Anda di halaman 1dari 27

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN JIWA

LAPORAN PENDAHULUAN
“HALUSINASI”

DISUSUN OLEH:

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKESPONTIANAK
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI PROFESI NERS
TAHUN 2021/2022

LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI
A. Konsep Penyakit
1. Pengertian
Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca indra tanpa
adanya rangsangan (stimulus) eksternal. (Sutejo, 2019).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien
mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghidupan. Klien
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. (Damaiyanti dan Iskandar,
2014).
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau bunyi yang
berkisar dari suara sederhana sampai suara yang seolah-olah berbicara
mengenai klien sehingga klien merespon suara atau bunyi tersebut.
(Azizah, dkk, 2016).
Halusinasi pendengaran adalah suara-suara yang dirasakan tanpa
ada stimulasi eksternal yang dapat menyebabkan perilaku destruktif,
seperti bunuh diri dan pembunuhan. (Dellazizzo, 2018).
Dari pengertian di atasa dapat kita simpulkan bahwa halusinasi
mpendengaran merupakan suatu keadaan dimana klien mempersepsikan
sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi dan mendengarkan suara atau bunyi
yang dapat membuat klien merespon suara atau bunyi tersebut. (Muhith,
2015).

2. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
Faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber
yang dapat dibangkitkan oleh individu unuk mengatasi stress.
Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya mengenai faktor
perkembangan sosio kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu
faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat
dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu dikarenakan
rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien
tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilangnya
percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
2) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang tidak diterima dilingkungannya sejak bayi
merasa disingkirkan, kesepian dan tidak percaya pada lingkungan.
3) Faktor Biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Adanya stress yang berlebihan yang dialami seseorang maka di
dalam tubuhnya akan tertanam suatu perilaku yang disebut zat
halusinogenik neurokimia. Akibat dari stress yang berkepanjangan
akan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
4) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terpengaruh atau terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal
ini sangat berpengaruh pada ketidakmampuan klien untuk
mengambil keputusan yang tepat untuk masa depannya sendiri.
klien lebih memilih untuk kesenangan sementara atau sesaat dan
lari dari alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukan bahwa anak yang sehat diasuh oleh
orang tua yang mengalami skizofrenia cenderung akan mengalami
skizofrenia. Hasil studi menunjukan bahwa faktor hubungan
keluarga sangat berpengaruh pada penyakit ini. (Damaiyanti dan
Iskandar, 2014)
b. Faktor Presipitasi
Stimulus yang dipersepsikan individu sebagai tantangan,
ancaman atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping.
1) Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi
rangsang eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi
dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik dimana seseorang
mengalami kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan,
demam hingga delirium, intoksikasi alkohol, dan kesulitan untuk
tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang
tidak dapat di atasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi
dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan.
Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut sehingga
dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan
yang dialaminya.
3) Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu
dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi
ego. Pada awalnya, halusinasi meupakan usaha dari ego sendiri
untuk melawan impuls yang menekan, namun menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan
tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
4) Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi
menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Klien
yang mengalami halusinasi akan asyik dengan halusinasinya,
seolah-olah itu merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan
akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga diri yang tidak
didapatkan si klien dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan
sistem kontrol oleh individu tersebut sehingga jika perintah
halusinasi berupa ancaman, maka individu tersebut bisa
membahayakan orang lain.

5) Dimensi Spiritual
Individu yang mengalami halusinasi cenderung menyendiri
dan asik dengan dunianya sendiri. klien tidak sadar dengan
keberadaannya sehingga halusinasi menjadi sistem kontrol dalam
klien tersebut. (Muhith, 2015)
c. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan
halusinasi yaitu :
1) Regresi
Regresi berhubungan dengan proses informasi dan upaya
yang di gunakan untuk menanggulangi ansietas. Regresi ini dapat
membuat klien malas dalam berkativitas sehari-hari.
2) Proteksi
Dalam hal ini, klien mencoba menjelaskan gangguan
persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain
atau suatu benda.
3) Menarik Diri
Meragukan atau sulit mempercayai omongan orang lain dan
asyik dengan stimulus internal.
4) Keluarga
Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien dan
tidak mempercayainya. (Sutejo, 2019)

