Disusun Oleh
JALUM 1B
2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gangguan disosiatif itu artinya sebuah kelompok gangguan yang ditandai
oleh suatu kekacauan atau disosiasi dari fungsi identitas, ingatan, atau kesadaran.
Gangguan disosiatif merupakan suatu mekanisme pertahanan alam bawah sadar
yang membantu seseorang melindungi aspek emosional dirinya dari mengenali
dampak utuh beberapa peristiwa traumatik atau peristiwa yang menakutkan
dengan membiarkan pikirannya melupakan atau menjauhkan dirinya dari situasi
atau memori yang menyakitkan. Disosiasi dapat terjadi baik selama maupun
setelah suatu peristiwa. Seperti pada mekanisme koping atau mekanisme
perlindungan lainnya, disosiasi menjadi lebih mudah jika dilakukan berulang-
ulang. Gangguan identitas disosiatif biasanya disebut sebagai kepribadian ganda.
(Videbeck, 2001)
Gangguan disosiatif memiliki gambaran esensial berupa gangguan pada
fungsi yang biasanya terintegrasi mencakup kesadaran, memori, identitas, atau
persepsi lingkungan. Hal ini sering menghambat kemampuan individu untuk
melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari , mengganggu hubungan, dan
menghambat kemampuan individu untuk melakukan koping terhadap realitas
peristiwa yang traumatik. Identitas gangguan ini sangat bervariasi pada individu
yang berbeda dan dapat muncul tiba-tiba atau bertahap, bersifat sementara atau
kronis (Videbeck, 2001)
Gejala utama disosiatif adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh)
dari integrasi normal di bawah kendali kesadaran antara :
- Ingatan masa lalu
- Kesadaran identitas dan pengindraan segera (awareness of identity and
immediate sensation) dan,
- Kontrol terhadap gerakan tubuh
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan gangguan disosiatif?
2. Apa saja jenis-jenis gangguan disosiatif, gejala, serta
penyebabnya?
3. Bagaimana pandangan teoritis dari gangguan disosiatif?
4. Bagaimana cara penanganan gangguan disosiatif?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan gangguan disosiatif?
2. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis gangguan disosiatif, gejala,
serta penyebabnya?
3. Untuk mengetahui bagaimana pandangan teoritis dari gangguan
disosiatif?
4. Untuk mengetahui bagaimana cara penanganan gangguan
disosiatif?
BAB II
PEMBAHASAN
A. GANGGUAN DISOSIATIF
Gangguan disosiatif itu artinya sebuah kelompok gangguan yang ditandai oleh
suatu kekacauan atau disosiasi dari fungsi identitas, ingatan, atau kesadaran.
Gangguan disosiatif merupakan suatu mekanisme pertahanan alam bawah
sadar yang membantu seseorang melindungi aspek emosional dirinya dari
mengenali dampak utuh beberapa peristiwa traumatik atau peristiwa yang
menakutkan dengan membiarkan pikirannya melupakan atau menjauhkan
dirinya dari situasi atau memori yang menyakitkan. Disosiasi dapat terjadi
baik selama maupun setelah suatu peristiwa. Seperti pada mekanisme koping
atau mekanisme perlindungan lainnya, disosiasi menjadi lebih mudah jika
dilakukan berulang-ulang. Gangguan identitas disosiatif biasanya disebut
sebagai kepribadian ganda. (Videbeck, 2001)
4. Gangguan Depersonalisasi
Gangguan depersonalisasi didiagnosis hanya terjadi bila
pengalaman terjadi berulangkali dan menimbulkan distress yang jelas.
Ada dua macam gangguan depersonalisasi, diantaranya ialah:
a. Depersonalisasi (depersonalization) mencangkup kehilangan
atau perubahan temporer dalam perasaan yang biasa mengenai
realitas diri sendiri. Dalam suatu tahap depersonalisasi, orang
merasa terpisah dari dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Mereka mungkin merasa seperti sedang bermimpi atau
bertingkah laku seperti robot (Guralnik, Schmeidler, &
Simeon, 2000; Maldonado, Butler, & Speigel, 1998).
b. Derealisasi (Derealization) suatu perasaan tidak nyata
mengenai dunia luar yang mencakup perubahan yang aneh
dalam persepsi mengenai lingkungan sekitar, atau dalam
perasaan mengenai periode waktu juga dapat muncul. Orang
dan objek dapat berubah ukuran atau bentuk dan dapat pula
mengeluarkan suara yang berbeda. Semua perasaan ini dapat
diasosiasikan dengan kecemasan, termasuk pusing dan
ketakutan akan menjadi gila, atau dengan depresi (Guralnik,
Schmeidler, & Simeon, 2000; Maldonado, Butler, & Speigel,
1998).
Hal utama/penting dari gangguan depersonalisasi/derealisasi
adalah episode menetap atau berulang dari depersonalisasi/derealisasi,
atau keduanya. Episode dari depersonalisasi dikaraktersitikan dari
perasaan yang tidak nyata atau tidak familiar dari keseluruhan diri
seseorang atau dari aspek-aspek diri. Individu tersebut dapat merasa
terpisah dari dirinya (“saya bukan siapa-siapa”, “saya tidak
mempunyai diri saya”). Dia juga merasa terpisah secara subjektif dari
aspek diri, termasuk perasaan (“ saya tahu saya mempunyai perasaan,
tapi saya tidak merasakannya”), pikiran (“pikiran saya tidak terasa
seperti milik saya”, keseluruhan tubuh/bagian tubuh, atau sensasi
(sentuhan, lapar, libido). Ada juga pengurangan rasa memiliki dari
agen diri (terasa seperti robot, kurang dalam kontrol perkataan atau
gerakan). Pengalaman depersonalisasi terkadang menjadi satu dalam
pemisahan diri, dengan satu bagian mengamati dan bagian lain
berpartisipasi (“out-of-body experience” adalah bentuk paling
ekstrim). Kesatuan gejala dari “depersonalisasi” terdiri dari beberapa
faktor gejala: pengalaman diri menyimpang dari biasanya (diri yang
tidak nyata dan perubahan persepsi); emosi atau merasa mati rasa
secara fisik; dan distorsi diri yang temporal dengan mengingat
kembali penyimpangan diri (Guralnik, Schmeidler, & Simeon, 2000.
Episode derealisasi dikarakteristikan oleh perasaan tidak nyata
atau memisahkan dari atau tidak familiar dengan, dunia (individu,
benda mati, dan sekitarnya). Individu tersebut dapat merasa bahwa dia
dalam kabut, mimpi, atau gelembung, atau pengalaman buatan, tidak
berwarna, atau tidak hidup. Derealisasi secara umum diikuti dengan
distorsi visual subjektif, seperti kekaburan, merasa lingkungan sekitar
makin sempit/makin luas, dua-dimensi/rata, melebih-lebihkan tiga
dimensi, atau perubahan jarak/ukuran dari objek. Distorsi auditori
dapat terjadi, dimana suara mengecil atau mengeras (Guralnik,
Schmeidler, & Simeon, 2000).
5. Gangguan Disosiatif Lainnya
a. Stupor Disosiatif ( F 44.2)
Stupor, sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan-gerakan volunter
dan respon normal terhadap rangsangan luar seperti misalnya cahaya,
suara, dan perabaan (sedangkan kesadaran tidak hilang). Tidak ditemukan
adanya gangguan fisik ataupun gangguan jiwa lain yang dapat
menjelaskan keadaan stupor tersebut. Kondisinya tidak bergerak dan bisu,
namun ia sadar akan kondisi sekelilingnya (Hibbert, dkk. 2009)
b. Gangguan Trans dan Kesurupan ( F 44.3)
Gangguan ini menunjukan adanya kehilangan sementara aspek
penghayatan akan identitas diri dan kesadaran akan lingkungannya. Dalam
beberapa kejadian, individu tersebut berperilaku seakan-akan dikuasai oleh
kepribadian lain, kekuatan gaib, malaikat atau “kekuatan lain” . hanya
gangguan trans yang “involunter” (diluar kemampuan individu) dan bukan
merupakan aktivitas yang biasa dan bukan merupakan kegiatan keagamaan
ataupun budaya, yang boleh dimasukan dalam pengertian ini. Tidak ada
penyebab organik misalya epilepsi, cidera kepala, dan lain-lain, dan bukan
bagian gangguan jiwa tertentu (Hibbert, dkk. 2009).
c. Gangguan Motorik Disosiatif ( F 44.4)
Bentuk yang umum dari gangguan ini adalah ketidakmampuan
menggerakan seluruh atau sebagian dari anggota gerak (tangan atau kaki).
Gejala tersebut seringkali menggambarkan konsep dari penderita
mengenai gangguan fisik yang berbeda dengan prinsip fisiologik dan
anatomik (Hibbert, dkk. 2009).
d. Konvulsi Disosiatif ( F 44.5)
Konvulsi disosiatif (pseudo seizures) dapat sangat mirip dengan
kejang, epileptik dalam hal gerakan gerakannya, akan tetapi sangat jarang
disertai lidah tergigit, luka serius karena jatuh saat serangan dan
mengompol juga tidak dijumpai kehilangan kesadaran atau hal tersebut
diganti dengan keadaan seperti stupor atau trans (Leksikon, 2001)
e. Anestesia dan Kehilangan sensorik disosiatif ( F 44.6)
Gejala anestesia pada kulit seringkali mempunyai batas-batas yang
tegas (menggambarkan pemikiran pasien mengenai kondisi tubuhnya dan
bukan menggambarkan kondisi klinis sebenarnya). Dapat pula terjadi
perbedaan antara hilangnya perasaan pada berbagai jenis modalitas
penginderaan yang tidak mungkin desebabkan oleh kerusakan neurologis,
misalnya hilangnya perasaan dapat disertai dengan keluhan parestesia.
Kehilangan penglihatan jarang bersifat total, leih banyak berupa gangguan
ketajaman penglihatan, kekaburan atau “tunnel vision”. Meskipun ada
gangguan penglihatan, mobilitas penderita dan kemampuan motoriknya
masih baik. Tuli disosiatif dan anosmia jauh lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan hilang rasa dan penglihatan (Hibbert, dkk. 2009).
f. Gangguan Disosiatif (konversi) atau Dissociative (convertion) disorder
(F 44)
Kehilangan integrasi normal (sebagian atau seluruhnya) antara ingatan
masa lalu, kesadaran akan identitas diri, sensasi segera, dan pengendalian
gerakan tubuh. Gangguan disosiatif memiliki kecenderungan untuk pulih
setelah beberapa minggu atau bulan, terutama jika kejadiannya
berhubungan dengan peristiwa traumatik dalam kehidupan. Makin banyak
gangguan kronik yang dapat terjadi, terutama kelumpuhan (paralyse) dan
anestesia (anaesthesias), jika kejadiannya berhubungan dengan masalah
yang tidak dapat diselesaikan atau mengalami kesulitan dalam hubungan
interpersonal. Gangguan ini pada awalnya dianggap bersifat psikogenik
dan dahulu diklasifikasikan ke dalam histeria konversi. Gejala sering kali
merepresentasikan konsep pasian tentang bagaimana penyakit fisik akan
dimanifestasikan. Pemeriksaan medis dan penunjang biasanya tidak
membuktikan adanya gangguan fisik atau gangguan neurologik apapun
(Leksikon, 2001).
EFEK SAMPING
Efek samping yang paling sering ketika menggunakan Anafranil adalah mual, muntah,
mulut kering, gangguan penglihatan, konstipasi, peningkatan nafsu makan, peningkatan
berat badan, pusing berputar, nyeri kepala, rasa mengantuk, gelisah, dan gangguan
ereksi/impotensi. Efek samping yang jaarang terjadi di antaranya adalah kelemahan otot,
gangguan berbicara, kelumpuhan sesaat, gangguan ingatan, gangguan tidur, gangguan
manik, gangguan cemas, pembesaran payudara, galaktorea (keluar air susu), gangguan
keseimbangan, gangguan irama jantung dan peningkatan tekanan darah (Butcher, dkk,
2008)..
DOSIS
Penggunaan Anafranil dapat digunakan dalam rentang dosis 25 mg hingga 200 mg per
hari dalam dosis terbagi, obat ini dikonsumsi dalam keadaan perut terisi atau setelah
makan guna mengurangi efek samping pada saluran makan. Pada pasien yang baru
menggunakan Anafranil dapat dimulai dengan dosis ringan 10 mg per hari dua hingga
tiga tablet, kemudian ditingkatkan dosisnya secara bertahap. Memberhentikan
penggunaan Anafranil harus dilakukan secara bertahap, yaitu dimulai dengan penurunan
dosis hingga akhirnya berhenti, hal ini dilakukan untuk mencegah ketergantungan dan
munculnya gejala putus zat (Butcher, dkk, 2008)..
3) Clonazepam (Klonopin)
Klonopin mengandung clonazepam. Clonazepam digunakan sendiri atau
bersama-sama dengan obat lain untuk mengobati kejang tertentu atau gangguan
kejang, misalnya, sindrom Lennox Gastaut, akinetic atau kejang mioklonik). Hal
tersebut juga digunakan untuk mengobati gangguan panik pada beberapa pasien.
Clonazepam adalah termasuk golongan benzodiazepin. Benzodiazepin termasuk
dalam kelompok obat yang disebut sebagai depresan sistem saraf pusat (SSP),
yang adalah obat untuk memperlambat sistem saraf. Fungsi dari obat ini ialah
untuk mengatasi gangguan kejang dan gangguan panik. Obat tersebut hanya
dapat diperoleh dengan resep dokter (Butcher, dkk, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Boston; Pearson
Davison, G. C., Neale, J. M., Kring, A. M. (2006). Psikologi Abnormal (Edisi ke-
9)