2) Stres lingkungan
Stres biologi menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang
berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya
gangguan perilaku.
3) Pemicu gejala
merupakan prekursor dan stimulus yang yang sering menunjukkan
episode baru suatu penyakit. Pemicu yang biasa terdapat pada
respon neurobiologik yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan.
Lingkungan, sikap dan perilaku individu (Direja, 2018).
3. Tanda Dan Gejala
Menurut Prakasa (2020) bahwa tanda dan gejala gangguan proses pikir
waham terbagi menjadi 8 gejala yaitu, menolak makan, perawatan diri, emosi,
gerakan tidak terkontrol, pembicaraan tidak sesuai, menghindar, mendominasi
pembicaraan, berbicara kasar
a. Waham Kebesaran
1) DS : Klien mengatakan bahwa ia adalah presiden, Nabi, Wali, artis
dan lainnya yang tidak sesuai dengan kenyataan dirinya.
2) DO :
a) Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
b) Inkoheren ( gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti
c) Klien mudah marah
d) Klien mudah tersinggung
b. Waham curiga
1) DS:
a) Klien curiga dan waspada berlebih pada orang tertentu
b) Klien mengatakan merasa diintai dan akan membahayakan dirinya.
2) DO:
a) Klien tampak waspada
b) Klien tampak menarik diri
c) Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
d) Inkoheren (Gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti).
c. Waham agama
1) DS:
a) Klien yakin terhadap suatu agama secara berlebihan,diucapkan
berulang-ulang
b) Tidak sesuai dengan kenyataan.
2) DO:
a) Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
b) Klien tampak bingung karena harus melakukan isi wahamnya
c) Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis,tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti
d. Waham Somatik
1) DS :
a) Klien mengatakan merasa yakin menderita penyakit fisik
b) Klien mengatakan merasa khawatir sampai panik
2) DO :
a) Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
b) Inkoheren ( gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti )
c) Klien tampak bingung
d) Klien mengalami perubahan pola tidur
e) Klien kehilangan selera makan
e. Waham Nihilistik
1) DS :
a) Klien mengatakan bahwa dirinya sudah meninggal dunia,
diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
2) DO :
a) Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
b) Inkoheren ( gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti )
c) Klien tampak bingung
d) Klien mengalami perubahan pola tidur
e) Klien kehilangan selera makan
f. Waham Bizzare/Sisip Pikir :
1) DS :
a) Klien mengatakan ada ide pikir orang lain yang disisipkan dalam
pikirannya yang disampaikan secara berulang dan tidak sesuai
dengan kenyataan.
b) Klien mengatakan tidak dapat mengambil keputusan
2) DO :
a) Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
b) Klien tampak bingung
c) Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti)
d) Klien mengalami perubahan pola tidur
g. Siar Pikir
1) DS :
a) Klien mengatakan bahwa orang lain mengetahui apa yang dia
pikirkan yang dinyatakan secara berulang dan tidak sesuai
dengan kenyataan.
b) Klien mengatakan merasa khawatir sampai panik
c) Klien tidak mampu mengambil keputusan
2) DO :
a) Klien tampak bingung
b) Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
c) Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti)
d) Klien tampak waspada
e) Klien kehilangan selera makan
h. Kontrol Pikir
1) DS :
a) Klien mengatakan pikirannya dikontrol dari luar
b) Klien tidak mampu mengambil keputusan
2) DO :
a) Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
b) Klien tampak bingung
c) Klien tampak menarik diri
d) Klien mudah tersinggung
e) Klien mudah marah
f) Klien tampak tidak bisa mengontrol diri sendiri
g) Klien mengalami perubahan pola tidur
h) Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti)
4. Macam
Waham dapat di klasifikasikan menjadi beberapa macam, menurut Direja
(2011) yaitu:
Jeni
Pengerti Perilaku Klien
s
an
Wah
am
Keyakinan secara berlebihan bahwa “Saya ini pejabat di
dirinya memiliki kekuatan khusus kementrian Semarang!”
Waham “Saya punya perusahaan
atau kelebihan yang berbeda dengan
Kebesar paling besar lho”.
orang lain, diucapkan berulang-
an
ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
Keyakinan terhadap suatu agama “ Saya adalah Tuhan yang
Wah secara berlebihan, diucapkan bisa menguasai dan
am berulang- ulang tetapi tidak sesuai mengendalikan semua
Aga dengan makhluk”.
ma kenyataan.
Keyakinan seseorang atau “ Saya tahu mereka mau
sekelompok orang yang mau menghancurkan saya, karena
Wah
merugikan atau mencederai dirinya, iri dengan kesuksesan saya”.
am
diucapkan
Curi
berulang-ulang tetapi tidak sesuai
ga
dengan kenyataan
Keyakinan seseorang bahwa tubuh “ Saya menderita
Waha atau sebagian tubuhnya terserang kanker”. Padahal hasil
m penyakit, pemeriksaan lab
Soma diucapkan berulang-ulang tetapi tidak ada sel kanker pada
tik tidak sesuai dengan kenyataan. tubuhnya.
Keyakinan seseorang bahwa dirinya “ Ini saya berada di alam
Waha sudah meninggal dunia, diucapkan kubur ya, semua yang ada
m berulang-ulang tetapi tidak disini adalah roh-rohnya.
Nihilis sesuai dengan
tik kenyataan.
Rentang respon waham yaitu ada respon adaptif dan ada respon
maladaptif :
1. Respon adaptif terdapat pikiran yang logis. Dibagi beberapa bagian :
a. Persepsi Kuat
Dimana apa yang diyakini seseorang tersebut sangatlah kuat dan tidak
bisa di ganggu gugat, serta dapat dibuktikan kebenarannya.
b. Emosi Konsisten
Pengalaman bisa membuat seseorang mengalami atau mempunyai
emosi yang stabil atau tetap.
c. Perilaku sesuai
Perilaku tidak menyimpang dari kenyataan yang ada
d. Berhubungan sesuai
Dalam berhubungan antar teman dan keluarga berbeda, jadi
seharusnya dalam berhubungan kita harus dapat menyesuaikan diri.