3. Patofisiologi
Secara umum dapat dikatakan sebagai segala sesuatu yang
mengancam harga diri (self esteem) dan keutuhan keluarga dapat
merupakan penyebab terjadinya halusinasi. Ancaman terhadap harga diri
dan keutuhan keluarga meningkatkan kecemasan. Gejala dengan
meningkatnya kecemasan, kemampuan untuk memisahkan dan mengatur
persepsi, mengenal perbedaan antara apa yang dipikirkan dengan perasaan
sendiri menurun, sehingga segala sesuatu diartikan berbeda dan proses
rasionalisasi tidak efektif lagi. Klien akan lebih sulit lagi membedakan
mana rangsangan yang berasal dari pikirannya sendiri dan mana yang dari
lingkungannya.
Halusinasi juga dapat disebabkan oleh isolasi sosial (menarik diri),
dimana klien menolak berinteraksi dengan lingkungan dan akan lebih
fokus dengan dunianya sendiri yang dikehendakinya dengan cara
berhalusinasi. (Jaya, 2015).
Resiko Perilaku Kekerasan

Gangguan Persepsi Sensori:


Halusinasi Pendengaran

Isolasi Sosial Defisit perawatan diri

Gangguan konsep diri : HDR

Koping individu tidak efektif

4. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap
klien serta ungkapan klien. Prilaku yang terkait dengan halusinasi yaitu:
a. Data Subjektif
Berdasarkan data subjektif, klien dengan gangguan halusinasi
mengatakan bahwa klien:
1) Mendengar suara-suara atau kegaduhan.
2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap.
3) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
4) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat
monster atau hantu.
5) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urine, atau feses.
6) Merasa takut atau senang dengan halusinasinya.
b. Data Objektif
Berdasarkan data objektif, klien dengan gangguan sensori
persepsi halusinasi melakukan hal-hal berikut:
1) Bicara atau tertawa sendiri
2) Marah-marah tanpa sebab
3) Mengarahkan telinga ke arah tertentu
4) Mentutup telinga
5) Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
6) Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas
7) Mencium bau sesuatu yang tertentu. (Sutejo, 2019)

5. Komplikasi
a. Perubahan dalam pola perilaku
b. Perubahan dalam kemampuan menyelesaikan masalah
c. Perubahan dalam ketajaman sensori
d. Perubahan dalam respon yang biasa terhadapa stimulus
e. Disorientasi
f. Halusinasi
g. Hambatan komunikasi
h. Iritabilitas
i. Konsentrasi buruk
j. Gelisah
k. Distorsi sensori

6. Masalah yang Sering Muncul


a. Resiko perilaku kekerasan (diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan
verbal)
b.Gangguan persepsi sensori: Halusinasi
c. Isolasi sosial
d.Defisit perawatan diri
e. Harga diri rendah
7. Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
Neuroleptika dengan dosis efektif bermanfaat pada penderita
skizofrenia yang menahun, hasilnya lebih banyak jika mulai diberi
dalam dua tahun penyakit. Neuroleptika dengan dosis efektif tinggi
bermanfaat pada penderita dengan psikomotorik yang meningkat.
b. Terapi Kejang Listrik
Pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electroda yang
dipasang pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat
diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi
neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
c. Psikoterapi dan Rehabilitasi
Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu
karena berhubungan dengan praktis dengan maksud mempersiapkan
pasien kembali ke masyarakat, selain itu terapi kerja sangat baik untuk
mendorong pasien bergaul dengan orang lain, pasien lain, perawat dan
dokter. Terapi ini diberikan supaya pasien tidak mengasingkan diri
karena dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik, dianjurkan untuk
mengadakan permainan atau latihan bersama, seperti terapi modalitas.
(Prabowo, 2014)

