Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH GANGGUAN DISOSIATIF

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Penyakit Jiwa

Dosen Pembimbing : Ns. Lia Komalasari, Skep, MM

Disusun Oleh

Khoerunnisa Septiani (P17324417067)

JALUM 1B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES RI BANDUNG

PROGRAM STUDI KEBIDANAN KARAWANG

2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gangguan disosiatif itu artinya sebuah kelompok gangguan yang ditandai
oleh suatu kekacauan atau disosiasi dari fungsi identitas, ingatan, atau kesadaran.
Gangguan disosiatif merupakan suatu mekanisme pertahanan alam bawah sadar
yang membantu seseorang melindungi aspek emosional dirinya dari mengenali
dampak utuh beberapa peristiwa traumatik atau peristiwa yang menakutkan
dengan membiarkan pikirannya melupakan atau menjauhkan dirinya dari situasi
atau memori yang menyakitkan. Disosiasi dapat terjadi baik selama maupun
setelah suatu peristiwa. Seperti pada mekanisme koping atau mekanisme
perlindungan lainnya, disosiasi menjadi lebih mudah jika dilakukan berulang-
ulang. Gangguan identitas disosiatif biasanya disebut sebagai kepribadian ganda.
(Videbeck, 2001)
Gangguan disosiatif memiliki gambaran esensial berupa gangguan pada
fungsi yang biasanya terintegrasi mencakup kesadaran, memori, identitas, atau
persepsi lingkungan. Hal ini sering menghambat kemampuan individu untuk
melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari , mengganggu hubungan, dan
menghambat kemampuan individu untuk melakukan koping terhadap realitas
peristiwa yang traumatik. Identitas gangguan ini sangat bervariasi pada individu
yang berbeda dan dapat muncul tiba-tiba atau bertahap, bersifat sementara atau
kronis (Videbeck, 2001)
Gejala utama disosiatif adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh)
dari integrasi normal di bawah kendali kesadaran antara :
- Ingatan masa lalu
- Kesadaran identitas dan pengindraan segera (awareness of identity and
immediate sensation) dan,
- Kontrol terhadap gerakan tubuh
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan gangguan disosiatif?
2. Apa saja jenis-jenis gangguan disosiatif, gejala, serta
penyebabnya?
3. Bagaimana pandangan teoritis dari gangguan disosiatif?
4. Bagaimana cara penanganan gangguan disosiatif?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan gangguan disosiatif?
2. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis gangguan disosiatif, gejala,
serta penyebabnya?
3. Untuk mengetahui bagaimana pandangan teoritis dari gangguan
disosiatif?
4. Untuk mengetahui bagaimana cara penanganan gangguan
disosiatif?
BAB II

PEMBAHASAN

A. GANGGUAN DISOSIATIF

Gangguan disosiatif itu artinya sebuah kelompok gangguan yang ditandai oleh
suatu kekacauan atau disosiasi dari fungsi identitas, ingatan, atau kesadaran.
Gangguan disosiatif merupakan suatu mekanisme pertahanan alam bawah
sadar yang membantu seseorang melindungi aspek emosional dirinya dari
mengenali dampak utuh beberapa peristiwa traumatik atau peristiwa yang
menakutkan dengan membiarkan pikirannya melupakan atau menjauhkan
dirinya dari situasi atau memori yang menyakitkan. Disosiasi dapat terjadi
baik selama maupun setelah suatu peristiwa. Seperti pada mekanisme koping
atau mekanisme perlindungan lainnya, disosiasi menjadi lebih mudah jika
dilakukan berulang-ulang. Gangguan identitas disosiatif biasanya disebut
sebagai kepribadian ganda. (Videbeck, 2001)

Gangguan disosiatif memiliki gambaran esensial berupa gangguan pada fungsi


yang biasanya terintegrasi mencakup kesadaran, memori, identitas, atau
persepsi lingkungan. Hal ini sering menghambat kemampuan individu untuk
melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari , mengganggu hubungan, dan
menghambat kemampuan individu untuk melakukan koping terhadap realitas
peristiwa yang traumatik. Identitas gangguan ini sangat bervariasi pada
individu yang berbeda dan dapat muncul tiba-tiba atau bertahap, bersifat
sementara atau kronis (Videbeck, 2001)

