WATAMPONE 2022 A. Konsep Medis 1. Definisi Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus yang nyata. Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau pengalaman persepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan Sheila L Vidheak,dalam Damayanti dan iskandar (2014). Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori tentang suatu objek atau gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan ( Dalami, dkk, 2014). Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari pancaindera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal. Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Berdasarkan beberapa pendapat diatas, yang dimaksud dengan halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dimana klien mempersepsikan sesuatu melalui panca indera tanpa ada stimulus eksternal. Halusinasi berbeda dengan ilusi, dimana klien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang terjadi, stimulus internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata ada oleh klien. 2. Jenis-Jenis Halusinasi Halusinasi Menurut Trimeilia (2011) jenis-jenis halusinasi adalah sebagai berikut : a) Halusinasi pendengaran (auditory) Mendengar suara yang membicarakan, mengejek, mentertawakan, mengancam, memerintahkan untuk melakukan sesuatu (kadang- kadang hal yang berbahaya). Perilaku yang muncul adalah mengarahkan telinga pada sumber suara, bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, menutup telinga, mulut komat-kamit, dan ada gerakan tangan. b) Halusinasi penglihatan (visual) Stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambar, orang atau panorama yang luas dan kompleks, bisa yang menyenangkan atau menakutkan. Perilaku yang muncul adalah tatapan mata pada tempat tertentu, menunjuk ke arah tertentu, ketakutan pada objek yang dilihat. c) Halusinasi penciuman (olfactory) Tercium bau busuk, amis, dan bau yang menjijikan, seperti bau darah, urine atau feses atau bau harum seperti parfum. Perilaku yang muncul adalah ekspresi wajah seperti mencium dengan gerakan cuping hidung, mengarahkan hidung pada tempat tertentu, menutup hidung. d) Halusinasi pengecapan (gustatory) Merasa mengecap sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan, seperti rasa darah, urine atau feses. Perilaku yang muncul adalah seperti mengecap, mulut seperti gerakan mengunyah sesuatu, sering meludah, muntah. e) Halusinasi perabaan (taktil) Mengalami rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat, seperti merasakan sensasi listrik dari tanah, benda mati atau orang. Merasakan ada yang menggerayangi tubuh seperti tangan, binatang kecil dan makhluk halus. Perilaku yang muncul adalah mengusap, menggaruk-garuk atau meraba-raba permukaan kulit, terlihat menggerakkan badan seperti merasakan sesuatu rabaan. f) Halusinasi sinestetik Merasakan fungsi tubuh, seperti darah mengalir melalui vena dan arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine, perasaan tubuhnya melayang di atas permukaan bumi. Perilaku yang muncul adalah klien terlihat menatap tubuhnya sendiri dan terlihat seperti merasakan sesuatu yang aneh tentang tubuhnya. 3. Etiologi a. Faktor predisposisi faktor predisposisi klien dengan halusinasi : 1) Faktor perkembangan Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentah terhadap stress. 2) Faktor sosiokultural Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungannya sejak bayi akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya. 3) Faktor biologis Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stres yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stres berkepanjangan jangan menyebabkan teraktivitasnya neurotransmitter otak. 4) Faktor psikologis Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal. 5) Faktor genetik dan pola asuh Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini. b. Faktor presipitasi 1) Perilaku Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah, bingung, perilaku menarik diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan yang nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock (1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spritual. Sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu : a) Dimensi