8. Strategi Pelaksanaan
a. SP 1 Pasien : Membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara-
cara mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi
dengan cara pertama: menghardik halusinasi.
b. SP 2 Pasien : Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara
kedua: bercakap-cakap dengan orang lain
c. SP 3 Pasien : Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara
ketiga: melaksanakan aktivitas terjadwal
d. SP 4 Pasien: Melatih pasien menggunakan obat secara teratur
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Untuk dapat menyaring data yang diperlukan umunya,
dikembangkan formulir pengkajian dan petunjuk teknis pengkajian agar
memudahkan dalam mengkaji klien dengan halusinasi pendengaran.
Menurut Damaiyanti dan Iskandar (2014) isi pengkajian meliputi:
a. Identitas klien
b. Keluhan utama atau alasan masuk
c. Faktor predisposisi
1) Faktor biologis
2) Faktor perkembangan
3) Faktor sosiokultural
4) Faktor biokimia
5) Faktor psikologis
6) Faktor genetik
d. Aspek fisik atau bilogis
e. Aspek psikososial
f. Status mental
g. Kebutuhan persiapan pulang
h. Mekanisme koping
i. Masalah psikososial dan lingkungan
j. Pengetahuan
k. Aspek medik
Kemudian data yang diperoleh dapat dikelompokkan menjadi dua
macam yaitu:
a. Data objektif merupakan data yang ditemukan secara nyata. Data ini
didapatkan melalui observasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat.
b. Data subjektif merupakan data yang disampaikan secara lisan oleh
klien dan keluarga. Data ini didapatkan melalui wawancara perawat
kepada klien dan keluarga. Data yang didapat langsung oleh perawat di
sebut data primer, dan data yang diambil dari catatan tim kesehatan
lain disebut data sekunder.
Menurut Kusnadi (2015) data penting yang perlu dikaji pada klien
halusinasi yaitu:
a. Data Objektif
Kaji faktor resiko:
1) Penampilan secara umum: ekspresi wajah, postur tubuh, pakaian.
2) Perilaku selama wawancara: agitasi, gelisah, kooperatif, menarik
diri, bermusuhan, disosialisasi.
3) Pola komunikasi
4) Status nutrisi
5) Pola istirahat atau tidur
6) Manifestasi klinis
b. Data Subjektif
1) Status Psikologis
a) Masalah yang ada
b) Perasaan tentang: keputus-asaan, tidak berdaya, isolasi atau
penolakan, marah atau bermusuhan, rasa bersalah atau malu
impulsif.
c) Ketergantungan atau penyalahgunaan obat.
d) Riwayat masalah psikiatrik: diagnosis, pengobatan dan
mematuhinya, riwayat sebelumnya, sistem dukungan pasien
rawat jalan.
2) Status Medis
a) Penyakit akut atau kronis
b) Apakah individu melakukan konsultasi dalam jangka waktu 6
bulan terakhir?
c) Berapa kali kontrol obat dan untuk mengatasi masalah apa?
d) Obat-obatan apa yang diresepkan.
e) Obat-obat apa yang tidak diresepkan.
3) Sumber stres pada lingkungan sebelumnya
a) Kehilangan atau berganti pekerjaan.
b) Kegagalan dalam pekerjaan atau sekolah.
c) Tekanan kekurangan finansial
d) Perceraian atau perpisahan
e) Kematian orang terdekat
f) Penyakit atau kecelakaan
g) Penggunaan alkohol atau minuman keras di dalam keluarga
h) Tidak dinamisnya fungsi keluarga
i) Penolakan orang tua
j) Penyiksaan fisik, psikologis, seksual
k) Harapan yang tidak realistis
l) Trauma berat
4) Sumber stres dilingkungan sekarang
a) Dari faktor sebelumnya
b) Tindakan kriminal
c) Penggunaan alkohol atau minuman keras
d) Peralihan tugas atau tanggung jawab
e) Tekanan atau ancaman pada konsep diri
5) Kaji kesadaran individu
6) Strategi koping (masa lalu dan sekarang)
a) Kaji kemampuan individu keluarga untuk mengatasi stresor
b) Ketersediaan sumber
c) Tingkat kontrol impuls
d) Mengambil resiko yang tidak diperlukan
7) Sistem pendukung
a) Siapa yang menemani pasien selama stres
b) Sumber primadi dan finansial: pekerjaan, finansial, rumah atau
tempat tinggal.

