DAN
Oleh:
AINUL HUSNA
NIM. 2114901008
1. DEFINISI
2. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
1) Biologis Faktor
2) Psikologis
b. Faktor Presipitasi
1) Dimensi fisik: Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaaan obatobatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi Emosional: Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi
dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi
menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat
sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
4) Dimensi Sosial: Klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien meganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membahayakan. Klien asyik dengan Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan
tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga
diri yang tidak didapatkan dakam dunia nyata.
d. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain
dan lingkungan.
2. Respon Psikososial
b. Ilusi adalah interpretasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang
benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera.
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran.
e. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindar interaksi dengan orang lain.
3. Respon Maladaptif
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hatif d.
Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.
d. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan
yang negatif mengancam.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
6. DIAGNOSA MEDIS
a. Glaukoma
b. Katarak
c. Gangguan refraksi
d. Trauma okuler
e. Trauma pada saraf kranial
f. Infeksi okuler
g. Presibukusis
h. Malfungsi alat bantu dengar
i. Delirium
j. Demensia
k. Gangguan amnestik
l. Penyakit terminal
m. Gangguan psikotik
6. PENATALAKSANAAN MEDIS
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang paling sering terjadi pada
gangguan Skizofrenia. Dimana Skizofrenia merupakan jenis psikosis, adapun
tindakan penatalaksanaan dilakukan dengan berbagai terapi yaitu dengan:
1. Psikofarmakologis Obat sangat penting dalam pengobatan skizofrenia, karena
obat dapat membantu pasien skizofrenia untuk meminimalkan gejala perilaku
kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah. Sehingga pasien skizofrenia
harus patuh minum obat secara teratur dan mau mengikuti perawatan
(Pardede, Keliat, Wardani, 2017) :
a. Haloperidol (HLD) Obat yang dianggap sangat efektif dalam pengelolaan
hiperaktivitas, gelisah, agresif, waham, dan halusinasi.
b. Chlorpromazine (CPZ) Obat yang digunakan untuk gangguan psikosis yang
terkait skizofrenia dan gangguan perilaku yang tidak terkontrol
c. Trihexilpenidyl (THP)
1) Dosis
a. Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular.
b. Clorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap 6-8 jam
sampai keadaan akut teratasi.
2) Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet:
a. Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari.
b. Klorpromazin 2x100 mg per hari
c. Triheksifenidil 2x2 mg per hari
3) Dalam keadaan fase kronis diberikan tablet:
a. Haloperidol 2x0,5 – 1 mg perhari
b. Klorpromazin 1x50 mg sehari (malam)
c. Triheksifenidil 1-2x2 mg sehari
d. Psikosomatik
2. Terapi kejang listrik (Electro Compulsive Therapy)
yaitu suatu terapi fisik atau suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang
grand mal secara artifisial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektroda
yang dipasang pada satu atau dua temples pada pelipis. Jumlah tindakan yang
dilakukan merupakan rangkaian yang bervariasi pada setiap pasien tergantung
pada masalah pasien dan respon terapeutik sesuai hasil pengkajian selama
tindakan. Pada pasien Skizofrenia biasanya diberikan 30 kali. ECT biasanya
diberikan 3 kali seminggu walaupun biasanya diberikan jarang atau lebih
sering. Indikasi penggunaan obat: penyakit depresi berat yang tidak berespon
terhadap obat, gangguan bipolar di mana pasien sudah tidak berespon lagi
terhadap obat dan pasien dengan bunuh diri akut yang sudah lama tidak
mendapatkan pertolongan.
3. Psikoterapi
Membantu waktu yang relatif lama, juga merupakan bagian penting dalam
proses teraupetik. Upaya dalam psikoterapi ini meliputi : memberikan rasa
aman dan tenang, menciptakan lingkungan teraupetik,memotivasi klien untuk
dapat mengungkap perasaan secara verbal,bersikap ramah, sopan dan jujur
terhadap klien(Putri et al., 2021).
7. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Halusinasi dapat menjadi suatu alasan mengapa pasien melakukan
tindakan perilaku kekerasan karena suara-suara yang memberinya perintah
sehingga rentan melakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku kekerasan yang
timbul pada pasien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak berharga,
takut dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan menyingkir dari
hubungan interpersonal dengan orang lain (Keliat, 2016). Komplikasi yang dapat
terjadi pada klien dengan masalah utama gangguan sensori persepsi: halusinasi,
antara lain: resiko prilaku kekerasan, harga diri rendah dan isolasi sosial.
