Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP MEDIK ARTHRITIS REUMATOID


1. DEFINISI
Arthritis Rheumatoid adalah penyakit dimana system pertahanan tubuh
sendiri menyerang dirinya sendiri sehingga menyebabkan pembengkakan
dan nyeri pada persendian. Ini bisa terjadi dibanyak bagian tubuh, tapi
biasanya mempengaruhi persendian kecil di tangan dan kaki. Itu juga
dapat mempengaruhi bagian lain dari tubuh seperti kulit, jantung, paru-
paru dan mata. Ini adalah penyakit jangka panjang yang semakin
memburuk dari waktu ke waktu. (Ludfiyani, 2020)
Penyakit Arthritis merupakan salah satu penyakit autoimun berupa
inflamasi arthritis pada pasien dewasa. Penyakit ini terutama mengenai
otototot skelet, tulang, ligamentum, tendon dan persendian pada pria
maupun wanita dengan segala usia. (Ludfiyani, 2020)

2. ETIOLOGI
Etiologi Rheumatoid Arthritis belum diketahui dengan pasti. Namun,
kejadiannya dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor
genetik dan lingkungan :
a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini
memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%
b. Lingkungan, untuk beberapa dekade, sejumlah agen infeksi seperti
organisme mycoplasma, Epstein-Barr dan virus rubella menjadi
predisposisi peningkatan arthritis rheumatoid
c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel
induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T
sehingga muncul timbulnya penyakit arthritis rheumatoid
d. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi
sebagai respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian
(sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan
molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen
infeksi dan sel host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi
silang Limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi
imunologis.
3. PATOFISIOLOGI
Sistem imun merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat
membedakan komponen self dan non-self. Pada kasus rheumatoid arthritis
system imun tidak mampu lagi membedakan keduanya dan menyerang
jaringan synovial serta jaringan penyokong lain. Proses fagositosis
menghasilkan enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga
terjadi edema, proliferasi membrane synovial dan akhirnya pembentukan
pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan
erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang
akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot
akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas
otot dan kekuatan kontraksi otot (Aspiani, 2021)
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi synovial seperti edema,
kongesti vascular, eksudat fibrin, dan infiltrasi selular. Peradangan yang
berkelanjutan, synovial menjadi menebal, terutama pada sendi articular
kartilago dari sendi. Pada persendian ini granulasi membentuk pannus,
atau penutup yang menutupi kartilago. Pannus masuk ke tulang sub
chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan
gangguan pada nutrisi kartilago artikuler, sehingga kartilago menjadi
nekrosis. Tingkat erosi dari kartilago menentukan ketidakmampuan
sendi.Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara
permukaan sendi, karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis).
Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligament
menjadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari
persendian. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan terjadinya nekrosis
(rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas (Aspiani, 2021)

4. MANIFESTASI KLINIS
Ada beberapa gejala klinis yang ditemukan pada penderita Arthritis
Rheumatoid. Gejala klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang
bersamaan oleh karena itu penyakit ini memiliki gejala klinis yang sangat
bervariasi (Saifudin, 2021)
a. Gejala-gejala konstutional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam
b. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi
di tangan, namun biasanya melibatkan sendi-sendi interfalangs distal.
Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang
c. Pentingnya membedakan nyeri yang disebabkan perubahan mekanis
dengan nyeri yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang timbul setelah
aktivitas dan hilang setelah istirahat serta tidak timbul pada pagi hari
merupakan tanda nyeri mekanis. Sedangkan nyeri inflamasi akan
bertambah berat pada pagi hari saat bangun tidur dan disertai kaku
sendi atau nyeri yang hebat pada awal gerak dan berkurang setelah
melakukan aktivitas
d. Kekakuan sendi di pagi hari lebih dari 1 jam, dapat bersifat
generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi, kekakuan ini
berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya
hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1
jam
e. Arthritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi ditepi
tulang
f. Deformitas, kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan
perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, sublukasi sendi
metakarpofalangeal, leher angsa adalah beberapa deformitas tangan
yang sering dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat protusi
(tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari sublukasi
metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terangsang dan
mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam
melakukan gerak ekstensi

5. KOMPLIKASI
Arthritis Rheumatoid adalah penyakit sistemik yang dapat
mempengaruhi bagian lain dari tubuh selain sendi. Menurut (Aspiani,
2021) arthritis rheumatoid dapat menimbulkan komplikasi pada bagian
lain dari tubuh :
a. Sistem Respiratori
Peradangan pada sendi krikoaritenoid tidak jarang dijumpai pada
arthritis rheumatoid. Gejala keterlibatan saluran nafas atas ini
dapat berupa nyeri tenggorokan, nyeri menelan, atau disfonia yang
umumnya terasa lebih berat pada pagi hari. Pada rheumatoid
arthritis yang lanjut dapat pula dijumpai efusi pleura dan fibrosis
paru yang luas
b. Sistem Kardiovaskuler
Seperti halnya pada sistem respiratorik, pada arthritis rheumatoid
jarang dijumpai gejala perikarditis berupa nyeri dada atau
gangguan faal jantung. Akan tetapi pada beberapa pasien dapat
juga dijumpai gejala perikarditis yang berat. Lesi inflamatif yang
menyerupai nodul rheumatoid dapat dijumpai miokardium dan
katup jantung. Lesi ini dapat menyebabkan disfungsi katup,
fenomena embolisasi, gangguan konduksi, aortitis dan
kardiomiopati
c. Sistem Gastrointestinal
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis
dan ulkus peptic yang merupakan komplikasi utama penggunaan
obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah
perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid drugs,
DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas
utama pada arthritis rheumatoid
d. Sistem Persarafan
Komplikasi neurologis yang sering dijumpai arthritis rheumatoid
umumnya tidak memberikan gambaran yang jelas sehingga sukar
untuk membedakan komplikasi neurologis akibat lesi artikular dari
lesi neuropatik. Pathogenesis komplikasi neurologis pada
umumnya berhubungan dengan mielopati akibat instabilitas
vertebre, servikal, neuropai jepitan atau neuropati iskemik akibat
vasculitis
e. Sistem Perkemihan ; ginjal
Berbeda dengan lupus eritematosus sistemik pada arthritis
rheumatoid jarang sekali dijumpai kelainan glomelural. Jika pada
pasien rheumatoid arthritis dijumpai proteinuria, umumnya hal
tersebut lebih sering disebabkan karena efek samping pengobatan
seperi garam emas dan D-Penisilamin atau terjadi sekunder akibat
amiloidosis. Walaupun kelainan ginjal interstisial dapat dijumpai
pada syndrome sjogren, umumnya kelainan tersebut lebih banyak
berhubungan dengan penggunaan OAINS. Penggunaan OAINS
yang tidak terkontrol dapat sampai menimbulkan nekrosis papilar
ginjal
f. Sistem Hematologis
Anemia akibat penyakit kronik yang ditandai dengan gambaran
eritrosit normosistik-normokromik (hipokromik ringan) yang
disertai dengan kadar besi serum yang rendah serta kapasitas
pengikatan besi yang normal atau rendah merupakan gambaran
umum yang sering dijumpai pada arthritis rheumatoid. Enemia
akibat penyakit kronik ini harus dibedakan dari anemia defisiensi
besi yang juga dapat dijumpai pada rheumatoid arthritis akibat
penggunaan OAINS atau DMARD yang menyebabkan erosi
mukosa lambung

6. PENATALAKSANAAN
Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan
yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik serta ketaatan pasien
untuk tetap berobat dalam jangka waktu yang lama (Aspiani, 2021)
OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid ) diberikan sejak dini untuk
mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai. OAINS yang
diberikan yaitu aspirin, pasien dibawah umur 65 tahun dapat dimulai
dengan dosis 3-4 x 1g/hari, kemudian dinaikkan 0,3-0,6 perminggu
sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl.
Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak dan sebagainya (Aspiani,
2021)
DMARD (Disease Modifying Antirheumatoid Drugs) digunakan unuk
melindungi rawan sendi dan tulang dari proes destruksi akibat rheumatoid
arthritis. Keputusan penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko
manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah diagnosis arthritis
rheumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak ada. DMARD yang
diberikan menurut (Aspiani, 2021) adalah :
a. Klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari
b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalu enteric, digunakan dalam
dosis 1 x 500 mg/hari, ditinggikan 500 mg/minggu, sampai mencapai
dosis 4 x 500 mg
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat.
Digunakan dalam dosis 250-300 mg/ hari, kemudian dosis
ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk
mencapai dosis total 4 x 20-300 mg/hari
d. Garam emas adalah gold standart bagi DMARD
e. Obat imunosupresif atau imonoregulator; metotreksat dosis dimulai 5-
7, mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan idak menunjukkan perbaikan,
dosis harus ditingkatkan
f. Korikosteroid, hanya dipakai untuk pengobatan arthritis rheumatoid
dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa seperti vasculitis,
karena obat ini memiliki efek samping yang sangat berat
B. KONSEP LANJUT USIA
1. DEFINISI
Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang
yang telah memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok
umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase
kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu
proses yang disebut Aging Process atau proses penuaan
Lansia adalah seorang yang telah brusia >60 tahun dan tidak berdaya
dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan nya sehari-hari
(Khusna, 2021)
2. BATASAN LANSIA
Menurut World Health Organitation (WHO) lansia meliputi :
a. Usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) antara usia 60 sampai 74 tahun
c. Lanjutusia tua (old) antara usia 75 sampai 90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) diatas usia 90 tahun
3. CIRI-CIRI LANSIA
Lansia mengalami perubahan-perubahan seperti :
a. Sel
1) Lebih sedikit jumlanya
2) Lebih besar ukurannya
3) Berkurangnya cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler
4) Menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah dan hati
5) Jumlah sel otak meurun
6) Tergangungya mekanisme perbaikan sel
7) Otak menjadi atrofi beratnya berkurang 5-20%
b. Sistem Kardiovaskuler
1) Elastisitas dinding aorta menurun
2) Katup jantung menebal dan menjadi kaku
3) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahunya
sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunya
kontraksi dan volumenya
4) Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas
pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
5) Tekanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi dari
pembuluh darah perifer : sistolik normal ± 170 mmHg, diastolik
normal ± 90 mmHg
c. Sistem Pernafasan
1) Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku
2) Menurunnya aktivitas dari silia
3) Paru-paru kehilangan elastisitas
4) Alveoli ukurannya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang
5) Oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg
6) Karbondioksida pada arteri tidak berganti
7) Kemampuan untuk batuk berkurang
8) Kemampuan pegas, dinding , dada, dan kekuatan otot pernafasan
akan menurun seiring dengan bertambahnya usia
d. Sistem Persarafan
1) Berat otak menurun 10-20% (setiap orang berkurang sel saraf
otaknya dalam setiap harinya)
2) Cepat menurunnya hubungan persarafan
3) Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya
dengan stress
4) Mengecilnya saraf panca indra : berkurangnya penglihatan,
berkurangnya pendengaran, mengecilnya saraf penciuman dan
perasa, lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya
ketahanan terhadap dingin
5) Berkurangnya sensitifitas terhadap sentuhan
e. Sistem Gastrointestinal
1) Kehilangan gigi : penyebab utuama adanya periodontal disease
yang bisa terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi
kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk
2) Indra pengecap menurun : adanya iritasi yang kronis dan selaput
lendir, atropi indra pengecap (±80%), hilangnya sensifitas dari
indra pengecap di lidah terutama rasa manis dan asin, hilangnya
sensifitas dari saraf pengecap tentang rasa asin, asam, dan pahit
3) Esofagus melebar
4) Lambung : rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun), asam
lambung menurun, waktu mengosongkan menurun
5) Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi
6) Fungsi absorbsi melemah (daya absorbsi terganggu)
7) Liver : makin mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan,
berkurangnya aliran darah
f. Sistem Genitourinaria
1) Ginjal, merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme
tubuh melalui urin, darah yang masuk ke ginjal disaring oleh
satuan (unit) terkecil dari ginjal yang disebut nefron. Kemudian
mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun
sampai 50%, fungsi tubuh berkurang akibatnya kurangnya
kemampuan mengkonsentrasi urin, berat jenis urin menurun
proteinuria (biasanya +1) BUN (Blood Urea Nitrogen) meningkat
sampai 21 mg%, nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat
2) Vesika Urinaria, otot- otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun
sampai 200 ml atau menyebabkan frekuensi buang air seni
meningkat, vesika urinaria susah di kosongkan pada lanjut usia
sehingga mengakibatkan meningkatnya retensi urin
g. Sistem Endokrin
1) Produksi dari semua hormon menurun
2) Fungsi parathyroid dan sekresinya tidak berubah
3) Pituitary ; pertumbuhan hormon ada tetapi lebih rendah dan hanya
didalam pembuluh darah, berkurangnya produksi dari ACTH
(Adrenocortikotropic Hormone)
4) Menurunnya aktivitas tiroid, menurunya BMR (Basal Metabolic
Rate), dan menurunnya daya pertukaran zat
5) Menurunnya produksi aldosteron
6) Menurunnya seksresi hormon kelamin, misalnya : progesteron,
esterogen, dan testosteron
h. Sistem Indera
1) Sistem Pendengaran
a) Presbiakusis (gangguan pendengaran). Hilangnya kemampuan
atau daya pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap
bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas,
sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia di atas umur 65
tahun
b) Membrane timpani menjadi atropi menyebabkan otosklerosis
c) Terjadinya pengumpulan serumen dapat mengeras karena
meningkatnya keratin
d) Pendengaran menurun pada lanjut usia yang mengalami
ketenggangan jiwa atau stress
2) Sistem Penglihatan
a) Spingter pupil timbul sklerosis dan hilangya respon terhadap
sinar
b) Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak,
jelas menyebabkan gangguan penglihatan
c) Meningkatkan ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi
terhadap kegelapan, lebih lambat dan susah melihat dalam
cahaya gelap
d) Hilangnya daya akomodasi
e) Menurunnya lapang pandang
f) Menurunnya daya membedakan warna
3) Sistem Pengecap
Empat rasa dasar yaitu manis, asam, asin, dan pahit. Diantara
semuanya, rasa manis yang paling tumpul pada lansia. Maka jelas
bagi kita mengapa mereka senang membubuhkan gula secara
berlebihan. Rasa yang tumpul menyebabkan kesukaan terhadap
makanan yang asin dan banyak berbumbu
4) Sistem Peraba
Peraba memberikan pesan yang paling inti dan yang paling
mudah untuk menterjemahkan. Biola indra lain hilang, rabaan dapt
mengurangi perasaan sejahtera. Meskipun reseptor lain akan
menumpul dengan bertambahnya usia, namun tidak pernah hilang
i. Sistem Integumen
1) Kulit mengkerut dan keriput akibat hilangnya jaringan lemak
2) Permukaan kulit kasar dan bersisik
3) Menurunnya respon terhadap trauma
4) Mekanisme proteksi kulit menurun
5) Kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu
6) Rambut dalam hidung dan telinga menebal
7) Berkurangnya elastisitas akibat dari menurunnya cairan dan
vaskularisasi
8) Pertumbuhan kuku lebih lambat
9) Kuku jari menjadi keras dan rapuh
10) Kuku kaki tumbuh secara berlebihan
11) Kelenjar keringat berkurang jumlahnya.
12) Kuku menjadi pudar dan kurang bercayaha
j. Sistem Muskuloskeletal
1) Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh dan
osteoporosis
2) Kifosis
3) Pinggang, lutut, dan jari-jari pergelangan terbatas
4) Discus intervertebalis menipis dan menjadi pendek (tingginya
berkurang)
5) Tendon mengkerut dan mengalami sklerosis
6) Persendian membesar dan menjadi kaku
7) Serabut otot mengecil
8) Otot-otot polos tidak begitu berpengaruh
k. Sistem Reproduksi dan Seksualitas
1) Seseorang yang makin menua sexual intercourse masih
membutuhkannya, tidak ada batasan umur tertentu. Fungsi seksual
berhenti, frekuensi sexual intercourse cenderung menurun secara
bertahap setiap tahun tetapi kapasitas untuk melakukan dan
menikmati terus berjalan sampai tua
2) Mengecilnya ovarium dan uterus
3) Atrofi payudara
4) Pada laki-laki testis masih menghasilkan spermatozoa, meskipun
adanya penurunan secara berangsur
5) Dorongan seksualitas menetap sampai usia di atas 70 tahun (asal
kondisi kesehatan baik)
6) Produksi estrogen pada progesterone oleh ovarium menurun saat
menopause. Perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi wanita
meliputi penipisan dinding vagina, mengakibatkan kekeringan,
gatal, dan menurunya keasaman vagina. Pada pria lansia penis dan
testis menurun ukurannya dan kadar androgen berkurang
7) Pembesaran prostat ±75% dialami oleh pria usia diatas 65 tahun
4. TUJUAN PELAYANAN PADA LANSIA
Berdasarkan UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, upaya
pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga
agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomi. Selain
itu, Pemerintah wajib menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan dan
memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan
produktif.
Kebijakan Kementerian Kesehatan dalam pelayanan kesehatan lanjut
usia bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan lanjut usia yang
berkualitas melalui penyediaan sarana pelayanan kesehatan yang ramah
bagi lanjut usia yang berdaya guna bagi keluarga dan masyarakat. Upaya
yang dikembangkan untuk mendukung kebijakan tersebut antara lain
meningkatkan upaya kesehatan bagi lanjut usia di pelayanan kesehatan
dasar dengan pendekatan Pelayanan Santun lanjut usia, meningkatkan
upaya rujukan kesehatan bagi lanjut usia melalui pengembangan
Poliklinik Geriatri Terpadu di Rumah Sakit, dan menyediakan sarana dan
prasarana yang ramah bagi lanjut usia
5. PENDEKATAN PERAWATAN PADA LANSIA
Menurut (Siti Nur, 2016) pendekatan perawatan pada pasien lansia dibagi
menjadi 3 hal yaitu :
a. Pendekatan Fisik
Pendekatan fisik yang dapat diberikan dalam perawatan lanjut usia
perhatikan kesehatan, pahami apa yang dibutuhkan cara bagi para
manula untuk berbagi pengalaman pelanggan kehidupan yang terus
berubah, struktur tubuh dan organ klien, potensi fisik dan organ klien
untuk melawan penyakit, progresifitas pelanggan untuk mencegah
berbagai penyakit. Pendekatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia
dapat dibagi 2 bagian :
1) Klien lanjut usia yang masih bisa beraktivitas tanpa bantuan
manusia yang lain dan aktif untuk secara mandiri melakukan
segala sesuatu yang berasal darinya untuk kebutuhan sehari-hari
mereka
2) Klien lanjut usia yang tidak dapat bergerak tanpa bantuan manusia
orang lain atau lumpuh karena penyakit. Boleh jadi perhatian
khusus kepada perawat untuk klien lanjut usia, seperti Ini
memberikan perhatian khusus pada kebersihan dan pencegahan
pelanggan melawan penyakit
b. Pendekatan Psikologis
Peran penting perawat dalam mengedukasi klien lanjut usia. saudari
dapat bertindak sebagai pendukung sesuatu yang asing, surga rahasia
pribadi dan pendamping intim. Agar pelanggan lama tahu puas,
perawat harus memiliki tingkat kesabaran dan ketelitian yang tinggi
agar memiliki waktu yang cukup untuk menerima berbagai keluhan
dari pelanggan lama. Sabar, kepribadian dan layanan atau apa pun
yang Anda ingin menyebutnya Prinsip 3S juga merupakan prinsip
yang harus diikuti oleh perawat menghadapi klien lanjut usia. Ingat
bahwa karena kerusakan fisik karena penuaan pada orang tua,
kemudian mengubah perilaku dan pandangan klien lanjut usia harus
pelan dan bertahap
c. Pendekatan Sosial
Perawat yang dapat didekati secara sosial harus dapat mengundang
klien Bicara dan bagikan tentang diri Anda dan kehidupan klien.
Hubungi kami tentang kesehatan terwujud saat bertemu dengan klien
orang tua Lansia juga merupakan makhluk sosial yang membutuhkan
orang lain, hal itu adalah dasar dari pendekatan sosial perawat
pelanggan lama Hubungan sosial yang baik antara perawat dan lansia
menciptakan motivasi bagi klien lanjut usia untuk sembuh dari
penyakitnya menderita

C. KONSEP NYERI
1. DEFINISI NYERI
Menurut The International Association for The Study of Pain (IASP),
nyeri didefisinikan sebagai pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau
potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan. Nyeri merupakan tanda
peringatan bahwa terjadi kerusakan jaringan, yang harus menjadi
pertimbangan utama perawat saat mengkaji nyeri (Aspiani, 2021)
Persepsi yang diakibatkan oleh rangsangan yang potensial dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang disebut nosiseptor, yang
merupakan tahap awal proses timbulnya nyeri. Reseptor yang dapat
membedakan rangsang noksius dan nonnoksius disebut nosiseptor.
Nosiseptor merupakan terminal yang tidak tediferensiasi serabut a-delta
dan serabut c. Serabut a-delta merupakan serabut saraf yang dilapisi oleh
mielin yang tipis dan berperan menerima rangsang mekanik dengan
intensitas menyakitkan, dan disebut juga high-threshold
mechanoreceptors, sedangkan serabut c merupakan serabut yang tidak
dilapisi mielin (Aspiani, 2021)
2. ETIOLOGI
Penyebab nyeri adalah kondisi musculoskeletal kronis, kerusakan
system saraf, penekanan saraf, infiltrasi tumor, ketidakseimbangan
neurotansmiter, gangguan imunitas, gangguan fungsi metabolik, riwayat
posisi kerja statis, peningkatan indeks massa tubuh, kondisi pasca trauma,
tekanan emosional, riwayat penganiyaan, dan riwayat penyalahgunaan
obat/zat (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018)
3. KLASIFIKASI
Klasifikasi Nyeri dalam buku POKJA SDKI DPP PPNI, 2018 terbagi
menjadi :
a. Nyeri Akut
merupakan pengalaman sensori yang tidak menyenangkan yang
diakibatkan oleh kerusakan jaringan yang aktual dan potensial, nyeri
timbul secara tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat
dengan akhir yang dapat diprediksi dan berlangsung < 3 bulan, nyeri
timbul secara mendadak dan lokasi nyeri sudah diketahui yang
ditandai dengan meningkatnya ketegangan pada otot
b. Nyeri Kronis
merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang diakibatkan oleh kerusakan jaringan yang aktual
dan potensial, nyeri timbul secara tiba-tiba atau lambat dari intensitas
nyeri ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi dan
diprediksi serta berlangsung > 3 bulan. Sumber nyeri tidak diketahui
secara pasti, timbul secara hilang timbul dalam suatu periode tertentu
serta ada kalanya penderita tersebut terbebas dari rasa nyeri dan
biasanya tidak dapat disembuhkan. Pada penderita dengan nyeri
kronis, penginderaan nyeri terjadi lebih dalam sehingga penderita sulit
untuk menunjukkan dimana lokasi nyeri. Dampak dari nyeri kronis ini
yaitu penderita mudah tersinggung dan insomnia atau susah tidur
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri. Perawat sebagai
tenaga kesehatan harus mendalami faktor yang mempengaruhi nyeri agar
dapat memberikan pendekatan yang tepat dalam pengkajian dan
perawatan terhadap pasien yang mengalami nyeri. Faktor-faktor tersebut
antara lain (Aspiani, 2021) :
a. Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya pada lansia. Kebanyakan lansia hanya menganggap nyeri
yang dirasakan sebagai bagian dari proses menua. Perbedaan
perkembangan yang ditemukan diantara kelompok usia anak-anak dan
lansia dapat mempengaruhi bagaimana mereka bereaksi terhadap
nyeri. Beberapa lansia enggan memeriksakan nyerinya karena takut
bahwa itu menjadi sebuah pertanda mengalami sakit yang serius
b. Jenis Kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda dalam mengungkapkan
nyeri. Ini dapat dipengaruhi oleh faktor- faktor biokimia, dan
merupakan hal yang unik pada setiap individu, tanpa memperhatikan
jenis kelamin. Kebudayan yang sangat kental membedakan nyeri
antara pria dan wanita, dimana pria dianggap lebih kuat dalam
menahan nyeri
c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai – nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa
yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana
bereaksi terhadap nyeri. Masyarakat kebanyakan menganggap anak
laki-laki lebih kuat dalam menangani nyeri dibandingkan anak
perempuan, hal ini tentu saja hanya kebudayaan masyarakat yang
terbiasa memandang laki-laki lebih kuat daripada perempuan
d. Makna Nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri.
Individu akan menilai nyeri dari sudut pandang masing-masing. Cara
memaknai nyeri pasa setiap orang berbeda-beda
e. Perhatian
Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat,
sedangkan upaya pengalihan ( distraksi ) dihubungkan dengan respon
nyeri yang menurun. Perhatian juga dapat dikatakan mempengaruhi
intensitas nyeri. Dibutuhkan pengalihan perhatian nyeri dengan
relaksasi untuk menurunkan intensitas nyeri
f. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas
seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan suatu perasaan ansietas. Ansietas memiliki hubungan
dengan intensitas nyeri yang dirasakan pasien
g. Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan
sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping.
Nyeri yang berlebihan juga dapat menyebabkab keletihan
h. Pengalaman Sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman nyeri
sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan
menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang.
Nyeri yang dirasakan terdahulu hanya sebagai gambaran pada nyeri
yang dirasakan saat ini
i. Gaya Koping
Pasien mengalami nyeri di keadaan perawatan kesehatan, seperti di
rumah sakit, pasien merasa tidak berdaya. Koping yang diambil
cenderung lebih ke koping individu. Koping ditentukan dengan
bagaimana pasien menanggapi nyeri
j. Dukungan Keluarga dan Sosial
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri ialah
kehadiran orang – orang terdekat pasien dan bagaimana sikap mereka
terhadap pasien mempengaruhi respon nyeri. Pasien dengan nyeri
memerlukan dukungan, bantuan dan perlindungan walaupun nyeri
tetap dirasakan namun kehadiran orang yang dicintai akan
meminimalkan kesepian dan ketakutan
5. Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang nyeri yang dirasakan
oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri bersifat subjektif dan
individual, memungkinkan individu merasakan nyeri yang berbeda dalam
intensitas yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh masing-masing individu
dalam menyikapi nyeri yang dirasakan. Pendekatan objektif yaitu respon
fisiologis tubuh terhadap nyeri dalam mengukur intensitas nyeri belum
dapat memberikan gambaran mengenai nyeri. Dibawah ini terdapat cara
untuk mengukur skala nyeri yaitu (Iqbal Mubarak, 2020) :
a. Skala Nyeri McGill
McGill mengukur intensitas nyeri dengan 5 angka, yaitu 0 : tidak
nyeri; 1 : nyeri ringan; 2 : nyeri sedang; 3 : nyeri berat; 4 : nyeri sangat
berat; 5 : nyeri hebat.
b. Bayer
Bayer pada tahun 1992 mengembangkan “Oucher” untuk mengukur
intensitas nyeri pada anak-anak, yang terdiri atas dua skala terpisah
yaitu sebuah skala dengan nilai 0-100 pada sisi sebelah kiri untuk
anak-anak yang lebih besar dengan skala fotografik enam gambar pada
sisi kanan untuk anak-anak yang lebih kecil
c. Wong Baker Faces Rating Scale
Skala wajah yang ditujukan kepada klien yang tidak mampu
menyatakan intensitas nyerinya melalui skala angka. Ini termasuk
anak-anak yang bermasalah dengan komunikasi verbal dan lansia yang
mengalami gangguan kognisi dan komunikasi
d. S. C. Smeltzer dan B. G. Bare
S. C. Smeltzer dan B. G. Bare mengidentifikasi pengukuran intensitas
nyeri dalam 3 jenis yaitu :
1) Skala Nyeri Deskriptif
Alat pengukuran tingkat nyeri yang lebih objektif. Skala
pendeskripsi verbal adalah sebuah garis yang terdiri atas lima
kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di
sepanjang garis, dimana pendeskripsi ini di-ranking dari “tidak
terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Klien akan
memilih intensitas nyeri yang dirasakan dan perawat mengkaji
lebih dalam nyeri yang pasien rasakan
2) Skala Penilaian Nyeri Numerik
Skala ini digunakan sebagai pengganti alat deskripsi kata. Klien
diminta untuk menilai nyeri menggunakan skala 0-10.
Digunakan efektif untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum dan
setelah dilakukan intervensi, dikarenakan selisih antara
penurunan dan peningkatan nyeri lebih mudah diketahui
3) Skala Analog Visual
Suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri yang terus
menerus dan pendeskripsian verbal pada setiap ujungnya. Skala
ini meminta klien secara bebas mengidentifikasi tingkat
keparahan nyeri yang dialami
e. Bourbanis
Bourbanis mempersepsesikan nyeri sebagai berikut :
0 : tidak nyeri
1-3 : nyeri ringan, secara objektif klien dapat berkomunikasi dengan
baik
4-6 : nyeri sedang, secara objektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dan dapat
mengikuti perintah dengan baik
7-9 : nyeri berat, secara objektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respons terhadap tindakan, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi napas panjang dan distraksi
10 : nyeri sangat berat, klien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul
6. Dampak Nyeri
Nyeri yang dirasakan pasien akan berdampak pada fisik, perilaku, dan
aktifitas sehari-hari :
a. Dampak Fisik
Nyeri yang tidak ditangani dengan adekuat akan mempengaruhi sistem
pulmonari, kardiovaskuler, edokrin, dan imunologi. Nyeri yang tidak
diatasi juga memicu stress yang akan berdampak secara fisiologis
yaitu timbulnya infark miokard, infeksi paru, tromboembolisme, dan
ileus paralitik. Dampak ini tentunya akan memperlambat kesembuhan
pasien
b. Dampak Perilaku
Seseorang yang sedang mengalami nyeri cenderung menunjukkan
respon perilaku yang abnormal. Respon vokal individu yang
mengalami nyeri biasanya mengaduh, mendengkur, sesak napas
hingga menangis. Ekspresi wajah meringis, menggigit jari, membuka
mata dan mulut dengan lebar, menutup mata dan mulut, dan gigi yang
bergemeletuk. Gerakan tubuh menunjukkan perasaan gelisah,
imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan,
gerakan menggosok dan gerakan melindungi tubuh yang nyeri. Dalam
melakukan interaksi sosial individu dengan nyeri menunjukkan
karakteristik menghindari percakapan, menghindari kontak sosial,
perhatian menurun, dan fokus hanya pada aktifitas untuk
menghilangkan nyeri
c. Pengaruh terhadap Aktivitas Sehari-Hari
Aktivitas sehari-hari akan terganggu apabila nyeri yang dirasakan
sangat hebat. Nyeri dapat mengganggu mobilitas pasien pada tingkat
tertentu. Nyeri yang dirasakan mengganggu akan mempengaruhi
pergerakan pasien
DAFTAR PUSTAKA

Aspiani. (2021). Konsep Dasar Rheumatoid. Ausahan Keperawatan Rheumatoid,


2013–2015. http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/4608/3/BAB II Tinjauan
Pustaka.pdf
Khusna, A. (2021). Program studi diii keperawatan politeknik kesehatan kerta
cendekia sidoarjo 2021.
Ludfiyani, F. (2020). Penerapan Relaksasi Benson Dan Kompres Hangat Terhadap
Nyeri Rheumatoid Arthritis Di Keluarga.
http://eprintslib.ummgl.ac.id/2364/1/17.0601.0009
Mailani Putri, R., Lutfi, A., & Studi Sarjana Keperawatan Universitas Pahlawan
Tuanku Tambusai, P. (n.d.). PENGARUH TERAPI BACK MASSAGE
TERHADAP PENURUNAN NYERI RHEUMATOID ARTHRITIS PADA
LANSIA. http://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/ners

Anda mungkin juga menyukai