2. Diagnosa Keperawatan Halusinasi Pendengaran


Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan
gangguan pesepsi sensori: halusinasi pendengaran adalah sebagai berikut:
a. Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran
b. Isolasi sosial
c. Risiko prilaku kekerasan
3. Intervensi Keperawatan
1) Gangguan persepsi sensori: Halusinasi pendengaran
Tindakan keperawatan untuk pasien
a) Tujuan
(1) Pasien mengenali halusinasi yan dialaminya
(2) Pasien dapat mengontrol halusinasinya
(3) Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal
b) Kriteria Hasil:
(1) Pasien dapat menyebutkan isi, waktu, frekuensi, situasi
pencetus terjadinya halusinasi.
(2) Mampu memperagakan cara dalam mengontrol halusinasi.
Strategi Pelaksana (SP) 1
(1) Mengidentifikasi jenis halusinasi klien
(2) Mengidentifikasi isi halusinasi klien
(3) Mengidentfikasi waktu halusinasi klien
(4) Mengidentifikasi frekuensi halusinasi klien
(5) Mengidentifikasi situasi yang dapat menimbulkan halusinasi
klien
(6) Mengidentifikasi respon klien terhadap halusinasi klien.
(7) Mengajarkan klien menghardik halusinasi
(8) Menganjurkan klien memasukkan cara menghardik ke dalam
kegiatan harian.
Strategi Pelaksana (SP) 2
(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien (SP 1)
(2) Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-
cakap dengn orang lain
(3) Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian
Strategi Pelaksana (SP) 3
(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien (SP 1 dan 2)
(2) Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan melakukan
kegiatan (kegiatan yang dapat dalakukan)
(3) Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
Strategi Pelaksana (SP) 4
(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien (SP1, 2, dan 3)
(2) Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat
secara teratur.
(3) Menganjurkan klien memasukan jadwal kedalam kegiatan
harian.
c) Tindakan keperawatan pada pasien
(1) Membantu pasien mengendalikan halusinasi
Diskusikan dengan pasien tentang halusinasi yang
didengar, waktu kapan halusinasi itu terjadi, frekuensi
terjadinya halusinasi, hal yang dapat menyebabkan halusinas
muncul, dan respon pasien saat halusinasi itu muncul.
(2) Melatih pasien untuk mengontrol halusinasi (menggunakan 4
cara yang sudah teruji).
(a) Menghardik halusinasi
Upaya pasien untuk mengendalikan diri terhadap halusinasi
dengan menolak halusinasi yang muncul.
Pasien dilatih untuk mengatakan tidak pada halusinasi yang
muncul atau tidak mempedulikan halusinasinya. Jika ini
dapat dilakukan, pasien akan dapat mengontrol diri dan
tidak mengikuti halusinasi. Mungkin halusinasi tetap ada,
tapi dengan kemampuan ini pasien tidak akan larut untuk
menuruti apa yang ada dalam halusinasinya.
Tahap tindakan yaitu:
(1) Menjelaskan cara menghardik halusinasi
(2) Memperagakan cara menghardik
(3) Meminta pasien untuk memperagakan ulang
(4) Memantau penerapan cara ini, menguatkan prilaku pasien
