Anda di halaman 1dari 83

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN

ASUHAN KEPERAWATAN TEORI JIWA

Oleh:
AINUL HUSNA
NIM. 2114901008

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES NGUDIA HUSADA MADURA
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN IDENTITAS DIRI: HALUSINASI

I. KASUS ( MASALAH UTAMA)


Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
II. PROSES TERJADINYA MASALAH

1. DEFINISI

Halusinasi merupakan suatu penyerapan panca indera tanpa ada


rangsangan dari luar, orang sehat persepsinya akurat,mampu mengidentifikasi
dan menginter prestasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterimanya
melalui panca indera (Aritonang, 2021). Halusinasi pendengaran paling sering
terjadi ketika klien mendengar suara-suara, halusinasi ini sudah melebur dan
pasien merasa sangat ketakutan, panik dan tidak bisa membedakan antara
khayalan dan kenyataan yang dialaminya (Titania, 2021). Dari pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa halusinasi pendengaran adalah persepsi atau
tanggapan dari pancaidera (Mendengar) terhadap stimulus yang tidak nyata
yang mempengaruhi perilaku individu.

2. ETIOLOGI

Faktor predisposisi klien halusinasi menurut(Hendy, 2021):

a. Faktor Predisposisi
1) Biologis Faktor

biologis terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidakseimbangan dari


neurotransmiternya. Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi adanya
gangguan adalah perilaku maladaptif klien . Secara biologi riset
neurobiologikal memfokuskan pada tiga area otak yang dipercaya dapat
melibatkan klien mengalami halusinasi yaitu sistem limbik, lobus frontalis
dan hypothalamus.
Pada klien dengan halusinasi diperkirakan mengalami kerusakan pada
sistem limbic dan lobus frontal yang berperan dalam pengendalian atau
pengontrolan perilaku, kerusakan pada hipotalamus yang berperan dalam
pengaturan mood dan motivasi. Kondisi kerusakan ini mengakibatkan klien
halusinasi tidak memiliki keinginan dan motivasi untuk berperilaku secara
adaptif. Klien halusinasi juga diperkirakan mengalami perubahan pada fungsi
neurotransmitter, perubahan dopamin, serotonin, norepineprin dan asetilkolin
yang menyebabkan adanya perubahan regulasi gerak dan koordinasi, emosi,
kemampuan memecahkan masalah; perilaku cenderung negatif atau
berperilaku maladaptif; terjadi kelemahan serta penurunan atensi dan mood.
Genetik juga dapa memicu terjadi halusinasi pada seorang individu.

Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif.


Terjadinya penyakit jiwa pada individu juga dipengaruhi oleh keluarganya
dibanding dengan individu yang tidak mempunyai penyakit terkait. Banyak
riset menunjukkan peningkatan risiko mengalami skizofrenia pada individu
dengan riwayat genetik terdapat anggota keluarga dengan skizofrenia. Pada
kembar dizigot risiko terjadi skizofrenia 15%, kembar monozigot 50%, anak
dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia berisiko 13%, dan jika
kedua orang tua mendererita skizofrenia berisiko 45%.

2) Psikologis

Meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas,


pengalaman masa lalu, koping dan keterampilan komunikasi secara verbal .
Konsep diri dimulai dari gambaran diri secara keseluruhan yang diterima
secara positif atau negatif oleh seseorang. Penerimaan gambaran diri yang
negative menyebabkan perubahan persepsi seseorang dalam memandang
aspek positif lain yang dimiliki. Peran merupakan bagian terpenting dari
konsep diri secara utuh. Peran yang terlalu banyak dapat menjadi beban bagi
kehidupan seseorang, hal ini akan berpengaruh terhadap kerancuan dari peran
dirinya dan dapat menimbulkan depresi yang berat. Ideal diri adalah harapan,
cita-cita serta tujuan yang ingin diwujudkan atau dicapai dalam hidup secara
realistis. Identitas diri terkait dengan kemampuan seseorang dalam mengenal
siapa dirinya, dengan segala keunikannya.

Harga diri merupakan kemampuan seseorang untuk menghargai diri


sendiri serta member penghargaan terhadap kemampuan orang lain. Klien
yang mengalami halusinasi memandang dirinya secara negatif sering
mengabaikan gambaran dirinya, tidak memperhatikan kebutuhannya dengan
baik. Intelektualitas ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang,
pengalaman dan interaksi dengan lingkungan ketika mengalami halusinasi.
Kepribadian pada klien halusinasi biasanya ditemukan klien memiliki
kepribadian yang tertutup. Klien tidak mudah menerima masukan dan
informasi yang berkaitan dengan kehidupan klien. Klien juga jarang bergaul
dan cenderung menutup diri. Klien memiliki ketidakmampuan untuk
mengevaluasi atau menilai keadaan dirinya dan tidak mampu memutuskan
melakukan peningkatan keadaan menjadi lebih baik. Moralitas pandangan
negatif terhadap diri sendiri ini menyebabkan klien mengalami penurunan
motivasi untk melakukan aktifitas.

Kesimpulannya, adanya penilaian diri yang negatif pada diri klien


dengan halusinasi menyebabkan tidak ada tanggung jawab secara moral pada
klien untuk melakukan aktifitas. Menurut beberapa penjelasan di atas dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa jika mempunyai pengalaman masa lalu yang
tidak menyenangkan, klien mempunyai konsep diri negatif, intelektualitas
yang rendah, kepribadian dan moralitas yang tidak adekuat merupakan
penyebab secara psikologis untuk terjadinya halusinasi. Klien halusinasi
memerlukan perhatian yang cukup besar untuk dapat mengembalikan konsep
diri yang seutuhnya yang menyebabkan klien suka menyendiri, melamun dan
akhirnya muncul halusinasi
3) Sosial Budaya

Meliputi status sosial, umur, pendidikan, agama, dan kondisi politik.


Menurut Nyumirah (2017) ada beberapa hal yang dikaitkan dengan masalah
gangguan jiwa. Salah satunya yang terjadi pada klien halusinasi adalah masalah
pekerjaan yang akan mempengaruhi status sosial. Klien dengan status sosial
ekonomi yang rendah berpeluang lebih besar untuk mengalami gangguan jiwa
dibandingkan dengan klien yang memiliki status sosial ekonomi tinggi. Faktor
sosial ekonomi tersebut meliputi kemiskinan, tidak memadainya sarana dan
prasarana, tidak adekuatnya pemenuhan nutrisi, rendahnya pemenuhan
kebutuhan perawatan untuk anggota keluarga, dan perasaan tidak berdaya.
Kultur atau budaya, kepercayaan kebudayaan klien dan nilai pribadi
mempengaruhi masalah klien dengan halusinasi. Berdasarkan beberapa
pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa status social ekonomi, pendidikan
yang rendah, kurangnya pengetahuan, motivasi yang kurang dan kondisi fisik
yang lemah dapat mempengaruhi klien dalam mempertahankan aktifitas klien
yang mengalami halusinasi.

b. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh individu


sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk
menghadapinya. Seperti adanya rangsangan dari lingkungan, misalnya partisipasi
klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak komunikasi, objek yang ada di
lingkungan dan juga suasana sepi atau terisolasi, sering menjadi pencetus
terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang
merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik. Penyebab Halusinasi dapat
dilihat dari lima dimensi (Pardede et al,2021) yaitu :

1) Dimensi fisik: Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaaan obatobatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi Emosional: Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi
dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi
menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat
sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

3) Dimensi Intelektual: Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa


individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego.
Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan
impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang
akan mengontrol semua perilaku klien.

4) Dimensi Sosial: Klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien meganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membahayakan. Klien asyik dengan Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan
tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga
diri yang tidak didapatkan dakam dunia nyata.

6) Dimensi Spiritual: Secara sepiritual klien Halusinasi mulai dengan kehampaan


hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan jarang berupaya
secara sepiritual untuk menyucikan diri. Saat bangun tidur klien merasa hampa
dan tidak jelas tujuan hidupnya. Individu sering memaki takdir tetapi lemah
dalam upaya menjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang
menyebabkan takdirnya memburuk. (Pardede et al, 2021).

3. PROSES TERJADINYA HALUSINASI

Proses terjadinya halusinasi diawali dengan seseorang menderita


halusinasi akan menganggap sumber dari halusinasinya berasal dari
lingkungannya/stimulus eksternal. Padahal sumber itu berasal dari stimulus
internal yang berasal dari dalam dirinya tanpa ada stimulus eksternal. Pada fase
awal masalah itu menimbulkan peningkatan kecemasan yang terus menerus dan
sistem pendukung yang kurang akan membuat persepsi untuk membeda-
bedakan apa yang kurang akan membuat persepsi untuk membeda-bedakan apa
yang difikirkan dengan perasaan sendiri menurun. Klien sulit tidur sehingga
terbiasa mengkhayal dan klien biasanya menganggap lamunan itu sebagai
pemecahan masalah.
Meningkat pada fase comforting.Klien mengalami emosi yang berlanjut
seperti adanya cemas, kesepian, perasaan berdosa dan sensorinya dapat diatur
pada fase ini klien cenderung merasa nyaman dengan halusinasinya. Halusinasi
menjadi sering datang, klien tidak mampu lagi mengontrolnya dan berupaya
menjaga jarak dengan obyek yang dipersepsikan.
Pada fase condemning klien mulai dapat merasakan kesepian bila
halusinasinya berhenti. Pada fase controlling klien dapat merasakan kesepian
bila halusinasinya berhenti. Pada fase conquering lama-kelamaan pengalaman
sensorinya terganggu, klien merasa terancam dengan halusinasinya terutama
bila tidak menuruti perintah yang ia dengar dari halusinasinya (Arifin, 2017).
4. RENTANG RESPON

Jika klien yang sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifisikan dan


menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca
indera (pendengaran, pengelihatan, penciuman, pengecapan dan perabaan) klien
halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun stimulus
tersebut tidak ada.Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang
karena suatu hal mengalami kelainan persensif yaitu salah mempersepsikan
stimulus yang diterimanya, yang tersebut sebagai ilusi. Klien mengalamijika
interpresentasi yang dilakukan terhadap stimulus panca indera tidak sesuai
stimulus yang diterimanya,rentang respon tersebut sebagai berikut (Pardede et al,
2021).:
RESPON ADAPTIF RESPON MALADATIF

1. Pikiran logis 1. Distorsi pikiran 1. Gangguan piker


2. Persepsi akurat 2. Ilusi 2. Sulit merespon
3. Emosi konsisten 3. Reaksi emosional emosi
dengan 4. Perilaku anah/tidak 3. Perilakku
pengalaman biasa disorganisasi
4. Perilaku sesuai 5. Menarik diri 4. Isolasi sosial
5. Berhubungan soial
1. Respon Adaptif

Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial


budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut, respon
adaptif:

a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.

b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.

c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari


pengalaman.

d. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain
dan lingkungan.

2. Respon Psikososial

Respon psikosial meliputi:


a. Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan.

b. Ilusi adalah interpretasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang
benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera.

c. Emosi berlebihan atau berkurang.

d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran.

e. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindar interaksi dengan orang lain.

3. Respon Maladaptif

Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah


yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan, adapun
respon maladaptif meliputi:

a. Kelainan pikiran adalah keyakianan yang secara kokoh dipertahankan


walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertetangan dengan kenyataan
sosial.

b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal


yang tidak realita atau tidak ada.

c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hatif d.
Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.

d. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan
yang negatif mengancam.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab


dari halusinasi (Stuart, 2018), yaitu:
a. Pemeriksaan darah dan urine, untuk melihat kemungkinan infeksi serta
penyalahgunaan alkohol dan NAPZA.
b. EEG (elektroensefalogram), yaitu pemeriksaan aktivitas listrik otak untuk
melihat apakah halusinasi disebabkan oleh epilepsi.
c. Pemindaian CT scan dan MRI, untuk mendeteksi stroke serta kemungkinan
adanya cedera atau tumor di otak.

