I. KASUS ( MASALAH UTAMA) Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi II. PROSES TERJADINYA MASALAH 1. DEFINISI Halusinasi merupakan suatu penyerapan panca indera tanpa ada rangsangan dari luar, orang sehat persepsinya akurat,mampu mengidentifikasi dan menginter prestasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterimanya melalui panca indera (Aritonang, 2021). Halusinasi pendengaran paling sering terjadi ketika klien mendengar suara-suara, halusinasi ini sudah melebur dan pasien merasa sangat ketakutan, panik dan tidak bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan yang dialaminya (Titania, 2021). Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa halusinasi pendengaran adalah persepsi atau tanggapan dari pancaidera (Mendengar) terhadap stimulus yang tidak nyata yang mempengaruhi perilaku individu. 2. ETIOLOGI Faktor predisposisi klien halusinasi menurut(Hendy, 2021): a. Faktor Predisposisi 1) Biologis Faktor biologis terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidakseimbangan dari neurotransmiternya. Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi adanya gangguan adalah perilaku maladaptif klien . Secara biologi riset neurobiologikal memfokuskan pada tiga area otak yang dipercaya dapat melibatkan klien mengalami halusinasi yaitu sistem limbik, lobus frontalis dan hypothalamus. Pada klien dengan halusinasi diperkirakan mengalami kerusakan pada sistem limbic dan lobus frontal yang berperan dalam pengendalian atau pengontrolan perilaku, kerusakan pada hipotalamus yang berperan dalam pengaturan mood dan motivasi. Kondisi kerusakan ini mengakibatkan klien halusinasi tidak memiliki keinginan dan motivasi untuk berperilaku secara adaptif. Klien halusinasi juga diperkirakan mengalami perubahan pada fungsi neurotransmitter, perubahan dopamin, serotonin, norepineprin dan asetilkolin yang menyebabkan adanya perubahan regulasi gerak dan koordinasi, emosi, kemampuan memecahkan masalah; perilaku cenderung negatif atau berperilaku maladaptif; terjadi kelemahan serta penurunan atensi dan mood. Genetik juga dapa memicu terjadi halusinasi pada seorang individu. Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif. Terjadinya penyakit jiwa pada individu juga dipengaruhi oleh keluarganya dibanding dengan individu yang tidak mempunyai penyakit terkait. Banyak riset menunjukkan peningkatan risiko mengalami skizofrenia pada individu dengan riwayat genetik terdapat anggota keluarga dengan skizofrenia. Pada kembar dizigot risiko terjadi skizofrenia 15%, kembar monozigot 50%, anak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia berisiko 13%, dan jika kedua orang tua mendererita skizofrenia berisiko 45%. 2) Psikologis Meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa lalu, koping dan keterampilan komunikasi secara verbal . Konsep diri dimulai dari gambaran diri secara keseluruhan yang diterima secara positif atau negatif oleh seseorang. Penerimaan gambaran diri yang negative menyebabkan perubahan persepsi seseorang dalam memandang aspek positif lain yang dimiliki. Peran merupakan bagian terpenting dari konsep diri secara utuh. Peran yang terlalu banyak dapat menjadi beban bagi kehidupan seseorang, hal ini akan berpengaruh terhadap kerancuan dari peran dirinya dan dapat menimbulkan depresi yang berat. Ideal diri adalah harapan, cita-cita serta tujuan yang ingin diwujudkan atau dicapai dalam hidup secara realistis. Identitas diri terkait dengan kemampuan seseorang dalam mengenal siapa dirinya, dengan segala keunikannya.