(b) Bercakap-cakap dengn orang lain
Untuk mengontrol halusinasi, dapat juga dengan bercakap -
cakap dengan orang lain. Ketika pasien bercakap - cakap
dengan orang lain maka terjadi distraksi (fokus perhatian
pasien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang
dilakukan dengan orang lain).
(c) Melakukan aktivitas yang terjadwal
Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah
menyibukan diri dengan aktivitas yang teratur, sehngga
pasien tdak memiliki banyak waktu luang sendiri untuk
mencetuskan halusinasi. Untuk itu pasien dapat dibantu
dengan membuat jadwal kegiatan dari bangun pagi sampai
tidur malam, 7 hari dalam seminggu.
Tahap intervensi yaitu:
(1) Menjelaskan pentingnya aktivitas teratur untuk mengatasi
halusinasi.
(2) Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan dengan
pasien.
(3) Melatih pasien melakukan aktivitas
(4) Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuaikan dengan
aktivitas yang telah dilatih.
(5) Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberikan
penguatan terhadap perilaku pasien yang positif.
(d) Menggunakan obat secara teratur
Pasien juga perlu dilatih untuk meminum obat secara
teratur sesuai dengan program. Seringkali pasien
mengalami putus obat, sehingga menyulitkan dalam
pemulihan seperti keadaan semula.. untuk itu pasien perlu
dilatih dalam meminum obat sesuai dengan program dan
berkelanjutan.
Berikut cara komunikasi agar pasien patuh dalam
menggunakan obat yaitu:
(1) Jelaskan kegunaan obat
(2) Jelaskan akibat putus obat
(3) Jelaskan cara menggunkan obat dan dengan prinsip 5 benar
(benar orang, benar obat, benar dosis, benar waktu, dan
benar cara pemberian). (Sutejo, 2019)
Tindakan keperawatan untuk keluarga
(a) Tujuan
(1) Keluarga dapat terlibat dalam perawatan pasien baik di rumah
sakit maupun di rumah.
(2) Keluarga dapat menjadi sistem pendukung yang efektif untuk
pasien.
(b) Kriteria hasil
(1) Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan.
(2) Melakukan follwo up rujukan.
Strategi Pelaksana (SP) 1
(1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien.
(2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, jenis halusinasi serta
proses terjadinya halusinasi.
(3) Menjelaskan cara merawat klien dengan halusinasi
Strategi Pelaksana (SP) 2
(1) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien dengan
halusinasi.
(2) Melatih keluarga cara merawat langsung kepada klien
halusinasi.
Strategi Pelaksana (SP) 3
(1) Membantu keluarga membuat jadwal aktifitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planning).
(2) Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
(c) Tindakan keperawatan yaitu:
(1) Berikan pendidikan kesehatan tentang halusinasi, proses
terjadinya halusinasi dan cara merawat pasien halusinasi.
(2) Berikan kesempatan pada keluarga untuk memperagakan cara
merawat pasien dengan halusinasi langsung dihadapan pasien.
(3) Buat perencanaan pulang bersama keluarga. (Damaiyanti dan
Iskandar, 2014)