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi klien 1. Mendiskusikan maslah yang
2. Mengidentifikasi isi halusinasi klien dirasakan keluarga dalam
3. Mengidentifikasi waktu halusinasi klien merawat klien
4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi klien 2. Menjelaskan pengertian, tand
5. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan gejala dan jenis halusinasi yang
halusinasi dialami klien beserta proses
6. Mengidentifikasi respon klien terhadap terjadinya
halusinasi 3. Menjelaskan cara-cara merawat
7. Mengajarkan klien menghardik halusinasi klien halusinasi
8. Menganjurkan klien memasukkan cara
menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan
harian
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan mempraktikkan cara merawat
cara bercakap-cakap dengan oang lain klien dengan halusinasi
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal 2. Melatih keluarga melakukan
kegiatan harian cara merawat langsung kepada
klien halusinasi
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan jadwal aktivitas dirumah
melakukan kegiatan yang biasa dilakukan klien termasuk minum obat
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal 2. Menjelaskan follow up klien
kegiatan harian setelah pulang
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang
penggunaan obat secara teratut
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.
DAFTAR PUSTAKA
SP 2 SP 2
4. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga mempraktekkan
klien cara merawat klien dengan isolasi
5. Memberikan kesempatan kepada klien sosial
mempraktekkan cara berkenalan 2. Melatih keluarga melakukan cara
dengan satu orang merawat langsung kepada klien
6. Membantu klien memasukkan kegiatan isolasi sosial
berbincang-bincang dengan orang lain
sebagai salah satu kegiatan harian
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat jadual
klien aktivitas dirumah termasuk minum
2. Memberikan kesempatan kepada klien obat (Discharge planning)
berkenalan dengan dua orang atau lebih 2. Menjelaskan follow up klien setelah
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam pulang.
jadwal kegiatan harian
DAFTAR PUSTAKA
Dermawan, R., & Rusdi. (2016). Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.
Ernawati, dkk. (2016) . Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Gangguan Jiwa. Jakarta:
Trans Info Media.
2. ETIOLOGI
Menurut Nurhalimah (2018) Proses terjadinyaperilaku kekerasan pada
pasien akan dijelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi stuart yang
meliputi faktor prediposisi dan presipitasi.
a. Faktor Predisposisi
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses
impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau
menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem
informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada
sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu
tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku
tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis
mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif.
Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight
atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons
terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara
perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang
menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak,
yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti
ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya.
Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga
diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku
tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi
ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru
pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang
mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung
untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara
umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan
masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan,
apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak
dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan
lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya
keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
b. Faktor Presipitasi
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
3. PROSES TERJADINYA PERILAKU KEKERASAN
Menurut Eko Prabowo (2019) kemarahan berawal dari stresor yang
berasal dari internal seperti penyakit, hormonal, dendam, dan kesal. Atau
eksternal seperti ledakan, cacian, hinaan, hingga bencana. Hal tersebut akan
mengakibatkan gangguan pada sistem individu, tergantung bagaimana
individu memaknai setiap kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan.
Bila seseorang memaknai hal tersebut dengan positif maka akan tercapai
perasaan lega tetapi jika tidak, maka ia akan memaknai hal tersebut akan
muncul perasaan tidak berdaya dan sengsara. Perasaan itu akan menimbulkan
gejala psikosomatik.
adaptif maladaptif
5. PEMERIKSAAN PENUNJAG
Meskipun pemeriksaan diagnostik merupakan pemeriksaan penunjang,
tetapi peranannya penting dalam menjelaskan dan mengkuantifikasi disfungsi
neurobioalogis, memilih pengobatan, dan memonitor respon klinis (Maramis,
2019).
Menurut Doenges (2020), pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk
penyakit fisik yang dapat menyebabkan gejala neversibel seperti kondisi
defisiensi/toksik, penyakit neurologis, gangguan metabolik/endokrin.
