Anda di halaman 1dari 92

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN IDENTITAS DIRI: HALUSINASI

I. KASUS ( MASALAH UTAMA)


Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. DEFINISI
Halusinasi merupakan suatu penyerapan panca indera tanpa ada
rangsangan dari luar, orang sehat persepsinya akurat,mampu mengidentifikasi
dan menginter prestasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterimanya
melalui panca indera (Aritonang, 2021). Halusinasi pendengaran paling sering
terjadi ketika klien mendengar suara-suara, halusinasi ini sudah melebur dan
pasien merasa sangat ketakutan, panik dan tidak bisa membedakan antara
khayalan dan kenyataan yang dialaminya (Titania, 2021). Dari pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa halusinasi pendengaran adalah persepsi atau
tanggapan dari pancaidera (Mendengar) terhadap stimulus yang tidak nyata
yang mempengaruhi perilaku individu.
2. ETIOLOGI
Faktor predisposisi klien halusinasi menurut(Hendy, 2021):
a. Faktor Predisposisi
1) Biologis Faktor
biologis terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidakseimbangan dari
neurotransmiternya. Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi adanya
gangguan adalah perilaku maladaptif klien . Secara biologi riset
neurobiologikal memfokuskan pada tiga area otak yang dipercaya dapat
melibatkan klien mengalami halusinasi yaitu sistem limbik, lobus frontalis
dan hypothalamus.
Pada klien dengan halusinasi diperkirakan mengalami kerusakan pada
sistem limbic dan lobus frontal yang berperan dalam pengendalian atau
pengontrolan perilaku, kerusakan pada hipotalamus yang berperan dalam
pengaturan mood dan motivasi. Kondisi kerusakan ini mengakibatkan klien
halusinasi tidak memiliki keinginan dan motivasi untuk berperilaku secara
adaptif. Klien halusinasi juga diperkirakan mengalami perubahan pada fungsi
neurotransmitter, perubahan dopamin, serotonin, norepineprin dan asetilkolin
yang menyebabkan adanya perubahan regulasi gerak dan koordinasi, emosi,
kemampuan memecahkan masalah; perilaku cenderung negatif atau
berperilaku maladaptif; terjadi kelemahan serta penurunan atensi dan mood.
Genetik juga dapa memicu terjadi halusinasi pada seorang individu.
Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif.
Terjadinya penyakit jiwa pada individu juga dipengaruhi oleh keluarganya
dibanding dengan individu yang tidak mempunyai penyakit terkait. Banyak
riset menunjukkan peningkatan risiko mengalami skizofrenia pada individu
dengan riwayat genetik terdapat anggota keluarga dengan skizofrenia. Pada
kembar dizigot risiko terjadi skizofrenia 15%, kembar monozigot 50%, anak
dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia berisiko 13%, dan jika
kedua orang tua mendererita skizofrenia berisiko 45%.
2) Psikologis
Meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas,
pengalaman masa lalu, koping dan keterampilan komunikasi secara verbal .
Konsep diri dimulai dari gambaran diri secara keseluruhan yang diterima
secara positif atau negatif oleh seseorang. Penerimaan gambaran diri yang
negative menyebabkan perubahan persepsi seseorang dalam memandang
aspek positif lain yang dimiliki. Peran merupakan bagian terpenting dari
konsep diri secara utuh. Peran yang terlalu banyak dapat menjadi beban bagi
kehidupan seseorang, hal ini akan berpengaruh terhadap kerancuan dari peran
dirinya dan dapat menimbulkan depresi yang berat. Ideal diri adalah harapan,
cita-cita serta tujuan yang ingin diwujudkan atau dicapai dalam hidup secara
realistis. Identitas diri terkait dengan kemampuan seseorang dalam mengenal
siapa dirinya, dengan segala keunikannya.
Harga diri merupakan kemampuan seseorang untuk menghargai diri
sendiri serta member penghargaan terhadap kemampuan orang lain. Klien
yang mengalami halusinasi memandang dirinya secara negatif sering
mengabaikan gambaran dirinya, tidak memperhatikan kebutuhannya dengan
baik. Intelektualitas ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang,
pengalaman dan interaksi dengan lingkungan ketika mengalami halusinasi.
Kepribadian pada klien halusinasi biasanya ditemukan klien memiliki
kepribadian yang tertutup. Klien tidak mudah menerima masukan dan
informasi yang berkaitan dengan kehidupan klien. Klien juga jarang bergaul
dan cenderung menutup diri. Klien memiliki ketidakmampuan untuk
mengevaluasi atau menilai keadaan dirinya dan tidak mampu memutuskan
melakukan peningkatan keadaan menjadi lebih baik. Moralitas pandangan
negatif terhadap diri sendiri ini menyebabkan klien mengalami penurunan
motivasi untk melakukan aktifitas.
Kesimpulannya, adanya penilaian diri yang negatif pada diri klien
dengan halusinasi menyebabkan tidak ada tanggung jawab secara moral pada
klien untuk melakukan aktifitas. Menurut beberapa penjelasan di atas dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa jika mempunyai pengalaman masa lalu yang
tidak menyenangkan, klien mempunyai konsep diri negatif, intelektualitas
yang rendah, kepribadian dan moralitas yang tidak adekuat merupakan
penyebab secara psikologis untuk terjadinya halusinasi. Klien halusinasi
memerlukan perhatian yang cukup besar untuk dapat mengembalikan konsep
diri yang seutuhnya yang menyebabkan klien suka menyendiri, melamun dan
akhirnya muncul halusinasi
3) Sosial Budaya
Meliputi status sosial, umur, pendidikan, agama, dan kondisi politik.
Menurut Nyumirah (2017) ada beberapa hal yang dikaitkan dengan masalah
gangguan jiwa. Salah satunya yang terjadi pada klien halusinasi adalah masalah
pekerjaan yang akan mempengaruhi status sosial. Klien dengan status sosial
ekonomi yang rendah berpeluang lebih besar untuk mengalami gangguan jiwa
dibandingkan dengan klien yang memiliki status sosial ekonomi tinggi. Faktor
sosial ekonomi tersebut meliputi kemiskinan, tidak memadainya sarana dan
prasarana, tidak adekuatnya pemenuhan nutrisi, rendahnya pemenuhan
kebutuhan perawatan untuk anggota keluarga, dan perasaan tidak berdaya.
Kultur atau budaya, kepercayaan kebudayaan klien dan nilai pribadi
mempengaruhi masalah klien dengan halusinasi. Berdasarkan beberapa
pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa status social ekonomi, pendidikan
yang rendah, kurangnya pengetahuan, motivasi yang kurang dan kondisi fisik
yang lemah dapat mempengaruhi klien dalam mempertahankan aktifitas klien
yang mengalami halusinasi.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh individu
sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk
menghadapinya. Seperti adanya rangsangan dari lingkungan, misalnya partisipasi
klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak komunikasi, objek yang ada di
lingkungan dan juga suasana sepi atau terisolasi, sering menjadi pencetus
terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang
merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik. Penyebab Halusinasi dapat
dilihat dari lima dimensi (Pardede et al,2021) yaitu :
1) Dimensi fisik: Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaaan obatobatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi Emosional: Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi
dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi
menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat
sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
3) Dimensi Intelektual: Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa
individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego.
Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan
impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang
akan mengontrol semua perilaku klien.
4) Dimensi Sosial: Klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien meganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membahayakan. Klien asyik dengan Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan
tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga
diri yang tidak didapatkan dakam dunia nyata.
6) Dimensi Spiritual: Secara sepiritual klien Halusinasi mulai dengan kehampaan
hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan jarang berupaya
secara sepiritual untuk menyucikan diri. Saat bangun tidur klien merasa hampa
dan tidak jelas tujuan hidupnya. Individu sering memaki takdir tetapi lemah
dalam upaya menjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang
menyebabkan takdirnya memburuk. (Pardede et al, 2021).
3. PROSES TERJADINYA HALUSINASI
Proses terjadinya halusinasi diawali dengan seseorang menderita
halusinasi akan menganggap sumber dari halusinasinya berasal dari
lingkungannya/stimulus eksternal. Padahal sumber itu berasal dari stimulus
internal yang berasal dari dalam dirinya tanpa ada stimulus eksternal. Pada fase
awal masalah itu menimbulkan peningkatan kecemasan yang terus menerus dan
sistem pendukung yang kurang akan membuat persepsi untuk membeda-
bedakan apa yang kurang akan membuat persepsi untuk membeda-bedakan apa
yang difikirkan dengan perasaan sendiri menurun. Klien sulit tidur sehingga
terbiasa mengkhayal dan klien biasanya menganggap lamunan itu sebagai
pemecahan masalah.
Meningkat pada fase comforting.Klien mengalami emosi yang berlanjut
seperti adanya cemas, kesepian, perasaan berdosa dan sensorinya dapat diatur
pada fase ini klien cenderung merasa nyaman dengan halusinasinya. Halusinasi
menjadi sering datang, klien tidak mampu lagi mengontrolnya dan berupaya
menjaga jarak dengan obyek yang dipersepsikan.
Pada fase condemning klien mulai dapat merasakan kesepian bila
halusinasinya berhenti. Pada fase controlling klien dapat merasakan kesepian
bila halusinasinya berhenti. Pada fase conquering lama-kelamaan pengalaman
sensorinya terganggu, klien merasa terancam dengan halusinasinya terutama
bila tidak menuruti perintah yang ia dengar dari halusinasinya (Arifin, 2017).
4. RENTANG RESPON
Jika klien yang sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifisikan dan
menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca
indera (pendengaran, pengelihatan, penciuman, pengecapan dan perabaan) klien
halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun stimulus
tersebut tidak ada.Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang
karena suatu hal mengalami kelainan persensif yaitu salah mempersepsikan
stimulus yang diterimanya, yang tersebut sebagai ilusi. Klien mengalamijika
interpresentasi yang dilakukan terhadap stimulus panca indera tidak sesuai
stimulus yang diterimanya,rentang respon tersebut sebagai berikut (Pardede et al,
2021).:

RESPON ADAPTIF RESPON MALADATIF

1. Pikiran logis 1. Distorsi pikiran 1. Gangguan piker


2. Persepsi akurat 2. Ilusi 2. Sulit
3. Emosi 3. Reaksi emosional merespon emosi
konsisten dengan 4. Perilaku 3. Perilakku
pengalaman anah/tidak biasa disorganis
4. Perilaku sesuai 5. Menarik diri asi
5. Berhubungan soial 4. Isolasi sosial
1. Respon Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut, respon
adaptif:
a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman.
d. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain
dan lingkungan.
2. Respon Psikososial
Respon psikosial meliputi:
a. Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan.
b. Ilusi adalah interpretasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang
benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera.
c. Emosi berlebihan atau berkurang.
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran.
e. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindar interaksi dengan orang lain.
3. Respon Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah
yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan, adapun
respon maladaptif meliputi:
a. Kelainan pikiran adalah keyakianan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertetangan dengan kenyataan
sosial.
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal
yang tidak realita atau tidak ada.
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hatif d.
Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.
d. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan
yang negatif mengancam.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab
dari halusinasi (Stuart, 2018), yaitu:
a. Pemeriksaan darah dan urine, untuk melihat kemungkinan infeksi serta
penyalahgunaan alkohol dan NAPZA.
b. EEG (elektroensefalogram), yaitu pemeriksaan aktivitas listrik otak untuk
melihat apakah halusinasi disebabkan oleh epilepsi.
c. Pemindaian CT scan dan MRI, untuk mendeteksi stroke serta kemungkinan
adanya cedera atau tumor di otak.
6. DIAGNOSA MEDIS
a. Glaukoma
b. Katarak
c. Gangguan refraksi
d. Trauma okuler
e. Trauma pada saraf kranial
f. Infeksi okuler
g. Presibukusis
h. Malfungsi alat bantu dengar
i. Delirium
j. Demensia
k. Gangguan amnestik
l. Penyakit terminal
m. Gangguan psikotik
6. PENATALAKSANAAN MEDIS
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang paling sering terjadi pada
gangguan Skizofrenia. Dimana Skizofrenia merupakan jenis psikosis, adapun
tindakan penatalaksanaan dilakukan dengan berbagai terapi yaitu dengan:
1. Psikofarmakologis Obat sangat penting dalam pengobatan skizofrenia, karena
obat dapat membantu pasien skizofrenia untuk meminimalkan gejala perilaku
kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah. Sehingga pasien skizofrenia
harus patuh minum obat secara teratur dan mau mengikuti perawatan
(Pardede, Keliat, Wardani, 2017) :
a. Haloperidol (HLD) Obat yang dianggap sangat efektif dalam pengelolaan
hiperaktivitas, gelisah, agresif, waham, dan halusinasi.
b. Chlorpromazine (CPZ) Obat yang digunakan untuk gangguan psikosis yang
terkait skizofrenia dan gangguan perilaku yang tidak terkontrol
c. Trihexilpenidyl (THP)
1) Dosis
a. Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular.
b. Clorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap 6-8 jam
sampai keadaan akut teratasi.
2) Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet:
a. Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari.
b. Klorpromazin 2x100 mg per hari
c. Triheksifenidil 2x2 mg per hari
3) Dalam keadaan fase kronis diberikan tablet:
a. Haloperidol 2x0,5 – 1 mg perhari
b. Klorpromazin 1x50 mg sehari (malam)
c. Triheksifenidil 1-2x2 mg sehari
d. Psikosomatik

