Anda di halaman 1dari 40

1

Skenario 5
Seorang anak laki-laki berusia 5 hari dibawa ke UGD RS dengan keluhan tidak mau
menyusu. Ibu pasien menceritakan anaknya tidak mau membuka mulut waktu
menyusu. Ibu pasien khawatir anaknya kekurangan ASI. Saat anamnesis diketahui
ibu pasien tidak pernah mendapatkan imunisasi tetanus toksoid. Proses persalinan
pasien dibantu oleh paraji. Pada pemeriksaan tanda tanda vital dalam batas normal,
ditemukan adanya mulut mencucu. Selain itu ditemukan fokus infeksi pada umbilicus
hiperemis. Dokter kemudian memberikan penatalaksanaan awal dan
mengkonsultasikannya ke dokter spesialis anak.
STEP 1

1. Imunisasi Tetanus Toksoid : Vaksin yang diberikan untuk mencegah


penyakit tetanus.

STEP 2

1. Mengapa bayi tersebut tidak mau membuka mulut?


2. Bagaimana patomekanisme terjadinya mulut mencucu pada kasus?
3. Apa saja faktor resiko pada kasus?
4. Bagaimana hubungan paraji dengan keluhan pada kasus?
5. Bagaimana patomekanisme fokus infeksi pada umbilicus yang hiperemis?
6. Bagaimana tatalaksana awal pada kasus?

STEP 3

1. Kekakuan pada otot rahang terjadi karena spasme refleks motorik sehingga
terjadi peningkatan tonus otot dan rigiditas yang menyebabkan bayi sukar
membuka mulut.
2. Persalinan dengan pararji menggunakan alat yang tidak steril sehingga
menjadi pintu masuk mikroorganisme dan menyebar secara hematogen
maupun limfogen kemudian mengenai saraf motorik sehingga dapat timbul
keluhan mulut seperti mencucu.
2

3. a. Pencemaran lingkungan fisik dan biologi


b. Alat yang tidak steril
c. Faktor kekebalan tubuh ibu
d. Perawatan tali pusat
4. Paraji memotong tali pusat dengan alat tidak steril dan didukung dengan
tangan paraji yang mungkin tidak steril sehingga menjadi pintu masuk bagi
mikroorganisme sehingga dapat timbul gejala pada kasus.
5. Paraji memotong tali pusat dengan alat tidak steril sehingga menjadi pintu
masuk bagi mikroorganisme yang menyebabkan infeksi sehingga timbul tanda
inflamasi berupa hiperemesi pada umbilicus.
6. a. Pembersihan tali pusat dengan alkohol 70%, Providon iodine.
b. Pemberian HTIG 500.000 IU secara IV atau IM
c. Pemberian antibiotik
d. Pemeberian ATS 100.000 IU secara IV
STEP 4
1. Pemotongan tali pusat tidak steril menginvasi tubuh kemudian diabsrobsi di
neuromuscular junction menyebar limfogen dan hematogen, mengenai saraf
motorik di transfer retrograd ke sistem saraf pusat kemudian melepaskan
tetanospasmin yang menghancurkan synaptobrevin sehingga mencegah
pelepasan glisin dan GABA yang menyebabkan kegagalan penghambatan
refleks motorik sehingga tonus otot dan rigiditas meningkat sehingga terjadi
spasme otot, bila menyerang wajah akan menyebabkan trismus, menyerang
laring dapat terjadi obstruksi saluran nafas akut, bila menyerang sistem
respirasi menyebabkan hipoventilasi dan apneu dan dalam keadaan yang berat
dapat menyerang otot-otot trunkal sehingga menyebabkan opsitotonus.
2. Persalinan dengan paraji menggunakan alat yang tidak steril sehingga menjadi
pintu masuk mikroorganisme dan menyebar secara hematogen maupun
limfogen kemudian mengenai saraf motorik sehingga dapat timbul keluhan
mulut seperti mencucu.
3

3. a. Imunisasi TT sebagai antibodi maternal sehingga dapat ditransferkan ke


janin untuk menurunkan resiko kejadian infeksi TT.
b. Perawatan tali pusat misalnya seperti penggunaan kasa tidak steril atau
ramu-ramuan yang menyebabkan infeksi terjadinya tetanus.
c. Tempat persalinan tidak steril.
4. Paraji memotong tali pusat dengan alat tidak steril dan didukung dengan
tangan paraji yang mungkin tidak steril sehingga menjadi pintu masuk bagi
mikroorganisme sehingga dapat timbul gejala pada kasus.
5. Paraji memotong tali pusat dengan alat tidak steril sehingga menjadi pintu
masuk bagi mikroorganisme yang menyebabkan infeksi menyebar secara
hematogen sehingga timbul tanda inflamasi berupa hiperemesi pada
umbilicus.
6. a. Tatalaksana umum : Perawatan luka dan pemberian cairan elektrolit.
b. Tatalaksana khsus :
1. Antibiotik, Penicilin 1,2 juta IU secara IM
2. HTIG 2.000-6.000 IU secara IM
3. ATS 100.000 IU secara IV
4. Fenobarbital 20mg/KgBB secara IV

MIND MAP

TATALAKSANA TETANUS ETIOLOGI


NEONATORUM
FAKTOR RISIKO

MANIFESTASI
KLINIS PATOMEKANISME Kekebalan
Lingkungan dan
Higienitas tubuh ibu
4

STEP 5
Sasaran Belajar
1. Masalah pada bayi baru lahir
 Imunitas pada bayi baru lahir (Inkompatibilitas ABO, Rh, Jaundice).
 Infeksi pada bayi yang terjadi intrauterin ( TORCH, HIV, GO), masa janin
dan BBL.
 Macam-macam infeksi pada BBL dan penyebabnya serta patomekanisme
hingga manifestasi klinis.
2. Masalah pada pelayanan kesehatan yang menjadi faktor risiko infeksi pada BBL.

STEP 6
Belajar mandiri.

STEP 7

1. Masalah pada bayi baru lahir

Masalah imunitas pada bayi baru lahir

A. Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas ABO dengan hemolisis neonatus terjadi bila ibu memiliki
antibodi lgG dari paparan sebelumnya terhadap antigen A atau B. Antibodi
lgG ini melewati plasenta melaiui transpor aktif dan memengaruhi janin atau
bayi baru lahir. Sensitisasi ibu terhadap antigen janin dapat terjadi akibat
transfusi sebeiumnya atau karena kondisi kehamilan yang menyebabkan
transfer eritrosit janin ke sirkulasi ibu. sepertl aborsi trimester pertama,
kehamilan ektopik, amniosentesis, ekstraksi plasenta manual, prosedur versi
(eksternal atau internal), atau kehamilan normal. 1

Inkompatibilitas dapat dibedakan menjadi dua yaitu inkompatibilitas


ABO dan inkompatibilitas Rhesus. Inkompatibilitas ABO adalah kondisi
medis dimana golongan darah antara ibu dan bayi berbeda sewaktu masa
5

kehamilan. Terdapat 4 jenis golongan darah, yaitu A, B, AB dan O. Golongan


darah ditentukan melalui tipe molekul (antigen) pada permukaan sel darah
merah. Sebagai contoh, individu dengan golongan darah A memiliki antigen
A, dan golongan darah B memilki antigen B, golongan darah AB memiliki
baik antigen A dan B sedangkan golongan darah O tidak memiliki antigen.
Golongan darah yang berbeda menghasilkan antibodi yang berbeda-beda.1

a. Patofisiologi
Ketika golongan darah yang berbeda tercampur, suatu respon kekebalan
tubuh terjadi dan antibodi terbentuk untuk menyerang antigen asing di
dalam darah. Inkompatibilitas ABO seringkali terjadi pada ibu dengan
golongan darah O dan bayi dengan golongan darah baik A atau B. Ibu
dengan golongan darah O menghasilkan antibodi anti-A dan anti-B yang
cukup kecil untuk memasuki sirkulasi tubuh bayi, menghancurkan sel
darah merah janin.2
Penghancuran sel darah merah menyebabkan peningkatan produksi
bilirubin, yang merupakan produk sisa. Apabila terlalu banyak bilirubin
yang dihasilkan, akan menyebabkan ikterus pada bayi. Bayi dengan
ikterus akan memerlukan fototerapi atau transfusi ganti untuk kasus
berat. Apabila bayi tidak ditangani, bayi akan menderita cerebral palsy.
Sampai saat ini, tidak ada pencegahan yang dapat memperkirakan
inkompatibilitas ABO. Tidak seperti inkompatibilitas Rh,
inkompatibilitas ABO dapat terjadi pada kehamilan pertama dan
gejalanya tidak memburuk pada kehamilan berikutnya.2
Inkompatibilitas Rh adalah suatu kondisi yang terjadi ketika
seorang wanita hamil memilikidarah Rh-negatif dan bayi dalam
rahimnya memiliki darah Rh-positif. Selama kehamilan, sel darah merah
dari bayi yang belum lahir dapat menyeberang ke aliran darah ibu
melalui plasenta. Jika ibu memiliki Rh-negatif, sistem kekebalan
tubuhnya memperlakukan sel-sel Rh-positif janin seolah-olah mereka
6

