Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN IDENTITAS DIRI: HALUSINASI


I. KASUS ( MASALAH UTAMA)
Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. DEFINISI
Halusinasi merupakan suatu penyerapan panca indera tanpa ada
rangsangan dari luar, orang sehat persepsinya akurat,mampu
mengidentifikasi dan menginter prestasikan stimulus berdasarkan
informasi yang diterimanya melalui panca indera (Aritonang, 2021).
Halusinasi pendengaran paling sering terjadi ketika klien mendengar
suara-suara, halusinasi ini sudah melebur dan pasien merasa sangat
ketakutan, panik dan tidak bisa membedakan antara khayalan dan
kenyataan yang dialaminya (Titania, 2021). Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa halusinasi pendengaran adalah persepsi atau
tanggapan dari pancaidera (Mendengar) terhadap stimulus yang tidak
nyata yang mempengaruhi perilaku individu.
2. ETIOLOGI
Faktor predisposisi klien halusinasi menurut(Hendy, 2021):
a. Faktor Predisposisi
1) Biologis Faktor
biologis terkait dengan adanya neuropatologi dan
ketidakseimbangan dari neurotransmiternya. Dampak yang dapat dinilai
sebagai manifestasi adanya gangguan adalah perilaku maladaptif klien .
Secara biologi riset neurobiologikal memfokuskan pada tiga area otak
yang dipercaya dapat melibatkan klien mengalami halusinasi yaitu sistem
limbik, lobus frontalis dan hypothalamus.
Pada klien dengan halusinasi diperkirakan mengalami kerusakan
pada sistem limbic dan lobus frontal yang berperan dalam pengendalian
atau pengontrolan perilaku, kerusakan pada hipotalamus yang berperan
dalam pengaturan mood dan motivasi. Kondisi kerusakan ini
mengakibatkan klien halusinasi tidak memiliki keinginan dan motivasi
untuk berperilaku secara adaptif. Klien halusinasi juga diperkirakan
mengalami perubahan pada fungsi neurotransmitter, perubahan dopamin,
serotonin, norepineprin dan asetilkolin yang menyebabkan adanya
perubahan regulasi gerak dan koordinasi, emosi, kemampuan
memecahkan masalah; perilaku cenderung negatif atau berperilaku
maladaptif; terjadi kelemahan serta penurunan atensi dan mood. Genetik
juga dapa memicu terjadi halusinasi pada seorang individu.
Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif.
Terjadinya penyakit jiwa pada individu juga dipengaruhi oleh
keluarganya dibanding dengan individu yang tidak mempunyai penyakit
terkait. Banyak riset menunjukkan peningkatan risiko mengalami
skizofrenia pada individu dengan riwayat genetik terdapat anggota
keluarga dengan skizofrenia. Pada kembar dizigot risiko terjadi
skizofrenia 15%, kembar monozigot 50%, anak dengan salah satu orang
tua menderita skizofrenia berisiko 13%, dan jika kedua orang tua
mendererita skizofrenia berisiko 45%.
2) Psikologis
Meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas,
pengalaman masa lalu, koping dan keterampilan komunikasi secara
verbal . Konsep diri dimulai dari gambaran diri secara keseluruhan yang
diterima secara positif atau negatif oleh seseorang. Penerimaan gambaran
diri yang negative menyebabkan perubahan persepsi seseorang dalam
memandang aspek positif lain yang dimiliki. Peran merupakan bagian
terpenting dari konsep diri secara utuh. Peran yang terlalu banyak dapat
menjadi beban bagi kehidupan seseorang, hal ini akan berpengaruh
terhadap kerancuan dari peran dirinya dan dapat menimbulkan depresi
yang berat. Ideal diri adalah harapan, cita-cita serta tujuan yang ingin
diwujudkan atau dicapai dalam hidup secara realistis. Identitas diri terkait
dengan kemampuan seseorang dalam mengenal siapa dirinya, dengan
segala keunikannya.