2. Terapi kejang listrik (Electro Compulsive Therapy)


yaitu suatu terapi fisik atau suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang
grand mal secara artifisial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektroda
yang dipasang pada satu atau dua temples pada pelipis. Jumlah tindakan yang
dilakukan merupakan rangkaian yang bervariasi pada setiap pasien tergantung
pada masalah pasien dan respon terapeutik sesuai hasil pengkajian selama
tindakan. Pada pasien Skizofrenia biasanya diberikan 30 kali. ECT biasanya
diberikan 3 kali seminggu walaupun biasanya diberikan jarang atau lebih
sering. Indikasi penggunaan obat: penyakit depresi berat yang tidak berespon
terhadap obat, gangguan bipolar di mana pasien sudah tidak berespon lagi
terhadap obat dan pasien dengan bunuh diri akut yang sudah lama tidak
mendapatkan pertolongan.
3. Psikoterapi
Membantu waktu yang relatif lama, juga merupakan bagian penting dalam
proses teraupetik. Upaya dalam psikoterapi ini meliputi : memberikan rasa
aman dan tenang, menciptakan lingkungan teraupetik,memotivasi klien untuk
dapat mengungkap perasaan secara verbal,bersikap ramah, sopan dan jujur
terhadap klien(Putri et al., 2021).
7. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Halusinasi dapat menjadi suatu alasan mengapa pasien melakukan
tindakan perilaku kekerasan karena suara-suara yang memberinya perintah
sehingga rentan melakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku kekerasan yang
timbul pada pasien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak berharga,
takut dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan menyingkir dari
hubungan interpersonal dengan orang lain (Keliat, 2016). Komplikasi yang dapat
terjadi pada klien dengan masalah utama gangguan sensori persepsi: halusinasi,
antara lain: resiko prilaku kekerasan, harga diri rendah dan isolasi sosial.
III. A. POHON MASALAH

Resiko Perilaku Kekerasan


(diri sendiri, orang lain , lingkungan , dan verbal ]

Gangguan presepsi sensori : halusinasi

Isolasi Sosial: Menarik Diri

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


Masalah Data yang Perlu Dikaji
Keperawatan
Isolasi Sosial Subyetif:
Sukar didapati jika klien menolak berkomunikasi. Beberapa
data subyektif adalah menjawab pertanyaan dengan singkat,
seperti kata-kata “tidak”, “iya”, “tidak tau”
Obyektif:
1. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
2. Menghindar dari orang lain (menyendiri), klien nampa
memisahkan diri dari orang lain, misalnya pada saat
makan
3. Komunikasi kurang atau tidak ada. Klien tidak tampak
bercakap-cakap dengan klien lain/perawat
4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk
Halusinasi Subyektif:
1. Mendengar suara-suara atau kegaduhan
2. Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
3. Mendengar sesuatu yang menyuruh melakukan sesuatu
yang berbahaya
Obyektif:
1. Bicara atau tertawa sendiri
2. Marah-marah tanpa sebab
3. Menutup telinga
Resiko Subyektif:
Klien marah dan jengkel kepada orang lain, ingin
Perilaku Kekerasan membunuh, ingin membakar, atau mengacak-acak
lingkungan
Obyektif:
Klien mengamuk, merusak, dan melempar barang-barang,
melakukan tindakan kekerasan pada orang-orang disekitarnya
IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan Persepsi sensori
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tujuan Umum: Klien dapat berhenti berhalusinasi
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengenali jenis halusinasinya
3. Klien dapat mengekspresikan respon terhadap halusinasi
4. Klien dapat mengetahui waktu terjadinya halusinasi
5. Klien dapat menggunakan koping yang adaptif
6. Klien dapat menghardik halusinasi
7. Klien dapat menggunakan dukungan sosial
VI. IMPLEMENTASI
KLI KELUARGA
EN
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi klien 1. Mendiskusikan maslah yang
2. Mengidentifikasi isi halusinasi klien dirasakan keluarga dalam
3. Mengidentifikasi waktu halusinasi klien merawat klien
4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi klien 2. Menjelaskan pengertian, tand
5. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan gejala dan jenis halusinasi
halusinasi yang dialami klien beserta
6. Mengidentifikasi respon klien proses terjadinya
terhadap halusinasi 3. Menjelaskan cara-cara
7. Mengajarkan klien menghardik halusinasi merawat klien halusinasi
8. Menganjurkan klien memasukkan
cara
menghardik halusinasi dalam jadwal
kegiatan
harian
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi keluarga mempraktikkan cara
dengan cara bercakap-cakap dengan oang lain merawat klien dengan
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam halusinasi
jadwal kegiatan harian 2. Melatih keluarga melakukan
cara merawat langsung kepada
klien halusinasi
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi jadwal aktivitas dirumah
dengan melakukan kegiatan yang biasa termasuk minum obat
dilakukan klien 2. Menjelaskan follow up
klien
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal setelah pulang
kegiatan harian
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Memberikan pendidikan kesehatan
tentang penggunaan obat secara teratut
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal
kegiatan harian.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, M. (2021). Efektifitas Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Terhadap
Kemampuan Mengontrol Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Ruang
Cempaka Di Rsj Prof. Dr. M. Ildrem Medan Tahun 2019. Jurkessutra:
JurnalKesehatanSuryaNusantara,9(1).https://jurnal.suryanusantara.ac.id/
index.php/jurkessutra/article/view/64
Aldam, S. F. S., & Wardani, I. Y. (2019). Efektifitas penerapan standar asuhan
keperawatan jiwa generalis pada pasien skizofrenia dalam menurunkan
gejala halusinasi. Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat
Nasional Indonesia, 7(2), 165-172.
Keliat, B.A & Akemat. 2016. Model Praktik Keperawatan Profesional jiwa. Jakarta:
EGC.
Nyumirah, S. (2017). Peningkatan kemampuan interaksi sosial (kognitif, afektif dan
perilaku) melalui penerapan terapi perilaku kognitif di rsj dr amino
gondohutomosemarang.Jurnalkeperawatanjiwa,1(2).https://doi.org/10.2
6714/jkj.1.2.2013.%25
Oktiviani, D. P. (2020). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. K dengan masalah
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di Ruang Rokan
Rumah Sakit Jiwa Tampan. Skripsi, Poltekkes Kemenkes Riau.
http://repository.pkr.ac.id/id/eprint/498
Pardede, J. (2020). Family Knowledge about Hallucination Related to Drinking
Medication Adherence on Schizophrenia Patient. Jurnal Penelitian
PerawatProfesional,2(4),399-408.https://doi.org/10.37287/jppp.v2i4.183
Titania, A. (2021). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada An S Dengan Gangguan Persepsi
Sensori Halusinasi Pendengaran (Doctoral Dissertation, Universitas
Kusuma Husadasurakarta).
I. KASUS (MASALAH UTAMA)
Perubahan Proses Pikir: Waham
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Definisi
Waham Merupakan keyakinan yang salah yang didasarkan oleh
kesimpulan yang salah tentang realita eksternal dan dipertahankan dengan
kuat (Keliat, Hamid, Putri, & Daulima, 2019) dalam (Hulu dkk,2022).
Waham merupakan gangguan dimana penderitanya memiliki rasa realita
yang berkurang atau terdistorsi dan tidak dapat membedakan yang nyata
dan yang tidak nyata(Victoria, Wardani & Fauziah, 2020).Klien dengan
gangguan jiwa sikotik, mengalami penurunan daya nilai realitas (reality
testing ability).Klien tidak lagi mengenali tempat, waktu, dan orang-orang di
sekitarnya. Hal ini dapat mengakibatkan klien merasa asing dan menjadi
pencetus terjadinya ansietas pada klien. Untuk menanggulangi kendala ini,
maka perlu ada aktivitas yang memberi stimulus secara konsisten kepada klien
tentang realitas di sekitarnya. Stimulus tersebut
Waham merupakan suatu keyakinan atau pikiran yang salah karena
bertentangan dengan kenyataan (dunia realitas), serta dibangun atas unsur-
unsur yang tak berdasarkan logika, namun individu tidak mau melepaskan
wahamnya walaupun ada bukti tentang ketidakbenaran atas keyakinan itu.
Keyakinan dalam bidang agama dan budaya tidak dianggap sebagai waham.
Waham adalah suatu keyakinan kokoh yang salah dan tidak sesuai dengan
fakta dan keyakinan tersebut mungkin “ aneh” (misal, mata saya adalah
komputer yang dapat mengontrol dunia) atau bisa pula “tidak aneh” (hanya
sangat tidak mungkin, misal, “ FBI mengikuti saya”) dan tetap dipertahankan
meskipun telah diperlihatkan bukti-bukti yang jelas untuk mengoreksinya.
Waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham
yang spesifik sering ditemukan pada skizofrenia. Semakin akut psikosis
semakin sering ditemui waham disorganisasi dan waham tidak sistematis.
Waham merupakan suatu keyakinan yang salah dan dipertahankan
dengan kuat oleh klien tanpa disertai bukti-bukti yangjelas(Syahfitri,Syahdi,
Syafitri, & Pardede, 2022).Waham adalah gangguan dimana penderitanya
memiliki rasa realita yang berkurang atau terdistorsi dan tidak dapat
membedakan yang nyata dan yang tidak nyata(Manurung, & Pardede,
2022).
Berdasarkan beberapa defisini diatas dapat disimpulkan bahwa
waham merupakan suatu keyakinan yang salah dan dipertahankan dengan
kuat oleh klien tanpa disertai bukti-bukti yang jelas
2. Etiologi
Menurut World Health Organization (2016) secara medis ada banyak
kemungkinan penyebab waham, termasuk gangguan neurodegeneratif,
gangguan sistem saraf pusat, penyakit pembuluh darah, penyakit menular,
penyakit metabolisme, gangguan endokrin, defisiensi vitamin, pengaruh obat-
obatan, racun, dan zat psikoaktif..
a. Faktor Predisposisi
1) Biologis
Pola keterlibatankeluarga relative kuat yang muncul di kaitkan dengan
delusi atau waham. Dimana individu dari anggota keluarga yang
di manifestasikan dengan gangguan ini berada pada resiko lebih
tinggi untuk mengalaminya di bandingkan dengan populasi
umum.Studi pada manusia kembar juga menunjukan bahwa ada
keterlibatan faktor.
2) Teori Psikologis
a) Sistem Keuarga
Perkembangan skizofrenia sebagai suatu perkembangan disfungsi
keluarga.Konflik diantara suami istri mempengaruhi anak. Bayaknya
masalah dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan anak
dimana anak tidak mampu memenuhi tugas perkembangan
dimasa dewasanya. Beberapa ahli teori menyakini bahwa individu
paranoid memiliki orang tua yang dingin, perfeksionis, sering
menimbulkan kemarahan,perasaan mementingkan diri sendiri yang
berlebihan dan tidak percaya pada individu. Klien menjadi orang
dewasa yang rentan karena pengalaman awal ini
3) Teori Interpersonl
Dikemukakan oleh Priasmoro (2018) di mana orang yang mengalami
psikosis akan menghasilkan suatu hubungan orang tua anak yang
penuh dengan ansietas tinggi.Hal ini jika di pertahankan maka
konsep diri anak akan mengalami ambivalen.
4) Psikodinamika
Perkembangan emosi terhambat karena kurangnya rangsangan atau
perhatian ibu,dengan ini seorang bayi mengalami penyimpangan
rasa aman dan gagal untuk membangun rasa percayanya sehingga
menyebabkan munculnya ego yang rapuh karena kerusakan harga
diri yang parah,perasaan kehilangan kendali,takut dan ansietas berat.
Sikap curiga kepada seseorang di manifestasikan dan dapat berlanjut
di sepanjang kehidupan. Proyeksi merupakan mekanisme koping
paling umum yang di gunakan sebagai pertahanan melawan perasaan
b. Faktor Presipitasi
1) Biologi
Stress biologi yang berhubungan dengan respon neurologik yang
maladaptif termasuk:
a) Gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur
proses informasi
b) Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi
rangsangan