2) Isolasi sosial
Tindakan keperawatan untuk pasien
a) Tujuan:
(1) Membina hubungan saling percaya
(2) Menyadari penyebab isolasi sosial
(3) Berinteraksi dengan orang lain
b) Kriteria Hasil
(1) Membina hubungan saling percaya
(2) Menyadari penyebab isolasi sosial, keuntungan dan kerugian
berinteraksi dengan orang lain.
(3) Melakukan interaksi dengan orang lain secara bertahap strategi
pelaksanaan pasien isolasi sosial.
Strategi Pelaksana (SP) 1
(1) Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial
(2) Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi
dengan orang lain.
(3) Berdiskusi dengan klien tentang kerugian berinteraksi dengn
orang lain.
(4) Mengajarkan klien cara berkenalan dengan satu orang.
(5) Menganjurkan klien memasukkan kegiatan latihan berbincang-
bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian.
Strategi Pelaksana (SP) 2
(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
(2) Memberikan kesempatan kepada klien mempraktikkan cara
berkenalan dengan satu orang.
(3) Membantu klien memasukkan kegiatan latihan berbincang-
bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian.
Strategi Pelaksana (SP) 3
(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
(2) Memberikan kesempatan kepada klien mempraktikkan cara
berkenalan dengan satu orang atau lebih.
(3) Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
c) Tindakan Keperawatan
(1) Membina hubungan saling percaya
Tindakan yang harus dilakukan dalam membina hubungan
saling percaya yaitu:
(a) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan klien.
(b) Berkenalan dengan pasien: nama, nama panggilan yang
disukai, serta tanyakan nama pasien dan nama panggilan
yang disukainya.
(c) Menanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini.
(d) Buat kontrak asuhan: apa yang akan dilakukan bersama
pasien, berapa lama dikerjakan dan tempatnya di mana.
(e) Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan semua
informasi yang disampaikan pasien untuk kepentingan
terapi.
(f) Setiap saat tunjukkan sikap empati atau caring terhadap
pasien.
(g) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan. Untuk
membina hubungan saling percaya dengan pasien isolasi
sosial, kadang-kadang perlu waktu yang lama terapi
interaksinya singkat dan sering. Karena tidak mudah bagi
pasien untuk percaya dengan orang lain. Perawat juga perlu
konsisten dalam terapeutik terhadap pasien.
(2) Membantu pasien mengenal penyebab isolasi sosial
(a) Menanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan
berinteraksi dengan orang lain.
(b) Menanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin
berinteraksi dengan orang lain.
(3) Membantu klien mengenal keuntungan berinteraksi dengan
orang lain
(a) Diskusikan keuntungan bila pasien memilik banyak teman
dan bergaul akrab dengan mereka.
(4) Membantu pasien mengenal kerugian yang tidak berhubungan
dengan orang lain.
(a) Mendiskusikan kerugian bila klien hanya mengurung diri di
kamar dan tidak bergaul dengn orang lain.
(b) Menjelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan
fisik pasien.
(5) Membantu pasien berinteraksi dengan orang lain secara
bertahap
Perawat tidak mungkin mengubah kebiasaan pasien untuk
berinteraksi dengan orang lain secara drastis karena kebiasaan
itu telah terbentuk dalam waktu yang lama.
Langkah yang dilakukan yaitu:
(a) Beri kesempatan pasien mempraktikkan cara berinteraksi
dengan orang lain yang dilakukan di hadapan perawat.
(b) Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan satu orang
(pasien lain, perawat lain, keluarga).
(c) Bila pasien sudah menunjukkan kemajuan interaksi yang
telah dilakukan oleh pasien.
(d) Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah
dilakukan oleh pasien.
(e) Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah
berinteraksi dengan orang lain. Mungkin pasien akan
mengungkapkan keberhasilan atau kegagalannya. Beri
dorongan terus menerus agar pasien tetap semangat
meningkatkan interaksinya.
Tindakan keperawatan untuk keluarga
a) Tujuan:
(1) Keluarga mampu merawat pasien isolasi sosial.
b) Kriteria Hasil
(1) Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan
(2) Melakukan follow up rujukan
Strategi Pelaksana (SP) 1
(1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat pasien.
(2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang
dialami klien beserta proses terjadinya.
(3) Menjelaskan cara-cara merawat klien dengan isolasi sosial
Startegi Pelaksana (SP) 2
(1) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien dengan
isolasi sosial.
(2) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat langsung
kepada klien isolasi sosial.
Strategi Pelaksana (SP) 3
(1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planning).
(2) Menjelaskan follow up klien setelah pulang.
c) Tindakan Keperawatan
(1) Melatih keluarga merawat pasien dengan isolasi sosial.
Keluarga merupakan sistem pendukung utama bagi pasien
untuk dapat membantu pasien mengatasi masalah ini. Karena
keluargalah yang selalu bersam-sama dengan pasien sepanjang
hari. Langkah yang dapat dilakukan yaitu:
(a) Diskusikan kepada keluarga apa yang dirasakan dalam
merawat klien.
(b) Jelaskan tentang masalah isolasi sosial, dampak pada klien,
penyebab dari isolasi sosial, dan bagaimana cara merawat
klien dengan isolasi sosial sambil memperagakan cara
merawatnya.
(c) Membantu keluarga memperagakan cara merawat klien
dengan isolasi sosial yang telah dipelajari.
(d) Menyusun rencana pulang dengan keluarga.