fisik Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang sama. b) Dimensi emosional Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi, isi daari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap kekuatan tersebut. c) Dimensi intelektual Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan satu hal yang menimbulkan kewaspadaan 12 yang dapat menagmabil seluruh perhatian klien dan jarang akan mengontrol semua perilaku klien. d) Dimensi sosial Klien mengalami gangguan interaksi sosial dari fase awal dan comforting klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata sangat membahayakan. Klien asik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, contoh diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung. e) Dimensi spritual Secara spritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas, tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spritual untuk menyucikan diri, irama sirkardiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun terasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya memjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk. 4. Tahapan Proses Terjadinya Trimeilia (2011) tahapan halusinasi ada lima fase yaitu: a. Stage I (Sleep Disorder) Fase awal seseorang sebelum muncul halusinasi. Karakteristik : Klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi, misalnya kekasih hamil, terlibat narkoba, dikhianati kekasih, masalah di kampus, di drop out, dst. Masalah terasa menekan karena terakumulasi sedangkan support sistem kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur berlangung terus-menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan masalah. b. Stage II (Comforting Moderate Level of Anxiety) Halusinasi secara umum ia terima sebagai sesuatu yang alami. Karakteristik : Klien mengalami emosi yang berlanjut, seperti adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan mencoba untuk memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia kontrol bila kecemasannya diatur, dalam tahapan ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan halusinasinya. Perilaku yang muncul biasanya dalah menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara, gerakan mata cepat, respon verbal lamban, diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikkan. c. Stage III (Condemning Severe Level of Anxiety) Secara umum halusinasi sering mendatangi klien. Karakteristik : Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami bias. Klien mulai merasa tidak mampu mengontrolnya dan mulai berupaya untuk menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang dipersepsikan klien. Klien mungkin merasa malu karena pengalaman sensorinya tersebut dan menarik diri dari orang lain dengan intensitas watu yang lama. Perilaku yang muncul adalah terjadinya peningkatan sistem syaraf otonom yang menunjukkan ansietas atau kecemasan, seperti : pernafasan meningkat, tekanan darah dan denyut nadi menurun, konsentrasi menurun. d. Stage IV (Controling Severe Level of Anxiety) Fungsi sensori menjadi tidak relevan dengan kenyataan. Karakteristik : Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang datang. Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan psikotik. Perilaku yang biasanya muncul yaitu individu cenderung mengikuti petunjuk sesuai isi halusinasi, kesulitan berhubungan dengan orang lain, rentang perhatian hanya beberapa detik/menit. e. Stage V (Concuering Panic Level of Anxiety) Klien mengalami gangguan dalam menilai lingkungannya. Karakteristik : Pengalaman sensorinya terganggu. Klien mulai terasa terancam dengan datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat menuruti ancaman atau perintah yang ia dengar dari halusinasinya. Halusinasi dapat berlangsung selama minimal empat jam atau seharian bila klien tidak mendapatkan komunikasi terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat. Perilaku yang muncul adalah perilaku menyerang, risiko bunuh diri atau membunuh, dan kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi (amuk, agitasi, menarik diri). 5. Tanda dan Gejala Tandadangejalahalusinasidinilaidarihasilobservasiterhadappasienserta ungkapanpasien : a. Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai b. Menggerakkanbibirnya tanpa menimbulkan suara c. Gerakan mata cepat d. Menutup telinga e. Respon verbal lambat atau diam f. Diamdandipenuhioleh sesuatu yang mengasyikkan g. Terlihat bicara sendiri h. Menggerakkan bola mata dengan cepat i. Bergeraksepertimembuang atau mengambil sesuatu j. Dudukterpaku, memandangsesuatu, tiba-tibaberlarikeruangan lain 6. Komplikasi Halusinasi dapat menjadi suatu alasan mengapa klien melakukan tindakan perilaku kekerasan karena suara-suara yang memberinya perintah sehingga rentan melakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku kekerasan yang timbul pada klien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak berharga, takut dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan menyingkir dari hubungan 13 interpersonal dengan orang lain,komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan masalah utama gangguan sensori persepsi: halusinasi, antara lain: resiko prilaku kekerasan, harga diri rendah dan isolasi sosial (Keliat, 2014). 7. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab dari halusinasi (Stuart, 2015), yaitu : a. Pemeriksaan darah dan urine, untuk melihat kemungkinan infeksi serta penyalahgunaan alkohol dan NAPZA. b. EEG (elektroensefalogram), yaitu pemeriksaan aktivitas listrik otak untuk melihat apakah halusinasi disebabkan oleh epilepsi. c. Pemindaian CT scan dan MRI, untuk mendeteksi stroke serta kemungkinan adanya cedera atau tumor di otak. 8. Penatalaksanaan Halusinasi Menurut Marasmis (2004) Pengobatan harus secepat mungkin diberikan, disini peran keluarga sangat penting karena setelah mendapatkan perawatan di RSJ klien dinyatakan boleh pulang sehingga keluarga mempunyai peranan yang sangat penting didalam hal merawat klien, menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif dan sebagai pengawas minum obat (Prabowo, 2014). a. Penatalaksanaan Medis Menurut Struat, Laraia (2005) Penatalaksanaan klien skizofrenia yang mengalami halusinasi adalah dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain (Muhith, 2015). 1) Psikofarmakologis, obat yang lazim digunakan pada gejala halusinasi pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada klien skizofrenia adalah obat anti psikosis. Adapun kelompok yang umum digunakan adalah :
Kelaskimia Dosis harian
Trihexyphenidy 2 mg l HCL Clorpromazine 100 mg HCL Haloperidol 5-15 mg 2) Terapi kejang listrik Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik. b. Penatalaksanaan Keperawatan 1) Penerapan Strategi Pelaksanaan Menurut Keliat (2007) tindakan keperawatan yang dilakukan : a) Melatih klien mengontrol halusinasi : 1) Strategi Pelaksanaan 1 : menghardik halusinasi 2) Strategi Pelaksanaan 2 : menggunakan obat secara teratur 3) Strategi Pelaksanaan 3: bercakap-cakap dengan orang lain 4) Strategi Pelaksanaan 4 : melakukan aktivitas yang terjadwal b) Menurut Pusdiklatnakes (2012) tindakan keperawatan tidak hanya ditujukan untuk klien tetapi juga diberikan kepada keluarga , sehingga keluarga mampu mengarahkan klien dalam mengontrol halusinasi. 1) Strategi Pelaksanaan 1 keluarga : mengenal masalah dalam merawat klien halusinasi dan melatih mengontrol halusinasi klien dengan menghardik 2) Strategi Pelaksanaan 2 keluarga : melatih keluarga merawat klien halusinasi dengan enam benar minum obat 3) Strategi Pelaksanaan 3 keluarga : melatih keluarga merawat klien halusinasi dengan bercakap-cakap dan melakukan kegiatan 4) Strategi Pelaksanaan 4 keluarga : melatih keluarag memnafaatkan fasilitas kesehatan untuk follow up klien halusinasi c) Psikoterapi dan rehabilitasi Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu karena klien kembali ke masyarakat, selain itu terapi kerja sangat baik untuk mendorong klien bergaul dengan orang lain, klien lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya klien tidak mengasingkan diri karena dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik, dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama, seperti terapi modalitas yang terdiri dari : 1) Terapi aktivitas Meliputi : terapi musik, terapi seni, terapi menari, terapi relaksasi, terapi sosial, terapi kelompok , terapi lingkungan. B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Keperawatan Menurut Stuart (2009).