adalah substansi asing dan membuat antibodi terhadap sel-sel darah


janin. Antibodi anti-Rh ini dapat menyeberang kembali melalui plasenta
ke bayi yang sedang berkembang dan menghancurkan sel-sel darah
merah bayi.2
Sel-sel darah merah yang dipecah menghasilkan bilirubin. Hal
ini menyebabkan bayi menjadi kuning (ikterus). Tingkat bilirubin dalam
aliran darah bayi bisa berkisar dari ringan sampai sangat tinggi. Karena
butuh waktu bagi ibu untuk mengembangkan antibodi, bayi sulung
jarang yang mengalami kondisi ini, kecuali ibu mengalami keguguran di
masa lalu atau aborsi yang membuat peka sistem kekebalan tubuhnya.
Namun, semua anak-anaknya telah setelah itu yang memiliki Rh-positif
dapat terpengaruh. 2
b. Penyebab
Penyebab hemolisis nonimun pada bayi baru Iahir termasuk defisiensi
enzim SDM dari jalur Embden-Meyerhof, seperti defisiensi piruvat
kinase atau glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD). Kelainan
membran SDM adalah penyebab lain dari hemolisis nonimun.
Sferositosis herediter yang diturunkan secara autosomal resesif yang
berat atau autosomal dominan ringan adalah akibat dari defisiensi
spektrin yaitu protein dari membran SDM. Hemoglobinopati, seperti
talasemia, merupakan penyebab Iainnya Iagi dari hemolisis
nonimunologis. 1
Penyebab Reaksi Hemolitik Fatal karena ABO Transfusi Darah
yang Tidak Kompatibel
1) Adanya kesalahan identifikasi (nursing error)
Pada kasus ini pasien mendapatkan darah yang keliru oleh karena
perawat tidak mencocokkan label pada darah dengan identitas
pasien pada gelang yang digunakan oleh pasien, selain itu
menanyakan ke pasien apakah nama pasien benar atau tidak,
7

dimana seharusnya tidak boleh dilakukan, jadi seharusnya biarkan


pasien yang menyebutkan namanya sendiri.3
2) Label sample darah tertukar (phlebotomist error)
Terjadi akibat banyaknya pasien yang memerlukan komponen darah
sehingga tidak menutup kemungkinan label sample darah tertukar.
Akibatnya adalah pasien mendapatkan sample darah keliru dan
dampak yang ditimbulkan juga sangat fatal.3
3) Adanya kesalahan saat mengambil sample (phlebotomist error)
Darah yang diambil oleh petugas kesehatan adalah darah orang lain
sehingga akan menimbulkan dampak yang fatal. Contoh kasus di
klinik adalah petugas kesehatan mengambil darah penunggu pasien
akibat penunggu pasien tidur di bangsal dan petugas kesehatan tidak
menanyakan siapa nama seseorang yang tidur di bangsal tersebut
untuk memastikan apakah dia pasien atau penunggu pasien.3
4) Adanya kekeliruan saat uji pretransfusi (lab error)
Contoh kasus di klinik adalah seharusnya pasien A yang diujikan
dengan golongan darah tertentu tetapi pasien B yang diujikan.
Semua kesalahan diatas akan memberikan dampak yang sangat fatal
dimana pada akhirnya pasien akan mendapatkan komponen darah
yang tidak pas sehingga akan menimbulkan reaksi transfusi
hemolitik yang sangat berat. 3
c. Diagnosis
Diagnosis perdarahan janin-ibu dikonfirmasi oleh uji elusi asam
Kleihauer-Betke. Sel Darah Merah (SDM) janin akan tampak
berwarna merah muda disediaan apus darah tepi ibu dan dihitung
jumlahnya. Warna merah muda terjadi karena hemoglobin janin
resisten terhadap elusi asam; sedangkan dewasa terelusi sehingga tidak
berwarna. Pada pasien dengan anemia sel sabit atau kelainan herediter
hemoglobin fetal persisten dapat memberikan hasil uji elusi yang
8

positif palsu, dan hasil negatif palsu dapat terjadi pada


inkompatibilitas ABO. 1

Bila uji Coombs negatif walaupun terdapat perbedaan


golongan darah antara ibu dan janin, maka penyebab hemolisis
nonimun lain harus dipertimbangkan. Pemeriksaan enzim SDM,
hemoglobin elektroforesis, atau uji membran SDM (fragilitas osmotik,
uji spektrin) harus dilakukan.1

Perdarahan internal juga dapat berhubungan dengan anemia,


retikulositosis, dan ikterus ketika perdarahan diserap kembali; karena
itu evaluasi USG kepala, hati, limpa, atau kelenjar adrenal dapat
terindikasi bila dicurigai hemolisis nonimun. Syok Iebih sering
ditemukan pada pasien dengan perdarahan internal, sedangkan pada
penyakit hemolitik dengan anemia berat dapat mengalami gagal
jantung. Bila diduga terdapat perdarahan janin-ibu maka pemeriksaan
yang dilakukan harus mencakup uji Kleihauer-Betke. 1

Inkompatibilitas ABO dapat terdiagnosa apabila saat transfusi


darah pasien mengindikasikan adanya reaksi-reaksi seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Pemeriksaan darah lengkap (DL) dan urin
lengkap (UL) sangat dianjurkan untuk memastikan adanya sel darah
merah yang lisis atau hemoglobin pada urin sebagai akibat hancurnya
sel darah merah.1

1) Pemeriksaan Darah Lengkap


Demi menegakkan diagnosa dari terjadinya hemolisis
intravascular maka perlu dilakukan pemeriksaan DL. Dianjurkan
untuk melakukan anamensa terlebih dahulu untuk menegakkan
penyebab dan tingkat keperahan dari hemolisis intravaskular.
Anamnesa yang dianjurkan seperti riwayat anemia pada keluarga,
9

riwayat penyakit terakhir atau kondisi medis tertentu, konsumsi


obat-obatan, paparan zat kimia, dan penggunaan artificial heart
valve atau alat medis lainnya yang kemungkinan merusak sel
darah merah. Setelah anamnesa, kemudian pemeriksaan fisik
dilakukan untuk melihat tanda dan gejala hemolisis intravaskular.3
Tanda fisik yang kemungkinan muncul seperti jaundice
(kekuningan pada kulit dan mata), tachycardia atau arrhythmia,
tachypnea atau pernafasan yang tidak teratur, pembesaran organ
spleen, dan pendarahan dalam (Internal bleeding). Pemeriksaan
DL kemudian dilakukan untuk memeriksa kadar hemoglobin,
hematocrit, sel darah merah, sel darah putih, dan platelet dalam
darah. Hasil yang abnormal menunjukkan kemungkinan hemolisis,
kelainan darah, atau infeksi. Namun perlu diperhatikan bahwa
nilai normal dari komponen darah tersebut bervariasi antara
individu yang\ berbeda ras atau etnik. Pemeriksaan DL juga
dilakukan untuk melihat Mean Corpuscular Volume (MCV) atau
rata-rata ukuran sel darah merah sebagai data penunjang dalam
menentukan kemungkinan penyebab anemia.3
2) Pemeriksaan Urin Lengkap
Pemeriksaan dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang dengan
menemukan hemoglobin pada sampel urin. Apabila terjadi lisis sel
darah merah intravaskular, hemoglobin yang berada di plasma
darah akan diikat oleh haptoglobin, hemopexin, dan albumin.
Namun apabila kapasitas hemoglobin melebihi protein
pengikatnya, maka hemoglobin bebas akan diabsorbsi di tubulus
renalis. Apabila kapasitas hemoglobin bebas melebihi yang dapat
diabsorbsi, maka hemoglobin dapat ditemukan dalam urine. Hal
ini mengindikasikan bahwa telah terjadi lisis sel darah merah yang
sangat banyak sebagai akibat dari inkompatibilitas ABO pada sel
darah merah.3
10

d. Tatalaksana
Penatalaksanaan kasus inkompatibilitas ABO pada neonatus umunya
lebih berfokus pada penanganan hiperbilirubinemia. Pada beberapa
penelitian, IVIG (Intravenous Immunoglobulin) dinyatakan sangat
efektif ketika diberikan di awal terapi.16,17 Namun, ada pula beberapa
penelitian lain yang menyatakan bahwa terapi dengan IVIG tidak
memberikan dampak yang signifikan, akan tetapi cocok dilakukan
apabila kadar bilirubin serum sudah mencapai ambang transfusi tukar
terlepas dari fototerapi.18 Selain itu, porfirin tin (Sn), sebuah inhibitor
heme oksigenase yang poten, telah dinyatakan dapat menurunkan
produksi dari bilirubin dan mengurangi\ kebutuhan untuk melakukan
transfusi tukar. Fokus utamaditekankan pada manajemen dari
hiperbilirubinemia.1
Pada inkompatibilitas ABO yang terjadi pada neonatus,
penatalaksanaan secara umum dibagi menjadi 2 yakni penatalaksanaan
secara farmakologi dan non farmakologi :
1) Farmakologi
 Penatalaksanaan farmakologi pertama adalah pemberian obat
pengikat bilirubin. Pemberian oral arang aktif atau agar
menurunkan secara bermakna kadar bilirubin rata-rata selama 5
hari pertama setelah lahir pada bayi sehat, tetapi potensi
terapeutik modalitas ini belum diteliti secara ekstensif. 1
 Penatalaksanaan farmakologi yang kedua yaitu blokade
perubahan heme menjadi bilirubin. Modalitas terapi ini ialah
dengan mencegah pembentukan bilirubin dengan menghambat
heme oksigenase yang akan menghambat penguraian heme
menjadi bilirubin. Umumnya, metaloporfirin sintetik seperti
protoporfirin timah sering digunakan karena yang terbukti
dapat menghambat heme oksigenase, mengurangi kadar
bilirubin serum, dan meningkatkan ekskresi heme yang tidak
11

