Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

HALUSINASI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Program Profesi Ners


Stase Keperawatan Jiwa
Semester 2

Disusun Oleh:

EVI NUR JANAH

I4B022008

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
PROGRAM PROFESI NERS
PURWOKERTO
2023
A. Pengertian
Stuart & Laraia (2007) mendefinisikan halusinasi sebagai suatu tangg
apan dari panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal. Halusin
asi merupakan gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu ya
ng sebenarnya tidak terjadi. Selain itu, menurut Yusuf, Fitrayasari & Nihayati
(2015) halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang dapat
mempengaruhi pola persepsi serta merasakan sensasi palsu berupa suara,
pengelihatan, pengecapan, perabaan atau penciuman. Jadi berdasarkan
beberapa pengertian tersebut halusinasi adalah adanya stimulus yang
sebetulnya tidak ada.
B. Jenis-jenis Halusinasi
Menurut (Stuart & Laraia n.d.) jenis halusinasi terdiri dari:

1. Halusinasi pendengaran
Klien mendengar suara atau bunyi yang tidak ada hubungannya dengan
stimulus yang nyata dengan kata lain orang yang berada disekitar klien
tidak mendengar suara atau bunyi yang didengar klien.
2. Halusinasi penglihatan
Klien melihat gambaran yang jelas atau samar tanpa adanya stimulus
yang nyata dari lingkungan, stimulus dalam bentuk kilatan cahaya,
gambar geometris, gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks.
3. Halusinasi penciuman
klien mencium sesuatu yang bau yang muncul dari sumber tertentu tanpa
stimulus yang nyata.
4. Halusinasi pengecapan
Klien merasa sesuatu yang tidak nyata, biasanya merasakan rasa yang
tidak enak.
5. Halusinasi perabaan
Klien merasakan sesuatu pada kulitnya tanpa stimulus yang nyata.
6. Cenestetik
Funisi tubuh seperti aliran darah dari vena dan arteri, pencernaan makan
atau pembentukan urine.
7. Kinistetik
Merasakan gerakan sementara berdiri tegak.
8. Halusinasi seksual (Halusinasi raba)
Penderita merasa diraba dan diperkosa, sering pada skizoprenia dengan
waham kebesaran terutama menjadi organ-organ.
9. Halusinasi visceral
Timbulnya perasaan tertentu pada tubuhnya seperti, yaitu:
a. Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya
sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang
ada. Sering pada skizofrenia dan sindrom obus.
b. Derelisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungan yang tidak sesuai
dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala suatu yang dialaminya seperti
dalam mimpi.
C. Faktor Predisposisi dan Presipitasi
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan pasien terganggu mislnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan pasien tidak mampu mandiri sejak
kecil, mudah frustasi, hilangnya percaya diri dan lebih rentan terhadap
stress.
b. Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima di lingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
c. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress
yang berlebih dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan zat
yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress
berkepanjangan menyebabakan teraktivasinya neutransmitter otak.
d. Faktor Psikologi
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
padapenyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan pasien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
masa depannya. Pasien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari
alam nyataa menuju alam hayal.
e. Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalamai skizofrenia. Hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh
pada penyakit ini (Prabowo 2014).
2. Faktor Presipitasi
a. Biologis
Gangguan dalam momunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam
otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterprestasikan.
b. Stress Lingkungan
Ambang toleransi terhadap tress yang berinteraksi terhadap stresosor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menamggapi stres
(Prabowo 2014).
1) Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga,
ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku
menarik diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil
keputusan serta tidak dapat membedakan nyata dan tidak.
2) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam
hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur
dalam waktu yang lama.
3) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak
dapat diatasi merupakan penyebab halusianasi itu terjadi, isi dari
halusinasi dapat berupa peritah memaksa dan menakutkan. Klien
tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan
kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
4) Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu
dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan
fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usha dari ego
sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun
merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang
dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan
mengotrol semua perilaku klien.
5) Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi
dialam nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan dengan
halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk
memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan
harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata.
6) Dimensi spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas, tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri, dan irama
sirkardiannya terganggu (Damaiyanti 2014).
D. Proses Terjadinya Masalah
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut (Stuart & Laraia
n.d.) dan setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda yaitu :
1. Fase I
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa
bersalah serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan
untuk meredakan ansietas. Disini klien tersenyum atau tertawa yang tidak
sesuai, menggerakan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan
asyik sendiri. Jika kecemasan datang klien dapat mengontrol kesadaran dan
mengenal pikirannya namun intensitas persepsi meningkat.
2. Fase II
Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan klien mulai lepas
kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber
yang dipersepsi. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom
akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital. Asyik dengan
pengalaman sensori danb kehilangan kemampuan untuk membedakan
halusinasi dengan realita. Ansietas meningkat dan berhubungan dengan
pengalaman internal dan eksternal, individu berada pada tingkat listening
pada halusinasinya. Pikiran internal menjadi menonjol, gambaran suara dan
sensori dan halusionasinya dapat berupa bisikan yang jelas, klien membuat
jarak antara dirinya dan halusinasinya dengan memproyeksikan seolaholah
halusinasi datang dari orang lain atau tempat lain.
3. Fase III
Klien menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada
halusinasi tersebut. Disini klien sukar berhubungan dengan orang lain dan
berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan
berhubungan dengan orang lain. Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan
mengontrol. Klien menjadi lebih terbiasa dan tidak berdaya dengan
halusinasinya. Kadang halusinasi tersebut memberi kesenangan dan rasa
aman sementara.
4. Fase IV
Pengalaman sensori menjadi mengancamjika klien mengikuti perintah
halusinasi. Disini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak
mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu
berespon lebih dari satu orang. Kondisi klien sangat membahayakan. Klien
tidak dapat berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk dengan
halusinasinya. Klien hidup dalam dunia yang menakutkan yang berlangsung
secara singkat atau bahkan selamanya.
Berikut pohon masalah halusinasi:

E. Rentang Respon

Keterangan gambar:
1. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Hal ini meliputi:
a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman asli
d. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran
e. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan
2. Respon psikososial
Respon psikososial meliputi:
a. Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan
b. Ilusi adalah miss interprestasi yang salah penerapan yang benar-benar
terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera.
c. Emosi berlebihan atau berkurang.
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran.
e. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain.
3. Respon maladaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
maslah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan
lingkungan, adapun respon maladaptif meliputi:
a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan kenyataan sosial.
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi
eksternal yang tidak realita atau tidak ada.
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari
hati.
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.
e. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu
dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu
kecelakaan yang negatif mengancam (Stuart & Laraia n.d.).
F. Manifestasi Klinis
Menurut Prabowo (2014), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi
adalah berbicara, senyum, tertawa sendiri, mengatakan mendengar suara, melihat,
menghirup, mengecap dan merasa sesuatu yang tidak nyata, menggerakkan bibir
tanpa suara, pergerakan mata cepat, dan respon verbal lambat. Sedangkan menurut
Stuart & Laraia (2007) seseorang yang, mengalami halusinasi biasanya
memperlihatkan gejala-gejala yang khas yaitu respon verbal yang lambat, diam,
bertindak seolah-olah dipenuhi sesuatu yang menyakitkan, peningkatan sistem
saraf otonom yang menunjukan ansietas, penyempitan kemampuan konsentrasi,
dan menarik diri atau katatonik.
G. Penanganan
1. Farmakologi
Neuroleptika dengan dosis efektif bermanfaat pada penderita skizofrenia
yang menahun, hasilnya lebih banyak jika mulai diberi dalam dua tahun
penyakit. Neuroleptika dengan dosis efektif bermanfaat pada penderita
psikomotorik yang meningkat.
Kelas Kimia Nama Generik (Dagang) Dosis Harian
Fenotiazin Asetofenazin (Tidal) 60-120 mg
Klopromazin 30-800 mg
(Thorazine) 1-40 mg
(Prolixine, Permit) 30-400 mg
Mesoridazin 12-64 mg
Serentil) 15-150 mg
Perfenazin (Trialon) 40-1200 mg
Prokloperazin 150-800 mg
(Compazine) 2-40 mg
Promazine (Sparine) 60-150 mg
Butirofenon Haloperidol (Haldol) 1-100 mg
Dibenzondiazepin Klozapin (Clorazil) 300-900 mg
Dibenzokasazepin Loksapin (Loxitane) 20-150 mg
Didraindolon Molindone (Moban) 225-225
Selain itu terdapat beberapa obat seperti Clorpromazine untuk mensupresi
gejala – gejala psikosa : agitasi, ansietas, ketegangan, kebingungan, insomnia,
halusinasi, waham, dan gejala-gejala lain yang biasanya terdapat pada
penderita skizofrenia, manik depresi, gangguan personalitas, psikosa
involution, psikosa masa kecil. Haloperidol untuk mengatasi gangguan
psikotik, sindroma gilies de la tourette pada anak–anak dan dewasa maupun
pada gangguan perilaku yang berat pada anak-anak. Trihexiphenidyl untuk
penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala skizofrenia.
2. Terapi Non Farmakologi
a. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang
grand mall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui
electrode yang dipasang pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik
dapat diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi
neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.