Serangkaian tes diagnostik yang dapat dilakukan pada Skizofreniz Paranoid
adalah sebagai berikut :
a. Computed Tomograph (CT) Scan
Hasil yang ditemukan pada pasien dengan skizofreniz berupa abnormalitas
otak seperti atrofi lobus temporal, pembesaran ventrikel dengan rasio
ventrikel-otak meningkat yang dapat dihubungkan dengan derajat gejala
yang dapat dilihat.
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat memberi gambaran otak tiga dimensi, dapat memperlihatkan
gambaran lebih kecil dari lobus frontal rata-rata, atrofi lobus temporal
(terutama hipokampus, girus parahipokampus, dan girus temporal
superior).
c. Positron Emission Tomography (PET)
Alat ini dapat mengukur aktivitas metabolik dari area spesifik otak dan
dapat menyatakan aktivitas metabolik yang rendah dari lobus frontal,
terutama pada area prefrontal dari korteks serebral.
d. Pegional Cerebral Blood Flow (RCBF)
Alat yang dapat memetakan aliran darah dan menyatakan intensitas
aktivitas pada darah otak yang bervariasi.
e. Brain Electrical Activity Mapping (BEAM)
Alat yang dapat menunjukkan respon gelombang otak terhadaprangsangan
yang bervariasi disertai dengan adanya respons yang terhambat dan
menurun, kadang-kadang dilobus frontal dan sistem limbik.
f. Addiction Severity Index (ASI)
ASI dapat menentukan masalah ketergantungan (ketergantungan zat), yang
mungkin dapat dikaitkan dengan penyakit mental, dan mengidentifikasi
area pengobatan yang diperlukan.
g. Electroensephalogram (EEG)
Dari pemeriksaan didapatkan hasil yang mungkin abnormal, menunjukkan
ada atau luasnya kerusakan organik pada otak.
6. DIAGNOSIS MEDIS
h. Resiko perilaku kekerasan
i. Waham : kebesaran
j. Harga diri rendah
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Terapi Somatik
Menurut (Depkes RI, 2019, hal 230) menerangkan bahwa terapi Somatik
adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan
tujuan mengubah perilaku yang maladaptife menjadi perilaku adaktif
dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik klien,
tetapi target terapi adalah perilaku klien.
2. Terapi Kejang Listrik
Terapi kejang listrik atau elektronik convulsi therapy (ECT) adalah bentuk
terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis
klien. Terapi ini adalah awalnya untuk mengenai klien skizofrenia
membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah 2-3 kali sekali
(dua minggu sekali)
3. Peran Serta Keluarga
Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan perawatan
langsung pada setiap keadaan pasien. Keluarga yang mempunyai
kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladatif,
menanggulangi perilaku maladaptive, dan memulihkan perilaku maladatif
ke perilaku adatif sehingga derajat kesehatan pasien dapat ditingkatkan
secara optimal.
4. Terapi Farmakologi
Pasien dengan perilaku kekerasan perlu peawatan dan pengobatan yang
tepat. Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis
efektif tinggi contoh : Clorpromazine HCL yang berguna untuk
mengendalikan spikomotornya. Bila tidak ada dapat digunakan dosis efektif
rendah, contohnya Trifluoperazine estelasine, bila tidak ada juga maka dapat
digunakn Transquilizer bukan obat antipsikotik seperti neuroleptika, tetapi
meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan
anti agitasi.
5. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, ini bukan pemberian
pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini
tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti
membaca koran, bermain catur. Terapi ini merupakan langkah awal yang
harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya
seleksi dan ditentukannnya program kegiatannya.
8. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
menciderai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko menciderai merupakan
suatu tindakan yang memungkinkan dapat melukai/membahayakan diri, orang
lain, dan lingkungan.
III. A. POHON MASALAH
(EFEK) : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Obyektif:
1. Wajah agak merah
2. Mata merah
3. Nada suara tinggi dan keras
4. Pandangan tajam
5. Klien mengamuk
6. Klien merusak atau melempar barang-barang
7. Melakukan tindakan kekerasan pada orang di
sekitarnya
Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Subyektif:
Rendah 1. Klien merasa tidak berguna
2. Klien mengungkapkan perasaan
Obyektif:
1. Kehilangan minat melakukan aktivitas
2. Klien lebih suka sendiri dan bingung
Azis, N. R., Sukamto, E., & Hidayat, A. (2018). Pengerun Terapi De-Ekslasi
Terhadap Perubahan Perilaku Pasien dengan Resiko Perilaku Kekerasan di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda.