dimetabolisme melalui empedu. Karena potensi toksisitas dari


modalitas terapi ini belum diketahui secara pasti, maka jenis
obat ini belumditerapkan secara klinis pada anak. Selain
protoporfirin timah, tersedia juga protoporfirin seng atau
mesoporfirin.1
2) Non Farmakologi
 Penatalaksanaan non farmakologi yang paling lazim dilakukan
adalah fototerapi. Fototerapi saat ini masih menjadi modalitas
terapeutik pada bayi dengan ikterus dan merupakan terapi
primer pada neonatus dengan hiperbilirubinemia tidak
terkonjugasi. 1
Bilirubin yang bersifat fotolabil, akan mengalami
beberapa fotoreaksi apabila terpajan ke sinar dalam rentang
cahaya tampak, terutama sinar biru (panjang gelombang 420
nm - 470 nm) dan hal ini akan menyebabkan fotoisomerasi
bilirubin. Turunan bilirubin yang dibentuk oleh sinar bersifat
polar oleh karena itu akan larut dalam air danakan lebih mudah
diekskresikan melalui urine. Bilirubin dalam jumlah yang
sangat kecil juga akan dipecah oleh oksigen yang sangat reaktif
secara irreversible yang diaktifkan oleh sinar. Produk foto-
oksidasi ini juga akan ikut diekskresikan melalui urine dan
empedu. 1
Fototerapi kurang efektif diterapkan pada bayi dengan
penyakit hemolitik, tetapi mungkin dapat berguna untuk
mengurangi laju akumulasi pigmen setelah melakukan
transfusi tukar. Efektivitas terapi sinar terutama dipengaruhi
oleh seberapa luas bagian kulit bayi yang terpapar oleh sinar
dikarenakan proses isomerisasi terbanyak terjadi pada bagian
perifer yaitu di kulit atau kapiler jaringan subkutan, jumlah
energi cahaya yang menyinari kulit bayi, pengubahan posisi
12

bayi secara berkala, jarak antara sumber cahaya dengan bayi


diatur agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal
(tidak boleh melebihi 50 cm dan kurang dari 10 cm). Energi
cahaya yang optimal bisa didapatkan dari lampu neon 20 Watt
yang ada di pasaran dengan panjang gelombang sinar antara
350-470 nm. Selain penggunaan lampu neon, dibutuhkan pula
pleksiglas untuk memblokade sinar ultraviolet, dan filter biru
untuk memperbesar energi cahaya yang sampai pada bayi.1

B. Rhesus disease
a. Patofisiologi
Eritroblastosis fetalis secara klasik disebabkan oleh inkompatibilitas Rh.
Sebagian besar wanita dengan Rh-negatif memiliki antibodi anti-Rh pada
kehamilan pertamanya. Sistem antigen Rh terdiri dari lima antigen C, D, E,
c, serta e, dan tipe d tidak bersifat antigenik. Pada sebagian besar kasus
inkompabilitas Rh, antigen D janin mensensitisasi ibu Rh-negatif (d),
menyebabkan produksi antibodi lgG selama kehamilan pertamanya. Karena
sebagian besar ibu belum tersensitisasi antigen Rh pada awal
kehamilannya, maka eritroblastosis fetalis Rh biasanya menimbulkan
penyakit pada kehamilan kedua dan selanjutnya.1
b. Manifestasi klinis
Manifestasi penyakit hemolitik neonatus yang timbul hanya sebagai anemia
dan hiperbiiirubinemia. Kehamilan selanjutnya dapat memberikan dampak
respons yang lebih parah karena hemolisis in utero terjadi secara dini.
Anemia janin, gagal jantung, peningkatan tekanan vena, obstruksi vena
portal, dan hipoalbuminemia dapat menyebabkan hidrops fetalis, dan
ditandai oleh asites, efusi pleura serta perikardial, dan edema anasarka.
Risiko kematian janin tinggi pada hidrops fetalis. 1
Kehamilan pertama yang mengalami sensitisasi menghasilkan
respons yaitu terbentuknya antibodi pada ibu, dan dapat terdeteksi pada
13

skrining antenatal dengan uji Coombs dan ditemukannya antibodi anti-D.


Bayi yang pertama kali menderita kelainan tersebut tidak menunjukkan
penyakit serius pada janin. 1
c. Tatalaksana
Tatalaksana kehamilan yang mengalami sensitisasi Rh, tergantung dari
beratnya hemolisis, pengaruhnya terhadap janin, dan maturitas janin saat
awitan. Beratnya hemolisis dapat dievaluasi dengan jumlah bilirubin yang
ditransfer darl janin ke cairan ketuban. Jumlah bilirubin ini dihitung
secara analisis sfektrofotometrik dari densitas optikal (pada 450 nm)
cairan ketuban.2

Tiga zona pada densitas optikal dengan kecenderungan yang


menurun saat mencapai usia gestasi cukup bulan telah dikembangkan
untuk memprediksi keparahan penyakit akibat inkompabilitas Rh.
Densitas optikal yang tinggi di zona 3 berhubungan dengan hemolisis
berat. Janin yang mempunyai zona yang terendah yaitu 1 kemungkinan
tidak sakit. Apabila pengukuran densitas optikal pada janin meningkat
ke zona 3, dan paru sudah matang seperti yang ditentukan oleh rasio
letisin:sfingomielin sebaiknya bayi harus dilahirkan dan dirawat di
perawatan intensif BBL. Apabila paru masih imatur dan janin berusia
gestasi 22-33 minggu, maka terindikasi dilakukan transfusi intrauterin
yang dipandu USG dengan menggunakan darah O-negatif ke dalam
vena umbilikal dan dapat diulang sampai paru matang atau terdapat
gawat janin. 2

Indikasi transfusi intravaskular pada janin yang tersensitisasi


dengan usia gestasi antara 22-32 minggu adalah hematokrit kurang dari
25-30%, hidrops fetalis, dan gawat janin diusia kehamilan terialu muda
untuk dilahirkan. Transfusi intravaskular saat intrauterin dapat
memperbaiki anemia pada janin, memperbaiki luaran hidrops berat, dan
mengurangi kebutuhan transfusi tukar paskanatal, namun berhubungan
14

dengan anemia neonatus akibat hemolisis yang masih terjadi ditambah


penekanan sistem eritropoiesis. 2

Infeksi pada neonaus

A. Tetanus neonatorum

a. Etiologi

Disebabkan oleh Clostridium tetani, yang merupakan suatu bakteri


bersifat obligat anaerob, Gram positif, yang berasal dari genus
Clostridium. Bakteri ini sering ditemukan pada tanah dan sebagai
parasit di traktus intestinal mamalia. Bakteri ini memiliki 2 fase hidup,
yang pertama adalah dalam bentuk vegetative dan kemudian
memproduksi endospora. tetani dapat berbentuk seperti stik drum dan
dapat bertahan terhadap panas, bahkan terhadap antiseptik.
Clostridium tetani dalam bentuk spora dapat bertahan hingga suhu
121oC selama 0-15 menit. Spora ini juga dapat bertahan terhadap
berbagai antiseptik. (cth: phenol). Bentuk spora ini lah yang umumnya
bersifat infektif. Pada pewarnaan gram, Clostridium tetani
memberikan gambaran seperti raket tenis.4

b. Faktor resiko
Mempengaruhi terjadinya tetanus neonatorum berhubungan dengan
rendahnya sterilisasi dan kebersihan dari proses partus, penanganan
pasca persalina yang tidak adekuat dan kurangnya pengetahuan dan
sosialisasi vaksin tetanus toxoid di berbagai negara miskin dan kurang
berkembang.4
Faktor-faktor resiko tersebut mencakup faktor medis dan faktor
non medis. Faktor medis meliputi kurangnya standar perawatan
prenatal (kurangnya perawatan antenatal pada ibu hamil, kurangnya
edukasi ibu hamil tentang pentingnya vaksinasi tetanus toxoid),
15