Bahwa faktor-faktor terjadinya halusinasi meliputi:
a. Faktor predisposisi Faktor predisposisi atau faktor yang mendukung terjadinya halusinasi adalah : 1) Faktor biologis Pada keluarga yang melibatkan anak kembar dan anak yang diadopsi menunjukkan peran genetik pada schizophrenia.Kembar identik yang dibesarkan secara terpisah mempunyai angka kejadian schizophrenia lebih tinggi dari pada saudara sekandung yang dibesarkan secara terpisah. 2) Faktor psikologis Hubungan interpersonal yang tidak harmonis akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang berakhir dengan gangguan orientasi realita. 3) Faktor sosial budaya Stress yang menumpuk awitan schizophrenia dan gangguan psikotik lain, tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama gangguan. b. Faktor presipitasi Faktor presipitasi atau faktor pencetus halusinasi adalah: 1) Biologis Stressor biologis yang berhubungan dengan respon neurobiologis maladaptif adalah gangguan dalam komunikasi dan putaran umpan balik otak dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak, yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus. 2) Lingkungan Ambang toleransi terhadap stres yang ditentukan secara biologis berinteraksi dengan stresor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan prilaku. 3) Stres sosial / budaya Stres dan kecemasan akan meningkat apabila terjadi penurunan stabilitas keluarga, terpisahnya dengan orang terpenting atau disingkirkan dari kelompok. 4) Faktor psikologik Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan mengatasi masalah dapat menimbulkan perkembangan gangguan sensori persepsi halusinasi. 5) Mekanisme koping Menurut Stuart (2013) perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi pasien dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respons neurobiologis maladaptif meliputi : regresi, berhunbungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi ansietas, yang menyisakan sedikit energi untuk aktivitas sehari-hari. Proyeksi, sebagai upaya untuk menejlaskan kerancuan persepsi dan menarik diri. 6) Sumber koping Sumber koping individual harus dikaji dengan pemahaman tentang pengaruh gangguan otak pada perilaku. Orang tua harus secara aktif mendidik anak–anak dan dewasa muda tentang keterampilan koping karena mereka biasanya tidak hanya belajar dari pengamatan. Disumber keluarga dapat pengetahuan tentang penyakit, finensial yang cukup, faktor ketersediaan waktu dan tenaga serta kemampuan untuk memberikan dukungan secara berkesinambungan. 7) Perilaku halusinasi Batasan karakteristik halusinasi yaitu bicara teratawa sendiri, bersikap seperti memdengar sesuatu, berhenti bicara ditengah – tengah kalimat untuk mendengar sesuatu, disorientasi, pembicaraan kacau dan merusak diri sendiri, orang lain serta lingkungan. 2. Pohon masalah
Resiko Cedera Effect
Perubahan sensori persepsi Core Problem
Harga Diri Rendah Cause
3. Diagnosa Keperawatan a) Harga Diri Rendah b) Perubahan sensori persepsi c) Risiko Cedera
4. Rencana asuhan Keperawatan
Tujuan Umum Pasien dapat mengontrol halusinasi yang dialaminya Tujuan Khusus a. TUK 1 : pasien dapat membina hubungan saling percaya 1) Kriteria Hasil Setelah 1 X interaksi, pasien mampu membina hubungan saling percaya dengan perawat dengan kriteria: ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, da kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau dududk berdampingan dengan perawat, mau mengungkapkan perasaannya 2) Intervensi Effect Cor Problem CauseBina hubungna saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik a) Sapa pasien dengan ramah baik verbal maupun non verbal b) Perkenakan nama, nama panggilan dan tujuan perawat berkenalan c) Tanyakan nama lengkap dan panggilan yang disukai pasien d) Buat kontrak yang jelas e) Tunjukkan sikap jujur dan menunjukkan sikap empati serta menerima apa adanya f) Beri perhatian kepada pasien dan perhatikan kebutuhan dasar pasien g) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya h) Dengarkan ungkapan pasien dengan penuh perhatian ada ekspresi perasaan pasien. b. TUK 2 : pasien dapat mengenal halusinasinya 1) Kriteria Hasil Setelah 2 X interaksi, pasien dapat menyebutkan: a) Isi b) Waktu c) Frekuensi d) Situasi dan kondisi yang menimbulkan halusinasi 2) Intervensi a) Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap b) Observasi tingkah laku yang terkait dengan halusinasi ( verbal dan nono verbal) c) Bantu mengenal halusinasi d) Jika pasien tidak sedang berhalusinasi klarivikasi tentang adanya pengalaman halusinasi, diskusikan dengan pasien isi, waktu, dn frekuensi halusinasi pagi, siang , sore, malam atau sering, jarang ) e) Diskusikan tentang apa yang dirasakaan saat terjadi hausinasi f) Dorong untuk mengungkapkan perasaan saat terjadi halusinasi g) Diskusikan tentang dampak yang akan dialami jika pasien menikmati halusinasinya. c. TUK 3 : pasien dapat mengontrol halusinasinya 1) Kriteria Hasil Setelah 2 X interaksi pasien menyebutkan tindakan yang biasanya diakukan untuk mengendalikan halusinasinya. 2) Intervensi a) Identifikasi bersama tentang cara tindakan jika terjadi halusinasi b) Diskusikan manfaat cara yang digunakan paisen c) Diskusikan cara baru untuk memutus/ mengontrol halusinasi d) Bantu pasien memiih cara yang sudah dianjurkan dan latih untuk mencobanya e) Pantau pelaksanaan tindakan yang telah dipiih dan dilatih, jika berhasi beri pujian d. TUK 4 : pasien dapat dukungan dari keluarga daam mengontrol hausinasi 1) Kriteria Hasil: Setelah 2 X interaksi keluarga menyatakan setuju untuk mengikuti pertemuan dengan perawat 2) Intervensi a) Buat kontak pertemuan dengan keluarga (waktu, topik, tempat) b) Diskusikan dengan keluarga : pemgertian halusianasi, tanda gejala, proses terjadi, cara yang bisa diakukan oleh pasien dan keluarga untuk memutus halusinasi, obat-obat halusinasi, cara merawat pasien halusinasi dirumah, beri informasi waktu follow up atau kapan perlu mendapat bantuan. c) Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga e. TUK 5 : pasien dapat menggunakan obat dengan benar 1) Kriteria Hasil Setelah 2 X interaksi pasien mendemonstrasikan penggunaan obat dengan benar 2) Intervensi a) Diskusikan tentang manfaat dan kerugian tidak minum obat, dosis, nama, frekuensi, efek samping minum obat b) Pantau saat pasien minum obat c) Anjurkan pasien minta sendiri obatnya pada perawat d) Beri reinforcemen jika pasien menggunakan obat dengan benar e) Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter f) Anjurkan pasien berkonsultasi dengan dokter/perawat jika terjadi hal-ha yang tidak diinginkan. (Prabowo, 2014) f. TUK 6 : Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain. 1) Kriteria hasil : Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain untuk: a. Diri sendiri b. Orang lain. 2) Intevensi : a. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan orang lain. b. Diskusikan dengan klien tentang perasaan manfaat berhubungan dengan orang lain. c. Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan manfaat berhubungan dengan orang lain. g. TUK 7 : Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga mampu mengembangkan kemampuan klien untuk berhubungan dengan orang lain. 1) Kriteria hasil : Keluarga dapat : a. Menjelaskan perasaannya b. Menjelaskan cara merawat klien menarik diri c. Mendemonstrasikan cara perawatan klien menarik diri. d. Berpartisipasi dalam perawatan klien menarik diri. 2) Intervensi : Bina hubungan saling percaya dengan keluarga: a. Salam perkenalan diri b. Sampaikan tujuan c. Buat kontrak d. Ekslorasi perasaan keluarga. 3) Diskusikan dengan anggota keluarga tentang : a.Perilaku menarik diri b. Penyebab perilaku menarik diri c.Akibat yang akan terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi d. Cara keluarga menghadapi klien menarik diri. e.Dorong anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjeguk klien minimal satu kali seminggu. f. Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk klien minimal satu kali seminggu. g. Beri reinforcement atas hal-hal yang telah dicapai oleh keluarga. 5. Implementasi keperawatan Tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan PPNI, (2018). Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. 6. Evaluasi keperawatan Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan. Menurut Nursalam, (2009) evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis yaitu: a. Evaluasi formatif Hasil observasi dan analisis perawat terhadap respon segera pada saat dan setelah dilakukan tindakan keperawatan. b. Evaluasi sumatif Merupakan evaluasi akhir dimana dalam metode evaluasi ini menggunakan SOAP (Subjektif, Objektif, Assesment, dan Planning).