Harga diri merupakan kemampuan seseorang untuk menghargai
diri sendiri serta member penghargaan terhadap kemampuan orang lain. Klien yang mengalami halusinasi memandang dirinya secara negatif sering mengabaikan gambaran dirinya, tidak memperhatikan kebutuhannya dengan baik. Intelektualitas ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang, pengalaman dan interaksi dengan lingkungan ketika mengalami halusinasi. Kepribadian pada klien halusinasi biasanya ditemukan klien memiliki kepribadian yang tertutup. Klien tidak mudah menerima masukan dan informasi yang berkaitan dengan kehidupan klien. Klien juga jarang bergaul dan cenderung menutup diri. Klien memiliki ketidakmampuan untuk mengevaluasi atau menilai keadaan dirinya dan tidak mampu memutuskan melakukan peningkatan keadaan menjadi lebih baik. Moralitas pandangan negatif terhadap diri sendiri ini menyebabkan klien mengalami penurunan motivasi untk melakukan aktifitas. Kesimpulannya, adanya penilaian diri yang negatif pada diri klien dengan halusinasi menyebabkan tidak ada tanggung jawab secara moral pada klien untuk melakukan aktifitas. Menurut beberapa penjelasan di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa jika mempunyai pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, klien mempunyai konsep diri negatif, intelektualitas yang rendah, kepribadian dan moralitas yang tidak adekuat merupakan penyebab secara psikologis untuk terjadinya halusinasi. Klien halusinasi memerlukan perhatian yang cukup besar untuk dapat mengembalikan konsep diri yang seutuhnya yang menyebabkan klien suka menyendiri, melamun dan akhirnya muncul halusinasi 3) Sosial Budaya Meliputi status sosial, umur, pendidikan, agama, dan kondisi politik. Menurut Nyumirah (2017) ada beberapa hal yang dikaitkan dengan masalah gangguan jiwa. Salah satunya yang terjadi pada klien halusinasi adalah masalah pekerjaan yang akan mempengaruhi status sosial. Klien dengan status sosial ekonomi yang rendah berpeluang lebih besar untuk mengalami gangguan jiwa dibandingkan dengan klien yang memiliki status sosial ekonomi tinggi. Faktor sosial ekonomi tersebut meliputi kemiskinan, tidak memadainya sarana dan prasarana, tidak adekuatnya pemenuhan nutrisi, rendahnya pemenuhan kebutuhan perawatan untuk anggota keluarga, dan perasaan tidak berdaya. Kultur atau budaya, kepercayaan kebudayaan klien dan nilai pribadi mempengaruhi masalah klien dengan halusinasi. Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa status social ekonomi, pendidikan yang rendah, kurangnya pengetahuan, motivasi yang kurang dan kondisi fisik yang lemah dapat mempengaruhi klien dalam mempertahankan aktifitas klien yang mengalami halusinasi. b. Faktor Presipitasi Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk menghadapinya. Seperti adanya rangsangan dari lingkungan, misalnya partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak komunikasi, objek yang ada di lingkungan dan juga suasana sepi atau terisolasi, sering menjadi pencetus terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik. Penyebab Halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi (Pardede et al,2021) yaitu : 1) Dimensi fisik: Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaaan obatobatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama. 2) Dimensi Emosional: Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut. 3) Dimensi Intelektual: Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku klien. 4) Dimensi Sosial: Klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan comforting, klien meganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dakam dunia nyata. 6) Dimensi Spiritual: Secara sepiritual klien Halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan jarang berupaya secara sepiritual untuk menyucikan diri. Saat bangun tidur klien merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Individu sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk. (Pardede et al, 2021). 3. PROSES TERJADINYA HALUSINASI Proses terjadinya halusinasi diawali dengan seseorang menderita halusinasi akan menganggap sumber dari halusinasinya berasal dari lingkungannya/stimulus eksternal. Padahal sumber itu berasal dari stimulus internal yang berasal dari dalam dirinya tanpa ada stimulus eksternal. Pada fase awal masalah itu menimbulkan peningkatan kecemasan yang terus menerus dan sistem pendukung yang kurang akan membuat persepsi untuk membeda- bedakan apa yang kurang akan membuat persepsi untuk membeda- bedakan apa yang difikirkan dengan perasaan sendiri menurun. Klien sulit tidur sehingga terbiasa mengkhayal dan klien biasanya menganggap lamunan itu sebagai pemecahan masalah. Meningkat pada fase comforting.Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya cemas, kesepian, perasaan berdosa dan sensorinya dapat diatur pada fase ini klien cenderung merasa nyaman dengan halusinasinya. Halusinasi menjadi sering datang, klien tidak mampu lagi mengontrolnya dan berupaya menjaga jarak dengan obyek yang dipersepsikan. Pada fase condemning klien mulai dapat merasakan kesepian bila halusinasinya berhenti. Pada fase controlling klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya berhenti. Pada fase conquering lama-kelamaan pengalaman sensorinya terganggu, klien merasa terancam dengan halusinasinya terutama bila tidak menuruti perintah yang ia dengar dari halusinasinya (Arifin, 2017). 4. RENTANG RESPON Jika klien yang sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifisikan dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera (pendengaran, pengelihatan, penciuman, pengecapan dan perabaan) klien halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun stimulus tersebut tidak ada.Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena suatu hal mengalami kelainan persensif yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya, yang tersebut sebagai ilusi. Klien mengalamijika interpresentasi yang dilakukan terhadap stimulus panca indera tidak sesuai stimulus yang diterimanya,rentang respon tersebut sebagai berikut (Pardede et al, 2021).:
2. Persepsi akurat 2. Ilusi 2. Sulit 3. Emosi 3. Reaksi emosional merespon emosi konsisten dengan 4. Perilaku 3. Perilakku pengalaman anah/tidak biasa disorganis 4. Perilaku sesuai 5. Menarik diri asi 5. Berhubungan soial 4. Isolasi sosial 1. Respon Adaptif Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut, respon adaptif: a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan. b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan. c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari pengalaman. d. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan. 2. Respon Psikososial Respon psikosial meliputi: a. Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan. b. Ilusi adalah interpretasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera. c. Emosi berlebihan atau berkurang. d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas kewajaran. e. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindar interaksi dengan orang lain. 3. Respon Maladaptif Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan, adapun respon maladaptif meliputi: a. Kelainan pikiran adalah keyakianan yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertetangan dengan kenyataan sosial. b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang tidak realita atau tidak ada. c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hatif d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur. d. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang negatif mengancam. 5. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab dari halusinasi (Stuart, 2018), yaitu: a. Pemeriksaan darah dan urine, untuk melihat kemungkinan infeksi serta penyalahgunaan alkohol dan NAPZA. b. EEG (elektroensefalogram), yaitu pemeriksaan aktivitas listrik otak untuk melihat apakah halusinasi disebabkan oleh epilepsi. c. Pemindaian CT scan dan MRI, untuk mendeteksi stroke serta kemungkinan adanya cedera atau tumor di otak. 6. DIAGNOSA MEDIS a. Glaukoma b. Katarak c. Gangguan refraksi d. Trauma okuler e. Trauma pada saraf kranial f. Infeksi okuler g. Presibukusis h. Malfungsi alat bantu dengar i. Delirium j. Demensia k. Gangguan amnestik l. Penyakit terminal m. Gangguan psikotik 6. PENATALAKSANAAN MEDIS Halusinasi merupakan salah satu gejala yang paling sering terjadi pada gangguan Skizofrenia. Dimana Skizofrenia merupakan jenis psikosis, adapun tindakan penatalaksanaan dilakukan dengan berbagai terapi yaitu dengan: 1. Psikofarmakologis Obat sangat penting dalam pengobatan skizofrenia, karena obat dapat membantu pasien skizofrenia untuk meminimalkan gejala perilaku kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah. Sehingga pasien skizofrenia harus patuh minum obat secara teratur dan mau mengikuti perawatan (Pardede, Keliat, Wardani, 2017) : a. Haloperidol (HLD) Obat yang dianggap sangat efektif dalam pengelolaan hiperaktivitas, gelisah, agresif, waham, dan halusinasi. b. Chlorpromazine (CPZ) Obat yang digunakan untuk gangguan psikosis yang terkait skizofrenia dan gangguan perilaku yang tidak terkontrol c. Trihexilpenidyl (THP) 1) Dosis a. Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular. b. Clorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap 6-8 jam sampai keadaan akut teratasi. 2) Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet: a. Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari. b. Klorpromazin 2x100 mg per hari c. Triheksifenidil 2x2 mg per hari 3) Dalam keadaan fase kronis diberikan tablet: a. Haloperidol 2x0,5 – 1 mg perhari b. Klorpromazin 1x50 mg sehari (malam) c. Triheksifenidil 1-2x2 mg sehari d. Psikosomatik
2. Terapi kejang listrik (Electro Compulsive Therapy)
yaitu suatu terapi fisik atau suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal secara artifisial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektroda yang dipasang pada satu atau dua temples pada pelipis. Jumlah tindakan yang dilakukan merupakan rangkaian yang bervariasi pada setiap pasien tergantung pada masalah pasien dan respon terapeutik sesuai hasil pengkajian selama tindakan. Pada pasien Skizofrenia biasanya diberikan 30 kali. ECT biasanya diberikan 3 kali seminggu walaupun biasanya diberikan jarang atau lebih sering. Indikasi penggunaan obat: penyakit depresi berat yang tidak berespon terhadap obat, gangguan bipolar di mana pasien sudah tidak berespon lagi terhadap obat dan pasien dengan bunuh diri akut yang sudah lama tidak mendapatkan pertolongan. 3. Psikoterapi Membantu waktu yang relatif lama, juga merupakan bagian penting dalam proses teraupetik. Upaya dalam psikoterapi ini meliputi : memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan teraupetik,memotivasi klien untuk dapat mengungkap perasaan secara verbal,bersikap ramah, sopan dan jujur terhadap klien(Putri et al., 2021). 7. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS Halusinasi dapat menjadi suatu alasan mengapa pasien melakukan tindakan perilaku kekerasan karena suara-suara yang memberinya perintah sehingga rentan melakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku kekerasan yang timbul pada pasien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak berharga, takut dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan menyingkir dari hubungan interpersonal dengan orang lain (Keliat, 2016). Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan masalah utama gangguan sensori persepsi: halusinasi, antara lain: resiko prilaku kekerasan, harga diri rendah dan isolasi sosial. III. A. POHON MASALAH