2) Stres lingkungan
Stres biologi menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang
berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya
gangguan perilaku.
3) Pemicu gejala
merupakan prekursor dan stimulus yang yang sering menunjukkan
episode baru suatu penyakit. Pemicu yang biasa terdapat pada
respon neurobiologik yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan.
Lingkungan, sikap dan perilaku individu (Direja, 2018).
3. Tanda Dan Gejala
Menurut Prakasa (2020) bahwa tanda dan gejala gangguan proses pikir
waham terbagi menjadi 8 gejala yaitu, menolak makan, perawatan diri, emosi,
gerakan tidak terkontrol, pembicaraan tidak sesuai, menghindar, mendominasi
pembicaraan, berbicara kasar
a. Waham Kebesaran
1) DS : Klien mengatakan bahwa ia adalah presiden, Nabi, Wali, artis
dan lainnya yang tidak sesuai dengan kenyataan dirinya.
2) DO :
a) Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
b) Inkoheren ( gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti
c) Klien mudah marah
d) Klien mudah tersinggung
b. Waham curiga
1) DS:
a) Klien curiga dan waspada berlebih pada orang tertentu
b) Klien mengatakan merasa diintai dan akan membahayakan dirinya.
2) DO:
a) Klien tampak waspada
b) Klien tampak menarik diri
c) Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
d) Inkoheren (Gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti).
c. Waham agama
1) DS:
a) Klien yakin terhadap suatu agama secara berlebihan,diucapkan
berulang-ulang
b) Tidak sesuai dengan kenyataan.
2) DO:
a) Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
b) Klien tampak bingung karena harus melakukan isi wahamnya
c) Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis,tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti
d. Waham Somatik
1) DS :
a) Klien mengatakan merasa yakin menderita penyakit fisik
b) Klien mengatakan merasa khawatir sampai panik
2) DO :
a) Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
b) Inkoheren ( gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti )
c) Klien tampak bingung
d) Klien mengalami perubahan pola tidur
e) Klien kehilangan selera makan
e. Waham Nihilistik
1) DS :
a) Klien mengatakan bahwa dirinya sudah meninggal dunia,
diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
2) DO :
a) Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
b) Inkoheren ( gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti )
c) Klien tampak bingung
d) Klien mengalami perubahan pola tidur
e) Klien kehilangan selera makan
f. Waham Bizzare/Sisip Pikir :
1) DS :
a) Klien mengatakan ada ide pikir orang lain yang disisipkan dalam
pikirannya yang disampaikan secara berulang dan tidak sesuai
dengan kenyataan.
b) Klien mengatakan tidak dapat mengambil keputusan
2) DO :
a) Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
b) Klien tampak bingung
c) Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti)
d) Klien mengalami perubahan pola tidur
g. Siar Pikir
1) DS :
a) Klien mengatakan bahwa orang lain mengetahui apa yang dia
pikirkan yang dinyatakan secara berulang dan tidak sesuai
dengan kenyataan.
b) Klien mengatakan merasa khawatir sampai panik
c) Klien tidak mampu mengambil keputusan
2) DO :
a) Klien tampak bingung
b) Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
c) Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti)
d) Klien tampak waspada
e) Klien kehilangan selera makan
h. Kontrol Pikir
1) DS :
a) Klien mengatakan pikirannya dikontrol dari luar
b) Klien tidak mampu mengambil keputusan
2) DO :
a) Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
b) Klien tampak bingung
c) Klien tampak menarik diri
d) Klien mudah tersinggung
e) Klien mudah marah
f) Klien tampak tidak bisa mengontrol diri sendiri
g) Klien mengalami perubahan pola tidur
h) Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti)
4. Macam
Waham dapat di klasifikasikan menjadi beberapa macam, menurut Direja
(2011) yaitu:
Jeni
Pengerti Perilaku Klien
s
an
Wah
am
Keyakinan secara berlebihan bahwa “Saya ini pejabat di
dirinya memiliki kekuatan khusus kementrian Semarang!”
Waham “Saya punya perusahaan
atau kelebihan yang berbeda dengan
Kebesar paling besar lho”.
orang lain, diucapkan berulang-
an
ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
Keyakinan terhadap suatu agama “ Saya adalah Tuhan yang
Wah secara berlebihan, diucapkan bisa menguasai dan
am berulang- ulang tetapi tidak sesuai mengendalikan semua
Aga dengan makhluk”.
ma kenyataan.
Keyakinan seseorang atau “ Saya tahu mereka mau
sekelompok orang yang mau menghancurkan saya, karena
Wah
merugikan atau mencederai dirinya, iri dengan kesuksesan saya”.
am
diucapkan
Curi
berulang-ulang tetapi tidak sesuai
ga
dengan kenyataan
Keyakinan seseorang bahwa tubuh “ Saya menderita
Waha atau sebagian tubuhnya terserang kanker”. Padahal hasil
m penyakit, pemeriksaan lab
Soma diucapkan berulang-ulang tetapi tidak ada sel kanker pada
tik tidak sesuai dengan kenyataan. tubuhnya.
Keyakinan seseorang bahwa dirinya “ Ini saya berada di alam
Waha sudah meninggal dunia, diucapkan kubur ya, semua yang ada
m berulang-ulang tetapi tidak disini adalah roh-rohnya.
Nihilis sesuai dengan
tik kenyataan.

5. Rentang Respon Masalah

Rentang respon waham yaitu ada respon adaptif dan ada respon
maladaptif :
1. Respon adaptif terdapat pikiran yang logis. Dibagi beberapa bagian :
a. Persepsi Kuat
Dimana apa yang diyakini seseorang tersebut sangatlah kuat dan tidak
bisa di ganggu gugat, serta dapat dibuktikan kebenarannya.
b. Emosi Konsisten
Pengalaman bisa membuat seseorang mengalami atau mempunyai
emosi yang stabil atau tetap.
c. Perilaku sesuai
Perilaku tidak menyimpang dari kenyataan yang ada
d. Berhubungan sesuai
Dalam berhubungan antar teman dan keluarga berbeda, jadi
seharusnya dalam berhubungan kita harus dapat menyesuaikan diri.
2. Dalam rentang respon ada Distorsi pikiran, terdiri dari :
a. Ilusi
Keadaan proses berfikir yang tidak benar tentang mengartikan suatu
benda.
b. Reaksi Emosi
Dimana tingkat emosi seseorang meningkat, tidak lagi stabil atau
konstan.
3. Rentang respon maladaptif terdapat gangguan pikiran. Terbagi beberapa
masalah :
a. Sulit Berespon
Sesorang yang terganggu pikirannya akan susah sekali untuk diajak
berinteraksi.
b. Emosi
Dalam tingkatan ini emosi seseorang sudah tidak lagi bisa terkontrol,
dia mudah marah, dan mudah tersinggung.
c. Perilaku kacau
Dimana seseorang berprilaku tidak sesuai dengan keadaan, mereka
menunjukan prilaku yang sesuai dengan pola pikir mereka tersebut.
6. Diagnosis keperawatan yang terjadi
a. Perubahan Proses Pikir: Waham
b. Harga diri rendah
c. Isolasi diri
d. Gangguan identitas diri
e. Gangguan perfusi sensori
f. Resiko perilaku kekerasan
7. Penatalaksanaan medis
Menurut Prastika (2014) penatalaksanaan medis waham antara lain :
a. Psikofarmalogi
1) Litium Karbonat
Jenis litium yang paling sering digunakan untuk mengatasi gangguan
bipolar, menyusul kemudian litium sitial. Litium masih efektif dalam
menstabilkan suasana hati pasien dengan gangguan bipolar. Gejala
hilang dalam jangka waktu 1-3 minggu setelah minum obat juga
digunakan untuk mencegah atau mengurangi intensitas serangan ulang
pasien bipolar dengan riwayat mania.
2) Haloperidol
Obat antipsikotik (mayor tranquiliner) pertama dari turunan butirofenon.
Mekanisme kerja yang tidak diketahui. Haloperidol efektif untuk
pengobatan kelainan tingkah laku berat pada anakanak yang sering
membangkang dan eksplosif. Haloperidol juga efektif untuk pengobatan
jangka pendek, pada anak yang hiperaktif juga melibatkan aktivitas
motorik berlebih memiliki kelainan tingkah laku seperti: Impulsif, sulit
memusatkan perhatian, agresif, suasana hati yang labil dan tidak tahan
frustasi.
3) Karbamazepin
Karbamazepin terbukti efektif, dalam pengobatan kejang psikomotor,
dan neuralgia trigeminal. Karbamazepin secara kimiawi tidak
berhubungan dengan obat antikonvulsan lain atau obat lain yang
digunakan untuk mengobati nyeri pada neuralgia trigeminal.
a) Pasien hiperaktif atau agitasi anti psikotik potensi rendah
Penatalaksanaan ini berarti mengurangi dan menghentikan agitasi
untuk pengamanan pasien. Hal ini menggunakan penggunaan obat
anti psikotik untuk pasien waham.
b) Antipsikosis atipikal (olanzapin, risperidone). Pilihan awal
Risperidone tablet 1mg, 2mg, 3mg atau Clozapine tablet 25mg,
100mg. Keuntungan
c) Tipikal (klorpromazin, haloperidol), klorpromazin 25100mg.
Efektif untuk menghilangkan gejala positif.
d) Penarikan diri selama potensi tinggi seseorang mengalami waham.
Dia cenderung menarik diri dari pergaulan dengan orang lain dan
cenderung asyik dengan dunianya sendiri (khayalan dan pikirannya
sendiri). Oleh karena itu, salah satu penatalaksanaan pasien waham
adalah penarikan diri yang potensial, Hal ini berarti
penatalaksanaannya penekanankan pada gejala dari waham itu
sendiri, yaitu gejala penarikan diri yang berkaitan dengan
kecanduan morfin biasanya sewaktuwaktu sebelum waktu yang
berikutnya, penarikan diri dari lingkungan sosial
e) ECT tipe katatonik Electro Convulsive Therapy (ECT) adalah
sebuah prosedur dimana arus listrik melewati otak untuk pelatihan
kejang singkat. Hal ini menyebabkan perubahan dalam kimiawi
otak yang dapat mengurangi penyakit mental tertentu, seperti
skizofrenia katatonik. ECT bisa menjadi pilihan jika gejala yang
parah atau jika obat-obatan tidak membantu meredakan episode
katatonik.
f) Psikoterapi Walaupun obat-obatan penting untuk mengatasi pasien
waham, namun psikoterapi juga penting. Psikoterapi mungkin tidak
sesuai untuk semua orang, terutama jika gejala terlalu berat untuk
terlibat dalam proses terapi yang memerlukan komunikasi dua arah.
Yang termasuk dalam psikoterapi adalah terapi perilaku, terapi
kelompok, terapi keluarga, terapi supportif.
8. Komplikasi dan prognosis
Gangguan waham menetap seringkali menimbulkan
komplikasi psikiatris, seperti munculnya depresi, kecemasan, perilaku
kekerasan, smpai bunuh diri. Waham juga sering menimbulkan
Nampak finansil, legal, dan okupasional, angka komorbiditas
gangguan psikiatri lain dengan pasien dengn gangguan waham.
Prognosis gangguan waham menetap tergantung ada atau ada
tidaknya stressor yang bisa diidentifikasi. Stressor yang sering memicu
gangguan waham adalah riwayat imigrasi dalam waktu dekat, konfik
sosial, atau isolasi sosial meskpun mempunyai gejala utama yang
sama, prognosis gangguan waham lebih baik bila di bandingkan
dengan schizophrenia karena umumnya pasien ganguan waham
mempunyai onset yang lebih tua,progrsi penyakit yang lambat, iq yang
lebi tinggi (dr Irwan, 2019).

III. A. POHON MASALAH


(EFEK) : Resiko Perilaku Kekerasan

(CP) : Perubahan Proses Pikir: Waham

(CAUSA) : Isolasi Sosial: Menarik Diri

B. Masalah Keperawatan Dan Data Yang Perlu Dikaji


Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Perubahan Proses Pikir: Waham Subyektif:
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya
tentang agama, kebesaran, kecurigaan, keadaan
dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan
Obyektif:
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga,
bermusuhan, merusak (diri orang lain, lingkungan),
takut, kadang panic, sangat waspada, tidak tepat
menilai lingkungan/ realistis, ekspresi wajah klien
tegang, mudah tersinggung
Isolasi Sosial: Menarik Diri Subyektif:
1. Klien mengatakan malas bergaul dengan
orang lain
2. Klien mengatakan dirinya tidak ingin
ditemani perawat dan meminta untuk
sendiri
3. Klien mengatakan tidak mau berbicara
dengan orang lain
4. Tidak mau berkomunikasi
Obyektif:
1. Kurang spontan
2. Apatis
3. Tidak merawat diri sendiri
4. Tida ada atau kurang komunikasi verbal
5. Rendah diri
6. Postur tubuh berubah
7. Kurang berenergi
Resiko Perilaku Kekerasan Subyektif:
1. Klien mengancam
2. Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
3. Klien mengatakan dendam dan jengkel
4. Klien mengatakan ingin berkelahi
5. Klien menyalahkan dan menuntut
6. Klien meremehkan
Obyektif:
1. Wajah memerah dan tegang
2. Mata melotot
3. Tangan mengepal
4. Rahang mengatup
5. Postur tubuh kaku
6. Suara keras

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Perubahan Proses Pikir: Waham
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tujuan Umum: Klien tidak mencederai diri sendiri dan orang lain
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab waham
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala waham
4. Klien dapat mengidentifikasi waham yang biasa dirasakan
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat waham
6. Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah gangguan
identitas diri
VI. IMPLEMENTASI
KLI KELUAR
EN GA
SP 1 SP 1
1. Membantu orientasi realita 1. Membantu orientasi realita
2. Mendiskusikan kebutuhan 2. Mendiskusikan kebutuhan yang
3. yang tidak terpenuhi tidak terpenuhi
4. Membantu klien 3. Membantu klien
memenuhi kebutuhannya memenuhi kebutuhannya
5. Menganjurkan klien memasukkan 4. Menganjurkan klien
dalam jadwal kegiatan harian memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Mejadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan
2. Berdiskusi tentang kemampuan yang cara merawat klien dengan waham
dimiliki 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Melatih kemampuan yang dimiliki merawat langsung kepada klien
waham
SP 3 SP 3
1. Melatih keluarga mempraktikkan cara 1. Membantu keluarga membuat
merawat klien dengan waham jadwal aktivitas dirumah termasuk
2. Melatih keluarga melakukan cara minum obat
merawat langsung kepada klien waham 2. Mendiskusikan sumber rujukan
yang bisa dijangkau keluarga
DAFTAR PUSTAKA

Hulu,dkk,.(2022). Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. S Dengan Masalah


Gangguan Proses Pikir: Waham Kebesaran: Studi Kasus.

Keliat, B. A., dkk. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC.