2. Dalam rentang respon ada Distorsi pikiran, terdiri dari :
a. Ilusi
Keadaan proses berfikir yang tidak benar tentang mengartikan suatu
benda.
b. Reaksi Emosi
Dimana tingkat emosi seseorang meningkat, tidak lagi stabil atau
konstan.
3. Rentang respon maladaptif terdapat gangguan pikiran. Terbagi beberapa
masalah :
a. Sulit Berespon
Sesorang yang terganggu pikirannya akan susah sekali untuk diajak
berinteraksi.
b. Emosi
Dalam tingkatan ini emosi seseorang sudah tidak lagi bisa terkontrol,
dia mudah marah, dan mudah tersinggung.
c. Perilaku kacau
Dimana seseorang berprilaku tidak sesuai dengan keadaan, mereka
menunjukan prilaku yang sesuai dengan pola pikir mereka tersebut.
6. Diagnosis keperawatan yang terjadi
a. Perubahan Proses Pikir: Waham
b. Harga diri rendah
c. Isolasi diri
d. Gangguan identitas diri
e. Gangguan perfusi sensori
f. Resiko perilaku kekerasan
7. Penatalaksanaan medis
Menurut Prastika (2014) penatalaksanaan medis waham antara lain :
a. Psikofarmalogi
1) Litium Karbonat
Jenis litium yang paling sering digunakan untuk mengatasi gangguan
bipolar, menyusul kemudian litium sitial. Litium masih efektif dalam
menstabilkan suasana hati pasien dengan gangguan bipolar. Gejala
hilang dalam jangka waktu 1-3 minggu setelah minum obat juga
digunakan untuk mencegah atau mengurangi intensitas serangan ulang
pasien bipolar dengan riwayat mania.
2) Haloperidol
Obat antipsikotik (mayor tranquiliner) pertama dari turunan butirofenon.
Mekanisme kerja yang tidak diketahui. Haloperidol efektif untuk
pengobatan kelainan tingkah laku berat pada anakanak yang sering
membangkang dan eksplosif. Haloperidol juga efektif untuk pengobatan
jangka pendek, pada anak yang hiperaktif juga melibatkan aktivitas
motorik berlebih memiliki kelainan tingkah laku seperti: Impulsif, sulit
memusatkan perhatian, agresif, suasana hati yang labil dan tidak tahan
frustasi.
3) Karbamazepin
Karbamazepin terbukti efektif, dalam pengobatan kejang psikomotor,
dan neuralgia trigeminal. Karbamazepin secara kimiawi tidak
berhubungan dengan obat antikonvulsan lain atau obat lain yang
digunakan untuk mengobati nyeri pada neuralgia trigeminal.
a) Pasien hiperaktif atau agitasi anti psikotik potensi rendah
Penatalaksanaan ini berarti mengurangi dan menghentikan agitasi
untuk pengamanan pasien. Hal ini menggunakan penggunaan obat
anti psikotik untuk pasien waham.
b) Antipsikosis atipikal (olanzapin, risperidone). Pilihan awal
Risperidone tablet 1mg, 2mg, 3mg atau Clozapine tablet 25mg,
100mg. Keuntungan
c) Tipikal (klorpromazin, haloperidol), klorpromazin 25100mg.
Efektif untuk menghilangkan gejala positif.
d) Penarikan diri selama potensi tinggi seseorang mengalami waham.
Dia cenderung menarik diri dari pergaulan dengan orang lain dan
cenderung asyik dengan dunianya sendiri (khayalan dan pikirannya
sendiri). Oleh karena itu, salah satu penatalaksanaan pasien waham
adalah penarikan diri yang potensial, Hal ini berarti
penatalaksanaannya penekanankan pada gejala dari waham itu
sendiri, yaitu gejala penarikan diri yang berkaitan dengan
kecanduan morfin biasanya sewaktuwaktu sebelum waktu yang
berikutnya, penarikan diri dari lingkungan sosial
e) ECT tipe katatonik Electro Convulsive Therapy (ECT) adalah
sebuah prosedur dimana arus listrik melewati otak untuk pelatihan
kejang singkat. Hal ini menyebabkan perubahan dalam kimiawi
otak yang dapat mengurangi penyakit mental tertentu, seperti
skizofrenia katatonik. ECT bisa menjadi pilihan jika gejala yang
parah atau jika obat-obatan tidak membantu meredakan episode
katatonik.
f) Psikoterapi Walaupun obat-obatan penting untuk mengatasi pasien
waham, namun psikoterapi juga penting. Psikoterapi mungkin tidak
sesuai untuk semua orang, terutama jika gejala terlalu berat untuk
terlibat dalam proses terapi yang memerlukan komunikasi dua arah.
Yang termasuk dalam psikoterapi adalah terapi perilaku, terapi
kelompok, terapi keluarga, terapi supportif.
8. Komplikasi dan prognosis
Gangguan waham menetap seringkali menimbulkan
komplikasi psikiatris, seperti munculnya depresi, kecemasan, perilaku
kekerasan, smpai bunuh diri. Waham juga sering menimbulkan
Nampak finansil, legal, dan okupasional, angka komorbiditas
gangguan psikiatri lain dengan pasien dengn gangguan waham.
Prognosis gangguan waham menetap tergantung ada atau ada
tidaknya stressor yang bisa diidentifikasi. Stressor yang sering memicu
gangguan waham adalah riwayat imigrasi dalam waktu dekat, konfik
sosial, atau isolasi sosial meskpun mempunyai gejala utama yang
sama, prognosis gangguan waham lebih baik bila di bandingkan
dengan schizophrenia karena umumnya pasien ganguan waham
mempunyai onset yang lebih tua,progrsi penyakit yang lambat, iq yang
lebi tinggi (dr Irwan, 2019).
Manurung, J., & Pardede, J. A. (2022). Mental Nursing Care Management with
Delusion of greatness Problems in Schizophrenic Patients: A Case Study.