b. Psikoterapi dan rehabilitasi


Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu karena
berhubungan dengan praktis dengan maksud mempersiapkan pasien
kembali ke masyarakat, selain itu terapi kerja sangat baik untuk
mendorong pasien bergaul dengan orang lain, perawat dan dokter.
Maksudnya supaya pasien tidak mengasingkan diri karena dapat
membentuk kebiasaan yang kurang baik, dianjurkan untuk mengadakan
permainan atau latihan bersama, seperti terapi modalitas yang terdiri dari
terapi aktivitas, terapi musik, terapi seni, menari, relaksasi, sosial, dan
terapi kelompok.
H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Berikut pengkajian pada pasien dengan halusinasi menurut Azizah, Zainuri &
Akbar (2016).
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, tanggal pengkajian, tanggal dirawat,
nomor rekam medis.
b. Alasan masuk
Alasan klien datang di rumah sakit, biasanya klien sering berbicara
sendiri, mendengar atau melihat sesuatu, suka berjalan tanpa tujuan,
membanting peralatan rumah, menarik diri.
c. Faktor predisposisi
Biasanya klien pernah mengalami gangguan jiwa dan kurang berhasil
dalam pengobatan, ernah mengalami aniaya fisik, penolakan dan
kekerasan dalam keluarga, klien dengan gangguan orientasi bersifat
heriditer, dan pernah mengalami trauma masa lalu yang sangat
mengganggu.
d. Pemeriksaan fisik
Memeriksan tanda-tanda vital, tinggi badan, berat badan, dan
tanyakan apakah ada keluhan fisik yang dirasakan pasien.
e. Psikososial
1) Genogram: Pembuatan genogram minimal 3 generasi yang
menggambarkan hubungan klien dengan keluarga, masalah yang
terkait dengan komunikasi, pengambilan keputusan, pola asuh,
oertumbuhan individu dan keluarga.
2) Konsep diri:
- Gambaran diri: Tanyakan persepsi klien terhadap tubuhnya,
bagian tubuh yang disukai, reaksi klien terhadap bagian
tubuh yang tidak disukai dan yang disukai.
- Identitas diri: Klien dengan halusinasi tidak puas akan
dirinya sendiri merasa bahwa klien tidak berguna. Fungsi
peran: Pada klien dengan halusinasi bisa berubah atau
berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit, trauma
akan masa lalu, menarik diri dari orang lain, perilaku
agresif.
- Ideal diri: Pada klien yang mengalami halusinasi cenderung
tidak peduli dengan diri sendiri maupun sekitarnya.
- Harga diri: Klien yang mengalami halusinasi cenderung
menerima diri tanpa syarat meskipun telah melakukan
kesalahan, kekalahan dan kegagalan ia tetap merasa dirinya
sangat berharga.
3) Hubungan sosial
Tanyakan siapa orang terdekat di kehidupan klien tempat
mengadu, berbicara, meminta bantuan, atau dukungan. Klien
dengan halusinasi cenderung tidak mempunyai orang terdekat,
dan jarang mengikuti kegiatan yang ada di masyarakat.
4) Spiritual
Nilai dan keyakinan, kegiatan ibadah atau menjalankan keyakinan,
kepuasan dalam menjalankan keyakinan. Apakah isi halusinasinya
mempengaruhi keyakinan dengan Tuhannya.
f. Status mental
1) Penampilan: Pada klien dengan halusinasi mengalami defisit
perawatan diri (penampilan tidak rapi, penggunaan pakaian tidak
sesuai, cara berpakaian tidak seperti biasanya, rambut kotor, rambut
seperti tidak pernah disisir, gigi kotor dan kuning, kuku panjang dan
