lain
(a) Diskusikan keuntungan bila pasien memilik banyak teman
dan bergaul akrab dengan mereka.
(4) Membantu pasien mengenal kerugian yang tidak berhubungan
dengan orang lain.
(a) Mendiskusikan kerugian bila klien hanya mengurung diri di
kamar dan tidak bergaul dengn orang lain.
(b) Menjelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan
fisik pasien.
(5) Membantu pasien berinteraksi dengan orang lain secara
bertahap
Perawat tidak mungkin mengubah kebiasaan pasien untuk
berinteraksi dengan orang lain secara drastis karena kebiasaan
itu telah terbentuk dalam waktu yang lama.
Langkah yang dilakukan yaitu:
(a) Beri kesempatan pasien mempraktikkan cara berinteraksi
dengan orang lain yang dilakukan di hadapan perawat.
(b) Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan satu orang
(pasien lain, perawat lain, keluarga).
(c) Bila pasien sudah menunjukkan kemajuan interaksi yang
telah dilakukan oleh pasien.
(d) Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah
dilakukan oleh pasien.
(e) Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah
berinteraksi dengan orang lain. Mungkin pasien akan
mengungkapkan keberhasilan atau kegagalannya. Beri
dorongan terus menerus agar pasien tetap semangat
meningkatkan interaksinya.
Tindakan keperawatan untuk keluarga
a) Tujuan:
(1) Keluarga mampu merawat pasien isolasi sosial.
b) Kriteria Hasil
(1) Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan
(2) Melakukan follow up rujukan
Strategi Pelaksana (SP) 1
(1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien.
(2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang
dialami klien beserta proses terjadinya.
(3) Menjelaskan cara-cara merawat klien dengan isolasi sosial
Startegi Pelaksana (SP) 2
(1) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien dengan
isolasi sosial.
(2) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat langsung
kepada klien isolasi sosial.
Strategi Pelaksana (SP) 3
(1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planning).
(2) Menjelaskan follow up klien setelah pulang.
c) Tindakan Keperawatan
(1) Melatih keluarga merawat pasien dengan isolasi sosial.
Keluarga merupakan sistem pendukung utama bagi pasien
untuk dapat membantu pasien mengatasi masalah ini. Karena
keluargalah yang selalu bersam-sama dengan pasien sepanjang
hari. Langkah yang dapat dilakukan yaitu:
(a) Diskusikan kepada keluarga apa yang dirasakan dalam
merawat klien.
(b) Jelaskan tentang masalah isolasi sosial, dampak pada klien,
penyebab dari isolasi sosial, dan bagaimana cara merawat
klien dengan isolasi sosial sambil memperagakan cara
merawatnya.
(c) Membantu keluarga memperagakan cara merawat klien
dengan isolasi sosial yang telah dipelajari.
(d) Menyusun rencana pulang dengan keluarga.
3) Resiko perilaku kekerasan
Tindakan keperawatan untuk klien
a) Tujuan:
(1) Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
(2) Klien dapat mengidentifikasi tanda perilaku kekerasan
(3) Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.
(4) Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya.
(5) Klien dapat menyebutkan cara mencegah atau megontrol
perilaku kekerasannya.
(6) Pasien dapat mencegah atau mengontrol perilaku kekerasan
secara fisik, spiritual, sosial dan dengan psikofarmaka.
b) Kriteria Hasil
(1) Menyebutkan penyebab, tanda, gejala, dan akibat perilaku
kekerasan.
(2) Memperagakan cara fisik 1 untuk mengontrol perilaku
kekerasan.
Strategi pelaksana klien dengan perilaku kekersaan
Startegi Pelaksana (SP) 1
(1) Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
(2) Mengidentifikasi tanda dan gejala perlaku kekerasan.
(3) Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan.
(4) Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
(5) Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan.
(6) Membantu klien mempraktikkan latihan cara mengontrol
perilaku kekerasan secara fisik seperti latihan nafas dalam.
(7) Menganjurkan klien memasukkan kedalam kegiatan harian.
Startegi Pelaksana (SP) 2
(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
(2) Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik
seperti memukul bantal atau kasur.
(3) Menganjurkan klien memasukkan kedalam kegiatan harian.
Strategi Pelaksana (SP) 3
(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
(2) Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara
sosial/verbal.
