Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

“HALUSINASI”

Oleh

ANASTASYA GUNARJO
BT 2001066

CI LAHAN CI INSTITUSI

AKADEMI KEPERAWATAN BATARI TOJA


WATAMPONE
2022
A. Konsep Medis
1. Definisi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang
dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus
yang nyata. Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau pengalaman
persepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan Sheila L Vidheak,dalam
Damayanti dan iskandar (2014).
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori tentang suatu objek atau
gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari
luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan ( Dalami, dkk,
2014).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar).
Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari pancaindera tanpa adanya
rangsangan (stimulus) eksternal. Halusinasi merupakan gangguan persepsi
dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, yang dimaksud dengan
halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dimana klien mempersepsikan
sesuatu melalui panca indera tanpa ada stimulus eksternal. Halusinasi
berbeda dengan ilusi, dimana klien mengalami persepsi yang salah
terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya
stimulus eksternal yang terjadi, stimulus internal dipersepsikan sebagai
sesuatu yang nyata ada oleh klien.
2. Jenis-Jenis Halusinasi
Halusinasi Menurut Trimeilia (2011) jenis-jenis halusinasi adalah
sebagai berikut :
a) Halusinasi pendengaran (auditory)
Mendengar suara yang membicarakan, mengejek, mentertawakan,
mengancam, memerintahkan untuk melakukan sesuatu (kadang-
kadang hal yang berbahaya). Perilaku yang muncul adalah
mengarahkan telinga pada sumber suara, bicara atau tertawa sendiri,
marah-marah tanpa sebab, menutup telinga, mulut komat-kamit, dan
ada gerakan tangan.
b) Halusinasi penglihatan (visual)
Stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambar,
orang atau panorama yang luas dan kompleks, bisa yang
menyenangkan atau menakutkan. Perilaku yang muncul adalah
tatapan mata pada tempat tertentu, menunjuk ke arah tertentu,
ketakutan pada objek yang dilihat.
c) Halusinasi penciuman (olfactory)
Tercium bau busuk, amis, dan bau yang menjijikan, seperti bau
darah, urine atau feses atau bau harum seperti parfum. Perilaku yang
muncul adalah ekspresi wajah seperti mencium dengan gerakan
cuping hidung, mengarahkan hidung pada tempat tertentu, menutup
hidung.
d) Halusinasi pengecapan (gustatory)
Merasa mengecap sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan,
seperti rasa darah, urine atau feses. Perilaku yang muncul adalah
seperti mengecap, mulut seperti gerakan mengunyah sesuatu, sering
meludah, muntah.
e) Halusinasi perabaan (taktil)
Mengalami rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat,
seperti merasakan sensasi listrik dari tanah, benda mati atau orang.
Merasakan ada yang menggerayangi tubuh seperti tangan, binatang
kecil dan makhluk halus. Perilaku yang muncul adalah mengusap,
menggaruk-garuk atau meraba-raba permukaan kulit, terlihat
menggerakkan badan seperti merasakan sesuatu rabaan.
f) Halusinasi sinestetik
Merasakan fungsi tubuh, seperti darah mengalir melalui vena
dan arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine, perasaan
tubuhnya melayang di atas permukaan bumi. Perilaku yang muncul
adalah klien terlihat menatap tubuhnya sendiri dan terlihat seperti
merasakan sesuatu yang aneh tentang tubuhnya.
3. Etiologi
a. Faktor predisposisi
faktor predisposisi klien dengan halusinasi :
1) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol
dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri
sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentah
terhadap stress.
2) Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungannya sejak bayi
akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungannya.
3) Faktor biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya
stres yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia.
Akibat stres berkepanjangan jangan menyebabkan teraktivitasnya
neurotransmitter otak.
4) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh
pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang
tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat
dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang
tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi
menunjukan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
b. Faktor presipitasi
1) Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah, bingung, perilaku menarik diri,
kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak
dapat membedakan keadaan yang nyata dan tidak nyata.
Menurut Rawlins dan Heacock (1993) mencoba memecahkan
masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang
individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur
bio-psiko-sosio-spritual. Sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima
dimensi yaitu :
a) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik
seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan,
demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan
untuk tidur dalam waktu yang sama.
b) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak
dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi, isi
daari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan
menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah
tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu
terhadap kekuatan tersebut.
c) Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu
dengan halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, namun merupakan satu hal
yang menimbulkan kewaspadaan 12 yang dapat menagmabil
seluruh perhatian klien dan jarang akan mengontrol semua
perilaku klien.
d) Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dari fase awal dan
comforting klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi
dialam nyata sangat membahayakan. Klien asik dengan
halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk
memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, contoh diri dan
harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi
halusinasi dijadikan ancaman, dirinya atau orang lain individu
cenderung keperawatan klien dengan mengupayakan suatu
proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal
yang memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri
sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan
halusinasi tidak berlangsung.
e) Dimensi spritual
Secara spritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan
hidup, rutinitas, tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan
jarang berupaya secara spritual untuk menyucikan diri, irama
sirkardiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan
bangun sangat siang. Saat terbangun terasa hampa dan tidak
jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi lemah
dalam upaya memjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan
orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.
4. Tahapan Proses Terjadinya
Trimeilia (2011) tahapan halusinasi ada lima fase yaitu:
a. Stage I (Sleep Disorder)
Fase awal seseorang sebelum muncul halusinasi.
Karakteristik : Klien merasa banyak masalah, ingin menghindar
dari lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak
masalah. Masalah makin terasa sulit karena berbagai stressor
terakumulasi, misalnya kekasih hamil, terlibat narkoba, dikhianati
kekasih, masalah di kampus, di drop out, dst. Masalah terasa
menekan karena terakumulasi sedangkan support sistem kurang
dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur
berlangung terus-menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien
menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan
masalah.
b. Stage II (Comforting Moderate Level of Anxiety)
Halusinasi secara umum ia terima sebagai sesuatu yang alami.
Karakteristik : Klien mengalami emosi yang berlanjut, seperti
adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan
mencoba untuk memusatkan pemikiran pada timbulnya
kecemasan. Ia beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan
sensorinya dapat ia kontrol bila kecemasannya diatur, dalam
tahapan ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan
halusinasinya. Perilaku yang muncul biasanya dalah menyeringai
atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibirnya tanpa
menimbulkan suara, gerakan mata cepat, respon verbal lamban,
diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikkan.
c. Stage III (Condemning Severe Level of Anxiety)
Secara umum halusinasi sering mendatangi klien.
Karakteristik : Pengalaman sensori klien menjadi sering datang
dan mengalami bias. Klien mulai merasa tidak mampu
mengontrolnya dan mulai berupaya untuk menjaga jarak antara
dirinya dengan objek yang dipersepsikan klien. Klien mungkin
merasa malu karena pengalaman sensorinya tersebut dan menarik
diri dari orang lain dengan intensitas watu yang lama. Perilaku
yang muncul adalah terjadinya peningkatan sistem syaraf otonom
yang menunjukkan ansietas atau kecemasan, seperti : pernafasan
meningkat, tekanan darah dan denyut nadi menurun, konsentrasi
menurun.
d. Stage IV (Controling Severe Level of Anxiety)
Fungsi sensori menjadi tidak relevan dengan kenyataan.
Karakteristik : Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori
abnormal yang datang. Klien dapat merasakan kesepian bila
halusinasinya berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan
psikotik. Perilaku yang biasanya muncul yaitu individu cenderung
mengikuti petunjuk sesuai isi halusinasi, kesulitan berhubungan
dengan orang lain, rentang perhatian hanya beberapa detik/menit.
e. Stage V (Concuering Panic Level of Anxiety)
Klien mengalami gangguan dalam menilai lingkungannya.
Karakteristik : Pengalaman sensorinya terganggu. Klien mulai
terasa terancam dengan datangnya suara-suara terutama bila klien
tidak dapat menuruti ancaman atau perintah yang ia dengar dari
halusinasinya. Halusinasi dapat berlangsung selama minimal
empat jam atau seharian bila klien tidak mendapatkan komunikasi
terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat. Perilaku yang muncul
adalah perilaku menyerang, risiko bunuh diri atau membunuh, dan
kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi (amuk, agitasi,
menarik diri).
5. Tanda dan Gejala
Tandadangejalahalusinasidinilaidarihasilobservasiterhadappasienserta
ungkapanpasien :
a. Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai
b. Menggerakkanbibirnya tanpa menimbulkan suara
c. Gerakan mata cepat
d. Menutup telinga
e. Respon verbal lambat atau diam
f. Diamdandipenuhioleh sesuatu yang mengasyikkan
g. Terlihat bicara sendiri
h. Menggerakkan bola mata dengan cepat
i. Bergeraksepertimembuang atau mengambil sesuatu
j. Dudukterpaku, memandangsesuatu, tiba-tibaberlarikeruangan lain
6. Komplikasi
Halusinasi dapat menjadi suatu alasan mengapa klien melakukan
tindakan perilaku kekerasan karena suara-suara yang memberinya
perintah sehingga rentan melakukan perilaku yang tidak adaptif.
Perilaku kekerasan yang timbul pada klien skizofrenia diawali dengan
adanya perasaan tidak berharga, takut dan ditolak oleh lingkungan
sehingga individu akan menyingkir dari hubungan 13 interpersonal
dengan orang lain,komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan
masalah utama gangguan sensori persepsi: halusinasi, antara lain:
resiko prilaku kekerasan, harga diri rendah dan isolasi sosial (Keliat,
2014).
7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui
penyebab dari halusinasi (Stuart, 2015), yaitu :
a. Pemeriksaan darah dan urine, untuk melihat kemungkinan infeksi
serta penyalahgunaan alkohol dan NAPZA.
b. EEG (elektroensefalogram), yaitu pemeriksaan aktivitas listrik otak
untuk melihat apakah halusinasi disebabkan oleh epilepsi.
c. Pemindaian CT scan dan MRI, untuk mendeteksi stroke serta
kemungkinan adanya cedera atau tumor di otak.
8. Penatalaksanaan Halusinasi
Menurut Marasmis (2004) Pengobatan harus secepat mungkin
diberikan, disini peran keluarga sangat penting karena setelah
mendapatkan perawatan di RSJ klien dinyatakan boleh pulang
sehingga keluarga mempunyai peranan yang sangat penting didalam
hal merawat klien, menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif
dan sebagai pengawas minum obat (Prabowo, 2014).
a. Penatalaksanaan Medis
Menurut Struat, Laraia (2005) Penatalaksanaan klien
skizofrenia yang mengalami halusinasi adalah dengan pemberian
obat-obatan dan tindakan lain (Muhith, 2015).
1) Psikofarmakologis, obat yang lazim digunakan pada gejala
halusinasi pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada
klien skizofrenia adalah obat anti psikosis. Adapun kelompok
yang umum digunakan adalah :

