Anda di halaman 1dari 69

1

SKENARIO 5
SAKIT KANKER

Seorang remaja perempuan berusia 18 tahun datang diantar oleh ibunya ke


Polilklinik dengan keluhan khawatir sakit kanker. Pasien mengatakania “baru saja
tahu” bahwa ia menderita kanker kolon atau kanker pancreas. Ketika ditanyakan
tentang gejala yang dirasakan, pasien mengatakan kadang-kadang merasakan sakit
atau tekanan pada daerah perut kiri atas. Pasien mengaku telah menjalani
pemeriksaan ultrasonografi dan kolonoskopi dan hasilnya tidak ditemukan kelainan.
Pasien sebelumnya sudah memeriksakan diri ke beberapa dokter spesialis seperti
spesialis bedah, spesialis penyakit dalam, dan semuanya menyatakan tidak ada
kelainan. Menurut ibunya pasien saat ini merasa sangat khawatir karena ayah pasien
meninggal karena kanker prostat.
STEP 1
1. Kolonoskopi : pemeriksaan endoskopi usus besar dan bagian distal usus
kecil dengan kamera CCD pada tabung fleksibel.
STEP 2
1. Mengapa pasien merasakan gejala (tekanan/nyeri perut) sedangkan saat
pemeriksaan tidak ditemukannya kelainan?
2. Bagaimana faktor risiko pada kasus?
3. Apakah terdapat hubungan antara ayahnya yang meninggal karena kanker
prostat dengan gejala pasien pada kasus?
4. Bagaimana penegakkan diagnosis pada kasus?
5. Bagaimana terapi yang dapat dilakukan?
STEP 3
1. Kemungkinan pasien tidak sakit, hanya mengalami gangguan somatoform
karena kekhawatiran yang lebih, atau mungkin pasien mengalami gangguan
modulasi yaitu salah persepsi rasa nyeri.
2

2. Faktor genetik, trauma, psikososial, koping yang buruk, dan penghindaran


kewajiban.
3. Karena ketakutan yang berlebihan akhirnya mengira bahwa dirinya
mengalami suatu keganasan.
4. Anamnesis, PF, pemeriksaan status mental, multiaksis, DD dan DX.
5. Farmakoterapi dan psikoterapi.
STEP 4
1. Somatoform : ada gejala fisik yang timbul namun saat pemeriksaan tidak
ditemukannya sesuatu yang tidak normal pada organ pasien tersebut.
Klasifikasi somatoform F45.0
a. Gangguan somatoform F45.0
b. Gangguan somatoform tak terinci F45.1
c. Gangguan hipokondrik F45.2
d. Gangguan disfungsi otonomik somatoform F45.3
e. Gangguan nyeri somatoform menetap F45.4
f. Gangguan somatoform lainnya F45.8
g. Gangguan somatoform YTT F45.9
2. Faktor risiko :
a. Faktor dalam masa perkembangan, contoh : distress saat remaja, atau
nyeri fisik seperti nyeri kepala atau nyeri perut.
b. Faktor karakteristik personal, contoh : mencari perhatian dengan pura-
pura sakit.
c. Koping yang buruk, contoh : pengelolaan stress dan ketakutan.
d. Adanya gangguan konversi nyeri, contoh : gangguan neurobiologis
yang menyebabkan fungsi korteks cingulate anterior menurun yang
dapat menyebabkan gangguan proses emosional atau gangguan
interpretasi nyeri jika fungsi amigdala juga ikut menurun.
e. Genetik
3

f. Gangguan cemas yang menyebabkan neurotransmitter region


hipokampus menurun, pada amigdala akan meningkat dan
menyebabkan modulasi ketakutan dan kecemasan
g. Jika GABA meningkat akhirnya tidak dapat menerima respon dengan
baik karena reseptornya terganggu dan akan timbul cemas.
3. Adanya faktor pencetus akan meningkatkan kadar MT3 dan 5HT dari dalam
plasma menurun kadarnya maka terjadilah penurunan level serotonin dan
dapat menyebabkan depresi ataupun ansietas.
4. Penegakkan diagnosis
a. Anamnesis : gejala organik tanyakan terlebih dahulu untuk
memastikan apakah ada penyakit organik atau tidak. Jika di kasus ada
kanker pankreas atau kanker kolon maka tanyakan apa konsistensi,
bau, warna dan bentuk pada feses maupun urine.
b. PF : organ yang bersangkutan dengan gejala terlebih dahulu, untuk
memastikan apakah ada kelainan pada organ tersebut atau tidak
c. Pemeriksaan status mental
d. DD : gangguan hipokondrik, gangguan somatoform dan gangguan
depresi
e. Dx : gangguan hipokondrik karena keluhan berupa kelainan yang
langsung parah, gejala yang dirasakan tidak sebanyak yang
somatoform dan tidak ada waham.
f. Kriteria waham : sifat egosentris, tidak sesuai logika dan tidak relistis,
pasien hidup menurut wahamnya, merasa keyakinan benar.
5. Terapi
a. Farmakoterapi : berikan anti depresan contoh : golongan SSRI yaitu
fluoxetine atau golongan trisiklin yaitu amitriptilin, berikan anti
ansietas contoh : alprazolam
b. Psikoterapi : CBT
4

MIND MAP

Psikoterapi farmakoterapi Gangguan


somatoform

Macam-
Gangguan non macam Gangguan
Terapi
psikotik neurotik

Penegakkan diagnosis Patofisiologis Etiologi Faktor risiko

Anamnesis

PF dan PP Pemeriksaan
status mental

STEP 5
1. Etiologi sampai patofisiologi gangguan jiwa non psikotik
2. Diagnosis banding dan kriteria gangguan jiwa non psikotik
3. Penatalaksanaan gangguan jiwa non psikotik

REFLEKSI DIRI
Alhamdulillah PBL lancar.

STEP 6
Belajar mandiri.
5

STEP 7
1. Etiologi sampai patofisiologi gangguan jiwa non psikotik
A. Gangguan Stres Pascatrauma dan Gangguan Stres Akut Stresor
Stresor yang menyebabkan stress akut dan PTSD (Post Traumatic
Stress Disorder) cukup hebat untuk mempengaruhi hamper setiap
orang. Stresor dapat timbul dari pengalaman perang, penyiksaan,
bencana alam, penyerangan, perkosaan, dan kecelakaan serius
(contohnya di dalam mobil dan gedung terbakar). 1
Menurut definisi, stresor adalah faktor penyebab utama dalam
pengembangan PTSD. Tidak semua orang mengalami gangguan ini
Namun, setelah peristiwa traumatis. Stresor saja tidak cukup untuk
menyebabkan gangguan. Responnya terhadap yang traumatis Peristiwa
harus melibatkan ketakutan atau kengerian yang intens. Dokter juga
harus pertimbangkan individu yang sudah ada secara biologis dan
psikososial faktor dan peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudah
trauma. Misalnya, seorang anggota kelompok yang hidup melalui
bencana kadang-kadang bisa lebih baik menghadapi trauma karena
orang lain juga berbagi pengalaman. Arti subjektif stresor untuk
seseorang juga penting. Misalnya, selamat dari bencana mungkin
mengalami perasaan bersalah (survivor guilt) yang bisa predisposisi,
atau memperburuk, PTSD. 2
a) Faktor risiko
Bahkan ketika dihadapkan dengan trauma luar
biasa, kebanyakan orang melakukannya tidak
mengalami gejala PTSD. Komorbiditas Nasional Studi
menemukan bahwa 60 persen pria dan 50 persen wanita
telah mengalami beberapa trauma yang signifikan,
sedangkan yang dilaporkan prevalensi PTSD seumur
hidup, seperti yang disebutkan sebelumnya, hanya
6

sekitar 8 persen. Begitu pula dengan peristiwa yang


mungkin tampak biasa saja atau kurang dari bencana
bagi kebanyakan orang dapat menghasilkan PTSD
dalam beberapa. Bukti menunjukkan hubungan dosis-
respons antara derajat trauma dan kemungkinan gejala.

Gambar 1.1, Faktor-faktor kerentanan yang tampak memainkan peran


etiologis dalam gangguan PTSD. 1

b) Faktor Kognitif Perilaku


Model kognitif PTSD berpendapat bahwa orang
yang terkena dampak tidak bisa memproses atau
merasionalisasi trauma yang memicu gangguan. Mereka
terus mengalami stres dan berusaha menghindar
mengalaminya dengan teknik penghindaran. Konsisten
dengan mereka kemampuan parsial untuk mengatasi
secara kognitif dengan peristiwa, pengalaman orang
bergantian periode mengakui dan memblokir peristiwa.
7

Upaya otak untuk memproses sejumlah besar informasi


yang dipicu oleh trauma diduga menghasilkan ini
periode bergantian. Model perilaku PTSD menekankan
dua fase dalam pengembangannya. Pertama, trauma
(yang tidak terkondisi rangsangan) yang menghasilkan
respons rasa takut dipasangkan, melalui pengkondisian
klasik, dengan stimulus terkondisi (fisik atau pengingat
mental trauma, seperti pemandangan, bau, atau suara).
Kedua, melalui pembelajaran instrumental, yang
terkondisi rangsangan menimbulkan respons rasa takut
terlepas dari yang asli stimulus tanpa syarat, dan orang
mengembangkan pola menghindari stimulus terkondisi
dan yang tidak terkondisi rangsangan. Beberapa orang
juga menerima keuntungan sekunder dari dunia
eksternal, biasanya kompensasi zoneter, meningkat
perhatian atau simpati, dan kepuasan kebutuhan
ketergantungan. Keuntungan ini memperkuat kekacauan
dan kegigihannya. 1
c) Faktor Biologis
Teori biologis PTSD telah berkembang baik
dari praklinis studi model hewan stres dan dari
tindakan variabel biologis dalam populasi klinis
dengan gangguan tersebut. Banyak sistem
neurotransmitter telah terlibat oleh keduanya set data.
Model praklinis ketidakberdayaan yang dipelajari,
kayu bakar, dan kepekaan pada hewan telah
menyebabkan teori tentang norepinefrin, dopamin,
opioid endogen, dan benzodiazepin. reseptor dan poros
hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA). Dalam populasi
8

klinis, data telah mendukung hipotesis itu sistem opiat


noradrenergik dan endogen, serta sumbu HPA,
hiperaktif pada setidaknya beberapa pasien dengan
PTSD. Temuan biologis utama lainnya adalah
peningkatan aktivitas dan daya tanggap sistem saraf
otonom, sebagaimana dibuktikan oleh peningkatan
detak jantung dan pembacaan tekanan darah dan oleh
arsitektur tidur yang abnormal (mis., fragmentasi tidur
dan peningkatan latensi tidur). Beberapa peneliti telah
menyarankan kesamaan antara PTSD dan dua
gangguan kejiwaan lainnya: gangguan depresi mayor
dan gangguan panik. 1
d) Sistem Nonadrenergik
Gejala seperti PTSD menunjukkan kegugupan,
peningkatan tekanan darah dan jantung laju, palpitasi,
berkeringat, kemerahan, dan gejala-gejala tremor
terkait dengan obat adrenergik. Studi ditemukan
meningkat Konsentrasi epinefrin urin 24 jam pada
veteran dengan PTSD dan peningkatan konsentrasi
katekolamin urin di gadis yang dilecehkan secara
seksual. Selanjutnya, platelet a2- dan limfosit,
Reseptor 3-adrenergik diturunkan regulasi di PTSD.
Sekitar 30 hingga 40 persen pasien dengan PTSD
melaporkan kilas balik setelah pemberian yohimbine
(Yocon). Temuan seperti itu adalah bukti kuat untuk
perubahan fungsi dalam noradrenergic sistem di
PTSD. 1
9

e) Sistem Opioid.
Abnormalitas dalam sistem opioid disarankan
oleh konsentrasi plasma rendah / 3-endorphin dalam
PTSD. PTSD menunjukkan nalokson (Narcan)
reversible respons analgesik terhadap rangsangan
terkait pertempuran, peningkatan kemungkinan
hiperregulasi sistem opioid mirip dengan itu pada
poros HPA. Satu studi menunjukkan bahwa
nalmefene (Revex), sebuah antagonis reseptor
opioid, bermanfaat dalam mengurangi gejala PTSD. 2

Gambar 1.2, Hubungan potensial Neuropeptida Y dengan patofisiologi


gangguan stres pascatrauma.3

f) Corticotropin-Releasing Factor dan H PA Axis.