6. DIAGNOSA MEDIS

a. Glaukoma
b. Katarak
c. Gangguan refraksi
d. Trauma okuler
e. Trauma pada saraf kranial
f. Infeksi okuler
g. Presibukusis
h. Malfungsi alat bantu dengar
i. Delirium
j. Demensia
k. Gangguan amnestik
l. Penyakit terminal
m. Gangguan psikotik

6. PENATALAKSANAAN MEDIS

Halusinasi merupakan salah satu gejala yang paling sering terjadi pada
gangguan Skizofrenia. Dimana Skizofrenia merupakan jenis psikosis, adapun
tindakan penatalaksanaan dilakukan dengan berbagai terapi yaitu dengan:
1. Psikofarmakologis Obat sangat penting dalam pengobatan skizofrenia, karena
obat dapat membantu pasien skizofrenia untuk meminimalkan gejala perilaku
kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah. Sehingga pasien skizofrenia
harus patuh minum obat secara teratur dan mau mengikuti perawatan
(Pardede, Keliat, Wardani, 2017) :
a. Haloperidol (HLD) Obat yang dianggap sangat efektif dalam pengelolaan
hiperaktivitas, gelisah, agresif, waham, dan halusinasi.
b. Chlorpromazine (CPZ) Obat yang digunakan untuk gangguan psikosis yang
terkait skizofrenia dan gangguan perilaku yang tidak terkontrol
c. Trihexilpenidyl (THP)
1) Dosis
a. Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular.
b. Clorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap 6-8 jam
sampai keadaan akut teratasi.
2) Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet:
a. Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari.
b. Klorpromazin 2x100 mg per hari
c. Triheksifenidil 2x2 mg per hari
3) Dalam keadaan fase kronis diberikan tablet:
a. Haloperidol 2x0,5 – 1 mg perhari
b. Klorpromazin 1x50 mg sehari (malam)
c. Triheksifenidil 1-2x2 mg sehari
d. Psikosomatik
2. Terapi kejang listrik (Electro Compulsive Therapy)
yaitu suatu terapi fisik atau suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang
grand mal secara artifisial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektroda
yang dipasang pada satu atau dua temples pada pelipis. Jumlah tindakan yang
dilakukan merupakan rangkaian yang bervariasi pada setiap pasien tergantung
pada masalah pasien dan respon terapeutik sesuai hasil pengkajian selama
tindakan. Pada pasien Skizofrenia biasanya diberikan 30 kali. ECT biasanya
diberikan 3 kali seminggu walaupun biasanya diberikan jarang atau lebih
sering. Indikasi penggunaan obat: penyakit depresi berat yang tidak berespon
terhadap obat, gangguan bipolar di mana pasien sudah tidak berespon lagi
terhadap obat dan pasien dengan bunuh diri akut yang sudah lama tidak
mendapatkan pertolongan.
3. Psikoterapi
Membantu waktu yang relatif lama, juga merupakan bagian penting dalam
proses teraupetik. Upaya dalam psikoterapi ini meliputi : memberikan rasa
aman dan tenang, menciptakan lingkungan teraupetik,memotivasi klien untuk
dapat mengungkap perasaan secara verbal,bersikap ramah, sopan dan jujur
terhadap klien(Putri et al., 2021).
7. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Halusinasi dapat menjadi suatu alasan mengapa pasien melakukan
tindakan perilaku kekerasan karena suara-suara yang memberinya perintah
sehingga rentan melakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku kekerasan yang
timbul pada pasien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak berharga,
takut dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan menyingkir dari
hubungan interpersonal dengan orang lain (Keliat, 2016). Komplikasi yang dapat
terjadi pada klien dengan masalah utama gangguan sensori persepsi: halusinasi,
antara lain: resiko prilaku kekerasan, harga diri rendah dan isolasi sosial.

III. A. POHON MASALAH

Resiko Perilaku Kekerasan

(diri sendiri, orang lain , lingkungan , dan verbal ]

Gangguan presepsi sensori : halusinasi

Isolasi Sosial: Menarik Diri


B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji


Isolasi Sosial Subyetif:
Sukar didapati jika klien menolak berkomunikasi. Beberapa
data subyektif adalah menjawab pertanyaan dengan singkat,
seperti kata-kata “tidak”, “iya”, “tidak tau”
Obyektif:
1. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
2. Menghindar dari orang lain (menyendiri), klien nampa
memisahkan diri dari orang lain, misalnya pada saat makan
3. Komunikasi kurang atau tidak ada. Klien tidak tampak
bercakap-cakap dengan klien lain/perawat
4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk
Halusinasi Subyektif:
1. Mendengar suara-suara atau kegaduhan
2. Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
3. Mendengar sesuatu yang menyuruh melakukan sesuatu
yang berbahaya
Obyektif:
1. Bicara atau tertawa sendiri
2. Marah-marah tanpa sebab
3. Menutup telinga
Resiko Perilaku Subyektif:
Kekerasan Klien marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh,
ingin membakar, atau mengacak-acak lingkungan
Obyektif:
Klien mengamuk, merusak, dan melempar barang-barang,
melakukan tindakan kekerasan pada orang-orang disekitarnya

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Gangguan Persepsi sensori

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Tujuan Umum: Klien dapat berhenti berhalusinasi


Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengenali jenis halusinasinya
3. Klien dapat mengekspresikan respon terhadap halusinasi
4. Klien dapat mengetahui waktu terjadinya halusinasi
5. Klien dapat menggunakan koping yang adaptif
6. Klien dapat menghardik halusinasi
7. Klien dapat menggunakan dukungan sosial
VI. IMPLEMENTASI

KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi klien 1. Mendiskusikan maslah yang
2. Mengidentifikasi isi halusinasi klien dirasakan keluarga dalam
3. Mengidentifikasi waktu halusinasi klien merawat klien
4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi klien 2. Menjelaskan pengertian, tand
5. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan gejala dan jenis halusinasi yang
halusinasi dialami klien beserta proses
6. Mengidentifikasi respon klien terhadap terjadinya
halusinasi 3. Menjelaskan cara-cara merawat
7. Mengajarkan klien menghardik halusinasi klien halusinasi
8. Menganjurkan klien memasukkan cara
menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan
harian
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan mempraktikkan cara merawat
cara bercakap-cakap dengan oang lain klien dengan halusinasi
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal 2. Melatih keluarga melakukan
kegiatan harian cara merawat langsung kepada
klien halusinasi

SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan jadwal aktivitas dirumah
melakukan kegiatan yang biasa dilakukan klien termasuk minum obat
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal 2. Menjelaskan follow up klien
kegiatan harian setelah pulang
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang
penggunaan obat secara teratut
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.
DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, M. (2021). Efektifitas Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Terhadap


Kemampuan Mengontrol Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Ruang
Cempaka Di Rsj Prof. Dr. M. Ildrem Medan Tahun 2019. Jurkessutra:
JurnalKesehatanSuryaNusantara,9(1).https://jurnal.suryanusantara.ac.id/
index.php/jurkessutra/article/view/64
Aldam, S. F. S., & Wardani, I. Y. (2019). Efektifitas penerapan standar asuhan
keperawatan jiwa generalis pada pasien skizofrenia dalam menurunkan
gejala halusinasi. Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat
Nasional Indonesia, 7(2), 165-172.
Keliat, B.A & Akemat. 2016. Model Praktik Keperawatan Profesional jiwa. Jakarta:
EGC.
Nyumirah, S. (2017). Peningkatan kemampuan interaksi sosial (kognitif, afektif dan
perilaku) melalui penerapan terapi perilaku kognitif di rsj dr amino
gondohutomosemarang.Jurnalkeperawatanjiwa,1(2).https://doi.org/10.2
6714/jkj.1.2.2013.%25
Oktiviani, D. P. (2020). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. K dengan masalah
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di Ruang Rokan
Rumah Sakit Jiwa Tampan. Skripsi, Poltekkes Kemenkes Riau.
http://repository.pkr.ac.id/id/eprint/498
Pardede, J. (2020). Family Knowledge about Hallucination Related to Drinking
Medication Adherence on Schizophrenia Patient. Jurnal Penelitian
PerawatProfesional,2(4),399-408.https://doi.org/10.37287/jppp.v2i4.183
Titania, A. (2021). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada An S Dengan Gangguan Persepsi
Sensori Halusinasi Pendengaran (Doctoral Dissertation, Universitas
Kusuma Husadasurakarta).
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL: MENARIK DIRI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Isolasi Sosial: Menarik Diri

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. Definisi Isolasi Sosial
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
perilaku menarik diri, serta penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain, terutama untuk mengungkapkan dan
menginformasi perasaan negatif dan positif yang dialaminya (Damanik,
2020).
Isolasi sosial adalah kesendirian yang dialami oleh individu dan
dianggap timbul karena orang lain dan sebagai suatu keadaan negatif atau
mengancam (NANDA, 2018).
Menarik diri merupakan suatu keadaan dimana seseorang
menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan
orang lain. Penarikan diri atau withdrawl merupakan suatu tindakan
melepaskan diri baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan sosial
secara langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap (Muhith, 2016).
2. Etiologi Isolasi Sosial
Menurut Dermawan dan Rusdi (2016) factor-faktor pasien dengan
gangguan isolasi sosial sebagai berikut:
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang menjadi pendukung terjadinya perilaku
isolasi sosial:
a. Faktor perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari
masa bayi sampai dewasa tua akan menjadi pencetus seseorang
sehingga mempunyai masalah respon sosial menarik diri. Sistem
keluarga yang terganggu juga dapat mempengaruhi terjadinya
menarik diri. Organisasi anggota keluarga bekerja sama dengan
tenaga profesional untuk mengembangkan gambaran yang lebih tepat
tentang hungan antara kelainan jiwa dan stress keluarga, pendekatan
kolaboratif dapat mengurangi masalah respon sosial menarik diri.
b. Faktor biologic
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial maladaprif.
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Kelainan struktur otak, seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan
berat dan volume otak serta perubahan limbic diduga dapat
menyebabkan skizofrenia.
c. Faktor sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini
merupakan akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan
terhadap orang lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat yang
tidak produktif, seperti lansia, orang cacat dan penyakit kronik. Isolasi
dapat terjadi karena mengadopsi norma, prilaku dan sistem nilai yang
berbeda dari yang dimiliki budaya mayoritas. Harapan yang tidak
realistis terhadap hubungan merupakan faktor lain yang berkaitan
dengan gangguan ini.
2. Faktor Presipitasi
Faktor pencetus terdiri dari 4 sumber utama yang dapat menentukan
alasan perasaan adalah:
a. Kehilangan ketertarikan yang nyata atau yang dibayangkan, termasuk
kehilangan cinta seseorang. Fungsi fisik kedudukan atau harga diri,
karena elemen actual dan simbolik melibatkan konsep kehilangan,
maka konsep persepsi lain merupakan hal yang sangat penting.
b. Peristiwa besar dalam kehidupan, sering dilaporkan sebagai
pendahulu episode depresi dan mempunyai dampak terhadap masalah
– msalah yang dihadapi sekarang dan kemapuan menyelesaikan
masalah.
c. Peran dan ketegangan peran telah dilaporkan mempengaruhi depresi
terutama pada wanita.
d. Perubahan fisiologis di akibatkan oleh obat – obatan berbagai
penyakit fisik seperti infeksi, meoplasma dan gangguan
keseimbangan metabolic dapat mencetus gangguan alam perasaan.
3. Proses Terjadinya Penyakit Isolasi Sosial
Menurut Stuart and Sundeen (2007) dalam Ernawati (2016) Salah
satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau
isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga, yang bisa di
alami klien dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan,
ketegangan, kekecewan, dan kecemasan. Perasaan tidak berharga
menyebabkan klien semakin sulit dalam mengembangkan hubungan dengan
orang lain. Akibatnya klien menjadi regresi atau mundur, mengalami
penurunan dalam aktifitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan dan
kebersihan diri. Klien semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku
masa lalu serta tingkah laku primitive antara lain pembicaraan yang austistic
dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat
lanjut menjadi halusinasi (Ernawati, 2016).
4. Tanda dan Gejala Isolasi Sosial
Menurut Dermawan dan Rusdi (2016) tanda gejala isolasi sosial dibagi
menjadi 2 Subjektif dan Objektif:
Tanda dan gejala Subjektif :
1. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak orang lain
2. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3. Respon verbal kurang dan sangat singkat
4. Pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain
5. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
6. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
7. Pasien merasa tidak berguna
8. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
9. Pasien merasa ditolak.
Tanda dan gejala Objektif :
1. Pasien banyak diam dan tidak mau bicara
2. Tidak mengikuti kegiatan
3. Banyak diam diri dikamar
4. Pasien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang
terdekat
5. Pasien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal
6. Kontak mata kurang
7. Kurang spontan
8. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
9. Ekspresi wajah kurang berseri
10. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
11. Mengisolasi diri
12. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar
13. Masukan makanan dan minuman terganggu
14. Retensi urin dan feses
15. Aktivitas menurun
16. Kurang energy
17. Rendah diri
18. Postur tubuh berubah
5. Rentang Respon Isolasi Sosial

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menyendiri/Solitude Merasa sendiri Manipulative


Otonomi Menarik diri Impulsive
Bekerja sama Tergantung Narcissism
Saling Tergantung
Gambar 2.1 Rentang Respon Sosial (Dermawan dan Rusdi, 2016).

Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan maslah


yang masih dapat diterima oleh norma sosial dan budaya yang umum berlaku.
Respon ini meliputi:
1. Menyendiri/solitude: respon seseorang untuk mernungkan apa yang telah
dilakukan di lingkungan sosialnya dan cara mengevaluasi diri untuk
menentukan langkah – langkah selanjutnya.
2. Otonomi: kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
3. Kebersamaan: kondisu hubungan interpersonal dimana individu mampu
untuk saling memberi dan menerima.
4. Saling tergantung (interdependen): suatu hubungan saling tergantun antar
individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma sosial dan budaya lingkungannya, respon
yang sering ditemukan
1. Manipulasi: orang lain diberlakukan sebagai obyek, hubungan terpusat pada
masalah pengendalian orang lain, orientasi diri sendiri atau tujuan bukan
pada orang lain.
2. Impulsive: tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari
pengalaman, tidak dapat diandalkan.
3. Narkisme: harga diri rapuh, berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian,
sikap egosentris, pencemburu, marah bila orang lain tidak mendukung.
6. Pemeriksaan Dasar dan Penunjang Isolasi Sosial
1. CT Scan:
a. Mengurangi penyebab demensia lainnya selain alzheimer seperti
multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh dan
pembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran marker
dominan yang sangat spesifikpada penyakit ini.
b. Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel
berkorelasi dengan beratnya gejala klinik dan hasil pemeriksaan
status mini mental menurut ( Budu Anna. 2011)
2. EEG :
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis.Sedang
pada penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombanglambat pada lobus
frontalis yang non spesifik menurut (Sadock & Sadock, 2009).
3. MRI:
a. Peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping
anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk
demensia awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga
terlihat pada daerah 24 subkortikal seperti adanya atropi hipokampus,
amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvi.
b. MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit alzheimer
dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari
hipokampus (Direja,2011)
c. Laboratorium darah
Dalam hal ini tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada
penderita alzheimer. Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk
menyingkirkan penyebab penyakit demensia lainnya seperti pemeriksaan
darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE, fungsi renal dan hepar, tiroid,asam
folat, serologi sifilis, skreening antibody yang dilakukan secara selektif
(keliat, 2011)
7. Diagnosis Medis Terkait (Kondisi Klinis Terkait) Isolasi Sosial
1. Penyakit Alzheimer
2. AIDS
3. Tuberkulosis
4. Kondisi yang menyebabkan gangguan mobilisasi
5. Gangguan Psikiatrik (mis. depresi mayor dan schizophrenia)
8. Penatalaksanaan Isolasi Sosial
Penatalaksaan yang dapat diberikan kepada klien dengan isolasi sosial
antara lain pendekatan farmakologi, psikososial, terapi aktivitas, terapi
okupasi, rehabilitasi, dan program intervensi keluarga (Yusuf, 2019).
1. Terapi Farmakologi
1) Chlorpromazine (CPZ)
Indikasi: Untuk Syndrome Psikosis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai
norma sosial dan titik diri terganggu. Berdaya berat dalam fungsi-
fungsi mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku
yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi
kehidupan seharihari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan
melakukan kegiatan rutin. Efek samping: sedasi, gangguan
otonomik (hipotensi, antikolinergik/ parasimpatik, mulut kering,
kesulitan dalam miksi dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur,
tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung), gangguan
endokrin, metabolik, biasanya untuk pemakaian jangka panjang.
2) Haloperidol (HLP)
Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam
fungsi netral serta dalam kehidupan sehari-hari. Efek samping:
Sedasi dan inhibisi prikomotor, gangguan otonomik.
3) Trihexy Phenidyl (THP)
Indikasi: Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk paksa
ersepalitis dan idiopatik, sindrom Parkinson, akibat obat misalnya
reserpine dan fenotiazine. Efek samping: Sedasi dan inhibisi
psikomotor gangguan otonomik.
2. Terapi Psikososial
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian
penting dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi:
memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik,
bersifat empati, menerima pasien apa adanya, memotivasi pasien untuk dapat
mengungkapkan perasaannya secara verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur
kepada pasien (Videbeck, 2012).
3. Terapi Individu
Terapi individual adalah metode yang menimbulkan perubahan pada
individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan perilaku-
perilakunya. Terapi ini meliputi hubungan satu-satu antara ahli terapi dan
klien (Videbeck, 2012). Terapi individu juga merupakan salah satu bentuk
terapi yang dilakukan secara individu oleh perawat kepada kliensecara tatap
muka perawat-klien dengan cara yang terstruktur dan durasi waktu tertentu
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai (Zakiyah, 2018). Salah satu bentuk
terapi individu yang bisa diberikan oleh perawat kepada klien dengan isolasi
sosial adalah pemberian strategi pelasanaan (SP). Dalam pemberian strategi
pelaksanaan klien dengan isolasi sosial hal yang paling penting perawat
lakukan adalah berkomunikasi dengan teknik terapeutik. Komunikasi
terapeutik adalah suatu interaksi interpersonal antara perawat dank klien,
yang selama interaksi berlangsung, perawat berfokus pada kebutuhan khusus
klien untuk meningkatkan pertukaran informasi yang efektif antara perawat
dan Klien (Videbeck, 2012). Semakin baik komunikasi perawat, maka
semakin bekualitas pula asuhan keperawatan yang diberikan kepadaklien
karena komunikasi yang baik dapat membina hubungan saling percaya antara
perawat dengan klien, perawat yang memiliki keterampilan dalam
berkomunikasi secara terapeutik tidak saja mudah menjalin hubungan saling
percaya dengan klien, tapi juga dapat menumbuhkan sikap empati dan
caring, mencegah terjadi masalah lainnya, memberikan kepuasan profesional
dalam pelayanan keperawatan serta memudahan dalam mencapai tujuan
intevensi keperawatan (Sarfika, 2018).
4. Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Keliat (2015) terapi aktivitas kelompok sosialisasi
merupakan suatu rangkaian kegiatan kelompok dimana klien dengan masalah
isolasi sosial akan dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang
ada di sekitarnya. Sosialissai dapat pula dilakukan secara bertahap dari
interpersonal, kelompok, dan massa). Aktivitas yang dilakukan berupa
latihan sosialisasi dalam kelompok, dan akan dilakukan dalam 7 sesi dengan
tujuan:
Sesi 1 : Klien mampu memperkenalkan diri
Sesi 2 : Klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok
Sesi 3 :Klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok
Sesi 4 : Klien mampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan
Sesi 5 : Klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi
pada orang lain
Sesi 6 : Klien mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok
Sesi 7 : Klien mampu menyampaikan pendapat tentang mamfaat kegiatan
TAKS yang telah dilakukan.
5. Terapi Okupasi
Terapi okupasi yaitu Suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan
partisipasi seseorang dalam melaksanakan aktifitas atau tugas yang sengaja
dipilih dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat, meningkatkan
harga diri seseorang, dan penyesuaian diri dengan lingkungan. Contoh terapi
okupasi yang dapat dilakukan di rumah sakit adalah terapi berkebun, kelas
bernyanyi, dan terapi membuat kerajinan tangan yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan klien dalam keterampilan dan bersosialisasi
(Elisia, 2014).
6. Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga
banyak manfaat. Misalnya angkat rawat inap pada klien skizofrenia yang
mengikuti kegiatan keagamaaan lebih rendah bila dibandingan dengan
mereka yang tidak mengikutinya (Dadang, 1999 dalam Yosep 2009).
Menurut Zakiah Darajat, perasaan berdosa merupakan faktor penyebab
gangguan jiwa yang berkaitan dengan penyakit-penyakit psikosomatik. Hal
ini diakibatkan karena seseorang merasa melakukan dosa tidak bisa terlepas
dari perasaan tersebut (Yosep, 2009).
Penerapan psikoreligius terapi di rumah sakit jiwa menurut Yosep
(2009) meliputi:
a. Perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang
agamanya/ kolaborasi dengan agamawan atau rohaniawan.
b. Psikoreligius tidak diarahkan untuk mengubah agama Kliennya tetapi
menggali sumber koping.
c. Memadukan milieu therapy yang religius; kaligrafi, ayat-ayat,
fasilitas ibadah, bukubuku, music/lagu keagamaan.
d. Dalam terapi aktifitas diajarkan kembali cara-cara ibadah terutama
untuk pasien rehabilitasi.
e. Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat hidup
didunia, dan sebagainya. Untuk klien dengan isolasi sosial terapi
psikoreligius dapat bermanfaat dari aspek autosugesti yang dimana
dalam setiap kegiatan religius seperti sholat, dzkir, dan berdoa berisi
ucapan-ucapan baik yang dapat memberi sugesti positif kepada diri
klien sehingga muncul rasa tenang dan yakin terhadap diri sendiri
(Thoules, 1992 dalam Yosep, 2010). Menurut Djamaludin Ancok
(1989) dan Ustman Najati (1985) dalam Yosep (2009) aspek
kebersamaan dalam shalat berjamaah juga mempunyai nilai
terapeutik, dapat menghindarkan seseorang dari rasa terisolir,
terpencil dan tidak diterima.
7. Rehabilitasi
Program rehabilitasi biasanya diberikan di bagian lain rumah sakit
yang dikhususkan untuk rehabilitasi. Terdapat banyak kegiatan, antaranya
terapi okupasional yang meliputi kegiatan membuat kerajinan tangan,
melukis, menyanyi, dan lain-lain. Pada umumnya program rehabilitasi ini
berlangsung 3-6 bulan (Yusuf, 2019).
8. Program Intervensi Keluarga
Intervensi keluarga memiliki banyak variasi, namun pada umumnya
intervensi yang dilakukan difokuskan pada aspek praktis dari kehidupan
sehari-hari, memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga tentang isolasi
sosial, mengajarkan bagaimana cara berhubungan yang baik kepada anggota
keluarga yang memiliki masalah kejiwaan (Yusuf, 2019).
9. Komplikasi dan Prognosis Isolasi Sosial
Klien dengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah
laku masa lalu primitif antara lain pembicaraan yang austistik dan tingkah laku yang
tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi resiko gangguan
sensosi persepsi: halusinasi, mencederai diri sendri, orang lain serta lingkungan dan
penurunan aktifitas sehingga dapat menyebabkan defisit perawatan diri (Damaiyanti,
2012).
III. POHON MASALAH
A. Pohon Masalah

Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi


Effect

Core Problem Isolasi Sosial

Gangguan Konsep Diri (Harga Diri Rendah


Causa Kronis)
Gambar 2.3 Pohon Masalah Diagnosis Isolasi Sosial
Sumber: (Sutejo, 2017)
B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
1. Gangguan persepsi sensori : halusinasi
Data Subjektif :
a) Mendengar suara bisikan atau melihat bayangan
b) Merasakan sesuatu melalui indera perabaan, penciuman, atau pengecapan
Data Objektif :
a) Distori sensori
b) Respon tidak sesuai
c) Bersikap seolah melihat, mendengar, mengecap, meraba atau mencium
sesuatu
2. Isolasi sosial
Data Subjektif :
a) Merasa ingin sendirian
b) Merasa tidak aman ditempat umum
Data Objektif :
a) Menarik diri
b) Tidak berminat / menolak berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan
3. Risiko Perilaku Kekerasan
Faktor Risiko :
a) Pemikiran waham/delusi
b) Curiga pada orang lain
c) Halusinasi
d) Berencana bunuh diri
e) Disfungsi sistem keluarga
f) Kerusakan kognitif
g) Disorientasi atau konfusi
h) Kerusakan kontrol impuls
i) Persepsi pada lingkungan tidak akurat
j) Alam perasaan depresi
k) Riwayat kekerasan pada hewan
l) Kelainan neurologis
m) Lingkungan tidak teratur
n) Penganiayaan atau pengabaian anak
o) Riwayat atau ancaman kekerasan terhadap diri sendiri atau orang lain atau
destruksi properti orang lain
p) Impulsif
q) Ilusi
4. Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah Kronis
Data Subjektif :
a) Menilai diri negatif
b) Merasa malu atau bersalah
c) Merasa tidak mampu melakukan apapun
d) Meremehkan kemampuan mengatasi masalah
e) Merasa tidak memiliki kelebihan atau kemampuan positif
f) Melebih-lebihkan penilaian negatif tentang diri sendiri
g) Menolak penilaian positif tentang diri sendiri
Data Objektif :
a) Enggan mencoba hal baru
b) Berjalan menunduk
c) Postur tubuh menunduk
IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Isolasi sosial
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tujuan Umum: Klien dapat berinteraksi dengan orang lain secara optimal
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
2. Klien dapat menyebutkan penyebab, tanda dan gejala menarik diri
3. Klien dapat mengetahui keuntungan berhubungan dengan orang lain
4. Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap
5. Klien mampu menjelaskan perasaannya setelah berhubungan sosial
6. Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam berhubungan dengan orang
lain
7. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik
VI. IMPLEMENTASI
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab isolasi 1. Mendiskusikan masalah yang
sosial klien dirasakan keluarga dalam merawat
2. Berdiskusi dengan klien tentang klien
keuntungan berinteraksi dengan orang 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
lain gejala isolasi sosial yang dialami
3. Berdiskusi dengan klien tentang klien beserta proses terjadinya
kerugian tidak berinteraksi dengan 3. Menjelaskan cara - cara merawat
orang lain klien isolasi sosial
4. Mengajarkan klien cara berkenalan
dengan satu orang
5. Menganjurkan klien memasukkan
kegiatan latihan berbincang-bincang
dengan orang lain dalam kegiatan
harian

SP 2 SP 2
4. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga mempraktekkan
klien cara merawat klien dengan isolasi
5. Memberikan kesempatan kepada klien sosial
mempraktekkan cara berkenalan 2. Melatih keluarga melakukan cara
dengan satu orang merawat langsung kepada klien
6. Membantu klien memasukkan kegiatan isolasi sosial
berbincang-bincang dengan orang lain
sebagai salah satu kegiatan harian
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat jadual
klien aktivitas dirumah termasuk minum
2. Memberikan kesempatan kepada klien obat (Discharge planning)
berkenalan dengan dua orang atau lebih 2. Menjelaskan follow up klien setelah
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam pulang.
jadwal kegiatan harian
DAFTAR PUSTAKA

Damanik, R. K., dkk.(2020). Terapi Kognitif Terhadap Kemampuan


Interaksi Pasien Skizofrenia dengan Isolasi Sosial. Jurnal Ilmu
Keperawatan dan Kebidananan Vol.11 No.2 (2020) 226-235.