10.31219/osf.io/74sr5
Syahfitri, M., Syahdi, D., Syafitri, F., & Pardede, J. A. (2022). Penerapan
Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Gangguan Proses Pikir: Waham
Kebesaran Pendekatan Strategi Pelaksanaan (SP) 1-4: Studi Kasu
Prakasa, A., &Milkhatun, M. (2020). Analisis Rekam Medis Pasien Gangguan Proses
Pikir Waham dengan Menggunakan Algoritma C4. 5 di Rumah Sakit
Atma Husada Mahakam Samarinda. Borneo Student Research (BSR), 2(1),
8-15.
Dr Irawan, (2019), Prognosis Gangguan Waham Menetap,
http://www.alomedika.com
I. Kasus/Masalah Utama
Harga Diri Rendah (HDR)
II. Proses Terjadinya Masalah
A. Definisi
Harga diri rendah adalah perasaan seseorang bahwa dirinya tidak
diterima dilingkungan dan gambaran-gambaran negatif tentang dirinya
(Fitria, Nita. 2009). Harga diri rendah adalah individu yang cenderung
untuk menilai dirinya negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain
(Prabowo, 2014). Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga,
tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang
negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan diri. Adanya perasaan
hilang percaya diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai
keinginan sesuai ideal diri (Keliat, 1998) dalam (Yosep & Iyus, 2014).
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri
sendiri dan kemampuan diri (Direja, 2011).
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa harga diri
rendah adalah gangguan konsep diri dimana individu merasakan
perasaan yang negatif tentang dirinya, dimana individu tersebut merasa
bahwa dirinya tida berguna, tidak berdaya, dan kehilagan rasa percaya
dirinya. Menggap bahwa dirinya tidak diterima dilingkungan, yang
menyebabkan kurangnya komunikasi pada orang lain.
B. Etiologi
Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri
seseorang. Dalam tinjuan life span history klien, penyebab terjadinya
harga diri rendah adalah pada masa kecil sering disalahkan, jarang
diberi pujian atas keberhasilannya. Saat individu mencapai masa
remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan
tidak diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal disekolah,
pekerjaan atau pergaulan. Harga diri rendah muncul saat lingkungan
cenderung mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuannya
(Yosep, 2009).
Menurut Stuart (2006), faktor- faktor yang mengakibatkan harga
diri rendah adalah sebagai berkut :
1. Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang
tua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang
berulang, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang tidak
realistis.
2. Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah stereo type
peran gender, tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya.
3. Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi
ketidakkepercayaan orang tua, tekanan dari kelompok sebaya,
dan perubahan struktur sosial.
Menurut Fitria (2014) faktor predisposisi penyebab harga diri
rendah yaitu :
1. Faktor yang mempengaruhi harga diri, termasuk penolakan
orang tua, harapan orang tua yang tidak realistik.
2. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran, yaitu peran yang
sesuai dengan jenis kelamin, peran dalam pekerjaan dan peran
yang sesuai dengan kebudayaan.
3. Faktor yang mempengaruhi identitas diri, yaitu orang tua yang
tidak percaya pada anak, tekanan teman sebaya dan kultur sosial
yang berubah.
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) penyebab harga diri rendah
dibedakan menjadi dua yaitu factor predisposisi dan stressor
presipitasi.
1. Faktor Predisposisi
Sudah banyak penelitian yang telah dilakukan untuk
gangguan yang mempengaruhi hubungan personal, tetapi belum
ada satu kesimpulan yang spesifik tentang penyebab harga diri
rendah. Kemungkinan karena banyak faktor (multifactor) yang
dapat menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri
seseorang. Faktor ini dapat dibedakan menjadi :
a) Faktor Perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan
akan mencetuskan seseorang hingga mempunyai masalah
respon sosial maladaptive. Ini dapat dimulai sejak bayi,
seperti penolakan orang tua yang menyebabkan anak merasa
tidak dicintai dan mengakibatkan anak gagal dalam mencintai
dirinya dan akan gagal mencintai orang lain. Atau saat anak
berusia 4-6 tahun dimana anak mulai mampu mengungkapkan
inisiatifnya namun pihak keluarga selalu mengekang dan
menghalangi ide atau kreatifitas anak. Sikap orang tua yang
terlalu mengontrol dan mengatur, akan membuat anak merasa
tidak berguna. Beberapa hal ini akan berdampak pada fase
perkembangan selanjutnya.
b) Faktor Sosiokultural
Isolasi sosial merupakan gangguan dalam berhubungan, ini
akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap
orang lain tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak
produktif seperti lansia, orang cacat, dan penyakit kronik.
Harapan yang tidak realistik terhadap hubungan merupakan
faktor lain yang berkaitan dengan gangguan ini.
c) Faktor Biologis
Faktor genetic dapat menunjang terhadap respon sosial
maladaptif. Ada bukti terdahulu tentang terlibatnya
neurotransmitter dalam perkembangan gangguan ini namun
masih tetap diperlukan penelitian lebih lanjut.
2. Faktor presipitasi
Menurut Yosep (2009), faktor presipitasi terjadinya harga
diri rendah biasanya adalah kehilangan bagian tubuh,
perubahan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau
produktivitas yang menurun. Secara umum, gangguan konsep
harga diri rendah dapat terjadi secara situasional atau
kronik.secara situasional karena trauma yang muncul secara
tiba-tiba, misalnya harus dioperasi, kecelakaan,perkosaan,atau
penjara, termasuk dirawat di rumah sakit bisa menyebabkan
harga diri rendah disebabkan karena penyakit fisik atau
pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman.
Harga diri rendah kronik, biasanya dirasakan klien sebelum
sakit atau sebelum dirawat klien sudah memiliki pikiran negatif
dan meningkat saat dirawat.
C. Tanda dan Gejala
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat
tindakan terhadap penyakit. Misalnya : malu dan sedih karena
rambut jadi botak setelah mendapat terapi sinar pada kanker.
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri. Misalnya : ini tidak akan terjadi
jika saya segera ke rumah sakit, menyalahkan/ mengejek dan
mengkritik diri sendiri.
3. Merendahkan martabat. Misalnya : saya tidak bisa, saya tidak
mampu, saya orang bodoh dan tidak tahu apa-apa.
4. Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri. Klien tidak ingin
bertemu dengan orang lain, lebih suka sendiri.
5. Percaya diri kurang. Klien sukar mengambil keputusan, misalnya
tentang memilih alternatif tindakan.