Estika Mei Wulansari, Estika. Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien Dengan Resiko
Perilaku Kekerasan Dirumah Sakit Daerah Dr Arif Zainuddin Surakarta. Diss.
Universitas Kusuma Husada Surakarta, 2021.
Hastuti, R. Y., Agustina, N., & Widiyatmoko, W. (2019). Pengaruh
restrain terhadap penurunan skore panss EC pada pasien skizofrenia
dengan perilaku kekerasan. Jurnal Keperawatan Jiwa, 7(2), 135-144.
3. Kandar, K., & Iswanti, D. I. (2019). Faktor Predisposisi dan Prestipitasi
Pasien Resiko Perilaku Kekerasan. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 2(3),
149-156.
Kemenkes RI. (2019). Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS.Jakarta:
Kemenkes RI
Pardede, J. A. (2019). The Effects Acceptance and Aommitment Therapy
and Health Education Adherence to Symptoms, Ability to Accept and
Commit to Treatment and Compliance in Hallucinations Clients Mental
Hospital of Medan, North Sumatra. J Psychol Psychiatry Stud, 1, 30-35.
Pardede, J. A. (2020). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa DenganMasalah Risiko
Perilaku Kekerasan. doi: 10.31219/osf.io/we7zm
11.
Pardede, J. A. (2020, November 12). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa
Dengan Masalah Risiko Perilaku. Kekerasan.
https://doi.org/10.31219/osf.io/we7zm
Pardede, J. A., Simanjuntak, G. V., & Laia, R. (2020). The Symptoms of
Risk of Violence Behavior Decline after Given Prgressive Muscle
Relaxation Therapy on Schizophrenia Patients. Jurnal Ilmu Keperawatan
Jiwa, 3(2), 91-100. 10.
Pardede, J. A., Siregar, L. M., & Halawa, M. (2020). Beban dengan
Koping Keluarga Saat Merawat Pasien Skizofrenia yang Mengalami
Perilaku Kekerasan. Jurnal Kesehatan, 11(2), 189-196.
http://dx.doi.org/10.26630/jk.v11i2.1980
Parwati, I. G., Dewi, P. D., & Saputra, I. M. (2018). Asuhan Keperawatan
PerilakuKesehatan.https://www.academia.edu/37678637/ASUHAN
KEPERAWATAN_PERILAKU_KEKERASAN
Putri, M., Arif, Y., & Renidayati, R. (2020). Pengaruh Metode Student
Team Achivement Division Terhadap Pencegahan Perilaku Kekerasan.
Media Bina Ilmia,14(10), 3317-3326.
Townsend, M. C., & Morgan, K. I. (2017). Psychiatric mental health
nursing: Concepts of care in evidence-based practice. FA Davis.
LAPORAN PENDAHULUAN
PERUBAHAN PROSES PIKIR: WAHAM
Rentang respon waham yaitu ada respon adaptif dan ada respon
maladaptif :
1. Respon adaptif terdapat pikiran yang logis. Dibagi beberapa bagian :
a. Persepsi Kuat
Dimana apa yang diyakini seseorang tersebut sangatlah kuat dan tidak
bisa di ganggu gugat, serta dapat dibuktikan kebenarannya.
b. Emosi Konsisten
Pengalaman bisa membuat seseorang mengalami atau mempunyai
emosi yang stabil atau tetap.
c. Perilaku sesuai
Perilaku tidak menyimpang dari kenyataan yang ada
d. Berhubungan sesuai
Dalam berhubungan antar teman dan keluarga berbeda, jadi
seharusnya dalam berhubungan kita harus dapat menyesuaikan diri.
2. Dalam rentang respon ada Distorsi pikiran, terdiri dari :
a. Ilusi
Keadaan proses berfikir yang tidak benar tentang mengartikan suatu
benda.
b. Reaksi Emosi
Dimana tingkat emosi seseorang meningkat, tidak lagi stabil atau
konstan.