perawatan perinatal (kurang tersedianya fasilitas persalinan dan tenaga


medis sehingga banyak persalina dilakukan di rumah dan penggunaan
alat-alat yang tidak steril, termasuk dalam penanganan tali pusat) dan
perawatan neonatal.4
c. Patofisiologi
Clostridium tetani menghasilkan endospora yang membutuhkan
kondisi anaerobik untuk dapat berkembang. Jaringan yang nekrosis
atau mengalami infeksi merupakan lokasi yang sangat mendukung
bagi tumbuhnya bakteri ini.18 Bakteri ini biasanya masuk ke situs luka
dan setelah melalui proses germinasi (berkisar antara 3-21 hari),
bakteri ini akan menghasilkan 2 jenis exotoxin, yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. 1
Tetanolisin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani bersifat
sitolisin, dan mengawali infeksi bakteri ini dengan merusak jaringan-
jaringan yang belum nekrosis dan mengoptimalkan suasana anaerob
yang terbentuk pada situs luka.Tetanospasmin sebagai neurotoksin
kemudian menjadi agen penyebab munculnya berbagai gejala klinis
pada tetanus.1
Tetanospasmin merupakan suatu neurotoksin yang berbentuk
rantai polipeptida ganda. Rantai polipeptida ini terdiri atas sebuah
rantai polipeptida berat dan 1 rantai polipeptida ringan. Kedua rantai
tersebut dihubungkan oleh suatu jembatan disulfida. Rantai polipeptida
ringan (mengandung zinc metalloprotease) akan berikatan dengan
neuromuscular junction sedangkan rantai polipeptida berat
(mengandung suatu amino terminus yang berfungsi untuk memberi
sinyal kepada sel) menyebabkan tetanospasmin dapat masuk ke dalam
akson. Tetanospasmin kemudian masuk ke dalam sel hingga mencapai
sistem saraf pusat secara intra-aksonal. Setelah mencapai daerah
intrasel, tetanospasmin dapat berdifusi keluar dari sel dan berikatan
dengan reseptor interneuron inhibitorik (pada medulla spinalis).
16

Tetanospasmin akan diendositosis ke dalam sel intraneuron inhibitorik


ini.1
Di dalam sel, ikatan disulfida antara rantai polipeptida ringan
dan berat akan rusak akibat suasana asam, rantai polipeptida ringan
kemudian akan masuk ke sitoplasma sel intra neuron. Kandungan zinc
metalloprotease yang terdapat pada rantai ringan ini kemudian akan
merusak synaptobrevin (protein membran) yang dibutuhkan dalam
proses transportasi neurotransmitter dari sel interneuron menuju saraf
motorik. Hal ini menyebabkan pelepasan neurotransmitter inhibitori
(terutama Gamma Amino Butric Acid/GABA) tidak dapat dilakukan.
Dihambatnya transport GABA ini menyebabkan refleks antagonis otot
skeletal menjadi hilang, akibatnya terjadi kontraksi otot tidak
terkontrol dan spasme dari otot-otot skeletal.1
Tetanospasmin selain merusak refleks antagonis pada sistem
musculoskeletal, pada tahap lanjut, juga mengganggu refleks antagonis
sistem saraf simpatik, sehingga pada kondisi tersebut, pelepasan
katekolamin storm atau disebhiper-adrenergik.1
d. Manifestasi klinis
Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat
dilihat ketika bayi malas minum dan menangis yang terus
menerus.Bayi kemudian akan kesulitan hingga tidak sanggup
menghisap dan akhirnya mengalami gangguan menyusu. Hal tersebut
menjadi tanda khas onset penyakit ini. Kekakuan rahang (trismus)
mulai terjadi, dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang dan
akhirnya berhenti. Mulai terjadi kekakuan pada wajah (bibir tertarik
kearah lateral, dan alis tertarik ke atas) yang disebut risus sardonicus.
Kaku kuduk, disfagia dan kekakuan pada seluruh tubuh akan menyusul
dalam beberapa jam berikutnya.4
Pada saat spasme dan kejang berlangsung, kedua lengan
biasanya akan fleksi pada siku dan tertarik ke arah badan, sedangkan
17

kedua tungkai dorsofleksi dan kaki akan mengalami hiperfleksi.


Spasme pada otot punggung menyebabkan punggung tertarik
menyerupai busur panah (opisthotonos).4
e. Diagnosis
Untuk mendiagnosa tetanus neonatorum adalah dengan melihat
gambaran dan gejala klinis yang ada. Pemeriksaan kultur jarang
dilakukan karena ditemukan tidaknya bakteri Clostridium tetani bukan
merupakan suatu tanda karakterisitik pada infeksi bakteri ini.
Pemeriksaan dengan spatula lidah dapat digunakan untuk mendeteksi
dini penyakit ini. Hasil positif ditunjukan ketika spatula disentuhkan
ke orofaring lalu terjadi spasme pada otot maseter dan bayi menggigit
spatula lidah.4
f. Tatalaksana
1) Penatalaksanaan tetanus neonatorum pada dasarnya sama dengan
tetanus lainnya, yaitu meliputi terapi suportif (sedasi, pelemas otot)
selama tubuh berusaha memtabolisme neurotoxin, mencegah
bertambahnya toxin yang mencapai CNS dan berusaha membunuh
kuman yang masih dalam bentuk vegetatif untuk mencegah
produksi tetanospasmin yang berkelanjutan. Perawatan di NICU
mutlak diperlukan.4
2) Pemberian antibiotik diperlukan untuk membunuh kuman bukan
untuk netralisasi toksin. Penicillin G (100.000 U/kg/24 jam IV
dibagi menjadi 4-6 kali pemberian selama 10-14 hari).4
3) Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan pemberian
Tetanus Immunoglobulin (TIG) 3000-6000 unit dosis tunggal
intramuskular.7 Pada suatu penelitian ditemukan bahwa dosis
sebesar 500 unit memiliki efektifitas yang sama dengan pemberian
dosis yang lebih besar, namun hingga saat ini pemberian dosis TIG
3000-6000 unit (IM) masih menjadi rekomendasi resmi WHO.4
18

4) ATS dapat diberikan dengan dosis 10.000 unit dan pemberiannya


dibagi menjadi 2 dosis.4
5) Diazepam memiliki efek pelemas otot, anti anxietas dan sedasi. Hal
itu menyebabkan diazepam efektif digunakan dalam penanganan
tetanus neonatorum.27 Pemberian diazepam bervariasi untuk tiap
individu, 0,1-0,8 mg/kg/hari PO dibagi dalam 3-4 dosis untuk
spasme ringan, dan 0,1-0,3 mg/kg IV dalam 4-8 jam untuk spasme
sedang-berat.4

B. Toxoplasmosis

a. Etiologi
Toksoplasmosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
protozoa Toxoplasma gondii. Resiko penularan meningkat seiring
dengan meningkatnya usia kehamilan. Infeksi kongenital dengan
toksoplasmosis dapat menyebabkan gejala sisa yang serius, seperti
kebutaan, keterbelakangan mental, defisit neurologik, dan tuli.5

b. Patofisiologi
Toksoplasmosis merupakan infeksi protozoa yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii dengan hospes definitif kucing dan hospes
perantara manusia. Manusia dapat terinfeksi parasit ini bila memakan
daging yang kurang matang atau sayuran mentah yang mengandung
ookista atau pada anakanak yang suka bermain di tanah, serta ibu yang
gemar berkebun dimana tangannya tertempel ookista yang berasal dari
tanah.1

Perkembangan parasit dalam usus kucing menghasilkan


ookista yang dikeluarkan bersama tinja. Ookista menjadi matang dan
infektif dalam waktu 3-5 hari di tanah. Ookista yang matang dapat
hidup setahun di dalam tanah yang lembab dan panas, yang tidak
19

terkena sinar matahari secara langsung. Ookista yang matang bila


tertelan tikus, burung, babi, kambing, atau manusia yang merupakan
hospes perantara, dapat menyebabkan terjadinya infeksi.1

Pada ibu hamil yang mengalami infeksi primer, mula-mula


akan terjadi parasitemia, kemudian darah ibu yang masuk ke dalam
plasenta akan menginfeksi plasenta (plasentitis). Infeksi parasit dapat
ditularkan ke janin secara vertikal. Takizoit yang terlepas akan
berproliferasi dan menghasilkan fokus-fokus nekrotik yang
menyebabkan nekrosis plasenta dan jaringan sekitarnya, sehingga
membahayakan janin dimana dapat terjadi ekspulsi kehamilan atau
aborsi.1

c. Manifestasi Klinis
Lesi pada mata merupakan salah satu manifestasi yang paling sering
pada toksoplasmosis kongenital. Gambaran lesi toksoplasmosis okular
ialah adanya fokus nekrosis pada retina. Pada fase akut, lesi ini timbul
sebagai bercak putih kekuningan di fundus dan biasanya berhubungan
dengan ruam pada vitreus. Gejala yang timbul pada infeksi mata antara
lain penglihatan kabur, fotofobia, nistagmus, strabismus epifora, dan
katarak.1

Manifestasi neurologik pada anak menunjukkan gejala-gejala


neurologik termasuk kalsifikasi intrakranial, hidrosefalus, epilepsi,
retardasi mental, dan mikrosefalus. Fungsi intelektual anak yang
terinfeksi juga mengalami penurunan.1