Victoryna,F, dkk, (2020). Penerapan Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Ners


untuk Menurunkan Intensitas Waham Pasien Skizofrenia.Jurnal
Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasiona Indonesia 8(1), 45-
52.https://doi.org/10.26714/jkj.8.1.2020.45-52

Manurung, J., & Pardede, J. A. (2022). Mental Nursing Care Management with
Delusion of greatness Problems in Schizophrenic Patients: A Case Study.
10.31219/osf.io/74sr5

Syahfitri, M., Syahdi, D., Syafitri, F., & Pardede, J. A. (2022). Penerapan
Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Gangguan Proses Pikir: Waham
Kebesaran Pendekatan Strategi Pelaksanaan (SP) 1-4: Studi Kasu

Prakasa, A., &Milkhatun, M. (2020). Analisis Rekam Medis Pasien Gangguan Proses
Pikir Waham dengan Menggunakan Algoritma C4. 5 di Rumah Sakit
Atma Husada Mahakam Samarinda. Borneo Student Research (BSR), 2(1),
8-15.
Dr Irawan, (2019), Prognosis Gangguan Waham Menetap,
http://www.alomedika.com
I. Kasus/Masalah Utama
Harga Diri Rendah (HDR)
II. Proses Terjadinya Masalah
A. Definisi
Harga diri rendah adalah perasaan seseorang bahwa dirinya tidak
diterima dilingkungan dan gambaran-gambaran negatif tentang dirinya
(Fitria, Nita. 2009). Harga diri rendah adalah individu yang cenderung
untuk menilai dirinya negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain
(Prabowo, 2014). Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga,
tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang
negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan diri. Adanya perasaan
hilang percaya diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai
keinginan sesuai ideal diri (Keliat, 1998) dalam (Yosep & Iyus, 2014).
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri
sendiri dan kemampuan diri (Direja, 2011).
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa harga diri
rendah adalah gangguan konsep diri dimana individu merasakan
perasaan yang negatif tentang dirinya, dimana individu tersebut merasa
bahwa dirinya tida berguna, tidak berdaya, dan kehilagan rasa percaya
dirinya. Menggap bahwa dirinya tidak diterima dilingkungan, yang
menyebabkan kurangnya komunikasi pada orang lain.
B. Etiologi
Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri
seseorang. Dalam tinjuan life span history klien, penyebab terjadinya
harga diri rendah adalah pada masa kecil sering disalahkan, jarang
diberi pujian atas keberhasilannya. Saat individu mencapai masa
remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan
tidak diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal disekolah,
pekerjaan atau pergaulan. Harga diri rendah muncul saat lingkungan
cenderung mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuannya
(Yosep, 2009).
Menurut Stuart (2006), faktor- faktor yang mengakibatkan harga
diri rendah adalah sebagai berkut :
1. Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang
tua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang
berulang, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang tidak
realistis.
2. Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah stereo type
peran gender, tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya.
3. Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi
ketidakkepercayaan orang tua, tekanan dari kelompok sebaya,
dan perubahan struktur sosial.
Menurut Fitria (2014) faktor predisposisi penyebab harga diri
rendah yaitu :
1. Faktor yang mempengaruhi harga diri, termasuk penolakan
orang tua, harapan orang tua yang tidak realistik.
2. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran, yaitu peran yang
sesuai dengan jenis kelamin, peran dalam pekerjaan dan peran
yang sesuai dengan kebudayaan.
3. Faktor yang mempengaruhi identitas diri, yaitu orang tua yang
tidak percaya pada anak, tekanan teman sebaya dan kultur sosial
yang berubah.
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) penyebab harga diri rendah
dibedakan menjadi dua yaitu factor predisposisi dan stressor
presipitasi.
1. Faktor Predisposisi
Sudah banyak penelitian yang telah dilakukan untuk
gangguan yang mempengaruhi hubungan personal, tetapi belum
ada satu kesimpulan yang spesifik tentang penyebab harga diri
rendah. Kemungkinan karena banyak faktor (multifactor) yang
dapat menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri
seseorang. Faktor ini dapat dibedakan menjadi :
a) Faktor Perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan
akan mencetuskan seseorang hingga mempunyai masalah
respon sosial maladaptive. Ini dapat dimulai sejak bayi,
seperti penolakan orang tua yang menyebabkan anak merasa
tidak dicintai dan mengakibatkan anak gagal dalam mencintai
dirinya dan akan gagal mencintai orang lain. Atau saat anak
berusia 4-6 tahun dimana anak mulai mampu mengungkapkan
inisiatifnya namun pihak keluarga selalu mengekang dan
menghalangi ide atau kreatifitas anak. Sikap orang tua yang
terlalu mengontrol dan mengatur, akan membuat anak merasa
tidak berguna. Beberapa hal ini akan berdampak pada fase
perkembangan selanjutnya.
b) Faktor Sosiokultural
Isolasi sosial merupakan gangguan dalam berhubungan, ini
akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap
orang lain tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak
produktif seperti lansia, orang cacat, dan penyakit kronik.
Harapan yang tidak realistik terhadap hubungan merupakan
faktor lain yang berkaitan dengan gangguan ini.
c) Faktor Biologis
Faktor genetic dapat menunjang terhadap respon sosial
maladaptif. Ada bukti terdahulu tentang terlibatnya
neurotransmitter dalam perkembangan gangguan ini namun
masih tetap diperlukan penelitian lebih lanjut.
2. Faktor presipitasi
Menurut Yosep (2009), faktor presipitasi terjadinya harga
diri rendah biasanya adalah kehilangan bagian tubuh,
perubahan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau
produktivitas yang menurun. Secara umum, gangguan konsep
harga diri rendah dapat terjadi secara situasional atau
kronik.secara situasional karena trauma yang muncul secara
tiba-tiba, misalnya harus dioperasi, kecelakaan,perkosaan,atau
penjara, termasuk dirawat di rumah sakit bisa menyebabkan
harga diri rendah disebabkan karena penyakit fisik atau
pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman.
Harga diri rendah kronik, biasanya dirasakan klien sebelum
sakit atau sebelum dirawat klien sudah memiliki pikiran negatif
dan meningkat saat dirawat.
C. Tanda dan Gejala
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat
tindakan terhadap penyakit. Misalnya : malu dan sedih karena
rambut jadi botak setelah mendapat terapi sinar pada kanker.
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri. Misalnya : ini tidak akan terjadi
jika saya segera ke rumah sakit, menyalahkan/ mengejek dan
mengkritik diri sendiri.
3. Merendahkan martabat. Misalnya : saya tidak bisa, saya tidak
mampu, saya orang bodoh dan tidak tahu apa-apa.
4. Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri. Klien tidak ingin
bertemu dengan orang lain, lebih suka sendiri.
5. Percaya diri kurang. Klien sukar mengambil keputusan, misalnya
tentang memilih alternatif tindakan.
6. Mencederai diri. Akibat harga diri yang rendah disertai harapan
yang suram, mungkin klien ingin mengakhiri kehidupan.
D. Proses Penyakit
Harga diri rendah seseorang didapatkan dari diri sendiri dan orang
lain. Gangguan harga diri rendah akan terjadi ketika perlakuan orang
lain mengancam dirinya. Tingkat harga diri seseorang berada dalam
tingkat tinggi sampai rendah. Seseorang yang mempunyai harga diri
tinggi maka dapat beradaptasi dengan lingkungan secara efektif,
sedangkan jika seseorang memiliki harga diri yang rendah maka
lingkungan yang dilihat akan terasa mengancam bagi dirinya.
Penyebab harga diri rendah juga dapat terjadi pada masa kecil
sering disalahkan, jarang diberi pujian diatas atas keberhasilannya.
Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang dihargai,
tidak diberi kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal
sering gagal sekolah, pekerjaan atau pergaulan.
Seseorang yang berada pada siuasi stressor berusaha
menyelesaikannya tapi tidak tuntas serta tambah pikiran tidak mampu
atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran itu bisa disebut
dengan kondisi harga diri rendah situasional, jika pada situasi tersebut
lingkungan tidak mendukung positif dan justru menyalahkan secara
terus-menerus maka akan mengakibatkan harga diri rendah kronis.
E. Karakteristik Harga Diri Rendah
Karakteristik perilaku yang ditunjukkan kepada klien harga diri
rendah menurut Stuart dan Sundeen (1998:230) meliputi mengkritik
diri sendiri / orang lain, penurunan produktifitas, destruktif yang
diarahkan kepada orang lain atau diri sendiri, gangguan dalam
berhubungan, rasa diri penting yang berlebihan, perasaan tidak
mampu, rasa bersalah, mudah tersinggung atau mudah marah yang
berlebih, perasaan negatif terhadap dirinya sendiri, ketegangan peran
yang dirasakan, pandangan hidup yang pesimis, keluhan fisik,
pandangan hidup yang bertentangan, penolakan terhadap kemampuan
personal, destruktif terhadap diri sendiri, pengurungan diri, menarik
diri secara sosial, penyalahgunaan zat, menarik diri dari realita, dan
khawatir.
F. Rentang Respon

Keterangan :

1. Aktualisasi diri
Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang
positif dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan
dapat diterima.
2. Konsep diri positif
Konsep diri positif merupakan bagaimana seseorang memandang
apa yang ada pada dirinya meliputi citra dirinya. Ideal dirinya harga
dirinya, penampilan peran serta identitas dirinya secara positif. Hal
ini akan menunjukan bahwa individu itu akan menjadi individu
yang sukses.
3. Harga diri rendah
Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap dirinya
sendiri, termasuk kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak,
berguna, pesimis tidak ada harapan dan putus asa. Adapun perilaku
yang berhubungan dengan harga diri yang rendah yaitu mengkritik
diri sendiri atau orang lain, penurunan produktivitas, destruktif yang
diarahkan kepada orang lain, ganguan dalam berhubungan, perasaan
tidak mampu, rasa bersalah, perasaan negatif mengenai tubuhnya
sendiri, keluhan fisik, menarik diri secara sosial, khawatir, serta
menarik diri dari realitas.
4. Kerancuan Identitas
Kerancuan identitas merupakan suatu kegagalan individu untuk
mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak-kanak kedalam
kepribadian psikososial dewasa yang harmonis. Adapun perilaku
yang berhubungan dengan keracuan identitas yaitu tidak ada kode
moral, sifat kepribadian yang bertentangan, hubungan interpersonal
eksploitatif, perasaan hampa. Perasaan mengambang tentang diri
sendiri, tingkat ansietas yang tinggi, ketidak mampuan untuk empati
terhadaapa orang lain.
5. Depersonalisasi
Despersonalisasi merupakan suatu perasaan yang tidak realistis
dimana klien tidak dapat membedakan stimulus dari dalam atau luar
dirinya. Individu mengalami kesulitan untuk membedakan dirinya
sendiri dari orang lain, dan tubuhnya sendiri merasa tidak nyata dan
asing baginya. Hal ini berhubungan dengan tingkat ansietas panik
dan kegagalan dalam uji realitas. Individu mengalami kesulitan
dalam membedakan diri sendiri dan orang lain dan tubuhnya sendiri
terasa tidak nyata dan asing baginya.
G. Pemeriksaan Dasar dan Penunjang
Pengkajian, bagian ini berisi pedoman agar perawat da[at
menangani pasien yang mengalami diagnosis keperawatan harga diri
rendah, baik menggunakan pendekatan secara individu ataupun
kelompok. Tahap pertama pengkajian meliputi faktor predisposisi
seperti: psikologis, tanda dan tingkah laku klien dan mekanisme
koping klien.
H. Diagnosis Medis Yang Terkait
1. Skizofrenia
2. Depresi
I. Penatalaksanaan Medis
1. Psikofarmako
a) Cloppromazine (CPZ)
Indikasi untuk sindrom psikologis yaitu berat dalam kemampuan
menilairealistis, kesadaran diri terganggu, waham, halusinasi,
gangguan perasaandan perilaku aneh
Efek samping sedasi, gangguan otonomik dan endokrin
b) Haloperidol (HPL)
Indikasi : berdaya berat dalam kemampuan menilai realistis
dalam fungsi netral serta fungsi kehidupan sehari-hari

Efek samping : sedasi, gangguan otonomik dan endokrin.

c) Trihexypheridyl (THP)
Indikasi : Segala jenis penyakit parkinson, termasuk pasca
enchepalitis danidiopatik
Efek samping : hpersensitive terhadap trihexyphenidyl, psinosis
berat, psikoneurosis, dan obstruksi saluran cerna
J. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi Harga diri rendah dapat berisiko terjadinya isolasi
sosial : menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari
interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain
bisa mengakibatkan resiko perilaku kekerasan.
III. A. Pohon Masalah
Pohon masalah

Isolasi sosial

Harga diri rendah kronik

Koping individu tidak efektif

B. Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji


Data yang perlu dikaji:

1. Isolasi sosial: menarik diri


Data yang perlu dikaji :
a) Data Obyektif : Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul,
menyendiri, berdiam diri di kamar, banyak diam;
b) Data Subyektif : Ekspresi wajah kosong, tidak ada kontak
mata, suara pelan dan tidak jelas.
2. Gangguan konsep diri: harga diri rendah
Data yang perlu dikaji :
a) Data Subyektif : Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak
bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri,
mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri
b) Data Obyektif : Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung
bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin mencederai
diri/ingin mengakhiri hidup.
3. Gangguan citra tubuh
Data yang perlu dikaji :
a) Data subyektif : Mengungkapkan tidak ingin hidup lagi,
mengungkapkan sedih karena keadaan tubuhnya, klien malu
bertemu dan berhadapan dengan orang lain, karena keadaan
tubuhnya yang cacat
b) Data obyektif : Ekspresi wajah sedih, tidak ada kontak mata
ketika diajak bicara, suara pelan dan tidak jelas, tampak
menangis.
IV. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa Keperawatan

1. Isolasi sosial : menarik diri


2. Harga diri rendah
3. Gangguan citra tubuh.
V. Rencana Tindakan Keperawatan
T N Dx Perencana
gl o keperawat an
an Tujuan Kreteria Intervensi
D Evaluasi
x
Gangguan TUM: 1. Klien 1. Membina hubungan
konsep diri: menunjukan saling percaya
harga diri Klien ekspresi wajah dengan
rendah memiliki bersahabat, menggunakan
konsep menunjukan prinsip komunikasi
diri yang rasa senang, terapeutik :
positif ada kontak
mata, mau - Sapa klien
TUK: berjabat dengan ramah
tangan, mau baik verbal
Klien maupun non
menyebutkan
dapat verbal.
nama, mau
membina menjawab
hubungan - Perkenalkan
salam, klien
saling diri dengan
mau duduk
percaya sopan.
berdampingan
dengan dengan
perawat - Tanyakan nama
perawat, mau
mengutarakan lengkap dan nama
masalah yang panggilan yang
dihadapi disukai klien.