B. Jenis-jenis Gangguan Disosiatif


1. Gangguan Identitas Disosiatif
Suatu gangguan disosiatif dimana seseorang memiliki dua atau
lebih kepribadian yang berbeda atau kepribadian pengganti (alter).
Terdapat beberapa variasi dari kepribadian ganda, seperti kepribadian
tuan rumah atau utama mungkin tidak sadar akan identitas lainnya,
sementara kepribadian lainnya sadar akan keberadaan si tuan rumah
ada juga kepribadian yang berbeda benar-benar tidak sadar satu sama
lain. Terkadang dua kepribadian bersaing untuk mendapatkan kontrol
terhadap orang tersebut ada juga satu kepribadian dominan (Dorahy,
2001). Ada juga yang menyebutnya dengan gangguan kepribadian
multipel. Seseorang memperlihatkan dua atau lebih identitas yang
berbeda yang sering kali mengendalikan perilakunya. Gangguan ini
disertai dengan ketidakmampuan untuk mengingat informasi personal
yang penting (Videbeck, 2001)
Orang dengan kepribadian ganda seringkali sangat imajinatif
pada masa kecilnya karena terbiasa dengan permainan “make-believe”
(pura-pura atau bermain peran) mereka mungkin sudah mengadopsi
identitas pengganti, terutama bila mereka belajar bagaimana
menampilkan peran kepribadian ganda. Dalam kasus kepribadain
ganda masih terdapat kontroversi, karena selama tahun 1920-1970
dilaporkan hanya sedikit kasus di seluruh dunia tentang kepribadian
ganda. Sejumlah ahli percaya bahwa gangguan tersebut terlalu cepat
didiagnosis pada orang-orang yang sangat mudah tersugesti yang bisa
saja hanya mengikuti sugesti bahwa mereka mungkin memiliki
gangguan tersebut (APA, 2000). Sejumlah pakar terkenal, seperti
Alm. Psikolog Nicholas Spanos dan para psikolog lainnya telah
menentang keberadaan gangguan identitas disosiatif. Bagi Spanos,
kepribadian ganda bukanlah suatu gangguan tersendiri, namun suatu
bentuk bermain peran dimana individu pertama-tama mulai
menganggap diri mereka memiliki self ganda dan kemudian mulai
bertindak dengan cara yang konsisten dengan konsepsi mereka
mengenai gangguan tersebut. Pada akhirnya permainan peran mereka
tertanam sangat dalam sehingga menjadi kenyataan bagi mereka.
Kepribadian ganda berbeda dengan skizofrenia. Dalam
kepribadian ganda kepribadiannya seperti terbagi kedalam dua atau
lebih kepribadian namun masing-masing biasanya menunjukkan
fungsi yang lebih terintegrasi pada tingkat kognitif, afektif dan
perilaku. Sedangkan skizofrenia adalah kelainan mental yang ditandai
oleh gangguan proses berpikir dan respon emosi yang lemah. Keadaan
ini pada umumnya dimanifestasikan dalam bentuk halusinasi
pendengaran, paranoid atau waham yang ganjil, atau cara berbicara
dan berpikir yang kacau, dan disertai dengan disfungsi sosial dan
pekerjaan yang signifikan (Dorahy, 2001).
Identitas disosiatif merupakan kemunculan dua atau lebih
kepribadian yang berbeda. Kejelasan atau ketidakjelasan dari
kepribadian ini bagaimanapun bervariasi dari fungsi motivasi
psikologis, level stress sekarang, budaya, konflik internal dan
dinamic, serta naik turunnya emosi. Penekanan periode-periode dari
gangguan identitas mungkin terjadi ketika tekanan psikososial parah
dan/atau berkepanjangan. Dalam beberapa kasus “possession-form”
dari gangguan identitas disosiatif, dan dalam proporsi kasus “non-
possession-form” yang kecil, perwujudan dari identitas alter akan
sangat jelas. Kebanyakan individu dengan gangguan identitas
disosiatif “non-possession-form”, tidak sejara jelas menunjukkan
ketidaksinambungan identitas diri dalam periode waktu yang lama;
hanya sedikit bagian menujukkan pada perhatian klinis dengan
identitas alternatif yang terobservasi (Dorahy, 2001).
Gejala-gejala yang berhubungan dengan diskontinuitas
pengalaman yang dapat berpengaruh pada berbagai aspek fungsi
individu. Individu dengan gangguan identitas disosiatif dapat
menunjukkan perasaan yang tiba-tiba menjadi pengamat yang
didepersonalisasi dari perkataan dan tindakan mereka, dimana mereka
merasa tidak berdaya untuk menghentikannya (sense of self).
Beberapa individu juga menunjukkan persepsi suara (contoh : suara
anak; tangisan ; dan suara roh). Pada beberapa kasus, suara-suara
tersebut terasa banyak, membingungkan, pikiran bebas mengalir
melalui individu yang tidak terkontrol. Emosi yang kuat, impuls, dan
perkataan atau tindakan lain tiba-tiba muncul tanpa rasa kepemilikan
diri atau tanpa kontrol. Emosi-emosi dan impuls ini seringkali
ditunjukkan sebagai ego yang tidak kuat dan membingungkan. Sikap,
penampilan dan kesukaan pribadi (makanan, aktivitas, pakaian) dapat
berubah secara tiba-tiba dan berubah lagi. Individu juga merasa
tubuhnya berbeda (seperti tubuh anak-anak, jenis kelampin berbeda,
besar dan berotot). Perubahan dalam perasan diri sendiri dan
kehilangan agen personal dapat diikuti rasa bahwa sikap, emosi, dan
perilaku – dalam satu tubuh – bukan milik sendiri dan bukan dalam
kontrol diri. Kebanyakan dari diskontinuitas yang tiba-tiba dalam
berbicara, pengaruh, dan perilaku dapat diamati oleh keluarga, teman,
dan terapis. Serangan non-epilepsi dan gejala konversi lainnya
menonjol dalam beberapa penjelasan dari identitas disosiatif,
khususnya dalam setting non-Barat (Hibbert, dkk. 2009).
Individu yang memiliki gangguan identitas disosiatif berbeda
dalam kesadaran diri dan sikap terhadap amnesia. Hal ini umum pada
individu tersebut untuk memperkecil gejala amnesia mereka.
Beberapa perilaku amnesia dapat menjadi nyata pada lainnya – seperti
ketika orang-orang tidak mengingat kembali sesuatu yang mereka
sadari dalam berbuat atau berkata, ketika mereka tidak bisa mengingat
nama mereka, atau ketika mereka tidak mengenal pasangan, anak, atau
teman dekatnya (Tomb, 2004)
Identitas “possession-form” dalam identitas disosiatif nyata
sebagai perilaku yang muncul seperti ada “spirit”, kekuatan
supernatural, atau ada orang lain di luar yang mengontrol. Contohnya,
perilaku individu dapat memunculkan bahwa identitas mereka telah
digantikan dengan “hantu” dari perempuan yang bunuh diri dalam
komunitas mereka beberapa tahun yang lalu, berbicara dan
berperilaku seakan-akan perempuan itu masih hidup. Atau, individu
diambil alih oleh iblis, sebagai tuntutan dari individu untuk
mendapatkan hukuman atas perilaku yang telah dia lakukan di masa
lalu. Bagaimanapun, bagian utama dari keadaan kepemilikan di dunia
ini normal, biasanya bagian dari spiritual dan tidak termasuk dalam
gangguan identitas disosiatif. Identitas yang meningkat selama
gangguan disosiatif disorder “possession-form” muncul berulang
tidak diinginkan dan terpaksa yang menyebabkan distress atau
kerusakan klinis yang signifikasn dan tidak dapat diterima oleh
budaya atau agama secara luas (Dorahy, 2001).
2. Amnesia disosiatif atau Amnesia Psikogenik
Amnesia disosiatif dipercaya sebagai tipe yang paling umum
dari gangguan disosiatif. Kehilangan memori karena penyebab
psikologik disebut amnesia disosiatif. Amnesia diambil dari kata
Yunani a-, berarti “tanpa” dan mnasthai, berarti “untuk mengingat”.
Mengingat kembali dalam amnesia disosiatif dapat terjadi secara
bertahap tapi sering muncul secara tiba-tiba atau spontan (Maldonado,
Butler, dan Speigel, 1998). Biasanya, terdapat kehilangan informasi
bermuatan emosi yang anterograd secara tiba-tiba setelah suatu stres
fisik atau psikososial. Gangguan ini lebih banyak dijumpai oada
wanita usia remaja atau usia 20-1n, atau laki-alki pada waktu perang.
Pada saat serangan, pasien tampak sangat bingung, tetapi dapat pulih
secara cepat, spontan, dan menyeluruh. Pada sebagian kasus, amnesia
terjadi sebagian atau menyeluruh, dialami selama beberapa bulan atau
tahun pada saat-saat akhir hidup mereka. Hipnosis dapat membantu
untuk mengembalikan memorinya (Tomb, 2004).
Terdapat jenis-jenis dalam kerusakan ingatan yang diantaranya
ialah ketidak mampuan untuk mengingat semua insiden yang
berhubungan dengan suatu kejadian traumatik untuk suatu periode
waktu spesifik setelah kejadian tersebut (biasanya beberapa jam
sampai beberapa hari) yang disebut dengan Amnesia lokal
(Townsend, 1998). Sedangkan amnesia selektif, individu dapat
mengingat beberapa, namun tidak semua, peristiwa-peristiwa dalam
periode waktu terbatas. Jadi, individu dapat mengingat bagian dari
peristiwa traumatik, tetapi tidak pada bagian lain. Beberapa individu
melaporkan, dirinya menderita baik amnesia terlokalisasi dan amnesia
selektif. Dengan kata lain yang dapat diingat hanyalah kejadian pasti
yang berhubungan dengan kejadian traumatik (Townsend, 1998).
Berbeda dengan amnesia selektif dan amnesia lokal, Amnesia
menyeluruh penghilangan memori keseluruhan dari sejarah
kehidupan seseorang, dan hal tersebut jarang. Individu dengan
amnesia keseluruhan dapat melupakan identitas pribadi. Beberapa
kehilangan pengetahuan sebelumnya tentang dunia (pengetahuan
semantik) dan tidak dapat melakukan keahlian-keahlian yang telah
dipelajari (pengetahuan prosedural). Amnesia menyeluruh mempunyai
onset akut; membingungkan, disorientasi, dan pengeluyuran yang
tidak bertujuan dari individu dengan amnesia menyeluruh biasanya
membawa mereka pada perhatian polisi atau pelayan psikiater darurat.
Amnesia menyeluruh dapat menjadi lebih umum di antara korban
kekerasan seksual dan individu yang memiliki pengalaman stress
emosional yang ekstrim atau konflik (Townsend, 1998).
Dan yang terakhir ialah amnesia kontinu yakni
ketidakmampuan mengingat kejadian-kejadian berikutnya sampai
suatu waktu yang spesifik dan termasuk kejadian-kejadian saat ini.
Memorinya tidak kembali setelah suatu periode waktu yang pendek,
seperti pada amnesia lokal. Individu tersebut benar-benar tidak
mampu membentuk memori baru (Townsend, 1998).
Individu dengan amnesias disosiatif seringkali tidak menyadari
(atau hanya sebagian sadar) permasalahan memori mereka.
Kebanyakan, terkhusus mereka yang mengalami amnesia terlokalisasi,
meminimalisir kepentingan dari kehilangan memori mereka dan dapat
menjadi tidak nyaman ketika diarahkan untuk mengingat memori
tersebut. Dalam amnesia tersistematis, individu kehilangan memori
untuk kategori informasi yang spesifik (semua ingatan tentang
keluarga, orang penting, pelecehan seksual masa kecil). Dalam
amnesia berkesinambungan, individu melupakan tiap peristiwa yang
terjadi (Townsend, 1998).
3. Fugue disosiatif atau Fuga Psikogenik