hitam), raut wajah nampak takut, kebingungan, cemas.
2) Pembicaraan: Klien dengan halusinasi cenderung suka berbicara
sendiri, ketika di ajak bicara tidak fokus, terkadang yang dibicarakan
tidak masuk akal.
3) Aktivitas motorik: Klien dengan halusinasi tampak gelisah, kelesuan,
ketegangan, agitasi, tremor. Klien terlihat sering menutup telinga,
menunjuk-nunjuk ke arah tertentu, menggaruk-garuk permukaan
kulit, menutup hidung
4) Afek emosi: Pada klien halusinasi tingkat emosi lebih tinggi,
perilaku agresif, ketakutan yang berlebihan dan eforia.
5) Interaksi selama wawancara: Klien dengan halusinasi cenderung
tidak kooperatif (tidak dapat menjawab pertanyaan dengan spontan)
dan kontak mata kurang (tidak mau menatap lawan bicara, mudah
tersinggung.
6) Persepsi halusinasi: Ada beberapa hal yang harus dikaji pada pasien
dengan halusinasi yaitu jenis halusinasi (visual, suara, pengecap,
kenestik, visceral, histerik, hipnogogik, hipnopompik), isi halusinasi,
waktu terjadinya halusinasi apakah pagi, siang, sore, malam?
Frekuensi halusinasi terusmenerus atau hanya sekali dua kali,
kadang-kadang, jarang atau sudah tidak muncul lagi, situasi yang
menyebabkan halusinasi muncul, dan respon terhadap halusinasi,
dan respon pasien terhadap halusinasi.
7) Proses pikir: Klien dengan halusinasi lebih sering was-was terhadap
hal yang dialaminya
8) Isi pikir: Selalu merasa curiga terhadap suatu hal dan depersonalisasi
yaitu perasaan aneh/asing terhadap diri sendiri, orang lain,
lingkungan sekitarnya.
9) Tingkat kesadaran: Pada klien dengan halusinasi tidak dapat
berkonsentrasi
10) Kemampuan mengambil keputusan: Gangguan ringan dapat
mengambil keputusan secara sederhana baik dibantu orang
lain/tidak, gangguan bermakna tidak dapat mengambil keputusan
secara sederhana cenderung mendengar/melihat ada yang di
perintahkan.
11) Daya tilik diri: Pada klien halusinasi cenderung mengingkari
penyakit yang di derita. Klien tidak menyadari gejala penyakit
(perubahan fisik dan emosi) pada dirinya dan merasa tidak perlu
minta pertolongan/klien menyangkal keadaan penyakitnya.
g. Kebutuhan perencanaan pulang
Kemampuan klien memenuhi kebutuhan, tanyakan apakah klien mampu
atau tidak memenuhi kebutuhannya sendiri seperti makan, perawatan
diri, keamanan, kebersihan.
h. Mekanisme koping
Biasanya pada klien halusinasi cenderung berperilaku maladaptif, seperti
mencederai diri sendiri dan orang lain di sekitrarnya, malas beraktivitas.
Perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk mengalihkan tanggung
jawab kepada orang lain. Masalah psikososial dan lingkungan biasanya
pada klien halusinasi mempunyai masalah di masa lalu dan mengakibatkan
dia menarik diri dari masyarakat dan orang terdekat.
i. Aspek pengetahuan
Pada klien halusinasi kurang mengetahui tentang penyakit jiwa karena
tidak merasa hal yang dilakukan dalam tekanan.
j. Aspek medis
Memberikan penjelasan tentang diagnostik medik dan terapi medis (Keliat
2017).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan persepsi sensori: halusinasi b.d gangguan pendengaran
(D.0085)
b. Risiko perilaku kekerasan d.d adanya halusinasi (D. 0146)
c. Harga diri rendah kronis b.d penguatan negatif berulang (D. 0086)\