3. Rentang respon maladaptif terdapat gangguan pikiran. Terbagi beberapa
masalah :
a. Sulit Berespon
Sesorang yang terganggu pikirannya akan susah sekali untuk diajak
berinteraksi.
b. Emosi
Dalam tingkatan ini emosi seseorang sudah tidak lagi bisa terkontrol,
dia mudah marah, dan mudah tersinggung.
c. Perilaku kacau
Dimana seseorang berprilaku tidak sesuai dengan keadaan, mereka
menunjukan prilaku yang sesuai dengan pola pikir mereka tersebut.
6. DIAGNOSA MEDIS
a. Perubahan Proses Pikir: Waham
b. Harga diri rendah
c. Isolasi diri
d. Gangguan identitas diri
e. Gangguan perfusi sensori
f. Resiko perilaku kekerasan
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Prastika (2019) penatalaksanaan medis waham antara lain :
a. Psikofarmalogi
1) Litium Karbonat
Jenis litium yang paling sering digunakan untuk mengatasi gangguan
bipolar, menyusul kemudian litium sitial. Litium masih efektif dalam
menstabilkan suasana hati pasien dengan gangguan bipolar. Gejala
hilang dalam jangka waktu 1-3 minggu setelah minum obat juga
digunakan untuk mencegah atau mengurangi intensitas serangan ulang
pasien bipolar dengan riwayat mania.
2) Haloperidol
Obat antipsikotik (mayor tranquiliner) pertama dari turunan butirofenon.
Mekanisme kerja yang tidak diketahui. Haloperidol efektif untuk
pengobatan kelainan tingkah laku berat pada anakanak yang sering
membangkang dan eksplosif. Haloperidol juga efektif untuk pengobatan
jangka pendek, pada anak yang hiperaktif juga melibatkan aktivitas
motorik berlebih memiliki kelainan tingkah laku seperti: Impulsif, sulit
memusatkan perhatian, agresif, suasana hati yang labil dan tidak tahan
frustasi.
3) Karbamazepin
Karbamazepin terbukti efektif, dalam pengobatan kejang psikomotor,
dan neuralgia trigeminal. Karbamazepin secara kimiawi tidak
berhubungan dengan obat antikonvulsan lain atau obat lain yang
digunakan untuk mengobati nyeri pada neuralgia trigeminal.
1. Pasien hiperaktif atau agitasi anti psikotik potensi rendah
Penatalaksanaan ini berarti mengurangi dan menghentikan agitasi
untuk pengamanan pasien. Hal ini menggunakan penggunaan obat
anti psikotik untuk pasien waham.
2. Antipsikosis atipikal (olanzapin, risperidone). Pilihan awal
Risperidone tablet 1mg, 2mg, 3mg atau Clozapine tablet 25mg,
100mg. Keuntungan
3. Tipikal (klorpromazin, haloperidol), klorpromazin 25100mg.
Efektif untuk menghilangkan gejala positif.
4. Penarikan diri selama potensi tinggi seseorang mengalami waham.
Dia cenderung menarik diri dari pergaulan dengan orang lain dan
cenderung asyik dengan dunianya sendiri (khayalan dan pikirannya
sendiri). Oleh karena itu, salah satu penatalaksanaan pasien waham
adalah penarikan diri yang potensial, Hal ini berarti
penatalaksanaannya penekanankan pada gejala dari waham itu
sendiri, yaitu gejala penarikan diri yang berkaitan dengan
kecanduan morfin biasanya sewaktuwaktu sebelum waktu yang
berikutnya, penarikan diri dari lingkungan sosial
5. ECT tipe katatonik Electro Convulsive Therapy (ECT) adalah
sebuah prosedur dimana arus listrik melewati otak untuk pelatihan
kejang singkat. Hal ini menyebabkan perubahan dalam kimiawi
otak yang dapat mengurangi penyakit mental tertentu, seperti
skizofrenia katatonik. ECT bisa menjadi pilihan jika gejala yang
parah atau jika obat-obatan tidak membantu meredakan episode
katatonik.
6. Psikoterapi Walaupun obat-obatan penting untuk mengatasi pasien
waham, namun psikoterapi juga penting. Psikoterapi mungkin tidak
sesuai untuk semua orang, terutama jika gejala terlalu berat untuk
terlibat dalam proses terapi yang memerlukan komunikasi dua arah.
Yang termasuk dalam psikoterapi adalah terapi perilaku, terapi
kelompok, terapi keluarga, terapi supportif.