3) Resiko perilaku kekerasan


Tindakan keperawatan untuk klien
a) Tujuan:
(1) Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
(2) Klien dapat mengidentifikasi tanda perilaku kekerasan
(3) Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.
(4) Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya.
(5) Klien dapat menyebutkan cara mencegah atau megontrol
perilaku kekerasannya.
(6) Pasien dapat mencegah atau mengontrol perilaku kekerasan
secara fisik, spiritual, sosial dan dengan psikofarmaka.
b) Kriteria Hasil
(1) Menyebutkan penyebab, tanda, gejala, dan akibat perilaku
kekerasan.
(2) Memperagakan cara fisik 1 untuk mengontrol perilaku
kekerasan.
Strategi pelaksana klien dengan perilaku kekersaan
Startegi Pelaksana (SP) 1
(1) Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
(2) Mengidentifikasi tanda dan gejala perlaku kekerasan.
(3) Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan.
(4) Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
(5) Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan.
(6) Membantu klien mempraktikkan latihan cara mengontrol
perilaku kekerasan secara fisik seperti latihan nafas dalam.
(7) Menganjurkan klien memasukkan kedalam kegiatan harian.
Startegi Pelaksana (SP) 2
(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
(2) Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik
seperti memukul bantal atau kasur.
(3) Menganjurkan klien memasukkan kedalam kegiatan harian.
Strategi Pelaksana (SP) 3
(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
(2) Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara
sosial/verbal.
(3) Menganjurkan klien memasukkan kedalam kegiatan harian.
Strategi Pelaksana (SP) 4
(1) mengevaluasi jadwal kegiatan harian.
(2) Melatih klien mengontrol halusinasi perilaku kekerasan dengan
cara spiritual.
(3) Menganjurkan klien memasukkan kedalam kegiatan harian.
Strategi Pelaksana (SP) 5
(1) Mengevaluasi jadwal kegiata harian klien.
(2) Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan minum
obat.
(3) Menganjurkan klien memasukkan kedalam kegiatan harian.
c) Tindakan Keperawatan
(1) Bina hubungan saling percaya
(a) Mengucapkan salam terapeutik.
(b) Berjabat tangan
(c) Menjelaskan tujuan interaksi
(d) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali
bertemu pasien.
(2) Diskusikan dengan klien penyebab perilaku kekerasan saat ini
dan masa lalu.
(3) Diskusi dengan pasien tanda dan gejala perilaku kekerasan:
secara fisik, psikologis, sosial, spiritual dan secara intelektual.
(4) Diskusikan bersama klien perilaku kekerasan biasa yang
dilakukan pada saat marah, secara: verbal, terhadap orang lain,
diri sendiri, dan terhadap lingkungan.
(5) Diskusikan dengan klen akibat perilakunya.
(6) Diskusikan dengan klien secara mengontrol perilaku kekerasan
secara:
(a) Fisik: pukul kasur dan bantal, tarik nafas dalam
(b) Medis: obat
(c) Sosial atau verbal: menyampaikan marah secara asertif
(d) Spritual: berdoa sesuai keyakinan
(7) Latihan klien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik.
(a) Latihan bernafas dalam dan memukul bantal atau kasur.
(b) Susun jadwal kegiatan latihan napas dalam dan memukul
bantal atau kasur.
(8) Latihan klien mengontrol perilaku kekerasan secara sosial atau
verbal.
(a) Latih mengungkapkan rasa marah secara verbal: menolak
dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan
perasaan dengan baik.
(b) Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal.
(9) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
(a) Latih mengungkapkan marah secara spiritual: berdoa.
(b) Buat jadwal latihan berdoa.
(10) Latih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh
minum obat.
(a) Latih klien minum obat secara teratur dengan prinsip 5
benar.
(b) Susun jadwal minum obat secara teratur.
(1) Ikut sertakan klen dalam terapi aktivitas kelompok
stimulus persepsi mengontrol perilaku kekerasa.
Tindakan keperawatan untuk keluarga
a) Tujuan :
Keluarga pada merawat klien di rumah.
b) Kriteria Hasil
(1) Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan
(2) Melakukan follow up rujukan
Strategi pelaksana pada keluarga pasien perilaku kekerasan
Strategi Pelaksan (SP) 1
(1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat klien.
(2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala perilaku kekerasan
yang dialami klien serta proses terjadinya.
Strategi Pelaksana (SP) 2
(1) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien dengan
perilaku kekerasan.
(2) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat langsung
kepada klien dengan perilaku kekerasan.
Strategi Pelaksana (SP) 3
(1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planning).
(2) Menjelaskan follow up klien setelah pulang.
c) Tindakan Keperawatan
(1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat
klien.
(2) Diskusi bersama keluarga tentang perilaku kekerasan:
penyebab, tandan dan gejala, perilaku yang muncul, akibat dari
peilaku tersebut.
(3) Diskusikan bersama keluarga kondisi klien yang perlu segera
dilaporkan kepada perawat , seperti: melempar, memukul
benda atau orang.
(4) Latih keluarga merawat klien dengan perilaku kekerasan:
(a) Anjurkan keluarga untuk memotivasi klien untuk
melakukan tindakan yang telah diajarkan oleh perawat.
(b) Ajarkan keluarga untuk memberi pujian kepada klien jika
melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
(c) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus
dilakukan bila klien menunjukkan gejala perilaku
kekerasan.
(5) Buat perencanaan pulang dengan keluarga. (Muhith, 2015)