6. Mencederai diri. Akibat harga diri yang rendah disertai harapan
yang suram, mungkin klien ingin mengakhiri kehidupan.
D. Proses Penyakit
Harga diri rendah seseorang didapatkan dari diri sendiri dan orang
lain. Gangguan harga diri rendah akan terjadi ketika perlakuan orang
lain mengancam dirinya. Tingkat harga diri seseorang berada dalam
tingkat tinggi sampai rendah. Seseorang yang mempunyai harga diri
tinggi maka dapat beradaptasi dengan lingkungan secara efektif,
sedangkan jika seseorang memiliki harga diri yang rendah maka
lingkungan yang dilihat akan terasa mengancam bagi dirinya.
Penyebab harga diri rendah juga dapat terjadi pada masa kecil
sering disalahkan, jarang diberi pujian diatas atas keberhasilannya.
Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang dihargai,
tidak diberi kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal
sering gagal sekolah, pekerjaan atau pergaulan.
Seseorang yang berada pada siuasi stressor berusaha
menyelesaikannya tapi tidak tuntas serta tambah pikiran tidak mampu
atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran itu bisa disebut
dengan kondisi harga diri rendah situasional, jika pada situasi tersebut
lingkungan tidak mendukung positif dan justru menyalahkan secara
terus-menerus maka akan mengakibatkan harga diri rendah kronis.
E. Karakteristik Harga Diri Rendah
Karakteristik perilaku yang ditunjukkan kepada klien harga diri
rendah menurut Stuart dan Sundeen (1998:230) meliputi mengkritik
diri sendiri / orang lain, penurunan produktifitas, destruktif yang
diarahkan kepada orang lain atau diri sendiri, gangguan dalam
berhubungan, rasa diri penting yang berlebihan, perasaan tidak
mampu, rasa bersalah, mudah tersinggung atau mudah marah yang
berlebih, perasaan negatif terhadap dirinya sendiri, ketegangan peran
yang dirasakan, pandangan hidup yang pesimis, keluhan fisik,
pandangan hidup yang bertentangan, penolakan terhadap kemampuan
personal, destruktif terhadap diri sendiri, pengurungan diri, menarik
diri secara sosial, penyalahgunaan zat, menarik diri dari realita, dan
khawatir.
F. Rentang Respon
Keterangan :
1. Aktualisasi diri
Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang
positif dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan
dapat diterima.
2. Konsep diri positif
Konsep diri positif merupakan bagaimana seseorang memandang
apa yang ada pada dirinya meliputi citra dirinya. Ideal dirinya harga
dirinya, penampilan peran serta identitas dirinya secara positif. Hal
ini akan menunjukan bahwa individu itu akan menjadi individu
yang sukses.
3. Harga diri rendah
Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap dirinya
sendiri, termasuk kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak,
berguna, pesimis tidak ada harapan dan putus asa. Adapun perilaku
yang berhubungan dengan harga diri yang rendah yaitu mengkritik
diri sendiri atau orang lain, penurunan produktivitas, destruktif yang
diarahkan kepada orang lain, ganguan dalam berhubungan, perasaan
tidak mampu, rasa bersalah, perasaan negatif mengenai tubuhnya
sendiri, keluhan fisik, menarik diri secara sosial, khawatir, serta
menarik diri dari realitas.
4. Kerancuan Identitas
Kerancuan identitas merupakan suatu kegagalan individu untuk
mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak-kanak kedalam
kepribadian psikososial dewasa yang harmonis. Adapun perilaku
yang berhubungan dengan keracuan identitas yaitu tidak ada kode
moral, sifat kepribadian yang bertentangan, hubungan interpersonal
eksploitatif, perasaan hampa. Perasaan mengambang tentang diri
sendiri, tingkat ansietas yang tinggi, ketidak mampuan untuk empati
terhadaapa orang lain.
5. Depersonalisasi
Despersonalisasi merupakan suatu perasaan yang tidak realistis
dimana klien tidak dapat membedakan stimulus dari dalam atau luar
dirinya. Individu mengalami kesulitan untuk membedakan dirinya
sendiri dari orang lain, dan tubuhnya sendiri merasa tidak nyata dan
asing baginya. Hal ini berhubungan dengan tingkat ansietas panik
dan kegagalan dalam uji realitas. Individu mengalami kesulitan
dalam membedakan diri sendiri dan orang lain dan tubuhnya sendiri
terasa tidak nyata dan asing baginya.
G. Pemeriksaan Dasar dan Penunjang
Pengkajian, bagian ini berisi pedoman agar perawat da[at
menangani pasien yang mengalami diagnosis keperawatan harga diri
rendah, baik menggunakan pendekatan secara individu ataupun
kelompok. Tahap pertama pengkajian meliputi faktor predisposisi
seperti: psikologis, tanda dan tingkah laku klien dan mekanisme
koping klien.
H. Diagnosis Medis Yang Terkait
1. Skizofrenia
2. Depresi
I. Penatalaksanaan Medis
1. Psikofarmako
a) Cloppromazine (CPZ)
Indikasi untuk sindrom psikologis yaitu berat dalam kemampuan
menilairealistis, kesadaran diri terganggu, waham, halusinasi,
gangguan perasaandan perilaku aneh
Efek samping sedasi, gangguan otonomik dan endokrin
b) Haloperidol (HPL)
Indikasi : berdaya berat dalam kemampuan menilai realistis
dalam fungsi netral serta fungsi kehidupan sehari-hari
c) Trihexypheridyl (THP)
Indikasi : Segala jenis penyakit parkinson, termasuk pasca
enchepalitis danidiopatik
Efek samping : hpersensitive terhadap trihexyphenidyl, psinosis
berat, psikoneurosis, dan obstruksi saluran cerna
J. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi Harga diri rendah dapat berisiko terjadinya isolasi
sosial : menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari
interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain
bisa mengakibatkan resiko perilaku kekerasan.
III. A. Pohon Masalah
Pohon masalah
Isolasi sosial
- Jelaskan
tujuan
pertemuan
- Jujur dan menepati
janji
- Tunjukan sikap
empati dan
menerima klien
apa adanya.