Manurung, J., & Pardede, J. A. (2022). Mental Nursing Care Management with
Delusion of greatness Problems in Schizophrenic Patients: A Case Study.
10.31219/osf.io/74sr5
Syahfitri, M., Syahdi, D., Syafitri, F., & Pardede, J. A. (2022). Penerapan
Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Gangguan Proses Pikir: Waham
Kebesaran Pendekatan Strategi Pelaksanaan (SP) 1-4: Studi Kasu
Prakasa, A., &Milkhatun, M. (2020). Analisis Rekam Medis Pasien Gangguan Proses
Pikir Waham dengan Menggunakan Algoritma C4. 5 di Rumah Sakit
Atma Husada Mahakam Samarinda. Borneo Student Research (BSR), 2(1),
8-15.
Dr Irawan, (2019), Prognosis Gangguan Waham Menetap,
http://www.alomedika.com
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH
Adaptif Maladaptif
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek 1. Mendiskusikan masalah ynag dirasakan
positif yang dimiliki klien keluarga dalam merawat klien
2. Membantu klien menilai kemampuan 2. Menjelaskan pengertian, tanda gejala
klien yang masih dapat digunakan harga diri rendah yang dialami klien
3. Membantu klien memilih kegiatan yang beserta proses terjadinya
akan dilatih sesuai dengan kemampuan 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
klien harga diri rendah
4. Melatih klien sesuai dengan
kemampuan yang dipilih
5. Memberikan pujian yang wajar terhadap
keerhasilan klien
6. Menganjurkan klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
klien merawat klien dengan harga diri rendah
2. Melatih kemampuan kedua 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Menganjurkan klien memasukkan merawat langsung kepada klien harga
kedalam jadwal kegiatan harian diri rendah
SP 3
1. Membantu keluarga membuat jadwal
aktivitas di rumah termasuk minum obat
2. Menjelaskan follow up klien setelah
pulang
DAFTAR PUSTAKA
Kaliat, B. A., Akemat, S., Daulima, N. H. C., & Nurhaeni, H. (2018). Keperwatan
Kesehatan jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course). Jakarta: EGC, 1-10
Muhith, A. (2019). Pendidikan Keperawatan Jiwa : Teori dan Aplikasi. Penerbit Andi
Pardede, J. A. 92019). The Effects Acceptance anad Aommitmen Therapy and Health
Education Adherence toSymptoms, Ability to Accept andCommit
toTreatment and Compliance in Hallucinations ClientMental Hospital
ofMedan, North Sumatra. J Psychol Psychiatry Stud 1, 30-35
VI. IMPLEMENTASI
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi benda-benda yang 1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan
dapat membahayakan klien keluarga dalam merawat klien
2. Mengamankan benda-benda yang 2. Menjelaskan pengertian, tanda gejala
dapat membahayakan klien resiko bunuh diri dan jenis prilaku
3. Melakukan kontrak treatment bunuh diri yang dialami klien beserta
4. Mengajarkan cara mengendalikan proses terjadinya menjelaskan cara-cara
dorongan bunuh diri merawat klien resiko bunuh diri
5. Melatih cara mengendalikan dorongan 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
bunuh diri resiko bunuh diri
SP 2 SP 2
1. Mengidentifikasi aspek positif klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Mendorong apsien untuk berpikir merawat klien dengan resiko bunuh diri
positif terhadap diri 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Mendorong klien untuk menghargai merawat langsung kepada klien resiko
diri sebagai individu yang berharga dunuh diri
SP 3 SP 3
1. Mengidentivikasi pola koping yang 1. Membantu keliarga membuat jadwal
biasa diterapkan klien aktivitas dirumah termasuk minum obat
2. Menilai pola koping yang biasa 2. Mendiskusikan sumber rujukan yang
dilakukan biasa dijangkau oleh keluarga
3. Mengidentifikasi pola koping yang
konstruktif
4. Mendorong klien memilih pola koping
yang konstruktif
5. Menganjurkan klien menerapkan pola
koping konstruktif dalam kegiatan
harian
SP 4
1. Membuat rencana masa depan yang
realistis bersama klien
2. Mengidentifikasi cara mencapai
rencana masa depan yang realistis
3. Memberi dorongan klien melakukan
kegiatan dalam rangka meraih masa
depan yang realistis
DAFTAR PUSTAKA
Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2010.Stategi Belajar Mengajar .Jakarta: Rineka
2. ETIOLOGI
Etiologi Menurut (Suerni & Livana, 2019) Defisit perawatan diri di
sebabkan karena dua faktor yaitu faktor predisposisi dan faktor pretisipasi .