- Jelaskan
tujuan
pertemuan
- Jujur dan menepati
janji

- Tunjukan sikap
empati dan
menerima klien
apa adanya.

- Beri perhatian
dan perhatikan
kebutuhan dasar
klien.
Klien 2. Klien 2.1 Diskusikan dengan
dapat menyebutk klien tentang:
mengdentifi an:
ka si aspek - Aspek positif
positif dan - Aspek yang dimiliki klien,
kemampuan positif dan keluarga,
yang kemampuan lingkungan.
dimiliki yang dimiliki
klien - Kemampuan
yang dimiliki
- Aspek klien.
positif
keluarga 2.2 Bersama klien
buat daftar
- Aspek tentang:
positif
lingkungan - Aspek positif
klien klien, keluarga,
lingkungan

- Kemampuan
yang dimiliki
klien

2.3 Beri pujian yang


realistis,
hindarkan
memberi
penilaian
negatif.
Klien 3.0 Klien mampu 2.4 Diskusikan dengan
dapat menyebutk klien kemampuan
menilai an yang dapat
kemampu kemampua dilaksanakan
an yang n yang
dimiliki dapat 2.5 Diskusikan
untuk dilaksanak kemampuan yang
dilaksanak an. dapat dilanjutkan
an pelaksanaanya.
Klien 4.0 Klien mampu 4.1 Rencanakan
dapat membuat bersama klien
merencana rencana aktivitas yang
kan kegiatan dapat dilakukan
kegiatan harian klien sesuai
sesuai dengan
dengan kemampuan klien:
kemampua
n yang - Kegiatan mandiri
dimiliki
- Kegiatan
dengan bantuan

4.2 Tingkatkan kegiatan


sesuai kondisi klien.

4.3 Beri contoh cara


pelaksanaan
kegiatan yang
dapat klien
lakukan.
Klien 5.0 Klien dapat 5.1 Anjurkan klien untuk
dapat melakukan melaksanakan
melakukan kegiatan kegiatan yang telah
kegiatan sesuai direncanakan.
sesuai jadwal yang
rencana dibuat. 5.2 Pantau kegiatan
yang yang dilaksanakan
dibuat. klien.

5.3 Beri pujian atas


usaha yang
dilakukan klien.

5.4 Diskusikan
kemungkinan
pelaksanaan
kegiatan setelah
pulang.

Klien 6.0 Klien mampu 6.1 Beri pendidikan


dapat memanfaatkan kesehatan kepada
memanfaatk sistem keluarga tentang
an sistem pendukung cara merawar klien
pendukung yang ada dengan harga diri
yang ada dikeluarga rendah.

6.2 Bantu keluarga


memberikan
dukungan selama
klien dirawat.

6.3 Bantu klien


menyiapkan
lingkungan dirumah.

VI. Implementasi
1. Tujuan Keperawatan Pada Pasien
a. Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
b. Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
c. Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya
d. Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya
e. Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengendalikan perilaku
kekerasannya
f. Pasien dapat mencegah/menegdalikan perilaku kekerasannya secara
fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
2. Tindakan Keperawatan Pada Pasien
a. Bina hubungan saling percaya
b. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan sekarang dan
yang lalu
c. Dsikusikan perasaan, tanda, dan gejala yang dirasakan pasien jika
terjadi penyebab perilaku kekerasan
d. Diskusikan bersama pasien tentang perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan pada saat marah
e. Diskusikan bersama pasien akibat perilaku kekerasan yang ia lakukan
f. Diskusikan bersama pasien cara mengendalikan perilaku kekerasan
g. Bantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara fisik
h. Bantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara
sosial/verbal
i. Bantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara spiritual
j. Bantu pasien mengendalikan perilaku kekerasan dengan patuh minum
obat
k. Ikut sertakan pasien dalam TAK stimulasi persepsi untuk
mengendalikan perilaku kekerasan.
SP 1 pasien :
Membina hubungan saling peraya, mengidentifikasi penyebab marah,
tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang dilakukan,
akibat, dan cara mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik
pertama (latihan nafas dalam).
SP 2 pasien : Membantu pasien latihan mengendalikan perilaku
kekerasan dengan cara fisik kedua (evaluasi latihan nafas dalam, latihan
mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik kedua (pukul kasur
dan bantal), menyusun jadwal kegiatan harian cara kedua.
SP 3 pasien : Membantu pasien latihan mengendalikan perilaku
kekerasan secara sosial/verbal (evaluasi jadwal harian tentang dua cara
fisik mengedalikan perilaku kekerasan, latihan mengungkapkan rasa marah
secara verbal (menolak dengan baik, meminta dengan baik,
mengungkapkan perasaan dengan baik), susun jadwal latihan
mengungkapkan marah secara verbal).
SP 4 pasien : Bantu pasien latihan mengendalikan perilaku
kekerasan secara spiritual (diskusikan hasil latihan mengendalikan perilaku
kekerasan secara fisik dan sosial/verbal, latihan beribadah dan berdoa, buat
jadwal latihan ibadah/berdoa).
SP 5 pasien : Membantu pasien latihan mengendalikan perilaku
kekerasan dengan obat (bantu pasien minum obat secara teratur dengan
prinsip lima benar [benar nama pasien/pasien, benar nama obat, benar cara
minum obat, benar waktu minum obat, dan benar dosisi obat] disertai
penjelasan guna obat dan akibat berhenti minum obat, susun jadwal
minum obat secara teratur.
3. Tindakan keperawatan pada keluarga
a. Tujuan Keperawatan
Keluarga dapat merawat pasien di rumah
b. Tindakan keperawatan
1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien
2) Diskusikan bersama kelurga tentang perilaku kekerasan (penyebab,
tada dan gejala, perilaku yang muncul, dan akibat dari perilaku
tersebut)
3) Diskusikan bersama keluarga tentang kondisi pasien yang perlu
segera dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul
benda/orang lain
4) Bantu latihan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan
5) Buat rencana pulang bersama keluarga
DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk, 2017. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr.
Amino Gonohutomo.
Direja, A.H. 2017. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha
Medika.

Fitria, Nita. 2019. Prinsip Dasar & Aplikasi Laporan Pendahuluan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Kelia, B.A. 2016. Model Praktek Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.

Keliat Budi Ana. 2016. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC
Prabowo, E. 2018. Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta :
Nuha Medika.

Stuart, G.W. 20015. Keperawatan Psikiatrik: Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5.
Jakarta : EGC.

Yosep, Iyus. 2016. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika Adiatma.
VII.Kasus/Masalah Utama
Isolasi Sosial
VIII. Proses Terjadinya Masalah
A. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang
lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian,
dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba,
dkk. 2018). Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang
merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya
dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan
(Dalami, dkk. 2019).
Isolasi soaial adalah pengalaman kesendirian seorang individu yang
diterima sebagai perlakuan dari orang lain serta sebagai kondisi yang negatif
atau mengancam (Wilkinson, 2017). Isolasi sosial adalah suatu keadaan
kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain menyatakan sikap
yang negatif dan mengancam (Twondsend, 2016). Suatu keadaan dimana
seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak,
tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Budi
Anna Kelliat, 2017).
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi
dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Pawlin, 2013
dikutip Budi Kelliat, 2016). Faktor perkembangan dan sosial budaya
merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku isolasi sosial (Budi Anna
Kelliat, 2016).
B. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:

a. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus
dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan
ini tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan
selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan
pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang
lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan
dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak aman
yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa
ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku
curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari.
Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak
tidak mersaa diperlakukan sebagai objek.

Menurut Purba, dkk (2018) tahap-tahap perkembangan


individu dalam berhubungan terdiri dari:
1) Masa Bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk
memenuhi kebutuhan biologis maupun psikologisnya.
Konsistensi hubungan antara ibu dan anak, akan menghasilkan
rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Hal ini sangat
penting karena akan mempengaruhi hubungannya dengan
lingkungan di kemudian hari. Bayi yang mengalami hambatan
dalam mengembangkan rasa percaya pada masa ini akan
mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain
pada masa berikutnya.
2) Masa Kanak-kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu
yang mandiri, mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak
mulai membina hubungan dengan teman-temannya. Konflik
terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu dikontrol,
hal ini dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus,
aturan yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam
keluarga dapat menstimulus anak tumbuh menjadi individu
yang interdependen, Orang tua harus dapat memberikan
pengarahan terhadap tingkah laku yang diadopsi dari dirinya,
maupun sistem nilai yang harus diterapkan pada anak, karena
pada saat ini anak mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar
cara berhubungan, berkompetensi dan berkompromi dengan
orang lain.
3) Masa Praremaja dan Remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang
intim dengan teman sejenis, yang mana hubungan ini akan
mempengaruhi individu untuk mengenal dan mempelajari
perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya
hubungan intim dengan teman sejenis akan berkembang
menjadi hubungan intim dengan lawan jenis. Pada masa ini
hubungan individu dengan kelompok maupun teman lebih
berarti daripada hubungannya dengan orang tua. Konflik akan
terjadi apabila remaja tidak dapat mempertahankan
keseimbangan hubungan tersebut, yang seringkali
menimbulkan perasaan tertekan maupun tergantung pada
remaja.
4) Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta
mempertahankan hubungan interdependen antara teman sebaya
maupun orang tua. Kematangan ditandai dengan kemampuan
mengekspresikan perasaan pada orang lain dan menerima
perasaan orang lain serta peka terhadap kebutuhan orang lain.
Individu siap untuk membentuk suatu kehidupan baru dengan
menikah dan mempunyai pekerjaan. Karakteristik hubungan
interpersonal pada dewasa muda adalah saling memberi dan
menerima (mutuality).
5) Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya,
ketergantungan anak-anak terhadap dirinya menurun.
Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk
mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan
pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat diperoleh dengan
tetap mempertahankan hubungan yang interdependen antara
orang tua dengan anak.
6) Masa Dewasa Akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik
kehilangan keadaan fisik, kehilangan orang tua, pasangan
hidup, teman, maupun pekerjaan atau peran. Dengan adanya
kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain akan
meningkat, namun kemandirian yang masih dimiliki harus
dapat dipertahankan.
2. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku.
a) Sikap bermusuhan/hostilitas
b) Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
c) Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya.
d) Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada
pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga,
kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam
pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan
musyawarah.
e) Ekspresi emosi yang tinggi
f) Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat
bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat)
3. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan
faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga
disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu
keluarga.seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan
sosial.

4. Faktor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota
keluarga yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada
kembar monozigot apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah
58%, sedangkan bagi kembar dizigot persentasenya 8%. Kelainan pada
struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan
volume otak serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan
skizofrenia.
5. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh
faktor internal maupun eksternal, meliputi:

a) Stressor Sosial Budaya


Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam
berhubungan, terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti
perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan
pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat
dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi
sosial.

b) Stressor Biokimia
1) Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan
mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi
terjadinya skizofrenia.
2) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan
MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka
menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya
skizofrenia.
3) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan
pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami
penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme,
adanya peningkatan maupun penurunan hormon adrenocortical
seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik.
4) Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-
gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat
merubah stuktur sel-sel otak.
c) Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia
sering terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun
biologis.

d) Stressor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya
kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas
kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya
kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan menimbulkan
berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.