- Beri perhatian
dan perhatikan
kebutuhan dasar
klien.
Klien 2. Klien 2.1 Diskusikan dengan
dapat menyebutk klien tentang:
mengdentifi an:
ka si aspek - Aspek positif
positif dan - Aspek yang dimiliki klien,
kemampuan positif dan keluarga,
yang kemampuan lingkungan.
dimiliki yang dimiliki
klien - Kemampuan
yang dimiliki
- Aspek klien.
positif
keluarga 2.2 Bersama klien
buat daftar
- Aspek tentang:
positif
lingkungan - Aspek positif
klien klien, keluarga,
lingkungan
- Kemampuan
yang dimiliki
klien
5.4 Diskusikan
kemungkinan
pelaksanaan
kegiatan setelah
pulang.
VI. Implementasi
1. Tujuan Keperawatan Pada Pasien
a. Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
b. Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
c. Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya
d. Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya
e. Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengendalikan perilaku
kekerasannya
f. Pasien dapat mencegah/menegdalikan perilaku kekerasannya secara
fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
2. Tindakan Keperawatan Pada Pasien
a. Bina hubungan saling percaya
b. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan sekarang dan
yang lalu
c. Dsikusikan perasaan, tanda, dan gejala yang dirasakan pasien jika
terjadi penyebab perilaku kekerasan
d. Diskusikan bersama pasien tentang perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan pada saat marah
e. Diskusikan bersama pasien akibat perilaku kekerasan yang ia lakukan
f. Diskusikan bersama pasien cara mengendalikan perilaku kekerasan
g. Bantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara fisik
h. Bantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara
sosial/verbal
i. Bantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara spiritual
j. Bantu pasien mengendalikan perilaku kekerasan dengan patuh minum
obat
k. Ikut sertakan pasien dalam TAK stimulasi persepsi untuk
mengendalikan perilaku kekerasan.
SP 1 pasien :
Membina hubungan saling peraya, mengidentifikasi penyebab marah,
tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang dilakukan,
akibat, dan cara mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik
pertama (latihan nafas dalam).
SP 2 pasien : Membantu pasien latihan mengendalikan perilaku
kekerasan dengan cara fisik kedua (evaluasi latihan nafas dalam, latihan
mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik kedua (pukul kasur
dan bantal), menyusun jadwal kegiatan harian cara kedua.
SP 3 pasien : Membantu pasien latihan mengendalikan perilaku
kekerasan secara sosial/verbal (evaluasi jadwal harian tentang dua cara
fisik mengedalikan perilaku kekerasan, latihan mengungkapkan rasa marah
secara verbal (menolak dengan baik, meminta dengan baik,
mengungkapkan perasaan dengan baik), susun jadwal latihan
mengungkapkan marah secara verbal).
SP 4 pasien : Bantu pasien latihan mengendalikan perilaku
kekerasan secara spiritual (diskusikan hasil latihan mengendalikan perilaku
kekerasan secara fisik dan sosial/verbal, latihan beribadah dan berdoa, buat
jadwal latihan ibadah/berdoa).
SP 5 pasien : Membantu pasien latihan mengendalikan perilaku
kekerasan dengan obat (bantu pasien minum obat secara teratur dengan
prinsip lima benar [benar nama pasien/pasien, benar nama obat, benar cara
minum obat, benar waktu minum obat, dan benar dosisi obat] disertai
penjelasan guna obat dan akibat berhenti minum obat, susun jadwal
minum obat secara teratur.
3. Tindakan keperawatan pada keluarga
a. Tujuan Keperawatan
Keluarga dapat merawat pasien di rumah
b. Tindakan keperawatan
1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien
2) Diskusikan bersama kelurga tentang perilaku kekerasan (penyebab,
tada dan gejala, perilaku yang muncul, dan akibat dari perilaku
tersebut)
3) Diskusikan bersama keluarga tentang kondisi pasien yang perlu
segera dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul
benda/orang lain
4) Bantu latihan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan
5) Buat rencana pulang bersama keluarga
DAFTAR PUSTAKA
Aziz R, dkk, 2017. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr.
Amino Gonohutomo.
Direja, A.H. 2017. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha
Medika.
Fitria, Nita. 2019. Prinsip Dasar & Aplikasi Laporan Pendahuluan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Kelia, B.A. 2016. Model Praktek Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.
Keliat Budi Ana. 2016. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC
Prabowo, E. 2018. Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta :
Nuha Medika.
Stuart, G.W. 20015. Keperawatan Psikiatrik: Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5.
Jakarta : EGC.
Yosep, Iyus. 2016. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika Adiatma.
VII.Kasus/Masalah Utama
Isolasi Sosial
VIII. Proses Terjadinya Masalah
A. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang
lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian,
dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba,
dkk. 2018). Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang
merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya
dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan
(Dalami, dkk. 2019).
Isolasi soaial adalah pengalaman kesendirian seorang individu yang
diterima sebagai perlakuan dari orang lain serta sebagai kondisi yang negatif
atau mengancam (Wilkinson, 2017). Isolasi sosial adalah suatu keadaan
kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain menyatakan sikap
yang negatif dan mengancam (Twondsend, 2016). Suatu keadaan dimana
seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak,
tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Budi
Anna Kelliat, 2017).
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi
dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Pawlin, 2013
dikutip Budi Kelliat, 2016). Faktor perkembangan dan sosial budaya
merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku isolasi sosial (Budi Anna
Kelliat, 2016).
B. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
a. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus
dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan
ini tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan
selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan
pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang
lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan
dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak aman
yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa
ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku
curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari.
Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak
tidak mersaa diperlakukan sebagai objek.
4. Faktor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota
keluarga yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada
kembar monozigot apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah
58%, sedangkan bagi kembar dizigot persentasenya 8%. Kelainan pada
struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan
volume otak serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan
skizofrenia.
5. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh
faktor internal maupun eksternal, meliputi:
b) Stressor Biokimia
1) Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan
mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi
terjadinya skizofrenia.
2) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan
MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka
menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya
skizofrenia.
3) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan
pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami
penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme,
adanya peningkatan maupun penurunan hormon adrenocortical
seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik.
4) Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-
gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat
merubah stuktur sel-sel otak.
c) Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia
sering terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun
biologis.
d) Stressor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya
kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas
kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya
kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan menimbulkan
berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.
4. Rentang Respon
Menurut
Stuart Sundeen
dalam Sutejo
tentang respon
klien ditinjau
dari
a. Respon Adaptif
Menurut
Sutejo (2017)
respon adaptif
adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan
kebudayan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu
tersebut masih dalam batas
normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut adalah sikap yang
termasuk respon adaptif:
a) Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan
apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya.
b) Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
c) Kebersamaan, kemampuan individu dalam hubungan interpersonal
yang saling membutuhkan satu sama lain.
d) Saling ketergantungan (Interdependen), suatu hubungan saling
ketergantungan antara individu dengan orang lain.
b. Respon Maladaptif
Menurut Sutejo (2017) respon maladaptif adalah respon yang
menyimpang dari norma sosial dan kehidupan di suatu tempat. Berikut ini
adalah perilaku yang termasuk respon maladaptif:
a) Manipulasi, kondisi dimana individu cenderung berorientasi pada diri
sendiri.
b) Impulsif merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu
sebagai subjek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya dan
tidak mampu melakukan penilaian secara objektif.
c) Narsisisme, kondisi dimana individu merasa harga diri rapuh, dan
mudah marah.
5. Pemeriksaan Dasar dan Penunjang
Pemeriksaan fisik mencakup semua sistem yang ada hubungannya
dengan klien depresi berat didapatkan pada sistem integumen klien tampak
kotor, kulit lengket di karenakan kurang perhatian terhadap perawatan dirinya
bahkan gangguan aspek dan kondisi klien.
6. Diagnosis Medis Yang Terkait
a. Resiko gangguan persepsi sensori : Halusinasi
b. Isolasi sosial
c. Gangguan konsep diri : Harga Diri Rendah
7. Penatalaksanaan Medis
a. Terapi Psikofarmaka
1) Chlorpromazine
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas,kesadaran diri terganggu, daya ingat
norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam
fungsifungsi mental: faham, halusinasi. Gangguan perasaan dan
perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi
kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja, berhubungan sosial dan
melakukan kegiatan rutin.
Mempunyai efek samping gangguan otonomi (hypotensi)
antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi,
hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi,
gangguan irama jantung. Gangguan ekstra pyramidal (distonia akut,
akathsia sindrom parkinson). Gangguan endoktrin (amenorhe).
Metabolic (Soundiee). Hematologik, agranulosis. Biasanya untuk
pemakaian jangka panjang. Kontraindikasi terhadap penyakit hati,
penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2019).
2) Haloperidol (HLP)
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi
mental serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek
samping seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi, hidung
tersumbat mata kabur , tekanan infra meninggi, gangguan irama
jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah,
epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2019).
b. Trihexyphedil (THP)
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan
idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan fenotiazine.
Memiliki efek samping diantaranya mulut kering, penglihatan kabur, pusing,
mual, muntah, bingung, agitasi, konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi
urine. Kontraindikasi terhadap hypersensitive Trihexyphenidil (THP),
glukokoma sudut sempit, psikosis berat psikoneurosis (Andrey, 2019).
1) Terapi individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat
diberiana strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan
masing-masing strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu,
perawat mengidentifikasi penyebab isolasi sosial, berdiskusi dengan
pasien mengenai keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi da n tidak
berinteraksi dengan oranga lain, mengajarkan cara berkenalan dan
memasukkan latihan berbincang-bincang dengan orang lain ke dalam
kegiatan harian. Pada SP dua, perawat mengevaluasi jadal kegiatan
harian pasien, memberikan kesempatan pasien cara berkenalan dengan
satu orang dan membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-
bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP
tiga, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi
kesempatan untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih dan
menganjurkan pasien memasukkan ke dalam jadal kegiatan hariannya
(Purba, dkk. 2018)
c. Terapi kelompok
Menurut (Purba, 2018), aktivitas pasien yang mengalami
ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar yaitu :
1. Activity Daily Living (ADL), tingkah laku yang berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang meliputi :
a) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam
kegiatan mandi dan sesudah mandi.
b) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
keperluan berganti pakaian.
c) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu,
sedang dan setelah makan dan minum.
d) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan dengan
kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan
kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.
e) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti dan
dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak
menggunakan/menaruh benda tajam "
f) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien untuk
pergi tidur Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi tidur ini
perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala primer yang
muncul padagangguan jiwa. Dalam hal ini yang dinilai bukan gejala
insomnia (gangguan tidur) tetapi bagaimana pasien mau mengawali
tidurnya.
8. A. Pohon Masalah
Pathway Isolasi Sosial
Sumber:
(Keliat, 2016)
B. Masalah
Keperawatan
dan Data Yang
Perlu Dikaji
1. 1. Masalah Keperawatan
a. Resiko perubahan sensori persepsi berhubungan dengan
menarik diri.
b. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri
rendah
c. Gangguan konsep diri : harga diri rendah berhubungan dengan
tidak efektifnya koping individu : koping defensif.
2. Data Yang Perlu Dikaji :
a. Data Subyektif : Pasien mengungkapkan tentang
1) Perasaan sepi
2) Perasaan tidak aman
3) Perasaan bosan dan waktu terasa lambat
4) Ketidakmampuan berkonsentrasi
5) Perasaan ditolak
b. Data Obyektif :
1) Banyak diam
2) Tidak mau bicara
3) Menyendiri
4) Tidak mau berinteraksi
5) Tampak sedih
6) Ekspresi datar dan dangkal
7) Kontak mata kurang
9. Diagnosis Keperawatan
a. Resiko perubahan sensori persepsi berhubungan dengan menarik diri.
b. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
c. Gangguan konsep diri : harga diri rendah berhubungan dengan tidak
efektifnya koping individu : koping defensif.