10

Beberapa faktor menunjukkan disfungsi sumbu


HPA. Studi telah menunjukkan konsentrasi rendah
kortisol plasma dan urin dalam PTSD. Lebih banyak
reseptor glukokortikoid ditemukan pada limfosit, dan
tantangan dengan corticotropinreleasing eksogen
faktor (CRF) menghasilkan kortikotropin tumpul
(ACTH) tanggapan. Selanjutnya, penekanan kortisol
karena tantangan dengan deksametason dosis rendah
(Decadron) ditingkatkan dalam PTSD. Ini
menunjukkan hiperregulasi sumbu HPA di PTSD.
Juga, beberapa penelitian telah mengungkapkan
hipersupresi kortisol pada pasien yang terpapar trauma
yang mengalami PTSD, dibandingkan dengan pasien
yang terkena trauma yang tidak mengembangkan
PTSD, menunjukkan bahwa itu mungkin secara
khusus terkait dengan PTSD dan bukan hanya trauma.
Secara keseluruhan, hiperregulasi HPA ini Sumbu
berbeda dari aktivitas neuroendokrin yang biasanya
terlihat selama stres dan gangguan lain seperti depresi.
Baru saja, peran hippocampus dalam PTSD telah
meningkat perhatian, meskipun masalah ini masih
kontroversial. Hewan penelitian telah menunjukkan
bahwa stres dikaitkan dengan structural perubahan
hippocampus, PTSD telah mengungkapkan volume
rata-rata yang lebih rendah di hippocampal wilayah
otak. Perubahan struktural dalam amigdala, area otak
yang berhubungan dengan ketakutan, juga pernah
terjadi diperagakan. 2
11

B. Gangguan Somatisasi
a) Faktor Psikososial
Formulasi psikososial melibatkan manifestasi
gejala sebagai komunikasi sosial, akibatnya adalah
menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau
menyimbolkan suatu perasaan atau keyakinan.
Interpretasi gejala psikoanalitik yang kaku bertumpu
pada hipotesis bahwa gejala-gejala tersebut
menggantikan impuls berdasarkan insting yang
ditekan. 2
b) Faktor Biologis dan Genetik
Sejumlah studi mengemukakan bahwa pasien
memiliki perhatian yang khas dan hendaya kognitif
yang menghasilkan persepsi dan penilaian input
somatosensorik yang salah. Hendaya ini mencakup
perhatian mudah teralih, ketidakmampuan
menghabituasi stimulus berulang, pengelompokan
konstruksi kognitif dengan dasar impresionistik,
hubungan parsial dan sirkumstansial, serta kurangnya
selektivitas. Adanya penurunan metabolism lobus
frontalis dan hemisfer nondominan.
Penelitian sitokin, suatu area baru studi ilmu
neurologi dasar dapat relevan dengan gangguan
somatisasi dan gangguan somatoform lain. Sitokin
adalah molekul pembawa pesan yang digunakan
sistem imun untuk berkomunikasi di dalam dirinya
dan dengan sistem saraf, termasuk otak. Pengaturan
abnormal sistem sitokin dapat mengakibatkan
12

sejumlah gejala yang ditemukan pada gangguan


somatoform. 2
C. Gangguan Konversi
a) Faktor Psikoanalisis
Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi
adalah disebabkan oleh represi konflik intrapsikis
bawah sadar dan konversi kecemasan menjadi gejala
fisik. Konfliknya adalah antara dorongan naluriah
(mis., agresi atau seksualitas) dan larangan terhadap
ekspresinya. Gejala memungkinkan sebagian ekspresi
dari keinginan atau desakan terlarang tetapi
menyamarkannya, sehingga pasien dapat menghindari
secara sadar menghadapi hal yang tidak dapat diterima
impuls. Gejala gangguan konversi juga
memungkinkan pasien untuk berkomunikasi bahwa
mereka memerlukan pertimbangan khusus dan
perlakuan khusus. Gejala-gejala tersebut dapat
berfungsi sebagai nonverbal berarti mengendalikan
atau memanipulasi orang lain. 2
b) Teori Pembelajaran
Dalam hal teori pembelajaran terkondisi, gejala
konversi dapat dilihat sebagai bagian dari perilaku
belajar yang dikondisikan secara klasik; gejala
penyakit, dipelajari di masa kecil, disebut maju
sebagai sarana untuk mengatasi situasi yang mustahil.2
c) Faktor Biologis
Peningkatan data berimplikasi biologis dan
neuropsikologis faktor dalam pengembangan gejala
gangguan konversi. Studi pencitraan otak awal telah
13

menemukan hipometabolisme hemisfer dominan dan


hipermetabolisme belahan bumi yang tidak dominan
dan berimplikasi gangguan pada belahan otak
komunikasi dalam penyebab gangguan konversi.
Gejala bisa disebabkan oleh rangsangan kortikal yang
berlebihan memicu putaran umpan balik negatif antara
korteks serebral dan pembentukan reticular batang
otak. Peningkatan kadar kortikofugal. Output,
menghambat kesadaran pasien tentang tubuh sensasi,
yang dapat menjelaskan defisit sensorik yang diamati
di beberapa pasien dengan gangguan konversi.
Neuropsikologis tes kadang-kadang mengungkapkan
gangguan otak halus secara verbal komunikasi,
memori, kewaspadaan, ketidaksesuaian afektif, dan
perhatian pada pasien ini. 2
D. Hipokondriasis
Gejala mencerminkan adanya kesalahan interpretasi gejala tubuh.
Sejumlah inti data menunjukkan bahwa orang dengan hipokondriasis
memperkuat sensasi somatiknya, mereka memiliki ambang yang lebih
rendah daripada biasanya dan toleransi yang lebih rendah terhadap
ketidaknyamanan fisik. Contohnya, yang orang normal anggap sebagai
tekanan abdomen, orang dengan hipokondriasis merasakannya sebagai
nyeri abdomen. Mereka dapat berfokus pada sensasi tubuh, salah
menginterpretasi, dan menjadi waspada terhadapnya karena skema
kognitif yang salah.
Hipokondriasis dapat dimengerti dalam hal model pembelajaran
social. Gejala hipokondriasis dipandang sebagai permintaan untuk
masuk ke dalam peran sakit yang diciptakan seseorang yang
menghadapi masalah yang tampaknya tidak dapat diselesaikan dan
14

terlalu berat. Peranan sakit menawarkan pelarian yang memungkinkan


pasien menghindari kewajiban yang tidak menyenangkan, menunda
tantangan yang tidak diinginkan, dan dibebaskan dari tugas dan
kewajiban.
Hipokondriasis merupakan suatu bentuk varian gangguan jiwa
lain, diantaranya yang paling sering adalah gangguan depresif dan
gangguan ansietas. Perkiraan 80 % pasien dengan hipokondriasi dapat
memiliki gangguan ansietas/depresif secara bersamaan. 1
E. Gangguan Dismorfik Tubuh
Penyebab gangguan dismorfik tubuh tidak diketahui.
Komorbiditas yang tinggi dengan gangguan depresif, riwayat keluarga
dengan gangguan mood dan gangguan obsesif-kompulsif yang lebih
tinggi dari yang diperkirakan, serta responsivitas keadaan tersebut
terhadap obat yang spesifik serotonin dan dapat terkait dengan
gangguan jiwa lain. Konsep stereotipik mengenai kecantikan
ditekankan pada keluarga tertentu dan di dalam budaya dapat
memengaruhi pasien dengan gangguan dismorfik tubuh secara
signifikan. Pada model psikodinamik, gangguan dismorfik tubuh diliat
sebagai tindakan mencerminkan pemindahan konfilk seksual atau
emosional ke bagian tubuh yang tidak berkaitan. Hubungan tersebut
terjadi melalui mekanisme pertahanan represi, disosiasi, distorsi,
simbolisasi dan proyeksi. 1
F. Gangguan Nyeri
a) Faktor Psikodinamik
Pasien yang mengalami sakit dan nyeri tubuh
tanpa dapat diidentifikasi dan penyebab fisik yang
memadai mungkin secara simbolis diekspresikan
konflik intrapsikis melalui tubuh. Pasien menderita
dari alexithymia, yang tidak dapat mengartikulasikan
15

internal mereka perasaan menyatakan dengan kata-


kata, mengekspresikan perasaan mereka dengan tubuh
mereka. Pasien lain mungkin secara tidak sadar
menganggap nyeri emosional sebagai lemah dan entah
bagaimana kurang legitimasi. Dengan memindahkan
masalah kepada tubuh, mereka mungkin merasa
memiliki klaim yang sah pemenuhan kebutuhan
ketergantungan mereka. Makna simbolisgangguan
tubuh mungkin juga berhubungan dengan penebusan
untuk dirasakan dosa, penebusan rasa bersalah, atau
agresi yang ditekan. Banyak pasien memiliki rasa sakit
yang tak tertahankan dan responsive mereka yakin
mereka pantas menderita. Rasa sakit dapat berfungsi
sebagai metode untuk mendapatkan cinta, hukuman
untuk kesalahan, dan cara menebus kesalahan dan
penebusan untuk rasa bawaan yang buruk. Di antara
mekanisme pertahanan digunakan oleh pasien dengan
gangguan nyeri adalah perpindahan, substitusi, dan
represi. Identifikasi berperan ketika seorang pasien
mengambil peran objek cinta ambivalen yang juga
memiliki rasa sakit, seperti orang tua. 2
b) Faktor Perilaku
Perilaku nyeri diperkuat ketika diberi hadiah
dan dihambat ketika diabaikan atau dihukum.
Misalnya saja gejala nyeri sedang dapat menjadi intens
ketika diikuti oleh solicitous dan perilaku penuh
perhatian orang lain, dengan keuntungan finansial,
atau oleh kesuksesan menghindari kegiatan yang tidak
menyenangkan. 2
16

c) Faktor Pribadi
Nyeri yang tak tergantikan telah
dikonseptualisasikan sebagai sarana untuk manipulasi
dan mendapatkan keuntungan dalam hubungan
interpersonal, untuk misalnya, untuk memastikan
pengabdian anggota keluarga atau untuk menstabilkan
pernikahan yang rapuh. Keuntungan sekunder seperti
itu adalah yang paling penting untuk pasien dengan
gangguan nyeri. 2
d) Faktor Biologis
Korteks serebral dapat menghambat
pembakaran serat nyeri aferen. Serotonin mungkin
merupakan neurotransmitter utama dalam penurunan
jalur penghambatan, dan endorfin juga memainkan
peran di pusat modulasi sistem saraf nyeri.
Kekurangan endorfin tampaknya untuk berkorelasi
dengan augmentasi rangsangan sensorik yang masuk.
Beberapa pasien mungkin memiliki gangguan rasa
sakit, daripada mental lainnya gangguan, karena
struktur sensorik dan limbik atau kimia kelainan yang
membuat mereka cenderung mengalami rasa sakit. 2
G. Gangguan Disosiatif
Dalam banyak kasus amnesia disosiatif akut, psikososial
lingkungan di mana amnesia berkembang secara massif bertentangan,
dengan pasien mengalami emosi yang tak tertahankan karena malu,
bersalah, putus asa, marah, dan putus asa. Ini biasanya hasil dari
konflik atas dorongan atau impuls yang tidak dapat diterima, seperti
dorongan seksual, bunuh diri, atau kekerasan yang hebat. Traumatis
pengalaman seperti pelecehan fisik atau seksual dapat terjadi
17

gangguan. Dalam beberapa kasus trauma disebabkan oleh


pengkhianatan oleh yang dipercaya, dibutuhkan lainnya (trauma
pengkhianatan). Pengkhianatan ini dianggap mempengaruhi cara di
mana acara diproses dan diingat. 2
Pasien DID (Dissociative Identity Disorder) juga dapat
menunjukkan perubahan neuroanatomi. Tes memori eksperimental
menunjukkan bahwa pasien dengan DID mungkin telah meningkatkan
memori untuk tugas-tugas tertentu, yang telah digunakan untuk
mengkritik hipotesis bahwa DID adalah sarana untuk melupakan atau
menekan memori. 2
H. Anxietas dan fobia
Sistem neuroanatomik yang mendukung perilaku ketakutan dan
kecemasan dimodulasi oleh berbagai sistem neurotransmitter kimia.
Ini termasuk peptidergic neurotrans-mitter, CRH, neuropeptide Y
(NPY), dan zat P, pemancar themonoaminergic, NE, serotonin (5-
hydroxy-tryptamine atau 5-HT), dan dopamine (DA), dan pemancar
aminoacid, GABA dan glutamat. Sistem neurotrans-mitter yang paling
baik dipelajari dalam hubungan dengan respons terhadap stres atau
ancaman melibatkan poros HPA dan sistem noradrenergik sentral.
Sistem neurokimia ini mematuhi fungsi adaptif penting dalam
mempersiapkan organisme untuk merespons ancaman atau stres,
dengan meningkatkan kewaspadaan, memodulasi memori,
memobilisasi simpanan energi, dan meningkatkan fungsi
kardiovaskular. Namun demikian, respons biologis terhadap ancaman
dan stres dapat menjadi mal-adaptif jika diaktifkan secara kronis atau
tidak tepat. Sistem neurokimia tambahan yang berperan penting dalam
memodulasi respons stres dan perilaku emosional termasuk sistem
GAB pusat, serotonergik, dopaminergik, opiat, dan NPY.
18