Resiko Perilaku Kekerasan
(diri sendiri, orang lain , lingkungan , dan verbal ]
Gangguan presepsi sensori : halusinasi
Isolasi Sosial: Menarik Diri
B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
Masalah Data yang Perlu Dikaji
Keperawatan Isolasi Sosial Subyetif: Sukar didapati jika klien menolak berkomunikasi. Beberapa data subyektif adalah menjawab pertanyaan dengan singkat, seperti kata-kata “tidak”, “iya”, “tidak tau” Obyektif: 1. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul 2. Menghindar dari orang lain (menyendiri), klien nampa memisahkan diri dari orang lain, misalnya pada saat makan 3. Komunikasi kurang atau tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain/perawat 4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk Halusinasi Subyektif: 1. Mendengar suara-suara atau kegaduhan 2. Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap 3. Mendengar sesuatu yang menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya Obyektif: 1. Bicara atau tertawa sendiri 2. Marah-marah tanpa sebab 3. Menutup telinga Resiko Subyektif: Klien marah dan jengkel kepada orang lain, ingin Perilaku Kekerasan membunuh, ingin membakar, atau mengacak-acak lingkungan Obyektif: Klien mengamuk, merusak, dan melempar barang-barang, melakukan tindakan kekerasan pada orang-orang disekitarnya IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN Gangguan Persepsi sensori V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN Tujuan Umum: Klien dapat berhenti berhalusinasi Tujuan Khusus: 1. Klien dapat membina hubungan saling percaya 2. Klien dapat mengenali jenis halusinasinya 3. Klien dapat mengekspresikan respon terhadap halusinasi 4. Klien dapat mengetahui waktu terjadinya halusinasi 5. Klien dapat menggunakan koping yang adaptif 6. Klien dapat menghardik halusinasi 7. Klien dapat menggunakan dukungan sosial VI. IMPLEMENTASI KLI KELUARGA EN SP 1 SP 1 1. Mengidentifikasi jenis halusinasi klien 1. Mendiskusikan maslah yang 2. Mengidentifikasi isi halusinasi klien dirasakan keluarga dalam 3. Mengidentifikasi waktu halusinasi klien merawat klien 4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi klien 2. Menjelaskan pengertian, tand 5. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan gejala dan jenis halusinasi halusinasi yang dialami klien beserta 6. Mengidentifikasi respon klien proses terjadinya terhadap halusinasi 3. Menjelaskan cara-cara 7. Mengajarkan klien menghardik halusinasi merawat klien halusinasi 8. Menganjurkan klien memasukkan cara menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian SP 2 SP 2 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih 2. Melatih klien mengendalikan halusinasi keluarga mempraktikkan cara dengan cara bercakap-cakap dengan oang lain merawat klien dengan 3. Menganjurkan klien memasukkan dalam halusinasi jadwal kegiatan harian 2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada klien halusinasi SP 3 SP 3 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat 2. Melatih klien mengendalikan halusinasi jadwal aktivitas dirumah dengan melakukan kegiatan yang biasa termasuk minum obat dilakukan klien 2. Menjelaskan follow up klien 3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal setelah pulang kegiatan harian SP 4 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratut 3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian. DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, M. (2021). Efektifitas Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Terhadap
Kemampuan Mengontrol Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Ruang Cempaka Di Rsj Prof. Dr. M. Ildrem Medan Tahun 2019. Jurkessutra: JurnalKesehatanSuryaNusantara,9(1).https://jurnal.suryanusantara.a c.id/ index.php/jurkessutra/article/view/64 Aldam, S. F. S., & Wardani, I. Y. (2019). Efektifitas penerapan standar asuhan keperawatan jiwa generalis pada pasien skizofrenia dalam menurunkan gejala halusinasi. Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasional Indonesia, 7(2), 165-172. Keliat, B.A & Akemat. 2016. Model Praktik Keperawatan Profesional jiwa. Jakarta: EGC. Nyumirah, S. (2017). Peningkatan kemampuan interaksi sosial (kognitif, afektif dan perilaku) melalui penerapan terapi perilaku kognitif di rsj dr amino gondohutomosemarang.Jurnalkeperawatanjiwa,1(2).https://doi.org/ 10.2 6714/jkj.1.2.2013.%25 Oktiviani, D. P. (2020). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. K dengan masalah Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di Ruang Rokan Rumah Sakit Jiwa Tampan. Skripsi, Poltekkes Kemenkes Riau. http://repository.pkr.ac.id/id/eprint/498 Pardede, J. (2020). Family Knowledge about Hallucination Related to Drinking Medication Adherence on Schizophrenia Patient. Jurnal Penelitian PerawatProfesional,2(4),399-408.https://doi.org/10.37287/jppp.v2i 4.183 Titania, A. (2021). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada An S Dengan Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi Pendengaran (Doctoral Dissertation, Universitas Kusuma Husadasurakarta).
Intelijen: Pengantar psikologi kecerdasan: apa itu kecerdasan, bagaimana cara kerjanya, bagaimana kecerdasan berkembang, dan bagaimana kecerdasan dapat memengaruhi kehidupan kita