Harga diri merupakan kemampuan seseorang untuk menghargai


diri sendiri serta member penghargaan terhadap kemampuan orang lain.
Klien yang mengalami halusinasi memandang dirinya secara negatif
sering mengabaikan gambaran dirinya, tidak memperhatikan
kebutuhannya dengan baik. Intelektualitas ditentukan oleh tingkat
pendidikan seseorang, pengalaman dan interaksi dengan lingkungan
ketika mengalami halusinasi. Kepribadian pada klien halusinasi biasanya
ditemukan klien memiliki kepribadian yang tertutup. Klien tidak mudah
menerima masukan dan informasi yang berkaitan dengan kehidupan
klien. Klien juga jarang bergaul dan cenderung menutup diri. Klien
memiliki ketidakmampuan untuk mengevaluasi atau menilai keadaan
dirinya dan tidak mampu memutuskan melakukan peningkatan keadaan
menjadi lebih baik. Moralitas pandangan negatif terhadap diri sendiri ini
menyebabkan klien mengalami penurunan motivasi untk melakukan
aktifitas.
Kesimpulannya, adanya penilaian diri yang negatif pada diri klien
dengan halusinasi menyebabkan tidak ada tanggung jawab secara moral
pada klien untuk melakukan aktifitas. Menurut beberapa penjelasan di
atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa jika mempunyai pengalaman
masa lalu yang tidak menyenangkan, klien mempunyai konsep diri
negatif, intelektualitas yang rendah, kepribadian dan moralitas yang tidak
adekuat merupakan penyebab secara psikologis untuk terjadinya
halusinasi. Klien halusinasi memerlukan perhatian yang cukup besar
untuk dapat mengembalikan konsep diri yang seutuhnya yang
menyebabkan klien suka menyendiri, melamun dan akhirnya muncul
halusinasi
3) Sosial Budaya
Meliputi status sosial, umur, pendidikan, agama, dan kondisi politik.
Menurut Nyumirah (2017) ada beberapa hal yang dikaitkan dengan
masalah gangguan jiwa. Salah satunya yang terjadi pada klien halusinasi
adalah masalah pekerjaan yang akan mempengaruhi status sosial. Klien
dengan status sosial ekonomi yang rendah berpeluang lebih besar untuk
mengalami gangguan jiwa dibandingkan dengan klien yang memiliki
status sosial ekonomi tinggi. Faktor sosial ekonomi tersebut meliputi
kemiskinan, tidak memadainya sarana dan prasarana, tidak adekuatnya
pemenuhan nutrisi, rendahnya pemenuhan kebutuhan perawatan untuk
anggota keluarga, dan perasaan tidak berdaya. Kultur atau budaya,
kepercayaan kebudayaan klien dan nilai pribadi mempengaruhi masalah
klien dengan halusinasi. Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa status social ekonomi, pendidikan yang rendah,
kurangnya pengetahuan, motivasi yang kurang dan kondisi fisik yang
lemah dapat mempengaruhi klien dalam mempertahankan aktifitas klien
yang mengalami halusinasi.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh
individu sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi
ekstra untuk menghadapinya. Seperti adanya rangsangan dari lingkungan,
misalnya partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak
komunikasi, objek yang ada di lingkungan dan juga suasana sepi atau
terisolasi, sering menjadi pencetus terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat
meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan
zat halusinogenik. Penyebab Halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi
(Pardede et al,2021) yaitu :
1) Dimensi fisik: Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik
seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaaan obatobatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang
lama.
2) Dimensi Emosional: Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem
yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak
sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut
klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
3) Dimensi Intelektual: Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa
individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi
ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien
dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4) Dimensi Sosial: Klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien meganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata
sangat membahayakan. Klien asyik dengan Halusinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial,
kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dakam dunia nyata.
6) Dimensi Spiritual: Secara sepiritual klien Halusinasi mulai dengan
kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan
jarang berupaya secara sepiritual untuk menyucikan diri. Saat bangun tidur
klien merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Individu sering
memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rezeki, menyalahkan
lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.
(Pardede et al, 2021).
3. PROSES TERJADINYA HALUSINASI
Proses terjadinya halusinasi diawali dengan seseorang menderita
halusinasi akan menganggap sumber dari halusinasinya berasal dari
lingkungannya/stimulus eksternal. Padahal sumber itu berasal dari stimulus
internal yang berasal dari dalam dirinya tanpa ada stimulus eksternal. Pada
fase awal masalah itu menimbulkan peningkatan kecemasan yang terus
menerus dan sistem pendukung yang kurang akan membuat persepsi untuk
membeda- bedakan apa yang kurang akan membuat persepsi untuk membeda-
bedakan apa yang difikirkan dengan perasaan sendiri menurun. Klien sulit
tidur sehingga terbiasa mengkhayal dan klien biasanya menganggap lamunan
itu sebagai pemecahan masalah.
Meningkat pada fase comforting.Klien mengalami emosi yang
berlanjut seperti adanya cemas, kesepian, perasaan berdosa dan sensorinya
dapat diatur pada fase ini klien cenderung merasa nyaman dengan
halusinasinya. Halusinasi menjadi sering datang, klien tidak mampu lagi
mengontrolnya dan berupaya menjaga jarak dengan obyek yang
dipersepsikan.
Pada fase condemning klien mulai dapat merasakan kesepian bila
halusinasinya berhenti. Pada fase controlling klien dapat merasakan kesepian
bila halusinasinya berhenti. Pada fase conquering lama-kelamaan pengalaman
sensorinya terganggu, klien merasa terancam dengan halusinasinya terutama
bila tidak menuruti perintah yang ia dengar dari halusinasinya (Arifin, 2017).
4. RENTANG RESPON
Jika klien yang sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifisikan dan
menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui
panca indera (pendengaran, pengelihatan, penciuman, pengecapan dan
perabaan) klien halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera
walaupun stimulus tersebut tidak ada.Diantara kedua respon tersebut adalah
respon individu yang karena suatu hal mengalami kelainan persensif yaitu
salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya, yang tersebut sebagai ilusi.
Klien mengalamijika interpresentasi yang dilakukan terhadap stimulus panca
indera tidak sesuai stimulus yang diterimanya,rentang respon tersebut
sebagai berikut (Pardede et al, 2021).:

RESPON ADAPTIF RESPON


MALADATIF

1. Pikiran logis 1. Distorsi pikiran 1. Gangguan piker


2. Persepsi akurat 2. Ilusi 2. Sulit
3. Emosi 3. Reaksi emosional merespon emosi
konsisten dengan 4. Perilaku 3. Perilakku
pengalaman anah/tidak biasa disorganis
4. Perilaku sesuai 5. Menarik diri asi
5. Berhubungan soial 4. Isolasi sosial
1. Respon Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma
sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas
normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah
tersebut, respon adaptif:
a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul
dari pengalaman.
d. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang
lain dan lingkungan.
2. Respon Psikososial
Respon psikosial meliputi:
a. Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan.
b. Ilusi adalah interpretasi atau penilaian yang salah tentang
penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena
rangsangan panca indera.
c. Emosi berlebihan atau berkurang.
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi
batas kewajaran.
e. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindar interaksi dengan orang
lain.
3. Respon Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan
lingkungan, adapun respon maladaptif meliputi:
a. Kelainan pikiran adalah keyakianan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertetangan dengan
kenyataan sosial.
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi
eksternal yang tidak realita atau tidak ada.
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hatif
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.
d. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu
kecelakaan yang negatif mengancam.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui
penyebab dari halusinasi (Stuart, 2018), yaitu:
a. Pemeriksaan darah dan urine, untuk melihat kemungkinan
infeksi serta penyalahgunaan alkohol dan NAPZA.
b. EEG (elektroensefalogram), yaitu pemeriksaan aktivitas listrik
otak untuk melihat apakah halusinasi disebabkan oleh epilepsi.
c. Pemindaian CT scan dan MRI, untuk mendeteksi stroke serta
kemungkinan adanya cedera atau tumor di otak.
6. DIAGNOSA MEDIS
a. Glaukoma
b. Katarak
c. Gangguan refraksi
d. Trauma okuler
e. Trauma pada saraf kranial
f. Infeksi okuler
g. Presibukusis
h. Malfungsi alat bantu dengar
i. Delirium
j. Demensia
k. Gangguan amnestik
l. Penyakit terminal
m. Gangguan psikotik
6. PENATALAKSANAAN MEDIS
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang paling sering terjadi pada
gangguan Skizofrenia. Dimana Skizofrenia merupakan jenis psikosis, adapun
tindakan penatalaksanaan dilakukan dengan berbagai terapi yaitu dengan:
1. Psikofarmakologis Obat sangat penting dalam pengobatan skizofrenia,
karena obat dapat membantu pasien skizofrenia untuk meminimalkan
gejala perilaku kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah. Sehingga
pasien skizofrenia harus patuh minum obat secara teratur dan mau
mengikuti perawatan (Pardede, Keliat, Wardani, 2017) :
a. Haloperidol (HLD) Obat yang dianggap sangat efektif dalam pengelolaan
hiperaktivitas, gelisah, agresif, waham, dan halusinasi.
b. Chlorpromazine (CPZ) Obat yang digunakan untuk gangguan psikosis
yang terkait skizofrenia dan gangguan perilaku yang tidak terkontrol
c. Trihexilpenidyl (THP)
1) Dosis
a. Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular.
b. Clorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap
6-8 jam sampai keadaan akut teratasi.
2) Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet:
a. Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari.
b. Klorpromazin 2x100 mg per hari
c. Triheksifenidil 2x2 mg per hari
3) Dalam keadaan fase kronis diberikan tablet:
a. Haloperidol 2x0,5 – 1 mg perhari
b. Klorpromazin 1x50 mg sehari (malam)
c. Triheksifenidil 1-2x2 mg sehari
d. Psikosomatik