Fugue berasal dari bahasa latin fugere, yang berarti melarikan


diri, fugue sama dengan amnesia ”dalam pelarian”. Dalam fugue
disosiatif memori yang hilang lebih luas dari pada amnesia
dissosiative, individu tidak hanya kehilangan seluruh ingatanya
(misalnya nama, keluarga atau pekerjaanya), mereka secara mendadak
meninggalkan rumah dan pekerjaanya serta memiliki identitas yang
baru (parsial atau total) (APA, 1994). Namun mereka mampu
membentuk hubungan sosial yang baik dengan lingkungan yang baru.
Fugue, seperti amnesia, relatif jarang dan diyakini mempengaruhi
sekitar 2 orang di 1.000 di antara populasi umum (APA, 1994).
Setelah pulih, tidak ada ingatan sama sekali terhadap kejadian-
kejadian yang terjadi selama fuga (fugue). Prosesnya secara singkat-
beberapa jam sampai beberapa hari dan jarang sampai beberapa bulan.
Kekambuhan jarang terjadi (Townsend, 1998).

Gangguan ini muncul sesudah individu mengalami stress atau


konflik yang berat, misalnya pertengkaran rumah tangga, mengalami
penolakan, kesulitan dalam pekerjaan dan keuangan, perang atau
bencana alam. Perilaku seseorang pasien dengan fugue disosiatif
adalah lebih bertujuan dan terintegrasi dengan amnesianya
dibandingkan pasien dengan amnesia disosiatif. Pasien dengan fugue
disosiatif telah berjalan jalan secara fisik dari rumah dan situasi
kerjanya dan tidak dapat mengingat aspek penting identitas mereka
sebelumnya (nama,keluarga, pekerjaan). Pasien tersebut seringkali,
tetapi tidak selalu, mengambil identitas dan pekerjaan yang
sepenuhnya baru, walaupun identitas baru biasanya kurang lengkap
dibandingkan kepribadian ganda yang terlihat pada gangguan identitas
disosiatif (Tomb, 2004)

Penyebab dissociative fugue serupa kepada dissociative


amnesia. Dissociative fugue sering disalaharti sebagai malingering,
karena kedua kondisi bisa terjadi dibawah keadaan bahwa seseorang
mungkin tidak bisa memahami keinginan untuk menghindar.
Kebanyakan fugue tampak melambangkan pemenuhan keinginan
yang disembunyikan (misal, lari dari tekanan yang berlebihan, seperti
perceraian atau kegagalan keuangan). Fugues lainnya berhubungan
dengan perasaan ditolak atau dipisahkan atau mereka bisa melindungi
orang tersebut dari bunuh diri atau impul pembunuhan. Ketika
dissociative fugue berulang labih dari beberapa waktu, orang tersebut
biasanya memiliki gangguan identitas dissociative yang mendasari.
Fugue bisa berlangsung dari hitungan jam sampai mingguan, atau
kadangkala bahkan lebih lama (Tomb, 2004)