Dermawan, R., & Rusdi. (2016). Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.

Ernawati, dkk. (2016) . Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Gangguan Jiwa. Jakarta:
Trans Info Media.

Muhith, Abdul. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa : Teori dan Aplikasi.


Yogyakarta : Andi

NANDA. (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi


2018-2020. (T. H. Herdman & S. Kamitsuru, Eds.) (11th ed.). Jakarta: EGC.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia. (2016) . Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Perilaku Kekerasan
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. DEFINISI
Resiko perilaku kekerasan merupakan perilaku seseorang yang
menunjukkan bahwa ia dapat membahayakan diri endiri atau orang lain atau
lingkungan, baik secara fisik, emosional, seksual, dan verbal (NANDA, 2016).
Resiko perilaku kekeran terbagi menjadi dua, yaitu risiko perilaku kekerasan
terhadap diri sendiri (risk for self-directed violence) dan risiko perilaku kekerasan
orang lain (risk for other-directed violence).
Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan
orang, diri sendiri baik secara fisik, emosional dan sexualitas, perilaku kekerasan
merupakan salah satu respon maladaftif dari marah. Marah merupakan perasaan
jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasanatau kebutuhan yang
tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman .Kondisi ini dapat menyebabkan
meningkatnya stres emosional dan ekonomidari keluarga sebagai efek dari
kondisi anggota keluarganya sehingga keluarga memerlukan pengetahuan dan
informasi bagaimana cara menghadapi anggota keluarga yang mengalami
perilaku kekerasan dan untuk memperkecil dampak yang ditimbulkan, dibutuhkan
penanganan perilaku kekerasan yang tepat keluarga memiliki peran yang sangat
penting untuk mencegah kejadian yang tidak diinginkan dengan menggunakan
ketrampilankoping untuk menghadapi masalah (Townsend & Morgan, 2017).

2. ETIOLOGI
Menurut Nurhalimah (2018) Proses terjadinyaperilaku kekerasan pada
pasien akan dijelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi stuart yang
meliputi faktor prediposisi dan presipitasi.
a. Faktor Predisposisi
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses
impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau
menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem
informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada
sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu
tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku
tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis
mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif.
Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight
atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons
terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara
perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang
menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak,
yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti
ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya.
Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga
diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku
tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi
ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru
pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang
mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung
untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara
umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan
masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan,
apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak
dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan
lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya
keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
b. Faktor Presipitasi
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
3. PROSES TERJADINYA PERILAKU KEKERASAN
Menurut Eko Prabowo (2019) kemarahan berawal dari stresor yang
berasal dari internal seperti penyakit, hormonal, dendam, dan kesal. Atau
eksternal seperti ledakan, cacian, hinaan, hingga bencana. Hal tersebut akan
mengakibatkan gangguan pada sistem individu, tergantung bagaimana
individu memaknai setiap kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan.
Bila seseorang memaknai hal tersebut dengan positif maka akan tercapai
perasaan lega tetapi jika tidak, maka ia akan memaknai hal tersebut akan
muncul perasaan tidak berdaya dan sengsara. Perasaan itu akan menimbulkan
gejala psikosomatik.

4. RENTANG RESPON MARAH


Perasaan marah normal terjadi pada setiap individu, namun perilaku
yang dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfungsi sepanjang rentang
adaptif dan mal adaptif.

adaptif maladaptif

asertif frustasi pasif agresif PK

Gambar. Rentang Respon Marah


(Sumber : Putri, 2019)
Asertif Klien mampu mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang
lain dan memberikan kelegaan.
Frustasi Klien gagal mencapai tujuan kepuasan/ saat marah dan tidak
dapat menemukan alternatif.
Pasif Klien merasa tidak dapat mengungkapkan perasaannya, tidak
berdaya dan menyerah
Agresif Klien mengekspresikan secara fisik, tetapi masih terkontrol,
mendorong orang lain dengan ancaman.
Kekerasan Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat dan hilang kontrol,
disertai amuk, merusak lingkungan.

5. PEMERIKSAAN PENUNJAG
Meskipun pemeriksaan diagnostik merupakan pemeriksaan penunjang,
tetapi peranannya penting dalam menjelaskan dan mengkuantifikasi disfungsi
neurobioalogis, memilih pengobatan, dan memonitor respon klinis (Maramis,
2019).
Menurut Doenges (2020), pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk
penyakit fisik yang dapat menyebabkan gejala neversibel seperti kondisi
defisiensi/toksik, penyakit neurologis, gangguan metabolik/endokrin.
Serangkaian tes diagnostik yang dapat dilakukan pada Skizofreniz Paranoid
adalah sebagai berikut :
a. Computed Tomograph (CT) Scan
Hasil yang ditemukan pada pasien dengan skizofreniz berupa abnormalitas
otak seperti atrofi lobus temporal, pembesaran ventrikel dengan rasio
ventrikel-otak meningkat yang dapat dihubungkan dengan derajat gejala
yang dapat dilihat.
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat memberi gambaran otak tiga dimensi, dapat memperlihatkan
gambaran lebih kecil dari lobus frontal rata-rata, atrofi lobus temporal
(terutama hipokampus, girus parahipokampus, dan girus temporal
superior).
c. Positron Emission Tomography (PET)
Alat ini dapat mengukur aktivitas metabolik dari area spesifik otak dan
dapat menyatakan aktivitas metabolik yang rendah dari lobus frontal,
terutama pada area prefrontal dari korteks serebral.
d. Pegional Cerebral Blood Flow (RCBF)
Alat yang dapat memetakan aliran darah dan menyatakan intensitas
aktivitas pada darah otak yang bervariasi.
e. Brain Electrical Activity Mapping (BEAM)
Alat yang dapat menunjukkan respon gelombang otak terhadaprangsangan
yang bervariasi disertai dengan adanya respons yang terhambat dan
menurun, kadang-kadang dilobus frontal dan sistem limbik.
f. Addiction Severity Index (ASI)
ASI dapat menentukan masalah ketergantungan (ketergantungan zat), yang
mungkin dapat dikaitkan dengan penyakit mental, dan mengidentifikasi
area pengobatan yang diperlukan.
g. Electroensephalogram (EEG)
Dari pemeriksaan didapatkan hasil yang mungkin abnormal, menunjukkan
ada atau luasnya kerusakan organik pada otak.

6. DIAGNOSIS MEDIS
h. Resiko perilaku kekerasan
i. Waham : kebesaran
j. Harga diri rendah
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Terapi Somatik
Menurut (Depkes RI, 2019, hal 230) menerangkan bahwa terapi Somatik
adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan
tujuan mengubah perilaku yang maladaptife menjadi perilaku adaktif
dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik klien,
tetapi target terapi adalah perilaku klien.
2. Terapi Kejang Listrik
Terapi kejang listrik atau elektronik convulsi therapy (ECT) adalah bentuk
terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis
klien. Terapi ini adalah awalnya untuk mengenai klien skizofrenia
membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah 2-3 kali sekali
(dua minggu sekali)
3. Peran Serta Keluarga
Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan perawatan
langsung pada setiap keadaan pasien. Keluarga yang mempunyai
kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladatif,
menanggulangi perilaku maladaptive, dan memulihkan perilaku maladatif
ke perilaku adatif sehingga derajat kesehatan pasien dapat ditingkatkan
secara optimal.
4. Terapi Farmakologi
Pasien dengan perilaku kekerasan perlu peawatan dan pengobatan yang
tepat. Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis
efektif tinggi contoh : Clorpromazine HCL yang berguna untuk
mengendalikan spikomotornya. Bila tidak ada dapat digunakan dosis efektif
rendah, contohnya Trifluoperazine estelasine, bila tidak ada juga maka dapat
digunakn Transquilizer bukan obat antipsikotik seperti neuroleptika, tetapi
meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan
anti agitasi.
5. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, ini bukan pemberian
pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini
tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti
membaca koran, bermain catur. Terapi ini merupakan langkah awal yang
harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya
seleksi dan ditentukannnya program kegiatannya.
8. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
menciderai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko menciderai merupakan
suatu tindakan yang memungkinkan dapat melukai/membahayakan diri, orang
lain, dan lingkungan.
III. A. POHON MASALAH
(EFEK) : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

(CP) : Perilaku Kekerasan

(CAUSA) : Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah


B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Perilaku Kekerasan Subyektif:
1. Klien mengancam
2. Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
3. Klien mengatakan dendam dan jengkel
4. Klien mengatakan ingin berkelahi
5. Klien menyalahkan dan menuntut
6. Klien meremehkan
Obyektif:
1. Wajah memerah dan tegang
2. Mata melotot
3. Tangan mengepal
4. Rahang mengatup
5. Postur tubuh kaku
6. Suara keras
Resiko mencederai diri sendiri, orang Subyektif:
lain dan lingkungan 1. Klien benci atau kesal pada seseorang
2. Klien suka membentak
3. Klien menyerang orang yang mengusiknya
jika sedang kesal atau marah

Obyektif:
1. Wajah agak merah
2. Mata merah
3. Nada suara tinggi dan keras
4. Pandangan tajam
5. Klien mengamuk
6. Klien merusak atau melempar barang-barang
7. Melakukan tindakan kekerasan pada orang di
sekitarnya
Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Subyektif:
Rendah 1. Klien merasa tidak berguna
2. Klien mengungkapkan perasaan
Obyektif:
1. Kehilangan minat melakukan aktivitas
2. Klien lebih suka sendiri dan bingung

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Resiko Perilaku Kekerasan
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tujuan Umum: Klien tidak mencederai diri sendiri
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
4. Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya
5. Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya
6. Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku
kekerasan
7. Klien dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk mencegah perilaku
kekerasan
8. Klien dapat mendemonstrasikan cara spiritua untuk mencegah perilaku
kekerasan
9. Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk mencegah
perilaku kekerasan
10. Klien dapat mengikuti TAK: stimulasi persepsi pencegahan perilaku
kekerasan
11. Klien mendapat dukungan keluarga dalam melakukan cara pencegahan
perilaku kekerasan
VI. IMPLEMENTASI
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab PK 1. Mendiskusikan masalah yang dirasaka
2. Mengidentifikasi tand gejala PK keluarga dalam merawat klien
3. Mengidentifikasi PK yang dilkukan 2. Menjelaskan pengertian PK, tanda
4. Menidentifikasi akibat PK gejala serta proses tejadinya PK
5. Menyebutkan cara mengontrol PK 3. Menjelaskan cara merawat klien
6. Membantu klien mempraktikkan latihan dengan PK
cara mengontrol PK
7. Mengnjurkan klien memasukkan dalam
kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Melatih klien mengontrol PK dengan cara merawat klien dengan PK
fisik II 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam merawat langsung kepada klien PK
kegiatan harian
SP 3 SP 3
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadwal
2. Melatih klien mengontrol PK dengan cara aktivitas di rumah termasuk minum
verbal obat
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam 2. Menjelaskan follow up klien setelah
jadwal kegiatan harian pulang
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
klien
2. Melatih klien mengontrol PK dengan cara
spiritual
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
SP 5
2. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
klien
3. Menjelaskan cara mengontrol PK dengan
minum obat
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
DAFTAR PUSTAKA