10. Rencana dan Implementasi Tindakan Keperawatan
a. Gangguan isolasi sosial : menarik diri
Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak
terjadi halusinasi
Tujuan Khusus :
a) Klien dapat membina hubungan saling
percaya Tindakan :
Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip
komunikasi terapeutik dengan cara :
1. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
2. Perkenalkan diri dengan sopan
3. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
4. Jelaskan tujuan pertemuan
5. Jujur dan menepati janji
6. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
7. Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar
klien
b) Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Tindakan :
1. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-
tandanya
2. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan
penyebab menarik diri atau mau bergaul
3. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-
tanda serta penyebab yang muncul
4. Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan
perasaannya
Anna Budi Keliat, SKp. 2016. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial
Menarik Diri, Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Keliat Budi Ana. 2017. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC
Kusumawati dan Hartono. 2013. Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba
Medika.
Nita Fitria. 2018. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta: Salemba Medika.
F. Rentang Respon
1.Pola perawatan
untuk
.
DAFTAR PUSTAKA
Erlando, R. P. A. 2019. Terapi Kognitif Perilaku dan Defisit Perawatan Diri: Studi
Literatur. ARTERI: Jurnal Ilmu Kesehatan, 1(1), 94-100.
https://doi.org/10.37148/arteri.v1i1.9
Pinedendi, N., Rottie, J., & Wowiling, F. 2016. Pengaruh Penerapan Asuhan
Keperawatan Defisit Perawatan Diri Terhadap Kemandirian Personal
Hygiene Pada Pasien di RSJ. Prof. VL Ratumbuysang Manado Tahun 2016.
JURNAL KEPERAWATAN, 4(2).
Putra, R. S., & Hardiana, S. 2019. Komunikasi Terapeutik Perawat Pada Pasien
Dengan Masalah Defisit Perawatan Diri. In Prosiding Seminar Nasional
(pp.152-156).
http://prosiding.stikesmitraadiguna.ac.id/index.php/PSNMA/article/view/21
VI. IMPLEMENTASI
KLI KELUAR
EN GA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi benda-benda yang 1. Mendiskusikan masalah yang
dapat membahayakan klien dirasakan keluarga dalam merawat
2. Mengamankan benda-benda klien
yang dapat membahayakan klien 2. Menjelaskan pengertian, tanda gejala
3. Melakukan kontrak treatment resiko bunuh diri dan jenis prilaku
4. Mengajarkan cara bunuh diri yang dialami klien beserta
mengendalikan dorongan bunuh diri proses terjadinya menjelaskan cara-
5. Melatih cara mengendalikan cara merawat klien resiko bunuh diri
dorongan 3. Menjelaskan cara-cara merawat
bunuh diri klien
resiko bunuh diri
SP 2 SP 2
1. Mengidentifikasi aspek positif klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Mendorong apsien untuk merawat klien dengan resiko bunuh
berpikir positif terhadap diri diri
3. Mendorong klien untuk 2. Melatih keluarga melakukan cara
menghargai diri sebagai individu merawat langsung kepada klien resiko
yang berharga dunuh diri
SP 3 SP 3
1. Mengidentivikasi pola koping 1. Membantu keliarga membuat jadwal
yang biasa diterapkan klien aktivitas dirumah termasuk minum
2. Menilai pola koping yang obat
biasa dilakukan 2. Mendiskusikan sumber rujukan
3. Mengidentifikasi pola koping yang yang biasa dijangkau oleh keluarga
konstruktif
4. Mendorong klien memilih pola
koping yang konstruktif
5. Menganjurkan klien menerapkan
pola
koping konstruktif dalam kegiatan
harian
SP 4
1. Membuat rencana masa depan yang
realistis bersama klien
2. Mengidentifikasi cara
mencapai rencana masa depan yang
realistis
3. Memberi dorongan klien
melakukan
kegiatan dalam rangka meraih masa
depan yang realistis
DAFTAR PUSTAKA
Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2010.Stategi Belajar Mengajar .Jakarta: Rineka
2. ETIOLOGI
Menurut Nurhalimah (2018) Proses terjadinyaperilaku kekerasan pada
pasien akan dijelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi stuart
yang meliputi faktor prediposisi dan presipitasi.
a. Faktor Predisposisi
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls
agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau
menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem
informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada
sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu
tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku
tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis
mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif.
Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight
atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons
terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara
perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang
menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang
menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan
epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam
kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan
dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran
mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut
ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh,
atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif.
Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama
tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang
dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan
orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau
mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan
hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan
setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara
umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan
masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan,
apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak
dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan
lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya
keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
b. Faktor Presipitasi
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
adaptif maladaptif
5. PEMERIKSAAN PENUNJAG
Meskipun pemeriksaan diagnostik merupakan pemeriksaan penunjang,
tetapi peranannya penting dalam menjelaskan dan mengkuantifikasi disfungsi
neurobioalogis, memilih pengobatan, dan memonitor respon klinis (Maramis,
2019).
Menurut Doenges (2020), pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk
penyakit fisik yang dapat menyebabkan gejala neversibel seperti kondisi
defisiensi/toksik, penyakit neurologis, gangguan metabolik/endokrin.
Serangkaian tes diagnostik yang dapat dilakukan pada Skizofreniz Paranoid
adalah sebagai berikut :
a. Computed Tomograph (CT) Scan
Hasil yang ditemukan pada pasien dengan skizofreniz berupa abnormalitas
otak seperti atrofi lobus temporal, pembesaran ventrikel dengan rasio
ventrikel-otak meningkat yang dapat dihubungkan dengan derajat gejala
yang dapat dilihat.