Interaksi fungsional yang terkoordinasi antara aksis HPA dan


sistem noradrenergik memainkan peran utama dalam menghasilkan
respons adaptif terhadap stres, kecemasan, atau ketakutan. Sekresi
CRH meningkatkan aktivitas penembakan neuronal LC dan
menghasilkan pelepasan NE yang meningkat dalam berbagai kortikal
dan subkortikal. Sebaliknya, pelepasan NE menstimulasi sekresi CRH
dalam PVN (nukleus yang mengandung sebagian besar neuron
sintesis-CRH di hipotalamus). Selama stres kronis khususnya, LC
adalah batang otak nora-drenergic nucleus yang muncul secara
istimewa untuk memediasi NErelease dalam PVN. Sebaliknya, ketika
pelepasan CRH dalam PVN merangsang sekresi ACTH dari hipofisis
dan dengan demikian meningkatkan sekresi kortisol dari kelenjar
adrenal, peningkatan konsentrasi kortisol plasma bertindak melalui
jalur umpan balik negatif untuk mengurangi CRH dan NEsintesis pada
tingkat PVN.4
Penghambatan stimulasi CRH yang diinduksi glukokortikoid dapat
dibuktikan dengan jelas selama stres, daripada di bawah kondisi
istirahat, sebagai respon adaptif yang menahan neuroendokrin yang
diinduksi stres dan efek kardiovaskular yang dimediasi oleh PVN. NE,
kortisol, dan CRH dengan demikian tampak terkait erat sebagai sistem
fungsional yang menawarkan mekanisme homeostatik untuk
merespons stres. Fenomena klinis gangguan kecemasan yang mungkin
secara khusus diatur oleh interaksi antara NE dan sekresi
glukokortikoid melibatkan akuisisi dan penghiburan trauma. Ciri khas
PTSD dan PD adalah ingatan masing-masing dari pengalaman
traumatis atau serangan panik asli, masing-masing, bertahan selama
beberapa dekade dan diingat sebagai respons terhadap berbagai
rangsangan atau stres. Pada hewan percobaan, perubahan tingkat
katekol-amina otak dan kadar glukokortikoid otak memengaruhi
19

konsolidasi dan pemulihan ingatan emosional. Glukokortikoid


memengaruhi penyimpanan memori dengan aktivasi reseptor
glukokortikoid dalam hippocampus, sedangkan efek NE sebagian
disebabkan oleh stimulasi adrenoreseptor di amygdala. Pada manusia,
adrenokortikal menghalangi efek peningkatan memori dari amfetamin
dan epinefrin, dan propranolol merusak memori untuk kisah
provokatif secara emosional, tetapi bukan untuk kisah emosional
'netral'. Data ini menunjukkan bahwa acuterelease glukokortikoid dan
NE sebagai respons terhadap trauma memodulasi pengkodean memori
traumatis. Dapat dibayangkan bahwa perubahan jangka panjang dalam
sistem ini dapat menyebabkan distorsi memori yang terlihat pada
PTSD, seperti fragmen memori, hypermnesia, dan defisit dalam
memori deklaratif.4
Fungsi reseptor BZD dan GABA dapat diubah oleh stres pada
beberapa daerah otak. Pengikatan reseptor BZD menurun pada korteks
frontal dengan pengurangan yang kurang konsisten terjadi pada
hipokampus dan hipotalamus, tetapi tidak ada perubahan pada korteks
oksipipus, striatum, otak tengah, thalamus, otak kecil, atau respons.
Stres kronis dalam bentuk footshock berulang atau berenang air dingin
mengakibatkan penurunan BZD reseptor mengikat di korteks frontal
dan hippocampus, dan mungkin di otak kecil, otak tengah, dan
striatum, tetapi dalam korteks oksipital atau pons. Beberapa efek stres
ini dapat dimediasi oleh glukokortikoid, karena kronik yang terpapar
pada tingkat stres CORT mengubah tingkat mRNA beberapa subunit
reseptor GABAA. Benzodiazepine-GABA-Fungsi Reseptor dalam
Gangguan Kecemasan Reseptor BZD sentral telah terlibat dalam
gangguan kecemasan berdasarkan gangguan anxiolytic dan ansiogenik
agonis BZD dan agonis inversi, masing-masing, dan oleh bukti bahwa
sensitivitas reseptor BZD terhadap agonis BZD berkurang pada
20

beberapa sub-junction yang mengalami kecemasan. Hipotesis yang


diajukan mengenai peran fungsi reseptor GABAA-BZD dalam
gangguan kecemasan telah mengusulkan baik bahwa perubahan dalam
konformasi kompleks mac-romolekul GABAA-BZD atau bahwa
perubahan dalam konsentrasi atau sifat dari ligand endogen dan
perhitungan untuk gejala kecemasan patologis yang terlihat pada
gangguan kecemasan.4
Stres akut meningkatkan pelepasan DA dan turnover di beberapa
area otak. Proyeksi dopaminergik ke mPFC muncul sangat sensitif
terhadap stres, karena stresor singkat atau intensitas rendah (misalnya,
paparan stimuli yang dikondisikan dengan rasa takut) meningkatkan
pelepasan DA dan turnover pada mPFC karena tidak adanya
perubahan yang sesuai pada proyeksi dopaminergik mesotelencephalic
lainnya. Sebaliknya, stres dengan intensitas yang lebih besar atau
durasi penambahan yang lebih lama meningkatkan pelepasan DA dan
metabolisme di area lain juga. Sensitivitas regional terhadap stres
tampaknya mengikuti pola di mana proyeksi dopaminergik
terhadapnya, PFC lebih sensitif terhadap stres daripada proyeksi
mesoaccumbens dan nigrostriatal, dan proyeksi dopaminergik
mesocortical lebih sensitif terhadap stres, ada sedikit bukti bahwa
disfungsi dopaminergik memainkan peran utama dalam patofisiologi
gangguan kecemasan manusia. Dalam PD, Roy-Byrne et al.
menemukan konsentrasi plasma yang lebih tinggi dari metabolit DA,
homovanillic acid (HVA), pada pasien dengan tingkat kecemasan yang
tinggi dan serangan panik yang sering terjadi relatif terhadap kontrol.
Pasien dengan PD juga terbukti memiliki respons hormon
pertumbuhan yang lebih besar terhadap agonis reseptor DA,
apomorfine, dibandingkan dengan kontrol yang mengalami depresi.
Namun, Erikssonet al. tidak menemukan bukti perubahan dalam
21

konsentrasi HVA CSF pada pasien dengan PD atau untuk korelasi


antara CSF HVA dan keparahan kecemasan atau frekuensi serangan
panik. Selain itu, studi genetik yang meneliti hubungan antara PD dan
polimorfisme gen untuk reseptor DAD4 dan transporter DA telah
menghasilkan hasil negativer. Dalam fobia sosial, dua studi pencitraan
SPECT awal yang melibatkan sampel subjek kecil melaporkan sampel
yang abnormal di pengikatan DA-reseptor. Tiihonen et al. ditemukan
penurunan yang signifikan dalam pengikatan CIT pada striatum
insocial phobic relatif terhadap sampel kontrol yang sehat,
kemungkinan mencerminkan pengurangan pada pengikatan DA-
transporter. Schneier et al. melaporkan berkurangnya serapan
radioligand DA D2 / D3-reseptor, IBZM, pada subjek fobia sosial
relatif terhadap subyek kontrol yang sehat.4
Paparan terhadap berbagai stresor menghasilkan peningkatan
turnover 5-HT dalam mPFC, nucleus accumbens, amygdala,
hipotalamus lateral. Selama paparan rangsangan yang dikondisikan
ketakutan, turnover 5-HT dalam mPFC tampak sangat sensitif
terhadap keparahan stres, besarnya respon perilaku ketakutan yang
dikondisikan meningkat. Namun, paparan sengatan listrik berulang
yang cukup untuk menghasilkan ketidakberdayaan yang dihasilkan
terkait dengan berkurangnya pelepasan 5-HT di korteks frontal, sebuah
temuan yang mungkin mencerminkan kondisi yang di mana sintesis 5-
HT kalah cepat oleh rilis. Pemberian kembali agonis reseptor BZD
atau obat antidepresan trisiklik mencegah reduksi yang diinduksi stres
dalam pelepasan. Efek stres dalam mengaktifkan 5-HT dapat
menstimulasi jalur ansiogenik dan ansiolitik dengan otak depan,
tergantung pada daerah yang terlibat dan subtipe reseptor 5-HT yang
sebagian besar distimulasi. Terutama, stres dan glukokortikoid
memberikan efek besar pada ekspresi genetik dari reseptor 5-HT1A
22

dan 5-HT2. Ekspresi gen reseptor sinaptik 5-HT1A adalah


penghambatan oleh steroid adrenal dalam hipokampus dan
kemungkinan daerah lain di mana reseptor mineralokortikoid
diekspresikan. Dengan demikian, 5-HT1A-receptordensity dan tingkat
mRNA menurun dalam menanggapi stres kronis atau pemberian
CORT dan meningkat setelah adrenalectomy. Regresi down-regulasi
dari 5-HT1A-reseptor yang diinduksi stres dicegah oleh
adrenalectomy, sebuah temuan yang menunjukkan pentingnya
sirkulasi steroid remaja dalam memediasi efek ini. Meski keduanya
mineralokortikoid dan stimulasi reseptor glukokortikoid terlibat dalam
mediasi efek ini, yang pertama paling kuat, dan tingkat 5-HT1A
mRNA menurun tajam dalam beberapa jam setelah stimulasi reseptor
mineralokortikoid (296). Sebaliknya, ekspresi reseptor 5-HT2A diatur
ke atas selama stres kronis dan administrasi CORT, dan regulasi turun
sebagai respons terhadap adre-nalectomy (298.300). Mengingat bukti
bahwa reseptor 5-HT1A dan 5-HT2 dapat memainkan peran timbal
balik dalam memediasi kecemasan, dapat dibayangkan bahwa efek
mediator kortikosteroid yang dimediasi pada efek 5-HT1A dan 5-
HT2Aeksresi mungkin relevan dengan patofisiologi kecemasan.4
23

Gambar 1.3, Patofisiologi anxietas dan fobia4


24

Panik(2)
25

Gambar 1.4, Patofisiologi Panik5

I. Obsessive-kompulsif disorder(3)
Daerah otak yang mengalami gangguan pada OCD termasuk
dorsolateral prefrontal cortex (DLPC), anterior cingulate cortex
(ACC), ganglia basal, orbito-frontal cortex (OFC), striatum, amygdala,
thalamus dan batang otak.
a) Korteks prefrontal dorsolateral (DLPC) ini adalah
bagian korteks yang paling penting untuk fungsi kognitif pada
manusia. Keterlibatannya dari DLPC dalam memori kerja
awalnya ditunjukkan dalam studi primata. DLPC juga berperan
dalam adaptasi terhadap perubahan lingkungan. DLPC
memainkan peran penting dalam memfokuskan perhatian pada
rangsangan tertentu dan dalam pengambilan keputusan. Lesi
DLPC mengganggu kemampuan subjek untuk memproses
informasi sementara dan mengganggu kesuksesan kinerja
perilaku yang diarahkan pada tujuan. Data neuroimaging
fungsional telah menunjukkan berkurang aktivitas di DLPC
pasien yang menderita gangguan kejiwaan seperti besar depresi
dan OCD, yang dapat menjelaskan kesulitan dalam mengatasi
kompulsif perilaku.5
b) Anterior cingulate cortex (ACC) studi neuroimaging
menunjukkan bahwa ACC terlibat dalam berbagai proses
kognitif seperti perhatian, motivasi, hadiah, deteksi kesalahan,
memori yang bekerja, pemecahan masalah dan rencana aksi.
Ada dua wilayah utama dalam ACC yaitu. daerah punggung,
dikenal sebagai wilayah kognitif, dan daerah ventral atau
26

afektif. Wilayah kognitif adalah bagian netwok perhatian dan


terhubung erat dengan DLPC, premotor, dan korteks parietal
sedangkan, wilayah afektif terkait dengan amigdala, nucleus
accumbens, hipotalamus, insula anterior, hippocampus dan
OFC dan mengirimkan proyeksi ke neuro-vegetatif,
visceromotor dan sistem endokrin. Aktivasi berlebihan ACC
telah dilaporkan pada pasien menghadirkan gangguan kejiwaan
seperti fobia, OCD dan gangguan mood.5
c) Sirkuit ganglia-thalamo-kortikal basal. Pada dasarnya,
peran ganglia basal adalah untuk mengintegrasikan berbagai
input yang datang dari korteks dan menggunakan informasi ini
untuk memilih program motorik dan / atau kognitif tertentu.
Intinya masuknya informasi ke basal ganglia adalah melalui
striatum, yang menerima konvergensi informasi dari korteks
limbik dan asosiatif. Kemudian mengirimkan proyeksi ke
output struktur, yaitu globus pallidus pars internalis (Gpi) dan
substantia nigra pars reticulata (SNr), melalui dua jalur: satu
langsung dan tidak langsung lainnya. Jalur tidak langsung
berturut-turut melibatkan globus pallidus pars externalis (Gpe)
dan nukleus subthalamic (STN). Selain itu, korteks
mengirimkan input langsung ke STN dan koneksi antara Gpe
dan Gpi. Kedua jalur ini tampaknya memainkan peran yang
berlawanan dalam mengendalikan aktivitas kortikal. Aktivasi
loop langsung memfasilitasi pemicu program di tingkat
kortikal melalui penghambatan ganda. Di sisi lain, loop tidak
langsung memblokir aktivasi relai thalamic dengan
meningkatkan aktivitas Gpi, struktur penghambatan GABA-
ergic. Dopamin nigral asal tampaknya memfasilitasi jalur
langsung melalui reseptor D1 dan memainkan peran
27

penghambat di jalur tidak langsung melalui reseptor D2.