Azis, N. R., Sukamto, E., & Hidayat, A. (2018). Pengerun Terapi De-Ekslasi
Terhadap Perubahan Perilaku Pasien dengan Resiko Perilaku Kekerasan di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda.
Estika Mei Wulansari, Estika. Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien Dengan Resiko
Perilaku Kekerasan Dirumah Sakit Daerah Dr Arif Zainuddin Surakarta. Diss.
Universitas Kusuma Husada Surakarta, 2021.
Hastuti, R. Y., Agustina, N., & Widiyatmoko, W. (2019). Pengaruh
restrain terhadap penurunan skore panss EC pada pasien skizofrenia
dengan perilaku kekerasan. Jurnal Keperawatan Jiwa, 7(2), 135-144.
3. Kandar, K., & Iswanti, D. I. (2019). Faktor Predisposisi dan Prestipitasi
Pasien Resiko Perilaku Kekerasan. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 2(3),
149-156.
Kemenkes RI. (2019). Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS.Jakarta:
Kemenkes RI
Pardede, J. A. (2019). The Effects Acceptance and Aommitment Therapy
and Health Education Adherence to Symptoms, Ability to Accept and
Commit to Treatment and Compliance in Hallucinations Clients Mental
Hospital of Medan, North Sumatra. J Psychol Psychiatry Stud, 1, 30-35.
Pardede, J. A. (2020). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa DenganMasalah Risiko
Perilaku Kekerasan. doi: 10.31219/osf.io/we7zm
11.
Pardede, J. A. (2020, November 12). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa
Dengan Masalah Risiko Perilaku. Kekerasan.
https://doi.org/10.31219/osf.io/we7zm
Pardede, J. A., Simanjuntak, G. V., & Laia, R. (2020). The Symptoms of
Risk of Violence Behavior Decline after Given Prgressive Muscle
Relaxation Therapy on Schizophrenia Patients. Jurnal Ilmu Keperawatan
Jiwa, 3(2), 91-100. 10.
Pardede, J. A., Siregar, L. M., & Halawa, M. (2020). Beban dengan
Koping Keluarga Saat Merawat Pasien Skizofrenia yang Mengalami
Perilaku Kekerasan. Jurnal Kesehatan, 11(2), 189-196.
http://dx.doi.org/10.26630/jk.v11i2.1980
Parwati, I. G., Dewi, P. D., & Saputra, I. M. (2018). Asuhan Keperawatan
PerilakuKesehatan.https://www.academia.edu/37678637/ASUHAN
KEPERAWATAN_PERILAKU_KEKERASAN

Putri, M., Arif, Y., & Renidayati, R. (2020). Pengaruh Metode Student
Team Achivement Division Terhadap Pencegahan Perilaku Kekerasan.
Media Bina Ilmia,14(10), 3317-3326.
Townsend, M. C., & Morgan, K. I. (2017). Psychiatric mental health
nursing: Concepts of care in evidence-based practice. FA Davis.
LAPORAN PENDAHULUAN
PERUBAHAN PROSES PIKIR: WAHAM

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Perubahan Proses Pikir: Waham
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. DEFINISI
Waham Merupakan keyakinan yang salah yang didasarkan oleh
kesimpulan yang salah tentang realita eksternal dan dipertahankan dengan
kuat (Keliat, Hamid, Putri, & Daulima, 2019) dalam (Hulu dkk,2022).
Waham merupakan gangguan dimana penderitanya memiliki rasa realita
yang berkurang atau terdistorsi dan tidak dapat membedakan yang nyata
dan yang tidak nyata(Victoria, Wardani & Fauziah, 2020).Klien dengan
gangguan jiwa sikotik, mengalami penurunan daya nilai realitas (reality
testing ability).Klien tidak lagi mengenali tempat, waktu, dan orang-orang di
sekitarnya. Hal ini dapat mengakibatkan klien merasa asing dan menjadi
pencetus terjadinya ansietas pada klien. Untuk menanggulangi kendala ini,
maka perlu ada aktivitas yang memberi stimulus secara konsisten kepada klien
tentang realitas di sekitarnya. Stimulus tersebut
Waham merupakan suatu keyakinan atau pikiran yang salah karena
bertentangan dengan kenyataan (dunia realitas), serta dibangun atas unsur-
unsur yang tak berdasarkan logika, namun individu tidak mau melepaskan
wahamnya walaupun ada bukti tentang ketidakbenaran atas keyakinan itu.
Keyakinan dalam bidang agama dan budaya tidak dianggap sebagai waham.
Waham adalah suatu keyakinan kokoh yang salah dan tidak sesuai dengan
fakta dan keyakinan tersebut mungkin “ aneh” (misal, mata saya adalah
komputer yang dapat mengontrol dunia) atau bisa pula “tidak aneh” (hanya
sangat tidak mungkin, misal, “ FBI mengikuti saya”) dan tetap dipertahankan
meskipun telah diperlihatkan bukti-bukti yang jelas untuk mengoreksinya.
Waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham
yang spesifik sering ditemukan pada skizofrenia. Semakin akut psikosis
semakin sering ditemui waham disorganisasi dan waham tidak sistematis.
Waham merupakan suatu keyakinan yang salah dan dipertahankan
dengan kuat oleh klien tanpa disertai bukti-bukti yangjelas(Syahfitri,Syahdi,
Syafitri, & Pardede, 2022).Waham adalah gangguan dimana penderitanya
memiliki rasa realita yang berkurang atau terdistorsi dan tidak dapat
membedakan yang nyata dan yang tidak nyata(Manurung, & Pardede,
2022).
Berdasarkan beberapa defisini diatas dapat disimpulkan bahwa
waham merupakan suatu keyakinan yang salah dan dipertahankan dengan
kuat oleh klien tanpa disertai bukti-bukti yang jelas
2. ETIOLOGI
Menurut World Health Organization (2016) secara medis ada banyak
kemungkinan penyebab waham, termasuk gangguan neurodegeneratif,
gangguan sistem saraf pusat, penyakit pembuluh darah, penyakit menular,
penyakit metabolisme, gangguan endokrin, defisiensi vitamin, pengaruh obat-
obatan, racun, dan zat psikoaktif..
a. Faktor Predisposisi
1) Biologis
Pola keterlibatankeluarga relative kuat yang muncul di kaitkan dengan
delusi atau waham. Dimana individu dari anggota keluarga yang
di manifestasikan dengan gangguan ini berada pada resiko lebih
tinggi untuk mengalaminya di bandingkan dengan populasi
umum.Studi pada manusia kembar juga menunjukan bahwa ada
keterlibatan faktor.
2) Teori Psikologis
a) Sistem Keuarga
Perkembangan skizofrenia sebagai suatu perkembangan disfungsi
keluarga.Konflik diantara suami istri mempengaruhi anak. Bayaknya
masalah dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan anak
dimana anak tidak mampu memenuhi tugas perkembangan
dimasa dewasanya. Beberapa ahli teori menyakini bahwa individu
paranoid memiliki orang tua yang dingin, perfeksionis, sering
menimbulkan kemarahan,perasaan mementingkan diri sendiri yang
berlebihan dan tidak percaya pada individu. Klien menjadi orang
dewasa yang rentan karena pengalaman awal ini
3) Teori Interpersonl
Dikemukakan oleh Priasmoro (2018) di mana orang yang mengalami
psikosis akan menghasilkan suatu hubungan orang tua anak yang
penuh dengan ansietas tinggi.Hal ini jika di pertahankan maka
konsep diri anak akan mengalami ambivalen.
4) Psikodinamika
Perkembangan emosi terhambat karena kurangnya rangsangan atau
perhatian ibu,dengan ini seorang bayi mengalami penyimpangan
rasa aman dan gagal untuk membangun rasa percayanya sehingga
menyebabkan munculnya ego yang rapuh karena kerusakan harga
diri yang parah,perasaan kehilangan kendali,takut dan ansietas berat.
Sikap curiga kepada seseorang di manifestasikan dan dapat berlanjut
di sepanjang kehidupan. Proyeksi merupakan mekanisme koping
paling umum yang di gunakan sebagai pertahanan melawan perasaan
b. Faktor Presipitasi
1) Biologi
Stress biologi yang berhubungan dengan respon neurologik yang
maladaptif termasuk:
a) Gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur
proses informasi
b) Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi
rangsangan
2) Stres lingkungan
Stres biologi menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang
berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya
gangguan perilaku.
3) Pemicu gejala
merupakan prekursor dan stimulus yang yang sering menunjukkan
episode baru suatu penyakit. Pemicu yang biasa terdapat pada
respon neurobiologik yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan.
Lingkungan, sikap dan perilaku individu (Direja, 2018).
3. TANDA DAN GEJALA
Menurut Prakasa (2020) bahwa tanda dan gejala gangguan proses pikir
waham terbagi menjadi 8 gejala yaitu, menolak makan, perawatan diri, emosi,
gerakan tidak terkontrol, pembicaraan tidak sesuai, menghindar, mendominasi
pembicaraan, berbicara kasar
a. Waham Kebesaran
1) DS : Klien mengatakan bahwa ia adalah presiden, Nabi, Wali, artis
dan lainnya yang tidak sesuai dengan kenyataan dirinya.
2) DO :
1. Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
2. Inkoheren ( gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti
3. Klien mudah marah
4. Klien mudah tersinggung
b. Waham curiga
1) DS:
1. Klien curiga dan waspada berlebih pada orang tertentu
2. Klien mengatakan merasa diintai dan akan membahayakan dirinya.
2) DO:
1. Klien tampak waspada
2. Klien tampak menarik diri
3. Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
4. Inkoheren (Gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti).
c. Waham agama
1) DS:
1. Klien yakin terhadap suatu agama secara berlebihan,diucapkan
berulang-ulang
2. Tidak sesuai dengan kenyataan.
2) DO:
1. Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
2. Klien tampak bingung karena harus melakukan isi wahamnya
3. Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis,tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti
d. Waham Somatik
1) DS :
1. Klien mengatakan merasa yakin menderita penyakit fisik
2. Klien mengatakan merasa khawatir sampai panik
2) DO :
1. Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
2. Inkoheren ( gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti )
3. Klien tampak bingung
4. Klien mengalami perubahan pola tidur
5. Klien kehilangan selera makan
e. Waham Nihilistik
1) DS :
1. Klien mengatakan bahwa dirinya sudah meninggal dunia,
diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
2) DO :
1. Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
2. Inkoheren ( gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti )
3. Klien tampak bingung
4. Klien mengalami perubahan pola tidur
5. Klien kehilangan selera makan
f. Waham Bizzare/Sisip Pikir :
1) DS :
1. Klien mengatakan ada ide pikir orang lain yang disisipkan dalam
pikirannya yang disampaikan secara berulang dan tidak sesuai
dengan kenyataan.
2. Klien mengatakan tidak dapat mengambil keputusan
2) DO :
1. Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
2. Klien tampak bingung
3. Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti)
4. Klien mengalami perubahan pola tidur
g. Siar Pikir
1) DS :
1. Klien mengatakan bahwa orang lain mengetahui apa yang dia
pikirkan yang dinyatakan secara berulang dan tidak sesuai
dengan kenyataan.
2. Klien mengatakan merasa khawatir sampai panik
3. Klien tidak mampu mengambil keputusan
2) DO :
1. Klien tampak bingung
2. Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
3. Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti)
4. Klien tampak waspada
5. Klien kehilangan selera makan
h. Kontrol Pikir
1) DS :
1. Klien mengatakan pikirannya dikontrol dari luar
2. Klien tidak mampu mengambil keputusan
2) DO :
1. Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
2. Klien tampak bingung
3. Klien tampak menarik diri
4. Klien mudah tersinggung
5. Klien mudah marah
6. Klien tampak tidak bisa mengontrol diri sendiri
7. Klien mengalami perubahan pola tidur
8. Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti)
4. MACAM
Waham dapat di klasifikasikan menjadi beberapa macam, menurut Direja
(2011) yaitu:
Jenis
Pengertian Perilaku Klien
Waham
“Saya ini pejabat di kementrian
Keyakinan secara berlebihan bahwa
Semarang!”
dirinya memiliki kekuatan khusus atau
Waham “Saya punya perusahaan paling
kelebihan yang berbeda dengan orang
Kebesaran besar lho”.
lain, diucapkan berulang-ulang tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan.
Keyakinan terhadap suatu agama “ Saya adalah Tuhan yang bisa
Waham secara berlebihan, diucapkan berulang- menguasai dan mengendalikan
Agama ulang tetapi tidak sesuai dengan semua makhluk”.
kenyataan.
Keyakinan seseorang atau sekelompok “ Saya tahu mereka mau
orang yang mau merugikan atau menghancurkan saya, karena iri
Waham
mencederai dirinya, diucapkan dengan kesuksesan saya”.
Curiga
berulang-ulang tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan
Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau “ Saya menderita kanker”.
Waham sebagian tubuhnya terserang penyakit, Padahal hasil pemeriksaan lab
Somatik diucapkan berulang-ulang tetapi tidak tidak ada sel kanker pada
sesuai dengan kenyataan. tubuhnya.
Keyakinan seseorang bahwa dirinya “ Ini saya berada di alam kubur
Waham sudah meninggal dunia, diucapkan ya, semua yang ada disini
Nihilistik berulang-ulang tetapi tidak sesuai adalah roh-rohnya.
dengan kenyataan.