(3) Menganjurkan klien memasukkan kedalam kegiatan harian.
Strategi Pelaksana (SP) 4
(1) mengevaluasi jadwal kegiatan harian.
(2) Melatih klien mengontrol halusinasi perilaku kekerasan dengan
cara spiritual.
(3) Menganjurkan klien memasukkan kedalam kegiatan harian.
Strategi Pelaksana (SP) 5
(1) Mengevaluasi jadwal kegiata harian klien.
(2) Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan minum
obat.
(3) Menganjurkan klien memasukkan kedalam kegiatan harian.
c) Tindakan Keperawatan
(1) Bina hubungan saling percaya
(a) Mengucapkan salam terapeutik.
(b) Berjabat tangan
(c) Menjelaskan tujuan interaksi
(d) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali
bertemu pasien.
(2) Diskusikan dengan klien penyebab perilaku kekerasan saat ini
dan masa lalu.
(3) Diskusi dengan pasien tanda dan gejala perilaku kekerasan:
secara fisik, psikologis, sosial, spiritual dan secara intelektual.
(4) Diskusikan bersama klien perilaku kekerasan biasa yang
dilakukan pada saat marah, secara: verbal, terhadap orang lain,
diri sendiri, dan terhadap lingkungan.
(5) Diskusikan dengan klen akibat perilakunya.
(6) Diskusikan dengan klien secara mengontrol perilaku kekerasan
secara:
(a) Fisik: pukul kasur dan bantal, tarik nafas dalam
(b) Medis: obat
(c) Sosial atau verbal: menyampaikan marah secara asertif
(d) Spritual: berdoa sesuai keyakinan
(7) Latihan klien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik.
(a) Latihan bernafas dalam dan memukul bantal atau kasur.
(b) Susun jadwal kegiatan latihan napas dalam dan memukul
bantal atau kasur.
(8) Latihan klien mengontrol perilaku kekerasan secara sosial atau
verbal.
(a) Latih mengungkapkan rasa marah secara verbal: menolak
dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan
perasaan dengan baik.
(b) Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal.
(9) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
(a) Latih mengungkapkan marah secara spiritual: berdoa.
(b) Buat jadwal latihan berdoa.
(10) Latih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh
minum obat.
(a) Latih klien minum obat secara teratur dengan prinsip 5
benar.
(b) Susun jadwal minum obat secara teratur.
(1) Ikut sertakan klen dalam terapi aktivitas kelompok
stimulus persepsi mengontrol perilaku kekerasa.
Tindakan keperawatan untuk keluarga
a) Tujuan :
Keluarga pada merawat klien di rumah.
b) Kriteria Hasil
(1) Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan
(2) Melakukan follow up rujukan
Strategi pelaksana pada keluarga pasien perilaku kekerasan
Strategi Pelaksan (SP) 1
(1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat klien.
(2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala perilaku kekerasan
yang dialami klien serta proses terjadinya.
Strategi Pelaksana (SP) 2
(1) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien dengan
perilaku kekerasan.
(2) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat langsung
kepada klien dengan perilaku kekerasan.
Strategi Pelaksana (SP) 3
(1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planning).
(2) Menjelaskan follow up klien setelah pulang.
c) Tindakan Keperawatan
(1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat
klien.
(2) Diskusi bersama keluarga tentang perilaku kekerasan:
penyebab, tandan dan gejala, perilaku yang muncul, akibat dari
peilaku tersebut.
(3) Diskusikan bersama keluarga kondisi klien yang perlu segera
dilaporkan kepada perawat , seperti: melempar, memukul
benda atau orang.
(4) Latih keluarga merawat klien dengan perilaku kekerasan:
(a) Anjurkan keluarga untuk memotivasi klien untuk
melakukan tindakan yang telah diajarkan oleh perawat.
(b) Ajarkan keluarga untuk memberi pujian kepada klien jika
melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
(c) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus
dilakukan bila klien menunjukkan gejala perilaku
kekerasan.