Aktivasi patologis tertutup terpisah sirkuit loop yang
melibatkan jalur korteks-basal ganglia-thalamus-cortex akan
menghasilkan aktivitas gema dan menghasilkan pembuangan
terus-menerus dari karakteristik program bawaan OCD.
Manifestasi klinis gangguan neuronal ganglia basal dapat
dilihat sebagai gangguan pemrosesan informasi di tingkat
kortikal karena hilangnya fokus
aksi input subkortikal.5
d) OFC adalah wilayah otak besar, yang meliputi area
rostral dan ventromedial. Karena, ia menerima input
multimodal dari korteks asosiasi temporal, amygdala dan
hipotalamus serta komponen limbik ganglia basal, telah
dipandang sebagai pusat integrasi tertinggi untuk pemrosesan
emosional. OFC tampaknya berperan
situasi yang melibatkan insentif / bonus / hadiah dan dalam
kondisi, di mana subjek harus membuat perubahan cepat dalam
perilaku untuk mengakomodasi perubahan lingkungan.
Beberapa baris bukti menunjukkan bahwa OFC memainkan
peran penting dalam proses pengambilan keputusan
berdasarkan
hadiah. Pasien dengan kerusakan orbitofrontal mengalami
kesulitan besar dalam pengambilan keputusan. Mereka juga
cenderung mengambil risiko, apakah menguntungkan atau
tidak.5
e) OFC tampaknya memainkan peran utama dalam aspek
motivasi pengambilan keputusan. Di antara yang lebih
posterior area kortikal, korteks parietal inferior kiri dan
persimpangan parieto oksipital terlibat tugas kognitif yang
28

berkaitan dengan citra visual. Kurang aktifnya wilayah-wilayah


ini mungkin bisa menjelaskan defisit memori spasial dan
defisit memori visual yang diamati pada pasien OCD. Itu ritual
berulang (kompulsi) dan perilaku agresif, yang dominan dalam
OCD pasien mungkin karena penipisan serotonin.5
f) Striatum diketahui dibentuk oleh dua jenis modul
pemrosesan informasi: the striasoma dan matrisom. Striasom
menerima informasi dari struktur limbik seperti amygdala,
OFC & ACC. Pada gilirannya, mereka mengirim proyeksi ke
neuron dopaminergik dari substantia nigra. Temuan anatomi
ini menunjukkan bahwa striasom juga dapat berperan dalam
modulasi emosional informasi kortikal. Sedangkan matrisom
menerima informasi dari bagian lateral korteks premotor dan
prefrontal, yang terlibat dalam perilaku antisipasi dan
perencanaan. Antar-neuron kolinergik striatum, yaitu. tonically
active neuron (TANS), mungkin memainkan peran tertentu
dalam mengintegrasikan informasi yang mengalir melalui
striasom dan matrisom. Neuron-neuron ini dapat membentuk
sistem saraf yang terlibat dalam pemrosesan beberapa aspek
informasi, seperti pendeteksian peristiwa yang tidak terduga
atau konteks diskriminasi rangsangan. Bagian limbik striatum
(ventral striatum) di bawah kendali dopaminergik aferen
mungkin terlibat dalam proses pembelajaran yang digerakkan
oleh hadiah. Di sisi lain, punggung striatum tampaknya terlibat
dalam pembelajaran prosedural tentang rutinitas perilaku yang
ada dilakukan tanpa sadar. Secara khusus, dalam konteks
pembelajaran prosedural,
gangguan fungsi "kesiapan" dan "pelepasan" yang dianggap
berasal dari striatum mendukung beberapa aspek patofisiologi
29

OCD. Namun, striatum juga bisa berperan dalam proses lain


yang berpotensi terganggu dalam OCD, seperti modulasi
informasi emosional dan representasi dari konsekuensi
tindakan yang diharapkan. Di sisi lain, kinerja perilaku
berulang pada pasien OCD mungkin memiliki efek positif pada
pengurangan kecemasan, suatu proses yang dapat berasimilasi
dengan beberapa bentuk penghargaan.5
g) Amigdala dan berbagai keluarannya mungkin
memainkan peran utama dalam memediasi tanda-tanda klinis
dan gejala ketakutan dan kecemasan. Secara skematis,
amigdala terdiri dari beberapa nuklei, seperti nukleus lateral,
inti basolateral dan inti sentral. Namun, bukti terbaru
mendukung yang mendasar.Gagasan bahwa amigdala tidak
hanya terlibat dalam emosi negatif seperti ketakutan dan
kecemasan tetapi juga dalam proses penghargaan dan motivasi
melalui koneksi timbal balik ke inti accumbens dan OFC.
Dengan demikian, amygdala tampaknya memainkan peran
penting dalam ekspresi emosi dan motivasi, mungkin melalui
hubungannya dengan OFC, ACC dan ventral striatum.
Disfungsi struktur ini, seperti yang disarankan oleh beberapa
neuroimaging studi pada pasien OCD, mungkin memediasi
kecemasan non-spesifik yang dialami relatif terhadap pikiran
obsesif.5
h) Posisi diencephalic dari thalamus di otak menjelaskan
mengapa ia menerima kortikal besar input. Ini berpartisipasi
dalam ekspresi emosional melalui AN (inti anterior dari
thalamus), yang terhubung ke MB (mammillary bodies) dan,
pada gilirannya, mengirimkan proyeksi ke ACC. Peran diduga
VA (ventral anterior nucleus thalamus) dalam kognitif fungsi
30

yang melibatkan perhatian dan memori yang bekerja


didasarkan pada tautan dengan DLPC. Diskrit bagian-bagian
MD (nukleus dorsal medial thalamus) tampaknya penting
dalam kedua emosi dan pemrosesan kognitif melalui hubungan
anatomi preferensial mereka dengan OFC dan DLPC.
Disfungsi thalamik telah dikaitkan dengan defisit fungsi
eksekutif seperti perencanaan, perilaku yang diarahkan pada
tujuan, perhatian, dan memori yang bekerja.5
i) Input batang otak, sistem dopaminergik
mesokortikolimbik berasal dari mesencephalon ventral, yang
meliputi daerah tegmental Ventral (VTA), dan
memproyeksikan ke nukleus accumbens dengan daerah striatal
ventral limbik lainnya dan daerah kortikal, terutama OFC,
DLPC, ACC. Dopamin berkontribusi pada organisasi dan
regulasi perilaku yang diarahkan pada tujuan. Neuron
penghasil serotonin utamanya terletak di batang otak raphe
nuclei. Deskripsi anatomi dan perkembangan nukleus batang
otak telah menunjukkan bahwa mereka membentuk neurokimia
terbesar dan paling kompleks sistem eferen di otak manusia.
Teori umum telah menghubungkan berbagai perilaku berfungsi
untuk serotonin, yang dianggap sebagai penghambat umum
perilaku motorik. Di Sebaliknya, fungsi serotonin berkurang
telah terbukti meningkatkan eksplorasi, alat gerak aktivitas,
agresi dan perilaku seksual pada hewan dan manusia. Itu ritual
berulang (kompulsi) dan perilaku agresif, yang dominan dalam
OCD pasien mungkin karena penipisan serotonin.5
31
32

Gambar 1.6,Patofisiologi Obsessive-kompulsif disorder5


2. Diagnosis dan kriteria gangguan jiwa non psikotik
A. F40.0 Agorafobia
Agorafobia merupakan jenis Fobia yang menyebabkan
ketidakmampuan berat bagi pasien karena membuat seseorang tidak
mampu berfungsi dengan baik ditempat kerja maupun dilingkungan
sosial diluar rumah. Agorafobia hampir selalu terjadi akibat
komplikasi pada pasien dengan gangguan panik. Tetapi sebagian
peneliti lain kurang setuju karena Agorafobia bisa juga tanpa riwaat
Gangguan Panik. Serangan Panik bisa juga ditemukna pada ganguan
mental lain (seperti: Gangguan Depresi) dan kondisi medik tertentu
(seperti: Gangguan Putus Zat atau Keracunan).6
a) Faktor Biologik: Penelitian berdasarkan biologik pada
Gangguan Panik ditemukan peningkatan aktifitas syaraf
simphatis. Penelitian neuroendokrin menunjukkan beberapa
abnormalitas hormon terutama kortisol. Neurotransmitter yang
berpengaruh pada Gangguan Panik adalah Epinefrin,
Serotonin, dan Gama Amino Butyric Acid (GABA).
b) Faktor Genetik : Keluarga generasi pertama pasigot.ien
Gangguan Panik 4 – 8 kali beresiko untuk menderita gangguan
ini. Kembar monozigot resiko lebih besar daripada dizigot.
c) Faktor Psikososial :
i. Teori Kognitif Perilaku: kecemasan bisa sebagai satu
respon yang dipelajari dari perilaku orangtua atau
33

melalui proses kondisioning klasik yang terjadi sesudah


adanya stimulus luar yang menyebabkan individu
menghindari stimulus tersebut.
ii. Teori Psikososial: serangan panik muncul karena
gagalnya pertahanan mental menghadapi impuls /
dorongan yang menyebabkan anxietas. Sedangkan
Agorafobia akibat kehilangan salah satu orang-tua pada
masa anak-anak dan ada-nya riwayat cemas perpisahan.
Pengalaman perpisahan traumatik pada masa anak-anak
bisa mempengaruhi susunan syaraf yang
menyebabkannya menjadi mudah jatuh kepada anxietas
pada masa dewasa. Pasien dengan riwayat pelecehan
fisik dan seksual pada masa anak juga beresiko untuk
menderita Ganggaun Panik.6

Pedoman diagnosis
Semua kriteria dbawah ini harus dipenuhi untuk diagnosa pasti :
a) Gejala psikologik perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau
pikiran obsesif.
b) Anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutamaterjadi
dalam hubungan dengan) setidaknya dua dari situasi berikut :
banyak orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar
rumah, bepergian sendiri. dan
c) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala
yang menonjol (penderita menjadi “house bound”.7

B. F40.1 fobia social


34

Adalah ketakutan yang berlebihan bahwa dirinya akan dilihat


dan diamati oleh orang lain. Individu dengan social phobia merasa
sangat terganggu dengan adanya kemungkinan bahwa ia akan
melakukan kesalahan atau menunjukkan tandatanda kecemasan yang
akhirnya membuat ia dipermalukan di depan orang lain.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya fobia
social yaitu interaksi antara faktor kerentanan psikologis dan biologis,
peristiwa traumatis atau tekanan hidup, serta adanya siklus yang
berulang dari pikiran negatif, perasaan dan perilaku menghindar yang
menyebabkan kecemasan bertahan.6
a) Kerentanan Genetik Beberapa hasil penelitian membuktikan
peran faktor genetik terhadap social phobia. Salah satunya
adalah sebuah penelitian yang dilakukan terhadap saudara
kembar, berdasarkan hasil ditemukan kecocokan sebesar
24.4% untuk kembar monozigot perempuan dan 15.3% untuk
kembar monozigot laki-laki
b) Temperamen Behavioral Inhibition Beberapa studi
menemukan bahwa tipe temperamen dengan karakteristik
pemalu, cenderung menahan diri dan menghindar merupakan
faktor resiko bagi berkembangnya social phobia di kemudian
hari.
c) Pengalaman dari lingkungan Pengalaman hidup yang sering
dikatakan berpengaruh dalam berkembangnya simptom-
simptom social phobia diantaranya adalah lingkungan keluarga
yang maladaptif, tingginya kritikan dan kontrol dari orang,
serta trauma akibat pengalaman panik pada suatu situasi. Setiap
pengalaman tersebut berpotensi untuk menciptakan umpan
balik negatif terkait dengan kecemasan, perilaku menghindar
dan hambatan dalam kemampuan sosial.7
35