5. RENTANG RESPON MASALAH

Rentang respon waham yaitu ada respon adaptif dan ada respon
maladaptif :
1. Respon adaptif terdapat pikiran yang logis. Dibagi beberapa bagian :
a. Persepsi Kuat
Dimana apa yang diyakini seseorang tersebut sangatlah kuat dan tidak
bisa di ganggu gugat, serta dapat dibuktikan kebenarannya.
b. Emosi Konsisten
Pengalaman bisa membuat seseorang mengalami atau mempunyai
emosi yang stabil atau tetap.
c. Perilaku sesuai
Perilaku tidak menyimpang dari kenyataan yang ada
d. Berhubungan sesuai
Dalam berhubungan antar teman dan keluarga berbeda, jadi
seharusnya dalam berhubungan kita harus dapat menyesuaikan diri.
2. Dalam rentang respon ada Distorsi pikiran, terdiri dari :
a. Ilusi
Keadaan proses berfikir yang tidak benar tentang mengartikan suatu
benda.
b. Reaksi Emosi
Dimana tingkat emosi seseorang meningkat, tidak lagi stabil atau
konstan.
3. Rentang respon maladaptif terdapat gangguan pikiran. Terbagi beberapa
masalah :
a. Sulit Berespon
Sesorang yang terganggu pikirannya akan susah sekali untuk diajak
berinteraksi.
b. Emosi
Dalam tingkatan ini emosi seseorang sudah tidak lagi bisa terkontrol,
dia mudah marah, dan mudah tersinggung.
c. Perilaku kacau
Dimana seseorang berprilaku tidak sesuai dengan keadaan, mereka
menunjukan prilaku yang sesuai dengan pola pikir mereka tersebut.
6. DIAGNOSA MEDIS
a. Perubahan Proses Pikir: Waham
b. Harga diri rendah
c. Isolasi diri
d. Gangguan identitas diri
e. Gangguan perfusi sensori
f. Resiko perilaku kekerasan
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Prastika (2019) penatalaksanaan medis waham antara lain :
a. Psikofarmalogi
1) Litium Karbonat
Jenis litium yang paling sering digunakan untuk mengatasi gangguan
bipolar, menyusul kemudian litium sitial. Litium masih efektif dalam
menstabilkan suasana hati pasien dengan gangguan bipolar. Gejala
hilang dalam jangka waktu 1-3 minggu setelah minum obat juga
digunakan untuk mencegah atau mengurangi intensitas serangan ulang
pasien bipolar dengan riwayat mania.
2) Haloperidol
Obat antipsikotik (mayor tranquiliner) pertama dari turunan butirofenon.
Mekanisme kerja yang tidak diketahui. Haloperidol efektif untuk
pengobatan kelainan tingkah laku berat pada anakanak yang sering
membangkang dan eksplosif. Haloperidol juga efektif untuk pengobatan
jangka pendek, pada anak yang hiperaktif juga melibatkan aktivitas
motorik berlebih memiliki kelainan tingkah laku seperti: Impulsif, sulit
memusatkan perhatian, agresif, suasana hati yang labil dan tidak tahan
frustasi.
3) Karbamazepin
Karbamazepin terbukti efektif, dalam pengobatan kejang psikomotor,
dan neuralgia trigeminal. Karbamazepin secara kimiawi tidak
berhubungan dengan obat antikonvulsan lain atau obat lain yang
digunakan untuk mengobati nyeri pada neuralgia trigeminal.
1. Pasien hiperaktif atau agitasi anti psikotik potensi rendah
Penatalaksanaan ini berarti mengurangi dan menghentikan agitasi
untuk pengamanan pasien. Hal ini menggunakan penggunaan obat
anti psikotik untuk pasien waham.
2. Antipsikosis atipikal (olanzapin, risperidone). Pilihan awal
Risperidone tablet 1mg, 2mg, 3mg atau Clozapine tablet 25mg,
100mg. Keuntungan
3. Tipikal (klorpromazin, haloperidol), klorpromazin 25100mg.
Efektif untuk menghilangkan gejala positif.
4. Penarikan diri selama potensi tinggi seseorang mengalami waham.
Dia cenderung menarik diri dari pergaulan dengan orang lain dan
cenderung asyik dengan dunianya sendiri (khayalan dan pikirannya
sendiri). Oleh karena itu, salah satu penatalaksanaan pasien waham
adalah penarikan diri yang potensial, Hal ini berarti
penatalaksanaannya penekanankan pada gejala dari waham itu
sendiri, yaitu gejala penarikan diri yang berkaitan dengan
kecanduan morfin biasanya sewaktuwaktu sebelum waktu yang
berikutnya, penarikan diri dari lingkungan sosial
5. ECT tipe katatonik Electro Convulsive Therapy (ECT) adalah
sebuah prosedur dimana arus listrik melewati otak untuk pelatihan
kejang singkat. Hal ini menyebabkan perubahan dalam kimiawi
otak yang dapat mengurangi penyakit mental tertentu, seperti
skizofrenia katatonik. ECT bisa menjadi pilihan jika gejala yang
parah atau jika obat-obatan tidak membantu meredakan episode
katatonik.
6. Psikoterapi Walaupun obat-obatan penting untuk mengatasi pasien
waham, namun psikoterapi juga penting. Psikoterapi mungkin tidak
sesuai untuk semua orang, terutama jika gejala terlalu berat untuk
terlibat dalam proses terapi yang memerlukan komunikasi dua arah.
Yang termasuk dalam psikoterapi adalah terapi perilaku, terapi
kelompok, terapi keluarga, terapi supportif.

8. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS


Gangguan waham menetap seringkali menimbulkan
komplikasi psikiatris, seperti munculnya depresi, kecemasan, perilaku
kekerasan, smpai bunuh diri. Waham juga sering menimbulkan
Nampak finansil, legal, dan okupasional, angka komorbiditas
gangguan psikiatri lain dengan pasien dengn gangguan waham.
Prognosis gangguan waham menetap tergantung ada atau ada
tidaknya stressor yang bisa diidentifikasi. Stressor yang sering memicu
gangguan waham adalah riwayat imigrasi dalam waktu dekat, konfik
sosial, atau isolasi sosial meskpun mempunyai gejala utama yang
sama, prognosis gangguan waham lebih baik bila di bandingkan
dengan schizophrenia karena umumnya pasien ganguan waham
mempunyai onset yang lebih tua,progrsi penyakit yang lambat, iq yang
lebi tinggi (dr Irwan, 2019).
III. A. POHON MASALAH
(EFEK) : Resiko Perilaku Kekerasan

(CP) : Perubahan Proses Pikir: Waham

(CAUSA) : Isolasi Sosial: Menarik Diri

B. Masalah Keperawatan Dan Data Yang Perlu Dikaji


Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Perubahan Proses Pikir: Waham Subyektif:
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya
tentang agama, kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya
berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan
Obyektif:
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga,
bermusuhan, merusak (diri orang lain, lingkungan),
takut, kadang panic, sangat waspada, tidak tepat
menilai lingkungan/ realistis, ekspresi wajah klien
tegang, mudah tersinggung
Isolasi Sosial: Menarik Diri Subyektif:
1. Klien mengatakan malas bergaul dengan orang
lain
2. Klien mengatakan dirinya tidak ingin ditemani
perawat dan meminta untuk sendiri
3. Klien mengatakan tidak mau berbicara dengan
orang lain
4. Tidak mau berkomunikasi
Obyektif:
1. Kurang spontan
2. Apatis
3. Tidak merawat diri sendiri
4. Tida ada atau kurang komunikasi verbal
5. Rendah diri
6. Postur tubuh berubah
7. Kurang berenergi
Resiko Perilaku Kekerasan Subyektif:
1. Klien mengancam
2. Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
3. Klien mengatakan dendam dan jengkel
4. Klien mengatakan ingin berkelahi
5. Klien menyalahkan dan menuntut
6. Klien meremehkan
Obyektif:
1. Wajah memerah dan tegang
2. Mata melotot
3. Tangan mengepal
4. Rahang mengatup
5. Postur tubuh kaku
6. Suara keras

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Perubahan Proses Pikir: Waham
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tujuan Umum: Klien tidak mencederai diri sendiri dan orang lain
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab waham
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala waham
4. Klien dapat mengidentifikasi waham yang biasa dirasakan
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat waham
6. Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah gangguan
identitas diri
VI. IMPLEMENTASI
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Membantu orientasi realita 1. Membantu orientasi realita
2. Mendiskusikan kebutuhan 2. Mendiskusikan kebutuhan yang tidak
3. yang tidak terpenuhi terpenuhi
4. Membantu klien memenuhi 3. Membantu klien memenuhi
kebutuhannya kebutuhannya
5. Menganjurkan klien memasukkan dalam 4. Menganjurkan klien memasukkan
jadwal kegiatan harian dalam jadwal kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Mejadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Berdiskusi tentang kemampuan yang merawat klien dengan waham
dimiliki 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Melatih kemampuan yang dimiliki merawat langsung kepada klien
waham
SP 3 SP 3
1. Melatih keluarga mempraktikkan cara 1. Membantu keluarga membuat jadwal
merawat klien dengan waham aktivitas dirumah termasuk minum
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat obat
langsung kepada klien waham 2. Mendiskusikan sumber rujukan yang
bisa dijangkau keluarga
DAFTAR PUSTAKA

Hulu,dkk,.(2022). Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. S Dengan Masalah


Gangguan Proses Pikir: Waham Kebesaran: Studi Kasus.

Keliat, B. A., dkk. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC.

Victoryna,F, dkk, (2020). Penerapan Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Ners


untuk Menurunkan Intensitas Waham Pasien Skizofrenia.Jurnal
Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasiona Indonesia 8(1),
45-52.https://doi.org/10.26714/jkj.8.1.2020.45-52

Manurung, J., & Pardede, J. A. (2022). Mental Nursing Care Management with
Delusion of greatness Problems in Schizophrenic Patients: A Case Study.
10.31219/osf.io/74sr5

Syahfitri, M., Syahdi, D., Syafitri, F., & Pardede, J. A. (2022). Penerapan
Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Gangguan Proses Pikir: Waham
Kebesaran Pendekatan Strategi Pelaksanaan (SP) 1-4: Studi Kasu

Prakasa, A., &Milkhatun, M. (2020). Analisis Rekam Medis Pasien Gangguan Proses
Pikir Waham dengan Menggunakan Algoritma C4. 5 di Rumah Sakit
Atma Husada Mahakam Samarinda. Borneo Student Research (BSR), 2(1),
8-15.
Dr Irawan, (2019), Prognosis Gangguan Waham Menetap,
http://www.alomedika.com
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. DEFINISI
Harga diri yang tinggi dikaitkan dengan kecemasan yang rendah.
Efek dalam kelompok dan penerimaan orang lain terhadap dirinya, sedangkan
masalah kesehatan dapat menyebabkan harga diri, sehingga harga diri
dikaitkan dengan hubungan interpersonal yang buruk dan beresiko terjadinya
depresi sehingga perasaan negatif mendasari hilangnya kepercayaan diri dan
harga diri individu dan menggambarkan gangguan harga diri (Wandono,
2017). Harga diri rendah adalah disfungsi psikologis yang meluas-trlepas dari
spesifiknya. Masalahnya, hampir semua pasien menyatakan bahwa mereka
ingin memilii harga diri yang lebih baik . Jika kita hanya mengurangi harga
diri rendah, banyak masalah psikologis akan berkurang atau hilang secara
substansial sepenuhnya (Parded, 2020).
Harga diri rendah merupakan kunci penting dimana yakin terhadap
kemampuannya dalam melakukan suatu perilaku dalam memperoleh hasil
yang diinginkan. Memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung memiliki
keyakinan dan kemampuan untuk memperolehsuatu tujuan (Pardede, 2020).
Jika dihadapkan dengan yang sulit maka dibutuhkan kepercayaan dan
kemampuan keluarga serta tindakan yang tepat untuk merawat anggota
keluarga yang sakit (Pardede, 2021)
2. ETIOLOGI
Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang
menurut (Muhith, 2018)
a. Faktor Predisposisi
Adapun faktor predisposisi yang dapat menyebabkan harga diri rendah
adalah sebagai berikut:
1. Perkembangan individu yang meliputi
a) Adanya penolakan dari orang tua, sehingga anak mersa tidak dicintai
kemudian dampaknya anaka gagal mencintai dirinya dan akan gagal
pula untuk mencintai orang lain.
b) Kurangnya pujian dan kurangnya pengakuan dari oarang-orang
tuanya atau orang tua yang penting/dekat individu yang
bersangkutan.
c) Sikap orang tua protekting, anak merasa tidak berguna , orang tua
atau orang terdekat sering mengkritik sering merevidasikan individu.
d) Anak menjadi frustasi, putus asa merasa tidak berguna dan merasa
rendah diri.
2. Ideal diri
a) Individu selalu dituntut untuk berhasil
b) Tidak mempunyai hak untuk gagal dan berbuat salah
c) Anak dapat menghakimi dirinya sendiri dan hilangnya rasa percaya
diri.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi atau stresor pencetus dari munculnya harga diri rendah
menurut (Pardede, 2020), mungkin ditimbulkan dari sumber internal dan
eksternal seperti :
a) Gangguan fisik dan mental salah satu anggota keluarga sehingga
keluarga merasa malu dan rendah diri.
b) Pengalaman traumatik berulang seperti penganiayaan seksual dan
psikologis atau menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupan ,
aniaya fisik, kecelakaan, bencana alam dalam perampokan. Respon
terhadap trauma pada umumnya akan mengubah arti trauma tersebut dan
kopingnya adalah represidan denial.
c. Perilaku
a) Dalam melakukan pengkajian, perawat dapat memulai dengan
mengobservasi penampilan klien, misalnya kebersihan, dandanan,
pakaian. Kemudian perawat mendiskusikanya dengan klien untuk
mendapatkan pandangan klien tentang gambaran dirinya.
b) Perilaku berhubungan dengan harga diri rendah. Harga diri yang rendah
merupakan msalah bagi banyak orang dan mengekspresikan melalui
tingkat kecemasan yang sedang samapi berat. Umumnya disertai oleh
evaluasi diri yang negatif membenci diri sendiri dan menolak diri sendiri
(Pardede, 2018).
3. PROSES TERJADINYA HARGA DIRI RENDAH
Harga diri rendah kronis trjadi merupakan proses lanjutan dari harga
diri rendah situasional yang tidak terselesaikan atau dapat juga terjadi karena
individu tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku
klien sebelumnya bahkan kecenderungan lingkungan yang selalu memberi
respon negatif mendorong individu menjadi harga diri rendah (Muhith, 2018).
Harga diri rendah kronis terjadi terjadi disebabkan banyak faktor.
Awalnya individu berada pada suatu situasi yang penuh dengan stresor
(krisis), individu berusaha menyelesaikan krisis terapi tidak mampu atau
merasa gagal menjalankan fungsi peran. Penilaian individu terhadap diri
sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah kondisi harga
diri rendah situasional, jika lingkungan tidak memberi dukungan positif atau
justru menyalahkan individu mengalami harga diri rendah kronis (Masturah).
4. RENTANG RESPON