Sekuele yang didapatkan pada bayi baru lahir dapat


dikategorikan atas sekuele ringan dan berat. Pada sekuele ringan,
ditemukan sikatriks korioretinal tanpa gangguan visus atau adanya
kalsifikasi serebral tanpa diikuti kelainan neurologik. Pada sekuele
20

berat, terjadi kematian janin intrauterin atau neonatal, adanya sikatriks


korioretinal dengan gangguan visus berat atau kelainan neurologik.1

d. Diagnosis
1) Kehamilan dengan imun seropositif, yaitu ditemukan adanya
antibodi IgG anti- toksoplasma dengan titer 1/20 – 1/1000 .
2) Kehamilan dengan antibodi IgG atau IgM spesifik dengan titer
tinggi (biasanya disertai juga hasil positif uji Sabin-Feldman), yang
menunjukkan bahwa ibu hamil dengan seropositif mengalami
reinfeksi. Keadaan ini sering juga disebut kehamilan dengan
toksoplasmosis eksaserbasi akut.
3) Kehamilan dengan seronegatif, yaitu darah ibu tidak mengandung
antibodi spesifik. Dalam hal ini ibu hamil dianjurkan untuk
mengulangi uji serologik (cukup lateks aglutinasi) tiap trimester.
4) Kehamilan dengan serokonversi, yaitu adanya perubahan dari
seronegatif menjadi seropositif selama kehamilan. Penderita
memiliki risiko tinggi transmisi vertikal dari maternal ke janin serta
mengakibatkan toksoplasmosis kongenital. Hal ini merupakan
indikasi pengobatan antiparasit selama kehamilan.5
e. Tatalaksana
1) Penggunaan antibiotik spiramisin selama kehamilan dengan infeksi
T. gondii akut dilaporkan menurunkan frekuensi transmisi vertikal.
Proteksi ini terlihat lebih nyata pada wanita yang terinfeksi selama
trimester pertama. Spiramisin tidak dapat melewati plasenta, dan
sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi pada kasus yang
diduga telah terjadi infeksi pada janin. Sampai saat ini, tidak
terdapat fakta bahwa obat ini bersifat teratogenik. Pada wanita yang
diduga mengalami infeksi toksoplasma akut pada trimester pertama
atau awal trimester kedua, spiramisin diberikan hingga persalinan
meskipun hasil pemeriksaan PCR negatif. Hal ini berdasarkan teori
21

yang menyatakan bahwa kemungkinan infeksi janin dapat terjadi


pada saat kehamilan dari plasenta yang sebelumnya telah terinfeksi
di awal kehamilan.1

2) Sulfadiazin merupakan golongan sulfonamida dengan masa kerja


sedang.Mekanisme kerjanya bersifat bakteriostatik dengan
menghambat sintesis asam folat, serta menghambat enzim yang
membentuk asam folat dan para amino benzoic acid (PABA).
Sebagian bahan ini menginaktivasi enzim seperti dehidrogenase
atau karboksilase yang berperan pada respirasi bakteri. Dosis
pemberian 2-4 gram per oral sehari sekali selama 1-3 minggu,
kemudian dosis dikurangi setengah dari dosis sebelumnya dan
terapi dilanjutkan hingga 4-5 minggu.1

C. Rubella
a. Etiologi
Congenital Rubella Syndrome (CRS) adalah penyakit pada bayi oleh
karena infeksi maternal dengan rubella virus selama kehamilan. Ketika
infeksi rubella terjadi selama awal kehamilan, konsekuensi serius
seperti abortus, IUFD dan cacat lahir yang parah pada bayi dapat
terjadi. Itu risiko infeksi kongenital dan kecacatan paling tinggi selama
12 minggu pertama kehamilan dan menurun setelah minggu ke 12
kehamilan; cacat jarang terjadi setelah infeksi pada minggu ke-20
(atau sesudahnya) kehamilan.1

b. Patofisiologi
Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan yaitu melalui droplet
yang dikeluarkan oleh seseorang yang terinfeksi rubella, setelah
terkena droplet, virus ini akan mengalami replikasi di nasofaring dan
di daerah kelenjar getah bening. Viremia terjadi antara hari ke-5
sampai hari ke-7 setelah terpajan virus rubella. Dalam ruangan
22

tertutup, virus rubella dapat menular ke setiap orang yang berada di


ruangan yang sama dengan penderita. Masa inkubasi virus rubella
berkisar antara 14–21 hari. Masa penularan 1 minggu sebelum dan 4
hari setelah onset ruam (rash). Pada episode ini, Virus rubella sangat
menular. 1

Infeksi transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat


viremia berlangsung. Infeksi rubella menyebabkan kerusakan janin
karena proses pembelahan terhambat. Dalam sekret faring dan urin
bayi dengan CRS, terdapat virus rubella dalam jumlah banyak yang
dapat menginfeksi bila bersentuhan langsung. Virus dalam tubuh bayi
dengan CRS dapat bertahan hingga beberapa bulan atau kurang dari 1
tahun setelah kelahiran. 5

Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya


oleh kerusakan sel akibat virus rubella dan akibat pembelahan sel oleh
virus. Infeksi plasenta terjadi selama viremia ibu, menyebabkan daerah
nekrosis yang tersebar secara fokal di epitel vili korealis dan sel
endotel kapiler. Sel ini mengalami deskuamasi ke dalam lumen
pembuluh darah, virus rubella kemudian masuk ke dalam sirkulasi
janin sebagai emboli sel endotel yang terinfeksi. Hal ini selanjutnya
mengakibatkan infeksi dan kerusakan organ janin. Selama kehamilan
muda mekanisme pertahanan janin belum matang dan gambaran khas
embriopati pada awal kehamilan adalah terjadinya nekrosis seluler
tanpa disertai tanda peradangan. 5

Sel yang terinfeksi virus rubella memiliki umur yang pendek.


Organ janin dan bayi yang terinfeksi memiliki jumlah sel yang lebih
rendah daripada bayi yang sehat. Virus rubella juga dapat memicu
terjadinya kerusakan dengan cara apoptosis. Jika infeksi maternal
terjadi setelah trimester pertama kehamilan, frekuensi dan beratnya
23

derajat kerusakan janin menurun drastis. Perbedaan ini terjadi karena


janin terlindung oleh perkembangan respon imun janin, baik yang
bersifat humoral maupun seluler, dan adanya antibodi maternal yang
ditransfer secara pasif. 5

c. Manifestasi klinis

Rubella merupakan penyakit infeksi diantaranya 20–50% kasus


bersifat asimptomatis. Gejala rubella hampir mirip dengan penyakit
lain yang disertai ruam. Gejala klinis untuk mendiagnosis infeksi virus
rubella pada orang dewasa atau pada kehamilan adalah Infeksi bersifat
akut yang ditandai oleh adanya ruam makulopapular, suhu tubuh

,
>37,2 artralgia/artrhitis, limfadenopati, konjungtivitis. CRS yang
meliputi 4 defek utama yaitu :

1) Gangguan pendengaran tipe neurosensorik. Timbul bila infeksi


terjadi sebelum umur kehamilan 8 minggu. Gejala ini dapat
merupakan satu-satunya gejala yang timbul.
2) Gangguan jantung meliputi PDA, VSD dan stenosis pulmonal.
3) Gangguan mata : katarak dan glaukoma. Kelainan ini jarang berdiri
sendiri.
4) Retardasi mental dan beberapa kelainan lain antara lain Purpura
trombositopeni (Blueberry muffin rash), Hepatosplenomegali,
meningoensefalitis, pneumonitis. 5
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakan dengan :

1) Anamnesis

Untuk mendiagnosa rubella congenital maka harus ada riwayat


terjadi rubella pada ibunya, yang ditandai dengan gejala-gejala di
atas.5
24

2) Pemeriksaan fisik

Untuk CRS dapat diidentifikasikan dari pemeriksaan fisik, yaitu


dari kepala dapat kita temukan adanya mikrocephali, pada mata
biasanya ditemukan tanda kelainan di bola mota berupa adanya
katarak dan peningkatan tekanan intraokuler atau biasa disebut
glaucoma. Pada telinga terdapat kelainan pendengaran yaitu
ketulian yang dapat dideteksi setelah usia masa pertumbuhan.
Kemudian pada pemeriksaan jantung dapat ditemukan adanya
kelainan berupa patent duktus arteriosus ditandai dengan adanya
murmur derajat I-IV. 5

3) Pemerksaan penunjang

Secara garis besar, pemeriksaan laboratorik untuk menentukan


infeksi virus rubella dibagi menjadi 3 yaitu:

 Isolasi virus
Virus rubella dapat diisolasi dari sekret hidung, darah, apusan
tenggorok, urin, dan cairan serebrospinalis penderita rubella.
Virus juga dapat diisolasi dari faring 1 minggu sebelum dan
hingga 2 minggu setelah munculnya ruam. Meskipun metode
isolasi ini merupakan diagnosis pasti untuk menentukan infeksi
rubella, metode ini jarang dilakukan karena prosedur
pemeriksaan yang rumit. Hal ini menyebabkan metode isolasi
virus bukan sebagai metode diagnostik rutin. Untuk isolasi
secara primer spesimen klinis, sering menggunakan kultur sel
yaitu Vero African green monkey kidney (AGMK) atau dengan
RK-13. Virus rubella dapat ditemui dengan adanya Cytophatic
effects (CPE). 1