Pedoman diagnostic
a) Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnostik
pasti :
i. Gejala psikologis perilaku atau otonomik yang timbul
harus merupakan manifestasi primer dari anxietasnya
dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti
misalnya waham dan pikiran obsesif.
ii. Anxietas harus mendominasi atas terbatas pada situasi
social tertentu (outside the family circle) dan
iii. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan
gejala yang menonjol.
b) Bila terlalu sulit membedakan anxietas sosial dengan
agoraphobia, hendaknya diutamakan diagnosis agoraphobia
(F40.0).7
C. F40.2 Fobia khas (terisolasi)
adalah kecemasan yang signifikan terhadap objek atau situasi yang
menakutkan, dan sering menampilkan perilaku menghindar terhadap
objek atau situasi tertentu. Etologi penyebabnya yaitu :
a. Traumatic event Kebanyakan orang yang mengalami specific
phobia disebabkan oleh kejadian trauma.
b. Information transmition Seseorang dapat mengalami specific
phobia karena sering mengingat sesuatu yang berbahaya.6

Kriteria diagnostic

a) Semua kriteria dibwah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti


:
i. Gejala psikologis perilaku atau otonomik yang timbul
harus merupakan manifestasi primer dari anxietasnya
36

dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti


misalnya waham dan pikiran obsesif.
ii. Anxietas harus terbatas pada adanya objek atau situasi
fobik tertentu (highly specific situations), dan
iii. Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya.
b) Pada fobia khas ini umumnya tidak ada gejala psikiatrik lain.
Tidak seperti halnya agoraphobia dan fobia sosial.7
D. F.41.0 Gangguan panik (Anxietas Paroksimal Episodik)
Gangguan panik adalah jenis gangguan kecemasan yang
ditandai, oleh 'serangan panik' berulangulang, yaitu periode terpisah
dari perasaan ketakutan yang intens dan berhubungan dengan gejala
fisik seperti jantung berdebar-debar, sesak napas, berkeringat, gemetar,
ketidaknyamanan di dada, pusing dan sebagainya. Penderita gangguan
panik sering merasa cemas bahwa gejala ini adalah indikasi adanya
penyakit parah seperti sakit jantung atau kehilangan kontrol, dan
dengan demikian ia akan mencegah terjadinya serangan panik dengan
menghindari tempat atau situasi tertentu. Penghindaran seperti itu bisa
meningkatkan perasaan ketakutan dan kecemasan yang mengakibatkan
lingkaran setan kepanikan dan kecemasan.6
Beberapa faktor mungkin terlibat sebagai penyebab gangguan
panik. Peristiwa stres dan perubahan besar dalam hidup, seperti
pengangguran jangka panjang, kehilangan orang yang dicintai bisa
memicu gangguan panik. Pada awalnya, ketika orang berada di bawah
stres sedang, mekanisme normal otak untuk bereaksi terhadap
ancaman. Tidak ada penyebab tunggal dari gangguan panik, beberapa
faktor memberikan kontribusi termasuk:
a) Faktor biologis: keturunan, ketidakseimbangan kimia zat
pengontrol fungsi otak, sistem saraf simpatik terlalu sensitif
37

b) Faktor psikologis: orang yang mudah cemas, pesimis dan


kurang merasa aman
c) Faktor lingkungan: pengalaman negatif di masa kecil, peristiwa
stres (misalnya mengalami bencana, kecelakaan), stres
kehidupan sehari-hari lainnya (misalnya pergantian pekerjaan,
masalah hubungan antar pribadi).6

Kriteria diagnostik
a) Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila
tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik (F 40.-)
b) Untuk diagnosis pasti harus ditemukan adanya beberapa kali
serangan anxietas berat (severe attack of autonomic anxiety)
dalam masa kira-kira satu bulan :
i. Pada keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak
ada bahaya
ii. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau
yang dapat diduga sebelumnya (unpredictable
situations).
iii. Dengan keadaan yang relatif bebas dari dari gejala-
gejala anxietas pada periode diantara serangan anxietas
pada periode diantara serangan-serangan panik
(meskipun demikian umumnya dapat terjadi juga
“anxietas andapat terjadi juga “anxietas antisipatoric”
yaitu anxietas yang terjadi setelah membayangkan
sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi.7

E. F41.1 Gangguan cemas menyeluruh


Gangguan kecemasan adalah sekelompok kondisi yang
memberi gambaran penting tentang kecemasan yang berlebihan,
38

disertai respons perilaku, emosional, dan fisiologis. Individu yang


mengalami gangguan kecemasan dapat memperlihatkan perilaku yang
tidak lazim seperti panik tanpa alasan, takut yang tidak beralasan
terhadap objek atau kondisi kehidupan, melakukan tindakan berulang-
ulang tanpa dapat dikendalikan, mengalami kembali peristiwa yang
traumatik, atau rasa khawatir yang tidak dapat dijelaskan atau
berlebihan. Pada kesempatan yang jarang terjadi, banyak orang
memperlihatkan salah satu dari perilaku yang tidak lazim tersebut
sebagai respons normal terhadap kecemasan. Perbedaan antara respons
kecemasan yang tidak lazim ini dengan gangguan kecemasan ialah
bahwa respons kecemasan cukup berat sehingga bisa mengganggu
kinerja individu, kehidupan keluarga, dan gangguan sosial.6

Kriteria diagnostic
a) Penderita harus menunjukkan kecemasan sebagai gejala primer
yang berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu
sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya
menonjolpada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya
“free floating” atau “mengambang”.
b) Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur
berikut :
i. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti
di ujung tanduk, sulit konsentrasi, dsb).
ii. Ketegangan motoric (gelisah, sakit kepala, gemetaran,
tidak dapat santai); dan
iii. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan,
berkeringat, janOveraktivitas otonomik (kepala terasa
39

ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak


nafas, keluhan kembung, pusing kepala, mulut kering,
tung berdebar-debar, sesak nafas, keluhan kembung,
pusing kepala, mulut kering, dsb).
c) Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan
untuk ditenangkan (reassurance) serta keluhan-keluhan somatic
brulang yang menonjol.
d) Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk
beberapa hari), khususnya depresi, tidak membatalkan
diagnosis utama. Gangguan anxietas menyeluruh, selama hal
tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresi
(F32), gankap dari episode depresi (F32), gangguan anxietas
fobik (F40), gangguan panic (F41.0), gangguan obsesif
kompulsif (F42.).7

F. F41.2 Gangguan campuran anxietas dan depresi


Merupakan gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana
masingmasing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat
untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk anxietas, beberapa
gejala otonomik, harus ditemukan walaupun harus tidak terus
menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan.6

Kriteria diagnostik
a) Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana masing-
masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat
untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk anxietas, beberapa
gejala otonomik, harus ditemukan walaupun hasus tidak terus
menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan.
40

b) Bila ditemukan anxietas berat disertai depresi yang lebih ringan,


maka harus dipertimbangkan kategori gangguan anxietas lainnya
atau gangguan anxietas fobik.
c) Bila ditemukan sindrom depresi dan cemas yang cukup berat
untuk menegakkan diagnosis maka kedua diagnosis tersebut harus
dikemukakan, dan diagnosis gangguan campuran tidak dapat
digunakan. Jika karena sesuatu hal hanya dapat dikemukakan satu
diagnosis maka gangguan depresif harus diutamakan.
d) Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stress kehidupan
yang jelas maka harus digunakan kategori F.43.2 (gangguan
penyesuaian).7

G. F41.3 Gangguan anxietas campuran lainnya.


Kriteria diganotik
a) Memenuhi criteria gangguan anxietas menyeluruh dan juga
menunjukkan (meskipun hanya dalam jangka waktu pendek) cirri-
ciri yang menonjol dari kategori gangguan F40-F49, akan tetapi
tidak memenuhi kriterianya secara lengkap.
b) Bila gejala-gejala yang memenuhi criteria dari kelompok gangguan
ini terjadi dalam kaitan dengan perubahan atau stress kehidupan
yang bermakna, maka dimasukkan dalam kategori F43.2,
gangguan penyesuaian.7
H. F42 gangguan obsesif kompulsif
Obsesif adalah unsur pemikiran yang berulang timbul dalam
kesadaran, sekalipun pasien tidak menghendaki untuk memikirkannya.
41

Ia tidak sanggup mengeluarkannya dari kesadarannya atas kemauan


sendiri, ia seolah dipaksa untuk memikirkan, mengingat atau
membayangkan. Kompulsi adalah Dorongan untuk melakukan
perbuatan atau rangkaian perbuatan tertentu yang apabila dilawan atau
tidak dilaksanakan akan menimbulkan ketegangan yang sangat. Pasien
seolah olah dipaksa menyerah pada impuls untuk melakukan
perbuatan itu sekalipun tidak menyukainya dan tidak memperoleh
kepuasan dari perbuatan tersebut. Beberapa factor penyebab :
a. Faktor genetik Kerabat tingkat pertama dari penderita memiliki
kemungkinan lebih besar menderita OCD.
b. Faktor biologis Penelitian menunjukkan berhubungan dengan
tingkat serotonin yang rendah, dan kelainan pada korteks
orbito-frontal dan ganglia dasar dalam otak.
c. Faktor psikologis Orang yang mudah cemas, perfeksionis atau
lebih suka menjaga sesuatu bersih dan rapi cenderung rawan
terkena gangguan ini.6
Kriteria diagnostik :
a) Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif
atau tindakan kompulsif atau kedua-duanya, harus ada
hampir setiap hari selama sedikitnya dua minggu berturut-
turut.
b) Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau
mengganggu aktivitas penderita.
c) Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut :
i. harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri
sendiri.
ii. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak
berhasil dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak
lagi dilawan oleh penderita.
42

iii. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas


bukan hal yang memberi kepuasan atau kesenangan
(sekedar perasaan lega dari ketegangan atau
anxietas, tidak dianggap seb, tidak dianggap sebagai
kesenangan seperti diatas).
iv. Gagasan, bayangan pikiran atau impuls
tersebGagasan, bayangan pikiran atau impuls
tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak
menyenangkan (unpleasantly repetitive).
d) Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran
(obsesif) dengan depresi. Penderita gangguan obsesif
kompulsif juga menunjukkan gejala depresi dan sebaliknya
penderita gangguan depresi berulang (F33.-) dapat
menunjukkan pikiranunjukkan pikiran-pikiran obsesif
selama spisodee deepresifmya. Dalam berbagai situasi
dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut meningkat
atau menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi
secara parallel dengan perubahan gejala obsesif, Bila
terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis
diutamakan dari gejalagejala yang timbul lebih dahulu.
Diagnosis gangguan obsesif kompulsif ditegakkan hanya
bila tidak ada gangguan dpresif pada saat gejala obsesif
kompulsif tersebut timbul. Bila dari keduanya tidak ada
yang menonjol, maka lebih baik menganggap depresi
sebagai diagnosis primer. Pada gangguan menahun, maka
priotas diberikan pada gejala yang paling bertahan saat
gejala lain menghilang.
e) Gejala obsesif “sekunder” yang terjadi pada gangguan
skiofrenia, sindroma tourrette atau gangguan mental
43

organic harus dianggap sebagai bagian dari keadaan


tersebut.7
I. F42.0 predominan pikiran obsesif atau pengulangan
Kriteria dianostik
a) Keadaan ini dapat berupa : gagasan, bayangan fikiran, atau
impuls (dorongan perbuatan), yang sifatnya mengganggu
(ego alien).
b) Meskipun isi fikiran tersebut berbeda-beda, umumnya
hamper selalu menyebabkan penderitaan (distress).7
J. F42.1 Predominan tindakan kompulsif (obsessional rituals)
Kriteria diagnostik
a) Umumnya tindakan kompulsif berkaitan dengan :
kebersihan (khususnya mencuci tangan), memeriksa
berulang untuk meyakinkan bahwa suatu situasi yang
dianggap berpotensi bahaya tidak terjadi atau masalah
kerapihan dan keteraturan.
Hal tersebut dilatar belakangi perasaan takut terhadap
bahaya yang mengancam dirinya atau bersumber dari
dirinya dan tindakan ritual tersebut meriupakan ikhtiar
simbolik dan tidak efektif untuk menghindari bahaya
tersebut.
b) Tindakan ritual kompulsif tersebut menyita waktu sampai
beberapa jam dalam sehari dan kadang – kadang berkaitan
dengan ketidakmampuan mengambil keputusan dan
kelambanan.7
K. F42.2 campuran pikiran dan tindakan obsesif
Kriteria diagnostik
a) Kebanyakan dari penderita – penderita obsesif – kompulsif
memperlihatkan pikiran serta tindakan kompulsif.
44