a. Faktor predisposisi
meliputi faktor biologis yang dimana penyakit kronis yang
menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri sendiri. Faktor
perkembangan yaitu keluarga terlalu memanjakan dan melindungi pasien
sehingga perkembangan insiatif pasien menjadi terganggu. Faktor sosial
dimana dukungan dan latihan dalam merawat diri yang kurang situasi
lingkungan yang mempengaruhi latihan dalam kemampuan merawat diri dan
7 Universitas Muhammadiyah Magelang kemapuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidak pedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurangnya atau
menurunnya motivasi, kerusakan kognisi, atau perseptual, cemas, lelah atau
lemah yang dialami individu tidak peduli dengan perawatan diri.
3. PROSES TERJADINYA PENYAKIT
Proses Terjadinya Masalah Defisit Perawatan Diri Menurut Depkes (2000,
dalam Dermawan, 2013), penyebab defisit perawatan diri adalah :
a. Faktor predisposisi
1) Perkembangan Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
2) Biologis Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun Klien dengan gangguan jiwa dengan
kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya
dan lingkungan termasuk perawatan diri.
4) Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.
b. Faktor presipitasi Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri
adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual,
cemas, lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu
kurang mampu melakukan perawatan diri. Menurut Depkes (2000, dalam
Dermawan, 2013), faktor-faktor yang mempengaruhi personal hygiene
adalah:
1) Body image Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga
individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2) Praktik sosial Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri,
maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3) Status sosial ekonomi Personal hygiene memerlukan alat dan bahan
seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya
memerlukan uang untuk menyediakannya.
4) Pengetahuan Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada
pasien menderita diabetes melitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5) Budaya Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk
tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain-
lain.
7) Kondisi fisik atau psikis Pada keadaan tertentu/sakit kemampuan untuk
merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
4. RENTANG RESPON
adaptif maladaptif
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab defisit 1. Mendiskusikan masalah yang
perawatan diri klien dirasakan keluarga dalam merawat
2. Berdiskusi dengan klien tentang klien
pentingnya kebersihan diri 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
3. Berdiskusi dengan klien tentang cara gejala defisit perawatan diri, dan jenis
menjaga kebersihan diri defisit perawatan diri yang dialami
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam klien beserta proses terjadinya
jadwal kegiatan harian 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
defisit perawatan diri
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktekkan
2. Menjelaskan cara mandi yang baik cara merawat klien dengan defisit
3. Membantu klien mempraktekkan cara perawatan diri
mandi yang baik 2. Melatih keluarga melakukan cara
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam merawat langsung kepada klien
jadwal kegiatan harian defisit perawatan diri
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadual
2. Menjelaskan cara eliminasi yang baik aktivitas di rumah termasuk minum
3. Membantu klien mempraktekkan cara obat (discharge planning)
eliminasi yang baik dan memasukkan 2. Menjelaskan follow up klien setelah
dalam jadual pulang
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Menjelaskan cara berdandan
3. Membantu klien mempraktekkan cara
berdandan
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
DAFTAR PUSTAKA
Abdul. (2017). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta.
Erlando, R. P. A. (2019). Terapi Kognitif Perilaku dan Defisit Perawatan Diri :
Studi Literatur. Terapi Kognitif Perilaku Dan Defisit Perawatan Diri : Studi
Literatur, 1(1), 94–100.
Suerni, T., & Livana. (2019). Gambaran Faktor Predisposisi Pasien gangguan jiwa
dengan Defisit perawatan diri. Jurnal Keperawatan, 11(1).
Huda, M. A. (2015). Rentang Respon Defisit Perawatan Diri. jurnal Keperawatan
Kesehatan Jiwa.
Damaiyanti , M., & Iskandar. (2019). Asuhan keperawatan jiwa (pasien defisit
perawatan diri) . Bandung : Refika Aditama.
Dermawan dan Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa;Konsep Dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta ; Gosyen Publishing.