4. Gangguan Depersonalisasi
Gangguan depersonalisasi didiagnosis hanya terjadi bila
pengalaman terjadi berulangkali dan menimbulkan distress yang jelas.
Ada dua macam gangguan depersonalisasi, diantaranya ialah:
a. Depersonalisasi (depersonalization) mencangkup kehilangan
atau perubahan temporer dalam perasaan yang biasa mengenai
realitas diri sendiri. Dalam suatu tahap depersonalisasi, orang
merasa terpisah dari dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Mereka mungkin merasa seperti sedang bermimpi atau
bertingkah laku seperti robot (Guralnik, Schmeidler, &
Simeon, 2000; Maldonado, Butler, & Speigel, 1998).
b. Derealisasi (Derealization) suatu perasaan tidak nyata
mengenai dunia luar yang mencakup perubahan yang aneh
dalam persepsi mengenai lingkungan sekitar, atau dalam
perasaan mengenai periode waktu juga dapat muncul. Orang
dan objek dapat berubah ukuran atau bentuk dan dapat pula
mengeluarkan suara yang berbeda. Semua perasaan ini dapat
diasosiasikan dengan kecemasan, termasuk pusing dan
ketakutan akan menjadi gila, atau dengan depresi (Guralnik,
Schmeidler, & Simeon, 2000; Maldonado, Butler, & Speigel,
1998).
Hal utama/penting dari gangguan depersonalisasi/derealisasi
adalah episode menetap atau berulang dari depersonalisasi/derealisasi,
atau keduanya. Episode dari depersonalisasi dikaraktersitikan dari
perasaan yang tidak nyata atau tidak familiar dari keseluruhan diri
seseorang atau dari aspek-aspek diri. Individu tersebut dapat merasa
terpisah dari dirinya (“saya bukan siapa-siapa”, “saya tidak
mempunyai diri saya”). Dia juga merasa terpisah secara subjektif dari
aspek diri, termasuk perasaan (“ saya tahu saya mempunyai perasaan,
tapi saya tidak merasakannya”), pikiran (“pikiran saya tidak terasa
seperti milik saya”, keseluruhan tubuh/bagian tubuh, atau sensasi
(sentuhan, lapar, libido). Ada juga pengurangan rasa memiliki dari
agen diri (terasa seperti robot, kurang dalam kontrol perkataan atau
gerakan). Pengalaman depersonalisasi terkadang menjadi satu dalam
pemisahan diri, dengan satu bagian mengamati dan bagian lain
berpartisipasi (“out-of-body experience” adalah bentuk paling
ekstrim). Kesatuan gejala dari “depersonalisasi” terdiri dari beberapa
faktor gejala: pengalaman diri menyimpang dari biasanya (diri yang
tidak nyata dan perubahan persepsi); emosi atau merasa mati rasa
secara fisik; dan distorsi diri yang temporal dengan mengingat
kembali penyimpangan diri (Guralnik, Schmeidler, & Simeon, 2000.
Episode derealisasi dikarakteristikan oleh perasaan tidak nyata
atau memisahkan dari atau tidak familiar dengan, dunia (individu,
benda mati, dan sekitarnya). Individu tersebut dapat merasa bahwa dia
dalam kabut, mimpi, atau gelembung, atau pengalaman buatan, tidak
berwarna, atau tidak hidup. Derealisasi secara umum diikuti dengan
distorsi visual subjektif, seperti kekaburan, merasa lingkungan sekitar
makin sempit/makin luas, dua-dimensi/rata, melebih-lebihkan tiga
dimensi, atau perubahan jarak/ukuran dari objek. Distorsi auditori
dapat terjadi, dimana suara mengecil atau mengeras (Guralnik,
Schmeidler, & Simeon, 2000).
5. Gangguan Disosiatif Lainnya
a. Stupor Disosiatif ( F 44.2)
Stupor, sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan-gerakan volunter
dan respon normal terhadap rangsangan luar seperti misalnya cahaya,
suara, dan perabaan (sedangkan kesadaran tidak hilang). Tidak ditemukan
adanya gangguan fisik ataupun gangguan jiwa lain yang dapat
menjelaskan keadaan stupor tersebut. Kondisinya tidak bergerak dan bisu,
namun ia sadar akan kondisi sekelilingnya (Hibbert, dkk. 2009)
b. Gangguan Trans dan Kesurupan ( F 44.3)
Gangguan ini menunjukan adanya kehilangan sementara aspek
penghayatan akan identitas diri dan kesadaran akan lingkungannya. Dalam
beberapa kejadian, individu tersebut berperilaku seakan-akan dikuasai oleh
kepribadian lain, kekuatan gaib, malaikat atau “kekuatan lain” . hanya
gangguan trans yang “involunter” (diluar kemampuan individu) dan bukan
merupakan aktivitas yang biasa dan bukan merupakan kegiatan keagamaan
ataupun budaya, yang boleh dimasukan dalam pengertian ini. Tidak ada
penyebab organik misalya epilepsi, cidera kepala, dan lain-lain, dan bukan
bagian gangguan jiwa tertentu (Hibbert, dkk. 2009).
c. Gangguan Motorik Disosiatif ( F 44.4)
Bentuk yang umum dari gangguan ini adalah ketidakmampuan
menggerakan seluruh atau sebagian dari anggota gerak (tangan atau kaki).
Gejala tersebut seringkali menggambarkan konsep dari penderita
mengenai gangguan fisik yang berbeda dengan prinsip fisiologik dan
anatomik (Hibbert, dkk. 2009).
d. Konvulsi Disosiatif ( F 44.5)
Konvulsi disosiatif (pseudo seizures) dapat sangat mirip dengan
kejang, epileptik dalam hal gerakan gerakannya, akan tetapi sangat jarang
disertai lidah tergigit, luka serius karena jatuh saat serangan dan
mengompol juga tidak dijumpai kehilangan kesadaran atau hal tersebut
diganti dengan keadaan seperti stupor atau trans (Leksikon, 2001)
e. Anestesia dan Kehilangan sensorik disosiatif ( F 44.6)
Gejala anestesia pada kulit seringkali mempunyai batas-batas yang
tegas (menggambarkan pemikiran pasien mengenai kondisi tubuhnya dan
bukan menggambarkan kondisi klinis sebenarnya). Dapat pula terjadi
perbedaan antara hilangnya perasaan pada berbagai jenis modalitas
penginderaan yang tidak mungkin desebabkan oleh kerusakan neurologis,
misalnya hilangnya perasaan dapat disertai dengan keluhan parestesia.
Kehilangan penglihatan jarang bersifat total, leih banyak berupa gangguan
ketajaman penglihatan, kekaburan atau “tunnel vision”. Meskipun ada
gangguan penglihatan, mobilitas penderita dan kemampuan motoriknya
masih baik. Tuli disosiatif dan anosmia jauh lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan hilang rasa dan penglihatan (Hibbert, dkk. 2009).
f. Gangguan Disosiatif (konversi) atau Dissociative (convertion) disorder
(F 44)
Kehilangan integrasi normal (sebagian atau seluruhnya) antara ingatan
masa lalu, kesadaran akan identitas diri, sensasi segera, dan pengendalian
gerakan tubuh. Gangguan disosiatif memiliki kecenderungan untuk pulih
setelah beberapa minggu atau bulan, terutama jika kejadiannya
berhubungan dengan peristiwa traumatik dalam kehidupan. Makin banyak
gangguan kronik yang dapat terjadi, terutama kelumpuhan (paralyse) dan
anestesia (anaesthesias), jika kejadiannya berhubungan dengan masalah
yang tidak dapat diselesaikan atau mengalami kesulitan dalam hubungan
interpersonal. Gangguan ini pada awalnya dianggap bersifat psikogenik
dan dahulu diklasifikasikan ke dalam histeria konversi. Gejala sering kali
merepresentasikan konsep pasian tentang bagaimana penyakit fisik akan
dimanifestasikan. Pemeriksaan medis dan penunjang biasanya tidak
membuktikan adanya gangguan fisik atau gangguan neurologik apapun
(Leksikon, 2001).

g. Gangguan disosiatif organik (Dissociative disorder, organic)