2. Tanda dan Gejala


Menurut purba, dkk (2018) tanda dan gejala isolasi sosisal yang
dapat ditemukan degan wawancara adalah:
a. Pasien menceritakan rasa kesepian atau ditolak oleh orang lain.
b. Pasien merasa tidak aman berada degan orang lain.
c. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain.
d. Pasien merasakan bosan dan lambat menghabiskan waktu.
e. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
f. Pasien merasa tidak berguna.
g. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup.
3. Proses Penyakit
Menurut Stuart and Sundeen (2007) dalam Ernawati (2009). Salah satu
gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau isolasi
sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga, yang bisa di alami klien
dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan,
kekecewan, dan kecemasan. Perasaan tidak berharga menyebabkan klien
semakin sulit dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain.
Akibatnya klien menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan
dalam aktifitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan
diri. Klien semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku masa lalu
serta tingkah laku primitive antara lain pembicaraan yang austistic dan
tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut
menjadi halusinasi (Ernawati, 2009).
Proses terjadinya masalah isolasi sosial :

4. Rentang Respon
Menurut
Stuart Sundeen
dalam Sutejo
tentang respon
klien ditinjau
dari

interaksinya dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang


terbentang antara respon adaptif dengan maladaptive sebagai berikut :
Skema rentang respon isolasi sosial (Sutejo, 2017)

a. Respon Adaptif
Menurut
Sutejo (2017)
respon adaptif
adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan
kebudayan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu
tersebut masih dalam batas
normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut adalah sikap yang
termasuk respon adaptif:
a) Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan
apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya.
b) Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
c) Kebersamaan, kemampuan individu dalam hubungan interpersonal
yang saling membutuhkan satu sama lain.
d) Saling ketergantungan (Interdependen), suatu hubungan saling
ketergantungan antara individu dengan orang lain.
b. Respon Maladaptif
Menurut Sutejo (2017) respon maladaptif adalah respon yang
menyimpang dari norma sosial dan kehidupan di suatu tempat. Berikut ini
adalah perilaku yang termasuk respon maladaptif:
a) Manipulasi, kondisi dimana individu cenderung berorientasi pada diri
sendiri.
b) Impulsif merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu
sebagai subjek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya dan
tidak mampu melakukan penilaian secara objektif.
c) Narsisisme, kondisi dimana individu merasa harga diri rapuh, dan
mudah marah.
5. Pemeriksaan Dasar dan Penunjang
Pemeriksaan fisik mencakup semua sistem yang ada hubungannya
dengan klien depresi berat didapatkan pada sistem integumen klien tampak
kotor, kulit lengket di karenakan kurang perhatian terhadap perawatan dirinya
bahkan gangguan aspek dan kondisi klien.
6. Diagnosis Medis Yang Terkait
a. Resiko gangguan persepsi sensori : Halusinasi
b. Isolasi sosial
c. Gangguan konsep diri : Harga Diri Rendah
7. Penatalaksanaan Medis
a. Terapi Psikofarmaka
1) Chlorpromazine
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas,kesadaran diri terganggu, daya ingat
norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam
fungsifungsi mental: faham, halusinasi. Gangguan perasaan dan
perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi
kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja, berhubungan sosial dan
melakukan kegiatan rutin.
Mempunyai efek samping gangguan otonomi (hypotensi)
antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi,
hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi,
gangguan irama jantung. Gangguan ekstra pyramidal (distonia akut,
akathsia sindrom parkinson). Gangguan endoktrin (amenorhe).
Metabolic (Soundiee). Hematologik, agranulosis. Biasanya untuk
pemakaian jangka panjang. Kontraindikasi terhadap penyakit hati,
penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2019).
2) Haloperidol (HLP)
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi
mental serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek
samping seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi, hidung
tersumbat mata kabur , tekanan infra meninggi, gangguan irama
jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah,
epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2019).

b. Trihexyphedil (THP)
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan
idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan fenotiazine.
Memiliki efek samping diantaranya mulut kering, penglihatan kabur, pusing,
mual, muntah, bingung, agitasi, konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi
urine. Kontraindikasi terhadap hypersensitive Trihexyphenidil (THP),
glukokoma sudut sempit, psikosis berat psikoneurosis (Andrey, 2019).
1) Terapi individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat
diberiana strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan
masing-masing strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu,
perawat mengidentifikasi penyebab isolasi sosial, berdiskusi dengan
pasien mengenai keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi da n tidak
berinteraksi dengan oranga lain, mengajarkan cara berkenalan dan
memasukkan latihan berbincang-bincang dengan orang lain ke dalam
kegiatan harian. Pada SP dua, perawat mengevaluasi jadal kegiatan
harian pasien, memberikan kesempatan pasien cara berkenalan dengan
satu orang dan membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-
bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP
tiga, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi
kesempatan untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih dan
menganjurkan pasien memasukkan ke dalam jadal kegiatan hariannya
(Purba, dkk. 2018)

c. Terapi kelompok
Menurut (Purba, 2018), aktivitas pasien yang mengalami
ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar yaitu :
1. Activity Daily Living (ADL), tingkah laku yang berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang meliputi :
a) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam
kegiatan mandi dan sesudah mandi.
b) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
keperluan berganti pakaian.
c) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu,
sedang dan setelah makan dan minum.
d) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan dengan
kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan
kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.
e) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti dan
dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak
menggunakan/menaruh benda tajam "
f) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien untuk
pergi tidur Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi tidur ini
perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala primer yang
muncul padagangguan jiwa. Dalam hal ini yang dinilai bukan gejala
insomnia (gangguan tidur) tetapi bagaimana pasien mau mengawali
tidurnya.
8. A. Pohon Masalah
Pathway Isolasi Sosial

Sumber:
(Keliat, 2016)

B. Masalah
Keperawatan
dan Data Yang
Perlu Dikaji

1. 1. Masalah Keperawatan
a. Resiko perubahan sensori persepsi berhubungan dengan
menarik diri.
b. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri
rendah
c. Gangguan konsep diri : harga diri rendah berhubungan dengan
tidak efektifnya koping individu : koping defensif.
2. Data Yang Perlu Dikaji :
a. Data Subyektif : Pasien mengungkapkan tentang
1) Perasaan sepi
2) Perasaan tidak aman
3) Perasaan bosan dan waktu terasa lambat
4) Ketidakmampuan berkonsentrasi
5) Perasaan ditolak
b. Data Obyektif :
1) Banyak diam
2) Tidak mau bicara
3) Menyendiri
4) Tidak mau berinteraksi
5) Tampak sedih
6) Ekspresi datar dan dangkal
7) Kontak mata kurang
9. Diagnosis Keperawatan
a. Resiko perubahan sensori persepsi berhubungan dengan menarik diri.
b. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
c. Gangguan konsep diri : harga diri rendah berhubungan dengan tidak
efektifnya koping individu : koping defensif.
10. Rencana dan Implementasi Tindakan Keperawatan
a. Gangguan isolasi sosial : menarik diri
Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak
terjadi halusinasi
Tujuan Khusus :
a) Klien dapat membina hubungan saling
percaya Tindakan :
Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip
komunikasi terapeutik dengan cara :
1. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
2. Perkenalkan diri dengan sopan
3. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
4. Jelaskan tujuan pertemuan
5. Jujur dan menepati janji
6. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
7. Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar
klien
b) Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Tindakan :
1. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-
tandanya
2. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan
penyebab menarik diri atau mau bergaul
3. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-
tanda serta penyebab yang muncul
4. Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan
perasaannya

c) Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang


lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Tindakan :
1. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan
berhubungan dengan orang lain
a) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan
perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan prang
lain
b) Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan
dengan orang lain
c) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan
mengungkapkan perasaan tentang keuntungan berhubungan
dengan orang lain.
2. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan
dengan orang lain
a) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan
perasaan dengan orang lain
b) Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain
c) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan
perasaan tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
d) Klien dapat melaksanakan hubungan social
Tindakan :
1. Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
2. Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain
melalui tahap

K–P : Klien – Perawat

K – P – P lain : Klien – Perawat – Perawat lain

K – P – P lain – K lain : Klien – Perawat – Perawat lain –


Klien lain

K – Kel/ Klp/ Masy : Klien –


Keluarga/Kelompok/Masyarakat

3. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah


dicapai
4. Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
5. Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam
mengisi waktu
6. Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
7. Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan
ruangan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2019. Asuhan Keperawatan Pada Klien Isolasi Sosial. Diakses pada
tanggal 13 Mei 2022 pada
http://nurse87.wordpress.com/2009/06/04/asuhankeperawatan-pada-klien-
dengan-isolasi-sosial/

Anna Budi Keliat, SKp. 2016. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial
Menarik Diri, Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Keliat Budi Ana. 2017. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC

Kusumawati dan Hartono. 2013. Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba
Medika.

Nita Fitria. 2018. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta: Salemba Medika.

Rasmun. 2016. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan


Keluarga. Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi
(API). Jakarta:Fajar Interpratama.

Stuart dan Sundeen. 2015. Buku Keperawatan Jiwa. Jakarta:EGC.


I. Kasus/Masalah Utama
Defisit Perawatan Diri
II. Proses Terjadinya Masalah
A. Definisi
Pewatan diri adalah salah satu kemampuan manusia dalam
memenuhi kebutuhannya sehari-hari guna mempertahankan
kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi
kesehatannya, klien bisa dinyatakan terganggu keperawatan dirinya
jika tidak dapat melakukan perawatan diri sendiri (Erlando, 2019).
Tarwoto dan Wartonah (2000, dalam Direja, 2015) menjelaskan
kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu
melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya. Menurut Hastuti
(2018) Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan seseorang
untuk melakukan aktifitas perawatan diri seperti mandi,
berhias/berdandan, makan dan toileting. Defisit perwatan diri adalah
suatu keadaan seseorang mengalami kelainan dalam kemampuan
untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari
secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur, tidak
menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas dan penampilan
tidak rapi.
Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah yang timbul
pada pasien gangguan jiwa. Pasien gangguan jiwa kronis sering
mengalami ketidakpedulian merawat diri. Keadaan ini merupakan
gejala perilaku negatif dan menyebabkan pasien dikucilkan baik dalam
keluarga maupun masyarakat (Yusuf, 2015).
B. Etiologi
Menurut Jalil (2015) penyebab kurang perawatan diri adalah:
1. Factor predisposisi
a) Perkembangan: Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan
klien sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
b) Biologis: Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak
mampu melakukan perawatan diri.
c) Kemampuan realitas turun: Klien dengan gangguan jiwa
dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan
ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri.
d) Sosial: Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan
diri lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan
kemampuan dalam perawatan diri.
2. Faktor presipitasi: kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi
atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami individu
sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan diri.

C. Tanda dan Gejala


Menurut Pardede (2020) Tanda dan gejala klien dengan defisit
perawatan diri adalah:
1. Fisik: Badan bau, pakaian kotor, rambut dan kulit kotor, kuku
panjang dan kotor, Gigi kotor disertai mulut bau, Penampilan tidak
rapi.
2. Psikologis: Malas, tidak ada inisiatif, Menarik diri, isolasi diri,
Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
3. Social: Interaksi kurang, Kegiatan kurang, Tidak mampu
berperilaku sesuai norma, Cara makan tidak teratur, BAK dan BAB
di sembarang tempat, gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri.
D. Jenis – jenis
1. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan
untuk melakukan aktivitas mandi / kebersihan diri.
2. Kurang perawatan diri : mengenakan pakaian / berhias
Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah
gangguan kemampuan memakai pakaian dan aktivitas berdandan
sendiri.
3. Kurang perawatan diri : makan
Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan
untuk menunjukkan aktivitas makan.

4. Kurang perawatan diri : toileting


Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan
kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan.
E. Faktor- faktor
Menurut Kemenkes RI (2019) faktor – faktor yang mempengaruhi
personal hygiene adalah:
1. Body Image: Gambaran individu terhadap dirinya sangat
mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya
perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan
kebersihan dirinya.
2. Praktik Sosial: Pada anak – anak selalu dimanja dalam
kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola
personal hygiene.
3. Status Sosial Ekonomi: Personal hygiene memerlukan alat dan
bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi
yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
4. Pengetahuan: Pengetahuan personal hygiene sangat penting
karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan.
Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus
menjaga kebersihan kakinya.
5. Budaya: Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak
boleh dimandikan.
6. Kondisi fisik atau psikis: Pada keadaan tertentu / sakit
kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan
untuk melakukannya.

F. Rentang Respon
1.Pola perawatan
untuk

berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien


seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
2. Kadang perawatan diri kadang tidak: saat klien mendapatkan stresor
kadang – kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
3. Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli
dan tidak bisa melakukan perawatan saat stresor.
G. Pemeriksaan Dasar dan Penunjang
Biasanya pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan tandatanda
vital (TTV), pemeriksaan secara keseluruhan tubuh yaitu pemeriksaan
head to toe yang biasanya penampilan klien yang kotor dan acak-
acakan.
H. Diagnosis Medis Yang Terkait
1. Skizofrenia
2. Depresi
I. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan dengan gangguan defisit perawatan diri tidak
membutuhkan perawatan medis, karena hanya mengalami gangguan
jiwa, pasien lebih membutuhkan terapi kejiwaan melalui komunikasi
terapeutik atau dengan cara pemberian pendidikan kesehatan.
Penatalaksanaan defisit perawatan diri yaitu:
3. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri.
4. Membimbing dan menolong klien merawat diri
5. Berikan aktivitas rutin sehari-hari sesuai kemampuan.
6. Ciptakan lingkungan yang mendukung.
J. Komplikasi dan Prognosis
Menurut Dermawan (2016) dampak yang sering timbul pada
masalah personal hygiene ialah :
1. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena
tidak terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik,
gangguan fisik yang sering terjadi adalah gangguan integritas
kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan
telinga dan gangguan fisik pada kuku.
2. Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene
adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman , kebutuhan dicintai
dan mencinti, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan
interaksi sosial.
III. A. Pohon Masalah
Effect Isolasi Sosial: menarik diri

Core Problem Defisit Perawatan Diri: mandi, berdandan

Causa Harga Diri Rendah Kronis

B. Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji


1. Data Subyektif: Klien mengatakan malas mandi, tak mau menyisir
rambut, tak mau menggosok gigi, tak mau memotong kuku, tak mau
berhias, tak bisa menggunakan alat mandi/ kebersihan diri.
2. Data Obyektif: Badan bau, pakaian kotor, rambut dan kulit kotor,
kuku panjang dan kotor, gigi kotor, mulut bau, penampilan tidak
rapih, tak bisa menggunakan alat mandi.
IV. Diagnosis Keperawatan
a. Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
b. Defisit perawatan diri

V. Rencana dan Tindakan Keperawatan


a. Tindakan keperawatan pada pasien
1. Tujuan keperawatan
a) Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
b) Pasien mampu melakukan berhias secara baik
c) Pasien mampu melakukan makan dengan baik
d) Pasien mampu melakukan eliminasi secara mandiri
2. Tindakan keperawatan
a) Melatih pasien cara perawatan kebersihan diri
b) Membantu pasien latihan berhias
c) Melatih pasien makan secara mandiri
d) Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri

.
DAFTAR PUSTAKA

Erlando, R. P. A. 2019. Terapi Kognitif Perilaku dan Defisit Perawatan Diri: Studi
Literatur. ARTERI: Jurnal Ilmu Kesehatan, 1(1), 94-100.
https://doi.org/10.37148/arteri.v1i1.9

Hastuti, R. Y., & Rohmat, B. 2018. Pengaruh Pelaksanaan Jadwal Harian


Perawatan Diri Terhadap Tingkat Kemandirian Merawat Diri Pada Pasien
Skizofrenia Di Rsjd Dr. Rm Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah. Gaster,
16(2),177-190.
http://jurnal.aiskauniversity.ac.id/index.php/gaster/article/view/294

Jalil, A. 2015. Faktor Yang Mempengaruh Penurunan Kemampuan Pasien


Skizofrenia Dalam Melakukan Perawatan Di Rumah Sakit Jiwa. Jurnal
KeperawatanJiwa,3(2),70-77.
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKJ/article/view/3933

Kemenkes RI. 2019. Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS. JAKARTA: Kemenkes


RI.