Diagnosis ini digunakan bilamana kedua hal tersebut sama


– sama menonjol, yang umumnya memang demikian.
b) Apabila salah satu memang jelas lebih dominan, sebaiknya
dinyatakan dalam diagnosis F42.0 atau F42.1. Hal ini
berkaitan dengan respon yang berbeda terhadap
pengobatan. Tindakan kompulsif lebih responsif terhadap
terapi perilaku.7
L. F43.0 Reaksi Stres Akut
Pedoman diagnostic
a) Harus ada kaitan waktu kejadian yang jelas antara
terjadinya pengalaman stressor luar biasa (fisik atau
mental) dengan onset dari gejala, biasanya setelah beberapa
menit atau segera setelah kejadian.
b) Selain itu ditemukan gejala :
i. Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya
berubah-ubah; selain gejala permulaan berupa
keadaan “terpaku” (daze) semua hal berikut dapat
terlihat; depresi, anxietas, kemarahan, kecewa,
overaktif dan penarikan diri.
Akan tetapi tidak satupun dari gejala tersebut yang
mendominasi gambaran klinisnya untuk waktu yang
lama
ii. Pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dari lingkup
stressornya, gejala-gejala dapat menghilang dengan
cepat (dalam beberapa jam); dalam hal ini dimana
stres menjadi berkelanjutan atau tidak dapat
dialihkan, gejala-gejala biasanya baru mereda
setelah 24-48 jam dan biasanya hampir menghilang
setelah 3 hari.
45

c) Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan


kambuhan mendadak dari gejala-gejala pada individu yang
sudah menunjukkan gangguan psikiatrik lainnya.
d) Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan diri
memegang peranan dalam terjadinya atau beratnya suatu
reaksi stres akut.7
M. F43.0 Gangguan stres pasca-Trauma
Pedoman diagnostic
a) Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul
dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik
berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu
sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila
tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan
melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya
adalah khas dan tidak didapati alternatif kategori gangguan
lainnya
b) Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan
bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik
tersebut secara berulang-ulang kembali (flashback)
c) Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainann
tingakah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi
tidak khas.
d) Suatu “sequale”menahun yang terjadi melambat setelah
stres yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun
setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0
(perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah
mengalami katastrofa).7
N. F43.2 Gangguan Penyesuaian
46

Pedoman diagnostic
a) Diagnosis tergantung pada evaluasi terhadap hubungan antara :
i. Bentuk, isi dan beratnya gejala;
ii. Riwayat, sebelumnya dan corak kepribadian; dan
iii. Kejadian, situasi yang “stresful” atau krisis kehidupan.
b) Adanya faktor ketiga diatas (c) harus jelas dan bukti yang kuat
bahwa gangguan tersebut tidak akan terjadi seandainya tidak
mengalami hal tersebut.
c) Manifestasi dari gangguan bervariasi, dan mencakup afek
depresi, anxietas-depresif, gangguan tingkah laku, disertai
adanya disabilitas dalam kegiatan rutin sehari-hari. Tidak ada
satupun dari gejala tersebut yang spesifik untuk mendukung
diagnosis.
d) Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya
kejadian yang “stressful” dan gejala-gejala biasanya tidak
bertahan melebihi 6 bulan, kecuali dalam hal reaksi depresif
berkepanjangan (F43.21)7

Karakter kelima : F43.20 = Reaksi depresi singkat

F43.21 = Reaksi depresi berkepanjangan

F43.22 = Reaksi campuran anxietas dan depresi

F43.23 = Dengan predominan ganguan emosi lain

F43.24 = Dengan predominan ganguan perilaku

F43.25 = Dengan gangguan campuran emosi dan perilaku

F43.28 = Dengan gejala predominan lainnya YDT


47

O. F43.8 Reaksi Stres Berat Lainnya


P. F43.9 Reaksi Stres Berat YTT
Q. F44.0 Amnesia Disosiatif
Pedoman diagnostic
a) Ciri utama adalah hilangnya daya ingat, biasanya mengenai
kejadian penting yang baru terjadi (selective), yang bukan
disebabkan oleh gangguan mental organik dan terlalu luas
untuk dapat dijelaskan atas dasar kelupaan yang umum terjadi
atau atas dasar kelelahan.
b) Diagnosis pasti memerlukan :
i. Amnesia, baik total atau parsial, mengenai kejadian
yang “stressful” atau traumatik yang baru terjadi (hal
ini mungkin hanya dapat dinyatakan bila ada saksi yang
memberi informasi);
ii. Tidak ada gangguan mental organik, intoksikasi atau
kelelahan berlebihan (sindrom anemsik organik, F04,
F1x.6)
c) Yang paling sulit dibedakan adalah “amnesia buatan” yang
disebabkan leh simulasi secara sadar (malingering) untuk itu
penilaian secara rinci dan berulang mengenai kepribadian
premorbid dan motivasi diperlukan. Amnesia buatan (consious
stimulation of amnesia) biasanya berkaitan dengan problema
yang jelas mengenai keuangan, bahaya kematian dalam
peperangan, atau kemungkinan hukum penjara atau hukuman
mati.7
R. F44.1 Fugue Disosiatif
Pedoman diagnostic
a) Untuk diagnosis pasti harus ada :
i. Ciri amnesia disosiatif (F44.0);
48

ii. Melakukan perjalanan tertentu melampaui hal yang


umum dilakukannya sehari-hari; dan
iii. Kemampuan mengurus diri yang dasar tetap ada
(mandi, makan, dsb) dan melakukan interaksi sosial
sederhana dengan orang-orang yang belum
dikenalnya(misalnya membeli karcis atau bensin,
menanyakan arah, memesan makanan)
b) Harus dibedakan “postictal fugue” yang terjadi setelah
serangan epilepsi lobus temporalis, biasanya dapat dibedakan
dengan cukup jelas atas dasar riwayat penyakitnya, tidak
adanya problem atau kejadan yang “stressful” dan kurang
jelasnya tujuan (fragmented) berkepergian serta kegiatan dari
penderita epilepsi tersebut.7

S. F44.2 Stupor disosiatif


Pedoman diagnostic
a) Untuk diagnosis pasti harus ada :
i. Stupor, sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan
gerakan volunter dan respon normal terhadap
rangsanagan luar seperti misalnya cahaya, suara, dan
perabaan (sedangkan kesadaran tidak hilang)
ii. Tidak ditemukan adanya gangguan fisik ataupun
gangguan jiwa lainnya yang dapat menjelaskan keadaan
stupor tersebut
iii. Adanya problem atau kejadian-kejadian baru yang
“stressful” (psychogenic causation)
b) Harus dibedakan dari stupor katatonik (pada skizofrenia dan
stupor depresif atau manik (pada gangguan afektif berkembang
sangat lambat, sudah jarang ditemukan).7
49

T. F44.3 Gangguan trans dan Kesurupan


Pedoman diagnostic
a) Gangguan ini menunjukan adanya kehilangan sementara aspek
penghayatan akan identitas diri dan kesadaran terhadap
lingkungannya; dalam beberapa kejadian, individu tersebut
berperilaku seakan-akan dikuasi oleh kepribadian lain,
kekuatan gaib, malaikat atau “kekuatan lain”
b) Hanya gangguan khas “involunter” (diluar kemauan individu)
dan bukan merupakan aktivitas yang biasa, dan bukan
merupakan kegiatan keagamaan atapun budaya yang boleh
dimasukan dalam pengertian ini.
c) Tidak ada penyebab organik (misalnya epilepsi lobus
temporalis, cedera kepala, intoksikasi zat psikoaktif) dan bukan
bagian dari gangguan jiwa tertentu (misalnya skizofrenia,
gangguan kepribadian multipel).7
U. F44.4 Gangguan Motorik Disosiatif
a) Bentuk yang paling umum dari gangguan ini adalah
ketidakmampuan untuk menggerakan seluruh atau sebagian
dari anggota gerak (tangan atau kaki)
b) Gejala tersebut seringkali menggambarkan konsep dari
penderita mengenai gangguan fisik yang berbeda mengenai
prinsip fisiologik maupun anatomik.7
V. F44.5 Konvulsi Disosiatif
Konvulsif disosiatif (psudo seizure) dapat sangat mirip dengan kejang
epileptik dalam hal gerakan-gerakannya, akan tetapi sangat jarang
disertai lidah tergigit, luka serius karena jatuh saat serangan dan
menggompol. Juga tidak dijumpai kehilangan kesadaran atau hal
tersebut diganti dengan keadaan seperti stupor atau trans.7
W. F44.6 Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif
50

a) Gejala anestesi pada kulit seringkalimempunyai batas-batas


yang tegas (menggambarkan pemikiran pasien mengenai
fungsi tubuhnya dan bukan menggambarkan kondisi klinis
sebenarnya).
b) Dapat pula terjadi perbedaan antara hilangnya perasaan pada
berbagai jenis modalitas penginderaan yang tidak mungkin
disebabkan oleh kerusakan neurologis, misalnya hilangnya
perasaan dapat disertai dengan keluhan parastesia.
c) Kehilangan penglihatan jarang bersifat total, lebih banyak
berupa gangguan ketajaman penglihatan, kekaburan atau
“tunnel vison” (area lapangan pandangan sama, tidak
tergantung pada perubahan jarak mata dari titik fokus).
Meskipun ada gangguan penglihatan, morbilitas penderita dan
kemmapuan motoriknya seringkali masih baik.
d) Tuli disosiatif dan anosmia jauh lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan hilang rasa dan penglihatan.7
X. F44.7 Gangguan Disosiatif (Konversi) Campuran
Campuran dari gangguan-gangguan tersebut diatas (F44.0-F44.6).7
Y. F44.8 gangguan Disosiatif (Konversi) Lainnya
F44.80 = Sindrom ganser (ciri khas : “approximate answers” disertai
beberapa gejala disosiatif lain)
F44.81 = Gangguan kepribadian multiple
F44.82 = Gangguan disosiatif (konversi) sementara masa kanak dan
remaja
F44.88 = Gangguan disosiatif (konversi) lainnya YDT, (termasuk :
psycogenic confusion, twilight state).7
Z. F44.9 Gangguan Disosiatif (Konversi) YTT

3. Tatalaksana
51

A. Penatalaksanaan Fobia
Secara umum terapi Fobia meliputi:
a) Terapi Psikologik.
i. Terapi perilaku: merupakan terapi yang paling efektif
dan sering diteliti. Seperti desensitisasi sistematik yang
sering dilakukan; terapi pemaparan (exposure),
imaginal exposure, participent modelling, guided
mastery, imaginal flooding.
ii. Psikoterapi berorientasi tilikan.
iii. Terapi lain: hypnotherapy, psikoterapi suportif, terapi
keluarga bila diperlukan.

b) Farmakoterapi
Terapi agorafobia sama seperti gangguan panik, terdiri
dari obat anti anxietas, antidepresan, dan psikoterapi khususnya
terapi kognitif perilaku.
Terapi terhadap fobia spesifik yang terutama adalah
terapi perilaku yaitu terapi pemaparan (Exposure therapy).
Juga diajarkan menghadapi kecemasan dengan teknik relaksasi,
mengontrol pernapasan, dan pendekatan kognitif. Penggunaan
anti anxietas yaitu untuk terapi jangka pendek.
Terapi terhadap fobia sosial terbatas, dapat
menggunakan obat β-bloker ,anti anxietas, anti depresan serta
terapi kognitif perilaku secara individual dan kelompok.
Beberapa penelitian yang terkontrol dengan baik telah
menemukan bahwa inhibitor monoamine oksidase, khususnya
phenelzine (Nardil), adalah efektif dalam mengobati fobia
sosial tipe umum. Obat lain yang telah dilaporkan efektif,
walaupun tidak banyak uji coba terkontrol baik adalah
52

alprazolam, clonazepam, dan kemungkinan inhibitor ambilan


kembali serotonin. Dosis untuk obat tersebut adalah sama
dengan yang digunakan pada gangguan depresif, dan respon
biasanya memerlukan waktu empat sampai enam minggu.8