Gangguan disosiatif yang timbul sebagai akibat gangguan jiwa
organik dan ditandai dengan kehilangan integritas normal sebagian atau
total antara ingatan masa lalu, kesadaran akan identitas, sensasi segera,
dan pengendalian gerakan tubuh (Leksikon, 2001).
C. Pandangan-pandangan Teoritis
Gangguan disosiatif adalah fenomena yang sangat mengagumkan
dan menarik namun membingungkan. Meski gangguan-gangguan ini tetap
misterius dalam beberapa hal, petunjuk-petunjuk yang memberikan
pemahaman akan asal-muasalnya tetap bermunculan.
1. Pandangan Psikodinamika
Amnesia disosiatif dapat menjadi suatu fungsi adaptif
dengan cara memutus atau mendisosiasi alam sadar seseorang dari
kesadaran akan pengalaman traumatis atau sumber-sumber lain
dari nyeri maupun konflik psikologis (Dorahy, 2001). Bagi
teoritikus psikodinamika, gangguan disosiatif melibatkan
penggunaan represi secara besar-besaran, yang menghasilkan
“terpisahnya” impuls yang tidak dapat diterima dan ingatan yang
menyakitkan dari kesadaran seseorang. Dalam amnesia dan fugue
disosiatif, ego melindungi dirinya sendiri dari kebanjiran
kecemasan dengan mengeluarkan ingatan-ingatan yang
mengganggu atau dengan mendisosiasi impuls menakutkan yang
bersifat seksual atau agresif. Pada kepribadian ganda, orang
mungkin mengekspresikan impuls-impuls yang tidak dapat
diterima melalui pengembangan kepribadian pengganti. Pada
depersonalisasi orang berada di luar dirinya sendiri, aman dengan
cara menjauh dari pertarungan emosional di dalam dirinya
(Dorahy, 2001).
2. Pandangan Kognitif dan Belajar
Teoritikus belajar dan kognitif memandang disosiasi
sebagai suatu respon yang dipelajari yang meliputi proses tidak
berpikir tentang tindakan atau pikiran yang mengganggu dalam
rangka menghindari rasa bersalah dan malu yang ditimbulkan oleh
pengalaman-pengalaman itu. Kebiasaan tidak berpikir tentang
masalah-masalah tersebut secara negatif dikuatkan dengan adanya
perasaan terbebas dari kecemasan, atau dengan memindahkan
perasaan bersalah atau malu. Sejumlah teoretikus sosial kognitif,
percaya bahwa gangguan identitas disosiatif adalah suatu bentuk
bermain peran yang dikuasai melalui observasi yang melibatkan
proses pembelajaran dan reinforcement. Ini tidak dengan berpura-
pura atau malingering, orang dapat secara jujur mengorganisasikan
pola perilaku mereka menurut peran tertentu yang telah mereka
amati. Mereka juga dapat menjadi sangat mendalami permainan
peran mereka hingga ‘lupa’ bahwa mereka sedang menampilkan
sebuah peran (Butcher, dkk, 2008).
3. Disfungsi Otak
Beberapa bukti terakhir menunjukkan perbedaan dalam
aktivitas metabolisme otak antara orang dengan gangguan
depersonalisasi dan subjek yang sehat. Ada penemuan yang
menekankan pada kemungkinan adanya disfungsi di bagian otak
yang terlibat dalam persepsi tubuh, dapat membantu menjelaskan
perasaan terpisah dari tubuh yang diasosiasikan dengan
depersonalisasi (APA, 1994).
4. Model Diatesis-Stres
Walaupun banyak bukti trauma masa kanak-kanak dalam
kasus gangguan identitas disosiatif, hanya sedikit anak yang
mengalami penyiksaan yang mengembangkan kepribadian ganda.
Trait-trait kepribadian tertentu, seperti kecenderungan berfantasi,
tingkat kemudahan tinggi untuk dihipnotis dan keterbukaan pada
kondisi kesadaran alter, dapat menjadi predisposisi bagi individu
untuk mengembangkan pengalaman disosiatif bila dihadapkan
dengan stress yang ekstrim, seperti penyiksaan yang traumatis.
Walaupun demikian, trait-trait tersebut belum tentu mengakibatkan
seseorang mengalami gangguan disosiatif. Orang yang memiliki
kecenderungan rendah untuk berfantasi atau kemudahan dihipnotis
kemungkinan mengalami semacam karakteristik pikiran-pikiran
cemas dan intrusif yang merupakan gangguan stress pasca trauma
(PTSD) pada periode setelah stress yang traumatis dan bukan
gangguan disosiatif (Guralnik, dkk, 2000).
D. Penanganan Gangguan Disosiatif
1. Identitas Disosiatif
Psikoanalisis berusaha membantu orang yang menderita
gangguan identitas disosiatif untuk mengungkapkan dan belajar
mengatasi trauma-trauma masa kecil. Mereka sering
merekomendasikan membangun kontak langsung dengan
kepribadian-kepribadian alter. Setiap dan semua kepribadian dapat
diminta untuk berbicara tentang memori dan mimpi-mimpi ereka
sebisa mereka. Setiap dan semua kepribadian dapat diyakinkan
bahwa terapis akan membantu mereka untuk memahami
kecemasan mereka untuk “membangkitkan” pengalaman traumatis
mereka secara aman dan menjadikan pengalaman-pengalaman
tersebut disadari. Menurut Wilbur, kecemasan yang dialami saat
sesi akan menyebabkan perpindahan kepribadian. Bila terapi
berhasil, self akan mampu bergerak melalui ingatan traumatis dan
tidak lagi perlu melarikan diri ke dalam self pengganti untuk
menghindari kecemasan yang diasosiasikan dengan trauma,
sehingga terjadi integrasi kepribadian (Maldonado, dkk, 1998)
Amnesia dan fugue disosiatif : Berfokus pada penanganan
kecemasan atau depresinya.
2. Penanganan Fugue Disosiatif
Psikoterapi adalah penanganan primer terhadap gangguan
disosiatif ini. Bentuk terapinya berupa terapi bicara, konseling atau
terapi psikososial, meliputi berbicara tentang gangguan yang
diderita oleh pasien jiwa. Terapinya akan membantu anda mengerti
penyebab dari kondisi yang dialami. Psikoterapi untuk gangguan
disosiasi sering mengikutsertakan teknik seperti hipnotis yang
membantu kita mengingat trauma yang menimbulkan gejala
disosiatif (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
3. Penanganan gangguan disosiatif yang lain meliputi :
a. Terapi kesenian kreatif. Dalam beberapa referensi
dikatakan bahwa tipe terapi ini menggunakan proses kreatif
untuk membantu pasien yang sulit mengekspresikan pikiran
dan perasaan mereka. Seni kreatif dapat membantu
meningkatkan kesadaran diri. Terapi seni kreatif meliputi
kesenian, tari, drama dan puisi (Maldonado, Butler, dan
Speigel, 1998).
b.Terapi kognitif. Terapi kognitif ini bisa membantu untuk
mengidentifikasikan kelakuan yang negative dan tidak
sehat dan menggantikannya dengan yang positif dan sehat,
dan semua tergantung dari ide dalam pikiran untuk
mendeterminasikan apa yang menjadi perilaku pemeriksa
(Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
c. Terapi obat. Terapi ini sangat baik untuk dijadikan
penangan awal, walaupun tidak ada obat yang spesifik
dalam menangani gangguan disosiatif ini. Biasanya pasien
diberikan resep berupa anti-depresan dan obat anti-cemas