Nurhalimah. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan, 162-170.

Pardede, J. A. 2020. Ekspresi Emosi Keluarga Yang Merawat Pasien Skizofrenia.


Jurnal Ilmiah Keperawatan Imelda, 6(2), 117-122.
https://doi.org/10.2411/jikeperawatan.v6i2.403

Pinedendi, N., Rottie, J., & Wowiling, F. 2016. Pengaruh Penerapan Asuhan
Keperawatan Defisit Perawatan Diri Terhadap Kemandirian Personal
Hygiene Pada Pasien di RSJ. Prof. VL Ratumbuysang Manado Tahun 2016.
JURNAL KEPERAWATAN, 4(2).

Putra, R. S., & Hardiana, S. 2019. Komunikasi Terapeutik Perawat Pada Pasien
Dengan Masalah Defisit Perawatan Diri. In Prosiding Seminar Nasional
(pp.152-156).
http://prosiding.stikesmitraadiguna.ac.id/index.php/PSNMA/article/view/21

Rochmawati, D. H., Keliat, B. A., & Wardani, I. Y. 2015. Manajemen Kasus


Spesialis Jiwa Defisit Perawatan Diri Pada Klien Gangguan Jiwa di RW 02
dan RW 12 Kelurahan Baranangsiang Kecamatan Bogor Timur. Jurnal
KeperawatanJiwa,1(2).
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKJ/article/view/972
I. KASUS (MASALAH UTAMA)
Risiko Bunuh Diri
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. DEFINISI
Bunuh diri secara umum mudah dimengerti sebagai suatu tindakan
aktif seseorang untuk mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara. Bunuh diri
adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk membunuh diri sendiri
(Videbeck, 2018). Bunuh diri adalah segala perbuatan dengan tujuan untuk
membinasakan dirinya sendiri dan yang dengan sengaja dilakukan oleh
seseorang yang tahu akan akibatnya yang mungkin pada waktu yang singkat.
Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2018).
Pikiran bunuh diri biasanya muncul pada individu yang mengalami
gangguan mood, terutama depresi. Bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan
dengan sengaja untuk membunuh diri sendiri, seorang peneliti bunuh diri
yang ternama, mendefinisikan dua kategori bunuh diri yaitu langsung dan
tidak langsung. Bunuh diri langsung adalah tindakan yang disadari dan
disengaja untuk mengakhiri hidup seperti pengorbanan diri (membakar diri),
menggantung diri, menembak diri, meracuni diri, melompat dari tempat yang
tinggi, meneggelamkan diri, atau sufokasi. Sedangkan bunuh diri tidak
langsung adalah keinginan tersembunyi yang tidak disadari untuk mati, yang
ditandai dengan perilaku kronis berisiko seperti penyalahgunaan zat, makan
berlebihan, aktivitas seks bebas, ketidakpatuhan terhadap program medis, dan
olahraga atau pekerjaan yang membahayakan.
Upaya bunuh diri adalah suatu tindakan bunuh diri yang gagal
dilakukan atau tidak berhasil dilakukan sampai selesai. Pada jenis terakhir,
invidu tidak menyelesaikan tindakan bunuh diri karena berhasil ditolong
orang lain, atau tindakan bunuh diri selesai dilakukan, tetapi individu berhasil
diselamatkan (Roy, 2020).
2. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
Lima factor predisposisi yang menunjang pada pemahaman perilaku
destruktif-diri sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai berikut :
1. Diagnosis Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara
bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang
dapat membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri
adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2. Sifat Kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya resiko
bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
3. Lingkungan Psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah
pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-kejadian
negatif dalam hidup, penyakit krinis, perpisahan, atau bahkan
perceraian. Kekuatan dukungan social sangat penting dalam
menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu
mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam menghadapi
masalah tersebut, dan lain-lain.
4. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan factor
penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh
diri.
5. Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak sepeti serotonin,
adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui
ekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG).
b. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang
dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup
yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah
perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan berarti, kegagalan beradaptasi
sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan marah/bermusuhan,
bunuh diri ,menrupakn hukuman pada diri sendiri, cara untuk
mengakhiri keputusan, melihat atau membaca melalui media mengenai
orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi
individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
3. PROSES TERJADINYA RESIKO BUNUH DIRI
Pada dasarnya, segala sesuatu itu memiliki hubungan sebab akibat
(ini adalah sistematika). Dalam hubungan sebab akibat ini akn menghasilkan
suatu alasan atau sebab tindakan yang disebut motif.
Motif bunuh diri ada banyak penyebabnya . Disini penyusun
menngolongkan dalam kategori sebab, misalnya :
a. Ditandai keputusasaan dan depresi
b. Cobaan hidup dan tekanan lingkungan
c. Gnggan kejiwaan
d. Himpitan ekonomi atau kemiskinan
e. Penderitaan karena penyakit yang berkepanjangan
4. RENTANG RESPON

Respon adaptif Respon maladaptif


Peningkatan diri Destruktif diri tidak langsung Pencederaan
diri Beresiko destruktif Bunuh diri
(YoseP, 2019)
1) Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan
diri secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri.
Sebagai contoh seseorang mempertahankan diri dari pendapatnya yang
berbeda mengenai loyalitas terhadap pimpinan ditempat kerjanya.
2) Beresiko destruktif. Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap
situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri, seperti seseorang
merasa patah semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal
terhadap pimpinan padahal sudah melakukan pekerjaan secara optimal.
3) Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang
kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya
untuk mempertahankan diri. Misalnya, karena pandangan pimpinan
terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka seorang karyawan menjadi tidak
masuk kantor atau bekerja seenaknya dan tidak optimal.
4) Pencederaan diri. Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencederaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
5) Bunuh diri. Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada pasien percobaan bunuh diri biasanya
jarang dialkukan. Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan pertimbangan
dokter. Bila penyebab organik belum dapat disingkirkan, lakukan
pemeriksaan penunjang misalnya pemeriksaan CT Scan atau pemeriksaan
toksikologi. Pemeriksaan darah lengap dan rekam jantung juga dapat
dilakukan sesuai kondisi pasien.
6. DIAGNOSA MEDIS YANG TERJADI
a. Scizofrenia
b. Depresi
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tindakan keperawatan yang dilakukan harus disesuaikan dengan
rencana keperawatan yang telah disusun. Sebelum melaksanakan tindakan
yang telah direncanakan, perawat perlu menvalidasi dengan singkat apakah
rencana tindakan masih sesuai dengan kebutuhannya saat ini (here and now).
Perawat juga meniali diri sendiri, apakah mempunyai kemampuan
interpersonal, intelektual, teknikal sesuai dengan tindakan yang akan
dilaksanakan. Dinilai kembali apakah aman bagi klien, jika aman maka
tindakan keperawatan boleh dilaksanakan.
8. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
a. Pada klien dengan percobaaan bunuh diri dengan cara meminum zat kimia
atau intoksikasi
b. Pada klien dengan tentamen suicide yang menyebabkan asfiksia
c. Pada klien dengan perdarahan akan mengalami syok hipovolemik yang
jika tidak dilakukan resusitasi cairan dan darah
III. A. POHON MASALAH
(EFEK) : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

(CP) : Risiko Bunuh Diri

(CAUSA) : Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

A. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji


Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Subyektif:
Rendah 1. Mengungkapkan ingin diakui
jati dirinya
2. Mengungapkan tidak ada lagi
yang peduli
3. Mengungkapan tidak bisa apa-apa
4. Mengungkapkan dirinya
tidak
berguna
5. Mengkritik diri sendiri
Obyektif:
1. Merusak diri sendiri
2. Merusak orang lain
3. Menarik diri dari hubungan sosial
4. Tampak mudah tersinggung
5. Tidak mau makan dan tidak tidur
Risiko Bunuh Diri Subyektif:
Klien menyatakan ingin bunuh diri/
ingin mati saja, taka da gunanya hidup
Obyektif:
Ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh
diri, pernah mencoba bunuh diri
Resiko mencederai diri sendiri, orang Subyektif:
lain dan lingkungan Klien marah dan jengkel kepada orang
lain, ingin membunuh, ingin membakar,
atau mengacak-acak lingkungan
Obyektif:
Klien mengamuk, merusak, dan
melempar barang-barang,
melakukan
tindakan
kekerasan pada orang-orang disekitarnya

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Risiko Bunuh Diri
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tujuan Umum: Klien tidak mencederai diri sendiri
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri
3. Klien dapat mengekspresikan perasaannya
4. Klien dapat meningkatkan harga diri
5. Klien dapat menggunakan koping yang adaptif
6. Klien dapat menggunakan dukungan sosial
7. Klien dapat menggunakan obat dengan benar dan tepat

VI. IMPLEMENTASI

KLI KELUAR
EN GA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi benda-benda yang 1. Mendiskusikan masalah yang
dapat membahayakan klien dirasakan keluarga dalam merawat
2. Mengamankan benda-benda klien
yang dapat membahayakan klien 2. Menjelaskan pengertian, tanda gejala
3. Melakukan kontrak treatment resiko bunuh diri dan jenis prilaku
4. Mengajarkan cara bunuh diri yang dialami klien beserta
mengendalikan dorongan bunuh diri proses terjadinya menjelaskan cara-
5. Melatih cara mengendalikan cara merawat klien resiko bunuh diri
dorongan 3. Menjelaskan cara-cara merawat
bunuh diri klien
resiko bunuh diri
SP 2 SP 2
1. Mengidentifikasi aspek positif klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Mendorong apsien untuk merawat klien dengan resiko bunuh
berpikir positif terhadap diri diri
3. Mendorong klien untuk 2. Melatih keluarga melakukan cara
menghargai diri sebagai individu merawat langsung kepada klien resiko
yang berharga dunuh diri

SP 3 SP 3
1. Mengidentivikasi pola koping 1. Membantu keliarga membuat jadwal
yang biasa diterapkan klien aktivitas dirumah termasuk minum
2. Menilai pola koping yang obat
biasa dilakukan 2. Mendiskusikan sumber rujukan
3. Mengidentifikasi pola koping yang yang biasa dijangkau oleh keluarga
konstruktif
4. Mendorong klien memilih pola
koping yang konstruktif
5. Menganjurkan klien menerapkan
pola
koping konstruktif dalam kegiatan
harian
SP 4
1. Membuat rencana masa depan yang
realistis bersama klien
2. Mengidentifikasi cara
mencapai rencana masa depan yang
realistis
3. Memberi dorongan klien
melakukan
kegiatan dalam rangka meraih masa
depan yang realistis
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


PT Rineka Cipta.Arsyad, Azhar. 2014.Media Pembelajaran. Jakarta:
Rajawali Pers.

Asyhar, Rayandra. 2012. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran

Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2010.Stategi Belajar Mengajar .Jakarta: Rineka

Robert E Slavin . 2009. Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik.

Sri Puji Astuti. 2013.Upaya Meningkatkan Kreativitas Belajar Bahasa JawaMelalui


Strategi Pembelajaran Role Playing
I. KASUS (MASALAH UTAMA)
Perilaku Kekerasan

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. DEFINISI
Resiko perilaku kekerasan merupakan perilaku seseorang yang
menunjukkan bahwa ia dapat membahayakan diri endiri atau orang lain atau
lingkungan, baik secara fisik, emosional, seksual, dan verbal (NANDA, 2016).
Resiko perilaku kekeran terbagi menjadi dua, yaitu risiko perilaku kekerasan
terhadap diri sendiri (risk for self-directed violence) dan risiko perilaku kekerasan
orang lain (risk for other-directed violence).
Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan
orang, diri sendiri baik secara fisik, emosional dan sexualitas, perilaku kekerasan
merupakan salah satu respon maladaftif dari marah. Marah merupakan perasaan
jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasanatau kebutuhan yang
tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman .Kondisi ini dapat menyebabkan
meningkatnya stres emosional dan ekonomidari keluarga sebagai efek dari
kondisi anggota keluarganya sehingga keluarga memerlukan pengetahuan dan
informasi bagaimana cara menghadapi anggota keluarga yang mengalami
perilaku kekerasan dan untuk memperkecil dampak yang ditimbulkan, dibutuhkan
penanganan perilaku kekerasan yang tepat keluarga memiliki peran yang sangat
penting untuk mencegah kejadian yang tidak diinginkan dengan menggunakan
ketrampilankoping untuk menghadapi masalah (Townsend & Morgan, 2017).