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan
keperawatan dengan memperhatikan dan mengutamakan masalah utama
yang aktual dan mengancam klien beserta lingkungannya. Sebelum
melakukan tindakan keperawatan yang sudah direncanakan, perawat perlu
memvalidasi apakah rencana tindakan masih diperlukan atau dibutuhkan
dan sesuai dengan kondisi klien pada saat ini. Hubungan saling percaya
antar perawat dengan klien merupakan dasar utama dalam melakukan
tindakan keperawatan, dengan adanya saling pecaya klien akan lebih
terbuka dengan perawat dan klien menceritakan permasalahan yang
dialaminya. (Keliat, 2012)
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberpa jauh diagnosa keperawatan,
rencana tindakan, dan pelaksanaan tercapai. Meskipun tahap evaluasi
diletakkan pada akhir proses keperawatan. (Stuart, 2012)
Evaluasi dibagi menjadi 2 yaitu, evaluasi proses atau formatif dan
evaluasi hasil atau sumatif. Evaluasi proses atau formatif merupakan hasil
observasi dan analisa perawat terhadap respon klien segera pada saat /
setelah dilakukan tindakan keperawatan, dan ditulis pada catatan perawat.
Evaluasi hasil atau sumatif merupakan rekapitulasi dan kesimpulan dari
observasi dan analisa status kesehatan sesuai waktu dan tujuan yang
dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan
umum yang telah ditentukan. (Struat,2012)
Evaluasi keberhasilan tindakan keperawatan yang sudah perawat
lakukan untuk klien halusinasi yaitu:
a. Klien mempercayai perawatnya sebagai terapis, ditandai dengan:
1) Klien mau menerima perawat sebagai perawatnya.
2) Klien mau menceritakan masalah yang dia hadapi kepada
perawatnya, bahkan hal-hal yang selama ini dianggap rahasia
untuk orang lain.
3) Klien mau bekerja sama dengan perawat, setiap program perawat
tawarkan di ikuti oleh klien.
b. Klien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada objeknya dan
merupakan masalah yang harus diatasi, yaitu:
1) Klien mengungkapkan isi halusinasi yang dialaminya.
2) Klien menjelaskan waktu dan frekuensi halusinasi yang
dialaminya.
3) Klien menjelaskan situasi yang menyebabkan halusinasi muncul.
4) Klien mengatakan perasaan pada saat halusinasi.
5) Klien mengatakan akan berusaha mengatasi halusinasi yang
dialaminya.
c. Klien dapat mengontrol halusinasi, ditandai dengan:
1) Klien mampu memperagakan empat cara mengontrol halusinasi.
2) Klien menerapkan empat cara mengontrol halusinasi yaitu:
a) Menghardik halusinasi
b) Berbicara dengan orang lain jika timbul halusinasi
c) Menyusun jadwal kegiatan dari bangun tidur di pagi hari higga
menjelang tidur pada malam hari dan melaksanakan jadwal
tersebut secara mandiri
d) Mematuhi program pengobatan
3) Keluarga mampu merawat klien di rumah, dengan ditandai:
4) Keluarga mampu menjelaskan masalah halusinasi yang dialami
oleh klien.
5) Keluarga mampu menjelaskan cara merawat pasien di rumah
6) Keluarga mampu mempraktekkan cara bersikap terhadap klien
7) Keluarga mampu menjelaskan fasilitas kesehatan yang dapat
digunakan untuk megatasi masalah klien
8) Keluarga melaporkan keberhasilan dalam merawat klien.
Daftar Pustaka

Azizah, dkk. 2016. Keperawata Jiwa Aplikasi Praktik Klinik : Graha Ilmu
Damaiyanti dan Iskandar. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Aditama
Keliat. B.A.dkk.(2012). Model Praktik Kperawatan Profesional Jiwa. Jakarta :
EGC. Keliat, Akemat.
Kusnadi Jaya,2015,Keperawatan Jiwa, Tanggerang: Binarupa Askara Publisher
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori dan Aplikasi).
Yogyakarta: Andi.
Stuart W Gail (2012). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5 revisi. Jakarta: EGC
Sutejo. (2019). Keperawatan Jiwa, Konsep dan Prektik Asuhan Keperawata
Kesehatan Jiwa: Gangguan Jiwa dan Psikososial. Yogyakarta : Pustaka
Baru Press
Jaya. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Selemba Medika

Anda mungkin juga menyukai