untuk membantu mengontrol gejala mental pada gangguan
disosiatif ini (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
d.Ahli terapi biasanya merekomendasikan menggunakan
hypnosis yang biasanya berupa hypnoterapi atau hipnotis
sugesti sebagai bagian dari penanganan pada gangguan
disosiatif. Hypnosis menciptakan keadaan relaksasi yang
dalam dan tenang dalam pikiran. Saat terhipnotis, pasien
dapat berkonsentrasi lebih intensif dan spesifik. Karena
pasien lebih terbuka terhadap sugesti saat pasien
terhipnotis. Ada beberapa konsentrasi yang menyatakan
bahwa bisa saja ahli hipnotis akan menanamkan memori
yang salah dalam mensugesti. Selain itu, kita juga bisa
melakukan pencegahan. Anak- anak yang secara fisik,
emosional dan seksual mengalami gangguan, sangat
beresiko tinggi mengalami gangguan mental yang dalam
hal ini adalah gangguan disosiatif. Jika terjadi hal yang
demikian, maka bersegeralah mengobati secara sugesti,
agar penangan tidak berupa obat anti depresan ataupun obat
anti stress, karena diketahui bahwa jika menanamkan
sugesti yang baik terhadap usia belia, maka nantinya akan
didapatkan hasil yang maksimal, dengan penangan yang
minimal (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998).
4. Penanganan Amnesia Disosiatif
Gangguan disosiatif merupakan produk akhir dari
pengalaman traumatis yang kuat pada masa kanak-kanak,
khususnya mencakup penyiksaan atau bentuk lain dari kesalahan
penanganan emosi. Walaupun demikian, sebagai tambahan
pengalaman kekerasan pasa masa kanak-kanak, beberapa jenis
peristiwa traumatis juga dapat menghasilkan pengalaman
disosiatif, bebrapa yang bersifat sementara dan beberapa lainnya
berakhir dalam jangka waktu yang lama (Maldonado, Butler, dan
Speigel, 1998).
Treatment untuk gangguan disosiatif ada bermacam-
macam, sebagian besar karena kondisinya juga bervariasi. Tujuan
utama dalam memberika treatment terhadap orang dengan
symptom-simptom disosiatif adalah dengan membawa kestabilan
dan integrasi dalam hidup mereka. Hal yang penting dalam
treatment mereka adalah membangun sebuah lingkungan yang
aman, jauh dari stressor yang mengancam yang mungkin dapat
membangkitkan disosiasi. Pada keamanan dalam konteks
treatment, klinisi akan mengenalkan teknik yang menenangkan,
beberapa bersifat psikoterapeutik dan yang lain bersifat
psikofarmakologis. Beberapa klinisi akan menambah obat dan
intervensi, juga dapat membantu meningkatkan kondisi tenang.
Obat yang paling umum digunakan adalah sodium pentobarbital
dan sodium amobarbital yang memfasilitasi proses wawancara,
khususnya pada klien yang mengalami amnesia disosiatif dan
fugue disosiatif. Jika amnesianya telah hilang, maka klinisi akan
membanti klien menemukan kejadian apa dan factor-faktor apa
yang menyebabkan amnesia (Maldonado, Butler, dan Speigel,
1998)
Gangguan disosiatif menyajikan kesempatan unik
menghargai kompleksitas pikiran manusia dan variasi cara yang
tak biasa ketika beberapa orang merespons pengalaman-
pengalaman hidup yang penuh tekanan. Penting untuk mengingat
bahwa gangguan amnesia dan fugue sangat jarang terjadi dan sulit
untuk diterapi, meskipun penjelasan yang saat ini ada bergantung
pada perspektif psikologis (Maldonado, Butler, dan Speigel, 1998)
5. Penanganan Depersonalisasi
Karena gangguan disosiatif tampaknya dipicu sebagai
respon terhadap trauma atau pelecehan, Pengobatan untuk individu
dengan gangguan tersebut adalah psikoterapi stress, meskipun
kombinasi perawatan psychopharmacological dan psikososial
sering digunakan. Banyak gejala gangguan disosiatif terjadi dengan
gangguan lain, seperti kecemasan dan depresi, dan dapat
dihilangkan dengan mengatasi penyebab dari kecemasan dan
depresi. Sedangkan obat yang sama digunakan untuk kecemasan
dan depresi (misalnya, anti ansietas obat atau antidepresan) sering
diresepkan untuk orang dalam pengobatan untuk gangguan
disosiatif, gejala kecemasan dan depresi juga bisa mendapatkan
keuntungan dari psikoterapi. Pengobatan gangguan depersonalisasi
dapat meliputi, antara lain:
a. Konseling psikologis
Konseling psikologis akan membantu pasien memahami mengapa terjadi
depersonalisasi dan melatih pasien untuk berhenti khawatir mengenai gejala yang
terjadi. Gangguan depersonalisasi juga dapat membaik ketika konseling
membantu dengan kondisi psikologis lain, seperti depresi (Maldonado, Butler, dan
Speigel, 1998).
b. Obat-obatan
Meskipun tidak ada obat khusus yang telah disetujui untuk mengobati gangguan
depersonalisasi. Namun, sejumlah obat yang umumnya digunakan untuk
mengobati depresi dan kecemasan juga dapat membantu kondisi gangguan
depersonalisasi. Beberapa contoh yang telah ditunjukkan untuk meredakan gejala
tersebut termasuk:
1) Fluoxetine (Prozac) :
Fluoxetine adalah salah satu obat diandalkan untuk
pengobatan depresi. mekanisme aksi dari Fluoxetine adalah
dengan meningkatkan tingkat serotonin dalam otak. bahwa
Pasien dengan Depresi memiliki tingkat serotonin dalam
otak mereka. Fluoxetine memudahkan gejala depresi
dengan memperlakukan ketidakseimbangan serotonin
dalam otak (Butcher, dkk, 2008).
2) Clomipramine (Anafranil)
Anafranil 10 mg merupakan obat antidepresan yang mengandung
Clomipramine 10 mg. Anafranil termasuk ke dalam kelas tricyclic
antidepressant (TCA). Clomipramine merupakan penghambat
selektif kuat dari reuptake serotonin, antagonis dari
reseptor histamin H1, reseptor asetilkolin, dan reseptor adrenergik α1
(Butcher, dkk, 2008)..
Anafranil digunakan untuk penanganan gangguan
obsesif kompulsif, Gangguan depresi menyeluruh, Gangguan
panik dengan atau tanpa agoraphobia, Gangguan
dismorfik tubuh, Ejakulasi dini, Gangguan nyeri kronis dengan
atau tanpa penyakit organik, paling sering berupa nyeri kepala
(Butcher, dkk, 2008)..
Anafranil tidak boleh digunakan pada pasien dengan
riwayat alergi atau hipersensitivitas pada Clomipramine, atau
golongan trisiklik antidepresan lainnya. Pasien dengan riwayat
serangan jantung, pasien dengan gangguan irama jantung, pasien
dengan gangguan manik, pasien dengan gagal hati berat, pasien
dengan glukoma, pasien dengan gangguan ginjal berat atau
gangguan mikturisi (buang air kecil). Penggunaan Anafranil
pada ibu hamil berkaitan dengan adanya kelainan jantung
congenital pada janin, dan berkaitan dengan gejala putus zat pada
bayi baru lahir. Anafranil juga dapat masuk ke dalam air susu
ibu, sehingga ibu menyusui dilarang menggunakan obat ini
(Butcher, dkk, 2008)..