Kelaskimia Dosis harian


Trihexyphenidy 2 mg
l HCL
Clorpromazine 100 mg
HCL
Haloperidol 5-15 mg
2) Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk
menimbulkan kejang grandmall secara artificial dengan
melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang pada
satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan pada
skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral
atau injeksi dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Penerapan Strategi Pelaksanaan Menurut Keliat (2007)
tindakan keperawatan yang dilakukan :
a) Melatih klien mengontrol halusinasi :
1) Strategi Pelaksanaan 1 : menghardik halusinasi
2) Strategi Pelaksanaan 2 : menggunakan obat secara
teratur
3) Strategi Pelaksanaan 3: bercakap-cakap dengan orang
lain
4) Strategi Pelaksanaan 4 : melakukan aktivitas yang
terjadwal
b) Menurut Pusdiklatnakes (2012) tindakan keperawatan
tidak hanya ditujukan untuk klien tetapi juga diberikan
kepada keluarga , sehingga keluarga mampu mengarahkan
klien dalam mengontrol halusinasi.
1) Strategi Pelaksanaan 1 keluarga : mengenal masalah
dalam merawat klien halusinasi dan melatih
mengontrol halusinasi klien dengan menghardik
2) Strategi Pelaksanaan 2 keluarga : melatih keluarga
merawat klien halusinasi dengan enam benar minum
obat
3) Strategi Pelaksanaan 3 keluarga : melatih keluarga
merawat klien halusinasi dengan bercakap-cakap dan
melakukan kegiatan
4) Strategi Pelaksanaan 4 keluarga : melatih keluarag
memnafaatkan fasilitas kesehatan untuk follow up
klien halusinasi
c) Psikoterapi dan rehabilitasi
Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat
membantu karena klien kembali ke masyarakat, selain itu
terapi kerja sangat baik untuk mendorong klien bergaul
dengan orang lain, klien lain, perawat dan dokter.
Maksudnya supaya klien tidak mengasingkan diri karena
dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik, dianjurkan
untuk mengadakan permainan atau latihan bersama, seperti
terapi modalitas yang terdiri dari :
1) Terapi aktivitas Meliputi : terapi musik, terapi seni,
terapi menari, terapi relaksasi, terapi sosial, terapi
kelompok , terapi lingkungan.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan Menurut Stuart (2009).