2. ETIOLOGI
Menurut Nurhalimah (2018) Proses terjadinyaperilaku kekerasan pada
pasien akan dijelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi stuart
yang meliputi faktor prediposisi dan presipitasi.
a. Faktor Predisposisi
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls
agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau
menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem
informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada
sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu
tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku
tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis
mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif.
Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight
atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons
terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara
perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang
menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang
menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan
epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam
kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan
dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran
mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut
ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh,
atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif.
Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama
tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang
dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan
orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau
mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan
hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan
setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara
umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan
masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan,
apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak
dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan
lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya
keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
b. Faktor Presipitasi
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.

3. PROSES TERJADINYA PERILAKU KEKERASAN


Menurut Eko Prabowo (2019) kemarahan berawal dari stresor yang
berasal dari internal seperti penyakit, hormonal, dendam, dan kesal. Atau
eksternal seperti ledakan, cacian, hinaan, hingga bencana. Hal tersebut akan
mengakibatkan gangguan pada sistem individu, tergantung bagaimana
individu memaknai setiap kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan.
Bila seseorang memaknai hal tersebut dengan positif maka akan tercapai
perasaan lega tetapi jika tidak, maka ia akan memaknai hal tersebut akan
muncul perasaan tidak berdaya dan sengsara. Perasaan itu akan menimbulkan
gejala psikosomatik.
4. RENTANG RESPON MARAH
Perasaan marah normal terjadi pada setiap individu, namun perilaku
yang dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfungsi sepanjang rentang
adaptif dan mal adaptif.

adaptif maladaptif

asertif frustasi pasif agresif PK

Gambar. Rentang Respon Marah


(Sumber : Putri, 2019)
Asertif Klien mampu mengungkapkan marah tanpa menyalahkan
orang
lain dan memberikan kelegaan.
Frustasi Klien gagal mencapai tujuan kepuasan/ saat marah dan
tidak
dapat menemukan alternatif.
Pasif Klien merasa tidak dapat mengungkapkan perasaannya,
tidak
berdaya dan menyerah
Agresif Klien mengekspresikan secara fisik, tetapi masih
terkontrol,
mendorong orang lain dengan ancaman.
Kekerasan Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat dan hilang
kontrol,
disertai amuk, merusak lingkungan.

5. PEMERIKSAAN PENUNJAG
Meskipun pemeriksaan diagnostik merupakan pemeriksaan penunjang,
tetapi peranannya penting dalam menjelaskan dan mengkuantifikasi disfungsi
neurobioalogis, memilih pengobatan, dan memonitor respon klinis (Maramis,
2019).
Menurut Doenges (2020), pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk
penyakit fisik yang dapat menyebabkan gejala neversibel seperti kondisi
defisiensi/toksik, penyakit neurologis, gangguan metabolik/endokrin.
Serangkaian tes diagnostik yang dapat dilakukan pada Skizofreniz Paranoid
adalah sebagai berikut :
a. Computed Tomograph (CT) Scan
Hasil yang ditemukan pada pasien dengan skizofreniz berupa abnormalitas
otak seperti atrofi lobus temporal, pembesaran ventrikel dengan rasio
ventrikel-otak meningkat yang dapat dihubungkan dengan derajat gejala
yang dapat dilihat.
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat memberi gambaran otak tiga dimensi, dapat memperlihatkan
gambaran lebih kecil dari lobus frontal rata-rata, atrofi lobus temporal
(terutama hipokampus, girus parahipokampus, dan girus temporal
superior).
c. Positron Emission Tomography (PET)
Alat ini dapat mengukur aktivitas metabolik dari area spesifik otak dan
dapat menyatakan aktivitas metabolik yang rendah dari lobus frontal,
terutama pada area prefrontal dari korteks serebral.
d. Pegional Cerebral Blood Flow (RCBF)
Alat yang dapat memetakan aliran darah dan menyatakan intensitas
aktivitas pada darah otak yang bervariasi.
e. Brain Electrical Activity Mapping (BEAM)
Alat yang dapat menunjukkan respon gelombang otak terhadaprangsangan
yang bervariasi disertai dengan adanya respons yang terhambat dan
menurun, kadang-kadang dilobus frontal dan sistem limbik.
f. Addiction Severity Index (ASI)
ASI dapat menentukan masalah ketergantungan (ketergantungan zat), yang
mungkin dapat dikaitkan dengan penyakit mental, dan mengidentifikasi
area pengobatan yang diperlukan.
g. Electroensephalogram (EEG)
Dari pemeriksaan didapatkan hasil yang mungkin abnormal, menunjukkan
ada atau luasnya kerusakan organik pada otak.
6. DIAGNOSIS MEDIS
h. Resiko perilaku kekerasan
i. Waham : kebesaran
j. Harga diri rendah
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Terapi Somatik
Menurut (Depkes RI, 2019, hal 230) menerangkan bahwa terapi Somatik
adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan
tujuan mengubah perilaku yang maladaptife menjadi perilaku adaktif
dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik klien,
tetapi target terapi adalah perilaku klien.
2. Terapi Kejang Listrik
Terapi kejang listrik atau elektronik convulsi therapy (ECT) adalah bentuk
terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis
klien. Terapi ini adalah awalnya untuk mengenai klien skizofrenia
membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah 2-3 kali sekali
(dua minggu sekali)
3. Peran Serta Keluarga
Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan perawatan
langsung pada setiap keadaan pasien. Keluarga yang mempunyai
kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladatif,
menanggulangi perilaku maladaptive, dan memulihkan perilaku maladatif
ke perilaku adatif sehingga derajat kesehatan pasien dapat ditingkatkan
secara optimal.
4. Terapi Farmakologi
Pasien dengan perilaku kekerasan perlu peawatan dan pengobatan yang
tepat. Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis
efektif tinggi contoh : Clorpromazine HCL yang berguna untuk
mengendalikan spikomotornya. Bila tidak ada dapat digunakan dosis efektif
rendah, contohnya Trifluoperazine estelasine, bila tidak ada juga maka dapat
digunakn Transquilizer bukan obat antipsikotik seperti neuroleptika, tetapi
meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan
anti agitasi.
5. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, ini bukan pemberian
pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini
tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti
membaca koran, bermain catur. Terapi ini merupakan langkah awal yang
harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya
seleksi dan ditentukannnya program kegiatannya.
8. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
menciderai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko menciderai merupakan
suatu tindakan yang memungkinkan dapat melukai/membahayakan diri, orang
lain, dan lingkungan.
III. A. POHON MASALAH
(EFEK) : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

(CP) : Perilaku Kekerasan

(CAUSA) : Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Perilaku Kekerasan Subyektif:
1. Klien mengancam
2. Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
3. Klien mengatakan dendam dan jengkel
4. Klien mengatakan ingin berkelahi
5. Klien menyalahkan dan menuntut
6. Klien meremehkan
Obyektif:
1. Wajah memerah dan tegang
2. Mata melotot
3. Tangan mengepal
4. Rahang mengatup
5. Postur tubuh kaku
6. Suara keras
Resiko mencederai diri sendiri, Subyektif:
orang lain dan lingkungan 1. Klien benci atau kesal pada seseorang
2. Klien suka membentak
3. Klien menyerang orang yang mengusiknya
jika sedang kesal atau marah

Obyektif:
1. Wajah agak merah
2. Mata merah
3. Nada suara tinggi dan keras
4. Pandangan tajam
5. Klien mengamuk
6. Klien merusak atau melempar barang-barang
7. Melakukan tindakan kekerasan pada orang
di sekitarnya
Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Subyektif:
Rendah 1. Klien merasa tidak berguna
2. Klien mengungkapkan perasaan
Obyektif:
1. Kehilangan minat melakukan aktivitas
2. Klien lebih suka sendiri dan bingung

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Resiko Perilaku Kekerasan

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Umum: Klien tidak mencederai diri sendiri
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
4. Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya
5. Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya
6. Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku
kekerasan
7. Klien dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk mencegah perilaku
kekerasan
8. Klien dapat mendemonstrasikan cara spiritua untuk mencegah perilaku
kekerasan
9. Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk mencegah
perilaku kekerasan
10. Klien dapat mengikuti TAK: stimulasi persepsi pencegahan perilaku
kekerasan
11. Klien mendapat dukungan keluarga dalam melakukan cara pencegahan
perilaku kekerasan
VI. IMPLEMENTASI
KLI KELUAR
EN GA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab PK 1. Mendiskusikan masalah yang
2. Mengidentifikasi tand gejala PK dirasaka keluarga dalam merawat
3. Mengidentifikasi PK yang dilkukan klien
4. Menidentifikasi akibat PK 2. Menjelaskan pengertian PK, tanda
5. Menyebutkan cara mengontrol PK gejala serta proses tejadinya PK
6. Membantu klien mempraktikkan 3. Menjelaskan cara merawat
latihan cara mengontrol PK klien dengan PK
7. Mengnjurkan klien memasukkan
dalam
kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga mempraktikkan
klien
cara merawat klien dengan PK
2. Melatih klien mengontrol PK dengan
2. Melatih keluarga melakukan
cara fisik II
cara merawat langsung kepada klien
3. Menganjurkan klien memasukkan
PK
dalam
kegiatan harian
SP 3 SP 3
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat
klien
jadwal aktivitas di rumah termasuk
2. Melatih klien mengontrol PK dengan
minum obat
cara verbal
2. Menjelaskan follow up klien
3. Menganjurkan klien memasukkan setelah
dalam
pulang
jadwal kegiatan harian
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian klien
2. Melatih klien mengontrol PK dengan
cara spiritual
3. Menganjurkan klien memasukkan
dalam
jadwal kegiatan harian
SP 5
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian klien
2. Menjelaskan cara mengontrol PK
dengan minum obat
3. Menganjurkan klien memasukkan
dalam
jadwal kegiatan harian
DAFTAR PUSTAKA

Azis, N. R., Sukamto, E., & Hidayat, A. (2018). Pengerun Terapi De-Ekslasi
Terhadap Perubahan Perilaku Pasien dengan Resiko Perilaku Kekerasan di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda.
Estika Mei Wulansari, Estika. Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien Dengan Resiko
Perilaku Kekerasan Dirumah Sakit Daerah Dr Arif Zainuddin Surakarta. Diss.
Universitas Kusuma Husada Surakarta, 2021.
Hastuti, R. Y., Agustina, N., & Widiyatmoko, W. (2019). Pengaruh
restrain terhadap penurunan skore panss EC pada pasien skizofrenia
dengan perilaku kekerasan. Jurnal Keperawatan Jiwa, 7(2), 135-144.
3. Kandar, K., & Iswanti, D. I. (2019). Faktor Predisposisi dan Prestipitasi
Pasien Resiko Perilaku Kekerasan. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 2(3), 149-
156.
Kemenkes RI. (2019). Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS.Jakarta:
Kemenkes RI
Pardede, J. A. (2019). The Effects Acceptance and Aommitment Therapy
and Health Education Adherence to Symptoms, Ability to Accept and
Commit to Treatment and Compliance in Hallucinations Clients Mental
Hospital of Medan, North Sumatra. J Psychol Psychiatry Stud, 1, 30-35.
Pardede, J. A. (2020). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa DenganMasalah Risiko
Perilaku Kekerasan. doi: 10.31219/osf.io/we7zm
11.
Pardede, J. A. (2020, November 12). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa
Dengan Masalah Risiko Perilaku. Kekerasan.
https://doi.org/10.31219/osf.io/we7zm
Pardede, J. A., Simanjuntak, G. V., & Laia, R. (2020). The Symptoms of
Risk of Violence Behavior Decline after Given Prgressive Muscle
Relaxation Therapy on Schizophrenia Patients. Jurnal Ilmu Keperawatan
Jiwa, 3(2), 91-100. 10.
Pardede, J. A., Siregar, L. M., & Halawa, M. (2020). Beban dengan
Koping Keluarga Saat Merawat Pasien Skizofrenia yang Mengalami
Perilaku Kekerasan. Jurnal Kesehatan, 11(2), 189-196.
http://dx.doi.org/10.26630/jk.v11i2.1980
Parwati, I. G., Dewi, P. D., & Saputra, I. M. (2018). Asuhan Keperawatan
PerilakuKesehatan.https://www.academia.edu/37678637/ASUHAN
KEPERAWATAN_PERILAKU_KEKERASAN

Putri, M., Arif, Y., & Renidayati, R. (2020). Pengaruh Metode Student
Team Achivement Division Terhadap Pencegahan Perilaku Kekerasan.
Media Bina Ilmia,14(10), 3317-3326.
Townsend, M. C., & Morgan, K. I. (2017). Psychiatric mental health
nursing: Concepts of care in evidence-based practice. FA Davis.

Anda mungkin juga menyukai