2. Terapi kejang listrik (Electro Compulsive Therapy)


yaitu suatu terapi fisik atau suatu pengobatan untuk
menimbulkan kejang grand mal secara artifisial dengan melewatkan
aliran listrik melalui elektroda yang dipasang pada satu atau dua temples
pada pelipis. Jumlah tindakan yang dilakukan merupakan rangkaian yang
bervariasi pada setiap pasien tergantung pada masalah pasien dan respon
terapeutik sesuai hasil pengkajian selama tindakan. Pada pasien
Skizofrenia biasanya diberikan 30 kali. ECT biasanya diberikan 3 kali
seminggu walaupun biasanya diberikan jarang atau lebih sering. Indikasi
penggunaan obat: penyakit depresi berat yang tidak berespon terhadap
obat, gangguan bipolar di mana pasien sudah tidak berespon lagi
terhadap obat dan pasien dengan bunuh diri akut yang sudah lama tidak
mendapatkan pertolongan.
3. Psikoterapi
Membantu waktu yang relatif lama, juga merupakan bagian penting
dalam proses teraupetik. Upaya dalam psikoterapi ini meliputi :
memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan
teraupetik,memotivasi klien untuk dapat mengungkap perasaan secara
verbal,bersikap ramah, sopan dan jujur terhadap klien(Putri et al., 2021).
7. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Halusinasi dapat menjadi suatu alasan mengapa pasien melakukan
tindakan perilaku kekerasan karena suara-suara yang memberinya perintah
sehingga rentan melakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku kekerasan
yang timbul pada pasien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak
berharga, takut dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan
menyingkir dari hubungan interpersonal dengan orang lain (Keliat, 2016).
Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan masalah utama gangguan
sensori persepsi: halusinasi, antara lain: resiko prilaku kekerasan, harga diri
rendah dan isolasi sosial.
III. A. POHON MASALAH

Resiko Perilaku Kekerasan


(diri sendiri, orang lain , lingkungan , dan verbal ]

