Anda di halaman 1dari 96

1

Skenario 2

MALNUTRISI

Seorang anak laki-laki 2 tahun dibawa pleh ibunya ke puskesmas dengan


keluhan Berat badan anaknya tidak sesuai dengan tean sebayanya. Ibunya
khawatir karena semakin lama semakin kurus dan selalu dibawah garis merah
pada KMS. Saat ini anak tampak lemas, sangat kurus, mata cekung, perut, muka,
kaki terlihat membesar, rambut tipis mudah rontok. Riwayat ASI hanya 3 bulan
dan dilanjutkan dengan pemberian MPASI. Pemeriksaan fisik didapatkan anak
apatis, konjungtiva palpebral anemis, otot kaki atrofi, edema tibia (+), crazy
pavement dermatosis (+), baggy pants (+), BB 5kg, Pb 60cm, lingkar kepala
40cm. dokter menyarankan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis.

STEP 1

1. MPASI : makanan pendamping ASI (>6bulan).


2. Baggy pants : otot paha mengendur.
3. Crazy pavement dermatosis : bercak merah mudah meluas menjadi coklat
kehitaman.
4. KMS : kartu menuju sehat untuk mengetahui status gizi.

STEP 2

1. Bagaimana patofisiologi hingga timbul manifestasi pada kasus ?


2. Bagaimana hasil interpretasi pada kasus ?
3. Bagaimana cara mengambil KMS ?
4. Bagaimana cara pemberia MPASI yang sesuai?
5. Bagaimana penegakan diagnosis ?
6. Bagaimana pencegahan dan penanggulanganya?

STEP 3

1. Sebagai berikut :
a. Defisiensi fe menyebabkan anemis.
b. Kekurangan karbohidrat dan protein menyebabkan lemas.
2

c. Cadangan lemak dipakai menyebabkan baggy pants.


d. Penurunan protein dan kalori menyebabkan atrofi otot.
e. Tekanan osmotic menurun menyebabkan ekstavasasi cairan dan
menyebabkan edem.
2. Sebagai berikut :
a. Berat badan
1) 2 tahun = 4 kali BB lahir
2) 1-6 tahun = umur x 2 + 3kg.
3) Seharunya BB 12 kg.
b. Tinggi badan
1) 2-2thn = umur x 6 +77.
3. KMS
c. Dibawah garis merah (kurang zat gizi).
d. 2 pita garis merah (ringan).
e. 2 pita diatas kuning (cukup).
4. Sebagai berikut :
a. Lebih dari 6 bulan.
b. Adekuat.
c. Konsistensi pemberia, higienitas.
5. Anamnesis, RPD, RPS, RPK, RPSOS, riwayat imunisasi, riwayat
kelahiran, Pemeriksaan penunjang, kesadaran, stasus gizi, Head to toe.
6. Saat lahir :
a. Status gizi.
b. ASI.
c. Status tumbuh kembang anak.

STEP 4

1. Sebagai berikut :
a. Kwarshiokor : edema seluruh tubuh, wajah membulat, rambut
rontok
3

b. Kekurangan protein : regrasi rambut terhambat. Perubahan siklus


metabolisme, hepatomegaly, infeksi.
c. Marasmus : kulit keriput, baggy pants, iga gambang, penyaki
kronik.
d. Atrofi otot : asupan nutrisi menurun, protein menurun terjadi
penurunan cadangan protein di otot.
e. Malnutrisi
1) Defisiensi fitamin dan mineral menyebabkan gangguan
penglihatan (Na,K menurun), dan menyebabkan penurunan
volume cairan elektolit menyebabkan dehidrasi.
2) Penurunan protein menyebabkan perubahan metabolisme
tubuh, terjad gangguan absorpsi transport zat gizi ,
menyebabkan penurunan cadangan protein di otot terjadi
atrofi otot.
3) Produksi albumin menurun menyebabkan penurunan
tekanan osmotic, terjadi perpindahan caran dan terjadi
edem.
4) Gangguan lipoprotein menyebabkan LDL tertimbun
dihepar menyebabkan hepatomegaly.
5) Pemenuhan energy dan protein menyebakan cadangan
terpakai, terjadi defisiensi asam amino, terjadi atrofi otot,
dan terjadi baggy pants.
2. Sebagai berikut :
a. KMS berdasarkan usia dan letak garis grafik.
b. WHO
c. CDC

3. KMS
a. Dibawah garis merah (kurang zat gizi).
b. 2 pita garis merah (ringan).
c. 2 pita diatas kuning (cukup).
4. Sebagai berikut :
4

a. Lebih dari 6 bulan.


b. Adekuat.
c. Konsistensi pemberia, higienitas.
5. Anamnesis, RPD, RPS, RPK, RPSOS, riwayat imunisasi, riwayat
kelahiran, Pemeriksaan penunjang, kesadaran, stasus gizi, Head to toe.
6. Saat lahir :
a. Status gizi.
b. ASI.
c. Status tumbuh kembang anak.
MIND MAP

Manifestasi
klinis
Etiologi

Malnutrisi

Macam
Faktor resiko kelainan

Penegakan
diagnosis

STEP 5

1. Macam – macam manutrisi (etiologi sampai tatalaksana).


2. Penilaianan status gini.
3. Manajemen yang dilakukan.

STEP 6

Belajar mandiri
5

STEP 7

1. Macam -macam malnutrisi :


A. Defisiensi vitamin A (xeroftalmia) / Kekurangan Vitamin A
(KVA)
a. Definisi
Buta akibat kurang gizi dapat menghinggapi siapa
saja. Kondisi yang melatarbelakanginya, seperti campak,
diare, penyakit yang disertai demam, dan KKP paling
sering menyerang pada anak-anak yang kebetulan bermukin
di daerah yang serba kekurangan. Keratomalasia buta yang
diakibatkan oleh kerusakan kornea yang parah seringkali
dialami anak balita, terutama bagi mereka yang baru
berusia antara 6 – 36 bulan. Semakin muda usia anak saat
terjangkit, semakin parah penyakitnya dan angka kematian
yang diakibatkan juga semakin tinggi.(1)
b. Etiologi
Vitamin A penting dalam menyintesis pigmen sel-
sel retina yang fotosensitif, dan diferensiasi normal struktur
epitel penghasil lender. Kekurangan yang parah
mengakibatkan rabun senja, serosis, dan keratinisasi
konjungtiva dan kornea yang pada akhirnya menimbulkan
ulkus serta nekrosis kornea. Kebutaan yang disebabkan
oleh malnutrisi merupakan akibat dari defisiensi vitamin A
yang berkepanjangan. Vitamin A sendiri sangat pentong
dalam menopang fungsi tubuh termasuk penglihatan,
integritas sel, kompetensi sistem kekebalan, serta
pertumbuhan. (2)
c. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
6

Banyak jaringan epitel mengalami perubahan, akan


tetapi hanya kulit dan mata memperlihatkan gambaran yang
karakteristik. Kelainan kulit pada umumnya tampak pada
paha bagian depan dan lengan atas bagian belakang dan
merupakan keadaan kulit yang kering dengan papula
keratin sekitar folikel rambut dan adanya gumpalan keratin
dalam folikel. Kelainan kulit ini jarang ditemukan pada
anak di bawah usia lima tahun.
Kelainan pada mata diantaranya adalah buta senja.
Buta senja sebagai akibat gangguan regenerasi rhodopsin
merupakan gejala dini dan sering timbul sebelum
terdapatnya gejala-gejala mata lain. Xerosis konjungtiva
merupakan proses yang terdiri dari perubahan konjungtiva
bulbus, yakni kering, tebal, keriput, dan penimbunan
pigmen. Produksi air mata berkurang karena atrofi sel
Goblet, sehingga sebagai akibatnya sekresi air mata
menurun. Bagian konjugtiva Bulbus yang tidak tertutup
oleh palpebral paling banyak mengalami perubahan seperti
yang telah disebutkan. Pada umumnya kedua mata
bersama-sama mengalami perubahan.
Bercak bitot merupakan kelainan pada konjungtiva
bulbus berbentuk segitiga atau bentuk lain seringkali
terdapat pada bagian temporal maupun nasal kornea, akan
tetapi adakalanya tersebar di seluruh konjungtiva bulbus
mata. Adanya bercak bitot dapat diketahui dengan jelas,
berupa bercak berwarna putih berbuih dan terdiri dari
penimbunan sel epitel.
Xerosis kornea merupakan kelainan pada kornea
disebabkan oleh keringnya epitel, sehingga kejernihan
kornea menjadi kurang. (3)
7

Gambar 1 : Patofisiologi Defisiensi Vitamin A. (3)


d. Penegakan Diagnosis
Gejala klinis defisiensi vitamin A akan tampak
bilamana cadangan vitamin A dalam hepar dan organ-organ
tubuh lain sudah menurun betul dan kadar vitamin A serum
menurun di bawah garis bawah yang diperlukan untuk
mensuplai kebutuhan metabolic bagi mata. Vitamin A
diperlukan oleh retina mata untuk pembentukan rhodopsin
dan pemeliharaan defisiensi jaringan epitel. Gejala
defisiensi vitamin A akan timbul bilamana: (2)
i. Diet untuk jangka waktu yang lama tidak
mengandung cukup vitamin A atau provitamin A.
ii. Terdapat gangguan resorpsi vitamin A atau
provitamin A, seperti pada penyakit-penyakit
pancreas, diare kronik, KKP.
iii. Terdapat gangguan pada proses konversi pro
vitamin A menjadi vitamin A seperti pada gangguan
fungsi kelenjar tiroid.
8

iv. Kerusakan hati, seperti pada kwashiorkor, hepatitis


kronik.
v. Kurang terbentuknya RBP (retinol binding protein)
dan pre-albumin pada kwashiorkor.
e. Penatalaksanaan dan Pencegahan
Pengobatan
Secara umum, pengobatan KVA diarahkan pada
upaya memperbaiki status vitamin A. Langkah ini harus
segera diselenggarakan karena KVA bukan hanya
mencederai mata, tetapi juga mengganggu kesehatan dan
mengancam jiwa penderitanya. Oleh karena itu, xeroftalmia
beserta masalah yang terkait di dalamnya, misalnya campak
dan KKP berat, selayaknya diperlakukan sebagai kasus
gawat darurat. Xeroftalmia bukan hanya merusak kornea
dan menyebabkan kebutaan, tetapi juga sepsis dan
kematian. Pengobatan KVA secara efektif diawali dari
mengenali secara cepat dan tepat anak yang berpenyakit
aktif, menyegerakan pemberian vitamin A dosis tinggi,
mengobati penyakit sistemik yang melatarbelakangi dan
KKP secara bersamaan dan mencegah kekambuhan.
Vitamin A dosis tinggi harus diberikan segera
setelah diagnosis ditegakkan. Pilihan pertama ialah preparat
oral karena telah terbukti amat efektif, aman, dan murah.
Rabun senja akan merespon terapi setelah 24 – 48 jam.
Serosis konjungtiva yang aktif dan bintik bitot mulai
mereda dalam 2 – 5 hari, dan akan sembuh dalam 2
minggu. Sementara itu serosis kornea reda dalam 2 – 5 hari
dan kornea kembali normal setelah 1 – 2 minggu. Anak
yang menderita diare menyerap sedikit vitamin A. Namun,
jumlah yang terserap cukup untuk mengobati kekuangan,
asalkan anak memang mengonsumsi dosis yang dianjurkan.
9

Penderita kekurangan vitamin A dan malnutrisi sekaligus


harus diawali lebih cermat karena status vitamin A mereka
tidak mantap dan sewaktu-waktu cepat sekali memburuk
meskipun telah diberi suplementasi sebanyak yang
disarankan. Pada kelompok ini, dosis suplementasi perlu
ditambah. Oleh karenanya, 1 – 4 minggu kemudian
diberikan satu dosis tambahan, dengan harapan cadangan
vitamin A dalam hati lebih banyak. Pada anak yang
menderita KKP berat perlu ditambahkan satu dosis setiap 4
minggu sampai status protein membaik.
Kerusakan kornea akibat xeroftalmia merupakan
kasus kegawatdaruratan medic. Pada keadaan ini, vitamin
A harus segera diberikan, berdasarkan tiga macam dosis.
Untuk mengobati atau mengurangi resiko infeksi mata
sekunder (akibat bakteri atau virus) yang dapat
memperburuk kerusakan kornea, sebaiknya diberikan
antibiotic salep mata yang mengandung tetrasiklin atau
kloramfenikol (jangan menggunakan salep yang
mengandung steroid). Untuk mencegah trauma (kornea
rusak akibat serosis dan ulserasi), mata sebaiknya ditutup
dengan bahan yang tidak bersifat iritatif dan pergerakan
lengan anak dibatasi, misalnya dengan mengikat tangan
anak ke tempat tidur.
Wanita usia subur, baik hamil atau tidak jika
menderita rabun senja atau bintik Bitot, dapat
mengkonsumsi tablet vitamin A sebanyak 5.000 – 10.000
IU sehari selama paling sedikit 4 minggu. Dosis maksimal
tidak boleh melebihi 10.000 IU. Namun, jika jumlah yang
dimakan dalam satu minggu kurang dari 25.000 IU, perlu
dilakukan koreksi.jika terjadi lesi kornea akut (tanda dari
xeroftalmia akut yang parah) pada wanita baik hamil
10

maupun tidak, harus dipikirkan kemungkinan efek


teratogenik dan resiko lain pengobatan pada janin. Pada
kasus ini, dosis pengobatan mengacu pada jadwal
pengobatan xeroftalmia bukan untuk wanita usia
reproduksi. Perhatian khusus juga harus diberikan pada
anak-anak yang menderita campak. Angka kematian yang
mengalami campak dan defisiensi secara berbarengan lebih
tinggi ketimbang anak yang menderita campak saja. Oleh
karena itu, dianjurkan pemberian suplementasi vitamin A
(3)
dosis tinggi pada setiap episode campak.
Pencegahan
Telah terbukti bahwa bayi baru lahir, terutama di
Negara sedang berkembang yang kasus defisiensi vitamin
A nya bersifat endemis, memiliki cadangan vitamin A yang
sangat rendah. Pasokan vitamin A di awal kehidupan akan
tercukupi melalui air susu ibu, asalkan ibu memiliki status
vitamin A yang baik. Ada dua pendekatan untuk
memperbaiki status vitamin A bayi yang berusia kurang
dari 6 bulan, yaitu dengan memberikan vitamin A dosis
tinggi kepada ibu menyusui atau memberi satu atau
beberapa dosis kepada bayi. Kedua langkah ini layak
dipertimbangkan
Langkah pertama perlu dilaksanakan terutama di
daerah yang berpotensi mengalami defisiensi. Kepada
kelompok ibu tersebut harus diberikan suplementasi
vitamin A sebanyak 20.000 IU segera setelah melahirkan.
Suplementasi ini terbukti bukan hanya memperbaiki status
vitamin A ibu tetapi juga bayinya. Manfaat pemberian ini
terutama diarahkan pada anak yang lahir selanjutnya.
Pemberian suplementasi kepada wanita selama 8 bulan
setelah melahirkan dianggap cukup layak dan aman.
11

Program pencegahan KVA dengan pemberian


vitamin A yang disertakan dengan upaya perbaikan
keadaan social dan ekonomi di Negara endemis telah
berhasil menurunkan angka prevalensi KVA parah dan buta
akibat kurang gizi. Kebersihan lingkungan dan perbaikan
sarana perumahan, misalnya telah berhasil menekan angka
prevalensi dan keparahan infeksi saluran pernafasan,
tuberculosis, diare, dan infestasi cacing yang berarti
meningkatkan penyerapan, serta menurunkan kebutuhan
metabolic akan vitamin A. imunisasi campak secara efektid
sekaligus melenyapkan salah satu pemicu xeroftalmia dan
kematian yang berkaitan dengan vitamin A. (2)

B. Defisiensi vitamin B1 (Beri-beri)


a. Definisi
Defisiensi tiamin merupakan penyebab penyakit
beri-beri. Bilamana diet wanita yang sedang hamil tidak
cukup mengandung vitamin B1, maka bayi yang dilahirkan
dapat menderita beri-beri bawaan atau gejala beri-beri akan
timbul pada bayi yang sedang disusui. Penyakit demikian
dapat timbul pula pada anak dengan gastro-enteritis yang
menahun. (1)
b. Etiologi
Masalah dari ibu yang mengkonsumsi alkohol,
masalah karena kurangnya mengkonsumsi vitamin B1. (3)

c. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis


12

Gambar 2 : Patofisiologi Defisiensi Vitamin B1. (2)


Pada manusia yang mengalami defisiensi tiamin
mengakibatkan reaksi yang tergantung pada tiamin difosfat
akan dicegah atau sangat dibatasi, sehingga menimbulkan
penumpukan substrat untuk reaksi tersebut, misalnya
piruvat, gula pento dan derivat á- ketoglutarat dari asam
amino rantai bercabang leusin, isoleusin serta valin. Tiamin
didapati hampir pada semua tanaman dan jaringan tubuh
hewan yang lazim digunakan sebagai makanan, tetapi
13

kandungannya biasanya kecil .Biji-bijian yang tidak


digiling sempurna dan daging merupakan sumber tiamin
yang baik. Penyakit beri-beri disebabkan oleh diet kaya
karbohidrat rendah tiamin,misalnya beras giling atau
makanan yang sangat dimurnikan seperti gula pasir dan
tepung terigu berwarna putih yang digunakan sebagai
sumber makanan pokok. (3)
Gejala kllinis
 Beri-beri infantile. Pada umunya ditemukan dalam
keadaan akut. Gejala prodormalnya ringan saja atau
tidak tampak sama sekali. Anak yang kelihatan
sehat selama 1 atau 2 minggu tidak menunjukkan
kenaikkan berat badan, tampak kadang- kadang
gelisah, menderita pilek atau diare. Kelainan pada
jantung datangnya sekoyong-koyong dengan
takikardia dan dyspnea yang dapat mengakibatkan
kematian mendadak. Pada pemeriksaan ditemukan
jantung yang membesar terutama bagian kanan.
Paru-paru menunjukkan tanda kongesti, kadang-
kadang terdapat edema bilamana ada oliguria atau
anuria.
 Kasus menahun. Sering ditemukan pada anak yang
lebih besar. Penderita demikian pada umumnya
lebih kecil dibandingkan dengan anak sehat, gizinya
kurang dan terdapat edema. Sering timbul gejala
yang menarik perhatian adanya afonia disebabkan
oleh adanya edema pita suara, perut membuncit oleh
meteorismus. (2)
14

Gambar 3 : Patofisiologi Beri-beri. (4)

d. Penegakan Diagnosis
Gejala dini defisiensi tiamin berupa neuropati
perifer, keluhan mudah capai, dan anoreksia yang
menimbulkan edema dan degenerasi kardiovaskuler,
neurologis serta muskuler. Encefalopati Wernicke
merupakan suatu keadaan yang berhubungan dengan
defisiensi tiamin yang sering ditemukan diantara para
peminum alkohol kronis yang mengkomsumsi hanya
sedikit makanan lainnya. Ikan mentah tertentu mengandung
suatu enzim (tiaminase) yang labil terhadap panas,enzim ini
15

merusak tiamin tetapi tidak dianggap sebagai masalah yang


penting dalam nutrisi manusia. (4)
e. Penatalaksanaan dan Pencegahan
Pengobatan
Pada kejadian yang akut penderita harus dengan
segera diberi 100 mg vitamin B1 secara intravena untuk
kemudian diteruskan dengan 3 – 4 kali sehari 10 – 20 mg
secara oral. Pemberian ini dapat diteruskan selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk menjamin
penyembuhan total dengan dosis untuk bayi sebanyak 5 –
10 mg dan untuk anak 10 – 20 mg yang diberikan setiap
hari.
Bila beriberi terjadi pada bayi yang mendapat ASI,
baik ibu maupun bayi harus diberi pengobatan. Dosis
harian tiamin yang dianjurkan untuk bayi 5-10 mg, anak
10-20 mg, dan orang dewasa 50 mg.
Pengobatan/berlangsung selama be-berapa minggu.
Pemberian secara oral cukup efektif, kecuali bila ada
gangguan saluran cerna yang lama dan pada anak dengan
gagal jantung, pemberiannya harus secara intramus-kular
atau intravena. Biasanya pengobatan tersebut akan di-susul
dengan perbaikan klinis secara dramatik, meskipun untuk
penyembuhan sempurna diperlukan waktu beberapa
minggu. Biasanya jantung tidak mengalami kerusakan yang
menetap. Karena beriberi umumnya disertai oleh defisiensi
komponen vitamin B kompleks lainnya, maka selain tiamin
dianjurkan pula pemberian vitamin B kompleks. (4)
Pencegahan
Pada umumnya diet yang baik mengandung cukup
tiamin. Pemberian vitamin B1 tambahan diperlukan untuk
16

ibu yang sedang mengandung dan menyusui dan dianjurkan


untuk memberi pada mereka: (4)
 1,8 mg vitamin B1 setiap hari pada ibu hamil
 2,3 mg untuk ibu yang menyusui
 0,4 mg untuk bayi
 0,6 – 2,0 pada anak yang lebih besar

C. Defisiensi vitamin B2
a. Definisi
Riboflavin terdiri atas sebuah cincin isoaloksazin
heterosiklik yang terikat dengan gula alcohol, ribitol. Jenis
vitamin ini berupa pigmen fluoresen berwarna yang relatif
stabil terhadap panas tetapi terurai dengan cahaya yang
visible. (1)
b. Etiologi
Mononukleatida (FMN) dan flavin adenine
dinukleotida (FAD). FMN dibentuk oleh reaksi fosforilasi
riboflavin yang tergantung pada ATP sedangkan FAD
disintesis oleh reaksi selanjutnya dengan ATP dimana
bagian AMP dalam ATP dialihkan kepada FMN. FMN dan
FAD berfungsi sebagai gugus prostetik enzim
oksidoreduktase ,di mana gugus prostetiknya terikat erat
tetapi nonkovalen dengan apoproteinnya. Enzim-enzim ini
dikenal sebagai flavoprotein. Banyak enzim flavoprotein
mengandung satu atau lebih unsur metal seperti molibneum
serta besi sebagai kofaktor esensial dan dikenal sebagai
metaloflavoprotein. (3)
c. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Bila ditinjau dari fungsi metaboliknya yang luas,
kita heran melihat defisiensi riboflavin tidak menimbulkan
keadaan yang bisa membawa kematian. Namun demikian
17

kalau terjadi defisiensi tiamin, berbagai gejala seperti


stomatitis angularis, keilosis, glositis, sebore dan fotofobia.
Riboflavin disintesis dalam tanaman dan mikroorganisme,
namun tidak dibuat dalam tubuh mamalia. Ragi, hati dan
ginjal merupakan sumber riboflavin yang baik dan vitamin
ini diabsorbsi dalam intestinum lewat rangkaian
reaksifosforilasi – defosforilasi di dalam mukosa . Berbagai
hormon (misalnya hormon tiroid dan ACTH), obat-obatan
(misalnya klorpromazin,suatu inhihibitor kompetitif) dan
factor-faktor nutrisi mempengaruhi konversi riboflavin
menjadi bentuk-bentuk kofaktornya. Karena sensitivitasnya
terhadap cahaya,defisiensi riboflavin dapat terjadi pada
bayi yang baru lahir dengan hiperbilirubinemia yang
mendapat fototerapi. (3)
d. Penegakan Diagnosis
Gejala klinis defisiensi vitamin B2 akan timbul
bilamana:
 Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung
vitamin B2
 Penyerapan dan pengolahan makanan tidak normal,
misalnya pada gastroenteritis, dekompensasi
jantung, sirosis hati.
 Keperluan vitamin B2 meningkat, misalnya pada
pertumbuhan yang cepat, wanita hamil atau sedang
menyusui. (2)
Gejala Klinis
Defisiensi riboflavin menyebabkan ariboflavinosis
dengan gejala : (4)
 Stomatitis angularis : pada sudut mulut terdapat
maserasi dan retak-retak (fisura) yang memancar
ke arah pipi.
18

 Glositis : pada penderita demikian ditemukan lidah


merah jambu dan licin, menunjukkan hilangnya
struktur papil.
 Perubahan kulit berupa luka seboroik pada lipatan
nasolabium, sekitar lubang hidung, daun telinga,
dan kelopak mata. Adakalanya ditemukan
dermatitis pada tangan, sekitar vulva, anus, dan
perineum.
 Perubahan pada mata sehingga menimbulkan
fotofobia, lakrimasi berlebihan, rasa panas dan
pusing.
 Adakalanya ditemukan anemia berat tipe
normokrom normositik dengan retikulositopenia.

Kelainan Laboratorium
Urin yang mengandung riboflavin kurang dari 50 µg
merupakan indikasi adanya defisiensi vitamin B2 dan
biasanya sudah disertai gejala klinisnya. (4)

e. Penatalaksanaan dan Pencegahan


Ariboflavinosis dapat dicegah dengan diet yang
mengandung cukup kacang-kacangan, sayur mayur, susu,
telur dan daging. Dianjurkan pmberian vitamin B2 setiap
harinya bagi bayi sebanyak 0,6 mg, anak-anak sebanyak 1 –
2 mg, dan dewasa sebanyak 2 – 3 mg. pada penderita
diberikan 6 – 10 mg riboflavin tiap hari untuk beberapa
minggu lamanya.
Pengobatan berupa pemberian riboflavin per oral
dengan dosis 3-10 mg/hari selama beberapa minggu. Bila
dalam beberapa hari tidak ada respons dapat diberikan
riboflavin IM dengan dosis 3x2 mg/hari selama beberapa
19

hari. Selain itu anak harus mendapat pula gizi yang


berimbang. (4)

D. Defisiensi vitamin B6
a. Definisi
Vitamin B6 terdiri atas derivat piridin yang
berhubungan erat yaitu piridoksin, piridoksal serta
piridoksamin dan derivat fosfatnya yang bersesuaian.
Bentuk aktif dari vitamin B6 adalah piridoksal fosfat, di
mana semua bentuk vitamin B6 diabsorbsi dari dalam
intestinum , tetapi hidrolisis tertentu senyawa-senyawa
ester fosfat terjadi selama proses pencernaan. Piridksal
fosfat merupakan bentuk utama yang diangkut dalam
plasma. (1)
b. Etiologi
Kekurangan vitamin B6 jarang terjadi dan setiap
defisiensi yang terjadi merupakan bagian dari defisiensi
menyeluruh vitamin B kompleks. (2)
c. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Kekurangan vitamin B6 jarang terjadi dan setiap
defisiensi yang terjadi merupakan bagian dari defisiensi
menyeluruh vitamin B kompleks. Namun defisiensi vitamin
B6 dapat terjadi selama masa laktasi, pada alkoholik dan
juga selama terapi isoniazid. Hati, ikan mackel, alpukat,
pisang, daging, sayuran dan telur merupakan sumber
vitamin B6 yang terbaik. (3)
d. Penegakan Diagnosis
Bayi dengan kejang harus dicurigai menderita
defisiensi vitamin Bg atau sindrom ketergantungan
piridoksin. Bila sebab lain kejang pada bayi seperti
hipokalsemia, hipoglikemia, dan infeksi dapat disingkirkan,
20

maka bayi tersebut harus segera mendapat piridoksin 100


mg parenteral. Kemudian bila kejang berhenti harus diduga
adanya defisiensi piridoksin, dan merupakan indikasi untuk
melakukan uji triptofan dosis tinggi. Hal serupa dilakukan
pada anak besar yang menderita kejang, yaitu pada saat
merekam EEG disuntikkan piridoksin 100 mg; bila dilihat
adanya respons yang membaik pada rekamam EEG
dicurigai adanya defisiensi piridoksin. Diagnosis defisiensi
vitamin B6 dapat dibantu dengan merendahnya kadar
enzim glutamat piruvat transaminase dalam eritrosit.
Cengeng, mudah kaget, kejang (tonik-klonik)
merupakan gejala klinis defisiensi vitamin B6. Adakalanya
terdapat juga gangguan sistem hematopoietic dengan
anemia berat yang dapat menyembuh dengan pemberian
terapi vitamin B6. Dalam keadaan defisiensi akan ditemukan
piridoksin plasma dibawah 25 mg/ml, piridoksin urin 24
jam dibawah 20 µg untuk tiap gram kreatinin dan asam
piridoksin dibawah 0,5 mg. suplementasi vitamin B 6 pada
makanan sehari-hari untuk mengisis kekurangan persediaan
dalam tubuh. Jika terdapat penyebab lain, seperti pemberian
isoniazida lama atau malabsorpsi diobati secepatnya.
Pemberian triptofan 100 mg/kg BB pada anak dengan de-
fisiensi vitamin B6 akan menyebabkan sangat banyaknya
ekskresi asam xanturenat dalam air kemih, yang tidak
dijumpai pada anak normal. Hasil uji triptofan ini dapat
normal pada anak dengan ketergantungan piridoksin. (4)
e. Penatalaksanaan dan Pencegahan
Pengobatan
Untuk kejang yang mungkin disebabkan oleh
defisiensi piridoksin harus segera diberikan piridoksin 100
mg parenteral. Biasanya dosis tunggal sudah memadai
21

apabila dilanjutkan dengan diet yang adekuat. Bagi anak


dengan sindrom ketergantungan, diperlukan pemberian
piridoksin 2-10 mg parenteral atau 10-100 mg per oral
setiap hari. (4)
Pencegahan
Diet berimbang biasanya mengandung cukup
piridoksin, sehingga jarang dijumpai keadaan defisiensi.
Tambahan piridoksin diperlukan pada anak yang mendapat
diet protein tinggi. Bayi yang ibunya mendapat piridoksin
dosis tinggi selama kehamilan, mempunyai risiko tinggi
terhadap kejang karena ketergantungan piridoksin.
Demikian pula setiap anak yang mendapat pengobatan
dengan antagonis piridoksin perlu diawasi terhadap
timbulnya gejala neurologik; bila perlu anak harus
mendapat tambahan piridoksin atau dosis obat antagonis
piridoksin diturunkan. Kecukupan piridoksin per hari yang
dianjurkan adalah sebagai berikut, untuk bayi 0,3-0,5 mg,
anak 0,5-1,5 mg, dan orang dewasa 1,5-2,0 mg. (4)
E. Defisiensi vitamin B12
a. Definisi
Vitamin B12 (kobalamin) mempunyai struktur
cincin yang kompleks (cincin corrin) dan serupa dengan
cincin porfirin, yang pada cincin ini ditambahkan ion kobalt
di bagian tengahnya. Vitamin B12 disintesis secara
eksklusif oleh mikroorganisme. Dengan demikian, vitamin
B12 tidak terdapat dalam tanaman kecuali bila tanaman
tersebut terkontaminasi vitamin B12 tetapi tersimpan pada
binatang di dalam hati temapat vitamin B12 ditemukan
dalam bentuk metilkobalamin, adenosilkobalamin, dan
hidroksikobalamin. Absorbsi intestinal vitamin B12 terjadi
dengan perantaraan tempat-tempat reseptor dalam ileum
22

yang memerlukan pengikatan vitamin B12, suatu


glikoprotein yang sangat spesifik yaitu faktor intrinsik yang
disekresi sel-sel parietal pada mukosa lambung.. Setelah
diserap vitamin B12 terikat dengan protein plasma,
transkobalamin II untuk pengangkutan ke dalam jaringan.
Vitamin B12 disimpan dalam hati terikat dengan
transkobalamin I. Koenzim vitamin B12 yang aktif adalah
metilkobalamin dan deoksiadenosilkobalamin.
Metilkobalamin merupakan koenzim dalam konversi
Homosistein menjadi metionin dan juga konversi.
Metiltetrahidrofolat menjadi tetrafidrofolat.
Deoksiadenosilkobalamin adalah koenzim untuk konversi
metilmalonil Ko A menjadi suksinil Ko A. (1)
b. Etiologi
Defisiensi vitamin B12 dapat terjadi oleh:
 Kekurangan vitamin B12 dalam diet sehari-harinya,
misalnya pada orang yang pantang makan daging.
 Tidak terdapatnya faktor intrinsic seperti pada
anemia pernisiosa.
 Gangguan resorpsi dan penggunaan vitamin B12
seperti pada diare menahun, KKP. (2)

c. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis


Kekurangan atau defisiensi vitamin B12
menyebabkan anemia megaloblastik. Karena defisiensi
vitamin B12 akan mengganggu reaksi metionin sintase.
Anemia terjadi akibat terganggunya sintesis DNA yang
mempengaruhi pembentukan nukleus pada ertrosit yang
baru . Keadaan ini disebabkan oleh gangguan sintesis purin
dan pirimidin yang terjadi akibat defisiensi tetrahidrofolat.
Homosistinuria dan metilmalonat asiduria juga terjadi.
23

Kelainan neurologik yang berhubungan dengan defisiensi


vitamin B12 dapat terjadi sekunder akibat defisiensi relatif
metionin. (4)

Gambar 4 : Absorpsi dan transport vitamin B12 (4)

d. Penegakan Diagnosis
Adapun gejala-gejalanya ialah glositis atrofi (lidah
yang halus dan mengkilap), rasa mual, muntah-muntah,
diare bergantian dengan konstipasi, tidak terdapatnya getah
lambung, perubahan saraf, anemia makrositis hiperkronis.
Sel darah merah membesar dan berkurang jumlahnya. Hal
ini disebabkan oleh gangguan pembentukan atau proses
pematangan eritrosit. Kelainan laboratorium yang timbul
adalah kadar vitamin B12 rendah (kurang dari 150 pg/ml).
anemia pernisiosa biasanya diobati dengan 1000 µg vitamin
B12 tiap bulan secara subkutan. Pemberian oral hasilnya
24

tidak menentu. Pada penderita dengan gejala saraf yang


berat dapat diberikan 50 – 100 µg vitamin B12 setiap hari. (3)
e. Penatalaksanaan dan Pencegahan
Memberikan asupan makanan yang mengandung
B12 seperti daging, ikan, keju, telur. Bisa diberikan juga
suplemen B12. (3)
F. Defisiensi vitamin C
a. Definisi
Vitamin C diperlukan pada pembentukan zat
kolagen oleh fibroblast hingga merupakan bagian dalam
pembentukan zat intrasel. Keadaan defisiensi vitamin C
akan menggangu integrasi dinding kapiler. Vitamin C
diperlukan juga pada proses pematangan eritrosit dan pada
pembentukan ulang dan dentin. Vitamin C mempunyai
peran penting juga pada respirasi jaringan. (1)
b. Etiologi
Kekurangan asupan dari vitamin C, yang akan
menjadi defisiensi vitamin C. (3)
c. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang menonjol ialah adanya triad
yang terdiri dari (1) cengeng atau mudah marah, (2) rasa
nyeri pada tungkai bawah, dan (3) pseudoparalisis tungkai
bawah. Seringkali terdapat juga anemia dengan tipe anemia
defisiensi besi. Kadang-kadang ditemukan anemia
megaloblastic oleh kombinasi defisiensi asam folik dan
vitamin C.
Diagnosis skorbut biasanya ditegakkan atas dasar
kelainan radiologik pada tulang panjang, terutama pada
ujung distalnya.Kelainan tersebut biasanya dijumpai di daerah
lutut.Pada stadium awal terlihat kelainan yang menyerupai
atrofi tulang biasa.Trabekula biasanya tidak dapat dilihat,
25

dan tulang menyerupai gambaran ground-glass.Korteks


menipis sampai sehalus benang dan tepi epifisis sangat
jelas.terlihat.Pada metafisis terlihat garis putih Fraenkel,
yang nampak sebagai garis putih tebal dan iregular.Garis
Fraenkel ini merupakan daerah kalsifikasi tulang
rawan.Pusat osifikasi epifisis juga menyerupai gambaran
ground-glass dan dikelilingi oleh cincin berwama putih.
Pada tingkat tersebut di atas skorbut tidak dapat
didiagnosis hanya berdasarkan kelainan radiologik, kecuali
bila dijumpai adanya zone penipisan (rarefaction) di bawah
garis putih pada metafisis.Zone penipisan ini adalah daerah
destruksi linear tulang proksimal dan sejajar dengan garis
putih Fraenkel.Zone ini sering tidak melintasi seluruh lebar
tulang dan hanya dapat dilihat pada bagian lateral sebagai
defek segitiga. Juga dapat dijumpai adanya spur sebagai
akibat perpanjangan ke arah lateral dari garis putih tersebut.
Pemisahan epifisis terjadi sepanjang garis destruksi dengan
pernindahan linear atau korrip'ressi epifisis terhadap
tangkainya. Perdarahan subperiosteum secara radiologis
tidak tampak pada skorbut aktif . Pada masa penyembuhan,
periosteum yang menonjol akan mengalami kalsifikasi dan
ana yang terkena teriihat menyempai bentuk dumb bell atau
club. (3)
26

Gambar 5 : Patofisiologi Defisiensi Vitamin C. (3)

d. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis
yang khas berupa rasa nyeri yang sangat dan gejala
iritabilitas, kelainan radiologik pada tulang panjang, dan
adanya riwayat masukan vitamin C yang kurang. Biasanya
terdapat riwayat ibu yang selaiu mendidihkan/memasak sari
buah untuk bayinya.Uji laboratorium untuk penyakit skorbut
sampai saat ini masih belum memuaskan. Kadar vitamin C
dalam plasma darah (puasa) lebih dari 0,6 mg/dl dapat
menyingkirkan diagnosis skorbut, tetapi kadar vitamin C
yang lebih rendah dari itu belum tentu membuktikan
adanya skorbut. Pemeriksaan kadar vitamin C dalam lapisan
sel darah putihtrombosit (huffy coat) dari darah oksalat yang
diputar, saat ini merupakan petunjuk yang paling baik
untuk diagnosis. Kadar nihil vitamin C pada lapisan ini
menunjukkan adanya skorbut laten, meskipun tidak dijumpai
adanya gejala klinis. Kadar vitamin C dalam jaringan dapat
diukur dengan menghitung banyaknya ekskresi vitamin C
27

melalui urin setelah dilakukan uji dosis vitamin C. Biasanya


3-5 jam setelah pemberian vitamin C secara parenteral, 80%
akan dijumpai dalam urin anaknormal. Pada skorbut juga
dijumpai aminoasiduria nonspesifik, tetapi kadar asam amino
darah masih tetap normal. Setelah diberikaii tirosin, bayi
skorbut akan mengekskresikan rnetaboiit yang sama dengan
bayi prematur. Masa protrombin pada penderita skorbut
memanjang. (2)
e. Penatalaksanaan dan Pencegahan
Skorbut dapat dicegah dengan pemberian diet cukup
vitamin C, buah jeruk dan saribuah adalah sumber vitamin
C yang baik. Kecukupan vitamin C per hari yang dianjurkan
adalah sebagai berikut bayi 20 mg, anak 20-30 mg, ibu hamil
atau menyusui 50-100 mg. Ke dalam susu formula bayi harus
ditambahkan 35 mg asam askorbat setiap hari.
Lebih kurang pemberian 750 ml sari buah jeruk atau
tomat tiap hari akan mempercepat penyembuhan, tetapi
sebenarnya pemberian asam askorbat lebih baik lagi. Dosis
pengobatansehari asam askorbat adalah 100-200 mg atau lebih,
dapat diberikan secara oral atau parenteral. (2)

G. Defisiensi vitamin D (rakitis dan osteomalasia)


a. Definisi
Defisiensi vitamin D mengakibatkan penyakit
rakitis dan kadang-kadang tetani. Jika defisiensi tersebut
terdapat setelah masa pertumbuhan akan timbul
osteomalasia. Insidensi tertinggi pada umur 18 bulan.
Pertumbuhan yang cepat misalnya pada masa bayi
merupakan faktor tambahan yang penting bagi terjadinya
penyakit rakitis. (1)
28

b. Etiologi
Kurangnya makanan yang mengandung vitamin D,
dan juga kurangnya paparan terhadap cahaya matahari. (3)
c. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Pada defisiensi vitamin D timbul kalsifikasi tulang
yang tidak normal disebabkan oleh rendahnya saturasi
kalsium dan fosfor dalam cairan tubuh. Lagipula resorpsi
tulang akan melebihi pembentukannya hingga
menyebabkan demineralisasi umum pada rangka yang
berakibat menjadi lunaknya tulang-tulang serta deformitas
toraks, tulang punggung, pelvis, dan tulang-tulang panjang.
Osifikasi endokondral yang tidak normal akan terjadi
hingga menimbulkan kelainan karakteristik pada bagian
tulang yang terbentuk baru.
Gelisah dan sukar tidur merupakan tanda-tanda dini
penyakit rakitis pada bayi. Tanda klinis bergantung pada
umur penderita seperti kraniotabes hanya ditemukan pada
penderita yang berumur kurang dari 1 tahun. Kelainan-
kelainan yang sering ditemukan adalah pembengkakan pada
sambungan-sambungan kostokondral hingga merupakan
tasbeh, pembengkakan epifisis pergelangan tangan dan
kaki. Terlambat menutupnya ubun-ubun besar merupakan
tanda yang penting. Pada anak yang sudah berjalan
kemudian menderita rakitis dapat mengalami deformitas
pada tungkai bawah pada tungkai bawah. Gejala lain yang
sering ditemukan adalah hipotoni otot, anemia gizi, perut
membuncit, dan pertumbuhan gigi geligi yang terlambat. (3)
29

Gambar 6 : Patofisiologi Defisiensi Vitamin D. (3)


d. Penegakan Diagnosis
Perubahan radiologis mendahului tanda-tanda klinis
dan dapat terlihat pada bulan-bulan pertama setelah lahir.
Di daerah pergelangan tangan tulang radius dan ulna
membengkak dan memperlihatkan bentuk mangkok serta
pelebaran garis epifisis. Density tulang-tulang panjang
berkurang. Kelainan ini disebabkan oleh kalsifikasi yang
tidak normal. Sedangkan pada ostemalasia tulang-tulang
30

yang harus menyangga tubuh menjadi bengkok, tulang


vertebra menjadi pendek dan tulang pelvis mendatar.
Kelainan laboratorium pada rakitis ditemukan kadar
kalsium serum normal atau rendah, kadar fosfor rendah,
kadar fosfatase lindi meninggi. Pengobatan yang dilakukan
adalah diberikan terapai 40 µg vitamin D setiap hari selama
satu bulan. Dalam keadaan yang membahayakan hidup
penderita, seperti toraks yang melembek diberikan 100 µg
tiap hari dan diturunkan menjadi 30 µg sehari jika terdapat
tanda-tanda penyembuhan. Disamping pengobatan dengan
vitamin D, dengan sendirinya masukan kalsium dan fosfor
harus diperhatikan. (2)
e. Penatalaksanaan
Paparan terhadap sinar matahari lebih ditingkatkan,
asupan makanan yang mengandung vitamin D (susu, keju,
hati). Bisa juga diberikan suplemen untuk terapi defisiensi
vitamin D sebesar 400-5000 µg. (3)

H. Defisiensi vitamin E
a. Definisi
Vitamin E (tokoferol) bertindak sebagai antioksidan
dengan memutuskan berbagai reaksi rantai radikal bebas
sebagai akibat kemampuannya untuk memindahkan
hydrogen fenolat kepada radikal bebas perksil dari asam
lemak tak jenuh ganda yang telah mengalami peroksidasi .
Radikal bebas fenoksi yang terbentuk kemudian bereaksi
dengan radikal bebas peroksil selanjutnya. Dengan
demikian tokoferol tidak mudah terikat dalam reaksi
oksidasi yang reversible, cincin kromana dan rantai
samping akan teroksidasi menjadi produk non radikal
bebas. (1)
31

b. Etiologi
Defisiensi vitamin E jarang sekali ditemukan oleh
sebab makanan sehari-hari biasanya mengandung vitamin
E. walaupun demikian seyogyanya kita tetap waspada akan
kemungkinan keadaan subklinis, misalnya pada bayi berat
badan lahir rendah dimana transfer vitamin E melalui
plasenta tidak efisien, keadaan malabsorpsi terutama
dengan steatore. Kelainan yang dapat dilihat pada defisiensi
vitamin E ialah hemolysis dan mengurangnya umur hidup
eritrosit. (3)
c. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Defisiensi atau kekurangan vitamin E dapat
menimbulkan anemia pada bayi yang baru lahir. Kebutuhan
akan vitamin E meningkat bersamaan dengan semakin
besarnya masukan lemak tak- jenuh ganda. Asupan minyak
mineral, keterpaparan terhadap oksigen (seperti dalam
tenda oksigen ) atau berbagai penyakit yang menyebabkan
tidak efisiennya penyerapan lemak akan menimbulkan
defisiensi vitamin E yang menimbulkan gejala neurology.
Vitamin E dirusak oleh pemasakan dan pengolahan
makanan yang bersifat komersial,termasuk pembekuan.
Benih gandum, minyak biji bunga matahari serta biji
softlower, dan minyak jagung serta kedelai, semuanya
merupakan sumber vitamin E yang baik. (3)
d. Penegakan Diagnosis
Ditanyakan riwayat asupan makanan yang
mengandung vitamin E seperti biji-bijian, sayuran.
Ditanyakan mengenai penyakit pada anak misalnya adalah
malabsorpsi. Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan
32

hilangnya refleks tendon dalam. Pada pemeriksaan


penunjang bisa ditemukan adanya anemia. (3)
e. Penatalaksanaan
Pada penderita defisiensi vitamin E dapat diberikan
100 – 600 mg vitamin E tiap harinya. Belakangan ini
penggunaan vitamin E sangat popular. Vitamin E dalam
dosis besar sering diberikan untuk mencegah abortus
habitual, partus prematus habitual, scleroderma, penyakit-
penyakit neuromuscular. Adakalanya vitamin E digunakan
pada penderita hipoproteinemia karena vitamin E memiliki
daya metabolic pada metabolism protein. Dalam bentuk
salep vitamin E dipakai untuk membuat halus serta
menyegarkan kulit dan mencegah keriput. (3)

I. Defisiensi vitamin K
a. Definisi
Vitamin yang tergolong ke dalam kelompok vitamin
K adalah naftokuinon tersubsitusi – poliisoprenoid.
Menadion, yaitu senyawa induk seri vitamin K, tidak
ditemukan dalam bentuk alami tetapi jika diberikan, secara
in vivo senyawa ini akan mengalami alkilasi menjadi salah
satu menakuinon. (1)
b. Etiologi
Defisiensi vitamin K pada anak, biasanya disebabkan
karena adanya malabsorpsi lemak, gangguan penggunaan
lemak, atau gangguan sintesis vitamin K oleh flora usus
karena penggunaan antibiotik yang lama. (3)
c. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Diare pada bayi, terutama bayi yang mendapat ASI,
akan menyebabkan defisiensi vitamin K. Selain itu APCD
(Acquired Prothrombin Complex Deficiency) sering terdapat
33

pada bayi yang mendapat ASI, seperti dilaporkan di


Thailand. Hipoprotrombinemia karena penyakit hati biasanya
tidak responsif dengan pemberian vitamin K.
Hipoprotrombinemia dapat juga terjadi sebagai akibat peng-
gunaan obat tertentu, misal dikumarol yang digunakah untuk
menimbulkan keadaan hipoprotombinemia dalam usaha
pencegahan dan pengobatan trombosis pada pembuluh
darah vena. Asam salisilat, hasil degradasi dikumarol, juga
dapat menyebabkan hipoprotrombinemia dengan cara yang
sama. Turunnya kadar protrombin akibat pemakaian salisilat
tidaklah sebanyak penggunaaan dikumarol. Manifestasi
perdarahan pada penyakit demam reumatik akut mungkin
disebabkan karena penggunaan dosis tinggi salisilat; vitamin
K sangat efektif untuk mengatasi keadaan tersebut. Karena
itu pemberian vitamin K pada anak yang mendapat salisilat
dengan dosis tinggi perlu dipertimbangkan. Perdarahan yang
timbul dapat bervariasi dari yang ringanberupa ekimoses
kulitsampai yang bersifat fatal berupa perdarahan
intrakranial atau perdarahan internal.Gejala perdarahan
dapat terjadi pada hari pertama, tetapi umumnyatimbul
padahari kedua atau ketiga kelahiran. Gejala tersebut akan
bermanifestasi dalam bentuk perdarahan
umbilikus,ekimoses, epistaksis, perdarahan gastrointestinal,
adrenal dan intrakranial dengan berbagai akibatnya. Tidak
jarang gejala yang nampak berupa perdarahan di tempat
tusukan bekas pengambilan darah. Perdarahan yang timbul
setelah 4 minggu,umumnya terdapat pada bayi yang
mendapat ASI tanpa pemberian vitamin K sebelumnya, diare
berulang, hepatitis, atauatresia biliaris.
Perdarahan hebat dan fatal dapat terjadi pada bayi
yang lahir dari ibu yang diberi pengobatan aritikonvulsan,
34

sebagai akibat adanya defisiensi semua faktor pembekuan


yang tergantung dari vitamin K. Jenis perdarahan yang
biasanya terjadi berupa perdarahan intrakranial,
intratorakal, gastrointestinal, dan intraabdominal. Mengingat
beratnya jenis perdarahan yang mungkin terjadi, dianjurkan
tindakan seksio sesarea pada ibu yang mendapat
antikonvulsan selama masa kehamilan, bila diperkirakan
akan mengalami kesulitan persalinan. Disarankan pula
pemberian fitonadion intravena pada ibu sebelum persalinan
dan pada bayi segera setelah lahir. Selanjutnya bila pada
pemeriksaan darah tali pusat ditemukan adanya defisiensi
faktor pembekuan, yang tergantung dari vitamin K, bayi
harus segera mendapat transfusi plasma segar sebanyak 20
ml/kg BB atau komponennya yang mengandung faktor
II,VII,IX dan X. Masalah klinis lainnya yang mungkin
dihadapi adalah akibatnya terhadap bayi karena pemberian
kumarin atau senyawanya pada ibu selama kehamilan. Bila
keadaan memungkinkan selama kehamilan pemberian ku-
marin dihentikan dan digahti dengan heparin, karena he-
parin tidak akan melalui plasenta. Seandainya kumarin
akantetap dipafcai, maka 3-4 minggu sebelum waktu
perkiraan. Keadaan klinis yang sering dijumpai adalah
anemia mikrositik hipokromik karena defisiensi besi, dan
hemokromatosis atau hemosiderosis akibat kelebihan besi. (5)
d. Penegakan Diagnosis
Pada anamnesis bisa ditanyakan riwayat asupan
makanan yang mengandung vitamin K (asupan hati,
sayuran hijau). Pada pemeriksaan fisik bisa juga didapatkan
perdarahan. (5)
e. Penatalaksanaan
35

Defisiensi vitamin K pada neonatus menyebabkan


gejala melena neonatorum dan timbul pada umur 2 atau 3
hari. Adapun gejalanya ialah perdarahan pada lambung dan
usus sehingga menyebabkan muntah darah dan berak darah,
kadang-kadang juga perdarahan dari hidung dan umbilicus.
Keadaan yang berat dapat menimbulkan kematian. Pada
keadaan defisiensi vitamin K dapat diberikan secara
intramuscular sebanyak 1 mg pada bayi baru lahir, 2 mg
pada anak-anak dan 10 mg pada orang dewasa. (5)

J. Defisiensi mineral
a. Kalsium (2,3)
Kalsium erat sekali dengan pembentukan tulang.
Sumber utama kebutuhan segera tulang baru, terdapat
dalam cairan tubuh dan sel. Kalsium juga sangat penting
untuk mengatur sejumlah besar aktivitas sel yang vital,
fungsi syaraf dan otot, kerja hormon, pembekuan darah,
motilitas seluler.
Sumber mineral kalsium terutama berasal dari
hewan dan sintetis yaitu feeding bone meal, bone meal
(steamed), bone char, tricalsium fosfat, dikalsium,
monokalsium, ground limestone dan kalsium karbonat.
Sumber lainnya adalah susu yaang mengandung lebih dari
115 mg persen. Padi-padian umumnya rendah kalsium.
Tepung gandum putih mengandung kira-kira 20 mg. Beras
mengandung kurang lebih 6 mg kalsium per 100g, daging
umumnya merupakan sumber yang miskin akan kalsium
dan hanya mengandung 10 – 15 mg persen. Sayuran
umumnya merupakan sumber kalsium yang kurang baik.
Kerja kalsium tampaknya melalui reseptor protein
intrasel (kalmodulin) yang mengikat ion-ion kalsium bila
36

konsentrasinya mengikat sebagai respon terhadap stimulus.


Bila kalsium terikat pada kaalmodulin maka dapat
mengatur aktivitas sejumlah besar enzim, termasuk
berperan dalam metabolisme siklik nukleotida, fosforilasi
protein, fungsi sekresi, kontrsksi otot, penyususnan
mikrotubuli, metabolisme glikogen, dan pengaliran
kalsium.
Gejala defisiensi kalsium adalah tetani, gangguan
otot dan syaraf yang berhubungan. Gejala-gejala ini terjadi
paling sering akibat defisiensi vitamin D,
hipoparatiroidisme, atau insufisiensi ginjal, tetapi
kekurangan kalsium juga sebagai salah satu penyebabnya.
Gejala yang lain adalah osteoporosis dan ricketsia.
b. Fosfor (2,3)
Fosfor berfungsi sebagai pembentuk tulang,
persenyawaan organik, metabolisme energi, karbohidarat,
asam amino dan lemak, tarnsportasi asam lemak dan
baagian koenzim. Sehingga fosfor sebagai fosfat
memainkan peranan penting dalam struktur dan fungsi
semua sel hidup. Karena itu, kekurangan fosfor akibat
defisiensi makanan biasa tidak terjadi. Fosfat terdapat
dalam sel sel sebagai ion bebas pada konsentrasi beberapa
mili ekuivalen per liter dan juga merupakan bagian penting
asam-asam nukleat, nukleotida dan beberapa protein.
Dalam ruang ekstraseluler, fosfat bersirkulasi sebagai ion
bebas dan terdapat sebagai hidroksiapatit, komponen utama
dari tulang. Semua sel mempunyai enzim-enzim yang dapat
mengikatkan fosfat dalam ikatan ester atau anhidrida asam
ke molekul – molekul lain.
Sumber fosfor terutama berasal dari hewan dan
sumber sintetis seperti bone meal, rock phosphat, dan
37

difluprinated rock phosphat. Sumber fosfor lainnya adalah


susu yang merupakan sumber penting dengan kandunga 93
mg persen. Beras giling mengandung fosfor sebanyak 140
mg persen. Daging dan ikan mengandung fosfosr sebanyak
100 – 200 mg persen. Fosfat bebas diabsorpsi dalam
jejenum bagian tengah dan masuk aliran darah melalui
sirkulasi portal dan berlangsung dengan pengankutan aktif
yang membutuhkan natrium maupun secar difusi.
Pengaturan absorpsi fosfat diatur oleh 1,25-
dehidroksikalsiferol. Fosfat ikut serta dalam siklus
pengaturan derivat aktif vitamin D3. Bila kadar fosfat
serum rendah, pembentukan 1,25-dehidroksikalsiferol
dalam tubulus renalis dirangsang yang menyebabkan
absorpsi fosfat dari usus.
Defisiensi fosfat terjadi akibat berkurangnya
absorpsi dari usus dan pembuangan berlebihan dari ginjal.
Penyebab utama hipofosfatemia adalah ketidak normalan
fungsi tubuli ginjal yang mengakibatkan penurunan
reabsorpsi fosfat. Defisiensi fosfat berakibat ricketsia, dan
pertumbuhan terhambat, selain itu juga terdapat kelainan
padaa eritrosit, leukosit dan trombosit pada hati. Keracunan
fosfat jarang sekali terjadi kecuali bila kegagalan ginjal
akut atau kronis menghambat ekskresi fosfat.
c. Natrium(2,3)
Natrium adalah kation Na+ utama cairan ekstrasel
dan sebagian besar berhubungan dengan klorida dan
bikarbonat dalam pengaturan keseimbangan asam basa. Ion
natrium juga penting dalam mempertahankan tekanan
osmotik cairan tubuh dan dengan demikian melindungi
tubuh terhadap kehilangan cairan yang berlebihan. Pada
bagian empedu, ion natrium dan kalium berfungsi untuk
38

mengemulsi lemak. Walaupun ion natrium banyak


ditemukan dalam bahan makanan, sumber utama dalam
makanan adalah garam dapur (NaCl).
Pengaturan konsentrasi natrium dan/atau kadaar
natrium dalam tubuh melibatkan dua proses utama, yaitu
kontrol terhadap pengeluaran natrium oleh tubuh dan
kontrol terhadap masukan natrium. Konsentrasi natrium di
dalam cairan ekstraseluler diusahakan agar relatif konstan
dengan suatu mekanisme rumit yang melibatkan kecepatan
penyaringan glomerulus ginjal, sel-sel peralatan
juxtaglomerulus ginjal, sistem renin-angiotensin-
aldosteron, sistem syaraf simpatis, konsentrasi katekolamin,
natrium dan kalium di dalam peredaran darah, faktor
ketidaa dan tekanan darah.
Pengangkutan natrium melalui dinding epitel usus
nampaknya tergantung pada suatu sistem “pompa” dan
“rembesan” pasif yang terdapat pada membran pembatas
daari sel-sel tersebut. Pada duodenum dan jejunum, NaCl
berpindah dari daarah ke usus bila cairan hipotonik
memasuki darah. Pada ileum, absorpsi NaCl terjadi dari
larutan hipotonik. Glukosa di dalam cairan luminal
meningkatkan absorpsi natrium di dalam jejunum.
Walaupun ion natrium ekstravaskuler berada dalam
keseimbangan dengan ion natrium intravaskuler (plasma),
konsentrasi natrium intravaskuler mungkin tidak
menggambarkan jumlah total natrium dalam tubuh.
Sehingga apabila ion natrium serum yang rendah
(hiponatremia) mungkin tidak kekurangan ion natrium
tubuh, tetapi bahkan mungkin kelebihan air intravaskuler
(da mungkin ekstravaskuler). Hal yang sama peningkatan
ion natrium serum dapat terjadi pada kandungan ion
39

natrium yang rendah atau normal bila terdapat kehilangan


air (dehidrasi). Pada penyakit ginjal, kemampuan
menghemat ion natrium seringkali hilang dan terjadi
gangguan keseimbangan natrium, klorida, kalium dan air
yang parah. Defisiensi natrium menyebabkan tulang lunak,
hipertropi adrenal dan mengurangi penggunaan protein dan
energi.
d. Kalium(2,3)
Kalium adalah unsur yang mengandung isotop
radioaktif alami. Secara umum fungsi dari kalium adalah
metabolisme normal, memelihara volume cairan tubuh.
Konsentrasi pH, hubungan tekanan osmotik, mengaktifkan
enzim intraseluler dan pada empede bekerja samaa dengan
natrium berfungsi untuk mengemulsikan lemak. Kalium
adalah kation (K+) utama cairan intarsel. Dengan demikian,
sumber utama kalium adalah materi seluler dari bahan
pakan. Kalium mudah terserap usus halus, sebanding
dengan jumlah yang dimakan dan beredar dalam plasma.
Kalium dalam cairan ekstrasel memasuki semua jaringan
dalam tubuh daan dapat mempunyai efek yang sangat besar
pada fungsi organ, terutama depolarisasi dan kontraksi
jantung.
Ginjal tidak dapat menghemat ion kalium seefektif
ginjal menghemat ion natrium. Penghematan natrium selalu
disertai dengan pembuangan kaalium dan ini merupakan
efek aldosteron. Bila intake ion kalium kurang dari
kebutuhan minimal, konsentrasi ion kalium serum akan
menurun, ion kalium intarsel juga akan menurun dan tbulus
renalis bersama-sama sel-sel tubuh mulai menggunakan
proton (H+) sebagai pengganti K+. Apabila konsentrasi H+
meningkat maka akan menyebabkan asidosis intraseluler.
40

Kehilangan K+ obligatorik oleh tubulus renalis diganti


dengan kehilangan H+ obligatorik, karena tubulus renalis
menghemat Na+ dengan membuang H+, bukan membuang
K+. Hal ini akan menyebabkan alkalosis ekstraseluler dan
asidosis intraseluler.
Defisiensi kalium secara umum menyebabkan
kelemahan seluruh otot, jantung lemah dan melemahnya
otot pernafasan. Pada kegagalan ginjal, kehilangan K+
obligatorik mungkin lebih jauh dari normal. Keracunan K+
(hiperkalemia) sering terjadi pada payah ginjal karena
ginjal tidak mampu membuang kelebihan K+. Efek listrik
hiperkalemia dapat dilawan oleh peningkatan konsentrasi
kalsium serum. Pompa kalsium-natrium dalam membran
sensitive terhadap penghambatan oleh preparat digitalis
yaitu ouabain. Pada hipokalemia, jantung menjadi sensitif
terhadap ouabain dan dapat terjadi keracunan ouabain.
Toksisitas ouabain dapat dinetralisasikan oleh penambahan
konsentrasi kalium serum.
e. Magnesium(2,3)
Ion magnesium terdapat pada semua sel.
Magnesium berperan sangat penting sebagai ion esensial di
dalam berbagai reaksi enzimatis dasar pada metabolisme
senyawa antara. Semua reaksi di mana ATP merupakan
substrat, substrat sebenarnya adalah Mg2+-ATP. Hal yang
sama, Mg2+ dikhelasi di antara fosfat beta dan gama dan
mengurangi sifat kepadatan anionik ATP, sehingga Mg2+
dapat mencapai daan mengikat secara reversibel tempat
protein spesifik. Sehingga semua sintesis protein, asam
nukleat, nukleotida, lipid dan karbohidrat dan pengaktifan
kontraksi otot memerlukan magnesium.
41

Absorpsi Mg2+ terjadi di seluruh usus halus dan jelas


kelihatan lebih tergantung pada banyaknya yang tersedia
daripada faktorain, misalnya vitamin D. Absorpsi Mg2+
bukan proses aktif, daan tidak adaa mekanisme bersama
untuk transport kalsium dan magnesium melalui dinding
usus. Dalam plasma, sebagian besar Mg2+ terdapat dalam
bentuk yang padat difiltrasi oleh glomerulus ginjal. Akan
tetapi ginjal mempunyai kemampuan luar biasa untuk
mempertahankan Mg2+.
Defisiensi magnesium sering terjadi. Defisiensi
magnesium menyebabkan pertumbuhan lambat, mortalitas
meningkat, penurunan produksi telur dan ukuran telur
mengecil. Kadar tinggi kalsium, protein, dan fosfat dalam
makanan akan mengurangi absorpsi Mg2+ dari usus.
Malabsorpsi pada diare kronis, malnutrisi pada protein
kalori dan kelaparan daapat menyebabkan defisiensi
magnesium. Keracunan magnesium jarang terjadi pada
fungsi ginjal normal. Efek depresan magnesium pada
sistem syaraf biasanya mendominasi gejala toksisitas
hipermagnesemia.
f. Seng(2,3)
Seng telah dikenal sebagai unsur esensial sejak
lebih dari seratus tahun yang lalu. Terdapat sekitar dua
puluh empat metaloenzim yang dikenal, termasuk karbonat
anhidrase, laktat dehidrogenase, glutamat dehidrogenase,
alkali fosfatase, dan timidin kinase. Penelitian akhir-akhir
ini memperkirakan bahwa seng mempunyai peranan dalam
metabolisme prostaglandin atau proses-proses yang
diperantarai oleh prostaglandin.
Setelah diabsorpsi usus, seng mula-mula
mengumpul di hati dan kemudian didistribusikan ke
42

jaringan-jaringan. Dalam plasma, kira-kira 2/3 diikat


dengan suaatu alfa-2 makroglobulin. Sejumlah kecil
mengkompleks dengan asam amino dan mungkin dengan
ligan laainnya. Seng yang mengkompleks dengan aalbumin
siap diseraap oleh jaringan. Walaupun demikian
mekanisme penyerapannya oleh jaringan belum diketahui.
Penyerapan oleh hati secara positif dipengaruhi oleh
mediator endogen leukosit, hormon adrenokortikotropik,
daan hormon paratiroid.
Defisiensi seng dapat terjadi sebagai kelainan
primer absorpsi seng pada akrodermatitis enteropatika,
suatu penyakit automal resesif yang jaarang ditemukan,
disertai dengan hambatan pertumbuhan dan hipogonadisme.
Defisiensi seng sekunder dapat terjadi akibat malabsorpsi
apapun penyebabnya atau peningkatan ekskresi dalam urin.
Defisiensi seng juga menyebabkan aktivitas ribonuklease
serum nampak meninggi, sedangkan aktivitas kaarbonik
anhidrase eritrosit merendah.
g. Besi(2,3)
Besi adalah satu dari unsur yang paling banyak dari
kerak bumi. Besi juga merupakan mineral esensial mikro
yang paling melimpah. Kurang lebih 2/3 dari besi beredar
sebagai hemoglobin, 1/10 sebagai mioglobin dan kurang
dari 1% terdapat pada transferin dari semua enzim besi dan
protein redoks. Sisanya terdiri dari simpanan besi feritin
dan hemosiderin yang terdapat terutama pada hati, limpa
dan sumsum tulang. Fungsi utama besi adalah unruk
transport oksigen oleh hemoglobin. Besi ferro (Fe2+) dan
besi ferri (Fe3+) bersifat sangat sukar larut pada pH netral,
dan diperlukan sistem khusus untuk transport besi dan
43

memasukkan ion-ion ini kedalam tempat-tempat fungsional


mereka.
Sumber besi utama adalah daging, tumbuhan
polong, tetes tebu, dan kerang-kerangan. Sumber sintetis
terdiri dari ferric okside dengan kandungan besi 35% dan
ferrous sulphate dengan kandungan besi sebesar 20%. Besi
dalam bahan pakan terutama terdapat dalam bentuk ferri,
terikat kuat pada molekul organik.
Besi ditrasport ke tempat penyimpanan dalam
sumsum tulang dan sampai batas tertentu ke hati dalam
bentuk ion ferri, terikat pada transferin plasma. Pada tempat
penyimpanan itu, ion ferri diubah lagi menjadi apoferitin
sebagai bentuk cadangan yang stabil tetapi mengalami
pertukaran. Feritin dalam sistem retikuloendotelial
merupakan bentuk cadangan besi yang dapat diambil.
Feritin bekerja sebagai penyimpan sementara untuk
mencegah penambahan toksik kadar besi dan suatu
cadaangan yang daapaat dikerahkan jangka panjang. Akan
tetapi feritin dapat mengalami denaturasi, kehilangan
subunit apoferitin dan kemudian beragregasi (berkumpul)
ke misel-misel hemosiderin. Hemosiderin mengandung
lebih banyak besi dibandingkan feritin dan terdapat sebagai
partikel-partikel. Besi dalam hemosiderin tersedia untuk
pembentukan hemoglobin, tetapi mobilisasi besi jauh lebih
lambat dari hemosiderin dibanding dari feritin. Besi yang
ditimbun akan disimpan sebagai endapan hemosiderin
dalam hati, pankreas, kulit dan sendi yang menyebabkan
penyakit.
Defisiensi besi terjadi apabila kapasitas besi
intraseluler bertambah, dan lebih banyak besi akan
diabsorpsi bila tersedia dalam makanan. Defisiensi besi
44

menyebabkan terjadinya anemia, penurunan volume sel-sel


darah merah daan depigmentasi. Pada kelebihan besi (iron
overload) kapasitas dan kejenuhan karier besi intraseluler
berkurang.
h. Mangan (2,3)
Mangan terdapat dalam konsentrasi tinggi dalam
mitokondria daan berfungsi sebagai faktor penting untuk
pengaktifan glikosiltransferase yang berperan sebagai
sintesisoligosakarida, glikoprotein, dan proteoglikan.
Mangan diperlukan untuk aktifitas superoksida dismutase.
Mangan diserap dengan baik melalui usus halus dengan
mekanisme yang serupa dengan besi, termasuk transfer
melalui sel mukosa ke dalam darah portal. Pada
kenyataannya absorpsi Mn2+ meningkat pada defisiensi besi
dan daapat dihambat oleh besi. Adanya etanol dalam usus
jelas menambah absorpsi Mn2+. Ion mangan dikirim ke hati
melalui sirkulasi portal dan disana segera mengadakan
keseimbangan dengan Mn2+.
Salah satu akibat defisiensi mangan adalah
ketidaknormalan kerangka. Defisiensi mangan tampaknya
juga sangat mengurangi sintesis oligosakarida,
pembentukan glikoprotein dan proteoglikan. Selain itu juga
mengganggu beberapa metaloenzim Mn2+ seperti hidrolase,
kinase, dekarboksilase dan transferase. Keracunan mangan
sangat jarang terjadi.
i. Tembaga (2,3)
Absorpsi tembaga dalam traktus gastrointestinal
memerlukan mekanisme spesifik, karena sifat alamiah ion
kupri (Cu2+) yang sangat tidak larut. Dalam sel mukosa
usus, tembaga mungkin berikatan dengan protein pengikat
metal (banyak mengandung sulfur) dengan berat molekul
45

rendah yaitu metalotionein pada bagian tionein. Biosintesis


metalotionein diinduksi dengan pemebrian Zn, Cu,Cd dan
Hg dan diblokir oleh inhibitor-inhibitor sintesis protein.
Meskipun tembaga akan merangsang produksi protein hati
yang berikataan dengan tembaga, seng juga diperlukan
untuk akumulasi Cu-tionein. Seng akan menstabilkan Cu-
tionein terhadap degradasi oksidatif. Tembaga masuk
dalam plasma, dimana tembaga terikat pada asam-asam
amino, terutama histidin, dan pada albumin serum pada
tempat pengikatan tunggal yang kuat. Dalam kurang dari
satu jam, tembaga yang baru diserap diambil dari sirkulasi
oleh hati.
Hati memproses tembaga melalui dua jalan, yaitu :
tembaga diekskresi dalam empedu ke dalam traktus
gastrointestinal, dimana tembaga tidak diabsorpsi kembali.
Ternyata, homeostasis tembaga dipertahankan hampir
seluruhnya oleh ekskresi bilier, semakin tinggi dosis
tembaga, semakin banyak yang diekskresikan dalam feses.
Jalan kedua metabolisme tembaga dalam hati adalah
penggabungan tembaga sebagai bagian integral
seroloplasmin, suatu glikoprotein yang semata-mataa
disintesis dalam hati. Seruloplasmin bukan protein
pembawa Cu2+, karena tembaga seruloplasmin tidak
bertukar dengan ion tembaga atau tembaga yang terikat
dengan dengan molekul-molekkul lain. Seroluplasmin
mengandung 6 – 8 atom tembaga, setengah bagiaan ion
kupro (Cu+) dan setengahnya lagi ion kupri (Cu2+).
Gejala defisiensi tembaga meliputi anemia,
neutropenia, osteoporosis dan depigmentasi serta gangguan
syaraf. Defisiensi tembaga mengganggu proses kaitan lintas
jaringan ikat protein, kolagen, dan elastin. Gangguan ini
46

dapt berupa kelainan tulang, kerusakan sistem


kardiovaskuler atau kelainan struktur paru-paru. Gejala
defisiensi tembaga yang paling tragis adalah kematian
mendadak akibat pecahnya pembuluh darah utama atau
jantungnya. Defisiensi tembaga padaa anaak ayam
menyebakan aorta pecah. Keracunan tembaga termasuk
diare dengan feses biru-hijau hemolisis akut dan kelainan
fungsi ginjal.

j. Selenium (2,3)
Selenium adalah unsur penting glutation
peroksidase, suatu enzim yang peranannya sebagai
antioksidan intarseluler yang sangat mirip dengan fungsi
serupa vitamin E atau -tokoferol. Sebagian besar selenium
dalam makanan berbentuk asam amino selenometionin.
Hanya satu fungsi enzimatik selenium yang diketahui.
Selenium adalah unsur penting dari glutation peroksidase.
Enzim ini dapat menghancurkan hidrogen peroksida dan
hidrioperoksida-hidroperoksida oerganik dengan
pengurangan ekuivalen dari glutation. Peranan fisiologis
yang pasti dari glutation peroksidase yang bergantung pada
selenium masih belum jelas karena katalase juga mampu
memindahkan hidrogen peroksida dan glutation peroksida
yang tidak bergantung padaa selenium juga mampu
memindahkan hidroperoksida organik. Jadi selenoenzim
mungkin berfungsi sebagai penahan oksidan tetapi fungsi
alternatif juga telah ada.
Defisiensi selenium menyebabkan dilatasi jantung
dan menyebabkan payah jantung kongestif. Defisensi pada
47

ayam menyebabkan diatesis eksudatif. Vitamin E dapat


mencegah kejadian tersebut, disamping faktor III. Yang
mengandung selenium organis. Selenium mempunyai
pengaruh penting terhadap metabolisme merkuri.
Mekanisme keracunan selenium sampai saat ini belum
diketahui. Tanda dini keracunan selenium adalah nafas
berbau bawang putih akibat pengeluaran dimetilselenida.

k. Flour (2,3)
Enamel gigi dikuatkan oleh flour yang
menggantikan ion hidroksil kristal hidroksiapatit pada
matriks mineral enamel. Flouropatit yang dihasilkan lebih
tahan terhadap kerusakan kimiawi maupun fisis. Flour
diikat ke dalam enamel selama tahap mineralisasi
pembentukan gigi dan oleh interaksi pada permukaan gigi
setelah erupsi. Flour juga merupakan pembentuk mineral
tulang dan dapat melindungi terhadap oesteoporosis pada
usia lanjut.
Karena kekhawatiran mengenai risiko flourosis.,
suplementasi flourida untuk bayi dibawah usia 6 bulan
tidak diperbolehkan. Susu formula komersial dibuat dengan
air deflouridasi dan hanya mengandung sejumlah kecil
flour. Bayi berusia lebih dari 6 bulan yang hanya mendapat
susu formula siap minum atau mendapat ASI ekslusif
mungkin membutuhkan suplementasi flour. Kandungan
flour ASI rendah dan tidak dipengaruhi secara bermakna
oleh makanan ibu. Kadar flour pada sumber air minum
anak harus diketahui terlebih dahulu sebelum memberikan
48

suplementasi flour. Bila konsenterasi flour dalam air


minum kurang dari 0,3 ppm, suplementasi sebesar 0,25
mg/hari direkomendasikan untuk bayi dan anak usia 6
bulan sampai 3 tahun.
Tabel 1 : Karakteristik defisiensi Trace Mineral. (2)

K. Obesitas
Obesitas merupakan keadaan patologois dengan
terdapatnya penimbunan lemak yang berlebihan daripada yang
diperlukan untuk fungsi tubuh. Banyak cara telah dikembangkan
untuk menentukan banyaknya lemak, misalnya : (5)
 Penentuan berat terhadap tinggi, umur, tipe tubuh
 Mengukur tebal lipat kulit di beberapa tempat, misalnya
bagian trisep, subskapula, suprailiaka, dan sebagainya.
49

Penyebab obesitas
Keadaan obesitas terjadi jika makanan sehari-harinya
mengandung energy yang melebihi kebutuhan anak yang
bersangkutan. Biasanya terdapat pada anak yang cepat merasa
lapar dan tidak mau menahan rasa laparnya. Pada umumnya
berbagai faktor menentukan keadaan obesitas seseorang seperti : (5)
 Herediter
 Bangsa atau suku
 Gangguan emosi
 Gangguan hormonal
Gejala klinis penderita obesitas
 Anak terlihat sangat gemuk
 Pada umumnya anak demikian lebih tinggi daripada anak
normal seumuran
 Sering terlihat dagu yang berganda
 Buah dada seolah-olah berkembang
 Perut menggantung ke bawah
 Penis pada anak laki-laki terlihat kecil, oleh karena organ
tersebut tersembunyi dalam jaringan lemak pubis(5)

Klasifikasi

Menurut gejala klinisnya obesitas dibagi menjadi: (6)

a) Obesitas sederhana (simple obesity)


Terdapat gejala kegemukan saja tanpa disertai kelainan
hormonal atau mental atau fisik lainnya. obesitas ini terjadi
karena faktor nutrisi.
b) Bentuk khusus obesitas
 Kelainan endokrin/ hormonal yang tersering adalah
sindrom cushing yang terjadi pada anak yang
sensitif terhadap pengobatan dengan hormon steroid.
50

 Kelainan somatodisformik. sindrom prader-willi,


sindrom Summit dan carpenter, sindrom Lawrence
Moon bield, sindrom cohen. Obesitas pada kelainan
ini hampir selalu disertai retardasi mental dan
kelainan ortopedi.
 Kelainan hipotalamus. Kelainan pada hipotalamus
mempengaruhi nafsu makan dan berakibat obesitas.
kelainan dapat disebabkan oleh craniopharyngioma,
lekemia cerebral trauma kepala dan lain-lain.
Berat badan(kg)
IMT= 2
Tinggi badan(m)

Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa berdasarkan IMT
menurut WHO : (6)
Klasifikasi IMT (kg/m2)
Berat badan kurang <18.5
Kisaran normal 18.5-24.9
Berat badan lebih >25
Pra-obes 25.0-29.9
Obes tingkat I 30.0-34.9
Obes tingkat II 35.0-39.9
Obes tingkat III >40

Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT dan


lingkar perut menurut kriteria asia pasifik: (6)

 (Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam)



51

Penegakan diagnosis

Diagnosis obesitas didasarkan pada hal-hal sebagai berikut : (7)

a) Hitung indeks massa tubuh (IMT), yaitu BB (kg) dibagi


tinggi badan (m) kuadrat.
b) Anamnesis keluarga:
 Identifikasi obesitas pada keluarga terdekat (ayah-
ibu)
 Evaluasi adanya penyakit kardiovaskular, diabetes
Tipe 2 dan kanker pada keluarga.
c) Diet
 Identifikasi Siapa yang memberi makan anak
 Identifikasi makanan tinggi kalori dan mempunyai
nilai gizi rendah yang dapat dikurangi, dieliminasi
atau diganti
 Teliti pola makan misalnya waktu kandungan gizi,
lokasi maka, dan jenis makanan kecil (snack).
d) Aktivitas
 Identifikasi hambatan untuk beraktivitas misalnya
ke sekolah jalan kaki / naik sepeda / naik mobil
 Evaluasi waktu yang digunakan untuk bermain
 Evaluasi waktu istirahat di sekolah Apakah
digunakan untuk beraktivitas, olahraga di sekolah:
frekuensi, lama, dan intensitasnya
 Tanyakan aktivitas Sesudah sekolah dan pada akhir
pekan
52

 Tanyakan waktu yang digunakan untuk Menatap


layar (TV video game dan lainnya)
e) Gejala lain
Identifikasi gejala-gejala lain atau komplikasi yang
menyertai obesitas
Terapi Farmakologi
Secara umum farmakoterapi untuk obesitas dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu penekan nafsu makan (sibutramin), penghambat
absorbsi zat-zat gizi (orlistat), dan rekombinan leptin untuk
obesitas karena defisiensi leptin bawaan, serta kelompok obat
untuk mengatasi komorbiditas (metformin). Belum tuntasnya
penelitian tentang efek jangka panjang penggunaan farmakoterapi
obesitas pada anak, menyebabkan belum ada satupun
farmakoterapi tersebut di atas yang diijinkan pemakaiannya pada
anak di bawah 12 tahun oleh U.S. Food and Drug Administration
sampai saat ini. Sejak tahun 2003, Orlistat 120 mg dengan ekstra
suplementasi vitamin yang larut dalam lemak disetujui oleh U.S.
Food and Drug Administration untuk tata laksana obesitas pada
remaja di atas usia 12 tahun. Studi klinis menunjukkan bahwa
orlistat dapat membantu menurunkan berat badan dari 1,31 sampai
3,37 kg lebih banyak dibandingkan plasebo.
Sibutramin berfungsi menimbulkan rasa kenyang dan
meningkatkan pengeluaran energi dengan menghambat ambilan
ulang (reuptake) noraderenalin dan serotonin. Penggunaan obat
tersebut pernah diijinkan oleh U.S. Food and Drug
Administration pada remaja yang berusia ≥ 16 tahun.10,79
Sebagian besar studi, review, dan penelitian yang menggunakan
sibutramin pada remaja dan anak menunjukkan manfaat jangka
pendek yang terbatas. Studi SCOUT (Sibutramine Cardiovasular
Outcomes) menunjukkan peningkatan kejadian efek simpang
mayor kardiovaskular sebesar 16% pada pasien yang diterapi
53

sibutramin dibandingkan pasien yang mendapat plasebo.


Pemberian sibutramin juga tidak menghasilkan penurunan berat
badan yang bermakna dibandingkan plasebo. Berdasarkan
penelitian ini, pada tahun 2010 FDA merekomendasikan
penghentian pemberian sibutramin dan menginstruksikan produsen
agar menarik sibutramin dari pasar.
Metformin merupakan obat yang digunakan pada diabetes
melitus tipe-2 tetapi sering disalahgunakan sebagai farmakoterapi
untuk obesitas. Review sistematik mengenai penggunaan
metformin untuk obesitas pada anak dan remaja memperoleh hasil
penggunaan metformin jangka pendek memberikan efek penurunan
IMT dan resistensi insulin pada anak dan remaja obes dengan
hiperinsulinemia81, tetapi belum cukup bukti untuk menyatakan
bahwa obat tersebut dapat berperan dalam tata laksana overweight
atau obesitas tanpa hiperinsulinemia. (7)
Terapi obesitas pada anak
Tidak terdapatnya keseimbangan antara masukan dan
pemakaian energy, dalam hal mana masukan jauh melampaui
kebutuhan, merupakan penyebab terjadinya keadaan obesitas,
maka pengobatan obesitas dalam prinsipnya harus sebagai
berikut : (5)
 Mengurangi masukan energy
 Memperbesar penggunaannya
Sebelum mulai dengan pengobatan sebaiknya diketahui
lebih dulu mengenai : (5)
 Umur dimulainya obesitas
 Ada atau tidaknya obesitas dalam keluarga
 Kebiasaan makan dan keadaan lain yang dapat
menyebabkan obesitas
 Aktivitas sehari-harinya
54

 Ada atau tidaknya kelainan endokrin, seperti


hipotiroidisme
Terapi dietetik
Berlainan dengan orang dewasa, anak masih bertumbuh.
Menurunkan berat badan sangat drastic dapat menghentikan juga
pertumbuhannya. Pada obesitas yang sedang adakalanya mereka
tidak makan terlalu banyak, melainkan aktivitas fisiknya yang
sangat kurang, hingga terjadi ketidakseimbangan antara intake
dengan expenditure. Dalam hal ini mengurangi jumlah makanan
sehari-harinya untuk menurunkan berat badan dapat mengganggu
pertumbuhan tingginya. Mempertinggi expenditure dengan latihan
jasmani yang lebih intensif merupakan pilihan utama.
Pada obesitas berat latihan jasmani saja tidak akan
menolong sehingga harus bersama-sama dengan terapi dietetic.
Jumlah energy sehari-harinya harus dikurangi sehingga tubuh
mengambil kekurangannya dari jaringan lemak tubuh sebagai
sumber energy tanpa mengurangi pertumbuhnannya. Diet rendah
energy tersebut harus mengandung cukup zat-zat gizi yang
esensial. (5)

L. GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium)


a. Definisi
Defisiensi yodium di suatu wilayah memengaruhi
baik manusia maupun cadangan bahan pangan. Defisiensi
yang berlangsung lama akan mengganggu fungsi kelenjar
tiroid, yang secara perlahan menyebabkan kelenjar ini
membesar sehingga menyebabkan gondok. Istilah ini
digunakan untuk setiap pembesaran kelenjar tiroid.
Defisiensi yodium akan menguras cadangan yodium serta
mengurangi produksi T4. Penurunan kadar T4 dalam darah
memicu sekresi TSH yang selanjutnya menyebabkan
55

kelenjar tiroid bekerja lebih giat sehingga terjadi


pembesaran (hiperplasi).
Pada saat ini efisiensi pemompaan yodium
bertambah, bersamaan dengan percepatan pemecahan
yodium dalam kelenjar. Rendahnya kadar hormon tiroid
dalam aliran darah juga menyebabkan penghambatan
pertumbuhan serta perkembangan manusia. Pengaruh ini
terlihat pada perkembangan otak selama pertumbuhan
berlangsung dengan cepat, yaitu semasa janin, bayi atau
anak kecil (batita). Kretin merupakan dampak terberat pada
anak, dampak ini yang akan timbul manakala asupan
yodium kurang dari 25 µg/hari (asupan normal 80 – 150
µg/hari) sehingga memburamkan masa depan. (3)
b. Etiologi
Kekurangan konsumsi yodium (3)
c. Status Gizi Pasien
Pada pasien GAKY berstatus gizi stunted. Hal
tersebut dapat terjadi dikarenakan salah satu unsur
essensial(yodium) yang berpengaruh terhadap pembentukan
hormon pertumbuhan tidak dapat terpenuhi. Asupan
yodium yang kurang dapat menyebabkan kerja sel-sel
dalam tubuh tidak efektif,penyerapan kalsium pada tulang
terhambat, terganggunya metabolisme karbohidrat dan
protein, sehingga pertumbuhan tinggi badan terhambat.
d. Faktor risiko
 Genetik,
Faktor genetik dalam hal ini adalah variasi
individual terhadap kejadian GAKY dan
mempunyai kecenderungan untuk mengalami
gangguan kelenjar tiroid. Faktor genetik banyak
56

disebabkan karena abnormalitas fungsi fisiologis


kelenjar tiroid.
 Faktor geografis seperti pada dataran tinggi.
GAKY biasanya didapatkan pada dataran
tinggi atau pegunungan karena yodium yang berada
di lapisan tanah paling atas terkikis oleh banjir atau
hujan dan berakibat tumbuh-tumbuhan, hewan, dan
air di wilayah ini mengandung yodium yang rendah.
(3)

e. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis


Defisiensi yodium akan menguras cadangan yodium
serta mengurangi T4. Penurunan kadar T4 dalam darah
memicu sekresi TSH yang kemudian meningkatkan
kegiatan kelenjar tiroid, untuk selanjutnya menyokong
terjadinya hyperplasia tiroid. Efisiensi pemompaan yodium
bertambah dan dibarengi dengan kecepatan pemecahan
yodium tiroid : sebuah proses yang dapat ditunjukkan
dengan meningkatkan asupan yodium tiroid radioaktif
isotope dan yodium.
Defisiensi yodium pada janin merupakan dampak
dari kekurangan pada ibu. Keadaan ini berkaitan dengan
meningkatnya insidensi lahir mati, aborsi, cacat lahir, dan
semua ini sesungguhnya dapat dicegah melalui intervensi
yang tepat. Pengaruh ini serupa dengan pengaruh pada
wanita yang menderita hipotiroidisme yang dapat diobati
dengan pengobatan pengganti hormone tiroid. Pengaruh
utama defisiensi yodium pada janin ialah kretinisme
endemis, yang sangat berkaitan dengan bentuk sporadic.
Bentuk kretinisme endemis akan timbul manakala lebih
dari 10% penduduk mengasup yodium <25 µg/hari. Gejala
khas kretinisme terbagi menjadi dua jenis, yaitu jenis saraf
57

dan bentuk miksedema. Jenis yang pertama menampilkan


tanda dan gejala seperti kemunduran mental, bisu tuli, dan
diplegia spastik. Bentuk terakhir memperlihatkan tanda
khas hipotiroidisme serta dwarfisme. (3)
Defisiensi pada bayi baru lahir selain berpengaruh
pada angka kematian, keberfungsian tiroid pada bayi baru
lahir terhubung dengan kenyataan bahwa otak bayi baru
lahir hanya sepertiga ukuran normal otak orang dewasa.
Otak bayi akan terus berkembang dengan cepat hingga
akhir tahun kehidupan. Hormone tiroid yang sangat
bergantung pada kecukupan asupan yodium sangat penting
dalam perkembangan otak normal. Kekurangan yang parah
dan berlangsung lama akan memengaruhi fungsi tiroid bayi
yang kemudian mengancam perkembangan otak secara
dini. (3)
Defisiensi pada yodium pada anak secara khas
terpaut dengan insidensi gondok. Angka kejadian gondok
meningkat bersama usia dan mencapai puncaknya setelah
remaja. Prevalensi gondok pada anak perempuan lebih
tinggi ketimbang anak laki-laki. Penelitian terhadap anak
sekolah yang tinggal di daerah endemis menunjukkan
gangguan kinerja belajar serta nilai kecerdasan. (3)
Skema :

Kurangnya asupan yodium

Terganggunya proses pembentukan hormon tiroid

Hormon tiroid tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh

Hipofisis menerima sinyal bahwa tubuh kekurangan yodium


58

Hipofisis terstimulasi

TSH kedalam aliran darah

Kelenjar tiroid terpacu untuk mensekresikan hormon tiroid

Jangka waktu yang lama

Kelenjar tiroid membesar

Gondok

f. Penatalaksanaan (3)
 Memberikan edukasi pada masyarakat dalam hal
merubah pola perilaku makan dan
memasyarakatkan pemakaian garam yodium.
 Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber
yodiu. Peningkatan kadar yodium secara bermakna
dalam air susu dan daging pada akan bertindak
sebagai wahana pembawa yodium bagi konsumen
manusia.
 Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol)
pada penduduk didaerah endemik berat dan
endemik sedang.
 Memberikan suntikan yodium dalam minyak
(lipiodol 40%) diberikan 3 tahun sekali dengan
dosis untuk anak-anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8cc
dan dosis untuk anak-anak lebih dari 6 tahun dan
dewasa 1cc.
59

M. KEP (kurang energi dan protein)


a. Pengertian dan etiologi Kurang Energi Protein (KEP)
KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan
oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam
makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka
Kecukupan Gizi (AKG). Faktor penyebab yang dapat
menimbulkan kekurangan energi protein yaitu: (3)
 Sosial ekonomi yang rendah.
 Sukar atau mahalnya makanan yang baik.
 Kurangnya pengertian orang tua mengenai gizi.
 Kurangnya faktor infeksi pada anak (misal: diare).
 Kepercayaan dan kebiasaan yang salah terhadap
makanan (misal: tidak makan daging atau telur
disaat luka).
b. Klasifikasi KEP
Untuk tingkat puskesmas penentuan KEP yang dilakukan
dengan menimbang BB anak dibandingkan dengan umur
dan menggunakan KMS dan Tabel BB/U Baku Median
WHO-NCHS tentang penilaian status gizi : (3)
 KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan
pada KMS terletak pada pita warna kuning.
Diberikan penyuluhan gizi dan nasehat pemberian
makanan di rumah dan pemberian vitamin.
Dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif (Bayi
<4 bulan) dan terus memberikan ASI sampai 2
tahun. Pada pasien KEP ringan yang dirawat inap
untuk penyakit lain, diberikan makanan sesuai
dengan penyakitnya dengan tambahan energi
sebanyak 20% agar tidak jatuh pada KEP sedang
atau berat, serta untuk meningkatkan status gizinya.
Selain itu obati penyakit penyerta.
60

 KEP sedang bila hasil penimbangan berat badan


pada KMS terletak di Bawah Garis Merah (BGM).
a) Penderita rawat jalan (di RS/Puskesmas):
diberikan nasehat pemberian makanan
dengan tambahan energi 20–50% dan
vitamin serta teruskan ASI bila anak <2
tahun. Pantau kenaikan berat badannya
setiap 2 minggu dan obati penyakit penyerta.
b) Penderita rawat inap: diberikan makanan
tinggi energi dan protein, secara bertahap
sampai dengan energi 20-50% di atas
kebutuhan yang dianjurkan (Angka
Kecukupan Gizi/AKG) dan diet sesuai
dengan penyakitnya, berat badan dipantau
setiap hari, selain itu diberi vitamin dan
penyuluhan gizi. Setelah penderita sembuh
dari penyakitnya, tapi masih menderita KEP
ringan atau sedang, rujuk ke puskesmas
untuk penanganan masalah gizinya.
 KEP berat/gizi buruk bila hasil penimbangan BB/U
<60% baku median WHO-NCHS. Pada KMS tidak
ada garis pemisah KEP berat/Gizi buruk dan KEP
sedang, sehingga untuk menentukan KEP berat/gizi
buruk digunakan Tabel BB/U Baku Median WHO-
NCHS.
Pada tata laksana rawat inap penderita KEP
berat/Gizi buruk di Rumah Sakit terdapat 5 (lima)
aspek penting, yang perlu diperhatikan:
a) Prinsip dasar pengobatan rutin KEP
berat/Gizi buruk (10 langkah utama)
b) Pengobatan penyakit penyerta
61

c) Kegagalan pengobatan
d) Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas
e) Tindakan pada kegawatan.

c. Gejala klinis beserta Patofisiologi Balita KEP berat/Gizi


buruk
Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang
ditemukan hanya anak tampak kurus karena kekurangan
asupan protein dan kalori akhirnya menyebabkan intake
nutrisi yang tidak adekuat dan tubuh kekurangan nutrisi
lebih sebab kalori yang di butuhkan pun meningkat sebagai
kompensasinya. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara
garis besar dapat dibedakan sebagai marasmus,
kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor. Tanpa
mengukur/melihat BB bila disertai edema yang bukan
karena penyakit lain adalah KEP berat/Gizi buruk tipe
kwasiorkor. (3)
Kwasiokor :
 Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada
punggung kaki (dorsum pedis). Edem disebabkan
karena cairan intravaskular ke intrastisial meningkat
sebagai kompensasi dari tekanan osmotik yang
menurun yang di sebabkan oleh produksi albumin
dihepar menurun
 Wajah membulat dan sembab juga di sebabkan hal
yang sama dengan edema.
 Pandangan mata sayu karena kurangnya asupan
vitamin dan mineral.
 Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut
jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok juga
disebabkan karena kurangnya asupan vitamin dan
62

mineral sehingga pertumbuhan rambut tidak


sempurna.
 Perubahan status mental, apatis, dan rewel
 Pembesaran hati dikarenakan detoksifikasi dihepar
menurun.
 Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa
pada posisi berdiri atau duduk disebabkan oleh
energi yang dibutuhkan tubuh berlebih namun
sumber lemak yang ada ditubuh sedikit akhirnya
pengambilan lemak simpanan di otot meningkat dan
menyebabkan otot atrofi.
 Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang
meluas dan berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy pavement
dermatosis) karena cadangan lemak di bawah kulit
pun diambil untuk memenuhi kebutuhan lemak
yang kurang di tubuh dan menyebabkan lemak
subkutan hilang dan penyusutan jaringan akhirnya
terjadilah perubahan pada integumen. Sering
disertai : penyakit infeksi seperti contohnya adalah
diare. (3)
63

Gambar 7. Penderita Kwashiorkor (3)


Marasmus :
 Tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus
kulit, iga gambang dan perut cekung karena
sedikitnya lemak yang ada di dalam tubuh.
 Wajah seperti orang tua
 Cengeng, rewel
 Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit
sampai tidak ada (baggy pant/pakai celana longgar)
karena cadangan lemak di bawah kulit pun diambil
untuk memenuhi kebutuhan lemak yang kurang di
tubuh dan menyebabkan lemak subkutan hilang dan
penyusutan jaringan akhirnya terjadilah perubahan
pada integumen.
 Sering disertai: penyakit infeksi (umumnya kronis
berulang), dan diare kronik atau konstipasi/susah
buang air. (3)
64

Gambar 8. Penderita Marasmus (3)


Kwasiokor dan Marasmus :
Gambaran klinik merupakan campuran dari
beberapa gejala klinik Kwashiorkor dan Marasmus, dengan
BB/U <60% baku median WHO-NCHS disertai edema
yang tidak mencolok. (3)
d. Pelayanan Gizi
Pelayanan Gizi pada anak dengan KEP berat/Gizi
buruk di rumah sakit meliputi pelayanan rawat jalan, rawat
inap dan pelayanan rujukan.
Pada dasarnya setiap anak yang berobat atau dirujuk
ke rumah sakit dilakukan pengukuran berat badan (BB) dan
tinggi badan (TB) untuk menentukan status gizinya, selain
melihat tanda-tanda klinis dan bila perlu pemeriksaan
laboratorium. Penentuan status gizi ini diperkuat dengan
menanyakan riwayat makan. (6)
Dari hasil penentuan status gizi maka direncanakan
tindakan sebagai berikut: (6)
i. KEP ringan
Diberikan penyuluhan gizi dan nasehat
pemberian makanan di rumah dan pemberian
vitamin. Dianjurkan untuk memberikan ASI
65

eksklusif (Bayi <4 bulan) dan terus memberikan


ASI sampai 2 tahun. Pada pasien KEP ringan yang
dirawat inap untuk penyakit lain, diberikan
makanan sesuai dengan penyakitnya dengan
tambahan energi sebanyak 20% agar tidak jatuh
pada KEP sedang atau berat, serta untuk
meningkatkan status gizinya. Selain itu obati
penyakit penyerta.
ii. KEP sedang
 Penderita rawat jalan (di RS/Puskesmas):
diberikan nasehat pemberian makanan
dengan tambahan energi 20–50% dan
vitamin serta teruskan ASI bila anak <2
tahun. Pantau kenaikan berat badannya
setiap 2 minggu dan obati penyakit penyerta.
 Penderita rawat inap: diberikan makanan
tinggi energi dan protein, secara bertahap
sampai dengan energi 20-50% di atas
kebutuhan yang dianjurkan (Angka
Kecukupan Gizi/AKG) dan diet sesuai
dengan penyakitnya, berat badan dipantau
setiap hari, selain itu diberi vitamin dan
penyuluhan gizi. Setelah penderita sembuh
dari penyakitnya, tapi masih menderita KEP
ringan atau sedang, rujuk ke puskesmas
untuk penanganan masalah gizinya.
iii. KEP berat/Gizi buruk
Pada tata laksana rawat inap penderita KEP
berat/Gizi buruk di Rumah Sakit terdapat 5 (lima)
aspek penting, yang perlu diperhatikan:
66

 Prinsip dasar pengobatan rutin KEP


berat/Gizi buruk (10 langkah utama)
 Pengobatan penyakit penyerta
 Kegagalan pengobatan
 Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas
 Tindakan pada kegawatan.
PENILAIAN STATUS GIZI
a) Pemeriksaan status gizi anak berdasarkan indeks
berat badan menurut panjang bdan (BB/PB) atau
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) untuk
anak umur 0 - 60 bulan. (6)

Gambar 9. Tabel status gizi berdasarkan berat badan


menurut tinggi badan (6)

b) Pengukuran status gizi anak berdasarkan indeks


massa tubuh menurut umur (IMT/U) untuk anak
umur 60 - 72 bulan. (8)
67

Gambar 10. Tabel status gizi berdasarkan indeks massa


tubuh menurut umur(6)

c) Pemeriksaan status gizi anak berdasarkan indeks


panjang / tinggi badan menurut untuk anak umur
usia 0 – 60 bulan.

Gambar 11. Tabel status gizi berdasarkan panjang badan


menurut umur (6)

d) Pemeriksaan lingkar kepala untuk anak usia 0 - 72


bulan
68

Gambar 12. Tabel status gizi berdasarkan lingkar kepala


anak (6)

PRINSIP DASAR PENGOBATAN RUTIN KEP


BERAT/GIZI BURUK

Bagan dan jadwal pengobatan sebagai berikut:

Gambar 13. Jadwal pengobatan anak gizi buruk. (6)

Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah sakit berupa 10


langkah penting yaitu : (7)
69

a. Atasi/cegah hipoglikemia

Hipoglikemia merupakan salah satu


penyebab kematian pada anak dengan KEP
berat/Gizi buruk. Pada hipoglikemia, anak terlihat
lemah, suhu tubuh rendah. Jika anak sadar dan dapat
menerima makanan usahakan memberikan makanan
saring/cair 2-3 jam sekali. Jika anak tidak dapat
makan (tetapi masih dapat minum) berikan air gula
dengan sendok. Jika anak mengalami gangguan
kesadaran, berikan infus cairan glukosa dan segera
rujuk ke RSU kabupaten.

b. Atasi/cegah hipotermia

Hipotermia ditandai dengan suhu tubuh yang


rendah dibawah 360 C. Pada keadaan ini anak harus
dihangatkan. Cara yang dapat dilakukan adalah ibu
atau orang dewasa lain mendekap anak di dadanya
lalu ditutupi selimut (Metode Kanguru). Perlu
dijaga agar anak tetap dapat bernafas.

Cara lain adalah dengan membungkus anak


dengan selimut tebal, dan meletakkan lampu
didekatnya. Lampu tersebut tidak boleh terlalu
dekat apalagi sampai menyentuh anak. Selama masa
penghangatan ini dilakukan pengukuran suhu anak
pada dubur (bukan ketiak) setiap setengah jam
sekali. Jika suhu anak sudah normal dan stabil, tetap
dibungkus dengan selimut atau pakaian rangkap
agar anak tidak jatuh kembali pada keadaan
hipothermia. Tidak dibenarkan penghangatan anak
dengan menggunakan botol berisi air panas
70

c. Atasi/cegah dehidrasi

Tanda klinis yang sering dijumpai pada anak


penderita KEP berat/Gizi buruk dengan dehidrasi
adalah :

a) Ada riwayat diare sebelumnya

b) Anak sangat kehausan

c) Mata cekung

d) Nadi lemah

e) Tangan dan kaki teraba dingin

f) Anak tidak buang air kecil dalam waktu


cukup lama.

Tindakan yang dapat dilakukan adalah :


a) Jika anak masih menyusui, teruskan ASI dan
berikan setiap setengah jam sekali tanpa
berhenti. Jika anak masih dapat minum,
lakukan tindakan rehidrasi oral dengan
memberi minum anak 50 ml (3 sendok
makan) setiap 30 menit dengan sendok.
Cairan rehidrasi oral khusus untuk KEP
disebut ReSoMal.
b) Jika tidak ada ReSoMal untuk anak dengan
KEP berat/Gizi buruk dapat menggunakan
oralit yang diencerkan 2 kali. Jika anak tidak
dapat minum, lakukankan rehidrasi intravena
(infus) cairan Ringer Laktat/Glukosa 5 %
dan NaCL dengan perbandingan 1:1.
KEP berat/gizi buruk yang dirujuk ke rsu
harus dilakukan tindakan pra rujukan untuk
mengatasi hipoglikemi, hipotermia, dan dehidrasi
71

d. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit

Pada semua KEP berat/Gizi buruk terjadi


gangguan keseimbangan elektrolit diantaranya :

 Kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun


kadar Na plasma rendah.

 Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg)

Ketidakseimbangan elektrolit ini memicu


terjadinya edema dan, untuk pemulihan
keseimbangan elektrolit diperlukan waktu paling
sedikit 2 minggu. Berikan :
 Makanan tanpa diberi garam/rendah garam
 Untuk rehidrasi, berikan cairan oralit 1 liter
yang diencerkan 2 X (dengan penambahan
1 liter air) ditambah 4 gr KCL dan 50 gr
gula atau bila balita KEP bisa makan
berikan bahan makanan yang banyak
mengandung mineral (Zn, Cuprum,
Mangan, Magnesium, Kalium) dalam
bentuk makanan lumat/lunak
Contoh bahan makanan sumber mineral :
 Sumber Zink : daging sapi, hati, makanan
laut, kacang tanah, telur ayam Sumber
Cuprum : daging, hati.
 Sumber Mangan : beras, kacang tanah,
kedelai.
 Sumber Magnesium : kacang-kacangan,
bayam.
72

 Sumber Kalium : jus tomat, pisang,


kacang2an, apel, alpukat, bayam, daging
tanpa lemak.
e. Obati/cegah infeksi

Pada KEP berat/Gizi buruk, tanda yang umumnya


menunjukkan adanya infeksi seperti demam
seringkali tidak tampak, oleh karena itu pada semua
KEP berat/Gizi buruk secara rutin diberikan
antibiotik spektrum luas dengan dosis sebagai
berikut:

Gambar 14. Tabel pemberian antibiotik (7)


Vaksinasi Campak bila anak belum
diimunisasi dan umur sudah mencapai 9 bulan
Catatan :
 Mengingat pasien KEP berat/Gizi buruk
umumnya juga menderita penyakit infeksi,
maka lakukan pengobatan untuk mencegah
agar infeksi tidak menjadi lebih parah. Bila
tidak ada perbaikan atau terjadi komplikasi
rujuk ke Rumah Sakit Umum.
73

 Diare biasanya menyertai KEP berat/Gizi


buruk, akan tetapi akan berkurang dengan
sendirinya pada pemberian makanan secara
hatihati. Berikan metronidasol 7,5 mg/Kgbb
setiap 8 jam selama 7 hari. Bila diare
berlanjut segera rujuk ke rumah sakit
Bila diare berlanjut atau memburuk anak
segera dirujuk ke rumah sakit
f. Mulai pemberian makanan

Fase Stabilisasi ( 1-2 hari)

Pada awal fase stabilisasi perlu pendekatan


yang sangat hati-hati, karena keadaan faali anak
sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang.
Pemberian makanan harus dimulai segera setelah
anak dirawat dan dirancang sedemikian rupa
sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi
metabolisma basal saja. Formula khusus seperti
Formula WHO 75/modifikasi/Modisco ½ yang
dianjurkan dan jadwal pemberian makanan harus
disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai
prinsip tersebut diatas dengan persyaratan diet
sebagai berikut :
 Porsi kecil, sering, rendah serat dan rendah
laktosa
 Energi : 100 kkal/kg/hari - Protein : 1-1.5
gr/kg bb/hari
 Cairan : 130 ml/kg bb/hari (jika ada edema
berat 100 ml/Kg bb/hari)
 Bila anak mendapat ASI teruskan ,
dianjurkan memberi Formula WHO 75 /
74

pengganti / Modisco ½ dengan menggunakan


cangkir / gelas, bila anak terlalu lemah
berikan dengan sendok/pipe
 Pemberian Formula WHO 75 / pengganti /
Modisco ½ atau pengganti dan jadwal
pemberian makanan harus disusun sesuai
dengan kebutuhan anak
Keterangan :
 Pada anak dengan selera makan baik dan
tidak edema, maka tahapan pemberian
formula bisa lebih cepat dalam waktu 2-3
hari (setiap 2 jam)
 Bila pasien tidak dapat menghabiskan
Formula WHO 75/ pengganti/Modisco ½
dalam sehari, maka berikan sisa formula
tersebut melalui pipa nasogastrik
( dibutuhkan ketrampilan petugas )
 Pada fase ini jangan beri makanan lebih dari
100 Kkal/Kg bb/hari
 Pada hari 3 s/d 4 frekwensi pemberian
formula diturunkan menjadi setiap jam dan
pada hari ke 5 s/d 7 diturunkan lagi menjadi
setiap 4 jam
 Lanjutkan pemberian makan sampai hari ke
7 (akhir minggu 1) Pantau dan catat :
- Jumlah yang diberikan dan sisanya
- Banyaknya muntah
- Frekwensi buang air besar dan
konsistensi tinja
- Berat badan (harian) - selama fase ini
diare secara perlahan berkurang pada
75

penderita dengan edema, mula-mula


berat badannya akan berkurang
kemudian berat badan naik
g. Fasilitasi tumbuh-kejar (“catch up growth”)

Fase Transisi (minggu ke 2)


 Pemberian makanan pada fase transisi
diberikan secara berlahanlahan untuk
menghindari risiko gagal jantung, yang dapat
terjadi bila anak mengkonsumsi makanan
dalam jumlah banyak secara mendadak.
 Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal
dan protein 0.9-1.0 g per 100 ml) dengan
formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal
dan protein 2.9 gram per 100 ml) dalam
jangka waktu 48 jam.
 Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat
digunakan asalkan dengan kandungan energi
dan protein yang sama. Kemudian naikkan
dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya
sedikit formula tersisa, biasanya pada saat
tercapai jumlah 30 ml/kgbb/kali pemberian
(200 ml/kgbb/hari).
Pemantauan pada fase transisi:
 Frekuensi nafas
 Frekwensi denyut nadi bila terjadi
peningkatan detak nafas > 5 kali/menit dan
denyut nadi > 25 kali /menit dalam
pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi
volume pemberian formula. Setelah normal
76

kembali, ulangi menaikkan volume seperti di


atas.
 Timbang anak setiap pagi sebelum diberi
makan
Setelah fase transisi dilampaui, anak diberi:
 Formula WHO 100/pengganti/Modisco 1
dengan jumlah tidak terbatas dan sering.
 Energi : 150-220 Kkal/kg bb/hari
 Protein 4-6 gram/kg bb/hari
 Bila anak masih mendapat ASI, teruskan,
tetapi juga beri formula WHO
100/Pengganti/Modisco 1, karena energi dan
protein ASI tidak akan mencukupi untuk
tumbuh-kejar.
Setelah fase rehabilitasi (minggu ke 3-7) anak diberi:
 Formula WHO-F 135/pengganti/Modisco 1½
dengan jumlah tidak terbatas dan sering
 Energi : 150-220 kkal/kgbb/hari
 Protein 4-6 g/kgbb/hari
 Bila anak masih mendapat ASI, teruskan
ASI, ditambah dengan makanan Formula
( lampiran 2 ) karena energi dan protein ASI
tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar.
 Secara perlahan diperkenalkan makanan
keluarga
Pemantauan fase rehabilitasi
Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan
pertambahan badan :
a) Timbang anak setiap pagi sebelum diberi
makan.
77

b) Setiap minggu kenaikan bb dihitung.


 Baik bila kenaikan bb  50 g/Kg
bb/minggu.
 Kurang bila kenaikan bb < 50 g/Kg
bb/minggu, perlu re-evaluasi
menyeluruh.
h. Koreksi defisiensi nutrien mikro

Semua pasien KEP berat/Gizi buruk,


mengalami kurang vitamin dan mineral. Walaupun
anemia biasa terjadi, jangan tergesa-gesa
memberikan preparat besi (Fe). Tunggu sampai
anak mau makan dan berat badannya mulai naik
(biasanya pada minggu ke 2. Pemberian besi pada
masa stabilisasi dapat memperburuk keadaan
infeksinya.
i. Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan
emosi/mental

Pada KEP berat/gizi buruk terjadi


keterlambatan perkembangan mental dan perilaku,
karenanya berikan :

 Kasih saying

 Ciptakan lingkungan yang menyenangkan

 Lakukan terapi bermain terstruktur selama 15


– 30 menit/hari

 Rencanakan aktifitas fisik segera setelah


sembuh

 Tingkatkan keterlibatan ibu (memberi


makan, memandikan, bermain dsb)
78

j. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut setelah


sembuh.

Bila berat badan anak sudah berada di garis


warna kuning anak dapat dirawat di rumah dan
dipantau oleh tenaga kesehatan puskesmas atau
bidan di desa. Pola pemberian makan yang baik dan
stimulasi harus tetap dilanjutkan dirumah setelah
pasien dipulangkan dan aktifitas bermain.

N. Hipervitaminosis
a. Hipervitaminosis A
Hipervitaminosis A akut dapat terjadia pada bayi
setelah menelan 10.000 µg atau lebih. Gejala-gejalanya
adalah nausea, muntah, mengantuk, an fontanela cembung.
Diplopia, papil edema, kelumpuhan (palsy) saraf kranialis,
dan gejala lain yang memberi kesan tumor otak
(pseudotumor cerebri) dapat juga terjadi. Toksisitas telah
terjadi pada penambahan selama pemberian vaksin di
Negara yang sedang berkembang.
Hipervitaminosis A kronik tampak sesudah
penelanan dosis berlebihan selama beberapa minggu atau
bulan, anak menderita anoreksia, gatal, dan berat badan
kurang. Ada penambahan iritabilitas, pembatasan gerakan,
dan pembengkakan lunak tulang. Alopesia, lesi kulit
seboroika, fisura sudut mulut, tekanan intracranial naik, dna
terdapat hepatomegaly. Kraniotabes dan deskuamasi telapak
tangan dan kaki sering ada. Rontgenogram menunjukkan
hyperostosis yang mengenai beberapa tulang panjang, yang
79

paling penting di tengah-tengah batang tulang. Malformasi


kongenital berat dapat terjadi pada bayi dari ibu yang
menghabiskan sejumlah besar retinoid oral dalam
pengobatan jerawat. (3)
b. Hipervitaminosis D
Masukan.vitamin D dalam jumlah yang banyak akan
men-gakibatkan timbulnya gejala dan tanda yang mirip
dengan hiperkalsemia idiopatik. Keadaan ini disebabkan
karena hipersensitivitas terhadap vitamin D. Gejala dan
tanda tersebut timbul setelah 1-3 bulan pemberian vitamin D
dengan dosis tinggi. Secara klinis akan Nampak hipotonia,
anoreksia, iritabilitas, konstipasi, polidipsia, poliuria, dan
pucat Juga dijumpai hiperkalsemia dan hiperkalsiuria,
dehidrasi, stenosis katup aorta, muntah, hipertensi,
retinopatia, perkabutan kor-nea dan konjungtiva.
Dalam air kemih dijumpai adanya proteinuria, Bila
terus diberikan vitamin D dalam dosis tinggi akan terjadi
kerusakan ginjal dan kalsifikasi metastasis. Gambaran
radiologik tulang panjang menunjukkan adanya kalsifikasi
metastasis dan osteoporosis umum. Segera hentikan
penggunaan vitamin D dan kurangi kalsium.Untuk bayi
dengan gejala hipervitaminosis berat, dapat diberikan
aluminium hidroksida oral, kortison, atau natrium versenat.
(3)

2. Penilaian status gizi :


Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada kelompok
masyarakat. Salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang
dikenal dengan Antropometri. Dalam pemakaian untuk penilaian status
gizi, antropomteri disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan
variabel lain. Variabel tersebut adalah sebagai berikut : (3)
80

A. Umur
Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi,
kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang
salah. Hasil penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang
akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan
umur yang tepat. Kesalahan yang sering muncul adalah adanya
kecenderunagn untuk memilih angka yang mudah seperti 1 tahun;
1,5 tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu
dihitung dengan cermat. Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12
bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi perhitungan umur adalah dalam
bulan penuh, artinya sisa umur dalam hari tidak diperhitungkan.
B. Berat Badan
Berat badan merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai status
nutrisi, dimana hasilnya dapat menaksir kebutuhan energi dan
memonitor respons dari terapi yang telah diberikan. Kehilangan
berat badan dapat terjadi secara cepat pada pasien dengan trauma
atau stres metabolik. Penurunan berat badan kemungkinan
menunjukkan adanya pengurangan massa otot yang disebabkan oleh
masukan kalori yang tidak adekuat atau adanya hipermetabolisme.
Adanya edema dan status hidrasi harus dipertimbangkan dalam
mengevaluasi
C. Tinggi Badan
Tinggi badan adalah jarak dari puncak kepala sampai telapak
kaki. Jarak ini merupakan penjumlahan dari tinggi tulang tengkorak,
panjang tulang belakang, dan panjang ekstremitas bawah.
Pengukuran tinggi/panjang badan merupakan pemeriksaan penting,
karena pertumbuhan linier merupakan marker untuk tumbuh
kembang dan juga malnutrisi jangka panjang. Pengukuran panjang
badan bayi dan anak-anak sampai usia 24 bulan dilakukan pada
81

posisi terlentang dengan menggunakan length board. Untuk anak di


atas usia 2 tahun, pengukuran dilakukan dengan menggunakan
stadiometer pada posisi berdiri tegak dan mata memandang lurus ke
depan, belakang kepala, punggung, pantat dan tumit menempel pada
alat pengukur panjang pada dinding tegak lurus. Alternatif
pengukuran lain seperti Panjang tungkai bawah dan panjang lengan
atas dapat dipakai untuk memperkirakan tinggi/panjang badan pasien
yang pergerakannya terbatas, mengalami gangguan motorik atau
dengan kontraktur berat.
Untuk menentukan status gizi menggunakan beberapa langkah.
Langkah pertama adalah dengan melihat berat badan dan umur anak
disesuaikan dengan grafik KMS (Kartu Menuju Sehat). Bila
dijumpai berat badan di bawah garis merah (BGM) maka dilanjutkan
dengan langkah menentukan status gizi balita dengan menghitung
berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB) berdasarkan standar
WHO-NCHS. Dinyatakan gizi buruk bila BB/TB <-3 SD standar
WHONCHS.
a. Penilaian status gizi berdasarkan WHO-NCHS (10)
82

b. Penilaian status gizi beradasarkan CDC (11)


i. Indeks TB/U
 90-110% = tinggi baik
 70-90% = tinggi kurang
 < 70% = tinggi sangat kurang
ii. Indeks BB/TB
 >120% = obesitas
 >110-120% = overweight
 > 90-110% = gizi baik
 70-90% = gizi kurang
 < 70% = gizi buruk
iii. Indeks BB/U
 80-120% = gizi baik
 60-80% = gizi kurang
 < 60% = gizi buruk
83
84

c. Penilaian status gizi berdasarkan KMS (12)


i. Dibawah garis merah menunjukkan anak
mengalami kurang gizi sedang hingga berat. Jika
anak berada di zona ini, maka segera bawa anak ke
dokter spesialis anak untuk mendapatkan
pemeriksaan kesehatan lebih lanjut.
ii. Terletak di daerah dua pita warna kuning (di
atas garis merah), hal ini menunjukkan anak
tersebut mengalami kurang gizi ringan.
iii. Dua pita warna hijau muda dan dua warna hijau
tua di atas pita kuning, menunjukkan anak
memiliki berat badan cukup atau status gizi
baik atau normal. Meski begitu, berat badan anak
tetap perlu ditimbang dan diawasi agar senantiasa
sesuai dengan umurnya.
iv. Empat pita di atas pita warna hijau tua (2 pita
warna hijau muda ditambah 2 pita warna
kuning), menunjukkan anak memiliki berat badan
yang lebih di atas normal.
85

3. Manajemen khusus dan umum


Sepuluh langkah tatalaksana KKP : (7)
A. Langkah 1. Atasi / cegah hipoglikemia
Semua anak gizi buruk beresiko untuk terjadi hipoglikemia
(kadar gula darah < 3 mmol/dl atau < 54 mg/dl), yang seringkali
merupakan penyebab kematian pada 2 hari pertama perawatan.
Hipoglikemia dapat terjadi karena adanya infeksi berat atau anak
tidak mendapat makanan selama 4 – 6 jam. Hipoglikemia dan
hipotermia seringkali terjadi bersamaan dan biasanya merupakan
pertanda adanya infeksi. Carilah tanda hipoglikemia bila
menemukan tanda hipotermia (suhu aksila < 35oC; rektal < 35,5o
C). Pemberian makanan dengan frekuensi sering (setiap 2 – 3 jam)
sangat penting dalam mencegah dua kondisi tersebut. (6)
86

Terapi: (6)
a. Bila anak sadar dan dapat minum
 Bolus 50 ml larutan glukosa 10% atau sukrosa 10%
(1 sendok teh penuh gula dengan 50 ml air), baik
per oral maupun dengan pipa nasogastric.
Kemudian mulai pemberian F75 setiap 2 jam, untuk
2 jam pertama berikan ¼ dari dosis makanan setiap
30 menit.
 Antibiotic spectrum luas.
 Pemberian makan per 2 jam, siang dan malam.
b. Bila anak tidak sadar
 Glukosa 10% intravena (5mg/ml), diikuti dengan 50
ml glukosa 10% atau sukrosa lewat pipa
nasogastric. Kemudian mulai pemberian F75 setiap
2 jam, untuk 2 jam pertama berikan ¼ dari dosis
makanan setiap 30 menit.
 Antibiotic spectrum luas.
 Pemberian makanan per 2 jam, siang dan malam.
Monitor : (7)
a. Kadar gula darah setelah 2 jam, ulangi pemeriksaan kadar
gula darah (menggunakan darah dari jari atau tumit).
Selama terapi, umumnya anak stabil dalam 30 menit. Bila
gula darah masih rendah ulangi pemberian 50 ml bolus
glukosa 10% atau larutan sukrosa, kemudian lanjutkan
pemberian makan F-75 setiap 2 jam hingga anak stabil.
b. Suhu rektal jika turun hingga < 35,5oC, ulang pengukuran
kadar gula darah.
c. Tingkat kesadaran bila belum pulih, ulang pengukuran
kadar gula darah sambil mencari penyebabnya.
Pencegahan : (7)
87

a. Berikan makanan F75 setiap 2 jam mulai secara langsung


atau bila perlu lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
b. Selalu berikan makanan pada malam hari.
B. Langkah 2. Atasi / cegah hipotermia
Jika suhu aksila < 35oC, lakukan pemeriksaan suhu rektal
menggunakan termometr air raksa. Jika suhu rektal < 35,5oC
(Arisman, 2009) : (7)
a. Berikan makanan secara langsung atau mulai rehidrasi bila
diperlukan.
b. Hangatkan anak, selain memakaikan pakaian, tutupi dan
tutup dengan selimut hangat hingga kepala (kecuali wajah)
atau tempatkan di tempat penghangat atau lampu (jangan
gunakan botol air panas), atau letakkan anak pada dada ibu
lalu tutupi selimut keduanya.
c. Berikan antibiotic spectrum luas.
Monitor : (7)
a. Suhu tubuh selama menghangatkan anak, lakukan
pemeriksaan suhu rektal setiap 30 menit hingga mencapai
suhu > 36,5oC.
b. Yakinkan bahwa anak telah tertutupi seluruh permukaan
tubuhnya, terutama di malam hari.
c. Kadar gula darah diukur ketika didapati adanya hipotermia.

Pencegahan : (7)
a. Berikan makanan setiap 2 jam, langsung dimulai pemberian
makan.
b. Selalu berikan makanan (F75 atau F100), baik siang
maupun malam hari.
c. Tetap tutupi anak dan hindari paparan langsung dengan
udara (contoh mandi, pemeriksaan fisik yang terlalu lama).
88

d. Jaga anak agar tetap kering, segera ganti popok, pakaian,


dan alas tempat tidur anak bila basah.
e. Hindari paparan langsung dengan udara.
f. Biarkan anak tidur dengan ibu atau pengasuh pada malam
hari agar kehangatan tetap terjaga.
C. Langkah 3. Atasi / cegah dehidrasi
Tidak mudah menentukan adanya dehidrasi pada anak gizi
buruk karena tanda dan gejala dehidrasi seperti turgor kulit dan
mata cekung seringkali didapatkan pada gizi buruk walaupun tidak
dehidrasi. Di sisi lain, pada anak gizi buruk keadaan dehidrasi
walaupun ringan dapat menimbulkan komplikasi lain
(hipoglikemia, letargi) sehingga memperberat kondisi klinis.
Karenanya perlu diantisipasi terjadinya dehidrasi pada anak gizi
buruk dengan riwayat diare atau muntah dan melakukan tindakan
pencegahan. Diagnosis pasti adanya dehidrasi adalah dengan
pengukuran berat jenis urin (>1.030) selain tanda dan gejala klinis
khas bila ada, antara lain rasa haus dan mukosa mulut kering. (7)
Terapi
Larutan gula-garam stabdar untuk rehidrasi oral (75 mmol
Na/L) mengandung terlalu banyak Natrium dan terlalu sedikit K
bagi anak malnutrisi berat. Oleh karena itu diberikan larutan
rehidrasi khusus, yaitu rehydration solution for malnutrition. Sulit
untuk memperkirakan status dehidrasi dengan hanya melihat klinis
saja pada anak malnutrisi berat. Maka diasumsikan bahwa setiap
anak dengan diare cair dapat mengalami dehidrasi dan diberikan: (7)
a. ReSoMal 5 ml.kg setiap 30 menit selama dua jam pertama,
baik per oral maupun lewat NGT.
b. Kemudian 5 – 10 ml/kg/jam selama 4 – 10 jam berikutnya,
jumlah yang seharusnya diberikan pada anak ditentukan
oleh berapa banyak anak mau minum, dan jumlah diare dan
89

muntah. Ganti dosis ReSoMal pada jam ke 4, 6, 8, dan 10


dengan F75 bila rehidrasi masih dibutuhkan.
c. Selanjutnya, bila sudah rehidrasi, hentikan pemberian
ReSoMal dan lanjutkan F75 setiap 2 jam.
d. Bila masih diare, beri ReSoMal setiap anak diare bila anak
< 2 tahun sebanyak 50 – 100 ml dan bila anak > 2 tahun
sebanyak 100 – 200 ml.
Monitor kemajuan rehidrasi : (7)
Observasi setiap 30 menit selama dua jam pertama,
kemudian tiap satu jam untuk 6 – 12 jam berikutnya, catatlah :
a. Denyut jantung
b. Frekuensi napas
c. Frekuensi miksi
d. Frekuensi defekasi/muntah
Pencegahan : (7)
a. Tetap memberikan makanan dimulai dengan pemberian
F75.
b. Gantikan cairan sejumlah perkiraan jumlah cairan yang
hilang dengan ReSoMal. Sebagai panduan berikan 50 – 100
ml setiap kali diare cair untuk anak < 2 tahun dan 100 – 200
ml untuk anak > 2 tahun.
c. Bila anak masih menyusu ASI, dianjurkan untuk
melanjutkan pemberian ASI di antara pemberian F75 atau
F100.

D. Langkah 4. Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit


Semua anak dengan malnutrisi berat mengalami kelebihan
Natrium (Na) walaupun kadar Na darah rendah. Defisiensi kalium
dan magnesium juga terjadi dan membutuhkan waktu minimal dua
minggu untuk melakukan koreksi. Edema yang muncul bisa
90

disebabkan ketidak-seimbangan elektrolit. Jangan memberikan


diuretic sebagai terapi edema. Berikan : (7)
a. Ekstra kalium 3 – 4mmol/kg/hari
b. Ekstra magnesium 0,4 -0,6 mmol/kg/hari
c. Saat rehidrasi, berikan cairan rendah natrium
d. Siapkan makanan tanpa garam
E. Langkah 5. Obati / Cegah Infeksi
Pada malnutrisi berat, tanda umum adanya infeksi seperti
demam, sering tidak dijumpai, dan infeksi sering tersembunyi.
Oleh karena itu beri secara rutin saat rawat inap : (7)
a. Antibiotic spectrum luas
b. Vaksin campak jika anak > 6 bulan dan belum mendapat
imunisasi (tunda jika kondisi klinis buruk atau dalam
keadaan syok).
Pilihan antibiotika spectrum luas : (7)
a. Jika pada anak tidak terdapat komplikasi atau infeksi tidak
nyata, beri kotrimoksasol 5 ml larutan pediatric per oral dua
kali sehari selama 5 hari (2,5 ml jika berat < 6 kg).
b. Jika anak terlihat sangat sakit (apatis, letargi) atau terdapat
komplikasi (hipoglikemia, hipotermi, infeksi traktus
urinarius atau respiratorius) berikan ampisilin 50 mg/kg
IM/IV per 6 jam untuk 2 hari kemudian dilanjutkan dengan
amoksisilin per oral 15 mg/kg per 8 jam untuk 5 hari atau
jika amoksisilin tidak tersedia, dilanjutkan dengan
ampisilin per oral 50 mg/kg per 6 jam.

F. Langkah 6. Koreksi Defisiensi Mikronutrien


Semua anak malnutrisi berat juga mengalami defisiensi
vitamin dan mineral. meskipun anemia sering terjadi, pada periode
awal (stabilisasi, transisi) tidak boleh diberikan preparat besi tetapi
ditunggu sampai anak memiliki nafsu makan yang baik dan
91

dimulai saat berat badan bertambah (biasanya minggu kedua/pada


fase rehabilitasi). Pemberian preparat besi dapat memperburuk
keadaan infeksi serta terjadinya reaksi oksidatif oleh besi bebas
yang akan merusak membrane sel dan berakibat fatal. (6)
Pemberian pada hari ke 1 : (6)
a. Vitamin A per oral (dosis untuk > 12 bulan 200.000 Si,
untuk 6 – 12 bulan 100.000 SI, untuk 0 – 5 bulan 50.000
IU) ditunda bila kondisi klinis buruk.
b. Asam folat 5 mg, oral
Pemberian harian selama 2 minggu : (6)
a. Suplemen multivitamin
b. Asam folat 1 mg/hari
c. Zinc 2 mg/kgbb/hari
d. Copper 0,3 mg/kgbb/hari
e. Preparat besi 3 mg/kg/hari (pada fase rehabilitasi)
G. Langkah 7. Pemberian Makanan
Pada fase stabilisasi diperlukan pendekatan yang hati-hati
karena kondisi fisiologis anak yang rapuh dan berkurangnya
kapasitas homeostasis. Pemberian makan sebaiknya dimulai
sesegera mungkin setelah pasien masuk dan harus dirancang untuk
memenuhi kebutuhan energy dan protein secukupnya untuk
mempertahankan proses fisiologis dasar. Gambaran hal-hal penting
dalam pemberian makan pada fase stabilisasi adalah sebagai
berikut : (6)
a. Pemberian makanan dengan porsi kecil dan sering dengan
osmolaritas rendah dan rendah laktosa (F75).
b. Pemberian makan secara oral atau lewat pipa nasogastric
(jangan memberikan secara parenteral).
c. Energy : 80 - 110 kkal / kgbb / hari
d. Protein : 1 - 1,5 g / kgbb / hari
e. Cairan : 130 ml / kgbb / hari cairan
92

f. Apabila anak minum ASI, lanjutkan pemberian ASI setelah


formula dihabiskan.

Formula F-75 mengandung 75 kkal/100 ml dan 0,9 gram


protein/100 ml cukup untuk memenuhi kebutuhan bagi sebagian
besar anak. Berikan dengan menggunakan cangkir atau sendok.
Anak yang sangat lemah perlu diberikan dengan sendok atau secara
drop atau dengan spuit. Perubahan frekuensi makan dari tiap 2 jam
menjadi tiap 3 jam dan 4 jam dilakukan bila anak mampu
menghabiskan porsinya. Untuk anak dengan nafsu makan yang
baik dan tanpa edema, dapat diselesaikan dalam 2 – 3 hari .
Gunakan perhitungan berat badan harian untuk menghitung
berapa banyak yang harus diberikan, karena anak mengalami
penurunan berat badan (edema berkurang/hilang) atau mengalami
peningkatan berat badan pada fase ini. Jika karena suatu sebab
(muntah, diare, letargi) asupan tidak dapat mencapai 80
kkal/kgbb/hari (jumlah minimal yang harus dicapai), makanan
harus diberikan melalui NGT untuk mencukupi jumlah asupan,
namun jangan melebihi 100 kkal/kg/hari pada fase ini . (6)
Monitor dan catat : (6)

a. Jumlah yang diberikan dan yang dikeluarkan (mutah) atau


tersisa
b. Frekuensi muntah
c. Frekuensi BAB cair
d. Berat badan harian (ditimbang pada waktu dan kondisi yang
sama)
H. Langkah 8. Mencapai Kejar-Tumbuh
Pada fase rehabilitasi perlu pendekatan yang baik untuk
pemberian makan dalam pencapaian asupan yang tinggi dan
kenaikan berat badan yang cepat (> 10 g/kg/hari). Formula yang
dianjurkan pada fase ini adalah F100 yang mengandung 100
93

kkal/100 ml dan 2,9 gram protein/100 ml. kesiapan untuk


memasuki fase rehabilitasi ditandai dengan kembalinya nafsu
makan, biasanyasekitar satu minggu setelah perawatan. Transisi
yang bertahap direkomendasikan untuk mencegah resiko gagal
jantung yang dapat muncul bila anak mengkonsumsi makanan
langsung dalam jumlah banyak. (6)
Untuk mengubah dari pemberian makanan awal ke
makanan kejar-tumbuh (transisi) . (6)
a. Ganti formula F75 dengan F100 dalam jumlah yang sama
selama 48 jam
b. Kemudian volume dapat ditambah bertahap sebanyak 10 –
15 ml per kali (bila sulit dalam pelaksanaannya, kenaikkan
volume ini dapat dilakukan per hari) hingga mencapai 150
kkal/kgbb/hari
c. Energy : 100 – 150 kkal/kgbb/hari
d. Protein : 2 – 3 gram/kgbb/hari
e. Bila anak masih mendapat ASI, tetap berikan di antara
pemberian formula
Monitor selama fase transisi : (6)
a. Frekuensi napas
b. Frekuensi nadi
Setelah fase transisi, anak masuk ke fase rehabilitasi : (6)
a. Lanjutkan menambah volume pemberian F-100 hingga ada
makanan sisa yang tidak termakan oleh anak (anak tidak
mampu menghabiskan porsinya). Tahapan ini biasanya
terjadi pada saat pemberian makanan mencapai 30
ml/kgbb/makan (200 ml/kgbb/hari)
b. Pemberian makanan yang sering (sedikitnya tiap 4 jam) dari
jumlah formula tumbuh-kejar
c. Energy : 150 – 220 kkal/kg/hari
d. Protein : 4 – 6 gram/kg/hari
94

e. Bila anak masih mendapat ASI tetap berikan di antara


pemberian formula
Monitor kemajuan setelah transisi dengan menilai peningkatan
berat badan: (6)
a. Timbang berat badan tiap pagi sebelum makan, plot pada formulir
pemantauan berat badan
b. Tiap minggu hitung dan catat pertambahan berat badan dalam
satuan gram/kgbb/hari
Bila kenaikan berat badan : (6)
a. Buruk (< 5 gram/kgbb/hari) anak perlu dilakukan penilaian
ulang secara menyeluruh, apakah target asupan makanan
memenuhi kebutuhan atau cek apakah ada tanda-tanda infeksi
b. Sedang (5 – 10 gram/kgbb/hari), lanjutkan tatalaksana
c. Baik (>10 gram/kgbb/hari), lanjutkan tatalaksana
I. Langkah 9. Memberikan Stimuli Fisik, Sensorik, dan
dukungan Emosional
Pada malnutrisi berat didapatkan perkembangan mental dan
perilaku yang terlambat, menyediakan : (6)
a. Perawatan dengan kasih saying
b. Kegembiraan dan lingkungan yang nyaman
c. Terapi bermain yang terstruktur 15 – 30 menit/hari
d. Aktivitas fisik yang sesuai dengan kemampuan psikomotor
anak
e. Keterlibatan ibu

J. Langkah 10. Persiapan Tindak Lanjut Setelah Perawatan


Bila anak sudah mencapai persentil 90% BB/TB, maka
anak sudah pulih dari keadaan malnutrisi, walaupun mungkin
BB/U masih rendah karena umumnya anak pendek (TB/U rendah).
Pola makan yang baik dan stimulasi fisik dan sensorik dapat
95

dilanjutkan di rumah. Tunjukkan kepada orang tua atau pengasuh


bagaimana : (6)
a. Pemberian makan secara sering dengan kandungan energy
dan nutrient yang memadai
b. Berikan terapi bermain yang terstruktur
Saran untuk orang tua atau pengasuh : (6)
a. Membawa anak control secara teratur
b. Memberikan imunisasi booster
c. Memberikan vitamin A setiap 6 bulan

DAFTAR PUSTAKA

1. Triana V. Macam-macam Vitamin dan Fungsinya dalam Tubuh Manusia.


Vol. 1 No. 1. Padang: Jurnal Kesehatan Masyarakat; 2006.
96

2. Ismael, S. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002.
3. Marcdante K, et. al. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Essensial. Edisi Update
Keenam. Singapore: Elsevier; 2018.
4. Pudjiadi, S. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.
5. Windiastuti, Endang. Dkk. Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak. Edisi
Revisi. Jakata : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia Gedung IDAI.
2018
6. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Edisi 2. Jakarta : EGC ; 2017
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis Tatalaksana dan Pencegahan
Obesitas Pada Anak dan Remaja. Jakarta : IDAI ; 2014
8. Kementrian Kesehatan Indonesia. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi,
dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak. Kementrian Kesehatan RI.
2016
9. Arisman, M. Gizi dalam Daur Kehidupan Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta ; 2009
10. WHO. WHO Child Growth Standards. Geneva. WHO; 2006
11. CDC. CDC Growth Charts for the United States: Methods and Development.
US. CDC; 2002
12. PERMENKES RI. Penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS) Bagi Balita.
Jakarta. KEMENKES RI; 2010

Anda mungkin juga menyukai