EFEK SAMPING
Efek samping yang paling sering ketika menggunakan Anafranil adalah mual, muntah,
mulut kering, gangguan penglihatan, konstipasi, peningkatan nafsu makan, peningkatan
berat badan, pusing berputar, nyeri kepala, rasa mengantuk, gelisah, dan gangguan
ereksi/impotensi. Efek samping yang jaarang terjadi di antaranya adalah kelemahan otot,
gangguan berbicara, kelumpuhan sesaat, gangguan ingatan, gangguan tidur, gangguan
manik, gangguan cemas, pembesaran payudara, galaktorea (keluar air susu), gangguan
keseimbangan, gangguan irama jantung dan peningkatan tekanan darah (Butcher, dkk,
2008)..
DOSIS
Penggunaan Anafranil dapat digunakan dalam rentang dosis 25 mg hingga 200 mg per
hari dalam dosis terbagi, obat ini dikonsumsi dalam keadaan perut terisi atau setelah
makan guna mengurangi efek samping pada saluran makan. Pada pasien yang baru
menggunakan Anafranil dapat dimulai dengan dosis ringan 10 mg per hari dua hingga
tiga tablet, kemudian ditingkatkan dosisnya secara bertahap. Memberhentikan
penggunaan Anafranil harus dilakukan secara bertahap, yaitu dimulai dengan penurunan
dosis hingga akhirnya berhenti, hal ini dilakukan untuk mencegah ketergantungan dan
munculnya gejala putus zat (Butcher, dkk, 2008)..
3) Clonazepam (Klonopin)
Klonopin mengandung clonazepam. Clonazepam digunakan sendiri atau
bersama-sama dengan obat lain untuk mengobati kejang tertentu atau gangguan
kejang, misalnya, sindrom Lennox Gastaut, akinetic atau kejang mioklonik). Hal
tersebut juga digunakan untuk mengobati gangguan panik pada beberapa pasien.
Clonazepam adalah termasuk golongan benzodiazepin. Benzodiazepin termasuk
dalam kelompok obat yang disebut sebagai depresan sistem saraf pusat (SSP),
yang adalah obat untuk memperlambat sistem saraf. Fungsi dari obat ini ialah
untuk mengatasi gangguan kejang dan gangguan panik. Obat tersebut hanya
dapat diperoleh dengan resep dokter (Butcher, dkk, 2008).
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of