 Pemeriksaan serologis
25

Pemeriksaan serologis digunakan untuk mendiagnosis infeksi


virus rubella kongenital dan pascanatal (sering dikerjakan di
anak-anak dan orang dewasa muda) dan untuk menentukan
status imunologik terhadap rubella.5
Pemeriksaan terhadap wanita hamil yang pernah
bersentuhan dengan penderita rubella, memerlukan upaya
diagnosis serologis secara tepat dan teliti. Jika penderita
memperlihatkan gejala klinis yang semakin memberat, maka
harus segera dikerjakan pemeriksaan Immuno Assay enzim
(ELISA) terhadap serum penderita untuk menetukan adanya
IgM spesifik-rubella, yang dapat dipastikan dengan memeriksa
dengan cara yang sama setelah 5 hari kemudian. Penderita
tanpa gejala klinis tetapi terdiagnosis secara serologis
merupakan sebuah masalah khusus. Mereka mungkin sedang
mengalami infeksi primer atau re-infeksi karena telah
mendapatkan vaksinasi dan memiliki antibodi. Pengukuran
kadar IgG rubella dengan ELISA juga dapat membantu
membedakan infeksi primer dan re-infeksi.5
 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Merupakan teknik yang paling umum digunakan untuk
menemukan RNA virus. Di Inggris, PCR digunakan sebagai
metode evaluasi rutin untuk menemukan virus rubella dalam
spesimen klinis.5
e. Tatalaksana
Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk CRS, pengobatannya hanya
bersifat suportif.
1) Jika tidak terjadi komplikasi bakteri, pengobatan adalah
simptomatis. Adamantanamin hidroklorida (amantadin) telah
dilaporkan efektif in vitro dalam menghambat stadium awal infeksi
rubella pada sel yang dibiakkan. 1
26

2) Upaya untuk mengobati anak yang sedang menderita CRS dengan


obat ini tidak berhasil. Karena amantadin tidak dianjurkan pada
wanita hamil, penggunaannya amat terbatas. Interferon dan
isoprinosin telah digunakan dengan hasil yang terbatas.1
3) Pada Bayi yang dilakukan tergantung kepada organ yang terkena:
Gangguan pendengaran diatasi dengan pemakaian alat bantu
dengar, terapi wicara dan memasukkan anak ke sekolah khusus atau
implantasi koklea.1
4) Keterbelakangan mentalnya diatasi dengan fisioterapi, terapi
wicara, okupasi atau jika sangat berat, mungkin anak perlu
dimasukkan ke institusi khusus.1

D. Cytomegalovirus (CMV)
a. Etiologi
Cytomegalovirus atau disingkat CMV merupakan anggota keluarga
virus herpes yang biasa disebut herpesviridae. Pada awal infeksi,
CMV aktif menggandakan diri. Sebagai respon, sistem kekebalan
tubuh akan berusaha mengatasi kondisi tersebut, sehingga setelah
beberapa waktu virus akan menetap dalam cairan tubuh penderita
seperti darah, air liur, urin, sperma, lendir vagina, ASI, dan
sebagainya. Penularan CMV dapat terjadi karena kontak langsung
dengan sumber infeksi tersebut, dan bukan melalui makanan, minuman
atau dengan perantaraan binatang. Cytomegalovirus juga
jarang ditemukan pada trasfusi darah.6
b. Patofisiologi
Infeksi bawaan cytomegalovirus dapat terjadi karena infeksi primer
atau reaktivasi dari ibu. Namun, penyakit yang diderita janin atau bayi
yang baru lahir dikaitkan dengan infeksi primer ibu. Infeksi primer
pada usia anak atau dewasa lebih sering dikaitkan dengan respon
limfosit T yang hebat.6
27

Respon limfosit T dapat mengakibatkan timbulnya simdroma


mononukleosis yang serupa seperti dialami setelah infeksi virus
Epstein-Barr. Tanda khas infeksi ini adalah adanya limfosit atipik pada
darah tepi. Sekali terkena, selama masa simtomatis infeksi primer,
cytomegalovirus menetap pada jaringan induk semangnya. Tempat
infeksi yang menetap dan laten melibatkan bermacam sel dan organ
tubuh. Penularan transfusi darah atau transplantasi organ berkaitan
dengan infeksi terselubung dalam jaringan ini. 6
Stimulasi antigen kronis (seperti yang timbul setelah
transplantasi organ) disertai melemahnya sistem imun merupakan
keadaan yang paling sesuai untuk pengaktifan cytomegalovirus dan
penyakit yang disebabkan oleh cytomegalovirus.
Cytomegalovirus dapat menyebabkan respons limfosit T yang lemah,
yang sering kali mengakibatkan superinfeksi oleh kuman oportunistik.
Cytomegalovirus juga dapat mejadi faktor  pembantu dalam
mengaktifkan infeksi laten HIV.6
c. Manifestasi klinis
CMV retinitis biasanya menimbulkan gejala, tapi jarang. pasien
dengan kondisi sistem imun tertekan harus memperhatikan gejala-
gejala pada meta berikut selama perawatan :
1) Kehilangan penglihatan tiba-tiba 
2) Penglihatan menjadi kabur 
3) Bintik buta 
4) Sorotan cahaya.1
d. Diagnosis
Sebagian besar pasien dengan CMV retinitis membutuhkan trapi mata
oleh seorang ahli. seorang ahli bedah mata mendiagnosa CMV retinitis
dengan sepenuhnya memeriksa bagian belakang mata menggunakan
28

opthtalmoscopy. Fluorescein angiography mungkin dibutuhkan untuk


mengevaluasi system sirkulasi retina.1

e. Tatalaksana
Obat-obat spesifik yang memberikan harapan untuk terapi pada
penyakit CMV adalah:

1) Ganciclovir (DHPG-dihydroxy-2 propoxy methyl-guarine) 


Dosis intravena: 5 - 7,5 mg per kg berat badan 
Dosis oral untuk dewasa: 3 x 1 gr atau 6 x 500 mg 
Aktivitas anti virus dari ganciclovir adalah dengan menghambat
sintesa DNA.
2) Foscarnet (Fosfonoformate) 
Dosis intravena: 60-90 mg/kg BB/hari.
3) Imunoglobulin yang mengandung titer antibodi anti CMV yang
tinggi.
4) Valaciclovir dapat dipertimbangkan sebagai terapi profilaksi untuk
penyakit akibat infeksi CMV pada individu dengan
imunokompromais. 6

E. Neonatus herpes simpleks


a. Etiologi
Sebagian besar kasus (85%) terjadi pada saat melahirkan. Sewaktu
bayi di dalam jalan lahir, terjadi kontak dengan cairan vagina yang
terinfeksi, yang paling umum dengan ibu yang baru terkena virus
(ibu yang memiliki virus sebelum kehamilan memiliki risiko lebih
rendah transmisi), 5% estimasi terinfeksi dalam kandungan, dan
sekitar 10% kasus diperoleh postnatal. Deteksi dan pencegahan sulit
karena transmisi asimtomatik pada 60% – 98% kasus.7

b. Patofisiologi
29

Peningkatan transmisi dari infeksi herpes simpleks neonatus pada


wanita yang menderita infeksi HSV pada menjelang usia kehamilan
dapat merupakan akibat dari satu atau lebih faktor berikut :
1) Penurunan waktu untuk transfer pasif antibodi HSV spesifik
dari ibu ke janin.
2) Terpaparnya neonatus terhadap peningkatan titer HSV di
traktus genitalis dari perempuan yang treinfeksi sebagai akibat
sekresi serviks yang mengandung antibodi penetralisir HSV
dalam jumlah kecil.
3) Peningkatan kemungkinan paparan HSV secara perinatal
dikarenakan infeksi herpes genitalis merupakan faktor risiko
yang signifikan untuk terjadinya reaktivasi HSV secara lebih
sering dari laten dan peluruhan. Aktivitas pengikatan yang
lebih rendah dari antibodi spesifik HSV awalnya dihasilkan
dari infeksi primer, dapat pula berkontribusi terhadap
meningkatnya efisiensi transmisi HSV neonatus pada wanita
yang mendapat infeksi herpes genital pada tahap akhir
kehamilan. 7
Pada respon imun humoral kemampuan dari antibodi yang
spesifik terhadap patogen untuk mengikat, menetralisir dan
mengeliminasi mikroba sangat rendah segera setelah infeksi primer
tetapi kemudian meningkat secara bertahap oleh proses yang
disebut maturasi afinitas.1
Respon awal pejamu terhadap infeksi, rantai berat
imunoglobulin dan rantai ringan gen - gen sel B yang spesifik
antigen mengalami point mutation dengan kecepatan yang tinggi
dan beberapa dari mutasi ini akan menghasilkan sel B dengan
afinitas terhadap antigen yang lebih tinggi. Baik presentasi antigen
dan pensinyalan reseptor dan sel T helper menyebabkan
bertahannya sel B berafinitas tinggi ini, sedangkan sel B yang
30