B. Penatalaksanaan gangguan anxietas lainnya


Terdiri dari pemberian farmakaterapi dan psikoterapi.
a) Farmakoterapi:
Terapi farmakologik terdiri atas:
i. Obat trisiklik dan tetrasiklik
Clomipramine dan imipramine adalah efektif dalam
pengobatan gangguan panik. Tetapi pengalaman klinis
menyatakan bahwa clomipramine dan imipramine
harus dimulai pada dosis rendah, 10 mg sehari dan
dititrasi perlahan-lahan pada awalnya dengan 10 mg
sehari tiap dua sampai tiga hari, selanjutnya lebih cepat,
denga 25 mg sehari tiap dua sampai tiga hari, jika dosis
rendah ditoleransi dengan baik.8
ii. Inhibitor monoamine oksidase
Sebagian besar penelitian telah menggunakan
phenelzine (Nardil) walaupun beberapa penelitian telah
menggunakan tranylcypromine (Parnate). Beberapa
penelitian telah menyatakan bahwa MAOIs adalah
lebih efektif dibandingkan obat trisiklik. Dosis MAOIs
harus mencapai dosis yang digunakan untuk
pengobatan depresi, dan uji coba terapetik harus
berlangsung 8 sampai 12 minggu.8
iii. Inhibitor ambilan kembali spesifik serotonin (SSRIs)
53

Titrasi lambat untuk fluoxetine adalah dimungkinkan


dengan melarutkan satu kapsul di dalam air atau jus
buah atau dengan larutan fluoxetine yang tersedia.
Dosis awal dapat serendah 2 atau 4 mg sehari dan harus
dinaikkan 2 mg sampai 4 mg interval sehari tiap dua
sampai empat hari. Tujuannya adalah mencapai dosis
terapeutik penuh pada sekurangnya 20 mg sehari.8
iv. Benzodiazepine
Pemakaian benzodiazepine dalam pengobatan
gangguan panik adalah terbatas karena permasalahan
tentang ketergantungan, gangguan kognitif, dan
penyalahgunaan. Pada beberapa pasien klinisi dapat
memulai pengobatan dengan suatu benzodiazepine,
mentitrasi obat lain (sebagai contoh, clomipramine),
dan selanjutnya menghentikan perlahan-lahan selama 4
sampai 10 minggu benzodiazepine setelah 8 sampai 12
minggu.8
b) Psikoterapi2:
i. Terapi relaksasi
Prinsipnya adalah melatih pernapasan (menarik nafas
dalam dan lambat, lalu mengeluarkannya dengan
lambat pula), mengendurkan seluruh otot tubuh dan
mensugesti pikiran ke arah konstruksi atau yang
diinginkan akan dicapai. Biasanya dilakukan 20-30
menit atau lebih lama lagi.8
ii. Terapi kognitif perilaku
Pasien diajak untuk bersama-sama membentuk pola
perilaku dan pikiran yang irasional dan menggantinya
dengan yang lebih rasional. Biasanya berlangsung 30-
54

45 menit. Pasien kemudian diberi pekerjaan rumah


yang harus dibuat setiap hari, antara lain membuat
daftar pengalaman harian dalam menyikapi berbagai
peristiwa yang dialami.8
iii. Pemaparan in vivo
Teknik melibatkan pemaparan yang semakin besar
terhadap stimulus yang ditakuti; dengan berjalannya
waktu, pasien mengalami desensitisasi terhadap
pengalaman.8
iv. Psikoterapi dinamik
v. Pasien diajak untuk lebih memahami diri dan
kepribadiannya. Pada psikoterapi ini, biasanya pasien
lebih banyak berbicara sedangkan dokter lebih banyak
mendengar. Terapi ini memerlukan waktu panjang,
dapat berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Hal ini
tentu memerlukan kerjasama yang baik antara pasien
dengan dokternya serta kesabaran pada kedua belah
pihak.8

C. Penatalaksanaan Gangguan Cemas Menyeluruh


a) Farmakoterapi
i. Benzodiazepin
Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian
benzodiazepin dimulai dengan dosis terendah dan
ditingkatkan sampai mencapai respon terapi,
Penggunaan sediaan dengan waktu paruh menengah
dan dosis terbagi dapat mencegah terjadinya efek yang
tidak diinginkan. Lama pengobatan rata-rata adalah 2-6
minggu.8
55

ii. Buspiron
Buspiron lebih efektif dalam memperbaiki gejala
kognitif dibanding dengan gejala somatik. Tidak
menyebabkan withdrawal. Kekurangannya adalah efek
klinisnya baru terasa setelah 2-3 minggu. Terdapat
bukti bahwa penderita yang sudah menggunakan
benzodiazepin tidak akan memberikan respon yang
baik dengan buspiron.8
iii. SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
Sertraline dan paroxetine merupakan pilihan yang lebih
baik daripada fluoksetin. Pemberian fluoksetin dapat
meningkatkan anxietas sesaat. SSRI efektif terutama
pada pasien gangguan anxietas menyeluruh dengan
riwayat depresi.8
b) Psikoterapi
i. Terapi Kognitif PerilakuPendekatan kognitif mengajak
pasien secara langsung mengenali distorsi kognitif dan
pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik, secara
langsung. Teknik utama yang digunakan adalah pada
pendekatan behavioral adalah relaksasi dan
biofeedback.8
ii. Terapi Suportif
Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan, digali
potensi-potensi yang ada dan belum tampak, didukung
egonya, agar lebih bisa beradaptasi optimal dalam
fungsi sosial dan pekerjaannya.8
iii. Psikoterapi Berorientasi Tilikan
Terapi ini mengajak pasien untuk mencapai
penyingkapan konflik bawah sadar, menilik
56

egostrength, relasi obyek, serta keutuhan diri pasien.


Dari pemahaman akan komponen-komponen tersebut,
kita sebagai terapis dapat memperkirakan sejauh mana
pasien dapat diubah menjadi lebih matur; bila tidak
tercapai, minimal kita memfasilitasi agar pasien dapat
beradaptasi dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.8
D. Penatalaksaan Gangguan Obsesif Kompulsif
Obat-obatan yang umum digunakan pada gangguan obsesif-
kompulsif berupa SSRI sebagai terapi lini pertama contohnya
fluoxetine, fluvoxamine, paroxetine, sertraline, dan citalopram;
antidepresan trisiklik seperti clomipramine yang terbukti paling
efektif dibandingkan dengan obat-obatan trisiklik lainnya. Obat-obatan
tersebut memiliki efek samping, SSRI memiliki efek samping berupa
rasa mual, gangguan tidur, nyeri kepala, dan rasa gelisah yang sifatnya
transient sehingga tidak terlalu mengganggu. Untuk pengobatan
dengan clomipramine perlu diperhatikan pemberian dosis awal, karena
memiliki efek samping gangguan sistem gastrointestinal, hipotensi
ortostatik, dan efek antikolinergi serta sedasi berat. Bila terapi dengan
SSRI dan clomipramine tidak efektif, dapat diberikan beberapa obat
lain seperti valproat, litihium, atau carbamazepine. Venlafaxine,
pindolol, dan obat-obatan MAOI (phenelzine) juga dapat digunakan
sebagai tambahan.8
Terapi perilaku pada seseorang dengan gangguan obsesif-
kompulsif dapat berupa exposure and response prevention dimana
pasien dipanjankan dengan stimulusnya namun diingatkan dan diawasi
untuk menahan perasaan kompulsifnya. Desensitisasi, thought
stopping, dan thought flooding, merupakan terapi yang dapat
digunakan pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif. Untuk
keberhasilan dari terapi perilaku, sebaiknya terapi ini digabungkan
57

dengan obat-obatan, psikoterapi, dan yang terutama memerlukan


tingkat komitmen pasien yang tinggi. Dalam proses terapi, diperlukan
dukungan dari keluarga yang cukup sehingga pasien dapat
mempertahankan tingkat komitmennya terhadap terapi yang
dijalaninya. Dalam kondisi tertentu, terapi kelompok juga dapat
membantu seorang pasien dalam terapinya.8
Pada kasus-kasus yang ekstrim, dapat dipertimbangkan terapi
elektro-konvulsi dan bedah psikis. Yang umumnya digunakan terkait
dengan kasus gangguan obsesif-kompulsif adalah cingulotomy yang
sukses pada 25-30 % pasien. Selain itu juga terdapat capsulotomy.
Teknik bedah nonablasi dimana menanamkan elektrode-elektrode
pada nukleus-nukleus ganglia basal. Terapi-terapi ini dilakukan
dengan bantuan MRI. Komplikasi dari terapi bedah tersebut umumnya
adalah kejang, yang dapat diterapi dengan fenitoin.8
E. Tatalaksana Gangguan Somatoform
Secara umum obat antidepresan bermanfaat dalam sebagian
besar kasus meskipun tidak ada depresi yang menyertai. Tetapi
penggunaannya harus disertai penjelasan yang memadai agar tidak
dianggap mengada-ada. Terapi perilaku kognitif (CBT, Cognitive
Behavior Therapy) akan bermanfaat jika diadaptasi untuk keluhan
somatis utama. Pasien mungkin perlu dibantu untuk mengenali dan
mengatasi stressor sosial yang dialami, juga perlu didorong untuk
kembali ke fungsi normal dan mengurangi perilaku sakit (illnesss
behavior) secara bertahap.8
a) Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi paling baik diterapi ketika pasien memiliki satu
dokter yang diketahui sebagai dokter utamanya.Ketika lebih dari satu
klinisi terlibat, pasien tersebut memiliki kesempatan untuk
mengekspresikan keluhan somatiknya.
58

Psikoterapi menurunkan pengeluaran untuk perawatan


kesehatan pribadi hingga 50 persen.Pada lingkungan psikoterapi,
pasien dibantu beradaptasi dengan gejalanya, mengekspresikan emosi
yang mendasari dab membangun strategi alternatif untuk
mengekspresikan perasaannya.
Memberikan obat psikotropik ketika gangguan somatisasi
timbul bersamaan dengan gangguan mood atau gangguan ansietas
selalu memiliki resiko, tetapi juga diindikasikan terapi
psikofarmakologis dan psikotreaupetik pada keluhan yang muncul
bersamaan.Obat harus diawasi karena pasien dengan gangguan
somatisasi cenderung menggunakan obatnya tidak teratur.8

b) Hipokondriasis
1) Psikoterapi
a.Psikoterapi psikoanalitik umumnya tidak
bermanfaat
b. Terapi Suportif bermanfaat bila
didukung hal-hal berikut :
i. Ada informasi akurat mengenai gejala
ii. Edukasi mengenai mispersepsi dan
misinterpretasi gejala dan sensasi
somatic
iii. Kunjungan dan pemeriksaan fisik secara
berkala
iv. Reassurance
v. Penggunaan anxiolytic singkat selama
periode stress tinggi
c.Terapi Kognitif-Perilaku (CBT) merupakan
bentuk psikoterapi pilihan
59

2) Farmakoterapi
Obat golongan SSRI bermanfaat pada pasien dengan
hipokondriasis terisolasi (tanpa ko-morbid psikiatris
seperti gangguan cemas atau panik). Fluoxetine atau
paroxetine dengan dosis max 60 mg/h dan dapat juga
sertraline dosis minimal 150 mg/h.8
F. Terapi Gangguan penyesuaian
a) Psikoterapi
Psikoterapi tetap merupakan terapi pilihan untuk
gangguan penyesuaian. Terapi kelompok terutama dapat
berguna untuk pasien yang mengalami stres yang sama.
Psikoterapi individual dapat menawarkan kesempatan untuk
menggali arti stresor bagi pasien sehingga trauma yang lebih
dini dapat diatasi. Setelah terapi yang berhasil, pasien
seringkali muncul dari gangguan penyesuaian secara lebih kuat
dari periode pramorbid, walaupun tidak ada patologi yang
ditemukan pada periode tersebut.8
b) Farmakoterapi
Pemakaian medikasi yang bijaksana dapat membantu
pasien dengan gangguan penyesuaian, tetapi harus diberikan
untuk periode yang singkat. Pasien mungkin berespons
terhadap obat antiansietas atau terhadap suatu antidepresan,
tergantung pada jenis gangguan penyesuaian.8
Pasien dengan kecemasan berat yang hampir menjadi
panic atau dekompensasi mungkin mendapatkan manfaat dari
dosis kecil medikasi antipsikotik. Pasien dalam keadaan
menarik diri atau terinhibisi mungkin mendapatkan manfaat
dari medikasi psikostimulan singkat. Beberapa kasus gangguan
penyesuaian jika ada, dapat diobati secara adekuat oleh
60

medikasi saja. Pada sebagian besar kasus, psikoterapi harus


ditambahkan pada regimen pengobatan.8
G. Farmakokinetik
1) Obat Antidepresan
Antidepresan adalah thimoleptika atau psikik energizer.
Umumnya yang digunakan sekarang adalah dalam golongan
trisiklik (misalnya imipramin, amitriptilin, dothiepin dan
lofepramin).8

Tabel 3.1, obat antidepresan

No.
Golongan Obat Sediaan Dosis Anjuran

75-150
Amitriptilin Tablet 25 mg
Trisiklik mg/hari
1.
(TCA) 75-150
Imipramin Tablet 25 mg
mg/hari
50-150
Sentralin Tablet 50 mg mg/hari

50-100
Fluvoxamin Tablet 50 mg mg/hari
2. SSRI

Kapsul 20 mg, 20-40 mg/hari


Fluoxetin
Kaplet 20 mg
20-40 mg/hari
Paroxetin Tablet 20 mg

300-600 mg/
3. MAOI Moclobemide Tab 150 mg
hari
4. Atypical Mianserin Tablet 10, 30 mg 30-60 mg/hari
Trazodon Tab 50 mg, 100 75-150
61

mg/hari dosis
mg terbagi

75-150
Tab 10, 25, 50, 75
Maprotilin mg/hari dosis
mg
terbagi

a) Mekanisme Kerja
Trisiklik (TCA) memblokade reuptake dari
noradrenalin dan serotonin yang menuju neuron
presinaps. SSRI hanya memblokade reuptake dari
serotonin. MAOI menghambat pengrusakan serotonin
pada sinaps. Mianserin dan mirtazapin memblokade
reseptor alfa 2 presinaps. Setiap mekanisme kerja dari
antidepresan melibatkan modulasi pre atau post sinaps
atau disebut respon elektrofisiologis.8
b) Cara Penggunaan
Umumnya bersifat oral, sebagian besar bisa
diberikan sekali sehari dan mengalami proses first-pass
metabolism di hepar. Respon anti-depresan jarang
timbul dalam waktu kurang dari 2-6 minggu
Untuk sindroma depresi ringan dan sedang,
pemilihan obat sebaiknya mengikuti urutan:
i. Langkah 1 : golongan SSRI (Selective
Serotonin Reuptake Inhibitor)
ii. Langkah 2 : golongan tetrasiklik (TCA)
iii. Langkah 3 :golongan tetrasiklik, atypical,
MAOI (Mono Amin Oxydase Inhibitor)
reversibel.8
62

c) Indikasi
Obat antidepresan ditujukan kepada penderita
depresi dan kadang berguna juga pada penderita
ansietas fobia, obsesif-3,18

d) Efek Samping
i. Trisklik dan MAOI : antikolinergik (mulut
kering, retensi urin, penglihatan kabur,
konstipasi, sinus takikardi) dan antiadrenergik
(perubahan EKG, hipotensi)
ii. SSRI : nausea, sakit kepala
iii. MAOI : interaksi tiramin
Jika pemberian telah mencapai dosis toksik
timbul atropine toxic syndrome dengan gejala eksitasi
SSP, hiperpireksia, hipertensi, konvulsi, delirium,
confusion dan disorientasi. Tindakan yang dapat
dilakukan untuk mengatasinya:
i. Gastric lavage
ii. Diazepam 10 mg IM untuk mengatasi
konvulsi
iii. Postigmin 0,5-1 mg IM untuk mengatasi efek
antikolinergik, dapat diulangi setiap 30-40
menit hingga gejala mereda.
iv. Monitoring EKG.8
e) Kontraindikasi
i. Penyakit jantung coroner
63

ii. Glaucoma, retensi urin, hipertensi prostat,


gangguan fungsi hati, epilepsy.8
2) Anti-Ansietas
Obat anti-ansietas mempunyai beberapa sinonim, antara
lain psikoleptik, transquilizer minor dan anksioliktik. Dalam
membicarakan obat antiansietas yang menjadi obat racun
adalah diazepam atau klordiazepoksid.8

Tabel 3.2, Obat anti-ansietas

No Nama generik Golongan sediaan Dosis anjuran


Peroral
1030mg/hr,2-3
x/hari.
Tab 2- 5
1. Diazepam Benzodiazepin Paenteral IV/IM
mg
2-10mg/kali,
setiap 3-4 jam

Tab 5 mg
15-30 mg/hari
2. Klordiazepoksoid Benzodiazepin Kap 5 mg
2-3 x/sehari

Tab 0,5-2
3. Lorazepam Benzodiazepin 2-3 x 1 mg/hr
mg
4. Clobazam Benzodiazepin Tab 10 mg 2-3 x 10 mg/hr
Tab 1,5-3-6
5. Brumazepin Benzodiazepin 3 x 1,5 mg/hr
mg
6. Oksazolom Benzodiazepin Tab 10 mg 2-3 x 10 mg/hr
Cap 5-
7. Klorazepat Benzodiazepin 2-3 x 5 mg / hr
10mg
Tab 0,25- 3 x 0,25-0,5
8. Alprazolam Benzodiazepin
0,51 mg mg/hr
9. Prazepam Benzodiazepin Tab 5 mg 2-3 x 5 mg/hr
64

10. Sulpirid NonBenzodiazepin Cap 50 mg 100-200 mg/hari


11. Buspiron NonBenzodiazepin Tab 10 mg 15-30 mg/hari

a) Mekanisme kerja
Sindrom ansietas disebabkan hiperaktivitasndari
system limbic yang terdiri dari dopaminergic,
nonadrenergic, seretonnergic yang dikendalikan oleh
GABA ergic yang merupakan suatu inhibitory
neurotransmitter. Obat antiansietas benzodiazepine
yang bereaksi dengan reseptornya yang akan meng-
inforce the inhibitory action of GABA neuron, sehingga
hiperaktivitas tersebut mereda.8
b) Cara Penggunaan
i. Klobazam untuk pasien dewasa dan pada usia
lanjut yang ingin tetap aktif
ii. Lorazepam untuk pasien-pasien dengan
kelainan fungsi hati atau ginjal
iii. Alprazolam efektif untuk ansietas antosipatorik,
mula kerja lebih cepat dan mempunyai
komponen efek antidepresan.
iv. Sulpirid 50 efektif meredakan gejala somatic
dari sindroma ansietas dan paling kecil resiko
ketergantungan obat.
Mulai dengan dosis awal (dosis anjuran)
kemudian dinaikkan dosis setiap 3-5 hari sampai
mencapai dosis optimal. Dosis ini dipertahankan 2-3
minggu. Kemudian diturunkan 1/8 x dosis awal setiap
65

2-4 minggu sehingga tercapai dosis pemeliharan. Bila


kambuh dinaikkan lagi dan tetap efektif pertahankan 4-
8 mingu. Terakhir lakukan tapering off. Pemberian obat
tidak lebih dari 1-3 bulan pada sindroma ansietas yang
disebabkan factor eksternal.8
c) Efek samping
i. Sedasi ( rasa mengantuk, kewaspadaan
berkurang, kinerka psikomotor menurun,
kemampuan kognitif melemah)
ii. Relaksasi otot ( rasa lemas, cepat lelah dan lain-
lain)
iii. Potensi menimbulkan ketergntungan lebih
rendah dari narkotika
iv. Potensi ketergantungan obat disebabkan oleh
efek obat yang masih dapat dipertahankan
setelah dosis trerakhir berlangsung sangat
singkat.
v. Penghentian obat secara mendadak, akan
menimbulkan gejala putus obat, pasien menjadi
iritabel, bingung, gelisah, insomania, tremor,
palpitasi, keringhat dingin, konvulsi.8
d) Kontra Indikasi
Pasien dengan hipersensitif terhadap
benzodiazepin, glaukoma, miastenia gravis, insufisiensi
paru kronik, penyakit ginjal dan penyakit hati kronik
Pada pasien usia lanjut dan anak dapat terjadi reaksi
yang berlawanan (paradoxal reaction) berupa
kegelisahan, iritabilitas, disinhibisi, spasitas oto
meningkat dan gangguan tidur. Ketergantungan relatif
66

sering terjadi pada individu dengan riwayat peminum


alkohol, penyalagunaan obat atau unstable
personalities. Untuk mengurangi resiko ketergantungan
obat, maksimum lama pemberian 3 bulan dalam
rentang dosis terapeutik.8
C. Obat Anti Obsesif-Kompulsif
Dalam membicarakan obat anti obsesi kompulsi yang
menjadi acuan adalah klomipramin. Obat anti obsesi kompulsi
dapat digolongkan menjadi :
i. Obat anti obsesi kompulsi trisiklik, contoh
klomipramin
ii. Obat anti obsesi kompulsi SSRJ, contoh sentralin,
paroksin, flovokamin, fluoksetin8
Tabel 3.3, Obat anti Obsesif-Kompulsif.8

No Nama Generik Sediaan Dosis anjuran


1. Clompramine Tab 25 mg 75-200 mg/hr
2. Fluvoxamine Tab 50 mg 100-200 mg/hr

3. Sertraline Tab 50 mg 50-150 mg/hr


4. Fluxetine Cap 20 mg, caplet 20 20-80 mg/hr
mg
5. Paroxetine Tab 20 mg 40-60 mg/ hr

a) Mekanisme kerja
Menghambat re-uptake neurotransmitter serotonin
sehingga gejala mereda.8
b) Cara penggunaan
Sampai sekarang obat pilihan untuk gangguan
obsesi kompulsi adalah klomipramin. Terhadap meraka
yang peka dapat dialihkan ke golongan SSRI dimana
67

efek samping relatif aman. Obat dimulai dengan dosis


rendah klomopramin mulai dengan 25-50 mg /hari
(dosis tunggal malam hari), dinaikkan secara bertahap
dengan penambahan 25 mg/hari sampai tercaapi dosis
efektif (biasanya 200-300 mg/hari).
Dosis pemeliharan umumnya agak tinggi,
meskipun bersifat individual, klomipramin sekitar 100-
200 mg/hari dan sertralin 100 mg/hari. Sebelum
dihentikan lakukan pengurangan dosis secara tappering
off. Meskipun respon dapat terlihat dalam 1-2 minggu,
untuk mendapatkan hasil yang memadai setidaknya
diperlukan waktu 2- 3 bulan dengan dosis antara 75-
225 mg/hari.8
c) Obat Anti panik
Dalam membicarakan antipanik yang menjadi
obat acuan adalah imipramin :
Tabel 3.4, Obat anti panik8

No Nama Generik Sediaan Dosis anjuran


1. Imipramin Tab 25 mg 75-150 mg/hr

2. Clomipramin Tab 25 mg 75-150 mg/hr


3. Alprazol Tab 0,25 mg,0,5 mg, 2-4 mg/hr
1 mg
4. Moclobemid Tab 150 mg 300-600 mg/hr
5. Sertralin Tab 50 mg 50-100 mg/hr
6. Fluoxetin Cap dan caplet 20 20-40 mg/hr
mg
7. Parocetin Tab 20 mg 20-40 mg/hr
8. Fluvoxamine Tab 50 mg 50-100 mg/hr
68

d) Mekanisme kerja
Sindrom panik berkaitan dengan
hipersensitivitas dari serotonic reseptor di SSP.
Mekanisme kerja obat antipanik adalah menghambat
reuptake serotonin pada celah sinaptik antar neuron.8
e) Cara Penggunaan Obat
i. Golongan SSRI mempunyai efek samping yang
lebih ringan
ii. lprozolam merupakan obat yang paling kurang
toksiknya dan onset kerjanya lebih cepat.8
f) Efek samping obat
i. Mengantuk, sedasi, kewaspadaan berkurang
ii. Neurotoksik8
g) Lama Pemberian Obat
i. Lamanya pemberian obat tergantung dari
individual, umunya selama 6-12 bulan,
kemudian dihentikan secara bertahap selama 3
bulan bila kondisi penderita sudah
memungkinkan
ii. Dalam waktu 3 bulan bebas obat 75% penderita
menunjukkan gejala kambuh. Dalam keadaan
ini maka pemberian obat dengan dosis semula
diulangi selama 2 tahun. Setelah itu dihentikan
secara bertahap selama 3 bulan.8
69

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock B, Sadock V. Kaplan dan Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi ke-
2. Jakarta: EGC; 2010.
2. Sadock B, et. al. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry. 11th Edition.
Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015.
3. Geracioti, et. al. Neuropeptide Y and Posttraumatic Stress Disorder. USA:
Molecular Psychiatry; 2012.
4. Davis L. Neuropsychopharmacology: The Fifth Generation of Progress.
USA. American College of Neuropsychopharmacology; 2002.
5. Gaikwad U. Pathophysiology of Obsessive–Compulsive Disorder: Affected
Brain Regions and Challenge Towards Discovery of Novel Drug Treatment.
India. INTECH; 2014
6. Benjamin J sadock. Buku ajar psikiatri. Edisi 2. Jakarta:EGC.2010
7. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Cetakan 2. Jakarta : Ilmu
Kedokteran Jiwa Unika Atmaja Jaya ; 2013
8. Departemen Kesehatan R.I., 1995. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III Cetakan Pertama. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI

Anda mungkin juga menyukai