3. Rencana Asuhan Keperawatan


SLKI SIKI
Persiapan Sensori L.09083 Manajemen Halusinasi (I.09288)
Persepsi realitas terhadap stimulus Observasi
baik internal maupun eksternal 1. Monitor perilaku yang
membaik dengan indikator hasil: mengindikasi halusinasi
- Verbalisasi mendengar bisikan 2. Monitor isi halusinasi
meningkat Terapeutik
- Perilaku halusinasi meningkat 1. Pertahankan lingkungan yang
- Distorsi sensori meningkat aman
2. Diskusikan perasaan diri dan
respon terhadap halusinasi
Edukasi
1. Anjurkan memonitor sendiri
situasi terjadi halusinasi
2. Anjurkan berbicara pada orang
yang dapat dipercaya
3. Anjurkan melakukan distraksi
4. Ajarkan pasien dan keluarga
cara mengontrol halusinasi
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat
antipsikotrik dan antiansietas
Perencanaan tindakan keperawatan pada pasien menurut Nurhalimah (2016):
a. Sesi 1: Mengenal halusinasi
b. Sesi 2: Mengontrol halusinasi dengan menghardik
Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatasinya,
klien harus berusaha melawan halusinasi yang dialaminya secara internal
juga. Klien dilatih untuk mengatakan, ”tidak mau dengar…, tidak mau
lihat”. Ini dianjurkan untuk dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat.
Bantu pasien mengenal halusinasi, jelaskan cara-cara kontrol halusinasi,
ajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara pertama yaitu
menghardik halusinasi.
c. Sesi 3: Mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan
Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian.
Kebanyakan halusinasi muncul akibat banyaknya waktu luang yang tidak
dimanfaatkan dengan baik oleh klien. Klien akhirnya asyik dengan
halusinasinya. Untuk itu, klien perlu dilatih menyusun rencana kegiatan
dari pagi sejak bangun pagi sampai malam menjelang tidur dengan
kegiatan yang bermanfaat. Perawat harus selalu memonitor pelaksanaan
kegiatan tersebut sehingga klien betul-betul tidak ada waktu lagi untuk
melamun tak terarah. Latih pasien mengontrol halusinasi dengan cara
ketiga, yaitu melaksanakan aktivitas terjadwal (Keliat 2017).
d. Sesi 4: Mencegah halusinasi dengan bercakap-cakap
Klien dianjurkan meningkatkan keterampilan hubungan sosialnya.
Dengan meningkatkan intensitas interaksi sosialnya, kilen akan dapat
memvalidasi persepsinya pada orang lain. Klien juga mengalami
peningkatan stimulus eksternal jika berhubungan dengan orang lain. Dua
hal ini akan mengurangi fokus perhatian klien terhadap stimulus internal
yang menjadi sumber halusinasinya. Latih pasien mengontrol halusinasi
dengancara kedua yaitu bercakap-cakap dengan orang lain.
e. Sesi 5: mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat
Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat
ketidakseimbangan neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotonin). Untuk
itu, klien perlu diberi penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatasi
halusinasi, serta bagairnana mengkonsumsi obat secara tepat sehingga
tujuan pengobatan tercapai secara optimal. Pendidikan kesehatan dapat
dilakukan dengan materi yang benar dalam pemberian obat agar klien
patuh untuk menjalankan pengobatan secara tuntas dan teratur.
Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana
penanganan klien yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan
keluarga. Hal ini penting dilakukan dengan dua alasan. Pertama keluarga
adalah sistem di mana klien berasal. Pengaruh sikap keluarga akan sangat
menentukan kesehatan jiwa klien. Klien mungkin sudah mampu mengatasi
masalahnya, tetapi jika tidak didukung secara kuat, klien bisa mengalami
kegagalan, dan halusinasi bisa kambuh lagi. Alasan kedua, halusinasi
sebagai salah satu gejala psikosis bisa berlangsung lama (kronis),
sekalipun klien pulang ke rumah, mungkin masih mengalami halusinasi.
Dengan mendidik keluarga tentang cara penanganan halusinasi,
diharapkan keluarga dapat menjadi terapis begitu klien kembali ke rumah.
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, Zainuri & Akbar 2016, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Indomedia Pustaka,
Yogyakarta.
Damaiyanti, I. 2014, Asuhan Keperawatan Jiwa, Refika Aditama, Bandung.
Keliat, B.A. 2017, Modul Praktik Keperawatan Profesional Jiwa, EGC, Jakarta.
Nurhalimah 2016, Keperawatan Jiwa, 1st edn, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
PPNI. 2016, Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1, DPP PPNI, Jakarta
PPNI. 2018, Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1, DPP PPNI, Jakarta
PPNI. 2018, Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1, DPP PPNI, Jakarta
Prabowo, E. 2014, Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa, Nuha Medika,
Yogyakarta.
Stuart, G.W. & Laraia, M.T. 2007, Prinsiples and Practice of Psychiatric Nursing,
7th editio., Mosby, St Louis.
Stuart, G.W. & Laraia, M.T. n.d., Principle and Practice of Psychiatric Nursing, 9th
edn, St. Louis Mosby Year Book.
Yusuf, A., Fitrayasari, P.K.R. & Nihayati, H.E. 2015, Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa, Salemba Medika, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai