Skenario 5
Seorang anak laki-laki berusia 5 hari dibawa ke UGD RS dengan keluhan tidak mau
menyusu. Ibu pasien menceritakan anaknya tidak mau membuka mulut waktu
menyusu. Ibu pasien khawatir anaknya kekurangan ASI. Saat anamnesis diketahui
ibu pasien tidak pernah mendapatkan imunisasi tetanus toksoid. Proses persalinan
pasien dibantu oleh paraji. Pada pemeriksaan tanda tanda vital dalam batas normal,
ditemukan adanya mulut mencucu. Selain itu ditemukan fokus infeksi pada umbilicus
hiperemis. Dokter kemudian memberikan penatalaksanaan awal dan
mengkonsultasikannya ke dokter spesialis anak.
STEP 1
STEP 2
STEP 3
1. Kekakuan pada otot rahang terjadi karena spasme refleks motorik sehingga
terjadi peningkatan tonus otot dan rigiditas yang menyebabkan bayi sukar
membuka mulut.
2. Persalinan dengan pararji menggunakan alat yang tidak steril sehingga
menjadi pintu masuk mikroorganisme dan menyebar secara hematogen
maupun limfogen kemudian mengenai saraf motorik sehingga dapat timbul
keluhan mulut seperti mencucu.
2
MIND MAP
MANIFESTASI
KLINIS PATOMEKANISME Kekebalan
Lingkungan dan
Higienitas tubuh ibu
4
STEP 5
Sasaran Belajar
1. Masalah pada bayi baru lahir
Imunitas pada bayi baru lahir (Inkompatibilitas ABO, Rh, Jaundice).
Infeksi pada bayi yang terjadi intrauterin ( TORCH, HIV, GO), masa janin
dan BBL.
Macam-macam infeksi pada BBL dan penyebabnya serta patomekanisme
hingga manifestasi klinis.
2. Masalah pada pelayanan kesehatan yang menjadi faktor risiko infeksi pada BBL.
STEP 6
Belajar mandiri.
STEP 7
A. Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas ABO dengan hemolisis neonatus terjadi bila ibu memiliki
antibodi lgG dari paparan sebelumnya terhadap antigen A atau B. Antibodi
lgG ini melewati plasenta melaiui transpor aktif dan memengaruhi janin atau
bayi baru lahir. Sensitisasi ibu terhadap antigen janin dapat terjadi akibat
transfusi sebeiumnya atau karena kondisi kehamilan yang menyebabkan
transfer eritrosit janin ke sirkulasi ibu. sepertl aborsi trimester pertama,
kehamilan ektopik, amniosentesis, ekstraksi plasenta manual, prosedur versi
(eksternal atau internal), atau kehamilan normal. 1
a. Patofisiologi
Ketika golongan darah yang berbeda tercampur, suatu respon kekebalan
tubuh terjadi dan antibodi terbentuk untuk menyerang antigen asing di
dalam darah. Inkompatibilitas ABO seringkali terjadi pada ibu dengan
golongan darah O dan bayi dengan golongan darah baik A atau B. Ibu
dengan golongan darah O menghasilkan antibodi anti-A dan anti-B yang
cukup kecil untuk memasuki sirkulasi tubuh bayi, menghancurkan sel
darah merah janin.2
Penghancuran sel darah merah menyebabkan peningkatan produksi
bilirubin, yang merupakan produk sisa. Apabila terlalu banyak bilirubin
yang dihasilkan, akan menyebabkan ikterus pada bayi. Bayi dengan
ikterus akan memerlukan fototerapi atau transfusi ganti untuk kasus
berat. Apabila bayi tidak ditangani, bayi akan menderita cerebral palsy.
Sampai saat ini, tidak ada pencegahan yang dapat memperkirakan
inkompatibilitas ABO. Tidak seperti inkompatibilitas Rh,
inkompatibilitas ABO dapat terjadi pada kehamilan pertama dan
gejalanya tidak memburuk pada kehamilan berikutnya.2
Inkompatibilitas Rh adalah suatu kondisi yang terjadi ketika
seorang wanita hamil memilikidarah Rh-negatif dan bayi dalam
rahimnya memiliki darah Rh-positif. Selama kehamilan, sel darah merah
dari bayi yang belum lahir dapat menyeberang ke aliran darah ibu
melalui plasenta. Jika ibu memiliki Rh-negatif, sistem kekebalan
tubuhnya memperlakukan sel-sel Rh-positif janin seolah-olah mereka
6
d. Tatalaksana
Penatalaksanaan kasus inkompatibilitas ABO pada neonatus umunya
lebih berfokus pada penanganan hiperbilirubinemia. Pada beberapa
penelitian, IVIG (Intravenous Immunoglobulin) dinyatakan sangat
efektif ketika diberikan di awal terapi.16,17 Namun, ada pula beberapa
penelitian lain yang menyatakan bahwa terapi dengan IVIG tidak
memberikan dampak yang signifikan, akan tetapi cocok dilakukan
apabila kadar bilirubin serum sudah mencapai ambang transfusi tukar
terlepas dari fototerapi.18 Selain itu, porfirin tin (Sn), sebuah inhibitor
heme oksigenase yang poten, telah dinyatakan dapat menurunkan
produksi dari bilirubin dan mengurangi\ kebutuhan untuk melakukan
transfusi tukar. Fokus utamaditekankan pada manajemen dari
hiperbilirubinemia.1
Pada inkompatibilitas ABO yang terjadi pada neonatus,
penatalaksanaan secara umum dibagi menjadi 2 yakni penatalaksanaan
secara farmakologi dan non farmakologi :
1) Farmakologi
Penatalaksanaan farmakologi pertama adalah pemberian obat
pengikat bilirubin. Pemberian oral arang aktif atau agar
menurunkan secara bermakna kadar bilirubin rata-rata selama 5
hari pertama setelah lahir pada bayi sehat, tetapi potensi
terapeutik modalitas ini belum diteliti secara ekstensif. 1
Penatalaksanaan farmakologi yang kedua yaitu blokade
perubahan heme menjadi bilirubin. Modalitas terapi ini ialah
dengan mencegah pembentukan bilirubin dengan menghambat
heme oksigenase yang akan menghambat penguraian heme
menjadi bilirubin. Umumnya, metaloporfirin sintetik seperti
protoporfirin timah sering digunakan karena yang terbukti
dapat menghambat heme oksigenase, mengurangi kadar
bilirubin serum, dan meningkatkan ekskresi heme yang tidak
11
B. Rhesus disease
a. Patofisiologi
Eritroblastosis fetalis secara klasik disebabkan oleh inkompatibilitas Rh.
Sebagian besar wanita dengan Rh-negatif memiliki antibodi anti-Rh pada
kehamilan pertamanya. Sistem antigen Rh terdiri dari lima antigen C, D, E,
c, serta e, dan tipe d tidak bersifat antigenik. Pada sebagian besar kasus
inkompabilitas Rh, antigen D janin mensensitisasi ibu Rh-negatif (d),
menyebabkan produksi antibodi lgG selama kehamilan pertamanya. Karena
sebagian besar ibu belum tersensitisasi antigen Rh pada awal
kehamilannya, maka eritroblastosis fetalis Rh biasanya menimbulkan
penyakit pada kehamilan kedua dan selanjutnya.1
b. Manifestasi klinis
Manifestasi penyakit hemolitik neonatus yang timbul hanya sebagai anemia
dan hiperbiiirubinemia. Kehamilan selanjutnya dapat memberikan dampak
respons yang lebih parah karena hemolisis in utero terjadi secara dini.
Anemia janin, gagal jantung, peningkatan tekanan vena, obstruksi vena
portal, dan hipoalbuminemia dapat menyebabkan hidrops fetalis, dan
ditandai oleh asites, efusi pleura serta perikardial, dan edema anasarka.
Risiko kematian janin tinggi pada hidrops fetalis. 1
Kehamilan pertama yang mengalami sensitisasi menghasilkan
respons yaitu terbentuknya antibodi pada ibu, dan dapat terdeteksi pada
13
A. Tetanus neonatorum
a. Etiologi
b. Faktor resiko
Mempengaruhi terjadinya tetanus neonatorum berhubungan dengan
rendahnya sterilisasi dan kebersihan dari proses partus, penanganan
pasca persalina yang tidak adekuat dan kurangnya pengetahuan dan
sosialisasi vaksin tetanus toxoid di berbagai negara miskin dan kurang
berkembang.4
Faktor-faktor resiko tersebut mencakup faktor medis dan faktor
non medis. Faktor medis meliputi kurangnya standar perawatan
prenatal (kurangnya perawatan antenatal pada ibu hamil, kurangnya
edukasi ibu hamil tentang pentingnya vaksinasi tetanus toxoid),
15
B. Toxoplasmosis
a. Etiologi
Toksoplasmosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
protozoa Toxoplasma gondii. Resiko penularan meningkat seiring
dengan meningkatnya usia kehamilan. Infeksi kongenital dengan
toksoplasmosis dapat menyebabkan gejala sisa yang serius, seperti
kebutaan, keterbelakangan mental, defisit neurologik, dan tuli.5
b. Patofisiologi
Toksoplasmosis merupakan infeksi protozoa yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii dengan hospes definitif kucing dan hospes
perantara manusia. Manusia dapat terinfeksi parasit ini bila memakan
daging yang kurang matang atau sayuran mentah yang mengandung
ookista atau pada anakanak yang suka bermain di tanah, serta ibu yang
gemar berkebun dimana tangannya tertempel ookista yang berasal dari
tanah.1
c. Manifestasi Klinis
Lesi pada mata merupakan salah satu manifestasi yang paling sering
pada toksoplasmosis kongenital. Gambaran lesi toksoplasmosis okular
ialah adanya fokus nekrosis pada retina. Pada fase akut, lesi ini timbul
sebagai bercak putih kekuningan di fundus dan biasanya berhubungan
dengan ruam pada vitreus. Gejala yang timbul pada infeksi mata antara
lain penglihatan kabur, fotofobia, nistagmus, strabismus epifora, dan
katarak.1
d. Diagnosis
1) Kehamilan dengan imun seropositif, yaitu ditemukan adanya
antibodi IgG anti- toksoplasma dengan titer 1/20 – 1/1000 .
2) Kehamilan dengan antibodi IgG atau IgM spesifik dengan titer
tinggi (biasanya disertai juga hasil positif uji Sabin-Feldman), yang
menunjukkan bahwa ibu hamil dengan seropositif mengalami
reinfeksi. Keadaan ini sering juga disebut kehamilan dengan
toksoplasmosis eksaserbasi akut.
3) Kehamilan dengan seronegatif, yaitu darah ibu tidak mengandung
antibodi spesifik. Dalam hal ini ibu hamil dianjurkan untuk
mengulangi uji serologik (cukup lateks aglutinasi) tiap trimester.
4) Kehamilan dengan serokonversi, yaitu adanya perubahan dari
seronegatif menjadi seropositif selama kehamilan. Penderita
memiliki risiko tinggi transmisi vertikal dari maternal ke janin serta
mengakibatkan toksoplasmosis kongenital. Hal ini merupakan
indikasi pengobatan antiparasit selama kehamilan.5
e. Tatalaksana
1) Penggunaan antibiotik spiramisin selama kehamilan dengan infeksi
T. gondii akut dilaporkan menurunkan frekuensi transmisi vertikal.
Proteksi ini terlihat lebih nyata pada wanita yang terinfeksi selama
trimester pertama. Spiramisin tidak dapat melewati plasenta, dan
sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi pada kasus yang
diduga telah terjadi infeksi pada janin. Sampai saat ini, tidak
terdapat fakta bahwa obat ini bersifat teratogenik. Pada wanita yang
diduga mengalami infeksi toksoplasma akut pada trimester pertama
atau awal trimester kedua, spiramisin diberikan hingga persalinan
meskipun hasil pemeriksaan PCR negatif. Hal ini berdasarkan teori
21
C. Rubella
a. Etiologi
Congenital Rubella Syndrome (CRS) adalah penyakit pada bayi oleh
karena infeksi maternal dengan rubella virus selama kehamilan. Ketika
infeksi rubella terjadi selama awal kehamilan, konsekuensi serius
seperti abortus, IUFD dan cacat lahir yang parah pada bayi dapat
terjadi. Itu risiko infeksi kongenital dan kecacatan paling tinggi selama
12 minggu pertama kehamilan dan menurun setelah minggu ke 12
kehamilan; cacat jarang terjadi setelah infeksi pada minggu ke-20
(atau sesudahnya) kehamilan.1
b. Patofisiologi
Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan yaitu melalui droplet
yang dikeluarkan oleh seseorang yang terinfeksi rubella, setelah
terkena droplet, virus ini akan mengalami replikasi di nasofaring dan
di daerah kelenjar getah bening. Viremia terjadi antara hari ke-5
sampai hari ke-7 setelah terpajan virus rubella. Dalam ruangan
22
c. Manifestasi klinis
,
>37,2 artralgia/artrhitis, limfadenopati, konjungtivitis. CRS yang
meliputi 4 defek utama yaitu :
1) Anamnesis
2) Pemeriksaan fisik
3) Pemerksaan penunjang
Isolasi virus
Virus rubella dapat diisolasi dari sekret hidung, darah, apusan
tenggorok, urin, dan cairan serebrospinalis penderita rubella.
Virus juga dapat diisolasi dari faring 1 minggu sebelum dan
hingga 2 minggu setelah munculnya ruam. Meskipun metode
isolasi ini merupakan diagnosis pasti untuk menentukan infeksi
rubella, metode ini jarang dilakukan karena prosedur
pemeriksaan yang rumit. Hal ini menyebabkan metode isolasi
virus bukan sebagai metode diagnostik rutin. Untuk isolasi
secara primer spesimen klinis, sering menggunakan kultur sel
yaitu Vero African green monkey kidney (AGMK) atau dengan
RK-13. Virus rubella dapat ditemui dengan adanya Cytophatic
effects (CPE). 1
Pemeriksaan serologis
25
D. Cytomegalovirus (CMV)
a. Etiologi
Cytomegalovirus atau disingkat CMV merupakan anggota keluarga
virus herpes yang biasa disebut herpesviridae. Pada awal infeksi,
CMV aktif menggandakan diri. Sebagai respon, sistem kekebalan
tubuh akan berusaha mengatasi kondisi tersebut, sehingga setelah
beberapa waktu virus akan menetap dalam cairan tubuh penderita
seperti darah, air liur, urin, sperma, lendir vagina, ASI, dan
sebagainya. Penularan CMV dapat terjadi karena kontak langsung
dengan sumber infeksi tersebut, dan bukan melalui makanan, minuman
atau dengan perantaraan binatang. Cytomegalovirus juga
jarang ditemukan pada trasfusi darah.6
b. Patofisiologi
Infeksi bawaan cytomegalovirus dapat terjadi karena infeksi primer
atau reaktivasi dari ibu. Namun, penyakit yang diderita janin atau bayi
yang baru lahir dikaitkan dengan infeksi primer ibu. Infeksi primer
pada usia anak atau dewasa lebih sering dikaitkan dengan respon
limfosit T yang hebat.6
27
e. Tatalaksana
Obat-obat spesifik yang memberikan harapan untuk terapi pada
penyakit CMV adalah:
b. Patofisiologi
29
f. Diagnosis
1) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan assay antibody dapat mendeteksi antibodi terhadap
HIV. Tetapi karena antibodi anti HIV maternal ditransfer secara
pasif selama kehamilan dan dapat dideteksi hingga usia anak 18
bulan, maka adanya hasil antibodi yang positif pada anak kurang
dari 18 bulan tidak serta merta menjadikan seorang anak pasti
35
a. Patogen
Jumlah dan virulensi (kekuatan) bakteri yang tinggi, serta resistensi
bakteri terhadap antibiotik dapat meningkatkan risiko terjadinya
38
b. Kondisi pasien
c. Faktor Lingkungan
Daftar pustaka
2. Joyce Poole. International Blood and Group Reference. Blood Group. 2017.
40
7. Andirini, DF. Infeksi Herpes Simpleks Dalam Kehamilan. Jilid 10. No.1.
Fakultas kedokteran Universitas riau: Riau. 2016.