mental disorders, DSM-IV(4th ed., text revision). Washington, DC:
American Psychiatric
American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual of
mental disorders, DSM-IV, (4th ed., text revision). Washington, DC:
American Psychiatric

Butcher, J. N., Mineka, S., Hooley, J. M. (2008). Abnormal Psychology: Core


Concepts.

Boston; Pearson

Davison, G. C., Neale, J. M., Kring, A. M. (2006). Psikologi Abnormal (Edisi ke-
9)

(Noermalasari Fajar, Trans). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Dorahy, M. J dan Rhoades, G. (2001) Dissosiative Identity Disorder and Memory


Dysfunction. The Current state of experimental research, and its future
direction. Clinical Psychology Review, 21, 771-795
Guralnik, O., Schmeidler, J., dan Simeon, D. (2000). Feeling unreal: Cognitive
Processes in depersonalization American Journal of Psychiatry, 157 (1),
103-109
Hibbert, A. Godwin, A. dan Frances Dear. (2009). Rujukan Cepat Psikiatri.
Jakarta: EGC
Leksikon. (2001). Istilah Kesehatan Jiwa dan Psikiatri. Jakarta: EGC
Tomb, David A. (2004). Psikiatri. Jakarta: EGC
Townsend, Mary C. (1998). Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri.
Jakarta EGC
Videbeck, Sheile L. (2001). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Maldonado J, Butler L, dan Spiegel D. (1998). Treatment for Dissosiative
Disorder. New York: Oxford University
https://www.academia.edu/9069052/MAKALAH_GANGGUAN_DISOSIATIF
diakses pada tanggal 13 Desember 2014 pukul 15.06

Anda mungkin juga menyukai