Disusun oleh:
ANDHEAS PUTRI V 223203012
2. Etiologi Halusinasi
b. Faktor Presipitasi
Menurut Rawlins dan Heacock (dalam Yosep, 2014) dalam
hakekatnya seorang individu sebagai mahluk yang dibangun atas dasar
unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari
lima dimensi, yaitu:
1) Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium
dan kesulitan tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi. Halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan.
Klien tidak sanggup menentang sehingga klien berbuat sesuatu terhadap
ketakutan tersebut.
3) Dimensi Intelektual
Dalam hal ini klien dengan halusinasi mengalami penurunan fungsi ego.
Awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan
impuls yang menekan,namun menimbulkan kewaspadaan yang dapat
mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol
semua perilaku klien.
4) Dimensi Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial di dalam fase awal dan
comforting menganggap bahwa bersosialisasi nyata sangat
membahayakan. Klien halusinasi lebih asyik dengan halusinasinya
seolah-olah itu tempat untuk bersosialisasi.
5) Dimensi Spiritual
Klien halusinasi dalam spiritual mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas tidak bermakna, dan hilangnya aktivitas beribadah. Klien
halusinasi dalam setiap bangun merasa hampa dan tidak jelas tujuan
hidupnya.
3. Jenis Halusinasi
Menurut Prabowo (2014) halusinasi terdiri dari beberapa jenis dengan
karakteristik tertentu, diantaranya:
a. Halusinasi pendengaran (audotorik)
Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama
suara orang. Biasanya mendengar suara orang yang sedang
membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan
untuk melakukan sesuatu.
b. Halusinasi pengelihatan (visual)
Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pancaran
cahaya,gambaran geometric, gambar kartun, panorama yang luas dan
bayangan yang menakutkan.
c. Halusinasi penghidu (Olfaktori)
Gangguan stimulus pada penghidu, yang ditandai dengan adanya bau
busuk, amis, dan bau menjijikan, tapi kadang terhidu bau harum.
d. Halusinasi peraba (taktil)
Gangguan stimulusyang ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak
enak tanpa ada stimulus yang terlihat, seperti merasakan sensasi listrik
datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
e. Halusinasi pengecap (gustatorik)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasaan sesuatu yang busuk,
amis, dan menjijikan.
f. Halusinasi sinestetik
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh
seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau
pembentuan urine.
5. Fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitas dan
keparahannya. Menurut Kusumawati & Hatono (2014) membagi fase
halusinasi dalam 4 fase berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan
kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase halusinasi
klien, semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh
halusinasinya.
a. Fase Comforting
1) Pada tahap ini pasien mengalami ansietas tingkat sedang, secara
umum halusinasi bersifat menyenangkan.
2) Karakteristik: Klien mengalami keadaan emosi seperti ansietas,
kesepian, rasa bersalah, dan takut, serta mencoba untuk berfokus pada
penenangan pikiran untuk mengurangi ansietas. Individu mengetahui
bahwa pikiran dan pengalaman sensori yang dialaminya tersebut dapat
dikendalikan jika ansietasnya bisa diatasi (Non psikotik).
3) Perilaku pasien: Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan bibir tanpa menimbulkan suara, pergerakan mata yang
cepat, respon verbal yang lambat, diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang
mengasyikan.
b. Fase Condemning
1) Pada tahap ini pasien mengalami ansietas tingkat berat,
secara umum halusinasi menjadi menjijikkan.
2) Karakterisitik: Pengalaman sensori bersifat menjijikkan dan
menakutkan, klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk
menjauhkan dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Klien mungkin
merasa malu karena
pengalaman sensorinya dan menarik diri dari orang lain
(Psikotik ringan).
3) Perilaku pasien: Peningkatan sistem syaraf otonom yang
menunjukkan ansietas, seperti peningkatan nadi, pernafasan, dan
tekanan darah, penyempitan kemampuan konsentrasi, dipenuhi dengan
pengalaman sensori, dan kehilangan kemampuan membedakan antara
halusinasi dengan realita.
c. Fase Controlling
1) Pada tahap ini pasien mengalami ansietas tingkat berat,
pengalaman sensori menjadi berkuasa.
2) Karakteristik: Pasien menghentikan perlawanan terhadap
halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi
menarik, dapat berupa permohonan. Klien mungkin mengalarni kesepian
jika pengalaman sensori tersebut berakhir (Psikotik).
3) Perilaku pasien: Cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan
halusinasinya daripada menolaknya, kesukaran berhubungan dengan
orang lain, rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit, adanya
tanda-tanda fisik ansietas berat: berkeringat, tremor, tidak mampu
mengikuti petunjuk.
d. Fase Conquering
1) Pada tahap ini pasien mengalami panik, umumnya
halusinasi menjadi lebih rumit, melebur dalam
halusinasinya.
2) Karakteristik: Pengalaman sensori menjadi mengancam dan
menakutkan jika klien tidak mengikuti perintah. Halusinasi bisa
berlangsung dalam beberapa jam atau hari jika tidak ada intervensi
terapeutik (Psikotik Berat).
3) Perilaku pasien: Perilaku menyerang-teror seperti panik, berpotensi
kuat melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain, Aktivitas fisik
yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk, agitasi, menarik diri,
atau katatonia, tidak
mampu berespon terhadap perintah yang kompleks, tidak mampu
berespon terhadap lebih dari satu orang.
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/8878/4/Chapter%202.pdf
http://pustaka.poltekkes-pdg.ac.id/repository/
TILLA_VANA_ILHAM_143110271_.pdf