Adaptif Maladaptif

Aktualisasi Konsep Harga Diri Keracunan Depersonalisasi


Diri Diri Rendah Identitas

Rentang harga diri rendah secara umum adalah sebagai berikut:


1. Aktualisasi diri
Pengungkapan pertanyaan atau kepuasan dari konsep diri positif.
2. Konsep diri positif
Dapat menerima kondisi dirinya sesuai dengan yang diharapkannya dan
sesuai dengan kenyataan.
3. Harga diri rendah
Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri merasa gagal
mencapai keinginan.
4. Kerancunan identitas
Ketidakmampuan individu mengidentifikasi aspek psikologi pada masa
dewasa, sifat kepribadian yang bertentangan perasaan hampa dan lain-lain.
5. Depersonalisasi
Merasa asing terhadap diri sendiri, kehilangan identitas misalnya malu dan
sedih karena orang lain
5. PEMERIKSAN PENUNJANG
a. Test psikologik : tes kepribadian
b. EEG : gangguan jiwa yang disebabkan oleh neorologis
c. Pemeriksaan sinar X : mengetahui kelainan anatomi
d. Pemeriksaan laboratorim kromosom : ginetik
6. DIAGNOSA MEDIS YANG TERJADI
1. Harga diri rendah
2. Koping individu tidak efektif
3. Isolasi social
4. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
5. Resiko tinggi perilaku kekerasan
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Terapi pada gangguan jiwa skizofrenia dewasa ini sudah
dikembangkan sehingga penderita tidak mengalami diskriminasi bahkan
metodenya lebih manusiawi dari pada masa sebelumnya (Pardede, 2020).
Terapi yang dimaksud meliputi :
a. Psikofarmaka
Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar dipasaran yang hanya
diperoleh dengan resep dokter, dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu
golongan generasi pertama (typical) dan golongan kedua (atypical). Obat
yang termasuk golongan generasi pertama misalnya chlorpromazine HCL
(psikotropik untuk menstabilkan senyawa otak), dan Haloperidol
(mengobati kondisi gugup). Obat yang termasuk generasi kedua misalnya,
Risperidone (untuk ansietas), Aripiprazole (untuk antipsikotik)
b. Psikoterapi
Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan
orang lain, penderita lain, perawat dan dokter, maksudnya supaya ia tidak
mengasingkan diri lagi karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk
kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan permaianan
atau latihan bersama (Rahayu, 2020).
7. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Komplikasi harga diri rendah dapat beresiko trjadinya isolasi sosial : menarik
diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain bisa mengakibatkan resiko perilaku
kekerasan.
III. A. POHON MASALAH
(EFEK) : Isolasi Sosial: Menarik Diri

(CP) : Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

(CAUSA) : Koping individu inefektif

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji


Koping individu inefektif Subyektif:
1. Mengungkapkan ketidakmampuan untuk
mengatasi masalah atau meminta bantuan
2. Mengungkapkan perasaan khawatir dan cemas
yang berkepanjangan
3. Mengungkapkan ketidakmampuan menjalankan
peran
Obyektif:
1. Perubahan partisipasi dalam masyarakat
2. Peningkatan ketergantungan
3. Memanipulasi orang lain di sekitarnya untuk
tujuan-tujuan memenuhi keinginan sendiri
4. Menolak mengikuti aturan-aturan yang berlaku
5. Perilaku destruktif yang diarahkan pada diri sendiri
dan orang lain
6. Memanipulasi verbal/ perubahan dalam pola
komunikasi
7. Ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dasar
8. Penyalahgunaan obat terlarang
Gangguan Konsep Diri: Subyektif:
Harga Diri Rendah 1. Klien mengatakan bahwa dirinya tidak percaya diri
2. Klien mengatakan dirinya tidak berguna
Obyektif:
1. Klien sering terlihat melamun
2. Klien terlihat tidak percaya diri
3. Saat wawancara klien selalu merendahan diri
Isolasi Sosial: Menarik Diri Subyetif:
Sukar didapati jika klien menolak berkomunikasi.
Beberapa data subyektif adalah menjawab pertanyaan
dengan singkat, seperti kata-kata “tidak”, “iya”, “tidak tau”
Obyektif:
1. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
2. Menghindar dari orang lain (menyendiri), klien nampa
memisahkan diri dari orang lain, misalnya pada saat
makan
3. Komunikasi kurang atau tidak ada. Klien tidak tampak
bercakap-cakap dengan klien lain/perawat
4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk
IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Umum: Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
3. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan
4. Klien dapat menetapkan (merencanakan) kegiatan sesuai dengan kondisi
sakit dan kemampuannya
5. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
VI. IMPLEMENTASI

KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek 1. Mendiskusikan masalah ynag dirasakan
positif yang dimiliki klien keluarga dalam merawat klien
2. Membantu klien menilai kemampuan 2. Menjelaskan pengertian, tanda gejala
klien yang masih dapat digunakan harga diri rendah yang dialami klien
3. Membantu klien memilih kegiatan yang beserta proses terjadinya
akan dilatih sesuai dengan kemampuan 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
klien harga diri rendah
4. Melatih klien sesuai dengan
kemampuan yang dipilih
5. Memberikan pujian yang wajar terhadap
keerhasilan klien
6. Menganjurkan klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
klien merawat klien dengan harga diri rendah
2. Melatih kemampuan kedua 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Menganjurkan klien memasukkan merawat langsung kepada klien harga
kedalam jadwal kegiatan harian diri rendah
SP 3
1. Membantu keluarga membuat jadwal
aktivitas di rumah termasuk minum obat
2. Menjelaskan follow up klien setelah
pulang
DAFTAR PUSTAKA

Kaliat, B. A., Akemat, S., Daulima, N. H. C., & Nurhaeni, H. (2018). Keperwatan
Kesehatan jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course). Jakarta: EGC, 1-10

Muhith, A. (2019). Pendidikan Keperawatan Jiwa : Teori dan Aplikasi. Penerbit Andi

Pardede, J. A. 92019). The Effects Acceptance anad Aommitmen Therapy and Health
Education Adherence toSymptoms, Ability to Accept andCommit
toTreatment and Compliance in Hallucinations ClientMental Hospital
ofMedan, North Sumatra. J Psychol Psychiatry Stud 1, 30-35

Prabowo, E. (2017). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.

Dwi Saptina, C. H. A. N. D. R. A. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Klien


Skizofreniz Dengan Masalah Harga Diri Rendah (Doctoral Dissertation,
Universitas Muhammadiyah Probolinggo).
LAPORAN PENDAHULUAN
RISIKO BUNUH DIRI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Risiko Bunuh Diri

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. DEFINISI
Bunuh diri secara umum mudah dimengerti sebagai suatu tindakan
aktif seseorang untuk mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara. Bunuh diri
adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk membunuh diri sendiri
(Videbeck, 2018). Bunuh diri adalah segala perbuatan dengan tujuan untuk
membinasakan dirinya sendiri dan yang dengan sengaja dilakukan oleh
seseorang yang tahu akan akibatnya yang mungkin pada waktu yang singkat.
Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2018).
Pikiran bunuh diri biasanya muncul pada individu yang mengalami
gangguan mood, terutama depresi. Bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan
dengan sengaja untuk membunuh diri sendiri, seorang peneliti bunuh diri
yang ternama, mendefinisikan dua kategori bunuh diri yaitu langsung dan
tidak langsung. Bunuh diri langsung adalah tindakan yang disadari dan
disengaja untuk mengakhiri hidup seperti pengorbanan diri (membakar diri),
menggantung diri, menembak diri, meracuni diri, melompat dari tempat yang
tinggi, meneggelamkan diri, atau sufokasi. Sedangkan bunuh diri tidak
langsung adalah keinginan tersembunyi yang tidak disadari untuk mati, yang
ditandai dengan perilaku kronis berisiko seperti penyalahgunaan zat, makan
berlebihan, aktivitas seks bebas, ketidakpatuhan terhadap program medis, dan
olahraga atau pekerjaan yang membahayakan.
Upaya bunuh diri adalah suatu tindakan bunuh diri yang gagal
dilakukan atau tidak berhasil dilakukan sampai selesai. Pada jenis terakhir,
invidu tidak menyelesaikan tindakan bunuh diri karena berhasil ditolong
orang lain, atau tindakan bunuh diri selesai dilakukan, tetapi individu berhasil
diselamatkan (Roy, 2020).
2. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
Lima factor predisposisi yang menunjang pada pemahaman perilaku
destruktif-diri sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai berikut :
1. Diagnosis Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara
bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang
dapat membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri
adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2. Sifat Kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya resiko
bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
3. Lingkungan Psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah
pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-kejadian
negatif dalam hidup, penyakit krinis, perpisahan, atau bahkan
perceraian. Kekuatan dukungan social sangat penting dalam
menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu
mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam menghadapi
masalah tersebut, dan lain-lain.
4. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan factor
penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh
diri.
5. Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak sepeti serotonin,
adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui
ekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG).
b. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang
dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup
yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah
perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan berarti, kegagalan beradaptasi
sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan marah/bermusuhan,
bunuh diri ,menrupakn hukuman pada diri sendiri, cara untuk
mengakhiri keputusan, melihat atau membaca melalui media mengenai
orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi
individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
3. PROSES TERJADINYA RESIKO BUNUH DIRI
Pada dasarnya, segala sesuatu itu memiliki hubungan sebab akibat
(ini adalah sistematika). Dalam hubungan sebab akibat ini akn menghasilkan
suatu alasan atau sebab tindakan yang disebut motif.
Motif bunuh diri ada banyak penyebabnya . Disini penyusun
menngolongkan dalam kategori sebab, misalnya :
a. Ditandai keputusasaan dan depresi
b. Cobaan hidup dan tekanan lingkungan
c. Gnggan kejiwaan
d. Himpitan ekonomi atau kemiskinan
e. Penderitaan karena penyakit yang berkepanjangan
4. RENTANG RESPON