berafinitas rendah yang mengenali antigen secara kurang efisien


dieliminasi dengan apoptosis. Sehingga saat mekanisme pertahanan
pejamu menurunkan beban patogen, hanya sel B yang mengenali
antigen dengan afinitas tertinggi yang dapat bertahan, dan maturasi
dari imunitas humoral spesifik terhadap patogen menghasilkan
imunoglobulin dengan afinitas yang lebih tinggi terhadap antigen.
Dikarenakan rendah atau tidak didapatkannya afinitas antibodi
spesifik terhadap patogen lebih mencirikan infeksi primer yang
baru, uji aviditas antibodi HSV maternal dapat digunakan untuk
menilai risiko penularan HSV saat persalinan (aviditas merupakan
pengukuran terhadap kekuatan secara umum dari ikatan antibodi
antigen).1
c. Manietasi klinis
Gejala tidak spesifik seperti demam atau hipotermia, letargi, nafsu
makan menurun dan iritabilitas dapat dijumpai dengan atau tanpa
lesi mukokutaneus. Saat diagnosis dibuat, beberapa bayi
berkembang progresif menjadi penyakit yang berat dan
menimbulkan komplikasi. 7
Kejang fokal atau generalisata, hepatitis, pneumonitis,
inflamasi mata, keterlibatan gastrointestinal dan adrenal dapat
dijumpai. Ulkus mata dendritik, korioretinitis atau acute necrotizing
retinitis dapat dijumpai. Katarak kongential yang dipicu oleh virus
herpes pernah dilaporkan terjadi pada mata kanan bayi usia 18
bulan. Diatesis perdarahan, gagal fungsi hati, koma, distres
pernafasan dan syok biasanya dijumpai pada fase akhir infeksi
berat. Infeksi yang terlokalisir lebih sering disebabkan oleh virus
HSV-1 dan infeksi sentral atau diseminata disebabkan oleh virus
HSV-2. Komplikasi jangka panjang seperti kejang, retadarsi
psikomotor, spastisitas, kebutaan dan gangguan belajar sering
dijumpai pada survivor.7
31

Lesi terbatas pada kulit, mata dan mulut memberikan


mortalitas lebih rendah tetapi morbiditas tetap tinggi. Infeksi pada
kulit ditandai dengan adanya vesikel berbatas tegas tetapi
merupakan tanda penting dari penyakit ini. Vesikel yang
berkelompok mula - mula terdapat pada tempat kontak dengan virus
selama persalinan kemudian dapat menjalar ke tempat lain. Gejala
biasanya muncul 10 hingga 11 hari setelah kelahiran. Vesikel
dengan dasar eritema berdiameter 1 - 2 mm, dapat berkembang
menjadi bula yang lebih besar dengan diameter lebih dari 1 cm.
Lesi kulit dapat bersifat multipel dengan tempat yang saling
berjauhan. Lesi dapat berupa erupsi zosteriform, meskipun jarang.
Lesi pada mata dapat berupa keratokonjungtivitis dan kemudian
menjadi korioretinitis, katarak dan lepasnya retina. 7
d. Tatalaksana
Penurunan angka kesakitan dan kematian adalah akibat penggunaan
pengobatan antiviral seperti asiklovir dan vidarabine. Namun,
angka kesakitan dan kematian masih tetap tinggi karena diagnosis
DIS dan herpes SSP datang terlambat untukmelkukan administrasi
antivirus efektif; diagnosis dini sulit dalam 20-40% dari neonatus
yang terinfeksi yang tidak memiliki lesi terlihat. Sebuah penelitian
retrospektif baru-baru skala besar menemukan disebarluaskan
NHSV paitents paling tidak mungkin untuk mendapatkan
penanganan yang tepat waktu, memberikan kontribusi bagi
morbiditas tinggi / kematian dalam kelompok itu.1

F. HIV (Human Immunodeficiency Virus)


a. Etiologi
Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yaitu virus yang tergolong ke
dalam keluarga retrovirus subkelompok lentivirus, seperti virus
32

Visna pada biri-biri, sapi, dan feline serta Simian Immunodeficiency


Virus (SIV).1
Lentivirus mampu menyebabkan efek sitopatik yang singkat
dan infeksi laten dalam jangka panjang, juga menyebabkan penyakit
progresif dan fatal termasuk wasting syndrom dan degenerasi SSP.
Virus ini pertama kali ditemukan oleh Montagnier dari Perancis
pada tahun 1983 dan oleh Gallo dari Amerika pada tahun 1984.
Terdapat 2 tipe HIV yang sangat mirip, yaitu HIV-1 dan HIV-2
yang walaupun berbeda struktur genomik dan antigenesitasnya akan
tetapi manifestasi klinisnya tidak dapat dibedakan. Kedua tipe HIV
tersebut diketahui membentuk antibodi yang dapat saling bereaksi
silang.1
b. Patofisiologi
Cara penularan HIV yang paling penting pada anak adalah dari ibu
kandungnya yang sudah mengidap HIV baik saat sebelum dan
sesudah kehamilan. Penularan lain yang juga penting adalah dari
transfusi produk darah yang tercemar HIV, kontak seksual dini pada
perlakuan salah seksual atau perkosaan anak oleh penderita HIV,
prostitusi anak, dan sebab-sebab lain yang buktinya sangat sedikit.1
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut
ke bayi yang dikandungnya. Cara transmisi ini dinamakan juga
transmisi secara vertikal. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta
(intrauterin) intrapartum, yaitu pada waktu bayi terpapar dengan
darah ibu atau sekret genitalia yang mengandung HIVselama proses
kelahiran, dan post partum melalui ASI.
Faktor prediktor penularan adalah stadium infeksi ibu, kadar
Limfosit T CD4 dan jumlah virus pada tubuh ibu, penyakit
koinfeksi hepatitis B, CMV atau penyakit menular seksual lain pada
ibu, serta apakah ibu pengguna narkoba suntik sebelumnya dan
tidak minum obat ARV selama hamil. Proses intrapartum yang sulit
33

juga akan meningkatkan transmisi, yaitu lamanya ketuban pecah,


persalinan per vaginam dan dilakukannya prosedur invasif pada
bayi. Selain itu prematuritas akan meningkatkan angka transmisi
HIV pada bayi. HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang
mengandung HIV di dalam tubuhnya baik dari cairan ASI maupun
sel-sel yang berada dalam cairan ASI (limfosit, epitel duktus
laktiferus). Risiko untuk tertular HIV melalui ASI adalah 11-29%. 1
d. Faktor resiko
Dari cara penularan tersebut di atas maka faktor risiko untuk
tertular HIV pada bayi dan anak adalah bayi yang lahir dari ibu
dengan pasangan biseksual, bayi yang lahir dari ibu dengan
pasangan berganti, bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya
penyalahguna obat intravena, bayi atau anak yang mendapat
transfusi darah atau produk darah berulang, anak yang terpapar
pada infeksi HIV dari kekerasan seksual (perlakuan salah seksual),
dan, anak remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti
pasangan.8
e. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari
asimtomatis sampai penyakit berat yang dinamakan AIDS. Gejala
klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh
mikroorganisme yang ada di lingkungan anak. Oleh karena itu,
manifestasinya pun berupa manifestasi nonspesifik berupa gagal
tumbuh, berat badan menurun, anemia, panas berulang,
limfadenopati, dan hepatosplenomegali. 1
Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah
adanya infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit,
jamur, atau protozoa yang lazimnya tidak memberikan penyakit
pada anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun, terutama
imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada
34

organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta


sering berulang. Penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut
yang dapat menyebar ke esofagus, radang paru karena
Pneumocystis carinii, radang paru karena mikobakterium atipik,
atau toksoplasmosis otak. Bila anak terserang Mycobacterium
tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas
pada paru dan otak. Anak sering juga menderita diare berulang. 1
Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak
adalah pneumonia interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang
mungkin langsung disebabkan oleh HIV pada jaringan paru.
Manifestasi klinisnya berupa hipoksia, sesak napas, jari tabuh, dan
limfadenopati.1
Secara radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus
bilateral, terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum.
Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan
ensefalopati kronik yang mengakibatkan hambatan perkembangan
atau kemunduran ketrampilan motorik dan daya intelektual,
sehingga terjadi retardasi mental dan motorik. Ensefalopati dapat
merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi atrofi
dengan pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi.
Antigen HIV dapat ditemukan pada jaringan susunan saraf pusat
atau cairan serebrospinal.1

f. Diagnosis
1) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan assay antibody dapat mendeteksi antibodi terhadap
HIV. Tetapi karena antibodi anti HIV maternal ditransfer secara
pasif selama kehamilan dan dapat dideteksi hingga usia anak 18
bulan, maka adanya hasil antibodi yang positif pada anak kurang
dari 18 bulan tidak serta merta menjadikan seorang anak pasti
35