Bahwa faktor-faktor terjadinya halusinasi meliputi:


a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi atau faktor yang mendukung terjadinya
halusinasi adalah :
1) Faktor biologis
Pada keluarga yang melibatkan anak kembar dan anak yang
diadopsi menunjukkan peran genetik pada
schizophrenia.Kembar identik yang dibesarkan secara terpisah
mempunyai angka kejadian schizophrenia lebih tinggi dari
pada saudara sekandung yang dibesarkan secara terpisah.
2) Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis akan
mengakibatkan stress dan kecemasan yang berakhir dengan
gangguan orientasi realita.
3) Faktor sosial budaya
Stress yang menumpuk awitan schizophrenia dan gangguan
psikotik lain, tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama
gangguan.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi atau faktor pencetus halusinasi adalah:
1) Biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan respon
neurobiologis maladaptif adalah gangguan dalam komunikasi
dan putaran umpan balik otak dan abnormalitas pada mekanisme
pintu masuk dalam otak, yang mengakibatkan ketidakmampuan
untuk secara selektif menanggapi stimulus.
2) Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stres yang ditentukan secara biologis
berinteraksi dengan stresor lingkungan untuk menentukan
terjadinya gangguan prilaku.
3) Stres sosial / budaya
Stres dan kecemasan akan meningkat apabila terjadi penurunan
stabilitas keluarga, terpisahnya dengan orang terpenting atau
disingkirkan dari kelompok.
4) Faktor psikologik Intensitas kecemasan yang ekstrem dan
memanjang disertai terbatasnya kemampuan mengatasi masalah
dapat menimbulkan perkembangan gangguan sensori persepsi
halusinasi.
5) Mekanisme koping
Menurut Stuart (2013) perilaku yang mewakili upaya untuk
melindungi pasien dari pengalaman yang menakutkan
berhubungan dengan respons neurobiologis maladaptif
meliputi : regresi, berhunbungan dengan masalah proses
informasi dan upaya untuk mengatasi ansietas, yang menyisakan
sedikit energi untuk aktivitas sehari-hari. Proyeksi, sebagai
upaya untuk menejlaskan kerancuan persepsi dan menarik diri.
6) Sumber koping
Sumber koping individual harus dikaji dengan pemahaman
tentang pengaruh gangguan otak pada perilaku. Orang tua harus
secara aktif mendidik anak–anak dan dewasa muda tentang
keterampilan koping karena mereka biasanya tidak hanya belajar
dari pengamatan. Disumber keluarga dapat pengetahuan tentang
penyakit, finensial yang cukup, faktor ketersediaan waktu dan
tenaga serta kemampuan untuk memberikan dukungan secara
berkesinambungan.
7) Perilaku halusinasi
Batasan karakteristik halusinasi yaitu bicara teratawa sendiri,
bersikap seperti memdengar sesuatu, berhenti bicara ditengah –
tengah kalimat untuk mendengar sesuatu, disorientasi,
pembicaraan kacau dan merusak diri sendiri, orang lain serta
lingkungan.
2. Pohon masalah