Respon adaptif Respon maladaptif


Peningkatan diri Destruktif diri tidak langsung Pencederaan diri
Beresiko destruktif Bunuh diri
(YoseP, 2019)
1) Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan
diri secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri.
Sebagai contoh seseorang mempertahankan diri dari pendapatnya yang
berbeda mengenai loyalitas terhadap pimpinan ditempat kerjanya.
2) Beresiko destruktif. Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap
situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri, seperti seseorang
merasa patah semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal
terhadap pimpinan padahal sudah melakukan pekerjaan secara optimal.
3) Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang
kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya
untuk mempertahankan diri. Misalnya, karena pandangan pimpinan
terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka seorang karyawan menjadi tidak
masuk kantor atau bekerja seenaknya dan tidak optimal.
4) Pencederaan diri. Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencederaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
5) Bunuh diri. Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada pasien percobaan bunuh diri biasanya
jarang dialkukan. Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan pertimbangan
dokter. Bila penyebab organik belum dapat disingkirkan, lakukan
pemeriksaan penunjang misalnya pemeriksaan CT Scan atau pemeriksaan
toksikologi. Pemeriksaan darah lengap dan rekam jantung juga dapat
dilakukan sesuai kondisi pasien.
6. DIAGNOSA MEDIS YANG TERJADI
a. Perilaku kekerasan
b. Resiko bunuh diri
c. Gangguan interaksi sosial
d. Gangguan konsep diri
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tindakan keperawatan yang dilakukan harus disesuaikan dengan
rencana keperawatan yang telah disusun. Sebelum melaksanakan tindakan
yang telah direncanakan, perawat perlu menvalidasi dengan singkat apakah
rencana tindakan masih sesuai dengan kebutuhannya saat ini (here and now).
Perawat juga meniali diri sendiri, apakah mempunyai kemampuan
interpersonal, intelektual, teknikal sesuai dengan tindakan yang akan
dilaksanakan. Dinilai kembali apakah aman bagi klien, jika aman maka
tindakan keperawatan boleh dilaksanakan.
8. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
a. Pada klien dengan percobaaan bunuh diri dengan cara meminum zat kimia
atau intoksikasi
b. Pada klien dengan tentamen suicide yang menyebabkan asfiksia
c. Pada klien dengan perdarahan akan mengalami syok hipovolemik yang
jika tidak dilakukan resusitasi cairan dan darah
III. A. POHON MASALAH
(EFEK) : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

(CP) : Risiko Bunuh Diri

(CAUSA) : Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji


Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Subyektif:
Rendah 1. Mengungkapkan ingin diakui jati
dirinya
2. Mengungapkan tidak ada lagi yang
peduli
3. Mengungkapan tidak bisa apa-apa
4. Mengungkapkan dirinya tidak
berguna
5. Mengkritik diri sendiri
Obyektif:
1. Merusak diri sendiri
2. Merusak orang lain
3. Menarik diri dari hubungan sosial
4. Tampak mudah tersinggung
5. Tidak mau makan dan tidak tidur
Risiko Bunuh Diri Subyektif:
Klien menyatakan ingin bunuh diri/ ingin
mati saja, taka da gunanya hidup
Obyektif:
Ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri,
pernah mencoba bunuh diri
Resiko mencederai diri sendiri, orang Subyektif:
lain dan lingkungan Klien marah dan jengkel kepada orang lain,
ingin membunuh, ingin membakar, atau
mengacak-acak lingkungan
Obyektif:
Klien mengamuk, merusak, dan melempar
barang-barang, melakukan tindakan
kekerasan pada orang-orang disekitarnya

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Risiko Bunuh Diri
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tujuan Umum: Klien tidak mencederai diri sendiri
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri
3. Klien dapat mengekspresikan perasaannya
4. Klien dapat meningkatkan harga diri
5. Klien dapat menggunakan koping yang adaptif
6. Klien dapat menggunakan dukungan sosial
7. Klien dapat menggunakan obat dengan benar dan tepat

VI. IMPLEMENTASI

KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi benda-benda yang 1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan
dapat membahayakan klien keluarga dalam merawat klien
2. Mengamankan benda-benda yang 2. Menjelaskan pengertian, tanda gejala
dapat membahayakan klien resiko bunuh diri dan jenis prilaku
3. Melakukan kontrak treatment bunuh diri yang dialami klien beserta
4. Mengajarkan cara mengendalikan proses terjadinya menjelaskan cara-cara
dorongan bunuh diri merawat klien resiko bunuh diri
5. Melatih cara mengendalikan dorongan 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
bunuh diri resiko bunuh diri
SP 2 SP 2
1. Mengidentifikasi aspek positif klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Mendorong apsien untuk berpikir merawat klien dengan resiko bunuh diri
positif terhadap diri 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Mendorong klien untuk menghargai merawat langsung kepada klien resiko
diri sebagai individu yang berharga dunuh diri

SP 3 SP 3
1. Mengidentivikasi pola koping yang 1. Membantu keliarga membuat jadwal
biasa diterapkan klien aktivitas dirumah termasuk minum obat
2. Menilai pola koping yang biasa 2. Mendiskusikan sumber rujukan yang
dilakukan biasa dijangkau oleh keluarga
3. Mengidentifikasi pola koping yang
konstruktif
4. Mendorong klien memilih pola koping
yang konstruktif
5. Menganjurkan klien menerapkan pola
koping konstruktif dalam kegiatan
harian
SP 4
1. Membuat rencana masa depan yang
realistis bersama klien
2. Mengidentifikasi cara mencapai
rencana masa depan yang realistis
3. Memberi dorongan klien melakukan
kegiatan dalam rangka meraih masa
depan yang realistis
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


PT Rineka Cipta.Arsyad, Azhar. 2014.Media Pembelajaran. Jakarta:
Rajawali Pers.

Asyhar, Rayandra. 2012. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran

Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2010.Stategi Belajar Mengajar .Jakarta: Rineka

Robert E Slavin . 2009. Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik.

Sri Puji Astuti. 2013.Upaya Meningkatkan Kreativitas Belajar Bahasa JawaMelalui


Strategi Pembelajaran Role Playing
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Defisit Perawatan Diri

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. DEFINISI
Defisit perawatan diri merupakan suatu kondisi pada seseorang yang
mengalami kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi
aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti mandi, higiene, dan (toileting)
(Abdul, 2017). Defisit perawatan diri menurut Orem adalah ketidakmampuan
seseorang untuk melakukan perawatan diri secara adekuat sehingga
dibutuhkan beberapa sistem yang dapat membantu klien dalam memenuhi
kebutuhan perawatan dirinya (Erlando, 2019). Defisit perawatan diri adalah
ketidakmampuan seseorang dalam melakukan aktivitas perawatan diri sendiri
(PPNI, 2018). Pasien dengan masalah defisit perawatan diri tidak mempunyai
keinginan untuk merawat dirinya seperti mandi teratur, berhias diri, buang air
kecil dan besar pada tempatnya. Kebutuhan aktifitas perawatan diri
merupakan fokus dalam asuhan keperawatan jiwa, sehingga seorang perawat
harus memiliki kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan aktifitas perawatan
diri, terutama pada pasien yang mengalami masalah defisit perawatan diri.

2. ETIOLOGI
Etiologi Menurut (Suerni & Livana, 2019) Defisit perawatan diri di
sebabkan karena dua faktor yaitu faktor predisposisi dan faktor pretisipasi .
a. Faktor predisposisi
meliputi faktor biologis yang dimana penyakit kronis yang
menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri sendiri. Faktor
perkembangan yaitu keluarga terlalu memanjakan dan melindungi pasien
sehingga perkembangan insiatif pasien menjadi terganggu. Faktor sosial
dimana dukungan dan latihan dalam merawat diri yang kurang situasi
lingkungan yang mempengaruhi latihan dalam kemampuan merawat diri dan
7 Universitas Muhammadiyah Magelang kemapuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidak pedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurangnya atau
menurunnya motivasi, kerusakan kognisi, atau perseptual, cemas, lelah atau
lemah yang dialami individu tidak peduli dengan perawatan diri.
3. PROSES TERJADINYA PENYAKIT
Proses Terjadinya Masalah Defisit Perawatan Diri Menurut Depkes (2000,
dalam Dermawan, 2013), penyebab defisit perawatan diri adalah :
a. Faktor predisposisi
1) Perkembangan Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
2) Biologis Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun Klien dengan gangguan jiwa dengan
kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya
dan lingkungan termasuk perawatan diri.
4) Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.
b. Faktor presipitasi Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri
adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual,
cemas, lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu
kurang mampu melakukan perawatan diri. Menurut Depkes (2000, dalam
Dermawan, 2013), faktor-faktor yang mempengaruhi personal hygiene
adalah:
1) Body image Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga
individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2) Praktik sosial Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri,
maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3) Status sosial ekonomi Personal hygiene memerlukan alat dan bahan
seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya
memerlukan uang untuk menyediakannya.
4) Pengetahuan Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada
pasien menderita diabetes melitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5) Budaya Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk
tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain-
lain.
7) Kondisi fisik atau psikis Pada keadaan tertentu/sakit kemampuan untuk
merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.

4. RENTANG RESPON

adaptif maladaptif

Pola perawatan Kadang Tidak melakukan


diri seimbang perawatan diri perawatan diri
kadang tidak saat stress
- Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan mampu
untuk berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien
seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
- Kadang perawatan diri kadang tidak: saat klien mendapatkan stresor
kadang – kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya,
- Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli dan
tidak bisa melakukan perawatan saat stressor.
5. DIAGNOSA MEDIS YANG TERJADI
a. Kebersihan diri
b. Berdandan
c. Makan
d. BAB/BAK
e. Defisit perawatan diri : ketidakmampuan merawat kebersihan diri
f. Menurunnya motifasi dalam merawat diri
6. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Meningkatakkan kesadaran dan kepercayaan diri
b. Membimbing dan menolong klien merawat diri
c. Berikan aktivitas rutin sehari-hari sesuai kemampuan
d. Ciptakan lingkungan yag mendukung
7. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Dampak fisik banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang
karena tidak terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik
yang terjadi adalah : Gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa
mulut, infeksi pada mata dan telinga, gangguan fisik.
1. MASALAH YANG SERING MUNCUL
a. Defisit keperawatan diri
ii. A. POHON MASALAH
(EFEK) : Resiko Gangguan Integritas Kulit

(CP) : Defisit Perawatan Diri

(CAUSA) : Isolasi Sosial: Menarik Diri

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji


Defisit Perawatan Diri Subyektif:
1. Klien merasa lemah
2. Malas beraktivitas
3. Merasa tidak berdaya
Obyektif:
1. Rambut kotor, acak-acakan
2. Badan dan pakaian kotor dan bau
3. Mulut dan gigi bau
4. Kulit kusam dan kotor
5. Kuku panjang dan tidak terawatt

Resiko Gangguan Integritas Subyektif:


Kulit Klien mengatakan saya tidak ammpu mandi, tidak
bisa melakuan apa-apa, ulit gatal-gatal
Obyektif:
Klien terlihat kurang memperhatikan kebersihan,
halitosis, badan bau, dermatitis pada kulit
Isolasi Sosial: Menarik Diri Subyektif:
Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa,
tidak tau apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri,
mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri
Obyektif:
Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh
memilih alternative tindakan, apatis, menolak
berhubungan, kurang memperhatikan kebersihan

iii. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Defisit Perawatan Diri

iv. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Umum: Klien tidak mengalami defisit perawatan diri
Tujuan Khusus:
1. Klien bisa membina hubungan saling percaya dengan perawat
2. Klien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
3. Klien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
4. Klien mampu melakukan makan dengan baik
5. Klien mampu melakukan BAK/BAB secara mandiri
v. IMPLEMENTASI

KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab defisit 1. Mendiskusikan masalah yang
perawatan diri klien dirasakan keluarga dalam merawat
2. Berdiskusi dengan klien tentang klien
pentingnya kebersihan diri 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
3. Berdiskusi dengan klien tentang cara gejala defisit perawatan diri, dan jenis
menjaga kebersihan diri defisit perawatan diri yang dialami
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam klien beserta proses terjadinya
jadwal kegiatan harian 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
defisit perawatan diri
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktekkan
2. Menjelaskan cara mandi yang baik cara merawat klien dengan defisit
3. Membantu klien mempraktekkan cara perawatan diri
mandi yang baik 2. Melatih keluarga melakukan cara
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam merawat langsung kepada klien
jadwal kegiatan harian defisit perawatan diri
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadual
2. Menjelaskan cara eliminasi yang baik aktivitas di rumah termasuk minum
3. Membantu klien mempraktekkan cara obat (discharge planning)
eliminasi yang baik dan memasukkan 2. Menjelaskan follow up klien setelah
dalam jadual pulang
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Menjelaskan cara berdandan
3. Membantu klien mempraktekkan cara
berdandan
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
DAFTAR PUSTAKA
Abdul. (2017). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta.
Erlando, R. P. A. (2019). Terapi Kognitif Perilaku dan Defisit Perawatan Diri :
Studi Literatur. Terapi Kognitif Perilaku Dan Defisit Perawatan Diri : Studi
Literatur, 1(1), 94–100.
Suerni, T., & Livana. (2019). Gambaran Faktor Predisposisi Pasien gangguan jiwa
dengan Defisit perawatan diri. Jurnal Keperawatan, 11(1).
Huda, M. A. (2015). Rentang Respon Defisit Perawatan Diri. jurnal Keperawatan
Kesehatan Jiwa.
Damaiyanti , M., & Iskandar. (2019). Asuhan keperawatan jiwa (pasien defisit
perawatan diri) . Bandung : Refika Aditama.
Dermawan dan Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa;Konsep Dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta ; Gosyen Publishing.

Anda mungkin juga menyukai