terinfeksi HIV. Karenanya diperlukan uji laboratorik yang


mampu mendeteksi virus atau komponennya seperti assay untuk
mendeteksi DNA HIV dari plasma Assay untuk mendeteksi RNA
HIV dari plasma assay untuk mendeteksi antigen p24 Immune
Complex Dissociated (ICD) Teknologi uji virologi masih
dianggap mahal dan kompleks untuk negara berkembang. Real
time PCR(RT-PCR) mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV,
dan saat ini sudah dipasarkan dengan harga yang jauh lebih
murah dari sebelumnya.1
Assay ICD p24 yang sudah dikembangkan hingga generasi
keempat masih dapat dipergunakan secara terbatas. Evaluasi dan
pemantauan kualitas uji laboratorium harus terus dilakukan
untuk kepastian program. Selain sampel darah lengkap (whole
blood) yang sulit diambil pada bayi kecil, saat ini juga telah
dikembangkan di negara tertentu penggunaan dried blood spots
(DBS) pada kertas saring tertentu untuk uji DNA maupun RNA
HIV. 1
2) Untuk anak yang berusia kurang dari 18 bulan dilakukan:
Diagnosis definitif laboratoris infeksi HIV pada anak yang
berumur kurang dari 18 bulan hanya dapat ditegakkan melalui uji
virologik. Hasil yang positif memastikan terdapat infeksi HIV.
Tetapi bila akses untuk uji virologik ini terbatas, WHO
menganjurkan untuk dilakukan pada usia 6-8 minggu, dimana
bayi yang tertular in utero, maupun intra partum dapat tercakup.
Uji virologik yang dilakukan pada usia 48 jam dapat
mengidentifikasi bayi yang tertular in utero, tetapi
sensitivitasnya masih sekitar 48%. Bila dilakukan pada usia 4
minggu maka sensitivitasnya naik menjadi 98%.1
g. Tatalaksana
36

Tatalaksana pada penderita HIV atau yang terpapar HIV harus


lengkap, meliputi pemantauan tumbuh kembang, nutrisi, imunisasi,
tatalaksana medikamentosa, tatalaksana psikologis dan penanganan
sisi social yang akan berperan dalam kepatuhan program
pemantauan dan terapi. Pemberian imunisasi harus
mempertimbangkan situasi klinis, status imunologis serta panduan
yang berlaku. 8
Panduan imunisasi WHO berkenaan dengan anak pengidap
HIV adalah, selama asimtomatik, semua jenis vaksin dapat
diberikan, termasuk vaksin hidup. Tetapi bila simtomatik, maka
pemberian vaksin polio oral dan BCG sebaiknya dihindari.
Pengobatan medikamentosa mencakupi pemberian obat-obat
profilaksis infeksi oportunistik yang tingkat morbiditas dan
mortalitasnya tinggi. 8
Riset yang luas telah dilakukan dan menunjukkan kesimpulan
rekomendasi pemberian kotrimoksazol pada penderita HIV yang
berusia kurang dari 12 bulan dan siapapun yang memiliki kadar
CD4 < 15% hingga dipastikan bahaya infeksi pneumonia akibat
parasit Pneumocystis jiroveci dihindari. Pemberian Isoniazid (INH)
sebagai profilaksis penyakit TBC pada penderita HIV masih
diperdebatkan. Kalangan yang setuju berpendapat langkah ini
bermanfaat untuk menghindari penyakit TBC yang berat, dan harus
dibuktikan dengan metode diagnosis yang handal. Kalangan yang
menolak menganggap bahwa di negara endemis TBC, kemungkinan
infeksi TBC natural sudah terjadi. 8
Obat profilaksis lain adalah preparat nistatin untuk antikandida,
pirimetamin untuk toksoplasma, preparat sulfa untuk malaria, dan
obat lain yang diberikan sesuai kondisi klinis yang ditemukan pada
penderita. 8
37

2. Masalah pada pelayanan kesehatan


Masalah-masalah pada pelayanan kesehatan yang menjadi faktor
resiko BBL
1. Infeksi Nasokomial
Infeksi nosokomial dikenal juga sebagai Hospital Acquired Infection
(HAI), yaitu infeksi yang didapat di rumah sakit. Istilah nosokomialini
berasal dari bahasa Yunani yaitu nosokomeion yang berarti rumah
sakit (nosos = penyakit, komeo = merawat). Infeksi nosokomialdapat
diartikan sebagai infeksi yang berasal atau terjadi di rumah sakit.1

Infeksi nosokomial bisa menyebabkan pasien terkena


bermacam-macam penyakit dengan gejala yang berbeda-beda.
Beberapa penyakit yang paling sering terjadi akibat infeksi nosokomial
adalah:

a. Infeksi aliran darah primer (IADP)


b. Pneumonia
c. Infeksi saluran kemih (ISK)
d. Infeksi luka operasi (ILO).1

Penyebab dan Faktor Risiko Infeksi Nosokomial

Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dapat terkena infeksi


nosokomial adalah:

a. Patogen
Jumlah dan virulensi (kekuatan) bakteri yang tinggi, serta resistensi
bakteri terhadap antibiotik dapat meningkatkan risiko terjadinya
38

infeksi nosokomial. Umumnya, infeksi nosokomial disebabkan oleh


bakteri yang ada di rumah sakit. Bakteri tersebut bisa didapat dari
orang lain yang ada di rumah sakit, bakteri yang menjadi flora
normal (bakteri yang secara normal ada di dalam tubuh dan pada
keadaan normal tidak menyebabkan gangguan) orang itu sendiri,
atau bakteri yang mengontaminasi lingkungan dan alat-alat di
rumah sakit. Selain bakteri, jamur dan virus atau parasit juga dapat
menjadi penyebab infeksi nosokomial. Yang dimaksud dengan
bakteri yang resisten adalah ketika antibiotik menjadi kurang efektif
untuk membunuh bakteri tersebut.1

Hal ini disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak


sesuai dengan anjuran dokter. Penggunaan antibiotik yang tidak
tepat akan mengakibatkan bakteri yang ada di dalam tubuh manusia
berubah karakter dan menjadi tahan terhadap antibiotik. Rumah
sakit merupakan tempat beragam jenis pasien, sehingga bakteri
yang resisten tersebut dapat menyebar di lingkungan rumah sakit
dan akan lebih sulit untuk ditangani bila menjangkiti seseorang.1

b. Kondisi pasien

1) Daya tahan tubuh dan penyakit yang dimiliki Pasien

Dengan penyakit kronis seperti diabetes, gagal ginjal, dan


kanker meningkatkan risiko seseorang terkena infeksi
nosokomial. Keadaan akut seperti koma, gagal ginjal akut,
cedera berat (seperti habis kecelakaan atau luka bakar), dan
syok juga berkontribusi dalam meningkatkan risiko infeksi
nosokomial. Kondisi yang mengakibatkan daya tahan tubuh
turun seperti pada penyakit HIV/AIDS,malnutrisi, dan
menggunakan obat-obatan yang dapat menurunkan daya tahan
39

tubuh. (Immnunosuppresant dan kemoterapi) akan


meningkatkan risiko terkena infeksi nosokomial.1

2) Prosedur yang dilakukan terhadap pasien

Prosedur seperti tindakan operasi, pemasangan alat bantu


napas (ventilator), endoskopi, atau kateter meningkatkan risiko
seseorang untuk terkena infeksi nosokomial melalui
kontaminasi langsung dengan alat yang masuk ke dalam tubuh.1

c. Faktor Lingkungan

Lingkungan rumah sakit yang padat, kegiatan memindahkan pasien


dari satu unit ke unit yang lain, dan penempatan pasien dengan
kondisi yang mudah terserang infeksi nosokomial (misalnya pada
ruang perawatan intensif, ruang perawatan bayi, ruang perawatan
luka bakar) di satu tempat dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi nosokomial. Lamanya waktu perawatan di rumah
sakit juga semakin meningkatkan risiko terkena penyakit
nosokomial.1

Daftar pustaka

1. Marcdante K, dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi Update 6.


Singapore: Elsevier. 2018.

2. Joyce Poole. International Blood and Group Reference. Blood Group. 2017.
40

3. Hamening D. Modern Blood Banking and Transfusion Practices. Edisi 1.


Philadelphia: F.A Davis. 2012.

4. Arnon Stephen. Tetanus (Clostridium tetani). Edisi 17. Philadelphia PA:


W.B.Saunders. 2016,

5. Kasek, S.Darmadi. Gejala Rubella Bawaan (Kongenital) Berdasarkan


Pemeriksaan Serologis dan RNA Virus. Vo.13. No.2. FK Unair:Surabaya.
2009.

6. Fajar,BP. Infeksi Cytomegalovirus Kongenital. Vol 1. No. 2. Fakultas


Kedokteran Universtias Riau. 2018.

7. Andirini, DF. Infeksi Herpes Simpleks Dalam Kehamilan. Jilid 10. No.1.
Fakultas kedokteran Universitas riau: Riau. 2016.

8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Manajemen Program


pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI.2015.

Anda mungkin juga menyukai