Resiko Cedera Effect

Perubahan sensori persepsi Core Problem

Harga Diri Rendah Cause

3. Diagnosa Keperawatan
a) Harga Diri Rendah
b) Perubahan sensori persepsi
c) Risiko Cedera

4. Rencana asuhan Keperawatan


Tujuan Umum
Pasien dapat mengontrol halusinasi yang dialaminya Tujuan Khusus
a. TUK 1 : pasien dapat membina hubungan saling percaya
1) Kriteria Hasil
Setelah 1 X interaksi, pasien mampu membina hubungan saling
percaya dengan perawat dengan kriteria: ekspresi wajah
bersahabat, menunjukkan rasa senang, da kontak mata, mau
berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau dududk
berdampingan dengan perawat, mau mengungkapkan
perasaannya
2) Intervensi
Effect Cor Problem CauseBina hubungna saling percaya dengan
menggunakan prinsip komunikasi terapeutik
a) Sapa pasien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
b) Perkenakan nama, nama panggilan dan tujuan perawat
berkenalan
c) Tanyakan nama lengkap dan panggilan yang disukai pasien
d) Buat kontrak yang jelas
e) Tunjukkan sikap jujur dan menunjukkan sikap empati serta
menerima apa adanya
f) Beri perhatian kepada pasien dan perhatikan kebutuhan dasar
pasien
g) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya
h) Dengarkan ungkapan pasien dengan penuh perhatian ada
ekspresi perasaan pasien.
b. TUK 2 : pasien dapat mengenal halusinasinya
1) Kriteria Hasil
Setelah 2 X interaksi, pasien dapat menyebutkan:
a) Isi
b) Waktu
c) Frekuensi
d) Situasi dan kondisi yang menimbulkan halusinasi
2) Intervensi
a) Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap
b) Observasi tingkah laku yang terkait dengan halusinasi
( verbal dan nono verbal)
c) Bantu mengenal halusinasi
d) Jika pasien tidak sedang berhalusinasi klarivikasi tentang
adanya pengalaman halusinasi, diskusikan dengan pasien isi,
waktu, dn frekuensi halusinasi pagi, siang , sore, malam atau
sering, jarang )
e) Diskusikan tentang apa yang dirasakaan saat terjadi hausinasi
f) Dorong untuk mengungkapkan perasaan saat terjadi
halusinasi
g) Diskusikan tentang dampak yang akan dialami jika pasien
menikmati halusinasinya.
c. TUK 3 : pasien dapat mengontrol halusinasinya
1) Kriteria Hasil
Setelah 2 X interaksi pasien menyebutkan tindakan yang
biasanya diakukan untuk mengendalikan halusinasinya.
2) Intervensi
a) Identifikasi bersama tentang cara tindakan jika terjadi
halusinasi
b) Diskusikan manfaat cara yang digunakan paisen
c) Diskusikan cara baru untuk memutus/ mengontrol halusinasi
d) Bantu pasien memiih cara yang sudah dianjurkan dan latih
untuk mencobanya
e) Pantau pelaksanaan tindakan yang telah dipiih dan dilatih,
jika berhasi beri pujian
d. TUK 4 : pasien dapat dukungan dari keluarga daam mengontrol
hausinasi
1) Kriteria Hasil:
Setelah 2 X interaksi keluarga menyatakan setuju untuk
mengikuti pertemuan dengan perawat
2) Intervensi
a) Buat kontak pertemuan dengan keluarga (waktu, topik,
tempat)
b) Diskusikan dengan keluarga : pemgertian halusianasi, tanda
gejala, proses terjadi, cara yang bisa diakukan oleh pasien
dan keluarga untuk memutus halusinasi, obat-obat halusinasi,
cara merawat pasien halusinasi dirumah, beri informasi
waktu follow up atau kapan perlu mendapat bantuan.
c) Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
e. TUK 5 : pasien dapat menggunakan obat dengan benar
1) Kriteria Hasil
Setelah 2 X interaksi pasien mendemonstrasikan penggunaan
obat dengan benar
2) Intervensi
a) Diskusikan tentang manfaat dan kerugian tidak minum obat,
dosis, nama, frekuensi, efek samping minum obat
b) Pantau saat pasien minum obat
c) Anjurkan pasien minta sendiri obatnya pada perawat
d) Beri reinforcemen jika pasien menggunakan obat dengan
benar
e) Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi
dengan dokter
f) Anjurkan pasien berkonsultasi dengan dokter/perawat jika
terjadi hal-ha yang tidak diinginkan. (Prabowo, 2014)
f. TUK 6 : Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah
berhubungan dengan orang lain.
1) Kriteria hasil :
Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan
dengan orang lain untuk:
a. Diri sendiri
b. Orang lain.
2) Intevensi :
a. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila
berhubungan dengan orang lain.
b. Diskusikan dengan klien tentang perasaan manfaat
berhubungan dengan orang lain.
c. Beri reinforcement positif atas kemampuan klien
mengungkapkan perasaan manfaat berhubungan dengan
orang lain.
g. TUK 7 :
Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga
mampu mengembangkan kemampuan klien untuk berhubungan
dengan orang lain.
1) Kriteria hasil : Keluarga dapat :
a. Menjelaskan perasaannya
b. Menjelaskan cara merawat klien menarik diri
c. Mendemonstrasikan cara perawatan klien menarik diri.
d. Berpartisipasi dalam perawatan klien menarik diri.
2) Intervensi : Bina hubungan saling percaya dengan keluarga:
a. Salam perkenalan diri
b. Sampaikan tujuan
c. Buat kontrak
d. Ekslorasi perasaan keluarga.
3) Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
a.Perilaku menarik diri
b. Penyebab perilaku menarik diri
c.Akibat yang akan terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi
d. Cara keluarga menghadapi klien menarik diri.
e.Dorong anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjeguk
klien minimal satu kali seminggu.
f. Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk
klien minimal satu kali seminggu.
g. Beri reinforcement atas hal-hal yang telah dicapai oleh
keluarga.
5. Implementasi keperawatan
Tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang
dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi
keperawatan PPNI, (2018). Implementasi keperawatan adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu
klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan
yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.
6. Evaluasi keperawatan
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai
tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui
pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari
proses keperawatan. Menurut Nursalam, (2009) evaluasi keperawatan
terdiri dari dua jenis yaitu:
a. Evaluasi formatif
Hasil observasi dan analisis perawat terhadap respon segera pada
saat dan setelah dilakukan tindakan keperawatan.
b. Evaluasi sumatif
Merupakan evaluasi akhir dimana dalam metode evaluasi ini
menggunakan SOAP (Subjektif, Objektif, Assesment, dan
Planning).

Anda mungkin juga menyukai