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat memberi gambaran otak tiga dimensi, dapat memperlihatkan
gambaran lebih kecil dari lobus frontal rata-rata, atrofi lobus temporal
(terutama hipokampus, girus parahipokampus, dan girus temporal
superior).
c. Positron Emission Tomography (PET)
Alat ini dapat mengukur aktivitas metabolik dari area spesifik otak dan
dapat menyatakan aktivitas metabolik yang rendah dari lobus frontal,
terutama pada area prefrontal dari korteks serebral.
d. Pegional Cerebral Blood Flow (RCBF)
Alat yang dapat memetakan aliran darah dan menyatakan intensitas
aktivitas pada darah otak yang bervariasi.
e. Brain Electrical Activity Mapping (BEAM)
Alat yang dapat menunjukkan respon gelombang otak terhadaprangsangan
yang bervariasi disertai dengan adanya respons yang terhambat dan
menurun, kadang-kadang dilobus frontal dan sistem limbik.
f. Addiction Severity Index (ASI)
ASI dapat menentukan masalah ketergantungan (ketergantungan zat), yang
mungkin dapat dikaitkan dengan penyakit mental, dan mengidentifikasi
area pengobatan yang diperlukan.
g. Electroensephalogram (EEG)
Dari pemeriksaan didapatkan hasil yang mungkin abnormal, menunjukkan
ada atau luasnya kerusakan organik pada otak.
6. DIAGNOSIS MEDIS
h. Resiko perilaku kekerasan
i. Waham : kebesaran
j. Harga diri rendah
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Terapi Somatik
Menurut (Depkes RI, 2019, hal 230) menerangkan bahwa terapi Somatik
adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan
tujuan mengubah perilaku yang maladaptife menjadi perilaku adaktif
dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik klien,
tetapi target terapi adalah perilaku klien.
2. Terapi Kejang Listrik
Terapi kejang listrik atau elektronik convulsi therapy (ECT) adalah bentuk
terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis
klien. Terapi ini adalah awalnya untuk mengenai klien skizofrenia
membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah 2-3 kali sekali
(dua minggu sekali)
3. Peran Serta Keluarga
Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan perawatan
langsung pada setiap keadaan pasien. Keluarga yang mempunyai
kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladatif,
menanggulangi perilaku maladaptive, dan memulihkan perilaku maladatif
ke perilaku adatif sehingga derajat kesehatan pasien dapat ditingkatkan
secara optimal.
4. Terapi Farmakologi
Pasien dengan perilaku kekerasan perlu peawatan dan pengobatan yang
tepat. Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis
efektif tinggi contoh : Clorpromazine HCL yang berguna untuk
mengendalikan spikomotornya. Bila tidak ada dapat digunakan dosis efektif
rendah, contohnya Trifluoperazine estelasine, bila tidak ada juga maka dapat
digunakn Transquilizer bukan obat antipsikotik seperti neuroleptika, tetapi
meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan
anti agitasi.
5. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, ini bukan pemberian
pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini
tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti
membaca koran, bermain catur. Terapi ini merupakan langkah awal yang
harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya
seleksi dan ditentukannnya program kegiatannya.
8. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
menciderai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko menciderai merupakan
suatu tindakan yang memungkinkan dapat melukai/membahayakan diri, orang
lain, dan lingkungan.
III. A. POHON MASALAH
(EFEK) : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Obyektif:
1. Wajah agak merah
2. Mata merah
3. Nada suara tinggi dan keras
4. Pandangan tajam
5. Klien mengamuk
6. Klien merusak atau melempar barang-barang
7. Melakukan tindakan kekerasan pada orang
di sekitarnya
Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Subyektif:
Rendah 1. Klien merasa tidak berguna
2. Klien mengungkapkan perasaan
Obyektif:
1. Kehilangan minat melakukan aktivitas
2. Klien lebih suka sendiri dan bingung
Azis, N. R., Sukamto, E., & Hidayat, A. (2018). Pengerun Terapi De-Ekslasi
Terhadap Perubahan Perilaku Pasien dengan Resiko Perilaku Kekerasan di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda.
Estika Mei Wulansari, Estika. Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien Dengan Resiko
Perilaku Kekerasan Dirumah Sakit Daerah Dr Arif Zainuddin Surakarta. Diss.
Universitas Kusuma Husada Surakarta, 2021.
Hastuti, R. Y., Agustina, N., & Widiyatmoko, W. (2019). Pengaruh
restrain terhadap penurunan skore panss EC pada pasien skizofrenia
dengan perilaku kekerasan. Jurnal Keperawatan Jiwa, 7(2), 135-144.
3. Kandar, K., & Iswanti, D. I. (2019). Faktor Predisposisi dan Prestipitasi
Pasien Resiko Perilaku Kekerasan. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 2(3), 149-
156.
Kemenkes RI. (2019). Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS.Jakarta:
Kemenkes RI
Pardede, J. A. (2019). The Effects Acceptance and Aommitment Therapy
and Health Education Adherence to Symptoms, Ability to Accept and
Commit to Treatment and Compliance in Hallucinations Clients Mental
Hospital of Medan, North Sumatra. J Psychol Psychiatry Stud, 1, 30-35.
Pardede, J. A. (2020). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa DenganMasalah Risiko
Perilaku Kekerasan. doi: 10.31219/osf.io/we7zm
11.
Pardede, J. A. (2020, November 12). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa
Dengan Masalah Risiko Perilaku. Kekerasan.
https://doi.org/10.31219/osf.io/we7zm
Pardede, J. A., Simanjuntak, G. V., & Laia, R. (2020). The Symptoms of
Risk of Violence Behavior Decline after Given Prgressive Muscle
Relaxation Therapy on Schizophrenia Patients. Jurnal Ilmu Keperawatan
Jiwa, 3(2), 91-100. 10.
Pardede, J. A., Siregar, L. M., & Halawa, M. (2020). Beban dengan
Koping Keluarga Saat Merawat Pasien Skizofrenia yang Mengalami
Perilaku Kekerasan. Jurnal Kesehatan, 11(2), 189-196.
http://dx.doi.org/10.26630/jk.v11i2.1980
Parwati, I. G., Dewi, P. D., & Saputra, I. M. (2018). Asuhan Keperawatan
PerilakuKesehatan.https://www.academia.edu/37678637/ASUHAN
KEPERAWATAN_PERILAKU_KEKERASAN
Putri, M., Arif, Y., & Renidayati, R. (2020). Pengaruh Metode Student
Team Achivement Division Terhadap Pencegahan Perilaku Kekerasan.
Media Bina Ilmia,14(10), 3317-3326.
Townsend, M. C., & Morgan, K. I. (2017). Psychiatric mental health
nursing: Concepts of care in evidence-based practice. FA Davis.