(5) Buat perencanaan pulang dengan keluarga. (Muhith, 2015)
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan
keperawatan dengan memperhatikan dan mengutamakan masalah utama
yang aktual dan mengancam klien beserta lingkungannya. Sebelum
melakukan tindakan keperawatan yang sudah direncanakan, perawat perlu
memvalidasi apakah rencana tindakan masih diperlukan atau dibutuhkan
dan sesuai dengan kondisi klien pada saat ini. Hubungan saling percaya
antar perawat dengan klien merupakan dasar utama dalam melakukan
tindakan keperawatan, dengan adanya saling pecaya klien akan lebih
terbuka dengan perawat dan klien menceritakan permasalahan yang
dialaminya. (Keliat, 2012)
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberpa jauh diagnosa keperawatan,
rencana tindakan, dan pelaksanaan tercapai. Meskipun tahap evaluasi
diletakkan pada akhir proses keperawatan. (Stuart, 2012)
Evaluasi dibagi menjadi 2 yaitu, evaluasi proses atau formatif dan
evaluasi hasil atau sumatif. Evaluasi proses atau formatif merupakan hasil
observasi dan analisa perawat terhadap respon klien segera pada saat /
setelah dilakukan tindakan keperawatan, dan ditulis pada catatan perawat.
Evaluasi hasil atau sumatif merupakan rekapitulasi dan kesimpulan dari
observasi dan analisa status kesehatan sesuai waktu dan tujuan yang
dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan
umum yang telah ditentukan. (Struat,2012)
Evaluasi keberhasilan tindakan keperawatan yang sudah perawat
lakukan untuk klien halusinasi yaitu:
a. Klien mempercayai perawatnya sebagai terapis, ditandai dengan:
1) Klien mau menerima perawat sebagai perawatnya.
2) Klien mau menceritakan masalah yang dia hadapi kepada
perawatnya, bahkan hal-hal yang selama ini dianggap rahasia
untuk orang lain.
3) Klien mau bekerja sama dengan perawat, setiap program perawat
tawarkan di ikuti oleh klien.
b. Klien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada objeknya dan
merupakan masalah yang harus diatasi, yaitu:
1) Klien mengungkapkan isi halusinasi yang dialaminya.
2) Klien menjelaskan waktu dan frekuensi halusinasi yang
dialaminya.
3) Klien menjelaskan situasi yang menyebabkan halusinasi muncul.
4) Klien mengatakan perasaan pada saat halusinasi.
5) Klien mengatakan akan berusaha mengatasi halusinasi yang
dialaminya.
c. Klien dapat mengontrol halusinasi, ditandai dengan:
1) Klien mampu memperagakan empat cara mengontrol halusinasi.
2) Klien menerapkan empat cara mengontrol halusinasi yaitu:
a) Menghardik halusinasi
b) Berbicara dengan orang lain jika timbul halusinasi
c) Menyusun jadwal kegiatan dari bangun tidur di pagi hari higga
menjelang tidur pada malam hari dan melaksanakan jadwal
tersebut secara mandiri
d) Mematuhi program pengobatan
3) Keluarga mampu merawat klien di rumah, dengan ditandai:
4) Keluarga mampu menjelaskan masalah halusinasi yang dialami
oleh klien.
5) Keluarga mampu menjelaskan cara merawat pasien di rumah
6) Keluarga mampu mempraktekkan cara bersikap terhadap klien
7) Keluarga mampu menjelaskan fasilitas kesehatan yang dapat
digunakan untuk megatasi masalah klien
8) Keluarga melaporkan keberhasilan dalam merawat klien.
Daftar Pustaka
Azizah, dkk. 2016. Keperawata Jiwa Aplikasi Praktik Klinik : Graha Ilmu
Damaiyanti dan Iskandar. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Aditama
Keliat. B.A.dkk.(2012). Model Praktik Kperawatan Profesional Jiwa. Jakarta :
EGC. Keliat, Akemat.
Kusnadi Jaya,2015,Keperawatan Jiwa, Tanggerang: Binarupa Askara Publisher
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori dan Aplikasi).
Yogyakarta: Andi.
Stuart W Gail (2012). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5 revisi. Jakarta: EGC
Sutejo. (2019). Keperawatan Jiwa, Konsep dan Prektik Asuhan Keperawata
Kesehatan Jiwa: Gangguan Jiwa dan Psikososial. Yogyakarta : Pustaka
Baru Press
Jaya. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Selemba Medika