Gangguan presepsi sensori : halusinasi

Isolasi Sosial: Menarik Diri

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Data yang Perlu Dikaji


Keperawatan
Isolasi Sosial Subyetif:
Sukar didapati jika klien menolak berkomunikasi. Beberapa
data subyektif adalah menjawab pertanyaan dengan singkat,
seperti kata-kata “tidak”, “iya”, “tidak tau”
Obyektif:
1. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
2. Menghindar dari orang lain (menyendiri), klien nampa
memisahkan diri dari orang lain, misalnya pada saat
makan
3. Komunikasi kurang atau tidak ada. Klien tidak tampak
bercakap-cakap dengan klien lain/perawat
4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk
Halusinasi Subyektif:
1. Mendengar suara-suara atau kegaduhan
2. Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
3. Mendengar sesuatu yang menyuruh melakukan sesuatu
yang berbahaya
Obyektif:
1. Bicara atau tertawa sendiri
2. Marah-marah tanpa sebab
3. Menutup telinga
Resiko Subyektif:
Klien marah dan jengkel kepada orang lain, ingin
Perilaku Kekerasan membunuh, ingin membakar, atau mengacak-acak
lingkungan
Obyektif:
Klien mengamuk, merusak, dan melempar barang-barang,
melakukan tindakan kekerasan pada orang-orang disekitarnya
IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan Persepsi sensori
V. RENCANA TINDAKAN
KEPERAWATAN Tujuan Umum:
Klien dapat berhenti berhalusinasi Tujuan
Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengenali jenis halusinasinya
3. Klien dapat mengekspresikan respon terhadap halusinasi
4. Klien dapat mengetahui waktu terjadinya halusinasi
5. Klien dapat menggunakan koping yang adaptif
6. Klien dapat menghardik halusinasi
7. Klien dapat menggunakan dukungan sosial
VI. IMPLEMENTASI
KLI KELUARGA
EN
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi klien 1. Mendiskusikan maslah yang
2. Mengidentifikasi isi halusinasi klien dirasakan keluarga dalam
3. Mengidentifikasi waktu halusinasi klien merawat klien
4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi klien 2. Menjelaskan pengertian, tand
5. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan gejala dan jenis halusinasi
halusinasi yang dialami klien beserta
6. Mengidentifikasi respon klien proses terjadinya
terhadap halusinasi 3. Menjelaskan cara-cara
7. Mengajarkan klien menghardik halusinasi merawat klien halusinasi
8. Menganjurkan klien memasukkan
cara
menghardik halusinasi dalam jadwal
kegiatan
harian
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi keluarga mempraktikkan cara
dengan cara bercakap-cakap dengan oang lain merawat klien dengan
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam halusinasi
jadwal kegiatan harian 2. Melatih keluarga melakukan
cara merawat langsung kepada
klien halusinasi
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi jadwal aktivitas dirumah
dengan melakukan kegiatan yang biasa termasuk minum obat
dilakukan klien 2. Menjelaskan follow up
klien
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal setelah pulang
kegiatan harian
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Memberikan pendidikan kesehatan
tentang penggunaan obat secara teratut
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal
kegiatan harian.
DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, M. (2021). Efektifitas Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Terhadap


Kemampuan Mengontrol Halusinasi Pendengaran Pada Pasien
Ruang Cempaka Di Rsj Prof. Dr. M. Ildrem Medan Tahun 2019.
Jurkessutra:
JurnalKesehatanSuryaNusantara,9(1).https://jurnal.suryanusantara.a
c.id/ index.php/jurkessutra/article/view/64
Aldam, S. F. S., & Wardani, I. Y. (2019). Efektifitas penerapan standar asuhan
keperawatan jiwa generalis pada pasien skizofrenia dalam
menurunkan gejala halusinasi. Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ):
Persatuan Perawat Nasional Indonesia, 7(2), 165-172.
Keliat, B.A & Akemat. 2016. Model Praktik Keperawatan Profesional jiwa.
Jakarta: EGC.
Nyumirah, S. (2017). Peningkatan kemampuan interaksi sosial (kognitif,
afektif dan perilaku) melalui penerapan terapi perilaku kognitif di
rsj dr amino
gondohutomosemarang.Jurnalkeperawatanjiwa,1(2).https://doi.org/
10.2 6714/jkj.1.2.2013.%25
Oktiviani, D. P. (2020). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. K dengan masalah
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di Ruang
Rokan Rumah Sakit Jiwa Tampan. Skripsi, Poltekkes Kemenkes
Riau. http://repository.pkr.ac.id/id/eprint/498
Pardede, J. (2020). Family Knowledge about Hallucination Related to Drinking
Medication Adherence on Schizophrenia Patient. Jurnal Penelitian
PerawatProfesional,2(4),399-408.https://doi.org/10.37287/jppp.v2i
4.183
Titania, A. (2021). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada An S Dengan Gangguan
Persepsi Sensori Halusinasi Pendengaran (Doctoral Dissertation,
Universitas Kusuma Husadasurakarta).

Anda mungkin juga menyukai